Preskas
IKTERUS NEONATORUM Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh : Diana Hasmarina 0807101010139
Pembimbing : Dr. dr. Bakhtiar, M.Kes, Sp.A
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BLUD/RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2014
KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT akhirnya referat dengan judul “Ikterus Neonatorum” dapat kami selesaikan dalam rangka memenuhi salah satu tugas kami sebagai dokter muda yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak periode 27 Januari 2013 – 22 Maret 2014. Dengan selesainya tugas referat ini, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Bakhtiar, M.Kes, Sp.A sebagai pembimbing yang dengan sabar telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan referat ini, namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu sumbangan gagasan, kritikan, saran dan masukan yang membangun akan penulis terima dengan senang hati demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua .
Banda Aceh, Maret 2014
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ikterus neonatorum atau yang dikenal juga dengan neonatal jaundice merupakan kondisi yang cukup sering terlihat selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% pada bayi preterm.1 Penyakit ini ditandai dengan munculnya warna kuning pada tubuh dan selaput mata dan jaringan mukosa tubuh lainnya pada bayi baru lahir yang terjadi akibat akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar yang dibentuk dari hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial. Selain itu dapat juga disebabkan oleh endapan pigmen sesudah pigmen ini di dalam mikrosom sel hati diubah oleh
enzim
asam
uridin
difosfoglukoronat
(urine
diphospoglucuronic acid) glukoronil transferase menjadi bilirubin ester glukoronida yang polar, larut dalam air (bereaksi-direk). Bentuk bilirubin tak terkonjugasi inilah yang bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar tertentu. Keadaan ini selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya kernikterus yang merupakan sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak.2,3 Warna kuning pada bayi baru lahir adakalanya merupakan suatu hal yang alamiah (fisiologis) terjadi. Ikterus fisiologis ini biasanya dapat terlihat pada hari ke-2 hingga hari ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus jenis ini diduga diakibatkan oleh kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah
janin
yang
dikombinasikan
dengan
keterbatasan
konjugasi
bilirubin sementara oleh hati.2 Insidensi ikterus neonatorum bervariasi di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan di Departemen Neonatologi di Louis Turcanu Children Clinical Emergency Hospital di Timisouri dari tahun 2008-2009 adalah sebanyak 35 neonatus (1,71%) dari 2.035.4 Sementara prevalensi ikterus neonatorum berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Abakaliki Nigeria Selatan yang dilakukan dari 1 Januari 2008 hingga 1 Desember 2009 adalah sekitar 35%. 5 Ikterus neonatorum patologis ini menyebabkan morbiditas yang tinggi pada neonatus yang dapat menyebabkan terjadinya kernikterus yang dapat merusak otak neonatus. 6 Melihat tingginya kasus ikterus neonatorum, maka penulis tertarik untuk membahas ikterus neonatorum lebih lanjut agar didapatkan pemahaman etiologi, mekanisme terjadinya ikterus neonatorum, gejala klinis, alur diagnosa, hingga terapi ikterus neonatorum terkini sehingga semakin cepat ikterus neonatorum ini terdeteksi, maka semakin cepat penanganan yang dapat diberikan sehingga morbiditas ikterus neonatorum dapat turun.
BAB II LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama
: By. Maya Dewi
Tanggal Lahir / Umur : 23 Januari 2014/ 5 hari Alamat
: Banda Sakti, Lhokseumawe
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Nomor CM
: 0988744
Jaminan
: JKRA
Tanggal Masuk
: 28 Januari 2014
Tanggal Pemeriksaan : 06 Februari 2014 Nama orang tua Ayah
: Tn.Zulkarnaini
Ibu
: Ny. Maya Dewi
Umur
: 24 tahun
Umur
: 23 tahun
ANAMNESA Keluhan Utama Sesak Keluhan Tambahan Bayi tampak kuning Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak sejak lahir. Setelah 2 hari berada di RSUDZA bayi tampak kuning. Warna kuning tampak pertama kali pada kepala, muka, kemudian menyebar ke dada, perut sampai lutut. Bayi tampak menangis
kuat. Pasien adalah seorang bayi laki-laki, anak keempat dari Ny. Maya Dewi yang dilahirkan secara Sectio Cesarea dengan indikasi Pre Eklampsia Berat, dengan berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepala 36 cm dengan usia gestasi 36-37 minggu. Bayi lahir tidak segera menangis. Air ketuban jernih dan tampak tali pusat putih mengkilat, dengan APGAR Score 7/8. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Pemakaian Obat Riwayat Kehamilan Ibu Selama kehamilan ibu ANC teratur di dokter setiap bulan. ibu mempunyai riwayat darah tinggi selama kehamilan dengan tekanan darah tertinggi 160/100 mmHg. Riwayat sakit kuning, kelainan darah dan kekurangan darah dalam keluarga disangkal. Riwayat mengonsumsi jamu-jamuan selama hamil/saat bersalin disangkal. Riwayat Persalinan Pasien merupakan anak keempat, pasien lahir secara sectio saecarea atas indikasi preeklamsia berat. Pasien lahir tidak segera menangis, dengan berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepala 36 cm. Anak pertama dan kedua mengalami keguguran akibat tekanan darah ibu yang terlalu tinggi. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal 06 Februari 2014 Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos Mentis
Heart rate
: 130 x/menit
Pernapasan
: 48 x/menit
Suhu
: 37,3 oC
Antropometri
: BB : 2890 gram PB : 49 cm Usia : 11 hari
Skor APGAR
Appearance (Warna Kulit) Pulse (Frekuensi Jantung) Grimace (Reaksi terhadap
Menit 1 1 2 1
Menit 5 2 2 1
Rangsangan) Activity (Tonus Otot) Respiration (Pernapasan)
2 1
2 1
Kepala
Lingkar Kepala
: 36 cm
Rambut
: Hitam, distribusi merata
Kulit
Wajah
Mata : Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks
: Warna kuning pada wajah,dada, perut sampai lutut : Simetris, deformitas (-)
cahaya (+/+), Pupil isokor bulat 3 mm/3 mm
Hidung
: Sekret (-/-), Napas cuping hidung (-)
Telinga
: Normotia, Serumen (-/-)
Mulut
: Mukosa bibir lembab (+), Sianosis ( - )
Leher
: Pembesaran KGB ( - )
Thorax Inspeksi
: Retraksi interkostal (-)
Palpasi
: Sf kanan= Sf kiri
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: Suara napas dasar vesikuler (+/+) Suara napas tambahan ronki (-/-) whezing (-/-)
Jantung Inspeksi
: Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus Cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: BJ I > BJ II , reguler (+), bising (-)
Abdomen Inspeksi
: Simetris, distensi (-)
Palpasi
: Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: Peristaltik (+) N
Ekstremitas
: - Superior : sianosis (-/-) - Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-) - Akral hangat
RESUME Pasien datang dengan keluhan sesak sejak lahir. Pasien. Setelah 2 hari berada di RSUDZA bayi tampak kuning. Warna kuning tampak pertama kali pada kepala, muka, kemudian menyebar ke dada, perut sampai lutut. Bayi tampak menangis kuat. Pasien adalah seorang bayi laki-laki, anak keempat dari Ny. Maya Dewi yang dilahirkan secara Sectio Cesarea dengan indikasi Pre Eklampsia Berat, dengan berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepala 36 cm dengan usia gestasi 36-37 minggu. Bayi lahir tidak segera menangis. Air ketuban jernih dan tampak tali pusat putih mengkilat, dengan APGAR Score 7/8. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan Heart Rate 130 x/menit, laju pernafasan 48 x/menit dan pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi terlihat kuning pada wajah, dada, perut sampai lutut. DIAGNOSA SEMENTARA/DIAGNOSA KERJA Ikterus Neonatorum
TERAPI 1.O2 1 l/menit 2. Diet ASI
3. Terapi Sinar PROGNOSIS Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam FOLLOW UP HARIAN Tanggal/hari rawatan
Catatan
Instruksi
07-02-2014 S/ kuning (+), sesak (-) H-1 O/ VS/ HR = 132 x/menit BBL: 3000 RR = 49 x/menit gram T = 37 oC PF/ Kepala : normocephali Mata : konj.palp.inf pucat (-/-) Sklera ikterik (-/-), RCL (+/ +),RCTL (+/+) Hidung : NCH (-), secret ( - ) Telinga : Normotia, Serumen ( - ) Mulut :Mukosa bibir basah (+),sianosis (-) Leher : pemb. KGB (-) Thoraks : simetris, retraksi (-), Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-) Abdomen: soepel, H/L teraba, timpani (+), peristaltik (+)N Ektremitas : Superior : sianosis (-/-) Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-) kuning (-/-) Kulit : CRT < 3s, Akral hangat Genitalia : (+) Ass/ Ikterus Neonatorum
Th / 1.O2 1 l/menit
08-02-2014 H-2
Th / 1.O2 1 l/menit
S/ Kuning (+), sesak (-) O/ VS/ HR = 140 x/menit
2. Diet ASI 3. Terapi Sinar
P/ - Cek Total
Bilirubin
Direk,
BBL: gram
3000
RR = 44 x/menit T = 36,8oC
PF/ Kepala : Normocephali Mata : konj.palp.inf pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), RCL (+/ +),RCTL (+/+) Hidung : NCH ( - ), secret ( - ) Telinga : Normotia, Serumen ( - ) Mulut : Mukosa bibir basah (+),sianosis (-) Leher : pemb. KGB (-) Thoraks : kuning, simetris, retraksi (-), ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Cor : BJ I > BJ II, reg, bising (-) Abdomen: kuning, soepel, timpani (+), peristaltik (+)N Ektremitas : Superior : sianosis (-/-) Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-) Kuning (+/+) Kulit : CRT < 3s, Akral hangat Genitalia : (+) Ass/ Ikterus Neonatorum 09-02-2014 S/ kuning (-) sesak (-) H-3 O/ VS/ HR = 135 x/menit BBL: 3000 RR = 49 x/menit gram T = 37,4 oC PF/ Kepala : normocephali Mata : konj.palp.inf pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), RCL (+/ +),RCTL (+/+) Hidung : NCH ( - ), secret ( - ) Telinga : Normotia, Serumen ( - ) Mulut : Mukosa bibir basah (+),sianosis (-) Leher : pemb. KGB (-) Thoraks : simetris, retraksi (-), ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
2. Diet ASI 3. Terapi Sinar P/
Th / 1.O2 1 l/menit 2. Diet ASI
P/
Abdomen: soepel, timpani (+), peristaltik (+)N Ektremitas : Superior : sianosis (-/-) Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-) Kuning (-/-) Kulit : CRT < 3s, Akral hangat Genitalia : (+) Ass/ Ikterus Neonatorum 10-02-2014 S/ kuning (-) sesak (-) H-4 O/ VS/ HR = 138 x/menit BBL: 3000 RR = 42 x/menit gram T = 37,1 oC PF/ Kepala : normocephali Mata : konj.palp.inf pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), RCL (+/ +),RCTL (+/+) Hidung : NCH ( - ), secret ( - ) Telinga : Normotia, Serumen ( - ) Mulut : Mukosa bibir basah (+),sianosis (-) Leher : pemb. KGB (-) Thoraks : simetris, retraksi (-), ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-) Abdomen: soepel, timpani (+), peristaltik (+)N Ektremitas : Superior : sianosis (-/-) Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-) Kuning (-/-) Kulit : CRT < 3s, Akral hangat Genitalia : (+) Ass/ Ikterus Neonatorum BAB III
Th / 1.O2 1 l/menit 2. Diet ASI
P/
ANALISA KASUS
Telah diperiksa seorang bayi perempuan usia 8 hari di RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 6 Febuari 2014 dengan keluhan utama sesak dan bayi tampak kuning. Pasien didiagnosa dengan ikterus neonatorum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 3.1 Ikterus Neonatorum Diagnosis ikterus neonatorum pada kasus ini ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penuunjang. Dari hasil anamnesa didapatkan bayi mulai tampak kuning pada hari ke-2 setelah pasien masuk RSUDZA yaitu ketika bayi berusia 6 hari. Manifestasi klinis dari ikterus neonatorum, dimana didapatkannya warna kuning tampak pada tubuh pasien. Seperti yang telah diketahui, ikterus ditandai dengan warna tubuh, sklera, serta jaringan tubuh lainnya berwarna kuning.2 Ikterus neonatorum merupakan keadaan yang ditandai dengan munculnya warna kuning pada kulit, sklera, serta lapisan mukosa tubuh lainnya pada neonatus akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) yang biasanya terjadi dalam minggu pertama kelahiran.2,6 Penyakit ini ditandai dengan munculnya warna kuning pada tubuh dan selaput mata dan jaringan mukosa tubuh lainnya pada bayi baru lahir yang terjadi akibat
akumulasi
pigmen
bilirubin
yang
larut
lemak,
tak
terkonjugasi, non polar yang dibentuk dari hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial. Selain itu dapat juga disebabkan oleh endapan pigmen sesudah pigmen ini di dalam mikrosom
sel
difosfoglukoronat
hati (urine
diubah
oleh
enzim
diphospoglucuronic
asam acid)
uridin
glukoronil
transferase menjadi bilirubin ester glukoronida yang polar, larut dalam air (bereaksi-direk).2,3 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan warna kuning yang tampak pertama kali pada kepala dan wajah, kemudian menyebar ke dada, perut,
lutut. Hal ini sesuai dengan kriteria penyebaran ikterus menurut Kramer, sehingga dapat dilakukan penilaian derajat ikterus pada pasien ini. Pemeriksaan penyebaran ikterus pada neonatorum ini digunakan untuk memperkirakan kadar bilirubin serum secara kasar. Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan berdasarkan onset terjadinya serta pengukuran serum bilirubin indirek serta direk. Seperti yang telah diketahui, ikterus ditandai dengan warna tubuh, sklera, serta jaringan tubuh lainnya berwarna kuning. Pengamatan ikterus sebaiknya dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Ikterus tidak akan muncul jika kadar serum bilirubin dibawah 5 mg/dL. Skala Kramer merupakan skala penilaian derajat ikterus pada neonatus yang paling sederhana serta mudah dilakukan. Caranya dengan menekan kulit dengan menggunakan jari telunjuk pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, selanjutnya diperhatikan apakah tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.2,6 Gambar 2 berikut ini menjelaskan cara menetapkan zona ikterus berdasarkan skala Kramer.
Gambar 2. Skala Kramer
Zona 1 meliputi ikterus yang terlihat mulai dari kepala hingga leher, zona 2 meliputi ikterus yang terlihat mulai dari kepala, leher hingga pusat. Zona 3 terlihat dari kepala,badan hingga paha, zona 4 terlihat ikterus dari kepala, badan, lengan dan tungkai sampai pergelangan tangan dan kaki. Sementara zona 5 apabila dijumpai ikterus di kepala, badan, semua ekstremitas hingga ujung jari. Rata-rata serum bilirubin indirek berdasarkan skala Kramer dijelaskan oleh Tabel 1 berikut ini.12 Zona
Bagian Tubuh
Rata-rata
yang Kuning
Serum Bilirubin Indirek
(µmol/L) 1 Kepala dan Leher 100 2 Leher-Pusat 150 3 Pusat-paha 200 4 Lengan-Tungkai 250 5 Tangan dan kaki >250 Tabel 1. Rata-rata Serum Bilirubin Indirek Berdasarkan Skala Kramer Berdasarkan kepustakaan ikterus neonatorum merupakan keadaan yang ditandai dengan munculnya warna kuning pada kulit, sklera, serta lapisan mukosa tubuh lainnya pada neonatus akibat
peningkatan
(hiperbilirubinemia)
yang
kadar
bilirubin
biasanya
terjadi
dalam
darah
dalam
minggu
pertama kelahiran.2,6 Penyakit ini ditandai dengan munculnya warna kuning pada tubuh dan selaput mata dan jaringan mukosa tubuh lainnya pada bayi baru lahir yang terjadi akibat akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar yang dibentuk dari hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial. Selain itu dapat juga disebabkan oleh endapan pigmen sesudah pigmen ini di dalam mikrosom sel hati diubah
oleh
enzim
asam
uridin
difosfoglukoronat
(urine
diphospoglucuronic acid) glukoronil transferase menjadi bilirubin ester glukoronida yang polar, larut dalam air (bereaksi-direk). 2,3 Warna kuning pada bayi baru lahir adakalanya merupakan suatu hal yang alamiah (fisiologis) terjadi. Ikterus fisiologis ini biasanya dapat terlihat pada hari ke-2 hingga hari ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus jenis ini diduga diakibatkan oleh kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin yang dikombinasikan
dengan
keterbatasan
konjugasi
bilirubin
sementara oleh hati.2 Adapun jenis ikterus neonatorum beserta etioya: a. Ikterus fisiologis Jenis ikterus ini dapat diihat pada hari ke-2 sampai hari ke-3 dan biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar bilirubin 5-6 mg/dL yang selanjutnya akan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus fisiologis ini terjadi akibat kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin serta keterbatasan konjugasi bilirubin sementara oleh hati. Pada lingkungan normal, kadar uncojugated bilirubin dalam serum tali pusat adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam. Konsep inilah yang menerangkan mengapa ikterus fisiologis dapat terjadi pada hari ke-2 hingga hari ke-3.2 Bayi prematur mengalami kenaikan bilirubin serum yang cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi cukup bulan, namun jangka waktunya lebih lama sehingga biasanya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi dengan puncaknya dicapai pada hari ke-4 hingga hari ke-7. Kadar bilirubin indirek ikterus fisiologis tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan serta kecepatannya tidak melebihi 5 mg% perhari.2,3
b. Ikterus Patologis Ikterus dianggap patologis pada keadaan dimana ikterus dan
hiperbilirubinemia
yang
mendasarinya
bila
waktu
munculnya, lamanya, atau pola kadar bilirubin serum yang ditentukan secara seri berbeda secara bermakna dari pola ikterus fisiologis; atau jika perjalannya sesuai dengan ikterus fisiologis namun ada alasan lain untuk mencurigai bahwa kondisi ini berpotensi menimbulkan kernikterus jika tidak ditanggulangi dengan baik.8 Ikterus patologis dapat dicurigai bila ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
setelah kelahiran dimana peningkatan bilirubin
lebih dari 5 mg% per hari. Ikterus ini menetap sesudah dua minggu pertama kelahiran dengan kadar bilirubin direk melebihi 1 mg% yang biasanya berkaitan dengan proses hemolitik. Ikterus jenis ini biasanya terjadi pada neonatus dengan berat lahir <2.000 gr, masa gestasi <36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan,
infeksi,
hipoglikemia,
serta
hiperosmolaritas darah.6 Adapun mekanisme produksi bilirubin beserta patofisiologi ikterus: Sebanyak 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari degradasi eritosit tua melalui perantara monosit dan makrofag. Sel darah merah rata-rata beredar selama 120 hari di dalam pembuluh darah dan setiap harinya sekitar 50 ml darah dihancurkan yang pada akhirnya menghasilkan 250-350 mg bilirubin. Saat ini diketahui bahwa 15-20% pigmen empedu total ternyata tidak bergantung pada mekanisme ini, namun berasal dari destruksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang (hematopoiesis tidak efektif) dan dari hemoprotein lain yang terutama berasal dari hati.3
Selanjutnya globin dipisahkan dari heme yang selanjutnya diubah
menjadi
biliverdin
oxygenase.
Biliverdin
selanjutnya
diubah
dengan
merupakan menjadi
bantuan pigmen
bilirubin
enzim
kehijauan tak
heme yang
terkonjugasi
(unconjugated bilirubin) dengan bantuan biliverdin reduktase dengan
pelepasan
NADPH
menjadi
NADP.
Bilirubin
tak
terkonjugasi ini bersifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat dieksresikan dalam empedu atau urin. Bilirubin tak terkonjugasi ini selanjutnya berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut-air yang selanjutnnya diangkut oleh darah menuju sel-sel hati.6 Metabolisme bilirubin dalam hati berlangsung dalam tiga langkah. Langkah pertama berupa ambilan oleh sel hati dengan menggunakan bantuan dua protein hati. Langkah kedua adalah konjugasi dimana bilirubin tak terkonjugasi dirubah menjadi bilirubin terkonjugasi oleh enzim glukonronil transferase di dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi ini tidak larut dalam lemak, namun larut dalam air serta dapat dieksresikan dalam empedu serta urin. Langkah ketiga adalah eksresi berupa transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak dapat dieksresikan ke dalam empedu, kecuali setelah mengalami proses foto-oksidasi atau fotoisomerasi. 3 Mekanisme pembentukan bilirubin ditunjukkan oleh Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Bilirubin Bakteri usus selanjutnya mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang disebut dengan sterkobilin atau urobilinogen. Zat inilah yang menyebabkan feses bewarna coklat.
Patofisiologi
dari
ikterus
terbagi
menjadi
ikterus
prahepatik, intrahepatik serta post hepatik. Ikterus prahepatik biasanya
disebabkan
oleh
pembentukan
bilirubin
yang
berlebihan serta gangguan ambilan bilirubin. Ikterus prahepatik merupakan jenis ikterus yang paling banyak terjadi pada neonatus.
Ikterus
intrahepatik
biasanya
disebabkan
oleh
gangguan konjugasi bilirubin. Sedangkan ikterus post hepatik disebabkan oleh penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat obstruksi mekanis. Ikterus prahepatik pada neonatus
lebih
sering
disebabkan
oleh
penyakit
hemolitik
sehingga sering disebut ikterus hemolitik. Peningkatan laju detruksi eritrosit yang berlebihan membuat suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati untuk memetabolisme walaupun
proses
konjugasi
dan
transfer
pigmen
empedu
berlangsung normal. Biliribun tak terkonjugasi tidak dapat larut dalam air sehingga tidak dapat dieksresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun, terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan
peningkatan
konjugasi
serta
eksresi
sehingga
mengakibatkan peningkatan eksresi dalam feses dan urin yang membuat urin dan feses bewarna lebih gelap.2,3 Ikterus hemolitik lebih sering disebabkan oleh beberapa keadaan berikut ini, seperti gangguan pada membran eritrosit (membranopati),
gangguan
enzim
eritrosit
(enzimopati),
defisiensi enzim G6PD (Glukosa-6-phosphat), serta gangguan pada hemoglobin (hemoglobinopati) seperti Thalassemia dan hemoglobin S pada anemia sel sabit. Keadaan tersebut membuat umur sel darah merah menjadi lebih pendek sehingga dengan cepat
dihancurkan
oleh
hati.7
Berdasarkan
kepustakaan,
penegakkan diagnosis dan penentuan diagnosis banding pada ikterus neonatorum dapat dilakukan sebagai berikut: Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan berdasarkan onset terjadinya serta pengukuran serum bilirubin indirek serta direk. Ikterus neonatorum yang muncul dalam 24 jam pertama kelahiran bersifat patologis dan biasanya disebabkan oleh eritroblastosis perdarahan
fetalis, yang
inkompatibilitas
tersembunyi,
Rhesus
sepsis,
dan
penyakit
ABO, inklusi
sitomegali, rubela, atau toksoplasmosis kongenital. Bilirubin indirek pada bayi tersebut akan mengalami peningkatan yang nyata biasanya lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan. Kadar bilirubin direk mencapai lebih di atas 1 mg%. Peningkatan bilirubin lebih dari 5
mg% perhari, dan biasanya menetap setelah dua minggu pertama kelahiran. Oleh karena itu pengukuran bilirubin indirek dan direk secara berkala diperlukan. Ikterus pada bayi yang mendapat transfusi-intrauteri ditandai dengan proporsi bilirubin reaksi direk yang meningkat tajam.2,6 Ikterus yang muncul pada hari ke-2 dan ke-3 kelahiran biasanya bersifat fisiologis, namun pada beberapa kasus dapat menggambarkan bentuk yang lebih berat yang disebut dengan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Selain itu, ikterus yang diakibatkan oleh sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II juga dapat muncul pada hari ke-2 atau ke-3. Penyakit ini tergolong langka yang merupakan penyakit nonhemolitik familial yang diakibakan oleh defisiensi progresif dari enzim glukoronil transferase. Sementara ikterus yang muncul sesudah hari ke-3 dan dalam minggu pertama akan memberikan kesan septikemia akibat sejumlah infeksi seperti sifilis, toksoplasmosis, serta penyakit inklusi
sitomegalovirus.
Ikterus
sekunder
yang
diakibatkan
ekimosis yang luas atau hematoma dapat terjadi selama hari pertama atau di kemudian hari terutama pada bayi prematur. Polisitemia juga dapat terlihat pada hari ke-2 dan ke-3 kelahiran.7 Sedangkan ikterus yang terlihat mulai hari ke-5 atau setelah usia satu minggu kelahiran memberikan kesan ikterus yang disebabkan karena ASI, septikemia, atresia kongenital saluran empedu,
hepatitis
hipotiroidisme,
neonatorum,
hepatitis
herpes,
rubela, serta
galaktosemia,
anemia
hemolitik
kongenital (sferositosis), atau kemungkinan kegawatan akibat anemia hemolitik lainnya seperti defisiensi piruvat kinase serta enzim glikolitik lainnnya atau anemia nonsferisik herediter, defisiensi enzim G6PD, glutation sintetase, atau peroksidase. 2,7 Berikut ini alur diagnosis ikterus neonatorum.2 Sementara ikterus yang menetap setelah hari ke-10 atau lebih kelahiran biasanya disebabkan oleh sindrom empedu
mengental (yang dapat menyertai penyakit hemolitik pada bayi baru lahir), kolestasis terkait hiperalimentasi, hepatitis, atresia biliaris, serta galaktosemia. Oleh karena itu, tanpa memandang umur kehamilan atau waktu munculnya ikterus setiap neonatus dengan gejala dan tanda-tanda ikterus neonatorum memerlukan evaluasi diagnostik yang lengkap meliputi penentuan fraksi biliribin
indirek
dan
direk,
hemoglobin,
hitung
retikulosit,
golongan darah, uji Coombs serta pemeriksaan morfologi darah tepi. Berikut ini tabel tanda-tanda diagnostik berbagai tipe ikterus neonatorum.2
Diagnosis
Sifat Reaksi Van Den
Ikterus Munc Hilan ul g
Kadar Puncak Bilirubin mg/dL
Umur
Bergh
Angka Akumulasi Bilirubin (mg/dL/hari )
Ikterus fisioLogis
Berhubungan dengan tingkat kematangan
Cukup bulan
Indirek
Prematur
Indirek
2-3 hari 3-4 hari
4-5 hari 7-9 hari
10-12 hari
2-3 hari
<5
15 hari
6-8 hari
<5 Faktor –faktor metabolik: hipoksia,kegawa tan pernapasan, tidak ada karbohidrat
Hiperbiliru binemia akibat faktor metabolik
Cukup bulan
Prematur
Ket
Indirek
2-3 hari
berma -
Indirek
3-4 hari
Cam berma Cam
>2
minggu I
<5
Pengaruh hormonal:kretenisme, hormon
>15
minggu I
<5
Faktor genetik, sindrom CriglerNajjar,hiperbilir u-
binemia familial sementara, Vitamin K, Novobiosin Status hemolitik dan he-
Indirek
Matoma
Dapat muncu l dalam 24 jam pertam a
Faktorfaktor
Indirek dan
campuran
Direk
Hemolitik dan hepa-
Dapat muncu l dalam 24 jam pertam a
Totoksik
Cedera hepa-
Indirek dan
Toseluler
Direk
biasan ya 2-3 hari
berma -
tidak ter-
bermaca m-
camMaca m
Batas
mavam
biasanya >5
Eritoblastosis: Rh, ABO, sferositosis, infantil piknositosis. Obat-obatan: Vitamin K.
Berm a-
Tidak ter-
Bermaca m-
camMaca m
batas
macam
Biasanya >5
Infeksi: sepsis bakteri, pielonefritis, hepatitis, toksoplasmosis, penyakit inklusi sitomegali, rubela
berma -
tidak ter-
bermaca m-
Variabel mung-
cam-
Batas
macam
kin >5
Maca m
Atresia biliaris; galaktosemia; hepatitis dan infeksi:
Tabel 2.Tanda-tanda Diagnostik Berbagai Tipe Ikterus Neonatorum (Behrmanet al., 2000) Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu diberikan fototerapi (terapi sinar). Hal ini dikarenakan dengan melihat kadar bilirubin total pasien yaitu 16,29 mg/dl mengindikasikan bahwa pasien ini sudah seharusnya mendapatkan terapi sinar (fototerapi). Hal ini sesuai dengan aturan umum yang digunakan di NICU, yaitu fototerapi dimulai ketika total kadar bilirubin lebih besar dari 5 kali berat badan lahir.13,14 Menurut American Academic Pediatrics menyebutkan, terapi sinar (fototerapi) diberikan berdasarkan indikasi sebagai berikut:
Umur
Baru Lahir 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam 5 – 7 hari
Bayi dengan risiko rendah
Bayi dengan risiko sedang ( usia
Bayi dengan risiko tinggi
(usia gestasi ≥ 38 minggu dan
gestasi ≥ 38 minggu+faktor
(usia
sehat)
risiko atau 35-37 minggu dan
minggu+faktor risiko)
≥ 6,5 ≥ 11,5 ≥ 15 ≥ 17,5 ≥ 20 ≥ 21
sehat ) Bilirubin Serum Total (mg/dl) ≥5 ≥ 10 ≥ 13 ≥ 15 ≥ 17 ≥ 18
gestasi
≥4 ≥8 ≥ 11 ≥ 13,5 ≥ 14,5 ≥ 15
Keterangan : Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh tidak stabil, sepsis, asidosis, albumin < 3.0 g/dL.
Gambar 6. Pedoman Fototerapi pada Neonatus di Rumah Sakit dengan Usia Gestasi ≥35 minggu14 Keterangan : - Gunakan bilirubin serum total. Tidak perlu memeriksakan bilirubin bebas maupun bilirubin konjugasi. Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh tidak stabil, sepsis, asidosis, albumin < 3.0 g/dL. - Dapat pula dilakukan terapi sinar konvensional di RS maupun terapi sinar di rumah pada nilai bilirubin serum total 2-3mg/dL (30-35mmol/L) di bawah nilai yang ditentukan. Namun terapi sinar di rumah tidak boleh dilakukan pada bayi dengan faktor risiko. Gambar di atas menunjukkan pedoman fototerapi pada neonatus di rumah sakit dengan usia gestasi ≥35 minggu. Gunakan nilai TSB dalam menentukan ambang batas fototerapi.
35-37
Faktor risiko yang perlu diperhatikan meliputi inkompatibilitas Rhesus dan ABO, defisiensi enzim G6PD, asfiksia, letargi yang signifikan, ketidakstabilan temperatur, sepsis, asidosis, serta hipoalbunemia (albumin <3 g/dL). Fototerapi dilakukan apabila nilai TSB berada di atas garis dari masing-masing kategori yang telah diindikasikan.13 Hingga kini fototerapi masih merupakan terapi standar bagi ikterus neonatorum. Fototerapi yang dilakukan dengan efisien dapat menurunkan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia indirek akan berkurang pada pajanan cahaya yang berintensitas tinggi pada spektrum yang dapat dilihat. Bilirubin yang bewarna kuning dapat menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran cahaya
biru
(sekitar
420-470
nm)
sehingga
cahaya
biru
merupakan cahaya yang paling efektif dalam menurunkan serum bilirubin.
Mekanisme
kerjanya
adalah
bilirubin
dalam
kulit
menyerap energi cahaya yang dengan fotoisomerisasi mengubah bilirubin-4Z,-15Z tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi isomer konfigurasi terkonjugasi berupa bilirubin-4Z,-15E yang dapat dieksresi ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi dan juga merupakan suatu produk yang reversibel. Di samping itu, cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum sempit khusus, dan hijau juga efektif dalam menurunkan kadar bilirubin.2,6 Pada saat dilakukan fototerapi sebaiknya mata bayi ditutup untuk mencegah pemajanan cahaya fototerapi. Selain itu neonatus menggunakan selimut fototerapi serabut optik yang ditempatkan di bawah punggung bayi sehingga menambah daerah permukaan yang terpajan cahaya.6 Setelah melakukan fototerapi, maka nilai bilirubin tetap harus dievaluasi selama 4-6 jam sejak permulaan dilakukan fototerapi. Jika nilai bilirubin selama fototerapi sudah stabil atau menurun, maka evaluasi nilai bilirubin dapat dilakukan setiap 612 jam. Fototerapi dihentikan apabila nilai bilirubin berada paling
tidak 50 mmol/L di bawah nilai ambang batas fototerapi atau saat konsentrasi serum bilirubin telah diturunkan sekitar 4-5 mg/dL (68-86 µmol/L). Setelah fototerapi dihentikan nilai bilirubin tetap harus dievaluasi 12-18 jam kemudian untuk melihat ada tidaknya kenaikan nilai bilirubin setelah fototerapi dihentikan.1
Gambar 5. Fototerapi Fototerapi juga mempunyai sejumlah komplikasi seperti tinja bayi menjadi lembek, munculnya ruam makular eritematosa, kepanasan, serta dehidrasi. Oleh karena status hidrasi neonatus harus diperhatikan selama pemberian fototerapi. Jika neonatus menunjukkan dehidrasi maka harus segera diberikan cairan intravena.
Selain
itu
fototerapi
juga
dapat
menyebabkan
terjadinya sindrom bayi perunggu yang merupakan sindrom yang ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi coklat keabuabuan dan gelap.2,13 Tranfusi tukar diindikasikan apabila munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kernikterus serta saat kadar bilirubin sesuai dengan konsensus pada tabel indikasi fototerapi, yang dengan fototerapi tidak memungkinkan untuk menurunkan kadar bilirubin. Metode ini dapat dengan cepat mengeliminasi bilirubin
dari sirkulasi.13,15 Indikasi dilakukannya transfusi tukar menurut American Academic Pediatrics:
Umur
Bayi dengan risiko rendah
Bayi dengan risiko sedang ( usia
Bayi dengan risiko tinggi
(usia gestasi ≥ 38 minggu dan
gestasi ≥ 38 minggu+faktor
(usia
sehat)
risiko atau 35-37 minggu dan
minggu+faktor risiko)
Baru Lahir
≥ 12
24 jam 48 jam 72 jam 4-7 hari
≥ 19 ≥ 22 ≥ 24 ≥ 25
sehat ) Biliribun Serum Total (mg/dl) ≥ 14 ≥ 16 ≥ 19 ≥ 21 ≥ 22,5
gestasi
≥ 16 ≥ 15 ≥ 17 ≥ 18,5 ≥ 19
Keterangan : Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh tidak stabil, sepsis, asidosis, albumin < 3.0 g/dL.
Pedoman Tranfusi Tukar pada Neonatus di Rumah Sakit dengan Usia Gestasi ≥35 Minggu Keterangan : • Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan adanya rentang yang cukup besar pada kondisi klinis dan respon terhadap terapi sinar • Tindakan transfusi tukar sangat direkomendasikan apabila bayi menunjukkan tanda-tanda bilirubin ensefalopati akut (hipertoni, opistotonus, retrocoli, demam, tangis melengking) atau apabila serum bilirubin total > 5mg/dL (85 µmol/L) Faktor risiko – penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, temperatur tidak stabil, sepsis, asidosis. Periksa albumin serum dan nilai rasio bilirubin / albumin Gunakan bilirubin serum total, tidak perlu membagi bilirubin direk atau bilirubin bebas. • Apabila bayi sehat dan usia gestasi 35-37 minggu (risiko sedang) dapat dilakukan
35-37
dibuat nilai acuan individual berdasarkan usia gestasi aktual. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam untuk quo ad vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanactionam, karena jika dapat didiagnosis dengan cepat dan pemberian terapi yang tepat dapat membuat membuat prognosis lebih baik dan mengurangi perburukan dari penyakit ini.
Pada pasien ini tatalaksana untuk ikterus neonatorum hanya menggunakan fototerapi (terapi sinar). Dari tatalaksana tersebut, dapat terlihat perkembangan pasien saat dirawat selanjutnya menunjukkan perbaikan, pasien mampu minum ASI kuat dan kuning pada tubuhnya menghilang, sehingga pada tanggal 09/02/02014 fototerapi dihentikan.
BAB IV KESIMPULAN Ikterus neonatorum merupakan keadaan yang ditandai dengan munculnya warna kuning pada kulit, sklera, serta lapisan mukosa tubuh lainnya pada
neonatus akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) yang biasanya terjadi dalam minggu pertama kelahiran. Manifestasi klinis dari ikterus dapat disesuaikan dengan skala Kramer yang merupakan skala penilaian derajat ikterus pada neonatus yang paling sederhana. Terapi ikterus neonatorum bertujuan untuk mencegah agar kadar bilirubin indirek
dalam
darah
mencapai
kadar
yang
memungkinkan
terjadinya
neurotoksisitas sehingga kernikterus tidak terjadi. Terdapat sejumlah cara dalam menurunkan bilirubin indirek, seperti melalui teknik fototerap dan transfusi tukar. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam untuk quo ad vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanactionam, karena jika dapat didiagnosis dengan cepat dan pemberian terapi yang tepat dapat membuat membuat prognosis lebih baik dan mengurangi perburukan dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. National Collaborating Center for Woman’s Health. 2010. Neonatal
Jaundice
:Clinical
Guideline.
Royal
College
of
Obstretricians and Gynecologists : London. 2. Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. 1. EGC : Jakarta.
3. Price SA dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC : Jakarta.
4. Iacob D., Boia M., Iacob RE., Manea A. 2011. Neonatal Jaundice-Etiology and Incidence. Jurnal Pediatrului. XIV:55-56. 5. Onyearugha CN., Onyire BN., Ugboma HAA. 2011. Neonatal Jaundice: Pravalance and Associated Factors as Seen in Federal Medical Centre Abakaliki, Southeast Nigeria. Journal of Clinical Medicine and Research. 3(3)pp40-45. 6. Dennery PA., Seidman DS., Stevenson DK. 2001. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of Medicine. 344 (8):581-590. 7. Kulkarni SK., Dolas AL., Doibale MK. 2013. Profile and Causes of Neonates with Indirect Hyperbilirubinemia in a Tertiary Care Centre. International Journal of Basic and Applied Medical Science.3(2):110-115. 8. Newman
TB.,
Klebenoff
MA.
1993.
Neonatal
Hyperbilirubinemia and Long Term Outcome: another look at at the Collaborative Perinatal Project. Pediatrics. 92:651-657. 9. Narang A., Gathwala G., Kumar P. 1997. Neonatal Jaundice: An Analysis of 551 Cases. Indian Pediatrics. 34:429-432. 10. Richard E., et al. 2013. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia: WB Saunders Company.
11. Sukadi A. 2008. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 147-69. 12. Kramer LI. 1969. Advancement of Dermal Icterus in Jaundiced Newborn. Am J Dis Child. 118:454-458. 13. American Academy of Pediatrics. 2004. Management of Hyperbilirubinemia in The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 114(297):297-316. 14.
Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
15. Odel; GB., Cohen SN., Gordes EH. 1962. istration of Albumin in The Management of Hyperbilirubinemia by Exchange Tranfusions. Pediatrics. 30:613-621. 16. Canadian Paediatric Society. 2007. Guidelines for Detection, Management and Prevention of Hyperbilirubinemia in Term and Late Preterm Newborn Infants (35 or More Week’s Gestation). Pediatr Child Health. 12:1B-12 B. 17. Sgro M., Campbell D., Shah V. 2006. Incidence and Causes of Severe Neonatal Hyperbilirubinemia in Canada. CMAJ. 17 (56) : 587-590.