Tiga Masalah Utama Dihadapi BPJS Kesehatan 2016-04-28 09:22:00 | BERITA 380 VIEWS 0 KOMENTAR | SUMBER : REP-ENAL
BANDUNG- Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengungkapkan, masih ada tiga masalah utama yang dihadapi BPJS Kesehatan saat ini. Pertama, layanan kesehatan yang dirasakan peserta BPJS belum optimal, khususnya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan di RS Rujukan. “Hal itu, ditunjukkan dengan terjadinya penumpukan pasien BPJS, hingga panjangnya antrian yang berobat di rumah sakit FKTP,” kata Jazuli dalam siaran pers yang diterima jabarprov.go.id, Kamis (28/4). Jazuli mengatakan, semangat UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS adalah negara hadir untuk melindungi kesehatan warganya. Namun, kita masih saja menemukan masalah pelayanan kesehatan, baik di level primer sampai rujukan. Ini yang harus diselesaikan.
Kedua, rancunya data kepesertaan BPJS di banyak sektor yang tidak sesuai. Menurut data, hingga Desember 2015, jumlah peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar mencapai 157 juta orang, atau sekitar 62 persen total penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa. “Kerancuan dalam pendataan peserta inilah yang akan berdampak pada pengelolaan pelayanan dan dana,” jelas legislator yang kerap kali mengadakan Layanan Kesehatan saat reses. Ketiga, belum tuntasnya pengelolaan Dana BPJS. Diketahui, hingga Desember 2015, BPJS Kesehatan mengalami defisit dana hampir mencapai Rp 6 triliun. "Tentunya harus dipertanyakan, mengapa bisa defisit? Ini menandakan adanya sistem pengelolaan yang harus dibenahi pemerintah," katanya. (enal) http://jabarprov.go.id/index.php/news/17149/2016/04/28/Tiga-Masalah-Utama-Dihadapi-BPJSKesehatan
Berita Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Jumat, 11 Maret 2016
Inilah Poin-Poin Perubahan Perpres Jaminan Kesehatan Pencegahan kecurangan dimasukkan dan diatur dalam satu bab khusus. Anggota DPRD masuk kategori peserta penerima upah. ADY TD ACHMAD Dibaca: 26332 Tanggapan: 0 Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perubahan pertamanya dilakukan lewat Perpres No. 111 Tahun 2013. Perubahan keduanya ini berimplikasi pada pemangku kepentingan seperti peserta. Sebab ada beberapa perubahan penting dalam revisi Perpres. Simak saja poin-poin pentingnya. Pasal 1 angka 14a Perpres mengatur tentang kecurangan kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Berarti agar terjadi fraud ada unsur kesengajaan. Pasal 4 ayat (2) huruf e Perpres memasukkan pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam kategori peserta penerima upah (PPU). Pasal 5 ayat (1) menegaskan jumlah anggota keluarga yang ditanggung peserta kategori PPU paling banyak 5 orang yakni PPU, istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah. Bagi pekerja yang belum didaftarkan pemberi kerja dalam program JKN, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perpres, boleh mendaftar sendiri dengan melampirkan dokumen yang membuktikan status ketenagakerjaannya. Ayat selanjutnya menegaskan iuran yang dibayar pekerja yang mendaftar sendiri besaran iurannya mengacu Perpres Jamkes. Pasal 11 ayat (5) Perpres menyebut jika pekerja/buruh belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, pemberi kerja wajib bertanggung jawab pada saat pekerja membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 11 ayat (6) mengatur sanksi untuk pemberi kerja yang belum mendaftarkan pekerjanya dalam program JKN, sanksi berupa teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
“Tata cara pengenaan sanksi istratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” begitu bunyi pasal 11 ayat (7) Perpres Jamkes. Pasal 11 ayat (8) mengamanatkan kepada setiap pekerja bukan penerima upah sesuai ketentuan pasal 6 ayat (3) huruf c wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya secara sendiri-sendiri atau berkelompok sebagai peserta JKN. Ketentuan itu juga berlaku bagi setiap orang bukan pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (9) Perpres Jamkes. Ketentuan baru yang ditambahkan dalam Perpres Jamkes yaitu Pasal 12 ayat (2) tentang identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS). Identitas paling sedikit memuat nama dan nomor identitas peserta yang terintegrasi dengan nomor identitas kependudukan (NIK) kecuali untuk bayi baru lahir dari ibu yang terdaftar sebagai PBI. Pasal 12 ayat (2a) menegaskan KIS diberikan kepada peserta secara bertahap. Pasal 16 ayat (3) menegaskan iuran JKN bagi PBPU dan bukan pekerja (BP) dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta. Pasal 16A ayat (1) memaparkan kenaikan besaran iuran PBI dari Rp19.225 menjadi Rp.23.000 per orang setiap bulan. Pasal 16A ayat (2) mengatur berlakunya iuran PBI itu sejak 1 Januari 2016. Pasal 16B ayat (1) sebagian besar tidak ada perubahan, hanya ada penambahan frasa 'pimpinan dan anggota DPRD.' Begitu juga pasal 16B ayat (3) huruf b ada tambahan frasa 'bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD. Pasal 16D mengubah batas atas gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar penghitungan besaran iuran JKN bagi PPU dari 2 kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 orang anak menjadi Rp8 juta. Besaran iuran bagi PBPU naik, itu tercantum dalam pasal 16F ayat (1). Untuk ruang perawatan kelas III Rp30.000 (sebelumnya Rp25.500), kelas II Rp51.000 (sebelumnya Rp42.500), kelas 1 Rp80.000 (sebelumnya Rp59.500). Pasal 16F ayat (2) mengatur kenaikan besaran iuran itu mulai berlaku 1 April 2016. Ada satu ayat yang ditambahkan dalam pasal 16H yakni ayat (4), menjelaskan pembayaran iuran JKN bagi anggota keluarga yang lain sebagaimana ayat (2) diawali dengan pemberian surat kuasa dari pekerja kepada pemberi kerja untuk melakukan pemotongan tambahan iuran dan menyetorkan kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 17A.1 berisi ketentuan yang intinya mengatur penghentian penjaminan oleh BPJS Kesehatan bagi peserta yang terlambat membayar iuran lebih dari sebulan sejak tanggal 10, serta denda yang dikenakan kepada peserta yang telat membayar iuran. Pasal 21 ayat (1) huruf b nomenklatur 'imunisasi dasar' diubah menjadi 'imunisasi rutin. Pasal 21 ayat (3) mengatur pelayanan imunisasi rutin meliputi pemberian jenis imunisasi rutin sesuai ketentuan perundang-undangan. Pasal 21 ayat 4 menegaskan pelayanan kontrasepsi vasektomi dan tubektomi masuk sebagai manfaat promotif preventif. Pasal 21 ayat 4a mengatur pemenuhan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi peserta JKN di fasilitas kesehatan (faskes) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Vaksin untuk imunisasi rutin serta alat dan obat kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disediakan oleh pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” begitu paparan pasal 21 ayat (5) Perpres Jamkes. Pasal 22 ayat (1) menghapus pelayanan transfusi darah di faskes tingkat pertama (FKTP). Untuk pelayanan di faskes tingkat lanjutan (FKRTL) ada yang ditambah yaitu pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis dasar (ayat (1) huruf b angka 2); pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik (ayat (1) huruf b angka 3); dan pelayanan keluarga berencana (ayat (1) huruf b angka 11). Pasal 22 ayat (2) menjelaskan pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 hanya berlaku untuk pelayanan di unit gawat darurat. Pasal 22 ayat (3) mengatur pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 11 tidak termasuk keluarga berencana yang telah dibiayai pemerintah. Selain mendapat pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 22 ayat (1) mengacu pasal 22 ayat (4) peserta juga berhak mendapat pelayanan berupa alat kesehatan. Ditegaskan pasal 22 ayat (5) alat kesehatan yang dimaksud termasuk alat bantu kesehatan. Pasal 22A memberi kewenangan kepada Menteri untuk menetapkan pelayanan kesehatan lain yang dijamin berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) dengan memperhitungkan kecukupan iuran setelah berkoordinasi dengan menteri keuangan. Berikutnya, Pasal 23 huruf b angka 4 memasukan PPU selain angka 1 sampai 3 dan pegawai pemerintah non PNS dengan gaji sampai Rp4 juta mendapat ruang perawatan kelas II. Kelas I untuk pimpinan dan anggota DPRD beserta anggota keluarganya (Pasal 23 huruf c angka
2). Ruang perawatan kelas I juga diperoleh peserta PPU selain angka 1 sampai 5 dan pegawai pemerintah non PNS dengan gaji di atas Rp4-Rp8 juta (Pasal 23 huruf c angka 8). Dibanding peraturan sebelumnya, Perpres Jamkes mengatur lebih rinci peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya. Itu diatur dalam Pasal 24 yang terdiri dari empat ayat. Ada beberapa ketentuan baru dalam Pasal 25 yang mengatur tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan. Misalnya, Pasal 25 ayat (1) huruf c menjelaskan BPJS Kesehatan tidak menjamin pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja. Pada Pasal 29 ayat (2a), (2b) dan (2c) diatur bahwa BPJS Kesehatan bisa memindahkan peserta dari satu FKTP ke FKTP lain. Pasal 32 ayat (3) memasukan BKKBN sebagai salah satu unsur dalam Komite Nasional. Pasal 32A ayat (1) dan (2) menegaskan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah atas ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuang peraturan perundang-undangan. Pasal 36 ayat (4a) mengatur keterlibatan dinas kesehatan kabupaten/kota dalam pelaksanaan kerja sama BPJS Kesehatan dengan faskes. Pasal 36A terdiri dari tiga ayat yang intinya melarang faskes menarik biaya kepada peserta selama pelayanan yang diberikan sesuai dengan manfaat yang berhak diterima peserta. Pasal 38 ayat (1) huruf b dan c menegaskan batas waktu pembayaran klaim BPJS Kesehatan kepada faskes paling lambat 15 hari kerja. Pasal 38A mengatur daluarsa pengajuan klaim oleh faskes kepada BPJS Kesehatan yakni dua tahun sejak pelayanan kesehatan diberikan. Pasal 39 ayat (1a) menegaskan pengaturan pembayaran kapitasi kepada FKTP milik pemerintah pusat mengikuti ketentuan di bidang keuangan negara. Pasal 39 ayat (5) mengamanatkan agar evaluasi tarif kapitasi dan INA-CBGs dilakukan dengan menghitung kecukupan iuran dan kesinambungan program sampai dua tahun ke depan. Pasal 39A ayat (1) dan (2) membolehkan BPJS Kesehatan meminta rekam medis peserta kepada faskes. Pasal 43A ayat (1), (2) dan (3) mengatur pengembangan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, kendali mutu pelayanan dan pembayaran pelayanan kesehatan dalam JKN. Pasal 45 ayat (2) menjelaskan peserta dan faskes bisa mengadu kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Menteri jika tidak mendapat pelayanan yang baik dari BPJS Kesehatan. Pasal 46 ayat (1a) memperjelas peran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
Kabupaten/Kota dan/atau Badan Pengawas Rumah Sakit (RS) dalam penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan pada program JKN. Pemerintah menyelaraskan Perpres Jamkes dengan Permenkes No. 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Itu terlihat dari adanya BAB khusus terkait fraud di pasal 46A ayat (1)-(5) Perpres Jamkes. Bab XIII mengatur tentang pengawasan dalam penyelenggaraan program JKN. Pasal 46B ayat (1) sampai ayat (4) menjelaskan keterlibatan berbagai pihak dalam melakukan pengawasan seperti Dinas Kesehatan, Badan Pengawas RS, Dewan Pengawas RS, perhimpunan/asosiasi RS dan/atau organisasi profesi. Dalam ketentuan peralihan ada Pasal 46D yang menjelaskan kartu kepesertaan yang dimiliki peserta sebelum Perpres Jamkes diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan KIS. Perpres ini ditetapkan di Jakarta pada 29 Februari 2016 oleh Presiden Joko Widodo, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 1 Maret 2016. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56e291aca1b2b/inilah-poin-poin-perubahan-perpresjaminan-kesehatan
Selasa, 01 Maret 2016 | 23:05
IDI: 80 Persen Dana BPJS Kesehatan Habis di Rumah Sakit Ilustrasi BPJS Kesehatan (Istimewa) Jakarta - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti masih banyaknya persoalan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan memasuki tahun ke ketiga pelaksanaannya. Secara khusus, IDI menyoroti masih tingginya angka rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTL) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit. Ketua Umum PB IDI, Prof Oetama Marsis, mengatakan, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan di FKTL, lanjut dia, menjadikan pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi naik tidak terkendali. Idealnya dalam pelaksanaan JKN, 80 persen kasus selesai di FKTP dan 20 persen kasus di FKTL. Dengan besarnya dana yang dihasilkan antara FKTP dan FKTL sama masing-masing 50 persen. Namun, kata Marsis, data yang ada menunjukkan justru 80 persen dana habis di FKTL, dan hanya 20 persen di FKTP. BPJS Kesehatan sendiri mencatat, terdapat 20 kasus yang paling banyak di rujuk ke FKTL. "Tingginya angka rujukan ini disebabkan karena bukan permasalahan kompetensi dokter saja, tapi juga dikarenakan tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di FKTP. Tidak
sebandingnya beban dokter dan pasien yang dilayani dan kuranngnya jumlah FKTP juga menjadi salah satu sebab," kata Marsis. Untuk mengatasi hal ini, menurut Marsis, PB IDI telah menyusun buku panduan diagnosa, tata laksana dan alur rujukan mengenai 20 kasus yang paling banyak dirujuk tersebut. Berkoordinasi dengan perhimpunan spesialis, buku panduan ini disosialisasikan terus menerus kepada dokter di FKTP, sehingga diarapkan akan menekan angka rujukan. IDI juga menyoroti masalah ketersediaan obat dalam Formularium Nasional (Fornas). Hingga saat ini masih terjadi kekosongan obat untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuk dalam Fornas. Masalah lain yang juga disoroti IDI, ialah rendahnya tarif Ina CGBs, khususnya pada kasus tertentu seperti kesenjangan tarif antara rawat inap dan rawat jalan, sehingga pasien cenderung diinapkan, mendapat parawatan intensif, tindakan operasi, if pada pasien kanker. "Diparitas tarif antar berbagai tipe rumah sakit, juga membuat hanya sedikit RS swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa tiada subsidi dari pemerintah. Akibatnya, beban pelayanan lebih besar di rumah sakit pemerintah," kata Marsis. Karena itu, menurut Marsis, peninjauan tarif Ina CBGs dengan didukung anggaran kesehatan yang cukup harus segera mungkin dilakukan, sehingga permasalahan pelaksanaan JKN segera teratasi. "IDI mengusulkan upaya perbaikan sistem JKN secara komprehensif dengan tiga pendekatan, yaitu menata sistem dengan dikenal 5 M, yaitu man, money, machine, material dan management atau tata kelola FKTP dan FKTL," jelasnya. IDI sendiri, lanjut dia, juga telah menyusun buku panduan kompensasi jasa medis dokter. Untuk dokter di FKTP pembagian jasa medisnya sudah jelas, tidak seperti dokter di FKTL yang hanya disebut jasa pelayanan sebesar 30-50 persen dari total klaim BPJS Kesehatan di RS.
Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh perda di masing-masing, tetapi seringkali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter. "Diharapkan dengan panduan jasa medis ini memberikan masukan dan panduan bagi manajemen RS dan tenaga dokter anggota IDI menyusun pembagian jasa medis yang berkeadilan," tambah Marsis. http://www.beritasatu.com/kesehatan/352398-idi-80-persen-dana-bpjs-kesehatan-habis-di-rumahsakit.html
Tahun: 2016
IDI: 80 Persen Dana BPJS Kesehatan Habis di Rumah Sakit Rabu,02 Maret 2016 – 03:02:38 WIB Dewan Pengawas BPJS Ungkap 3 Kegagalan Kesehatan di Indonesia
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Michael J Latuwael S Sos, menjadi narasumber utama dalam Seminar Nasional yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Michael J Latuwael S Sos, menjadi narasumber utama dalam Seminar Nasional yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Seminar Nasional dengan tema Peran Ilmu Sosial untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan merupakan rangkaian dari Dies Natalis FISIP Unhas Ke 55. Seminar Nasional yang berlangsung di Aula Prof Syukur Abdullah FISIP Unhas, Senin (29/2/2016) ini dibagi dalam dua sesi, untuk sesi pertama presentasi tunggal dengan sub-tema Praktik Cerdas Aplikasi Ilmu Sosial dalam Pembangunan Daerah.
Lali sesi dengan sub-tema Perlindungan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial dan Pemberantasan Korupsi, dan Rekayasa Sosial, Teknologi & Penguatan Kelembagaan. Michael sebagai pembicara utama pada sesi pertama mengungkapkan tiga kegagalan menyangkut kesehatan di Indonesia yang mencakup angka kematian ibu yang masih sangat tinggi. Penyebab tersebut adalah angka penyebaran HIV-AIDS, akses air bersih dan sanitasi di pedesaan, jelasnya. , Andi Yani, yang mengatur kegiatan ini memberi pengantar bahwa institusi pendidikan, Universitas, Fakultas, dosen dan mahasiswa tidak hanya menjalankan aktivitas yang sebatas belajar-mengajar di kelas yang tujuan akhirnya mencapai tujuan pembelajaran semata. Lebih dari itu, institusi pendidikan hari ini, juga diharapkan mampu berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang mencakup aspek kemiskinan, kesehatan, pembangunan, kesetaraan gender.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti masih banyaknya persoalan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan memasuki tahun ke ketiga pelaksanaannya. Secara khusus, IDI menyoroti masih tingginya angka rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTL) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit.
Ketua Umum PB IDI, Prof Oetama Marsis, mengatakan, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan di FKTL, lanjut dia, menjadikan pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi naik tidak terkendali. Idealnya dalam pelaksanaan JKN, 80 persen kasus selesai di FKTP dan 20 persen kasus di FKTL. Dengan besarnya dana yang dihasilkan antara FKTP dan FKTL sama masing-masing 50 persen. Namun, kata Marsis, data yang ada menunjukkan justru 80 persen dana habis di FKTL, dan hanya 20 persen di FKTP. BPJS Kesehatan sendiri mencatat, terdapat 20 kasus yang paling banyak di rujuk ke FKTL.
“Tingginya angka rujukan ini disebabkan karena bukan permasalahan kompetensi dokter saja, tapi juga dikarenakan tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di FKTP. Tidak sebandingnya beban dokter dan pasien yang dilayani dan kuranngnya jumlah FKTP juga menjadi salah satu sebab,” kata Marsis. Untuk mengatasi hal ini, menurut Marsis, PB IDI telah menyusun buku panduan diagnosa, tata laksana dan alur rujukan mengenai 20 kasus yang paling banyak dirujuk tersebut. Berkoordinasi dengan perhimpunan spesialis, buku panduan ini disosialisasikan terus menerus kepada dokter di FKTP, sehingga diarapkan akan menekan angka rujukan.
IDI juga menyoroti masalah ketersediaan obat dalam Formularium Nasional (Fornas). Hingga saat ini masih terjadi kekosongan obat untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuk dalam Fornas. Masalah lain yang juga disoroti IDI, ialah rendahnya tarif Ina CGBs,khususnya pada kasus tertentu seperti kesenjangan tarif antara rawat inap dan rawat jalan, sehingga pasien cenderung diinapkan, mendapat parawatan intensif, tindakan operasi, if pada pasien kanker. “Disparitas tarif antar berbagai tipe rumah sakit, juga membuat hanya sedikit RS swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa tiada subsidi dari pemerintah. Akibatnya, beban pelayanan lebih besar di rumah sakit pemerintah,” kata Marsis. Karena itu, menurut Marsis, peninjauan tarif Ina CBGs dengan didukung anggaran kesehatan yang cukup harus segera mungkin dilakukan, sehingga permasalahan pelaksanaan JKN segera teratasi. “IDI mengusulkan upaya perbaikan sistem JKN secara komprehensif dengan tiga pendekatan, yaitu menata sistem dengan dikenal 5 M, yaitu man, money, machine, material dan management atau tata kelola FKTP dan FKTL,” jelasnya. IDI sendiri, lanjut dia, juga telah menyusun buku panduan kompensasi jasa medis dokter. Untuk dokter di FKTP pembagian jasa medisnya sudah jelas, tidak seperti dokter di FKTL yang hanya disebut jasa pelayanan sebesar 30-50 persen dari total klaim BPJS Kesehatan di RS. Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh perda di masing-masing, tetapi seringkali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter. “Diharapkan dengan panduan jasa medis ini memberikan masukan dan panduan bagi manajemen RS dan tenaga dokter anggota IDI menyusun pembagian jasa medis yang berkeadilan,” tambah Marsis.
BPJS Selektif Jalin Kerja Sama dengan Dokter Dalam mengantisipasi adanya praktik kesehatan ilegal yang mengkambing hitamkan profesi dokter, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan akan tetap selektif dalam melakukan kerja sama terhadap tempat praktik dokter. Hal ini mengingat intensitas penduduk yang keluar masuk ke Riau cukup tinggi, apalagi pada MEA saat ini. BPJS-Kes Kepala Cabang BPJS Kesehatan Pekanbaru, Candra Nurcahyo kepada Haluan Riau, Senin (29/2) mengatakan dalam melakukan kerja sama kepada praktik dokter pribadi atau yang disebut sebagai jejaring BPJS Kesehatan, maka pihaknya akan memberikan kriteria tertentu guna menghindari adanya penyalahgunaan praktik. “Jadi sebelum kita melakukan kerja sama tentu kita juga memperhatikan izin praktiknya, baik izin praktek dokter maupun izin operasionalnya. Kita juga berharap pihak pemberi izin bisa lebih selektif dan tidak begitu mudah mengeluarkan izin. Apalagi bagi dokter luar atau berkewarganegaraan asing (WNA),”ujar Candra. Tahun 2016 BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru membutuhkan tambahan Sebanyak 77 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) meliputi daerah Pekanbaru,Kampar, Pelalawan, dan Rohul. Tambahan tersebut untuk menutupi kekurangan faskes di beberapa titik wilayah tersebut, sesuai dengan tuntutan masyarakat setiap faskes bisaberoperasional 24 jam. “Kita harapkan kebutuhan tersebut bisa tercukupi pada semester I tahun
ini, dan saat ini FKTP yang sudah melakukan pengajuan baru sekitar 20 faskes. Sedangkan sejak 2014, BPJS Kesehatan sudah bekerjasama dengan 210 FKTP dan 26 Rumah sakit,” tutur Candra. Candra juga menjelaskan dalam penambahan faskes tersebut tentunya tidak bisa hanya sepihak. Dimana sebelum melakukan kerjasama, pihaknya akan melakukan koordinasi melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai instansi yang berwenang terhadap tenaga medisnya, begitupula halnya terkait perizinan akan berkoordinasi kepada Dinas Kesehatan. Adapun yang menjadi syarat dalam kerjasama tersebut, terdapat beberapa indikator yang harus dilengkapi antara lain, faskes tersebut sudah beruperasional melayani peserta, memiliki izin praktek resmi dari Dinkes. Serta melengkapi kelengkapan dari ketentuan lain diantaranya kualitas pelayanan seperti sertifikasi pelayanan, izin lingkungan dan amdal, fasilitas yang membuat peserta nyaman seperti adanya ruang perawatan, ruang rawat inap atau poli. Sumber berita : http://www.beritasatu.com/kesehatan/352398-idi-80-persen-dana-bpjs-kesehatan-habis-dirumah-sakit.html http://harianhaluan.com/news/detail/49406/bpjs-selektif-jalin-kerja-sama-dengan-dokter http://makassar.tribunnews.com/2016/02/29/dewan-pengawas-bpjs-ungkap-3-kegagalankesehatan-di-indonesia