MIGAS UNTUK SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT
Minyak Bumi dan Gas bumi (Migas) merupakan komoditi strategis di muka bumi di era modern. Konon, karena migas lah maka Amerika Serikat (AS) menabuh genderang perang di seluruh dunia. Mulai dari Irak dengan ikut menjatuhkan Saddam Hussein, salah satu tiran Timur Tengah, menangkap hidup-hidup serta mempermalukan Khadafi, pemimpin Libya, ikut serta dalam kisruh politik Mesir serta mempertahankan Monarkhi-monarkhi di timur tengah yang pro pada kepentingan AS di timur tengah seperti Raja Abdullah
di
Arab
Saudi,
Raja
UAE,
Qatar
dan
lain-lain.
Migas merupakan industri yang sangat strategis. Sebab, migas masih menjadi sumber energi utama dunia. Menurut International Energy Agency (IEA) dalam Key World Energy Statistic 2010, lebih dari separuh tingkat
konsumsi energi dunia pada tahun 2008 berasal dari migas dengan share 68,7% . Adapun konsumsi minyak atau BBM mencapai 48,7%. Posisi ini tidak jauh berubah dibandingkan dengan tahun 1973 saat share konsumsi global sebagai energi final untuk migas mencapai 74,6%. Amerika Serikat merupakan konsumen minyak bumi terbesar meski juga produsen nomor 3 dunia dengan kapasitas produksi 9 juta barel perhari. Tahun 2010 konsumsi minyak AS mencapai 19,1 juta barel perhari atau 22% dari konsumsi global yang setiap harinya memerlukan 86,7 juta barel
(2)
.
Tingkat konsumsi minyak AS ini mengalahkan jumlah konsumsi Cina, Jepang, India dan Rusia yang mencapai 18,3 juta barel perhari. Adapun tingkat konsumsi perkapita AS lebih dari 10 liter perhari. Bandingkan dengan Indonesia yang konsumsi perkapitanya hanya 0,77 liter perhari. Migas paling tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku. Minyak bumi penyumbang 46,77 % sumber energi nasional sedang gas bumi 24,29%
(3)
,
artinya
Indonesia
tergantung
81%
terhadap
migas
untuk
memenuhi kebutuhan energinya. Sebagai bahan baku Industri terutama Petrokimia, migas merupakan bahan baku hampir seluruhnya
consumer
goods untuk digunakan manusia modern baik untuk memproduksi pupuk, karet sintetis, plastic , mainan anak-anak, barang-barang rumah tangga sampai barang-barang industry berat lainnya. Itulah mengapa Minyak Bumi kadang disebut “Emas Hitam”. Masih tingginya peranan migas sebagai sumber utama energi dunia menempatkan industri migas sangat strategis dari sisi keamanan nasional. Tanpa pasokan migas yang memadai dan ketersediaan infrastrukturnya, sebuah negara dapat terguncang baik dari sisi ekonomi, industri, pelayanan publik, transportasi, militer, pangan maupun sosial. Karena itu negara-
negara ideologis yang memahami letak strategis industri migas berupaya mengamankan sektor migasnya, tidak terkecuali AS. AS berupaya menguasai ladang-ladang migas dunia dengan menancapkan imperialisme ekonomi di berbagai negara yang memiliki cadangan migas. Jika ada negara yang menghalangi kepentingan AS, senjatalah yang akan “bicara” sebagaimana ditunjukkan oleh invasi AS di Afganistan dan Irak. Pemisahan Sudan Selatan melalui referendum baru-baru ini adalah juga bagian dari strategi AS untuk menguasai sumberdaya alam dan cadangan migas di negeri itu. Sangat strategisnya industri migas bagi keamanan nasional AS tampak dari kasus penolakan pemerintah AS terhadap tawaran akuisisi BUMN Cina CNOOC terhadap Unocal yang tidak lain hanyalah perusahaan swasta saja. Seorang politisi AS Byron Dorgan mengatakan, “Unocal berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing.”
(3)
.
Lalu bagaimana dengan Indonesia. Peta di bagian awal tulisan ini dapat menjelaskan status tahun 2012 penguasan sektor hulu migas di Indonesia. Migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Hampir serupa dengan negara timur tengah kondisi Industri hulu migas Nasional sangat didominasi asing. UU No. 22 tahun 2001 yang memisahkan peran Pertamina sebagai Badan Usaha dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral c.q Ditjen Migas serta Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas sebagai Regulator. Dengan pola Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) Pengelolaan sektor hulu migas terlihat banyak inefisiensi untuk tidak mengatakan rawan korupsi. Kasus Rudi Rubiandini merupakan puncak gunang es dari pengelolaan sektor hulu migas.
UU Migas No 22 Tahun 2001 memang sangat kontroversial, tak kurang dari 3 kali telah diajukan untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi, terakhir pada bulan Maret 2012 lalu oleh PP Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya serta tokoh-tokoh penting negeri kembali mengajukan uji materi, khususnya pasal yang mengatur mengenai keberadaan BP Migas (sekarang SKK Migas) dan BPH Migas yang disinyalir sarat kepentingan asing. Bagaimana bisa Migas yang ada diperut bumi Indonesia digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sedang Undang-undangnya saja jelasjelas dibiayai asing dalam hal ini USAID. Rizal Ramli dalam dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli Judicial Review di MK
Perkara Nomor
36/PUU-X/2012 Pengujian UU Migas No 22 Tahun 2001 pada tanggal 18 Juli 2012 mengatakan bahwa proses pembuatan UU ini dibiayai USAID dengan tujuan sektor migas diliberalisasi dan terjadi internationalisasi harga, yaitu harga domestic migas disesuaikan harga international. Menurut Rizal Ramli pertama kali draft Rancangan Undang Undang ini diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto pada masa pemerintahan Presiden Habibie, tetapi saat itu ditolak oleh DPR RI atas saran Rizal Ramli yang saat itu menjadi penasehat ekonomi di DPR RI untuk empat Fraksi, yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi PDIP. Kemudian selama pemerintahan Presiden Gus Dur, Rancangan Undang Undang ini nyaris tidak ada kemajuan karena pada saat itu ditolak oleh Kwik Kian Gie yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan.
Kemudian setelah Kwik Kian Gie menjadi Kepala Bappenas
jabatan itu dilanjutkan oleh Rizal Ramli yang juga menolak draft RUU tersebut. Bulan Juli 2001, pemerintahan Gus Dur jatuh, berganti dengan pemerintahan Presiden Megawati, Rancangan Undang Undang ini kemudian
diajukan kembali ke DPR RI dengan sangat cepat oleh Boediono dan Purnomo Yusgiantoro dan selesai pada bulan November 2001. Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington DC bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 telah berhasil diselesaikan, hal ini penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat dan conditionalities nya, dan sering diimingimingi dengan pinjaman, yang dikenal sebagai “loan-tied-law” atau undangundang yang dikaitkan dengan pinjaman. Dalam sejarah legislasi di Indonesia, pembuatan undang-undang dengan model “loan-tied-law” ini menawarkan
sangat
U$300.000.000,00
sering
terjadi,
misalnya
dengan
syarat
Pemerintah
saat
ADB
Indonesia
membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN. Lalu Undang-Undang Privatisasi Air
dipesan
oleh
Bank
Dunia
dengan
memberikan
pinjaman
U$400.000.000,00. padahal air yang didalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat pun mau diswastanisasikan. Undang-Undang Migas pun merupakan undang-undang yang termasuk dalam kriteria itu, oleh karenanya tidak mungkin tujuannya benar-benar untuk mensejahterakan rakyat. Sudah pasti ada kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut mendompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut. Kebanyakan produk legislasi dengan model “loan-tied-law” ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena merupakan pintu masuk dari proses
liberalisasi
dan
neoliberalisasi
dibidang
ekonomi. Seharusnya,
pembuatan undang-undang tidak boleh diintervensi dan dibiayai oleh pihak asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, sehingga undang-undang tersebut
benar-benar dapat melindungi kepentingan rakyat. Tidak mungkin pihak asing
mau
membiayai
pembuatan
undang-undang
tanpa
melibatkan
kepentingan strategis mereka. Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington DC bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 telah berhasil diselesaikan, hal ini penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat dan conditionalities nya, dan sering diimingimingi dengan pinjaman, yang dikenal sebagai “loan-tied-law” atau undangundang yang dikaitkan dengan pinjaman. Dalam sejarah legislasi di Indonesia, pembuatan undang-undang dengan model “loan-tied-law” ini menawarkan
sangat
U$300.000.000,00
sering
terjadi,
misalnya
dengan
syarat
Pemerintah
saat
ADB
Indonesia
membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN. Lalu Undang-Undang Privatisasi Air
dipesan
oleh
Bank
Dunia
dengan
memberikan
pinjaman
U$400.000.000,00. padahal air yang didalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat pun mau diswastanisasikan. Undang-Undang Migas pun merupakan undang-undang yang termasuk dalam kriteria itu, oleh karenanya tidak mungkin tujuannya benar-benar untuk mensejahterakan rakyat. Sudah pasti ada kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut mendompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut. Kebanyakan produk legislasi dengan model “loan-tied-law” ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena merupakan pintu masuk dari proses
liberalisasi
dan
neoliberalisasi
dibidang
ekonomi. Seharusnya,
pembuatan undang-undang tidak boleh diintervensi dan dibiayai oleh pihak
asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, sehingga undang-undang tersebut benar-benar dapat melindungi kepentingan rakyat. Tidak mungkin pihak asing
mau
membiayai
pembuatan
undang-undang
tanpa
melibatkan
kepentingan strategis mereka. Tabel yang diajukan oleh Pembela tentang “pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 hanya
menyangkut
pengaturan
kebijakan,
pengelolaan,
pengurusan,
pengawasan, dikuasai oleh negara. Tidak ada istilah dimiliki karena yang paling penting sebetulnya pemiliknya, walaupun di dalam Undang- Undang Dasar 1945 kita sendiri dikatakan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya siapa pemiliknya? Ya rakyat, secara tidak langsung,
kalau
tidak,
buat
apa
digunakan
sebesar-besarnya
untuk
kemakmuran rakyat. Jadi sesungguhnya didalam Pasal 33 itu secara implisit sudah ada kata “dimiliki” walaupun tidak eksplisit, sehingga sumber daya alam tersebut sebetulnya milik rakyat. Kemudian ada hal-hal lain yang cukup penting di Pasal 3 Undang-Undang Migas
No
22
Tahun
2001,
harus able dan diselenggarakan
dengan
usaha yang wajar, sehat dan transparan.
penyelenggaraan
mekanisme
persaingan
Hal ini adalah cara dan
mekanisme, padahal yang paling penting itu prinsip dan tujuan yang ada di Pasal 33 ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Prinsip dan tujuannya yang paling penting, tetapi kok didalam undang-undang itu mekanismenya
malah
yang
lebih
diutamakan.
Di
sinilah
virus
dari
neoliberalisme itu masuk. Menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut sistem Production Sharing Contract. Sebetulnya PSC bukan satu-satunya modus, ada kerja sama operasi (t Operation), ada kepemilikan langsung (Ownership). Negara-negara yang berhasil di sektor migas terutama di negara-negara
Arab dan Latin Amerika itu tidak memakai model PSC, tetapi memakai konsep
kepemilikan
langsung.
Seperti
Aramco
yang
dikuasai
oleh
Pemerintah Saudi Arabia dalam bentuk kepemilikan saham mayoritas, sementara pihak asingnya minoritas. Sistem kepemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSC karena cost-control nya bisa dilakukan secara internal, wakil dari pemerintah duduk didalam manajemen, ikut melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan kontrol keuangan dan proses alih teknologi juga dapat berjalan dengan baik.. Dan yang kedua adalah data mengenai produksi yang anjlok dari 1.300.000 barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tetapi recovery cost nya naik hampir dua kali lipat, sementara dari pihak yang seharusnya menjelaskan tidak pernah ada penjelasan yang transparan. Kemudian ada Pasal 10 di Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001 yang berbunyi “Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.” Pasal itu bagus, supaya tidak ada monopoli vertikal. Tetapi dalam prakteknya, Shell atau Beyond Petroleum misalnya, mudah sekali membuat perusahaan migas sektor hilir, walaupuncore business nya tetap di hulu. Kalimat-kalimat di pasal itu, multiinterpretasi, sangat sumir. Dalam prakteknya, tetap terjadi integrasi vertikal. Penutup Melihat fakta-fakta diatas masihkah kita bisa bermimpi bahwa migas kita bisa digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Kita lah yang harus menjawab di Revisi UU Migas No. 22 tahun 2001 yang sedang digodok di DPR RI. Peran Seluruh elemen rakyat sangat besar untuk memberikan rumusan terbaik agar Migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bukan hanya sekedar mimpi tapi bukti bahwa Indonesia berdaulat atas kekayaan alam nya sendiri. Wallahu bi’alam bi shawab.
(1)
Ketua Bidang Kajian Isu Strategis Kahmi Depok 2013-2018
(2)
US Energy Information istration, Short-Term Energy Outlook February 2011
(3)
Bauran Energi Nasioanal 2011 Ditjen Migas
(4)
Republika, 18/7/2005
(5)
OPEC, Annual Statistic Bulletin 2009
(6)
Transkrip Dr. Rizal Ramli – Saksi Ahli Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 Pengujian UU
Migas No 22 Tahun 2001 pada tanggal 18 Juli 2012 Sumber: Harian Umum Pelita, Sabtu, 23 November 2013