LAPORAN TUGAS I MASALAH PSIKOSOSIAL (Disusun untuk memenuhi tugas Neurobehaviour System in Nursing II)
Disusun oleh: Erik Perdian
220110120006
Nurviana Novianti 220110120018 Laura Oktavia
220110120042
Abdul Aziz
220110120054
Euis Yulianti
220110120078
Anggi Putri Aryani 220110120102
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
BAB I TEORI PSIKOSOSIAL .................................................................... 1 A. TEORI PERKEMBANGAN FREUD ......................................... 1 B. TEORI PERKEMBANGAN ERIK H ERIKSON....................... 4 C. RESPON BIOLOGIS TERHADAP STRESSOR ....................... 7 BAB II MASALAH PSIKOSOSIAL ............................................................ 9 A. GANGGUAN CITRA TUBUH.................................................. 9 B. KECEMASAN............................................................................ 11 C. KETIDAKBERDAYAAN.......................................................... 20 D. HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL ................................ 23 E. KEPUTUSASAAN ..................................................................... 27 F. DUKACITA................................................................................ 30 G. PENYALAHGUNAAN NAPZA ............................................... 34 BAB III RESUME ANALISIS KASUS ......................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53
i
BAB I TEORI PSIKOSOSIAL
A. TEORI PERKEMBANGAN FREUD Perkembangan merupakan perubahan psikologis atau mental yang dialami individu dalam proses menjadi dewasa. Perubahan tersebut membuat semakin terdeferensiasinya seluruh aspek kepribadian individu, dan segala aspek yang berkembang tersebut terorganisasi menjadi satu totalitas. Sigmund Freud menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang dapat mengalami gangguan. Bila gangguan tersebut menyebabkan seseorang berprilaku seperti pada tahap perkembangan sebelumnya maka akan terjadi regresi (perilaku kembali ke masa yang lebih muda dari masa sekarang). Sedangkan bila gangguan itu menyebabkan perkembangan terhambat sehingga untuk suatu periode tertentu pola perilaku tidak berubah maka terjadi fiksasi (perilaku menetap yang dibawa dari kecil hingga perjalanannya menuju dewasa), akan tetapi tidak semua aspek perilaku dapat terulang kembali. Teori psikoanalisis mendukung gagasan bahwa semua perilaku manusia ada penyebabnya dan dapat dijelaskan. Freud yakin bahwa banyak perilaku manusia di motivasi oleh impuls dan naluri seksual yang di keluarkan dari alam sadar. Freud mengonseptualisasi struktur kepribadian menjadi 3 komponen (Videbeck, 2008): 1. Id merupakan bagian sifat individu yang mencerminkan naluri dasar atau bawaan seperti perilaku mencari kesenangan, agresi dan impuls seksual. Id mencari kesenangan instan yang menyebabkan perilaku impulsit dan tidak dipikirkan juga tidak mematuhi aturan atau konvensi sosial. 2. Super ego merupakan bagian sifat individu yang mencerminkan konsep moral, etis, nilai, serta harapan sosial dan orangtua. Oleh karena itu super ego berlawanan dengan id. 3. Ego merupakan kekuatan pengimbang atau penengah antara id dan super ego. Ego dapat menunjukan perilaku dewasa dan adaptif
yang
memungkinkan individu berhasil menjalankan fungsinya di dunia. Ansietas di yakini timbul akibat dari upaya ego menyeimbangkan naluri impuls id dengan aturan ketat super ego. Freud yakin ego menggunakan mekanisme 1
pertahanan ego yang merupakan metode untuk berupaya melindungi diri dan mengatasi dorongan dasar atau pikiran, perasaan, atau peristiwa yang menyakitkan secara emosional. Mekanisme pertahanan tersebut diantaranya adalah : 1) Kompensasi, adalah pencapaian berlebihan dalam suatu area untuk menutupi kekurangan yang dirasakan di area lain. 2) Konversi, ekspresi konflik emosional dalam bentuk gejala fisik yang biasanya bersifat sensori motor. 3) Denial, yaitu kegagalan mengakui kondisi yang tidak dapat ia terima. 4) Pengalihan, pengungkapan perasaan yang kuat kepada individu yang kurang mengancam. Bukan pada invidu yang menimbulkan perasaan tersebut. 5) Diasoiasi, menghadapi konflik emosional melalui perubahan kesadaran atau identitas untuk sementara. 6) Fiksasi,
menetapnya
suatu
kepribadian
yang
terjadi
akibat
ketidakbersilan menyelesaikan tugas pada suatu tahap perkembangan tertentu. 7) Identifikasi, meniru tindakan dan opini orang lain yang sangat berpengaruh dalam pencarian identitasnya. 8) Introjeksi, menerima sikap keyakinan dan nilai orang lain seperti miliknya sendiri. 9) Proyeksi, menyalahkan tanpa sadar pikiran yang tidak dapat diterima pada objek eksternal. 10) Rasionalisai, menoleransi perilaku diri sendiri untuk menghindari rasa bersalahnya, tanggung jawab, konflik, ansietas, dan kehilangan kehormatan diri. 11) Formasi reaksi, perilaku sebaliknya dari apa yang dipikirkan atau dirasakan. 12) Regresi,
kembali
ke
tahap
perkembangan
sebelumnya
utnuk
mendapatkan rasa aman atau memenuhi kebutuhan. 13) Represi, menyingkirkan secara emosional pikiran dan perasaan yang menimbulkan ansietas atau menyedihkan dari alam sadar 2
14) Resistensi, antagonisme yang nyata atau tersembunyi dalam mengingat atau memproses informasi yang menghasilkan ansietas. 15) Sublimasi, mengganti impuls yang tidak dapat diterima dengan aktivitas yang dapat diterima oleh masyarakat. 16) Substitusi, mengganti kepuasan yang diharapkan dengan sesuatu yang lebih mudah dilakukan. 17) Supresi, menyingkirkan secara sadar pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima dalam alam sadar. 18) Undoing, memperlihatkan perilaku yang dapat diterima untuk mengganti atau menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima.
Teori perkembangan menurut Sigmund Freud yang terkenal adalah teori perkembangan psikoseksual (1856-1938). Ia menjelaskan bahwa fase-fase individu didorong oleh energi psikis yang disebut libido. Libido adalah energi psikis yang bersifat seksual dan sudah ada sejak bayi. Setiap tahap perkembangan ditandai dengan berfungsinya dorongan-dorongan tersebut pada daerah tubuh tertentu. Freud membagi perkembangan menjadi lima fase psikoseksual (Suliswati, 2005). 1. Fase Oral (0-1 tahun) Pada fase ini anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber pada mulutnya. Hubungan sosial pada fase ini bersifat fisik. Objek sosial terdekat adalah ibu terutama saat menyusu. Contohnya bila anak tidak menyusu ia akan memperoleh kepuasan oral dengan memasukan jarinya ke mulut. 2. Fase Anal (1-3 tahun) Pada fase ini pusat fase kenikmatan terletak pada anus terutama saat defekasi. Fase ini merupakan saat yang tepat untuk mengajarkan disiplin termasuk toilet training karena anak sudah mulai mampu bertanggung jawab terhadap kegiatan tertentu. 3. Fase Falik (3-5 tahun) Pusat kepuasan pada fase ini terletak pada daerah kelamin anak sudah lebih tertarik pada perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Pada laki3
laki keterdekatan pada ibunya menimbulkan gairah seksual dan perasaan cinta yang disebut oedipus kompleks. Tapi perasaan ini kemudian diikuti oleh kecemasan kostrasi (takut dipotong kelaminnya) sehingga anak akan lebih menurut dan meniru perilaku ayahnya yang dianggap saingannya. Konfik ini akan terselesaikan jika anak sudah bisa menerima dan mengagumi sosok ayah sehingga menjadi model perilakunya yang disebut egio ideal. 4. Periode Laten (5-12 tahun) Fase ini adalah masa tenang kecemasan dan ketakutan yang timbul pada masa sebelumnya dapat ditekan. Anak lebih sering bergaul dengan teman sejenis sehingga fase ini disebut sebagai periode homoseksual alamiah. Anak akan mencari figur ideal orang dewasa yang berjenis kelamin sama dengannya. 5. Fase genital (lebih dari 12 tahun) Pada fase ini alat-alat reproduksi sudah mulai matang dan pusat kenikmatan berada di daerah kelamin. Libido diarahkan untuk hubungan heteroseksual. Rasa cintanya pada anggota keluarga dialihkan pada orang lain yang berlawanan jenis.
B. TEORI PERKEMBANGAN ERIK H. ERIKSON Erikson
meneliti
pengaruh
proses
sosial
pada
pengembangan
kepribadian. Ia menggambarkan 8 tahap siklus kehidupan selama individu mengalami
krisis
perkembangan.
Keberhasilan
dari
setiap
tingkat
perkembangan ini dapat menjadi pendukung bagi ego seseorang, sedangkan kegagalan pencapaian dapat merugikan. Erikson menyatakan, walaupun satu tahap dapat dicapai seseorang mungkin gagal pada tahap berikutnya sehingga perlu upaya penyelesaian (Suliswati, 2005). 1. Masa Usia 0-1,5 tahun Terjadi konflik antara kepercayaan mendasar dan ketidakpercayaan mendasar (basic trust-basic mistrust) Perilaku yang menunjukan basic trust: 1) Bersedia meminta dan mengharapkan bantuan 4
2) Menyatakn secara verbal rasa percaya kepada orang lain. Perilaku yang menunjukan basic mistrust: 1) Membatasi percakapan dengan orang lain hanya pada hal-hal yang sepele. 2) Menolak memberikan informasi pada orang lain. 2. Masa Usia 1,5-3 tahun Terjadi konflik antara otonomi dan malu, ragu-ragu (otonomy-ashamedoubt) Perilaku yang menunjukan berkembangnya otonomi: 1) Menerima
peraturan
dalam
kelompok,
tetapi
juga
mampu
mengekspresikan ketidaksetujuan bila dipandang perlu 2) Mampu mengekspresikan pendapatnya sendiri. Perilaku yng menunjukan malu dan ragu-ragu: 1) Tidak mampu menyatakan keinginan 2) Tidak mampu menytakan pendapatnya sendiri ketika ditentang 3. Masa Usia 3-4 tahun Terjadi konflik antara inisiatif dan rasa bersalah (initiative-guilt) Perilaku yang menunjukan inisiatif: 1) Berinisiatif memulai suatu tugas dengan keinginan yang benar. 2) Banyk ingin tahu segala sesuatu Perilaku yang menunjukan rasa bersalah: 1) Lebih suka meniru orang lain daripada mengembangkan ide-idenya sendiri 2) Meminta maaf secara berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena kesalahan kecil 4. Masa usia 6-12 tahun Terjadi konflik antara industri dan inferioritas (industry-inferiority) Perilaku yang menunjukan industri: 1) Mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas 2) Dapat bekerjasama dengan orang lain Perilaku yang menunjukan perilaku inferioriti: 1) Tidak mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas 5
2) Tidak bisa bekerjasama dengan orang lain 5. Masa Usia 12-20 tahun Terjadi konflik antara identitas dan kebingungan peran (identity-role confusion) Perilaku yang menunjukan identitas: 1) Dalam menjalin hubungan dengan sesama jenis dan dengan lawan jenis 2) Mampu mandiri Kegagalan tahap perkembangan ini berakhir terjadi kebingungan peran: 1) Tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri 2) Tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti 6. Masa Usia 20-40 tahun Terjadi konflik antara intimasi dan isolasi (intimacy-isolation) Perilaku yang menunjukan intimasi: 1) Menjalin hubungan yang intin dan intenif dengan pasangan hidup (menikah) 2) Mengekspresikan perilaku seksual esuai jenis kelamninnya Perilaku yang menunjukan isolasi: 1) Menyendiri 2) Berperangai berlawann dengan jenis kelaminnya 7. Masa Usia 40-64 tahun Terjadi konflik antara generativitas dan stagnasi (generativity-stagnation). Keberhasilan
tahap
perkembangan
ini
individu
akan
mencapai
generativitas: 1) Mau membagi pengalaman, pikiran dan pendapat dengan orang lain. 2) Bersedia memberi pengarahan kepada orang lain Kegagalan dalam perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnas: 1) Lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada mendengarkan orang lain 2) Menunjukan perhatian pada diri sendiri secara berlebihan dan seakanakan tidak membutuhkan orang lain 8. Masa usia < 65 tahun Terjadi konflik antara integritas dan putus asa (integrity-despair). 6
Perilaku yang menunjukan tercapainya intergritas: 1) Bersedia menggunakan pengalamannya untuk membantu orang lain 2) Masih produktif dalam beberapa area kehidupan Individu yang tidak mencapai kepuasan dalam tahap ini akan mengalami keputusasaan hidup: 1. Menangis dan apatis 2. Meminta perhatian dan bantuan yang berlebihan dari orang lain.
C. RESPON BIOLOGIS TERHADAP STRESS Pada tahun 1936, Selye merumuskan stress sebagai general adaptation syndrom (GAS). Selye membagi reaksi umum tubuh terhadap stress dalam tiga tahap yaitu tahap waspada, tahap melawan dan tahap kelelahan. Bila faktor penyebab stres tidak dapat diatasi dan faktor penyebabnya terlalu bear maka reaksi tubuh yaitu GAS mulai bekerja untuk melindungi individu. GAS pada dasarnya merupakan reaksi fisiologis terhadap rangsangan fisik dan psikososial. Bila individu terancam oleh stres, iyaratnya akan dikirim ke otak dan otak mengirim informasi ke hipotalamus sehingga sistem saraf otonom dan endokrin terstimulasi. Akibatnya terjadi suatu perubahan fisiologis berupa gejala dari sistem saraf otonom dan sistem endokrin. 1. Tahap Reaksi Waspada Tahap ini melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or flight” dan reaksi fisiologis. Stres menstimulasi pesan fisiologis tubuh dari hipotalamus ke kelenjar (misalnya, kelenjar adrenal untuk mengirim adrenalin dan norepinefrin sebagai pembangkit emosi) dan organ-organ (misalnya, hati untuk mengubah kembali simpanan glikogen menjadi glukosa sebagai makanan)
untuk
mempersiapkan
kebutuhan
pertahanan
potensial.
Karenanya banyak organ tubuh yang terpengaruh maka gejala stres akan memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot. Pada saat yang sama daya tahan tubuh berkurang.
7
2. Tahap reaksi melawan Pada tahap ini individu mencoba berbagai mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah erta mengatur strategi untuk menghadapi stressor tersebut. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang terpengaruh selama reaksi waspada gar berusaha kembali normal dan berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Jika stresor berjalan terus dan tidak dapat diatasi mak ketahan tubuh akan habis. 3. Tahap reaksi kelelahan Terjadi karena perpanjangan tahap awal stres, energi penyesuaian terkuras sehingga individu tidak dapat lagi menyesuaikan diri dengan stres yang diahadapi.Tahap kelelahan terjadi ketika individu berespon negatif terhadap ansietas dan stres, cadangan tubuh berkurang atau komponen emosional berubah sehingga timbul respon fisiologis yang berkelanjutan dan kapasitas cadangan menjadi sedikit.
8
BAB II MASALAH PSIKOSOSIAL
A. GANGGUAN CITRA TUBUH Citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakinan, dan pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk struktur, fungsi keterbatasan, serta makna dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting, make up, kontak lensa, pakaian, kursi roda) baik masa lalu maupun sekarang. (Dalami dkk dalam Fitria dkk., 2013) Tanda dan Gejala: 1. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah. 2. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi. 3. Menolak penjelasan perubahan tubuh. 4. Persepsi negatif pada tubuh. 5. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang. 6. Mengungkapkan keputusaaan. 7. Mengungkapkan ketakutan. Tanda dan gejala lain yang mungkin muncul: 1. Citra yang mengalami distorsi, melihat diri sebagai gemuk, meskipun pada keadaan berat badan normal atau angat kurus. 2. Penolakan bahwa adanya masalah dengan berat badan yang rendah. 3. Kesulitan menerima penguatan positif. 4. Kegagalan untuk mengambil tanggung jawab menurut diri sendiri. 5. Tidak berpartisipasi terhadap terapi. 6. Perilaku merusak diri sendiri, muntah yang dibuat sendiri; penyalahgunaan obat-obatan pencahar dan diuretik, penolakan untuk makan. 7. Kontak mata hilang. 8. Alam peraaan yang tertekan dan pikiran-pikiran yang mencela diri sendiri setelah episode dari pesta dan memicu perut. 9. Perenungan yang mendalam tentang penampilan diri dan bagaimana orangorang lain melihat diri mereka.
9
Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji Masalah keperawatan yang mungkin timbul (Fitria dkk, 2013): 1. Gangguan citra tubuh. 2. Koping individu tidak efektif. 3. Gangguan identitas personal. 4. Keputusasaan/ketidakberdayaan. 5. Harga diri rendah situaional. Data yang perlu dikaji untuk masalah gangguan citra tubuh adalah sebagai berikut: 1. Data Subjektif Contoh: “Saya tidak mau mendengarkan penjelasan perawat setelah payudara saya dioperasi” “Saya tidak mau menyentuh payudara saya sekarang” “Payudara saya tidak bia berfungsi sediakala, saya malu.” 2. Data Objektif a. Klien menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang telah dioperasi. b. Klien menolak penjelasan perubahan tubuh yang telah terjadi. c. Klien berpersepsi negatif terhadap tubuhnya.
Rencana Tindakan Keperawatan (Fitria dkk, 2013) Diagnosa Tujuan Keperawatan Gangguan Tujuan Jangka Panjang : citra tubuh Klien menerima apa adanya perubahan tubuhnya secara positif. Tujuan Jangka Pendek : 1. Meningkatkan keterbukaan dan rasa saling percaya. 2. Melibatkan peran serta klien sesuai dengan kemampuan yang 10
Intervensi 1. Membina hubungan perawat-klien yang terapeutik. 2. Berikn pendidikan kesehatan sesuai dengan kebutuhan klien. 3. Dorong klien untuk merawat diri dan berperan dalam proses keperawatan secara bertahap dan berlanjut.
3. 4. 5. 6.
7.
dimiliki. Mengidentifikasi perubahan citra tubuh. Menerima peraaan dan pikirannya. Menetapkan masalah yang dihadapinya. Mengidentifikasi kemampuan koping dan sumber pendukung lain. Melakukan tindakan yang dapat mengembangkan integritas diri.
4. Tingkatkan peran serta kelompok sesama klien yang memiliki masalah sama namun telah menyelesaikan masalahnya dengan baik. 5. Tingkatkan dukungan keluarga klien terutama pasangan klien. 6. Bantu klien memutuskan alternatif tindakan yang dapat mengurangi seminimal mungkin perubahan citra tubuh. 7. Lakukan rehabilitasi bertahap untuk beradaptasi terhadap perubahan.
B. KECEMASAN (ANSIETAS) Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons(sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); suatu perasaan takut akan terjadi sesuatu yang diebabkan oleh antisipasi bahaya. Hal ini merupakan sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya yang akan datang dan memperkuat individu dengan mengambil tindakan menghadapi ancaman (NANDA, 2009, dalam Fitria dkk, 2013)
Tingkatan Ansietas Tingkat ansietas menurut Stuart dan Sundeen (2007) adalah sebagai berikut (Fitria dkk, 2013): 1. Ansietas Ringan. Tingkat ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang waspada dan meningkatkan lahan
11
persepsinya. Ansietas memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Ansietas Sedang Tingkat sedang memungkinkan seeorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. 3. Ansietas Berat Tingkat berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada suatu yang terinci, spesifik, dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada area lain. 4. Tingkat Panik Tingkat ini berhubungan degan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi peningkatkan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran rasional.
Secara praktis kita dapat membedakan tingkatan ansietas ini dalam kehidupan sehari-hari seperti berikut ini (Fitria dkk, 2013): 1. Tingkat Ringan: seseorang yang menghadapi suatu masalah mencoba menjadikan stressor yang ada sebagai media untuk meningkatkan koping dirinya dengan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah walaupun perlu beberapa waktu secara mandiri untuk menghadapinya. Dalam kondisi ini individu tida memerlukan oranglain yang membantu dirinya menghadapi masalah. 2. Tingkat Sedang: seseorang mencoba menghadappi dan menyelesaikan masalah dengan bantuan oranglain yang menjadi orang kepercayaan bagi dirinya, misalnya sahabat, orangtua, dosen, dan lain-lain. 12
3. Tingkat Berat : seseorang tidak sanggup mengahadapi dan menyelesaikan masalah walaupun dengan bantuan orang lain yang sudah dipercaya. Dirinya merasa tidak mampu dan hilang pengharapan untuk menyelesaikan masalah. 4. Tingkat Panik: merupakan kelanjutan dari tingkat berat yang sudah mengalami gangguan perilaku motorik misalnya mengamuk dan melakukan perilaku kekerasan pada orang lain. Kondisi tersebut sudah semestinya memerlukan bantuan dari pihak medis untuk menurunkan tingkat kecemasan karena secara umum aktivitas sehari-hari sudah terganggu.
Faktor Predisposisi Menurut Stuart dan Sundeen (2007) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
ansietas, di antaranya sebagai berikut (Fitria dkk, 2013):
1. Pandangan Psikoanalitik. Teori ini beranggapan bahwa ansietas terjadi apabila konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencermikan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari kedua elemenyang bertentangan, sedangkan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya. 2. Pandangan Interpersonal Teori ini beranggapan bahwa ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya
penerimaan
dan
penolakan
interpersonal.
Ansietas
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang tepat. 3. Pandangan Perilaku. Teori ini beranggapan bahwa ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap bahwa sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan pada 13
ketakutan berlebihan, lebih sering menujukkan ansietas dalam kehidupan selanjutnya. 4. Kajian Keluarga. Teori ini beranggapan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi. 5. Kajian Biologis. Menurut kajian secara biologis, otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiapine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endofrin. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor.
Faktor Presipitasi Faktor presipitasi dibedakan menjadi hal-hal berikut (Fitria dkk, 2013): 1. Ancaman terhadap integritas seseorang, meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan dating atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. 2. Ancaman terhadap system diri, seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegraso seseorang.
Strategi Koping Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis strategi koping sebagai berikut (Fitria dkk, 2013): 1. Reaksi yang Berorientasi pada Tugas Reaksi yang berorientasi pada tugas berupa upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitas tuntutan situasi stress, misalnya perilaku menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuha, menarik diri untuk memindahkan dari sumber stress, kompromi untuk mengganti tujuan, atau mengorbankan kebutuhan personal. 14
2. Mekanisme Pertahanan Ego Mekanisme koping ini akan membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi berlangsung tidak sadar dan melibatkan penipuan diri, serta distorsi realitas dan bersifat maldaptif.
Data Yang Perlu Dikaji (Nanda, 2009-2011, dalam Fitria dkk, 2013) 1. Perilaku. Produktivitas menurun, mengamati dan waspada, kontak mata buruk, gelisah, melihat sesuatu, pergerakan berlebihan (seperti: foot shuffing, pergerakan tangan/lengan) , ungkapan perhatian berkaitan dengan mengubah peristiwa dalam hidup, insomnia, dan perasaan gelisah. 2. Afektif Menyesal, iritiabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, sukacita berlebihan, nyeri dan ketidakberdayaan meningkat secara menetap, gemertak, ketidakpastian, kekhawatiran meningkat, fokus pada diri sendiri, perasaan tidak adekuat, ketakutan, tertekan, dan perasaan gelisah. 3. Fisiologis Suara bergetar, gemetar/tremor tangan, bergoyang-goyang, respirasi meningkat (simpatis), kesegaran berkemih (parasimpatis), nadi meningkat (simpatis), dilatasi pupil (simpatis), reflex-refleks meningkat (simpatis), nyeri abdomen (parasimpatis), gangguan tidur (parasimpatis), perasaan geli pada ekstermitas (parasimpatis), eksitasi kardiovaskular (simpatis), peluh meningkat, wajah tegang, anoreksia, jantung berdebar-debar (simpatis), diare (parasimpatis), keragu-raguan berkemih (parasimpatis), kelelahan (parasimpatis), mulut kering (simpatis), kelemahan (simpatis), nadi berkurang (parasimpatis), wajah bergejolak (simpatis), vasokonstriksi superfisial (parasimpatis), berkedutan (simpatis), tekanan darah menurun (parasimpatis), mual (parasimpatis), keseringan berkemih (parasimpatis), pingsan (parasimpatis), sukar bernapas (simpatis), tekanan darah meningkat (parasimpatis).
15
4. Kognitif Hambatan berpikir, bingung, preokupasi, pelupa, perenungan, perhatian lemah, lapang persepsi menurun, takut akibat yang tidak khas, cenderung menyalahkan orang lain, sukar berkonsentrasi, kemampuan berkurang untuk memecahkan masalah dan belajar, serta kewaspadaan terhadap gejala fisiologis.
Faktor Yang Berhubungan Terpapar toksin, konflik tidak disadari tentang pentingnya nilai-nilai/tujuan hidup, hubungan kekeluargaan/ keturunan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, interpersonal
transmisi/penularan,
krisis
situasional/maturasi,
ancaman
kematian, ancaman terhadap atau perubahan dalam: status peran , status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, dan status ekonomi (Fitria dkk, 2013).
Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji Masalah keperawatan yang dapat timbul antara lain sebagai berikut (Fitria dkk, 2013): 1. Kecemasan/ansietas 2. Ketidakefektifan koping. 3. Gangguan citra tubuh. 4. Kurangnya pengetahuan. 5. Harga diri rendah situasional. 6. Gangguan pola tidur. Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut. 1. Data Subjektif Contoh: “Perasaan saya tidak enak saat menghadapi ujian sidang skripsi minggu depan” “Badan saya terasa gemuk saat bangun tidur” “Saya merasa sulit berkonsentrasi belajar, apalagi harus menuntaskan proposal penelitian yang harus selelsai minggu ini” 16
2. Data Objektif. a. Laju (rate) respirasi klien di atas batas normal (RR = 30x/menit). b. Klien terlihat lesu dan tidak bersemangat dalam mengikuti aktivitas. c. Klien tidak mampu menjawab pertanyaan perawat mengenai resume dari topik yang telah dibicarakan dengan perawat.
Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Tingkatan
Kecemasan No. 1.
Tingkat Tujuan Tujuan Kecem Jangka Jangka Intervensi asan Panjang Pendek Berat Klien dapat 1. Membina 1. Dengarkan keluhan klien. dan mengurangi hubungan 2. Dukung klien untuk panik kecemasann saling mendiskusikan perasaannya. ya sampai percaya 3. Jawab pertanyaan klien secara tingkat langsung. sedang atau 4. Tanyakan sikap menerima klien ringan tanpa pamrih. 5. Hargai pribadi klien 2. Menyad 1. Bersikap terbuka ari dan 2. Terima perasaan positif maupun mengont negatif termasuk perkembangan rol kecemasannya. perasaan 3. Pahami perasaan klien dengan sendiri. cara yang terapeutik. 3. Meyakin 1. Terima dan berikan dukungan kan pada klien tanpa menentang klien keyakinannya. tentang 2. Sadari tentang keyakinan rasa manfaat sakit yang dikaitkan dengan mekanis mekanisme koping. me 3. beri umpan balik pada klien koping mengenai perilaku stresor, yang penilaian dan sumber koping bersifat 4. Beri batasan perilaku maladaptif melindu dengan cara yang mendukung. nginya.
17
4. Mengide ntifikasi situasi yang dapat menyeba bkan kecemas an.
5. Menganj urkan klien meningk atkan aktivitas seharihari
2.
Sedang
6. Meningk atkan kesehata n fisik dan kesejaht eraan pasien Klien dapat 1. Menjalin menyelesaik dan an mempert masalahnya ahankan dan hubunga mengatasi n saling stress percaya. 2. Memban tu klien untuk menyada ri dan mengena 18
1. Tunjukkan sikap yang tenang perawat di depan klien. 2. Ciptakan situasi dan lingkungan yang tenang. 3. Batasi interaksi klien lain untuk mengurangi rangsangan yang dapat menimbulkan kecemasan. 4. Identifikasi dan modifikasi situasi yang tepat. 5. Beri bantuan terapi fisik seperti mandi, dipijat/masase. 1. Beri aktivitas yang bersifat mendukung atau menguatkan perilaku sosial yang produktif. 2. Beri latihan fisik sesuai bakat dan kemampuan. 3. Rencanakan jadwal aktivitas yang dapat dilakukan seharihari. 4. Libatkan keluarga dan system pendukung lainnya. 1. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat untuk menurunkan kondisi tidak nyaman pada klien. 2. Amati efek samping obat. 3. Berikan pendidikan kesehatan pada klien mengenai obat yang telah diberikan. 1. Jadilah pendengar yang baik bagi klien 2. Beri waktu yang cukup pada klien untuk berespons. 3. Berikan dukungan pada klien untuk mengeksplorasi perasaam dirinya. 1. Kenali perasaan klien. 2. Identifikasi pola perilaku klien yang dapat menimbulkan perasaan negative akibat pendekatan perawat. 3. Bersama dengan klien, gali
l stress.
3. Memban tu dirinya untuk mengena l kecemas annya.
perilaku maldaptif sehingga klien dapat belajar dan berkembang.
1. Bantu klien mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya. 2. Kaitkan perilaku klien dengan perasaannya. 3. Validasi kesimpulan dan asumsi klien. 4. Gunakan teknik konfrontasi yang positif. 4. Memperl 1. Bantu klien dalam menjelaskan uas situasi dan interaksi yang kesadara mendahului timbulnya nnya kecemasan. terhadap 2. Bersama dengan klien tinjau perkemb kembali penialain klien angan terhadap stressor yang dapat kecemas mengancam dan menimbulkan an. konflik. 3. Kaitkan pengalaman sekarang dengan pengalaman masa lalu klien yang sesuai. 5. Memban 1. Gali klien mengenai cara untuk tu mengurangi kecemasan yang dirinya terjadi pada masa lalu. mempela 2. Gali klien mengenai tindakan jari apa yang harus dilakukan pada respon masa lalu untuk mengurangi koping kecemasan baru 3. Tunjukan akibat perilaku yang maladaptif dan dekstruktif dari efektif. respon koping sekarang. 4. Beri dorongan pada klien untuk menggunakan respon koping adaptif di masa lalu. 5. Pusatkan tanggung jawab pada perubahan dari klien. 6. Terima peran aktif klien. 7. Bantu klien mengidentifikasi 19
cara untuk menyusun kembali pikiran dan modifikasi perilaku. 8. Gunakan sumber koping dan mencoba respon koping yang baru. 9. Latih klien untuk mengahadapi masalah dengan kecemasan ringan untuk aspek perkembangan diri. 10. Berikan aktivitas fidik untuk menyalurkan energi. 11. Libatkan pihak yang berkepentingan sebagai sumber dan dukngan sosialdalam membantu klien menggunakan koping respons yang baru. 6. Meningk 1. Gunakan teknik relaksasi untuk atkan mengurangi kecemasan klien. respons 2. Ajarkan klien latiuhan relaksasi relaksasi untuk meningkatkan control dan . rasa percaya diri.
C. KETIDAKBERDAYAAN (POWERLESSNESS) Ketidakberdayaan adalah keadaan dimana individu tidak mampu mengontrol dirinya sendiri pada kejadian atau situasi apa pun (Muttaqin, 2010, dalam Fitria dkk, 2013). Ketidakberdayaan juga merupakan persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan mendapat hasil atau suatu keadaan diamana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau jika yang baru dirasakan.
Tanda dan Gejala - Menutupi segala ekspresi dirinya
yang merasa tidak puas atay
ketidakmampuan mengontrol situasi miasalnya pekerjaan, prognosis, perawatan, tingkat penyembuhan yang dapat mengganggu pandangan, tujuan, dan gaya hidup (tanda mayor)
20
- Apatis, cemas, marah, perilaku kekerasan, depresi, perilaku buruk, kegelisahan, isolasi sosial dna pasif (minor).
Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji Masalah keperawatan yang mungkin dapat timbul adalah sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan. 2. Mekanisme koping tidak efektif. 3. Harga diri rendah situasional. 4. Kecemasan. 5. Isolasi sossial. 6. Risiko tinggi perilaku kekerasan. Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut. 1. Data Subjektif Contoh: “Saya tidak mampu mengendalikan situasi ini” “Saya tidak sanggup mempengaruhi situasi ini” “Saya tidak dapat mnghasilkan sesuatu yang berharga buat keluarga saya” 2. Data objektif. a. Klien tidak mau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan walaupun adanya kesempatan. b. Klien segan mengekspresikan perasaan yang sebenarnya. c. Klien apatis/pasif. d. Ekspresi muka klien murung. e. Bicara dan gerakan klien lambat. f. Nafsu makan tidak ada atau berlebihan. g. Pola tidur klien berlebihan. h. Klien berusaha menghindari orang lain.
Diagnosis Keperawatan Berdasarkan Prioritas 1. Risiko tinggi perilaku kekerasan. 2. Ketidakberdayaan. 3. Mekanisme koping tidak efektif. 21
4. Harga diri rendah situasional. 5. Kecemasan. 6. Isolasi sosial.
Rencana Tindakan Keperawatan Diagnosa Keperawatan Ketidakberda yaan
Tujuan
Intervensi
Tujuan : 1. Klien dapat melakukan cara pengambilan keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya. 2. Klien dapat mengenali dan mengekspresikan emosi. 3. Klien dapat memodifikasi pola kognitif yang bersifat negatif. 4. Klien dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkenan dengan perawatannya. 5. Pasien dapat termotivasi aktif untuk mencapai tujuan yang realistis
1. Lakukan pendekatan yang hangat, emnerima klien apa adanya dan bersifat empati. 2. Mawas diri dan cepat mengendalikan perasaan dan reakdi diri perawat sendiri (misalnya: rasa marah, frustasi dan simpati). 3. Sediakan waktu untuk berdiskusi dan bina hubungan yang sifatnya if. 4. Beri waktu untuk klien memberikan respon terhadap kejadian yang dialaminya. 5. Diskusikan tentang masalah yang dihadapi tanpa memintanya untuk menyimpulkan. 6. Identifikasi pemikiran yang negative dan bantu untuk menurunkannya melalui interupsi atau subtitusi. 7. Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.. 8. Evaluasi ketepatan persepsi, logika, dan kesimpulan yang dibuat klien. 9. Kurangi penilaian negative klien terhadap dirinya. 10. Bantu klien untuk menyadari nilai yang dimilikinya atau perilakunya dan perubahan yang terjadi. 11. Diskusikan tentang masalah yang dihadapi tanpa memintanya untuk
22
12.
13. 14.
15. 16.
17.
18.
19. 20.
menyimpulkan. Identifikasi pemikiran yang negative dan bantu untuk menurunkannya melalui interupsi atau subtitusi. Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.. Evaluasi ketepatan persepsi, logika, dan kesimpulan yang dibuat klien. Kurangi penilaian negative klien terhadap dirinya. Bantu klien untuk menyadari nilai yang dimilikinya atau perilakunya dan perubahan yang terjadi. Libatkan klien dalam menetapkan tujuan-tujuan perawtannya yang ingin dicapai. Motivasi klien untuk membuat jadwal aktivitas perawatan dirinya. Bantu klien untuk menetapkan tujuan-tujuan yang realistis. Fokuskan kegiatan pada saat ini bukan pada kegiatan masa lalu.
D. HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, serta merasa gagal mencapai keinginan sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif. Misalnya, seseorang yang mengalami kecelakaan, cerai, putus sekolah, perasaan malu karena sesuatu, dsb. Harga diri rendah situasional bila tidak diatasi dapat menyebabkan harga diri rendah kronis (Fitria dkk, 2013).
23
Faktor Penyebab 1. Faktor predisposisi a. Faktor yang memengaruhi harga diri diantaranya adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. b. Faktor yang memengaruhi performa peran adalah steriotif peran gender, tuntutan peran kerja, nilai-nilai budaya yang tidak dapat diikuti oleh individu. c. Faktor yang memengaruhi identitas pribadi adalah ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya dan perubahan struktur sosial. 2. Faktor Presipitasi a. Trauma, seperti mengalami hal yang tidak menyenangkan atau menyaksikan peristiwa yang mengancm kehidupan. b. Ketegangan peran, individu mengalami frustasi ketika dihadapkan dengan situasi yang berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan. Ada tiga jenis transisi peran : 1) Transisi peran perkembangan, perubahan normatif terkait dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu, keluarga, nilai dan norma budaya, serta tekanan untuk menyesuaikan diri. 2) Transisi peran situasi, perubahan karena bertambah atau berkurangnya anggota keluarga. 3) Transisi peran sehat-sakit, perubahan yang terjadi akibat dari keadaan sehat menjadi sakit. Dapat dicetuskan oleh hal-hal seperti kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh, serta prosedur medis dan keperawatan.
Tanda dan Gejala 1. Perasaan malu terhadap diri sendiri, misalnya karena perubahan fisik yang disebabkan oleh penyakit. 2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik, mengejek diri sendiri. 24
3. Merendahkan martabat diri sendiri. 4. Gangguan hubungan social. 5. Kurang percaya diri, sukar mengambil keputusan. 6. Mencederai diri. 7. Mudah marah, mudah tersinggung. 8. Apatis, bosan, jenuh dan putus asa. 9. Kegagalan menjalankan peran sehingga menjadi proyeksi (menyalahkan orang lain). Proses seseorang mengalami harga diri rendah situasional biasanya diakibatkan oleh koping seseorang yang tidak efektif dalam mengahadapi gangguan citra tubuh atau gangguan identitas personal. Bila harg diri rendah itu tidak teratasi seseorang terebut akan merasa tidak berdaya dan timbul keputusasaan.
Data yang Perlu Dikaji 1. Data Subjektif “Saya merasa malu dan tidak percaya diri setelah tangan saya diamputasi” “Saya tidak dapat menjadi kepala keluarga yang berguna setelah saya mengalami kelumpuhan” “Saya merasa bodoh karena saya tidak bisa lagi sekolah akibat penyakit yang saya alami” 2. Data Objektif a. Perasaan negatif terhadap diri sendiri b. Menarik diri dari kehidupan c. Kritik terhadap diri sendiri d. Destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain e. Mudah tersinggung dan marah f. Produktivitas menurun g. Penolakan terhadap diri sendiri h. Keluhan fisik
25
Diagnosa Keperawatan 1. Harga diri rendah situasional 2. Ketidakefektifan koping 3. Gangguan citra tubuh 4. Gangguan identitas personal 5. Ketidakberdayaan 6. Keputusasaan
Rencana Tindakan Keperawatan Diagnosa Keperawatan Harga diri rendah situasional
Tujuan
Intervensi
Tujuan Jangka Panjang: 1. Mengidentifikasikan Harga diri klien kemampuan dan aspek positif meningkat dalam yang masih dimiliki pasien menghadapi masalah dan membantu pasien berat yang dialami klien. menilai kemampuannya 2. Membantu pasien dalam Tujuan Jangka Pendek : memilih kegiatan sesuai 1. Klien dapat kemampuan pasien mengidentifikasi 3. Melatih kegiatan yang sudah kemampuan dan pasien pilih sesuai dengan aspek positif yang kemampuannya dimiliki. 4. Membantu pasien agar dapat 2. Klien dapat menilai merencanakan kegiatan yang kemampuan diri yang sudah dipilih dan dilatih oleh dapat digunakan. pasien dan beri kesempatan 3. Klien dapat memilih pada pasien untuk kegiatan sesuai mencobanya. kemampuan. 5. Mengidentifikasikan 4. Klien dapat melatih kemampuan dan aspek positif kegiatan yang telah yang masih dimiliki pasien dipilih dan membantu pasien menilai kemampuannya 6. Membantu memilih
pasien
dalam
kegiatan
sesuai
kemampuan pasien 26
7. Melatih kegiatan yang sudah pasien pilih sesuai dengan kemampuannya 8. Membantu pasien agar dapat merencanakan kegiatan yang sudah dipilih dan dilatih oleh pasien dan beri kesempatan pada
pasien
untuk
mencobanya
E. KEPUTUSASAAN Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi energi yang dimilikinya (Fitria dkk, 2013).
Tanda dan Gejala 1. Ungkapan klien tentang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa hampa. 2. Klien tampak mengeluh dan murung. 3. Klien berbicara seperlunya. 4. Klien menunjukan kesedihan, afek datar atau tumpul. 5. Klien mengisolasi diri. 6. Kontak mata klien kurang. 7. Klien masa bodoh terhadap situasi yang ada. 8. Klien menunjukan gejala kecemasan. 9. Nafsu makan klien berkurang. 10. Peningkatan waktu tidur klien. 11. Klien tidak mau terlibat dalam perawatan. 12. Klien mengalami penurunan perhatian.
27
Faktor Penyebab 1. Faktor Predisposisi a. Teori kehilangan, berhubungan dengan faktor perkembangan seperti kehilangan orang tua pada masa anak-anak. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang tidak berdaya dalam mengatasi kehilangan. b. Teori kepribadian, ada kepribadian seseorng yang menyebabkan seseorang rentan terhadap rasa putus asa. c. Model kognitif, putus asa merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh penilaian negatif seseorang terhadap diri sendiri, lingkungan dan masa depan. d. Model belajar ketidakberdayaan, putus asa dimulai dari hilangnya kendali diri yang kemudian menjadi pasif dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Setelah itu , akan timbul keyakinan akan ketidakmampuan mengendalikan kehidupan sehingga individu menjadi tidak berupaya untuk mengembangkan respon yang adaptif. e. Model perilaku, putus asa terjadi karena kurangnya pujian positif selama berinteraksi dengan lingkungan. f. Model biologis, dalam tubuh seseorang terjadi penurunan zat kimiawi yaitu katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan terjadi peningkatan sekresi dari kortisol. 2. Faktor Presipitasi a. Faktor biologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang mengalami gangguan fisik yang diakibatkan penyakit tertentu atau pengobatan yang berlangsung lama. b. Faktor psikologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang kehilangan kasih sayang dari seseorang yang dicintainya atau kehilangan harga dirinya. c. Faktor sosial budaya, putus asa terjadi jika seseorang mengalami kehilangan peran, misalnya karena perceraian atau kehilangan pekerjaan. Klien yang mengalami keputusasaan akan menampilkan perasaan diri negatif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar akibat dari keyakinan akan ketidakmampuan diri dalam menghadapi kehidupan. Jika
28
lingkungan eksternal kemudian tidak memberikan dukungan akan menyebabkan reaksi mengisolasi diri dan reiko tinggi bunuh diri.
Data yang Perlu Dikaji 1. Data Subjektif “Hidup saya sudah tidak ada artinya lagi karena dia meninggalkan saya” “Saya tidak dapat melakukan pekerjaan itu lagi, pada akhirnya saya akan gagal” “Kalau tidak ada lagi yang peduli pada saya, saya pergi saja dari sini” 2. Data Objektif a. Klien tampak mengeluh dan murung b. Klien berbicara seperlunya c. Klien menunjukan kesedihan, afek datar dan tumpul. d. Klien mengisolasi diri e. Kontak mata klien kurang f. Klien menunjukan gejala kecemasan g. Nafsu makan berkurang h. Peningkatan waktu tidur klien i. Klien tidak mau terlibat dalam perawatan j. Klien mengalami penurunan perhatian
Diagnosa Keperawatan 1. Keputusasaan 2. Resiko bunuh diri 3. Kehilangan 4. Harga diri rendah situaional 5. Isolasi sosial
Rencana Tindakan Keperawatan Diagnosa Tujuan Intervensi Keperawatan Keputusasaan Tujuan Jangka Panjang : 1. Bina hubungan saling percaya Klien tidak mengalami 2. Bantu klien mengenal masalah 29
keputusasaan 3. Tujuan Jangka Pendek : 1. Klien menyampaikan penderitaan yang dialami secara terbuka dan konstruktif. 2. Klien dapat mengenang dan mengulas kehidupannya yang positif. 3. Klien dapat mempertimbangkan nilai-nilai dan makna kehidupannya. 4. Klien dapat mengungkapkan perasaan optimis tentang kehidupan. 5. Klien dapat menjalin, membina dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain. 6. Klien dapat mengekspresikan keyakinan spiritual.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
keputusasaannya Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih dan keputusasaannya Bantu klien berpartisipasi dalam segala aktivitas yang positif Dukung klien untuk mengungkapkan pengalaman yang mendukung pikiran dan perasaan positif Libatkan keluarga klien sebagai sistem pendukung klien Identifikasi masalah yang dialami keluarga terkait kondisi putus asa klien Dengarkan perasaan klien dengan seksama dan perlakukan ia sebagai seorang individu Bantu klien mempelajari keterampilan koping yang efektif.
F. DUKA CITA Dukacita merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Ada dua tipe dari berduka yaitu (Fitria dkk, 2013): a. Dukacita adaptif, pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang atau ketidakmampuan fungsional tetapi dukacita masih dalam batas normal. b. Dukacita maladaptif, pengalaman individu berupa respon yang dibesarbesarkan saat mengalami kehilangan secara aktual maupun potensial. Dukacita ini dapat mengarah pada kesalahan/kekacauan. 30
Fase Berduka dari Berbagai Teori (Fitria dkk, 2013) 1. Teori Engels (1964) a. Fase I
: Syok dan tidak percaya.
b. Fase II
: Berkembangnya kesadaran.
c. Fase III
: Restitusi (mengalihkan kehilangan).
d. Fase IV
: Rasa bersalah dan menyesal.
e. Fase V
: Sudah menerima kondisinya, berkembang kesadaran baru.
2. Teori Kubler- Ross (1969) a. Penyangkalan (Denial) b. Kemarahan (Anger) c. Tawar-menawar (Bargaining) d. Depresi (Depression) e. Penerimaan (Acceptance) 3. Teori Martocchio (1985) Menggambarkan 5 fase kesedihan yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan. Reaksi kesedihan bisa reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun. 4. Teori Rando (1993) a. Penghindaran
: syok, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
: luapan emosi kuat untuk melawan kehilangan.
c. Akomodasi
: penurunan kedukaan dan kembali ke kehidupan sosial.
Jenis Berduka Jenis berduka menurut Worden tahun 1982 (Fitria dkk, 2013): T : To accept the realityof the loss (menerima realita dari kehilangan). E : Experience the pain of the loss (mengalami kepedihan akibat kehilangan). A : Adjust the new environment without the lost object (menyesuaikan lingkungan baru tanpa objek yang hilang tersebut). R : Reinvest in the new reality (memberdayakan kembali energi emosional kepada hubungan yang baru). 31
Respon Berduka 1. Dukacita adaptif (dukacita fungsional) termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan dan pengenalan psikososial. Dukacita adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang pada fungsi tubuh. Klien saat didiagnosis mungkin akan merasa sehat, tetapi mulai berduka ketika merespon informasi tentang kehilangan yang akan ia alami di masa mendatang berkaitan dengan penyakitnya. Dalam situasi ini dukacita adaptif dapat mendalam dan terbuka, dukacita adaptif tersebut mencakup melepas harapan, impian, dan harapan terhadap masa depan jangka panjang. Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal memiliki akhir yang pasti dan akan menghilang seirirng dengan kematian klien. 2. Dukacita terselubung (Dukacita disfungional), terjadi ketika seseorang mengalami rasa berduka yang tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang luas dan didukung secara sosial. Dukacita terselubung juga bisa diartikan sebagai seuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan. Individu menjadi terfiksasi pada satu tahap berduka untuk suatu periode waktu yang terlalu lama atau gejala berduka menjadi berlebihan hingga mengganggu fungsi kehidupan.
Klien yang mengalami dukacita kemungkinan diakibatkan oleh koping individu yang tidak efektif dalam menghadapi masalah yang ada. Dukacita merupakan respon dari kehilangan dan bisa ditampilkan dalam bentuk dukacita adaptif dan maladaptif. Bila dukacita ini tidak diatasi, klien akan mengalami masalah-masalah lainnya eperti gangguan pola tidur, distres spiritual, isolasi sosial dan resiko tinggi bunuh diri.
Data yang Perlu Dikaji 1. Data Subjektif “Saya tidak percaya hal menyedihkan seperti ini terjadi pada saya” “Mengapa hanya saya saja yang mengalaminya, mengapa bukan orang lain?” 32
“Saya tidak bisa tidur dan tidak semangat beraktivitas lagi” 2. Data Objektif a. Klien tampak menarik diri b. Klien duduk malas atau pergi tanpa tujuan c. Denyut jantung klien cepat
Diagnosa Keperawatan a. Dukacita b. Resiko tinggi bunuh diri c. Ketidakefektifan koping d. Gangguan pola tidur e. Distress spiritual f. Isolasi sosial g. Resiko tinggi bunuh diri
Rencana Tindakan Keperawatan Diagnosa Keperawatan Dukacita
Tujuan
Intervensi
Tujuan Jangka Panjang : 1. Klien mampu menyatakan secara verbal perilaku yang berhubungan dengan tahap berduka yang normal. 2. Klien mampu mengakui posisinya sendiri dalam proses berduka sehingga mampu memecahkan masalah sendiri 3. Klien mampu melalui proses dukacita dan menerima kehilangan Tujuan Jangka Pendek : 1. Klien dapat membina hubungan saling
1. Identifikasi tahapan berduka klien yang terfiksasi dan perilakunya. 2. Bina hubungan saling percaya dengan klien 3. Perlihatkan sikap menerima dan membiarkan klien mengekspreikan perasaannya secara terbuka. 4. Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah dan bantu mengeksplorasi rasa marahnya. 5. Bantu pasien mengarahkan rasa marahnya kepada aktivitas motorik kasar. 6. Bantu pasien untuk mengerti perasaan yang
33
percaya 2. Klien mengenali peristiwa dukacita dan kehilangan 3. Klien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi dukacita yang dialaminya 4. Klien dapat memanfaatkan faktor pendukung untuk menghadapi dukacitanya
dirasakan sesuai tahapannya dan beri pengertian bahwa perasaan itu wajar dalam proses dukacita. 7. Bantu pasien dalam menentukan metode-metode koping yang efektif dan lebih adaptif terhadap pengalaman kehilangan untuk memecahkan masalahnya 8. Dorong pasien untuk mendapatkan dukungan spiritual
G. PENYALAHGUNAAN NAPZA Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998, dalam Fitria dkk, 2013).
Rentang Repon Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013)
1. Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien
34
biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba. 2. Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya. 3. Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi. 4. Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan. 5. Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
Jenis-Jenis NAPZA (Fitria dkk, 2013) 1. Narkotika Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan 35
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman ataubukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah (Fitria dkk, 2013): 1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka. 2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut: a. Depresan
: membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulan
: membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran. 3) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein,dan lain-lain.
2. Psikotropika Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang 36
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat
terganggu.
Sedative
dan
hipnotika
seperti
barbiturat
dan
benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun
campuran
yang
dapat
membahayakan
kesehatan
lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahanbahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
37
Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013) 1. Faktor Internal a. Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini cenderung lebih banyak terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, yang ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap cara mudah yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah, yaitu dengan cara melarikan diri. b. Inteligensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya. c. Usia Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba adalah karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, pencarian identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang. d. Dorongan kenikmatan dan perasaan ingin tahu Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya perasaan enak diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. e. Pemecahan masalah Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
38
2. Faktor Eksternal a. Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu: 1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba. 2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak). 3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. 4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya. 5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. 6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu. b. Faktor kelompok teman sebaya (peer group) Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat 39
dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis. Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan. c. Faktor kesempatan Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
Tanda dan Gejala (Fitria dkk, 2013) Tanda Dan Gejala Intoksikasi Opiat eforia mengantuk bicara cadel konstipasi penurunan
Ganja eforia mata merah mulut kering banyak
Sedatif Hipnotik pengendalian diri berkurang jalan sempoyongan mengantuk memperpanjan 40
Alkohol
Amfetamin
mata merah selalu terdorong bicara cadel untuk jalan bergerak sempoyong berkering an at perubahan
kesadaran
bicara dan g tidur tertawa hilang nafsu kesadaran makan meningkat gangguan persepsi
persepsi penurunan kemampuan menilai
gemetar cemas depresi paranoid
Tanda Dan Gejala Putus Zat Opiat
Ganja
* nyeri jarang * mata dan ditemukan hidung berair * perasaan panas dingin * diare * gelisah * tidak bisa tidur
Sedatif Hipnotik cemas tangan gemetar perubahan persepsi gangguan daya ingat tidak bisa tidur
Alkohol
Amfetamin
cemas depresi muka merah mudah marah tangan gemetar mual muntah tidak bisa tidur
cemas depresi kelelahan energi berkurang kebutuhan tidur meningkat
Dampak Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013) Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara. Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak. Selain itu NAPZA juga dapat menyebabkan kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi serta hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan 41
amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis. Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan. Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian. Bagi
masyarakat,
bangsa,
dan
negara.
Penyalahgunaan
NAPZA
mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Klien yang mengalami penyalahgunaan NAPZA kemungkinn dikarenakan koping individu tidak efektif dalam menghadapi masalah yang ada. Bila penyalahgunaan NAPZA ini tidak segera diatasi maka akan timbul masalahmasalah lain seperti resiko tinggi perilaku kekerasan, perubahan persepsi sensori, kecemasan, dan isolasi sosial.
Data yang Perlu Dikaji 1. Kaji situasi kondisi penggunaan zat a. Kapan zat digunakan b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara 42
2. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat a. Berbagi peralatan suntik b. Perilaku seks yang tidak nyaman c. Menyetir sambil mabuk d. Riwayat over dosis e. Riwayat serangan (kejang) selama putus zat 3. Kaji pola penggunaan a. Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam) b. Penggunaan selama seminggu c. Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV) d. Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah bandar) e. Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai) f. Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak” atau “Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”) g. Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan) h. Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan) 4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan.
Diagnosa Keperawatan (Fitria dkk, 2013) 1. Penyalahgunaan NAPZA 2. Resiko tinggi perilaku kekerasan 3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi 4. Gangguan pola tidur 5. Kecemasan 6. Isolasi sosial 7. Koping individu tidak efektif
43
Rencana Tindakan Keperawatan (Fitria dkk, 2013) Diagnosa Keperawatan Penyalahgun aan NAPZA
Tujuan
Intervensi
Tujuan Jangka Panjang : 1. Klien mampu menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif. 2. Klien dapat merapkan cara hidup yang sehat 3. Klien patuh pada pengobatan Tujuan Jangka Pendek : 1. Klien dapat mengetahui dampak NAPZA 2. Klien mampu meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZA 3. Klien dapat mengontrol keinginan untuk menggunakan NAPZA
Fase pencegahan : 1. Berikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA 2. Pantau perubahan perilaku klien Fase pengobatan : 1. Lakukan detoksifikasi tanpa subtitusi yaitu penggunaan zat langsung diberhentikan atau dengan detokifikasi substitusi yaitu penggunaan zat diberhentikan secara bertahap dengan pengurangan dosis Fase rehabilitasi : 1. Kolaborasi untuk melakukan terapi detoksifikasi dan konsultasi medis selama 1 minggu. 2. Fasilitasi klien untuk melakukan proses pascadetokifikasi selama 2 minggu 3. Fasilitasi klien untuk menjalani rehabilitas berupa rehabilitasi psikososial (persiapan untuk kembali ke masyarakat), rehabilitasi kejiwaan (merubah perilaku maladaptif menjadi adaptif), rehabilitasi komunitas (melatih keterampilan mengelola waktu dan
44
perilaku secara efektif di komunitas) dan rehabilitasi keagamaan (pendalaman, penghayatan dan pemahaman terhadap agama dan keimanan) 4. Saat rasa nagih datang usahakan untuk mengalihkan perhatian klien dengan aktivitas lain atau libatkan teman terdekat klien untuk mengalihkannya 5. Libatkan keluarga untuk membantu merawat klien
45
BAB III RESUME ANALISIS KASUS “Lanjut atau Tidak ?” Saya X, 21 tahun, mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas Swasta di Kota Bandung. Meskipun berat, saya sangat menikmati proses perkuliahan yang berlangsung di awal perkuliahan. Berbagai tugas dan masalah yang melanda dapat saya lalui dengan baik. Pada tahun ke-3 masa perkuliahan lalu, saya mendapat cobaan yang sangat berat untuk dihadapi. Ayah saya yang merupakan tulang punggung keluarga mengalami sakit parah. Sehingga, keluarga saya mengalami kesulitan ekonomi. Kenyataan ini membuat saya bimbang untuk melanjutkan kuliah atau berhenti ditengah jalan. Tapi, saya bersyukur karena cobaan berat ini mampu saya lewati dengan adanya bantuan beasiswa dari pihak kampus. Beasiswa ini sangat membantu keberlanjutan pendidikan saya. Di sisi lain, beasiswa ini juga menjadi beban bagi saya karena banyak hal yang harus dipenuhi. Salah satu beban terberat yaitu beasiswa yang mensyaratkan untuk lulus tepat waktu dengan IPK minimal 3,3. Hal tersebut mengharuskan saya untuk mencapai target dengan belajar lebih baik lagi. Tapi, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan karena saya mengalami penurunan IPK secara drastis. Sehingga, saya mendapat SP 1 dari bantuan beasiswa yang saya dapatkan. Bagi saya, sangat mustahil untuk mengejar syarat IPK tersebut karena beban SKS yang tersisa hanya sedikit lagi. Saya menjadi sulit berkonsentrasi dalam menjalani perkuliahan dan mengerjakan skripsi dan apabila target IPK tersebut tidak bisa dicapai, maka uang yang telah diberikan oleh pihak kampus tersebut harus dikembalikan oleh penerima beasiswa. 1. Hasil Pengkajian 1) Identitas Klien Nama/Jenis Kelamin : Nn. X / P
Umur
: 21 tahun
Tanggal masuk RS
: -
No CM
: -
Alamat
: Bandung
Suku
: Sunda
Status perkawinan
: Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswi
46
Sumber data
: Wawancara
Bentuk tubuh : Ideal
2) Faktor Penyebab a. Faktor Predisposisi Berdasarkan teori Stuart dan Sundeen, terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
ansietas,
yaitu
pandangan
psikoanalitik,
pandangan
interpersonal, pandangan perilaku, kajian keluarga, dan kajian biologis. Ansietas yang terjadi dalam kasus terjadi karena faktor kajian keluarga ; ayah klien yang merupakan tulang punggung keluarga mengalami sakit parah ketika klien kuliah di tahun ke-3 masa perkuliahan sehingga keadaan ekonomi keluarga klien jatuh, faktor pandangan perilaku ; beban-beban tugas di awal perkuliahan tetapi mekanisme koping (tahap melawan) klien cukup bagus untuk masalah yang satu ini karena tidak ada gangguan pada masa usia 6 – 12 tahun (konflik industry – inferiority), dan faktor pandangan interpersonal ; pada masa usia 12 – 20 tahun menurut teori perkembangan Erik H. Erikson klien mengalami konflik antara identitas dan kebingungan peran. Klien merasa optimis masuk PTN karena klien berprestasi di masa sekolah dulu. Tapi kenyataannya klien tidak lolos masuk PTN dan akhirnya masuk Universitas swasta di kota Bandung. b. Faktor Presipitasi Penurunan IPK secara drastis yang mengancam pemberhentian beasiswa dan pengembalian seluruh biaya beasiswa yang telah diberikan oleh pihak kampus. Selain itu beberapa bulan yang lalu, adik klien mengalami kecelakaan motor yang menyebabkan korban jiwa.
3) Komponen Pengkajian Psikososial 1. Konsep diri a. Citra Tubuh Klien tidak mengeluh dengan keadaan tubuhnya.
47
b. Peran Diri Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini, klien tercatat
sebagai
mahasiswi
tingkat
akhir
yang
mengalami
kebimbangan mengenai pembiayaan kuliah karena ayahnya sakit parah. c. Ideal Diri Klien berharap dapat mencapai target dari persyaratan beasiswa yang dia dapatkan. d. Harga Diri Klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga maupun temantemannya. 2. Kecemasan Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik (Suliswati, 2005). Pada kasus ini, klien merasa cemas terhadap keberlangsungan perkuliahannya karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal yang memperparah kondisi kecemasan klien yaitu mengenai pengembalian seluruh uang beasiswa yang telah pihak kampus berikan apabila tidak memenuhi syarat yang ada. Sedangkan beban SKS yang tersisa tinggal sedikit. Klien merasa mustahil untuk mencapai target tersebut. Sehingga, klien tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam menjalani perkuliahan dan mengerjakan skripsi di semester tujuh. Klien mengalami ansietas tingkat berat karena klien memusatkan hanya pada pencapaian target beasiswa tersebut dan tidak dapat memikirkan hal lainnya. Klien juga mengalami kehilangan harapan untuk mencapai target karena beban SKS yang tersisa tinggal sedikit. 3. Depresi Klien belum mengalami fase depresi karena klien masih bisa berkomunikasi dan mengutarakan pendapatnya dengan baik.
48
4. Hubungan sosial 1) Klien menganggap orang paling berarti dalam kehidupannya yaitu orangtua nya. Ia selalu mencurahkan segala masalah yang ia hadapi kepada mereka. Tetapi, hal ini tidak membantu penyelesaian masalah klien. 2) Klien tidak mengikuti organisasi apapun baik di internal maupun eksternal kampus karena klien ingin fokus terhadap target yang ingin dicapainya. 3) Klien tidak mengalami hambatan dalam berhubungan dengan orang lain. 5. Pendidikan dan pekerjaan Klien saat ini berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Kota Bandung. 1) Gaya hidup Sebelum masalah melanda, klien selalu fokus dalam menjalani perkuliahan. Namun setelah masalah muncul, klien mulai tidak fokus dengan apa yang dijalaninya. 2) Budaya Klien tidak mengalami konflik dalam dirinya yang berhubungan dengan budayanya dalam menghadapi masalah. 6. Spiritual Masalah yang dialami klien belum mengganggu segi spiritual klien. Semua masih dalam tahap normal.
2. Rumusan Diagnosa Keperawatan Data subjektif: “saya sulit berkonsentrasi dalam menjalani perkuliahan dan mengerjakan skripsi karena apabila saya tidak bisa mencapai target IPK yang ditentukan saya harus mengganti semua uang yang telah diberikan pihak kampus” Data objektif: klien terlihat lesu dan tidak bersemangat saat proses wawancara berlangsung. Diagnosa keperawatan: Kecemasan 49
3. Tindakan Keperawatan Tingkat Tujuan No Kecema Jangka san Panjang 1. Berat Klien dapat
Tujuan jangka Pendek 1. Membina
mengurangi
hubungan
kecemasann
saling
ya sampai
percaya
tingkat
Intervensi a. Dengarkan keluhan klien b. Dukung
klien
untuk
mendiskusikan perasaannya c. Jawab pertanyaan klien secara langsung
sedang atau
d. Tanyakan sikap menerima
ringan
klien tanpa pamrih e. Hargai pribadi klien 2. Menyadari dan
a. Bersikap terbuka b. Terima
perasaan
positif
mengontrol
maupun
perasaan
perkembangan kecemasannya
sendiri
negatif
termasuk
c. Pahami perasaan klien dengan cara terapeutik
3. Meyakinkan
a. Terima dan berikan dukungan
klien
pada klien tanpa menentang
tentang
keyakinannya
manfaat
b. Sadari keyakinan tentang rasa
mekanisme
sakit yang dikaitkan dengan
koping
mekanisme koping
yang bersifat melindungi nya
c. Beri umpan balik pada klien mengenai perilaku stresor d. Beri
batasan
perilaku
maladaptif dengan cara yang mendukung
4.Mengidentifi kasi situasi 50
a. Tunjukkan sikap yang tenang perawat di depan klien
yang dapat menyebabk an kecemasan
b. Ciptakan
situasi
dan
lingkungan yang tenang c. Batasi interaksi klien lain untuk mengurangi rangsangan yang dapat
menimbulkan
kecemasan d. Identifikasi situasi
dan
modifikasi
yang
dapat
menyebabkan kecemasan e. Beri bantuan terapi fisik seperti mandi, massase 5.Menganjurka
a. Beri aktifitas yang bersifat
n klien
mendukung
meningkatk
yang produktif
an aktivitas sehari-hari
perilaku
sosial
b. Beri latihan fisik sesuai bakat dan kemampuan c. Rencanakan jadwal aktvitas yang dapat dilakukan seharihari d. Libatkan keluarga dan sistem pendukung lainnya
6.Meningkatka
a. Kolaborasi
dengan
dokter
n kesehatan
pemberian
obat
untuk
fisik dan
menurunkan
kondisi
tidak
kesejahtera
nyaman pada klien
an klien
b. Amati efek samping obat c. Berikan pendidikan kesehatan pada klien mengenai obat yang telah diberikan
51
4. Evaluasi S : Klien merasa lebih tenang dalam menghadapi masalah serta bisa kembali fokus dalam menjalani dua semester terakhir di perkuliahannya. Klien merasa optimis dapat mencapai target yang ingin dicapai. O : Klien terlihat lebih antusias dalam mencapai target persyaratan beasiswa. A : Analisis diagnosa
; diagnosa telah dapat diatasi
Analisis kemampuan ; klien sudah mampu mengatasi masalahnya P : klien harus mendistraksikan kecemasan yang mungkin muncul dengan hal yang positif (mis. Kegiatan yang ia gemari.
52
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media. Fitria, N. dkk. 2013. Laporan Pendahuluam tentang Masalah Psikososial. Jakarta: Salemba Medika. Maramis, W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan 9. Surabaya: Airlangga University Press. Satya, J. 2004. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. Edisi 2. Jakarta: EGC. Suliswati. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Videbeck, S. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Edisi revisi. Bandung: Refika Aditama.
53