Hubungan Perawat Dengan Pasien Hubungan perawat dengan pasien adalah suatu wahana untuk mengaplikasikan proses keperawatan pada saat perawat dan pasien berinteraksi kesediaan untuk terlibat guna mencapai tujuan asuhan keperawatan. Hubungan perawat dan pasien adalah hubungan yang direncanakan secara sadar,bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk pencapaian tiuan klien. Dalam hubungan itu perawat menggunakan pengetahuan komunikasi guna memfasilitasi hubungan yang efektif. Pada dasarnya hubungan perawat dan pasien bersifat professional yang diarahkan pada pencapaian tujuan. Hubungan perawat dengan pasien merupakan hubungan interpersonal titik tolak saling memberi pengertian. Kewajiban perawat memberikan asuhan keperawatan dikembangkan hubungan saling percaya dibentuk dalam interaksi ,hubungan yang dibentuk bersifat terapetik dan bukan hubungan social,hubungan perawat dan klien sengaja dijalin terfokus pada klien,bertujuan menyelesaikan masalah klien.
Hubungan Membantu Perawat-Klien (Helping Relationship) Hubungan perawat-klien disebut sebagian orang sebagai hubungan interpersonal, oleh sebagian lain disebut sebagai hubungan terapeutik, dan sebagian lagi menyebutnya hubungan saling bantu. Membantu merupakan proses yang memfasilitasi pertumbuhan untuk mencapai dua tujuan dasar (Egan,1998): 1. Membantu klien mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam hidup dengan lebih efektif dan mengembangkan peluang yang tidak atau kurang digunakan secara lebih utuh. 2. Membantu klien menjadi lebih baik dalam menolong diri sendiri pada kehidupan mereka sehari-hari.
Helping relationship dapat terjalin setelah merawat klien selama beberapa minggu, atau beberapa menit. Kunci untuk mencapai hubungan tersebut adalah : a. Tumbuhnya rasa percaya dan penerimaan antara perawat dan klien b. Keyakinan yang mendasari bahwa perawat peduli dan ingin membantu klien
Helping relationship dipengaruhi oleh karakteristik personal dan profesional perawat dan klien. Usia, jenis kelamin, penampilan, diagnosis, pendidikan, nilai-nilai, latar belakang etnik dan budaya, kepribadian, harapan, dan tempat dapat mempengaruhi perkembangan helping relationship antara perawat-klien. Dengan mempertimbangkan semua faktor diatas, disertai kemampuan komunikasi yang baik serta minat yang tulus terhadap kesejahteraan klien, perawat dapat menciptakan helping relationship.
Karakteristik helping relationship : a. Merupakan sebuah ikatan intelektual dan emosional antara perawat dan klien serta berfokus pada klien. b. Menghormati klien sebagai seorang individu meliputi: Memaksimalkan kemampuan klien untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pengobatan Mempertimbangkan aspek etnik dan budaya Mempertimbangkan hubungan serta nilai-nilai keluarga c. Menghormati kerahasiaan klien. d. Berfokus pada kesejahteraan klien. e. Berdasarkan sikap saling percaya, respek dan penerimaan.
Dimensi Hubungan membantu Perawat-klien Bentuk umum dari hubungan membantu adalah rasa percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualisme. Sifat-sifat tersebut esensial jika perawat ingin menetapkan hubungan yang positif dan if dengan klien.
a. Rasa Percaya Rasa Percaya dapat didefenisikan sebagai kepercayaan bahwa orang lain akan memberi bantuan ketika membutuhkan dan tertekan. Hubungan yang mempercayai ini tidak dapat berkembang kecuali jika klien percaya bahwa perawat ingin merawat demi kebaikan klien itu sendiri. Rasa percaya akan membentuk komunikasi terapeutik terbuka. Untuk meningkatkan rasa percaya, perawat harus bertindak secara konsisten, dapat dipercaya dan kompeten. Kejujuran dalam memberikan informasi kepada klien juga membantu terciptanya rasa percaya. Tanpa rasa percaya, hubungan antara klien dan perawat tidak akan memiliki kemajuan lebih dari interaksi sosial dan hanya untuk memenuhi kebutuhan superfisial.
b. Empati dan Simpati Empati telah diterima secara luas sebagai komponen klinis dalam hubungan yang membantu. Defenisi empati merefleksikan pengaruh psikoterapis Carl Rogers, yang yang terkenal karena hasil karyanya dalam mengidentifikasi dan mendiskripsikan karakteristik hubungan membantu. Empati adalah kemampuan untuk mencoba memahami dan memasuki kerangka referensi klien (Haber et al, 1994). Empati adalah merasakan, memahami dan membagi kerangka referensi klien dimulai dengan masalah yang dihadapi klien. Sangat adil, sensitif dan objektif untuk melihat pengalaman yang dimiliki orang lain. Kebalikan dari empati adalah simpati. Simpati adalah ekspresi perasaan seseorang mengenai keadaan sulit yang lain. Simpati merupakan perasaan perhatian, kesedihan atau rasa kesedihan yang ditunjukkan oleh perawat kepada klien dimana kebutuhan klien dilihat sebagai kebutuhan perawat. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan karena mencegah berkembangnya hubungan membantu yang efektif. Misalnya, perawat menggunakan kemempuan komunikasi ketika menunjukkan rasa belasungkawa kepada keluarga yang kehilangan kerabatnya “ Saya turut berduka cita karena ayah anda meninggal sedemikian cepat. Ayah saya juga meninggal seperti itu. Jika ada sesuatu yang dapat saya lakukan, jangan ragu untuk mencari saya”. Dengan pesan seperti itu, perawat menggunakan baik konsep simpati maupun empati dengan menawarkan pertolongan dan berbagi kerangka referensi klien.
c. Perhatian Perhatian adalah memiliki penghargaan positif terhadap orang lain, merupakan dasar untuk hubungan yang membantu. Sebagian besar klien klien secara secara lansung ataupun tidak langsung menunjukkan keinginan untuk diperhatikan pada waktu tertentu. Perawat menunjukkan perhatian dengan menerima klien sebagaimana mereka adanya dan menghargai mereka secara individu. Ketika klien merasa diperhatikan, mereka merasa aman dari ancaman atau situasi yang menyebabkan kecemasan. Perhatian juga meningkatkan rasa percaya dan mengurangi kecemasan. Penghilangan kecemasan dan stress akan meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu penyembuhan.
d. Autonomi dan Mutualitas Autonomi adalah kemampuan untuk mengontrol diri. Mutualitas meliputi perasan untuk berbagi dengan sesama. Keduanya sangat penting dalam hubungan yang saling membantu. Perawat dan klien bekerja sebagai tim yang ikut serta dalam perawatan. Perawat menawarkan
kesempatan untuk mengambil keputusan, sekalipun untuk hal-hal yang sepele seperti menentukan waktu untuk mandi. Ketika klien menjadi lebih mandiri, perawat menawarkan lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan. Perawat juga bertindak sebagai penasehat untuk memberitahu klien tentang alternatif perawatan kesehatan dan untuk memberikan dukungan dalam pengambilan keputusan.
Fase - Fase Hubungan Membantu Perawat-Klien (Helping Relationship) Proses pembinaan helping relationship dapat dijelaskan dalam empat fase berurutan, yang masing-masing dikarakteristikkan dengan tugas-tugas dan keterampilan yang dapat diidentifikasi. Hubungan tersebut harus melewati tahap dengan sukses, karena masingmasing tahap merupakan landasan untuk tahap berikutnya. Perawat dapat mengidentifikasi perkembangan hubungan dengan memahami fase berikut: fase pra-interaksi, fase perkenalan, fase kerja (pemeliharaan) dan fase terminasi.
a. Fase Pra-Interaksi Fase pra-interaksi mirip dengan tahap perencanaan sebelum melakukan wawancara. Biasanya, perawat memiliki informasi tentang klien sebelum bertatap muka untuk yang pertama kali. Informasi tersebut dapat meliputi nama klien, alamat, usia, riwayat medis, dan/atau riwayat sosial klien. Perencanaan untuk kecemasan pertama dapat menimbulkan perasaan cemas pada diri perawat. Jika perawat menyadari perasaan tersebut dan mengidentifikasi informasi yang spesifik untuk dibahas, akan diperoleh hasil yang positif. Prainteraksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan berkomunikasi dengan klien. Seorang perawat perlu mengevaluasi dirinya tentang kemampuan yang dimilikinya. Jika merasa ada ketidaksiapan maka perlu membaca kembali, diskusi dengan teman. Jika sudah siap perlu membuat rencana interaksi dengan klien.
b. Fase Perkenalan Fase perkenalan, yang disebut juga fase orientasi atau fase prabantuan, sangat penting karena mengatur sifat keseluruhan hubungan. Selama pertemuan awal ini, klien dan perawat mengamati dengan cermat dan membuat penilaian tentang perilaku mereka satu sama lain. Menurut Brammer (1998) dalam kozier (2004), tiga tahap yang terdapat dalam fase perkenalan adalah membuka hubungan, mengklarifikasi masalah, dan membuat serta memformulasi kontrak. Tugas penting lain dalam fase perkenalan ini meliputi mengenal satu sama lain dan membina rasa percaya. Setelah perkenalan, perawat dapat mulai melakukan
beberapa interaksi sosial untuk menenangkan klien. Sebagai contoh, perawat dan klien dapat berbicara tentang indahnya hari ini dan apa yang akan mereka lakukan seandainya mereka ada di rumah sekarang. Selama sesi awal fase perkenalan, klien mungkin akan menunjukkan beberapa perilaku resistif. Perilaku resistif merupakan bentuk perilaku yang dapat menghambat keterlibatan, kerja sama, atau perubahan perilaku tersebut dapat disebabkan oleh adanya kesulitan dalam mengenali kebutuhan untuk meminta bantuan dan peran ketergantungan, rasa takut untuk mengungkapkan dan menghadapi perasaan yang ada, ansietas tentang ketidaknyamanan yang dirasakan dalam mengubah pola perilaku yang menyebabkan masalah, serta rasa takut atau ansietas dalam merespon pendekatan yang dilakukan perawat, yang menurut klien mungkin tidak tepat. Perilaku resistif dapat diatasi dengan menunjukkan sifat caring, minat yang tulus terhadap klien, serta kompetensi. Perilaku perawat ini juga membantu menumbuhkan rasa percaya dalam hubungan tersebut. Rasa percaya dapat digambarkan sebagai keyakinan terhadap seseorang tanpa diliputi keraguan atau pertanyaan, atau keyakinan bahwa orang lain mampu mendampingi disaat-saat distres dan di segala keadaan. Pada akhir fase perkenalan, klien harus mulai untuk:
Menumbuhkan kepercayaan terhadap perawat.
Memandang perawat sebagai tenaga professional yang kompeten untuk memberikan bantuan.
Memandang perawat sebagai pribadi yang jujur, terbuka dan peduli dengan kesejahteraan mereka.
Percaya bahwa perawat akan mencoba memahami dan menghormati keyakinan dan nilai budaya mereka.
Merasa nyaman berbicara dengan perawat mengenai perasaan dan berbagai persoalan sensitif lainnya.
Memahami tujuan hubungan tersebut dan juga peran yang dijalani.
Merasa mereka adalah partisipan yang aktif dalam menyusun sebuah rencana perawatan yang disepakati bersama.
c. Fase Kerja Selama fase kerja, perawat dan klien mulai memandang satu sama lain sebagai individu yang unik. Mereka mulai menghargai keunikan tersebut dan saling peduli.
Sikap caring menunjukkan kepedulian yang dalam dan tulus terhadap kesejahteraan orang lain.saat sikap caring tumbuh, kemungkinan munculnya sikap empati juga sangat besar. Fase kerja memiliki dua tujuan utama, yaitu: menggali dan memahami pikiran dan perasaan serta memfasilitasi dan mengambil tindakan. Perawat membantu klien untuk menggali berbagai pikiran, perasaan, dan tindakan serta membantu klien merencanakan program tindakan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 1. Menggali Serta Memahami Pikiran dan Perasaan Perawat memerlukan berbagai keterampilan berikut untuk menjalani fase kerja pada hubungan terapeutik: a.
Mendengar dan berespons dengan empati Perawat harus mendengarkan dengan penuh perhatian dan berkomunikasi (berespons) dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka mendengarkan apa yang telah disampaikan dan memahami bagaimana perasaan klien. Perawat berespons terhadap isi percakapan atau perasaan atau keduanya, sesuai keperluan. Perilaku nonverbal klien juga penting. Perilaku nonverbal yang menunjukkan empati meliputi anggukan kepala yang wajar, tatapan yang stabil, gestur yang wajar dan sedikit aktivitas atau pergerakan tubuh. Hasi akhir empati berupa sikap menghibur dan caring terhadap klien serta sebuah hubungan saling bantu yang menyembuhkan.
b.
Respect Perawat harus menunjukkan penghargaan atas kesediaan klien, keinginan untuk bekerja sama dengan klien dan sikap yang menunjukkan bahwa perawat memandang serius pendapat klien.
c. Ketulusan. Pernyataan pribadi dapat bermanfaat untuk memperkuat antara perawat dan klien. Egan (1998) mengulas lima perilaku yang merupakan komponen ketulusan meliputi: Orang yang tulus tidak berlindung dibalik peran konselor ataupun terlalu mengagungkan peran tersebut. Orang yang tulus bersikap spontan. Orang yang tulus bersikap nondefensif. Orang yang tulus memperlihatkan sedikit ketidaksesuaian—yaitu, individu bersikap konsisten dan tidak “lain di mulut, lain di hati dan pikiran”.
Orang yang tulus mampu membuka dirinya dalam-dalam (self-sharing) apabila dibutuhkan. d. Kekonkretan Perawat harus membantu klien dengan bersikap konkret dan spesifik, bukan berbicara secara garis besar. Saat klien berkata, “saya bodoh dan ceroboh,” perawat mempersempit pembicaraan ke area spesifik yang menegaskan, “Anda tersandung keset.” e. Konfrontasi Perawat memaparkan ketidaksesuaian antara pikiran, perasaan dan tindakan yang menghambat kesadaran diri klien atau eksplorasi area tertentu. hal ini dilakukan dengan empati, bukan dengan sikap menghakimi. Selama tahap pertama fase kerja, intensitas interaksi meningkat dan perasaan seperti rasa marah, malu atau kesadaran-diri dapat terekspresikan. Jika perawat terampil dalam tahap ini dan klien bersedia untuk melakukan eksplorasi-diri, hasilnya berupa pemahaman klien tentang perilaku dan perasaan.
2. Memfasilitasi Pengambilan Tindakan Pada akhirnya, klien harus membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menjadi lebih efektif. Tanggung jawab untuk bertindak ada di tangan klien. Meski demikian, perawat berkolaborasi terhadap keputusan tersebut, memberi dukungan dan menawarkan pilihan atau informasi.
d. Fase Terminasi Fase terminasi dalam hubungan ini biasanya berjalan sulit dan diliputi kebimbangan. Akan tetapi, jika fase sebelumnya berjalan dengan efektif, klien umumnya memiliki pandangan yang positif serta mampu untuk mengatasi masalah secara mandiri. Di sisi lain, karena perasaan caring telah tumbuh, sangat wajar jika muncul perasaan kehilangan dan setiap individu perlu mengembangkan cara untuk mengucapkan selamat tinggal. Fase terminasi harus diatasi dengan memakai konsep proses kehilangan. Proses terminasi yang sehat akan memberikan pengalaman positif dalam membantu klien mengembangkan koping untuk perpisahan. Reaksi klien dalam menhadapi terminasi dapat bermacam cara. Klien mungkin mengingkari manfaat hubungan. Klien dapat mengekspresikan perasaan marah dan permusuhannya dengan tidak menghadiri pertemuan atau bicara dangkal.
Terminasi yang mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan klien sebagai penolakan. Atau perilaku klien kembali pada perilaku sebelumnya, dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan karena klien masih memerlukan bantuan. 2 jenis terminasi : a. Terminasi sementara Terminasi sementara adalah setiap akhir dari pertemuan perawat klien. Sehingga perawat masih akan bertemu lagi dengan klien. b. Terminasi akhir Terminasi akhir terjadi jika pasien akan pulang atau mahasiswa yang selesai praktek dirumah sakit.
Tabel 1.1 Tugas dan Keterampilan untuk Tiap fase Helping Relationship
Fase Fase Pra-Interaksi
Tugas
Keterampilan
Perawat meninjau data pengkajian dan Mengumpulkan
data
pengetahuan terkait, memikirkan area terorganisir; masalah
potensial,
dan
yang
menyadari
menyusun keterbatasan yang ada dan
rencana interaksi.
mencari
bantuan
sesuai
kebutuhan. Fase Perkenalan/ Orientasi 1.
Membuka hubungan
Baik
klien
maupun
perawat Sikap perhatian, tetapi tetap
mengidentifikasi diri satu sama lain santai dengan
menggunakan
nama.
untuk
Saat menenangkan
membantu klien.
Tidak
hendak mengawali interaksi, penting mudah bagi semua klien untuk bagi perawat menjelaskan perannya menerima bantuan. kepada klien agar klien memperoleh gambaran
tentang
proses
interaksi
tersebut. Karena pada awalnya klien mungkin tidak melihat masalah dengan jelas, tugas
utama
perawat
adalah Teknik menyatakan
menyimak, kembali
2.
Mengklarifikasi masalah
mengklarifikasi masalah tersebut.
pernyataan
klien,
mengklarifikasi, komunikasi
dan
efektif
teknik lainnya
didiskusikan dalam bab ini. Kesalahan yang umum terjadi pada
tahap
ini
adalah
mengajukan
terlalu
banyak
pertanyaan
kepada
klien.
Sebaliknya,
fokuslah
pada
prioritas. Berbagai komunikasi
keterampilan diatas,
berikut
kemampuan untuk mengatasi perilaku resistif jika muncul.
Perawat dan klien membangun tingkat kepercayaan dan kesepakatan yang diungkapkan secara verbal tentang (a) lokasi, (b) keseluruhan tujuan dari hubungan tersebut (c) bagaimana halhal
yang
sifatnya
rahasia
akan
ditangani (d) tugas-tugas yang akan 3.
Membuat
dan dituntaskan, dan (e) durasi dan indikasi
memformulasikan (kewajiban
yang
kontrak untuk mengakhiri pertemuan tersebut. harus
dipenuhi oleh klien maupun perawat) Fase Kerja
Perawat
dan
klien
menyelesaikan
tugas-tugas yang telah diuraikan pada tahap
perkenalan,
meningkatkan
kepercayaan dan hubungan yang dekat serta menumbuhkan sifat caring. Perawat membantu klien menggali pikiran
dan
perasaannya
serta
memperoleh pemahaman akan klien. Klien menggali pikiran dan perasaan yang 1.
berkaitan
dengan
Menggali dan memahami mengembangkan pikiran dan perasaan yang mendengar, ada
dan
masalah,
keterampilan Keterampilan mendengar dan menambahkan menyimak,
wawasan ke dalam perilaku personal.
empati,
respek,
ketulusan, kekonkretan, sikap membuka diri dan konfrontasi. Keterampilan
yang
dicapai
klien adalah mendengar non defensif dan pemahaman diri. Perawat merencanakan program sesuai kemampuan
klien
mempertimbangkan
tujuan
dan jangka-
panjang serta tujuan jangka-pendek.
Keterampilan keputusan
dan
mengambil menetapkan
tujuan. Juga bagi perawat: keterampilan
memberikan
bagi Klien perlu belajar mengambil risiko penguatan; (misalnya menerima bahwa hasil dapat mengambil risiko.
klien:
berupa kegagalan atau keberhasilan). Perawat perlu mendukung kesuksesan yang dicapai dengan membantu klien menyadari kegagalan secara realistis. 2.
Memfasilitasi
dan
mengambil tindakan Fase Terminasi
Perawat dan klien menerima perasaan Bagi perawat: keterampilan kehilangan.
Klien
menerima
akhir membuat
kesimpulan;
bagi
hubungan
tersebut
tanpa
perasaan klien:
cemas atau ketergantungan.
keterampilan
menghadapi masalah tersebut secara mandiri.
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Klien Dalam Berhubungan 1. Perbedaan perkembangan 2. Perbedaan budaya 3. Perbedaan gender 4. Gangguan pendengaran 5. Gangguan penglihatan Hubungan yang baik antar perawat dengan pasien akan terjadi bila : 1. Terdapat rasa saling percaya antara perawat dengan pasien 2. Perawat benar-benar memahami tentang hak-hak pasien dan harus melindungi hak tersebut,salah satunya adalah hak untuk menjaga privasi pasien 3. Perawat harus sensitive terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada pribadi pasien yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya,antara lain kelemahan fisik dan ketidakberdayaan dalam menentukan sikap atau pilihan sehingga tidak dapat menggunakan hak dan kewajibannya dengan baik 4. Perawat harus memahami keberadaan pasien sehingga dapat bersikap sabar dan tetap memperhatikan pertimbangan etis dan moral 5. Dapat bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas segala risiko yang mungkin timbul selama pasien dalam perawatannya 6. Perawat sedapat mungkin berusaha untuk menghindari konflik antara nilai-nilai pribadi pasien dengan cara membina hubungan baik antara pasien,keluarga,dan teman sejawat serta dokter untuk kepentingan pasien Dalam
memberikan
pelayanan
keperawatan
kepada
individu,keluarga,atau
komunitas,perawat sangat memerlukan etika keperawatan yang merupakan filsafat yang mengarahkan
tanggung
jawab
moral
yang
mendasar
terhadap
pelaksanaan
peraktek keperawatan,dimana inti dari filsafat tersebyut adalah hak dan martabat manusia. Karena itu,fokus dari etika keperawatan ditujukan terhadap sifat manusia yang unik. Untuk
memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat,yaitu sebagai berikut : 1. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman pada tanggung jawab
yang
bersumber
dari
adanya
kebutuhan
terhadap
keperawatan
individu,kelurga,dan masyarakat. 2. Perawat dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan,memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya,adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu,keluarga,dan masyarakat 3. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu,keluarga dan masyarakat,senantiasa dilandasi rasa tulus,ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan 4. Perawat
menjalin
hubungan
kerja
sama
dengan
individu,keluarga
dan
masyarakat,khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
Jenis - Jenis Gangguan Komunikasi 1. Gangguan Bicara Perkembangan
bahasa
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
perkembangan
bicara.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan anak dibesarkan. Kelainan bicara merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan perilaku komunikasi yang ditandai dengan adanya kesalahan proses produksi bunyi bicara. Ditinjau dari segi klinis, gejala kelainan bicara dalam hubungannya dengan penyebab kelainannya, dapat berupa: Disaudia adalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran. Dislogia diartikan sebagai satu bentuk kelaian bicara yang disebabkan oleh kemampuan kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan di bawah normal. Misalnya tadi dengan tapi, kopi dengan topi. Disatria diartikan jenis kelainan yang terjadi akibat adanya kelumpuhan, kelemahan, kekakuan atau gangguan koordinasi otot alat-alat ucap atau organ
bicara karena adanya kerusakan susunan syaraf pusat. Disartria memlikiki beberapa jenis, yaitu: Spatic Disatria, Flaksid Disatria,
Ataksia Disatria,
Hipokinetik Disatria, Hiperkinetik Disatria. Disglosi mengandung arti kelainan bicara yang terjadi karena adanya kelainan bentuk struktur dari organ bicara. Kegagalan tersebut akibat adanya kelainan bentuk dan struktur organ artikulasi, yaitu: palaktoskisis (sumbing langitan), maloklusi (tumbuh gigi atas atau gigi bawah), anomali (bentuk lidah yang tebal tidak tumbuh velum atau tali lidah yang pendek). Dislalia adalah gejala gangguan bicara karena ketidak mampuan dalam memperhatikan bunyi-bunyi bicara yang diterima, sehingga tidak mampu membentuk konsep bahasa. Misalnya”makan” menjadi “kaman” atau “nakam”. 2. Gangguan Irama Gangguan bicara dengan ditandai adanya ketidaklancaran pada saat berbicara, meliputi :
Cluttering adalah gangguan kelancaran bicara yang ditandai dengan bicara yang sangat cepat, sehingga terjadi kesalahan artikulasi sehingga sulit dimengerti. Terdapat 3 type yaitu: distorsi (pengucapan yang tidak jelas), substitusi (penggantian ucapan menjadi bunyi lain), omisi (penghilangan bunyi-bunyi).
Palilalia adalah gangguan bicara diman kata atau frase yang diulang dengan cepat.
3. Gangguan Suara Gangguan pada proses produksi suara merupakan salah satu jenis gangguan komunikasi. Gangguan tersebut meliputi : Kelainan nada adalah Gangguan pada frekuensi getaran pita suara pada waktu ponasi yang berakibat pada gangguan nada yang diucapkan. Kelainan kualitas suara adalah Gangguan suara yang terjadi karena adanya ketidaksempurnaan kontak antara pita suara pada saat adduksi, sehingga suara yang dihasilkan tidak sama dengan suara yang biasanya. Afonia adalah Kelainan suara yang diakibatkan ketidakmampuan dalam memproduksi suara atau tidak dapat bersuara sama sekali karena kelumpuhan pita suara. Keterlambatan bicara dan bahasa dimana dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran. Gangguan bicara
dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukung seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran. Keterlambatan dan gangguan bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau,
serak)
sampai
dengan
ketidakmampuan
untuk
mengerti
atau
menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme oral-motor dalam fungsinya untuk bicara dan makan. Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf. Sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi huruf itu sehingga menimbulkan kesan bahwa bicaranya seperti anak kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara. Afasia yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat memiliki riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset setelah trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang). Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan atau irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata atau kata, atau suatu bloking yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot otot bicara seperti lidah, bibir, dan laring. Terdapat kecenderungan adanya riwayat gagap dalam keluarga. Selain itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan kepribadian anak.