ANEMIA APLASTIK
A. Defenisi Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan korfirmasi laboratorium (Sylvia, 2006). Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang (Bambang, 2012). Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (Solander, 2006). B. Klasifikasi Anemia Aplastik Anemia
aplastik
umumnya
diklasifikasikan
sebagai
berikut : 1. Klasifikasi menurut kausanya : a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. b. Sekunder : bila kausanya diketahui. c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi 2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
1
a. Anemia aplastik berat Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria berikut : 1) Netrofil < 500/ul 2) Trombosit < 20.000/ul 3) Retikulosit < 60.000/ul b. Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil < 200/ul c. Anemia aplastik tidak berat Pasien
yang
tidak
memenuhi
kriteria
anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : 1) Netrofil < 150/ul 2) Trombosit < 10.000/u; 3) Hemoglobin < 10 g/dl C. Etiologi Penyebab anemia aplastik dapat congenital, idiopatik (penyebabnya
tidak
diketahui)
atau
sekunder
akibat
penyebab-penyebab industry atau virus (Hoffbrand, Pettit, 1993 dalam Sylvia, 2006). Anemia aplastik sering diakibatkan oleh
radiasi
dan
paparan
bahan
kimia.
Akan
tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik. 1. Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) a. Anemia aplastik sekunder 1) Radiasi 2) Bahan-bahan kimia dan obat-obatan a) Efek regular : Bahan-bahan sitotoksik, Benzene
2
b) Reaksi Idiosinkratik : Kloramfenikol, NSAID, Anti epileptic, Emas, Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya 3) Virus a) Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) b) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) c) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) d) Human
immunodeficiency
virus
(sindroma
immune defisiensi yang didapat) 4) Penyakit-penyakit Imun a) Eosinofilik fasciitis b) Hipoimunoglobulinemia c) Timoma dan carcinoma timus d) Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi 5) Paroksismal nokturnal hemoglobinuria 6) Kehamilan b. Idiopathic aplastic anemia 2. Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia) a. Anemia Fanconi b. Diskeratosis kongenita c. Sindrom Shwachman-Diamond d. Disgenesis reticular e. Amegakariositik trombositopenia f. Anemia aplastik familial g. Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) h. Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel) D. Patofisiologi Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologii penyakit ini yaitu : 1. Kerusakan sel induk hematopoietik 2. Kerusakan lingkungan mikro sum-sum tulang 3. Proses imunologik yang menekan hematopoiesis Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia),
terutama
anemia
Fanconi
disebabkan
oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang
3
didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis
dari
kebanyakan
anemia
aplastik
yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited (diwariskan) anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki risiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1
(gen
Mekanisme menjadi
yang
terkait
bagaimana
anemia
dengan
kanker
berkembangnya
aplastik
dari
payudara).
anemia
sensitifitas
Fanconi
mutagen
dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti. Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem
imun
mungkin
merupakan
mekanisme
utama
patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada
4
stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis). Aplasia berat disertai penurunan (kurang dari 1%) atau tidak
adanya
500/mm3
retikulosit,
jumlah
granulosit
jumlah
trombosit
kurang
dan
kurang dari
dari
20.000
menyebabkan kematian akibat infeksi dan atau perdarahan dalam
beberapa
minggu
atau
beberapa
bulan.
Sepsis
merupakan penyebab tersering kematian (Young, 2000 dalam Sylvia, 2006). Namun, pasien dengan penyakit yang lebih ringan dapat hidup bertahun-tahun. Karena infeksi dan perdarahan merupakan penyebab utama kematian, maka pencegahan
merupakan
hal
seperti
G-CSF
pertumbuhan meningkatkan
jumlah
yang
penting.
dapat
neutrofil
dan
Faktor-faktor
digunakan
untuk
mencegah
atau
meminimalkan infeksi. 4. Tanda dan Gejala Kompleks gejala anemia aplastik disebabkan oleh derajat pansitopenia.
Tanda
gejala
meliputi
anemia,
disertai
kelelahan, kelemahan, dan nafas pendek saat latihan. Tanda dan gejala lain diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan sel darah
putih.
Defisiensi
trombosit
dapat
menyebabkan
ekimosis dan petekie (perdarahan di dalam kulit), epistaksis, (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan system saraf pusat. Defisiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus dan jamur (Sylvia, 2006). Hipoplasia
eritropoietik
akan
menimbulkan
anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lainlain.
Pengurangan
elemen
lekopoisis
menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi
5
peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
5. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan Darah Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan.
Anemia
yang
terjadi
bersifat
normokrom normositer, tidak disertai dengan tandatanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Kadang-kadang
pula
dapat
ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah
neutrofil
dan
monosit.
Limfositosis
relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang
dari
500/mm3
dan
trombosit
kurang
dari
20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.
6
Jumlah
trombosit
berkurang
secara
kuantitias
sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan. Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan
waktu
pembekuan
akibat
adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi. b. Pemeriksaan sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada
kebanyakan
kasus
gambaran
partikel
yang
ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada
7
beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah. Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi
dapat
memberikan
kesan
hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsy dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis. Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun. International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang. 2. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan
diagnosa
anemia
aplastik.
Survei
skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum
tulang
yang
diturunkan,
karena
banyak
diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan
MRI
(Magnetic
Resonance
Imaging)
memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak. 6. Komplikasi Komplikasi anemia aplastik (Bambang, 2012) adalah :
8
1. Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang) 2. Infeksi 3. Perdarahan 7. Penatalaksanaan / Pengobatan Pengobatan anemia aplastik, jika diketahui penyebabnya ditujukan untuk menghilangkan agen penyebab. Focus utama pengobatan
adalah
perawatan
if
sampai
terjadi
penyembuhan sumsum tulang (Sylvia, 2006). Tindakan pencegahan sebaiknya meliputi lingkungan yang dilindungi dan hygiene keseluruhan yang baik. Pada perdarahan atau infeksi, penggunaan yang bijaksana terapi komponen darah (sel darah merah dan trombosit) serta antibiotic menjadi penting. Agen perangsang sumsum tulang seperti androgen dapat menginduksi eritropoiesis, walaupun efektivitasnya tidak pasti. Pasien anemia aplastik kronis beradaptasi dengan baik dan dapat dipertahankan pada kadar hemoglobin antara 8 dan 9 g/dl dengan transfuse darah periodic. Pada individu muda dengan anemia aplastik berat yang sekunder akibat kerusakan sel induk, diindikasikan untuk melakukan transplantasi sel induk alogenik dengan donor yang
cocok.
leukocyte
(saudara
antigens
kandung
(HLA)
dengan
manusia
yang
histocompatible cocok.
Angka
keberhasilan secara keseluruhan melebihi 80% pada pasien yang sebelumnya tidak ditransfusi. Pada pasien yang lebih tua dengan anemia aplastik atau pada kasus yang diyakini dimediasi secara imunologis, antibody yang mengandung globulin antihimosit (ATG) terhadap sel T diguankan bersama dengan kortikosteroid dan siklosporin member manfaat pada 50% hingga 60% pasien. Respon dapat diharapkan dalam waktu 4 hingga 12 minggu. Secara umum, respon ini parsial tetapi cukup tinggi untuk meningkatkan perlindungan pada
9
pasien dan memungkinkan kehidupan yag lebih nyaman (Linker, 2001 dalam Sylvia, 2006). Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi
akibat
granulositopenia
dan
monositopenia
memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien. Manajemen Awal Anemia Aplastik: 1. Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik. 2. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. 3. Pendarahan hebat
akibat
trombositopenia
trombosit sesuai yang dibutuhkan. 4. Tindakan pencegahan terhadap
infeksi
:
transfusi
bila
terdapat
neutropenia berat. 5. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF. 6. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. Terapi standar untuk
anemia
aplastik
meliputi
imunosupresi
atau
transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor risiko
10
seperti
infeksi
aktif
atau
beban
transfusi
harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapat
sumsum
tulang.
terapi
imunosupresif
Pasien
yang
atau
lebih
transplantasi
muda
umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik. 8. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Keperawatan a. Aktifitas / Istirahat Gejala : letih, lemas, malas, toleransi terhadap latihan rendah, kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak. Tanda : tachycardia, tachipnea, dispnea jika istirahat atau bekerja, apatis, lesu, kelemahan otot dan penurunan kekuatan, tubuh tidak tegak. b. Sirkulasi Gejala : riwayat kehilangan darah kronis, endokarditis, palpitasi. Tanda : hipotensi postural, disritmia, abnormalitas EKG, bunyi jangtung murmur, ekstremitas pucat, dingin,
pucat
pada
membrane
mukosa
(konjungtiva, mulut, faring, bibir dan dasar kuku), pengisian kapiler lambat, rambut keras). c. Eliminasi Gejala : riwayat pielonefritis, gagaj ginjal, hematemesis, melena, diare, konstipasi, penurunan haluaran urine. Tanda : distensi abdomen. d. Makanan dan Cairan Gejala : penurunan masukan diet, nyeri menelan, mual, muntah, anorexia, penurunan berat badan. Tanda : lidah merah, membrane mukosa kering, pucat, tangan kulit kering, stomatitis.
11
e. Hygiene Tanda dan Gejala : kurang bertenaga, penampilan tidak rapih. f. Neurosensori Gejala : sakit
kepala,
tinnitus,
berdenyut,
insomnia,
pusing,
penurunan
vertigo,
penglihatan,
keseimbangan buruk, parestesia tangan/kaki, sensasi dingin. Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur,
apatis,
respon
lambat
dan
dangkal,
hemoragis retina, epistaksis, perdarahan dari lubang-lubang, gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar. g. Nyeri / Kenyamanan Gejala : nyeri abdomen samar, sakit kepala. h. Keamanan Gejala : riwayat terpajan bahan kimia, riwayat terpajan radiasi
baik
sebagai
pengobatan
atau
kecelakaan, tidak toleran terhadap panas atau dingin,
penyembuhan
lukan
buruk,
sering
infeksi. Tanda : demam, keringat malam, linfadenopati, petekie, dan ekimosis. i. Penyuluhan Gejala : kecenderungan
keluarga
untuk
anemia,
penggunaan anti konvulsan masa lalu/saat ini, antibiotic,
agen
kemoterafi
(gagal
tulang), aspirin, anti inflamasi. 2. Prioritas Keperawatan a. Peningkatan perfusi jaringan b. Memberikan kebutuhan nutrisi/cairan c. Mencegah komplikasi d. Memberikan informasi tentang psoses
sumsum
penyakit,
prognosis, dan program pengobatan. 3. Tujuan Pemulangan a. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi mandiri atau dengan bantuan orang lain.
12
b. Komplikasi tercegah/minimal. c. Proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami. 4. Diagnosa Keperawatan a. Perubahan perfusi jaringan 1) Dapat dihubungkan dengan : penurunan komponen seluler
yang
diperlukan
untuk
pengiriman
oksigen/nutrient ke sel. 2) Kemungkinan dibuktikan oleh : palpitasi, angina, kulit pucat, membrane mukosa kering/kaku/ dan rapuh, ekstremitas
dingin,
penurunan
haluaran
urine,
mual/muntah, distensi abdomen, penurunan tekanan darah, pengisian kapiler lambat, ketidakmampuan berkonsetrasi, disorientasi. 3) Hasil yang diharapkan :
menunjukkan
perfusi
adekuat, misalnya tanda vital stabil; membrane mukosa berwarna merah muda, pengisian kapiler baik, haluaran urine adekuat; mental seperti biasa. Intervensi : Mandiri 1) Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan membrane mukosa. 2) Selidiki keluhan nyeri
dada,
sesak
nafas
dan
perhatikan bunyi nafas tambahan. 3) Catat respon verbal yang melambat, agitasi, mudah terangsang, status mental. 4) Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas. Kolaborasi 5) Awasi pemeriksaan laboratorium misalnya : Hb, Ht, SDM, GDA. 6) Berikan SDM lengkap, produk darah sesuai indikas. 7) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. 8) Siapkan intervensi untuk pembedahan sesuai indikasi. b. Ansietas/cemas 1) Dapat dihubungkan dengan : lingkungan, orang, prosedur diagnostic/ transfusi.
13
2) Kemungkinan dibuktikan oleh : anak dan keluarga bertanya tentang prosedur yang akan dilakukan, lingkungan yang asing bagi anak, anak nampak gelisah dan takut, ekspresi wajah tegang. 3) Hasil yang diharapkan : anak dan
keluarga
menunjukkan ansietas yang minimal. Anak dan keluarga
menunjukkan
pemahaman
tentang
gangguan, tes diagnostic, dan pengobatan. Intervensi : Mandiri 1) Libatkan orang tua bersama anak dalam persiapan prosedur diagnosis 2) Jelaskan tujuan pemberian komponen darah 3) Antisipasi peka rangsang anak, kerewelan dengan membantu aktivitas anak 4) Dorong anak untuk mengekspresikan perasaan 1) Berikan darah, sel darah atau trombosit sesuai dengan
ketentuan,
dengan
harapan
anak
mau
menerima c. Intoleransi kativitas 1) Dapat dihubungkan dengan : ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan. 2) Kemungkinan dibuktikan oleh : kelemahan dan kelelahan,
mengeluh
aktivitas/latihan, istirahat/tidur.
penurunan
lebih Palpitasi,
toleransi
banyak
memerlukan
takikardi,
peningkatan
TD/respon pemapasan dengan kerja ringan. 3) Hasil yang diharapkan : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
Intervensi : Mandiri 1) Kaji kemampuan
kativitas,
keluhan
lelah,
dan
penurunan kekuatan. 2) Awasi perubahan tanda vital.
14
3) Beri lingkungan tenang dan aktivitas terjadwal. 4) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing. 5) Rencanakan kemajuan
kativitas
dengan
pasien,
termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu. 6) Gunakan teknik penghematan energy, mislnya : duduk jika melakukan aktivitas. d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 1) Dapat dihubungkan dengan : kegagalan mencerna
atau
ketidakmampuan
untuk
mencerna
makanan/ absorpsi nutrien yang diperlukan atau pembentukan SDM normal. 2) Kemungkinan dibuktikan oleh : penurunan berat badan dan tingggi badan, penurunan lipatan kulit trisep, perubahan gusi dan membrane mukosa mulut, penurunan
toleransi
aktivitas,
kelemahan,
dan
kehilangan tonus otot. 3) Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat
badan,
nilai
laboratorium
normal,
tidak
mengalami tanda malnutrisi, menunjukkan perilaku dan perubahan pola hidup untuk meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang sesuai. Intervensi : Mandiri 1) Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai. 2) Observasi dan catat masukan makanan pasien. 3) Observasi dan catat kejadian mual/muntah dan gejala lain yang berhubungan. 4) Timbang berat badan setiap hari. 5) Berikan makanan sidikit dan frekuensi sering. 6) Berikan dan bantu hygiene mulut yang baik, sebelum dan sesudah makan. Kolaborasi 7) Berikan diet halus,
rendah
serat,
menghindari
makanan panas, pedas, atau terlalu asam sesuai indikasi.
15
8) Berikan suplemen nutrisi, misalnya : Ensure, Isocal. e. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit 1) Factor risiko meliputi : perubahan sirkulasi dan neurologis (anemia), gangguan mobilitas, dan deficit nutrisi. 2) Kemungkinan
dibuktikan
diterapkan; adanya
tanda
oleh
:
tidak
dapat
dan gejala membuat
diagnosa actual. 3) Hasil yang diharapkan : mempertahankan integritas kulit, mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal. Intervensi : Mandiri 1) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi. 2) Ubah posisi secara periodic dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau di tempat tidur. 3) Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun. 4) Bantu untuk latihan rentang gerak aktif atau pasif. 5) Gunakan alat pelindung, misalnya : kasur tekanan udara/air, pelindung tumit/siku, dan bantal sesuai indikasi.
f. Konstipasi atau diare 1) Dapat dihubungkan dengan : penurunan masukan diet, perubahan proses pencernaan, efek samping terapi obat. 2) Kemungkinan dibuktikan oleh : perubahan pada frekuensi,
karakteristik,
dan
jumlah
faeces,
mual/muntah, penurunan nafsu makan, laporan nyeri abdomen tiba-tiba, gangguan bunyi usus.
16
3) Hasil yang diharapkan : membuat/kembali pola normal dan fungsi usus, menunjukkan perubahan perilaku/pola
hidup
yang
diperlukan
sebagai
penyebab atau factor pemberat. Intervensi : Mandiri 1) Observasi warna faeces, konsistensi, frekuensi, dan jumlah. 2) Awasi masukan dan haluaran dengan perhatian khusus pada makanan/cairan. 3) Dorong masukan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung. 4) Hindari makanan yang membentuk gas. 5) Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare. Kolaborasi 6) Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang dengan tinggi serat. 7) Berikan pelembut faeces, stimulant ringan (jika konstipasi) dan anti diare jika diare. g. Risiko tinggi terhadap infeksi 1) Factor risiko meliputi : pertahanan sekunder tidak adekuat misalnya : penurunan Hb, leukopeni, atau granulosit (respon inflamasi tertekan). Pertahanan utama tidak adekuat misalnya : kerusakan kulit, statis cairan tubuh, prosedur invasive, penyakit kronis, malnutrisi. 2) Kemungkinan dibuktikan diterapkan; adanya
tanda
oleh
:
tidak
dapat
dan gejala membuat
diagnosa actual. 3) Hasil yang diharapkan : membuat/kembali pola normal dan fungsi usus, menunjukkan perubahan perilaku/pola
hidup
yang
diperlukan
sebagai
penyebab atau factor pemberat. Intervensi : Mandiri
17
2) Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien. 3) Pertahankan teknik
aseptic
ketat
pada
prosedur/perawatan luka. 4) Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat. 5) Dorong perubahan
posisi/ambulasi
yang
latihan batuk, dan nafas dalam. 6) Tingkatkan masukan cairan adekuat. 7) Pantau/batasi pengunjung. Berikan
sering,
isolasi
bila
memungkinkan. 8) Pantau suhu. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam. 9) Amati eritema/cairan luka. Kolaborasi 10)
Ambil specimen untuk kultur/sensivitas sesuai
indikasi. 11) Berikan antiseptic topical : antibiotic sistemik. h. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis atau kebutuhan pengobatan. 1) Dapat dihubungkan dengan mengingat,
salah
:
interpretasi
kurang
terpajan,
informasi,
tidak
mengenal sumber informasi. 2) Kemungkinan dibuktikan oleh : pertanyaan meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, tidak akurat menginkuti instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah. 3) Hasil yang diharapkan : menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostic, dan rancana pengobatan. Melakukan
Mengidentifikasi tindakan
yang
factor
penyebab.
perlu/perubahan
pola
hidup. Intervensi : Mandiri
18
1) Berikan
informasi
tentang
anemia
spesifik.
Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya anemia. 2) Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic. 3) Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk anemia. 4) Instruksikan pasien/orang terdekat tentang pemberian besi parenteral. 5) Diskusikan pentingnya kerentanan terhadap infeksi, tanda/gejala yang memerlukan intervensi medis.
9. Penyimpangan KDM
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Bambang P, Ugrasena, Ratwita M, 2012. Anemia Aplastik. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf= &html=07110-qhze241.htm Doenges E.M, Moorhouse M.F, Geissler A.C, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Erika K.A, Hariati S, Seniwati T, 2011. Buku Ajar Keperawatan Anak, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar. Solander H. 2006. Anemia aplastik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Sylvia A.P, Wilson L.M, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Volume 1, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Wong D.L, 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
21