LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA APLASTIK Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal di Ruang 27 RSSA Malang
Oleh : DANASTRI DANNISWARI 115070201111023
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
DEFINISI ANEMIA a. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009) Kriteria Anemia menurut WHO Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL Wanita hamil Hb < 11 gr/dL b. Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Ada tiga kelompok besar anemia: Perdarahan secara berlebihan. Misalnya perdarahan saluran cerna, keluarnya darah haid
secara berlebihan, hemoroid (wasir) dan sebagainya. Penurunan atau gangguan produksi sel darah merah. Ini dapat terjadi akibat kurangnya zat
besi, vitamin B 12, dan folat. Penghancuran sel darah merah yang berlebihan, misalnya akibat penyakit talassemia dan penyakit autoimun.
KLASIFIKASI ANEMIA Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009) A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a. ANEMIA APLASTIK b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik B. Anemia akibat perdarahan 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) - Thalasemia - Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler a. Anemia hemolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009) A. Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalasemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik B. Anemia normokromik normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik C. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
1. DEFINISI ANEMIA APLASTIK a. Menurut The National Organization for Rare Disorders (NORD, 2008), anemia aplastik adalah kelainan yang memiliki karakteristik berupa kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi selsel darah yang cukup untuk sirkulasi. Kekurangan produksi sel-sel darah tersebut berpotensi sangan serius atau dapat menjadi penyakit yang fatal apabila tidak diatasi sebagaimana mestinya. b. Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsure pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsure produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler, juga dapat mempengaruhi megakaryosit mengarah pada neutropenia (Sacharin, 2002).
c.
Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang memiliki karakteristik berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum tulang.
2. EPIDEMIOLOGI ANEMIA APLASTIK Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.
3. KLASIFIKASI ANEMIA APLASTIK Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : A. Klasifikasi menurut kausa2 : 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. 2. Sekunder : bila kausanya diketahui. 3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
Anemia Aplastik Berat
Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30%
sel hematopoietik residu, dan Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5x109/l trombosit <20x109 /l retikulosit < 20x109 /l Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l
Anemia Aplastik Sangat Berat Anemia Aplastik Bukan
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau
Berat
sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 1,5x109/l trombosit < 100x109/l hemoglobin <10 g/dl
4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui. Anemia yang
Aplastik Didapat
(Acquired Aplastic Anemia)/ Anemia
Aplastik
Sekunder
Anemia yang
Aplastik
diturunkan
(Inherited Aplastic Anemia)/ Anemia Aplastic Ideopatik
Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular Bahan-bahan sitotoksik Benzene Reaksi Idiosinkratik Kloramfenikol NSAID Anti epileptik Emas Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglobulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan Anemia Fanconi Diskeratosis kongenita Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
a. Radiasi Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis. Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi
yang lebih tinggi Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik. b. Bahan-Bahan Kimia Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum c.
tulang dan pansitopenia. Obat-Obatan Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obatobatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.
Obat-Obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah. d. Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle
cell anemia,
sferositosis
herediter, dan lain-lain).
Pada pasien
yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi. Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang. e. Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, f.
retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa. Pekerjaan Pekerja tani di rural Thailand memiliki hubungan penting dengan anemia aplastik. Pestisida agrikultur telah dilaporkan berhubungan dengan anemia aplastik. Hubungan signifikan yang telah diteliti pada pestisida agrikultur yang disebut organofosfat, DDT, dan karbamat.15 Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida rumah tangga yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat 2 penelitian case-control yang meneliti pajanan cat dan benzene yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik.
Terdapat pula hubungan signifikan untuk lem dan tinner.8 g. Status sosial ekonomi Terdapat trend signifikan dalam peningkatan risiko dengan penurunan tahun edukasi dan pemasukan rumah tangga total. Status sosioekonomi bukan merupakan kausa anemia aplastik namun lebih pada indicator pada faktor risiko lingkungan yang
memungkinkan agen-agen infeksius, dan pajanan toksik yang prevalensinya lebih sering terjadi pada individu dengan status sosioekonomi yang rendah. 5. MANIFESTASI KLINIK ANEMIA APLASTIK Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Keluhan yang Dirasakan Klien Jenis Keluhan Pendarahan Lemah badan Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak nafas Penglihatan kabur Telinga berdengung
% 83 80 69 36 33 29 26 23 19 13
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis. Hasil Pemeriksaan Fisik yang Ditemukan pada Klien Jenis Pemeriksaan Fisik Pucat Pendarahan
Kulit Gusi
% 100 63 34 26 20 7
Retina Hidung Saluran cerna Vagina
6 3 16 7 0
Demam Hepatomegali Splenomegali 6. PATOFISIOLOGI ANEMIA APLASTIK Terlampir 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK A. Pemeriksaan laboratorium a. Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokromik normositik. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif ditemukan pada lebih dari 75% kasus. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik. Perbedaan antara gambaran sumsum tulang normal dan sumsum tulang aplastik dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar. Sumsum tulang normal (kiri) dan aplastik (kanan) b. Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Menurut Widjanarko dkk (2007), 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
c. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Fase hemostasis lainnya normal. d. Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai criteria diagnosis. e. Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, parvovirus dan sitomegalovirus. f.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab g. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridation (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler. h. Defisiensi Imun Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan i.
pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada
anemia aplastik. B. Pemeriksaan Radiologik a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang ebrlemak dan sumsum tulang berseluler. b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk. 8. DIAGNOSA BANDING Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia, namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostic yang baru telah
mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman tentang kegagalan sumsum tulang. Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital.2 Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah sel kecil sel-sel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik hipoplastik. a. Myelodisplasia Hiposeluler Membedakan anemia aplastik dari sindom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak terjadi. Proporsi sel-sel CD34 di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asal/induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34, sedangkan pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34 merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi selsel SD34 adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5-1,0 %) atau lebih tinggi pada sindrm myelodisplastik hipoplastik. Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat controversial. Kromosom umumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas structural relative sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperseluler dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposeluler, selain itu, perubahan morfoya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia. Perbedaan antara anemia aplastik dengan MDS hiposeluler sulit didapatkan. Baik anemia aplastik maupun MDS dapat ditemukan diseritropoiesis. Mikromegakaryosit di
sirkulasi,
blas
di
ssirkulasi,
cincin
sideroblas,
disgranulopoiesis,
dismegakaryositopoiesis, lokalisasi abnormal pada precursor imatur, fibrosis sumsum tulang, dan peningkatan blas lebih banyak menetap pada MDS. Kemunculan morfologik tersebut didapatkan pada perubahan anemia aplastik menjadi MDS. Pada penelitian terbaru, 3 kasus anemia aplastik dengan sitogenetik normal berubah menjadi MDS dengan dismegakaryositopoiesis dan monosomi. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa pewarnaan specimen biopsy trephine sumsum tulang untuk SD34 dan sel proliferasi antigen nuclear dapat membantu untuk diferensial
diagnosis
antara
anemia
aplastik
dan
mDS.
Penelitian
terbaru
memperlihatkan pewarnaan CD61 untuk mengevaluasi megakaryosit. Meskipun monosomi 7 telah terlihat melibatkan megakaryosit, hal tersebut tidak spesifik untuk turunan megakaryosit pada gangguan myeloid.
Penelitian Dollan et al (2005)
menganjurkan bahwa pada kasus anemia aplastik dengan monosomi 7 harus dievaluasi secara teliti untuk dismegakaryosit yang dapat mengindikasikan MDS.
A. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada hapusan aspirasi sumsum tulang (Pewarnaan Wright-giemsa, pembesaran 2000x) B. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada biopsy trephine sumsum tulang (Pewarnaan H&E, pembesaran 1200x)
A. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine sumsum tulang yang memperlihatkan megakaryosit displastik setelah penambahan monosomi 7 (pembesaran 400x) B. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine pada anemia aplastik sebelumnya dengan karyotipe normal (pembesaran 400x) b. Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan sel-sel khusus pada glow
cytometri, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoclonal populasi sel T.2 c. Anemia Aplastik dan Paroxysmal Haemoglobinuria Paroxyxmal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetic PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfosfatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravascular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk meng-inaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham, dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan jaman (obsolete). Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sevaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai “peristiwa klonal lanjut” bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietic pada saat datang. 9. PENATALAKSANAAN ANEMIA APLASTIK Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien. Manajemen Awal Anemia Aplastik Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi
siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik. Alogaritma Penanganan Klien Anemia Aplastik Berat
a. Pengobatan if Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada : Anemia aplastik bukan berat Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. Protocol Pemberian ATG Dosis test ATG : ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan. Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) : Asetaminofen 650 mg peroral Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus Hidrokortison 50 mg intravena perbolus Terapi ATG : ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG : Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu. Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati. Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.
Pemberian
dosis
tinggi
siklofosfamid
juga
merupakan
bentuk
terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG. c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies) Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktorfaktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolic Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte- Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi GCSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastik ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. d. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya
reaksi
penolakan
sumsum
tulang
donor
(Graft
Versus
Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Kelangsungan Hidup Klien dengan Transplantasi Sumsum Tulang dari Donor Saudara dengan HLA yang Cocok Hubungannya dengan Umur Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetap survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali. Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut:
Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3. Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan
trombosit dibawah 100.000/mm3. Refrakter : tidak ada perbaikan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ANEMIA APLASTIK PENGKAJIAN 1. Identitas klien Kaji nama klien, jenis kelamin, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat. 2. Status kesehatan saat ini Keluhan utama : pada keluhan utama akan nampak semua apa yang dirasakan klien pada saat itu seperti kelemahan, nafsu makan menurun dan pucat. 3. Riwayat kesehatan saat ini Bagaimana proses klien dibawa ke rumah sakit dan penanganan awal yang telah dilakukan baik oleh keluarga maupun tenaga kesehatan. 4. Riwayat kesehatan terdahulu Kaji riwayat penyakit yang pernah di derita klien sebelumnya. Kaji pula apakah tanda-tanda anemia aplastik telah muncul sejak klien kecil. 5. Riwayat kesehatan keluarga Kaji apakah keluarga juga ada yang menderita penyakit anemia aplastik. 6. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum : tampak pucat b. Kesadaran : komposmentis, GCS 4-5-6 c. Tanda vital Tensi : 100/60 mmHg Nadi : 96 kali/menit, kualitas kuat Suhu : 35,6 °C Respirasi : 24 kali/menit, teratur Berat Badan : 28 Kg (79% standar BB/U) Tinggi Badan : 128 cm (89 % standar TB/U) d. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada sianosis, tidak ditemukan hemangioma, tidak ditemukan hematom/purpura/ ekimosis di bawah kulit, turgor cepat kembali, kelembaban cukup, kulit tampak pucat. e. Kepala/leher Kepala : Bentuk kepala simetris, ukuran mesosefali, ubun-ubun besar datar, ubun-ubun kecil sudah menutup. Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak terdapat alopesia. Mata : Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah dicabut dan tidak mudah rontok, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, produksi air mata cukup, pupil berdiameter 3mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih. Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada secret, serumen minimal, nyeri tidak ada. Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat epistaksis, kotoran hidung minimal. Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, bercak darah (-). Gusi tidak berdarah dan tidak bengkak. Bibir tampak anemis. Lidah : Bentuk simetris, anemis, tidak tremor, tidak kotor, warna merah keputihan. Pharing : Tidak tampak hiperemis, tidak edema, tidak ada abses, tidak ada pseudomembran.
Tonsil : Warna merah muda, tidak membesar, tidak ada abses/pseudomembran. f. Leher : Pada vena jugularis tidak teraba pulsasi, tekanan vena jugularis tidak meningkat, pembesaran kelenjar leher tidak teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada, tortikolistidak ditemukan. g. Toraks Pulmo Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada Pernapasan: Inspirasi dan ekspirasi normal, frekuensi 24 kali/menit, teratur Palpasi : Pergerakan napas dada simetris, fremitus fokal simetris kanan dan kiri Perkusi : Suara ketok sonor Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing Jantung Inspeksi : Tidak terlihat adanya vousseure cardiaque, pulsasi dan ictus Palpasi : Tidak teraba adanya thrill, apeks tidak teraba Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS kanan Batas kiri : ICS V LMK kiri Batas atas : ICS II LPS kanan Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak terdapat bising, tidak ada takikardia, frekuensi 96 kali/menit, reguler h. Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, simetris Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba (tidak ada organomegali), tidak ditemukan massa Perkusi : Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites Auskultasi : Bising usus (+) normal Ekstremitas Umum : Akral hangat, tidak edema, tidak ada parese, kedua telapak tangan dan kaki
i.
tampak pucat Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi, tidak didapatkan klonus, reflek fisiologis tidak meningkat, reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal. Tanda rangsangan meningeal tidak ada j. Susunan saraf : Dalam batas normal k. Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Pemeriksaan genitalia tidak didapatkan adanya kelainan Anus : Positif, tidak ada kelainan
l.
Aktivitas/ istirahat Gejala: keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas/; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak. Tanda:takikardia/takipnae; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-
tanda lain yang menunujukkan keletihan. Sirkulasi
Tanda: TD: peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia: abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung: murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna): pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabuabuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera: biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut: kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara
premature (AP). Eliminasi Gejala: Riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan
haluaran urine. Tanda: distensi abdomen. Integritas ego Gejala: Keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah. Tanda: Depresi. Makanan / cairan Gejala: penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya. Tanda: lidah tampak merah daging/halus; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit: buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas. Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir: selitis, misalnya inflamasi bibir
dengan sudut mulut pecah. Hygiene Gejala : Keletihan / kelemahan Tanda : Penampilan tidak rapi. Neurosensori Gejala: Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo,
tinnitus, ketidak mampuan
berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah; parestesia tangan/kaki; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin. Tanda: Peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental: tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik: hemoragis retina (aplastik). Epitaksis:
perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan
rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis. Nyeri / kenyamanan Gejala : Nyeri pada punggung, sakit kepala. Tanda : Penurunan rentang gerak, gelisah. Pernafasan Gejala : Dispnea saat bekerja. Tanda : Mengi Keamanan Gejala: riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi. Tanda: demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan
ekimosis (aplastik). Seksualitas Gejala : Kehilangan libido. 7. Pemeriksaan laboratorium Hematologi Hb : kurang dari L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr% Leukosit : kurang dari : 4700 – 10.500 μL Hematokrit : kurang dari L : 40-50%; P : 35-45%) Retikulosit : 0,04% corrected (normal : 0,5-1,5%) Nilai absolut : 312/μL (normal : 25.000-75.000) Trombosit : kurang dari 150.000-350.000) WBC : 2,1 x 103/μL RBC : 0,78 x 106/μL Lymph : 1,4 x103/μL HGB : 2,8 g/dL Mid : 0,2 x103/μL HCT : 7,8% Gran : 0,5 x 103/μL MCV : 100,8 fL MCH : 35,8 pq RDW-SD : 65,8 fL MCHC : 35,8 g/dL PLT : 5 x 103/μL RDW-CV : 18,,4 % Apusan Darah Tepi Eritrosit : normokromik normositik, anisositosis Leukosit : kesan Σ menurun, sel muda (-), limfositosis relatif Trombosit : kesan jumlah sangat menurun Kesan : pansitopenia Saraf : BMA Pemeriksaan Sumsum Tulang Sediaan dipulas : Wright Partikel : ada Kepadatan sel : kurang Sel lemak : banyak Trombopoesis : menurun, megakaryosit tidak ditemukan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien anemia sel sabit baik aktual maupun potensial adalah sebagai berikut : a
Nyeri berhubungan dengan diogsigenasi jaringan (Hb menurun).
b
Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan fungsi / gangguan pada sum-sum tulang.
c
Aktifitas intolerance berhubungan dengan kelemahan otot.
d
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan.
e
Integritas kulit berhubungan dengan menurunnya aliran darah ke jaringan.
f
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
g
Kecemasan / kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.
INTERVENSI KEPERAWATAN 1.
Nyeri berhubungan dengan diogsigenasi jaringan (HB rendah) Tujuan : Tidak merasakan nyeri, Tindakan keperawatan a. Kaji tingkat nyeri Rasional: Dengan mengkaji tingkat nyeri dapat mempermudah dalam menentukan intervensi selanjutnya. b. Anjurkan klien teknik nafas dalam. Rasional : Dengan menarik nafas dalam memungkinkan sirkulasi O2 ke jaringan terpenuhi. c. Bantu klien dalam posisi yang nyaman. Rasional : Mengurangi ketegangan sehingga nyeri berkurang. d. Kolaborasi pemberian penambah darah Rasional : Membantu klien dalam menaikkan tekanan darah dan proses penyembuhan.
2.
Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan fungsi/ gangguan sumsum tulang. Tujuan : Perfusi jaringan adekuaT Tindakan keperawatan : a.
Ukur tanda-tanda vital: Rasional : Untuk mengetahui derajat/ adekuatnya perfusi jaringan dan menentukan intevensi selanjutnya.
b.
Tinggikan kepala tempat tidur klien
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler c.
Pertahankan suatu lingkungan yang nyaman. Rasional : Vasekonstriksi menurunkan sirkulasi perifer dan menghindari panas berlebihan penyebab vasodilatasi.
d.
Anjurkan
klien
untuk
menghentikan
aktivitas
bila
terjadi
kelemahan.
Rasional : Stres kardiopulmonal dapat menyebabkan kompensasi.
3.
Aktivitas intolerance berhubungan dengan kelemahan otot Tujuan : aktifitas toleransi, Dengan kriteria : klien bisa melakukan gerakan motorik halus. Tindakan keperawatan: a.
Kaji tingkat aktifitas klien Rasional : Untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan klien dan untuk menetukan intervensi selanjutnya.
b.
Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien Rasional : Untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
c.
Bantu pasien dalam melakukan latihan aktif dan pasif Rasional : Untuk meningkatkan sirkulasi jaringan
d.
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADLnya. Rasional : Dengan bantuan perawat dan keluarga klien dapat memenuhi kebutuhannya.
e.
Berikan lingkungan tenang Rasional : Meningkatkan istirahat untuk menurunkan regangan jantung dan paru.
4.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan. Tujuan : Nutrisi terpenuhi Dengan kriteria : nafsu makan meningkat, porsi makan dihabiskan. Tindakan keperawatan : a.
Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai Rasional : Mengidentifikasi efisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
b.
Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering dan bervariasi Rasional : Pemasukan makanan atau menambah kekuatan dan diberikan sedikit-sedikit agar pasien tidak merasa bosan.
c.
Beri HE tentang pentingnya makanan atau gizi Rasional : Makanan yang bergizi dapat mempercepat penyembuhan penyakitnya.
d.
Timbang berat badan setiap hari. Rasional : Mengawasi penurunan BB atau efektivitas intervensi nutrisi.
e.
Penatalaksanaan pemberian vitamin B1. Rasional : Vitamin bisa menambah nafsu makan.
f.
Konsul pada ahli gizi Rasional : Membantu dalam membuat rencana diit untuk memenuhi kebutuhan individu.
5.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan menurunnya aliran darah ke jaringan Tujuan : Mempertahankan integritas kulit Dengan kriteria : kulit segar, sirkulasi darah lancar Tindakan keperawatan . a. Kaji
integritas
kulit,
catat
pada
perubahan
turgor,
gangguan
warna
Rasional : Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilitas b. Anjurkan permukaan kulit kering dan bersih Rasional : Area lembab, terkontamiansi memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik c. Ubah posisi secara periodik Rasional : Meningkatkan sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia jaringan / mempengaruhi hipoksia selular. d. Tinggikan ekstremitas bawah bila duduk Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan statis vena / pembentukan edema. 6.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit Tujuan : Mencegah / menurunkan resiko infeksi Tindakan keperawatan a) Berikan perawatan kulit
Rasional : Menurunkan resiko kerusakan kulit / jaringan dan infeksi b) Dorong perubahan posisi / ambulasi yang sering Rasional : Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu mobilisasi sekresi c) Tingkatkan masukan cairan adekuat Rasional : Membantu dalam mengencerkan sekret pernafasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah statis cairan tubuh d) Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardia. Rasional : Adanya proses inflamasi / infeksi membutuhkan evaluasi / pengobatan. 7.
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya Tujuan : Memahami tentang penyakitnya, mau menerima keadaan penyakitnya, klien tidak bertanya tentang penyakitnya Tindakan keperawatan a)
Berikan informasi tentang penyakitnya Rasional : Memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat, menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi
b)
Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya Rasional : Memberi pengetahuan berdasarkan pola kemampuan klien untuk memilih informasi
c)
Dorong mengkonsumsi sedikitnya 4 – 6 liter cairan perhari Rasional : Mencegah dehidrasi dan konsekuensi hiperviskositas yang dapat membuat sabit / krisis.
d)
Dorong latihan rentang gerak dan aktivitas fisik teratur dengan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat. Rasional : Mencegah demineralisasi tulang dan dapat menurunkan resiko fraktur.
DAFTAR PUSTAKA Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8. Bakshi S. 2009. Aplastic Anemia. http://www.emedicine.com/med/ topic162.html. Diakses pada tanggal 5 September 2015 Pukul 17.00 WIB. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000.
Niazzi M, Rafiq F. 2008. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. http://www.jpmi.org/org_detail.asp. Dikases pada tanggal 5 September 2015 Pukul 17.25 WIB. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. IPD FKUI Pusat. Jakarta. Sembiring, Samuel PK. 2009. Anemia Aplastik. http:/www.morphostlab.com. Diakses pada tanggal 5 september 2015 Pukul 17.14 WIB. Alkhouri, Nabiel and Solveig G Ericson. Aplastic Anemia : Review of Etiology and Treatment. Hospital Physician ; 1999. Bakta, I Made Prof,dr. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC ; 2006. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.