STABILITAS LERENG dan
DINDING PENAHAN TANAH
Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil
β
i=n n-1 n-2 … 3 i=1
2
α
Dr. Abdul Hakam
Stabilitas Lereng dan
Dinding Penahan Tanah Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil
Untuk Yang tercinta: Heka , Dinda, Dewo, Brama dan AManda
Stabilitas Lereng dan
Dinding Penahan Tanah
Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil
oleh: Dr. Abdul Hakam Penyuting: Heka Putri Andriani, ST Design cover dan setting: Penerbit Penerbit: Univesitas Andalas Press
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini tanpa izin penulis (by law)
BAB I
PENGANTAR ANALISIS STABILITAS LERENG
Lereng pada dasarnya merupakan struktur geoteknik yang dapat terjadi oleh alam maupun buatan manusia. Lereng merupakan struktur yang terbuat dari material geoteknik berupa tanah dan batuan. Dalam analisis kestabilannya lereng harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada rekayasa geoteknik yang umumnya dipelajari dalam bidang mekanika tanah dan batuan. Namun demikian, mengingat material geoteknik pada umumnya lebih mempunyai tahanan yang lemah terhadap gesernya, maka penerapan ilmu mekanika tanah lebih banyak dalam melakukan analisis dan rekayasa di lereng. Lereng yang mengalami keruntuhan, secara teknis dikatakan telah kehilangan kestabilannya. Sebelum mengalami keruntuhan, lereng tersebut dapat dipastikan mempunyai nilai keamanan yang rendah. Sedangkan lereng yang dalam kondisi stabil dianggap tidak mengalami pergerakan baik ke arah bawah maupun ke atas lereng. Namun lereng yang stabil juga dapat mempunyai nilai keamanan yang kecil sehingga pada suatu saat akan dapat mengalami keruntuhan. Dalam buku ini akan dijabarkan berbagai hal mengenai analisis stabilitas lereng dan penstabilan lereng. Pada bagian awal akan diperkenalkan tentang keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada lereng
1
(Bab 2). Jenis keruntuhan atau pergerakan yang terjadi pada lerenglereng ini diakibatkan oleh faktor-faktor luar dan dalam dari lereng. Mekanisme yang dapat menimbulkan keruntuhan pada lereng juga akan dijelaskan pada buku ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut akan dibahas pada bagian berikutnya (Bab 3). Dengan pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas lereng, maka akan dimengerti tindakan untuk mengurangi penyebab keruntuhan dan memperkokoh lereng. Untuk mengantarkan pada analisis stabilitas dan penstabilan lereng, maka pada bagian selanjutnya dijabarkan mengenai ilmu mekanika tanah yang terkait (Bab 4 dan 5). Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai parameter-parameter fisik dan mekanik tanah yang dipergunakan. Dengan paraneter-parameter tersebut, analisis stabilitas lereng dapat diestimasi (Bab 6). Beberapa tipe keruntuhan lereng sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, merupakan asumsi awal dilakukannya analisis stabilitas pada sebuah lereng. Selanjutnya penggunaan grafik-grafik untuk mempersingkat perhitungan yang berulang juga dijabarkan pada Bab 7. Mengingat lereng adalah struktur yang besar dan umumnya terkembang di alam terbuka, maka sering sekali pengaruh air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kestabilan lereng. Pengaruh air terhadap kestabilan lereng ini dijabarkan pada Bab 8. Selanjutnya penjelasan mengenai tegangan-tegangan yang terjadi pada massa tanah pada berbagai kondisi (diam, aktif dan pasif) akan dijelaskan (Bab 9). Bagian ini merupakan pengetahuan dasar untuk melakukan analisis penstabilan lereng atau pencegahan kelongsoran. Penanggulangan kelongsoran didasarkan pada mekanika kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja. Berbagai metoda untuk menanggulangi kelongsoran akan dijelaskan pada ini. Dinding penahan tanah graviti dan kantilever yang merupakan dinding penahan tanah yang sering digunakan pada aplikasi lapangan biasanya terbuat dari beton bertulang. Pembahasan mengenai dinding-dinding beton bertulang berikut tatacara perkuatannya dan perencanaanya dijelaskan pada Bab 10.
2
Pada bagian akhir buku ini (Bab 11), dikhususkan pada pembahasan mengenai stabilitas dinamis lereng. Metoda yang dijelaskan pada bagian ini merupakan metoda yang paling ampuh namun sederhana untuk diaplikasikan dalam bidang rekayasa. Pembahasan tentang perpaduan antara metoda-metoda empiris dan analitis dalam analisis dinamis untuk dinding penahan tanah dilakukan pada Bab 12. Secara rinci pada bagian ini dijelaskan dasar pengambilan metoda perhitungan dari hasil test terhadap model dinding penahan tanah. Selanjutnya untuk mengaplikasikan teori, diberikan contohcontoh kasus perhitungan. Meskipun sering terjadi pada daerah yang rawan terhadap seismik, pembahasan tentang bagian dinamik ini sangat jarang dijumpai pada buku-buku referensi.
3
BAB II
KERUNTUHAN PADA LERENG
2.1. Jenis Keruntuhan Lereng Pada lereng yang stabil dianggap tidak mengalami pergerakan baik ke arah bawah maupun ke atas lereng. Namun untuk lereng yang bergerak secara perlahan, dikatakan sebagai lereng yang tidak stabil. Terdapat berbagai jenis pergerakan yang terjadi pada lereng-lereng yang tidak stabil. Umumnya pergerakan-perhgerakan ini diakibatkan oleh keruntuhan baik yan secara tiba-tiba maupun perlahan. Pergerakan lereng yang diakibatkan oleh keruntuhan dari sistem lereng dapat dibagi menjadi enam (6) bentuk/tipe sebagaimana dijabarkan pada bagian ini.
a. Keruntuhan batu dan batuan (Rock falls or topples) Keruntuhan jenis ini berlangsung sangat cepat. Pada saat terjadi keruntuhan umumnya diikuti oleh jatuhnya batuan yang terlepas ikatannya. Batuan yang runtuh tidak hanya bergerak dengan posisi yang tetap akan tetapi dapat menggelinding dan berlompatan sebagaimana sebuah bola yang sedang dimainkan di tanah lapang yang miring (Gambar 2.1). Keruntuhan batuan bukan hanya terjadi pada lereng-lereng yang terbuat dari batu saja, tetapi juga terjadi pada lereng tanah yang mengandung batuan besar didalamnya. Bila batuan tersebut lepas ikatannya, maka pergerakan secara menggeser, menggelinding ataupun roboh dapat terjadi.
4
a. Menggeser
b.Menggelinding
c. Terlontar (jatuh)
Gambar 2.1. Beberapa contoh runtuhan batu Karakteristik dari runtuhan batuan tergantung pada keheterogenan dan dis-kontinuitas dari lapisan batuan. Ukuran dari masingmasing batuan yang runtuh sangat dipengaruhi oleh perilaku batuan, bentuk batuan dan distribusi dari susunan batuan. Keruntuhan batuan umumnya diakibatkan oleh lepasnya ikatan (geser) antar batuan dan menurunnya kekuatan batuan akibat pelapukan dan faktor eksternal lainnya.
a. Geser antar Batuan
b. Lepas atau Pelemahan
Gambar 2.2. Beberapa contoh runtuhan lereng batuan
5
Hal-hal yang menyebabkan keruntuhan lereng dari batuan adalah beberapa diantara berikut: 1. Bentuk geometri dari lereng. 2. Sistem sambungan dari t-t pada batuan dan hubungan antara sistem sambungan dengan kemungkinan timbulnya permukaan runtuh, 3. Kekuatan geser dari t (kontak) dan diskontinuitas pada sistem batuan, dan 4. Gaya luar yang menyebabkan ketidak-stabilan seperti resapan air diantara t (sambungan sistem batuan), beban tambahan dan getaran (seperti akibat kendaraan, mesin dan gempa bumi). Untuk mencegah kelongsoran (runtuhan) dari lereng terbuat dari batuan, hal yang harus diperhatikan adalah dengan mengalihkan (membuang) kumpulan batuan yang besar kemungkinan mempunyai potensi untuk longsor. Cara ini dapat dilakukan dengan membuat dimensi lereng yang secara teknik dapat dijamin keamanannya. Selain itu, untuk mencegah kemungkinan runtuh dari lereng batuan dapat dilakukan dengan menutupnya (covering) menggunakan shotcrete misalnya. Lapisan tersebut setidaknya akan mencegah kemungkinan meresapnya air diantara lapisan betuan dan yang dapat menimbulkan gaya tekan air yang merenggangkan dan melemahkan ikatan antar batuan. Untuk batuan yang cukup masih dalam ukuran yang besar, penggunaan anchor, baut atau dowel dapat pula dilakukan. Selanjutnya, untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat runtuhan batuan, pada bagian yang beresiko tinggi dapat dilakukan penutupan tirai (curtain) dengan menggunakan jaring dari kawat, atau pagar kawat dan tembok untuk menahan hantaman dari batuan yang menggelinding.
6
b. Keruntuhan permukaan lereng (Surfacial slope failure) Keruntuhan permukaan lereng ini diakibatkan pergerakan geser pada bidang runtuh (slip surface). Sebagaimana namanya, keruntuhan ini hanya melibatkan bagian permukaan dari lereng dengan kedalaman yang relative dangkal ( hingga 0 sampai 2 m saja). Pada beberapa kasus yang terjadi, bidang runtuh (slipsurface) sejajar dengan permukaan lereng. Namun dapat pula terjadi bidang runtuh yang tidak sejajar dengan permukaan lereng. Mekanisme yang dapat menimbulkan keruntuhan lereng permukaan pada lereng yang terbuat dari lempung adalah sebagai berikut. o
o
o
Mulanya lereng dalam keadaan stabil (saat lereng baru dibentuk). Dengan perubahan cuaca, pada musim kering/panas maka air tertangkap pada lempung akan menguap. Sesuai dengan sifat lempung yang dapat berkembang dan susut sesuai dengan kadar air yang dikandungnya, maka pada musin kering akan menyebabkan susut pada lapisan lempung terutama yang terdapat dipermukaan. Kedalaman retak yang diakibatkan susut tergantung dari beberapa factor antara lain suhu, kelembaban, vegetasi dan jenis lempung. Saat terjadinya hujan, maka air akan masuk di antara retakanretakan pada lapisan lempung permukaan. Masuknya air ini, seperti halnya yang terjadi pada batuan, akan memperlemah kekuatan geser diantara retakan lempung (effektif stress akan berkurang dan kohesinya menurun). Selain itu, air meresap akan mengakibatkan lempung pada bagian dasar retakan akan mengembang. Mulanya air akan terus mengalir diantara retakan lempung kering hingga menuju aliran bebas. Dengan mengembangnya dan jenuhnya lapisan lempung bagian luar dari lereng (hingga kedalaman retakan tertentu), terbentuklah saluran-saluran diantara retakan-retakan lempung yang paralel dengan kemiringan lereng. Saluran-saluran ini
7
o
makin lama makin bertambah besar dengan tererosinya beberapa partikel lempung. Dengan mengembangnya tanah, penjenuhan, terbentuknya saluran dan hilangnya kekuatan geser efektif pada lempung, maka terjadilah kelongsoran pada permukaan lereng pada kedalaman tertentu (kedalaman retakan lempung).
a. Mengering dan susut
b. Resapan air dan mengembang
c. Pelemahan
d. Runtuh permukaan
Gambar 2.3. Mekanisme keruntuhan lereng lempung
8
c. Keruntuhan lereng keseluruhan (Gross slope failure) Berlainan dengan keruntuhan lereng permukaan, pada keruntuhan lereng jenis ini melibatkan hampir keseluruhan lereng. Pada keruntuhan ini, tidak hanya terjadi pada lapisan tertentu dari lereng, tetapi melibatkan badan dari lereng tersebut yang bergerak secara gravitasi pada bidang geser tertentu.
Gambar 2.3. Keruntuhan seluruh lereng d. Gelincir (Landslide) Keruntuhan lereng (utama) dapat diartikan sebagai lereng yang tergelincir. Namun pada lereng tergelincir (landslide) umumnya melibatkan keruntuhan lereng yang besar yang memiliki beberapa lereng yang berbeda (bukan hanya satu lereng saja).
tuh
un ar
zon
n zon puka um
bidang runtuh
Gambar 2.4. Gelincir pada lereng
9
Gelincir dan keruntuhan lereng keseluruhan hanya berbeda mekanismenya saja. Dalam analisis untuk menilai kestabilannya, keduanya tidak dibedakan secara gamblang. Mengenai analisis stabilitas lereng akan dibahas secara khusus. e. Aliran tanah (Debris flow) Aliran tanah adalah pergerakan dari tanah yang telah bercampur dengan air dan udara (serta sampah) yang bergerak secara cepat atau perlahan tapi pasti (seolah-olah mengalir). Aliran tanah ini terjadi pada lereng-lereng yang relative tidak curam. Sehingga banyak tersedia waktu untuk bercampurnya tanah dengan air. Sehingga mekanisme mengalir zat cair lebih berperan dibanding mekanisme geseran pada tanah. Dalam banyak kejadian aliran tanah ini, dapat melibatkan batang-batang kayu, batu besar, ranting-ranting dan kotoran lainnya. Terminologi lain (sebutan lain) yang juga digunakan untuk aliran tanah adalah aliran lumpur (mud flow, debris slide, mud slide, earth flow). Dalam bahasa daerah banyak dikenalkan istilah mengenai pergerakan tanah ini misalnya: galodo, lahar dingin dan banjir bandang. Kandungan partikel lumpur dan lempung yang terlibat pada keruntuhan ini memiliki peran yang sangat penting.
lokasi runtuh
lokasi tujuan
Gambar 2.5. Aliran Tanah
10
f. Pergeseran (Creep): Pergeseran lereng yang dimaksud disini adalah pergerakan perlahan dari lereng yang terjadi terus menerus kearah kaki lereng. Pergeseran ini disebabkan dari pergeseran tanah yang mengakibatkan perpindahan yang permanen akan tetapi tidak merupakan pergerakan akibat keruntuhan (failure). Namun demikian, pergeseran ini pada gilirannya akan mempengaruhi lereng yang dapat mengakibatkan keruntuhan permukaan ataupun keruntuhan keseluruhan lereng. Pergeseran ini akan mengakibatkan retakan-retakan pada bangunan-bangunan (jalan, gedung, dinding penahan tanah atau jembatan). Namun penanganan pergeseran ini terkadang memerlukan biaya yang sangat besar dibandingkan kerugian material akibat pergeseran itu sendiri. Pada keadaan tersebut maka anggaran tetap untuk tindakan pemeliharaan terkadang lebih murah dibanding menahan pergerakan tanah itu sendiri.
Gambar 2.6. Pergeseran Tanah
11
2.2. Bentuk Keruntuhan lereng Berdasarkan bentuk dari bidang runtuhnya, keruntuhan lereng dibagi menjadi beberapa tipe yaitu: Keruntuhan datar, lingkaran dan tak teratur (kombinasi). Bentuk keruntuhan tersebut nantinya akan terkait dengan metoda analisis stabilitas lereng dan metoda memperkuatnya. Bentuk-bentuk keruntuhan dapat terjadi secara tunggal ataupun bersamaan pada suatu lereng. Sehingga dalam analisis stabilitas lereng, keseluruhan jenis keruntuhan tersebut harus dianalisis. Nilai keamanan yang terkecil dari hasil analisis selanjutnya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan teknis. a. Keruntuhan bidang datar Tipe keruntuhan ini adalah bentuk yang paling sederhana untuk dianalisis. Kelongsoran jenis ini juga dikenal dengan kelongsoran translasi. Keruntuhan jenis ini umumnya terjadi pada tanah yang memiliki lapisan yang melereng/miring seperti halnya bentuk keruntuhan tersebut. Keruntuhan slip (dangkal) termasuk salah satu bentuk keruntuhan tipe datar. Tipe kelongsoran jenis ini biasanya terjadi dengan melibatkan massa tanah yang tidak terlalu besar.
Massa yang Runtuh
Bidang Runtuh
Gambar 2.7. Keruntuhan bidang datar
12
b. Keruntuhan lingkaran Kelongsoran jenis lingkaran ini juga sering disebut sebagai kelongsoran rotasi. Kelongsoran jenis ini lebih bersifat global dan melibatkan massa tanah yang besar. Biasanya kelongsoran jenis ini akan diikuti oleh kelongsoran-kelongsoran kecil dalam massa tanah yang bergerak.
Bidang Runtuh Massa yang Runtuh
Gambar 2.8. Keruntuhan lingkaran
Dalam analisisnya kestabilan lereng, hanya satu bidang kelongsoran (bidang utama) saja yang akan diperhitungkan. Sehingga nilai keamanan yang diperoleh hanya untuk satu bidang lonsor saja. Selanjutnya bidang-bidang lain dianalisis terpisah dengan cara yang sama.
13
c. Keruntuhan tak-teratur Keruntuhan tidak teratur dapat merupakan kombinasi dari keruntuhan datar dan lingkaran serta bentuk lain yang bukan keduannya. Jenis keruntuhan ini juga sering terjadi pada tanah yang tidak homogen dan mempunyai beberapa lapisan tanah yang berbeda dalam lereng yang sama.
Massa yang Runtuh
Bidang Runtuh
Bidang Runtuh Datar Massa yang Runtuh
Bidang Runtuh Lingkara
Gambar 2.9. Keruntuhan Irregular dan Kombinasi
14
BAB III
GANGGUAN PADA LERENG Pada umumnya lereng baik yang terbuat dari tanah maupun batuan merupakan struktur alam yang terbuka. Dengan keadaan yang demikian, maka terdapat banyak faktor-faktor di alam terbuka yang dapat mempengaruhi (mengganggu) kestabilan lereng tersebut (Hakam, 2004b). Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pada lereng dapat berupa faktor alami (seperti panas matahari, air hujan, kelembaban dan sebagainya) maupun faktor akibat aktivitas manusia (seperti getaran kendaraan, ledakan, beban bangunan dan sebagainya). Dalam bagian ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang dapat mengganggu lereng sehingga berakibat pada keruntuhan. 3.1. Faktor Penyebab Keruntuhan Lereng Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keruntuhan pada lereng dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu disebabkan adanya gangguan luar dan gangguan dari dalam. Namun secara teknik penyebab tersebut pada gilirannya akan meningkatkan gaya penyebab runtuh atau menurunkan kekuatan tanah sedemikian rupa sehingga faktor keamanan / stabilitas lereng menurun. a. Gangguan luar Gangguan luar adalah semua gangguan dari luar struktur lereng baik diakibatkan oleh alam maupun buatan. Gangguan luar yang dapat menurunkan faktor keamanan (stabilitas) lereng adalah: 1.
Getaran yang dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia (lalulintas, ledakan dll) dan gempa bumi. Getaran arah horizontal mengakibatkan gaya lateral tambahan pada gaya-gaya yang telah ada dalam keadaan statis (gaya aktif dan pasif).
15
Sedangkan getaran vertikal menyebabkan berkurangnya berat tanah sehingga tahanan geser pada bidang kontak menjadi berkurang.
Wh = m.ah
Wg- = m.av av
ah
Gambar 3.1. Gaya tambahan akibat getaran 2.
Beban tambahan terutama yang diakibatkan aktivitas manusia seperti pembuatan gedung (bangunan) dan penimbunan benda-benda diatas lereng. Dengan meningkatnya beban tambahan, maka gaya yang mendorong tanah untuk bergerak (longsor) akan meningkat pula. Walaupun pada sisi lain gaya penahan juga akan meningkat, akan tetapi perbandingan dari keduanya tidak memberikan effek yang meningkatkan stabilitas lereng akan tetapi malah sebaliknya.
Gambar 3.2. Gaya tambahan akibat beban
16
3.
Hilangnya penahan lateral pada kaki lereng yang dapat disebabkan oleh pengikisan (erosi), penggalian dan aktivitas lainnya. Hilangnya penahan lateral ini secara lebih mudah dapat dianalisis dengan menggunakan metoda perhitungan stabilitas lereng dengan membandingkan antara lereng dengan dan tanpa penahan horizontal.
Gambar 3.3. Gaya tambahan dikaki lereng 4.
Hilangnya pelindung (tumbuhan penutup) pada badan lereng yang pada gilirannya memudahkan penyebab lain merusak stabilitas. Dengan hilangnya pelindung seperti tumbuhan rumput, maka aliran air pada lereng dapat mengikis (mengerosi) permukaan dan membuat alur aliran. Akumulasi dari hal tersebut dapat membuat gerakan tanah berupa aliran tanah.
Gambar 3.4. Pengaruh cuaca pada lereng tak terlindung
17
b. Gangguan dalam Gangguan dalam yang dapat mengakibatkan kurangnya stabilitas lereng adalah: 1.
Penurunan dan peningkatan kadar air dalam tanah. Pada tanah lempung, berkurangnya kadar air dapat menyebabkan meningkatnya ikatan antar butiran. Akan tetapi bila kadar air terus berkurang hingga batas susut, maka akan terjadi retakanretakan dalam tanah (fissure). Namun juga sebaliknya peningkatan kadar air yang berlebihan akan melemahkan kekuatan tanah dan juga dapat menurunkan tegangan efektif tanah dimana dapat memperlemah kekuatan lereng. Sedangkan kadar air pada tanah pasir tidak banyak merubah kekuatan dari tanah namun merubah berat dari pasir yang membentuk lereng.
2.
Naiknya massa tanah akibat terisinya rongga (pori) tanah oleh air. Dengan naiknya massa tanah pada lereng maka gaya pendorong yang cenderung menggerakkan lereng akan meningkat pula. Tanah yang dalam keadaan basah akan meningkat beratnya sehingga terjadi perubahan tekanan dorong dan tahanan pada lereng secara keseluruhan.
3.
Larutnya zat perekat pada butiran pasir (cemented agent) yang menyebabkan hilangnya ikatan antar butiran pasir. Dalam mekanika, hilangnya rekatan ini digambarkan sebagai hilangnya parameter kekuatan tanah (kohesi), sehingga kekuatan lereng hanya berdasarkan tegangan normal yang dikaitkan dengan parameter sudut geser dalam tanah (φ)
4.
Naiknya muka air tanah yang menyebabkan berkurangnya tekanan efektif tanah. Kekuatan tanah secara umum selalu dihitung berdasarkan kekuatan antar butir tanah (tegangan efektif = tegangan total – tekanan air). Sehingga dengan meningkatnya muka air tanah akan meningkatkan tekanan air dalam pori tanah dan mengurangi kekuatan efektif tanah.
18
5.
Pengembangan tanah (terutama tanah lempung) yang berada pada lapisan bawah yang dapat menyebabkan ketidak-stabilan pada bagian atasnya. Peristiwa pengembangan ini akan terkait dengan peristiwa penyusutan yang juga menyebabkan perubahan gaya-gaya dalam massa tanah secara parsial. Peristiwa kembang susut ini terjadi pada tanah yang terbuat dari lempung.
6.
Surutnya muka air yang cepat terutama pada lereng yang bersentuhan langsung dengan air seperti waduk. Surut yang yang lebih cepat dari aliran dalam tanah menyebabkan perubahan stabilitas lereng secara keseluruhan. Pada kondisi itu tekanan pori tanah masih sama dengan keadaan sebelumnya tetapi gaya apung air pada lereng telah menghilang. Perubahan kesetimbangan ini signifikan dapat menyebabkan perubahan kestabilan sehingga menyebabkan kelongsoran lereng.
Gambar 3.5. Perubahan posisi muka air pada lereng 7.
Liquifaksi pada pasir halus akibat gempa. Likuifaksi diakibatkan meningkatnya tekanan air dalam tanah oleh gerakan seismik. Bila tegangan ini tidak segera dilepaskan melalui aliran air dari dalam pori tanah, maka tekanan efektif akan berkurang. Bila tekanan efektif mencapai harga nol, maka tanah akan berperilaku seperti cairan (air). Dalam keadaan ini maka hilanglah tahanan tanah secara keseluruhan. Peristiwa ini disebut dengan likuifaksi yang dapat terjadi pada pasir halus jenuh air. Pasir halus memiliki pori-pori yang kecil sehingga tidak dapat meluluskan air dengan cepat.
19
3.2. Identifikasi Faktor Pengganggu Lereng Dengan mengelompokkan gangguan berdasarkan pengaruhnya dari luar dan dalam, selanjutnya dapat diidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan tersebut. Sejumlah faktorfaktor tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan asal dan jenis sumber penyebabnya, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Topografi Geologi Air dalam tanah Cuaca Getaran Sejarah waktu
Faktor-faktor diatas dapat saja menganggu sebuah lereng dalam waktu dan posisi yang sama namun dapat pula secara berbeda. Dapat pula pengaruh tersebut terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan namun memberi effek yang saling menunjang. Misalnya adalah terik matahari siang yang menyebabkan terbentuknya retakan pada lereng dan tekanan air hujan yang melemahkan ikatan pada retakan-retakan, keduanya terjadi pada waktu yang berbeda namun memberi effek pada tempat yang sama. Dalam analisis sebuah lereng, untuk mengestimasi keamanannya terhadap faktor-faktor pengganggu, dapat dilakukan sejumlah kombinasi. Keputusan untuk menentukan keamanan lereng selanjutnya harus selalu diambil berdasarkan kemungkinankemungkinan yang cukup ekstrim. Selain itu pertimbangan biaya konstruksi dan resiko akibat kelongsoran juga tetap dipertimbangkan. Pada Tabel 3.1 berikut dicantumkan hal-hal yang mesti diidentifikasi terkait dengan stabilitas sebuah lereng.
20
Tabel 3.1. Hal-hal yang perlu diidentifikasi terkait keruntuhan lereng Jenis faktor Keterangan Faktor yang diidentifikasi Topografi Peta ketinggian Pertimbangkan hal-hal tentang bentuk dari muka tanah (Topography) yang tidak menentu seperti bergelombang, coakkan, bagian yang menggelembung. Saluran permukaan Evaluasi kondisi keteraturan dan kelancaran draenase serta ketidakteraturan (irregular) yang terjadi. Profil Lereng Dievaluasi sepanjang kontur dan peta geologi. Sejarah lereng Geologi (Geology)
Formasi batuan dan tanah pada lereng
Struktur lereng
Pelapukan
Seperti durasi dari perubahan terhadap waktu dan hubungannya dengan air tanah, cuaca serta getaran. Pertimbangkan urut-urutan dari formasi, colluvium (bidang kontak bedrock dengan tanah residual), formasi dari pengalaman yang lalu yang menandakan sesuatu yang perlu dicurigai, pergantian jenis batuan. Evaluasi bentuk tiga dimensi dari geometri, stratigrafi, lipatan geologi, patahan geser dan patahan vertikal .Juga perlu diperhatikan bagian sesar besar disekitar yang berkaitan dengan lereng. Pertimbangkan karakter penyebab (kimiawi, mekanika dan larutan) serta keseragamannya (kemiripan or bervariasi).
21
Jenis faktor Hal yang diidentifikasi Air Tanah Elevasi Piezometric (Groundwater) sepanjang lereng Variasi tekanan air
Indikasi muka air tanah
Efek dari aktifitas manusia
Kimiawi air tanah Cuaca (Weather)
Data curah hujan Temperatur Tekanan Udara (Barometri )
Keterangan Perbedaan tekanan air di dalam lereng, seperti level normal, level tepat pada sisi muka lereng dan level artesis dalam kaitannya dengan formasi dan struktur. Variasi level peizometrik yang disebabkan perubahan cuaca, getaran dan sejarah perubahan kemiringan lereng. Faktor lain yang terkait adalah curah hujan, fluktuasi musim dari tahun ke tahun. Indikasi dari muka air tanah dapat dilihat dari keadaan permukaan yang dipengaruhi air tanah seperti aliran air di permukaan, perbedaan vegetasi dan sebagainya. Efek dari kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi air-tanah seperti penggunaan air tanah, penambahan air tanah, perubahan lapisan dari permukaan, kemungkinan peresapan permukaan dan perubahan pada air yang ada dipermukaan. Kimiawi air tanah seperti larutan, kadar garam, ion-ion yang terkandung dll. Pertimbangkan curah hujan dari harian, bulanan atau tahunan. Perhatikan perubahan suhu baik harian, perubahan mendadak siang malam dan sebagainya. Perbedaan yang terjadi pada tekanan udara. Dapat saja hal ini mempengaruhi secara tidak langsung.
22
Jenis faktor Getaran (Vibration)
Hal yang diidentifikasi Alami Buatan manusia
Sejarah Lereng (History of slope)
Proses alami
Buatan manusia
Laju perubahan
Keterkaitan faktor
Keterangan Peristiwa getaran alam (gempa, gunung api dll). Getaran yang diakibatkan ledakan, alat transportasi, mesin-mesin. Seperti perubahan geologi yang perlahan, erosi, buktibukti pergerakan masa lalu, bekas rekahan dan sebagainya. Kegiatan manusia termasuk galian, urugan, pemotongan permukaan tanah dengan alat berat, paving, pengosongan reservoir dan banjir. Juga kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan air tanah, air muka tanah dan perubahan pada vegetasi diatas lereng. Laju perubahan dapat ditentukan dengan bukti visual berupa bukti keragaman dan tata letak pada jenis vagetasi. Bila terdapat instrumentasi terpasang, juga perhatikan data dari alat-alat yang terpasang seperti vertical changes, horizontal changes dan internal strains dan tilt, termasuk riwayat waktu dari catatan tersebut. Hubungan antara pergerakan dengan air tanah, cuaca, getaran dan aktivitas manusia serta faktor lainnya.
23
3.3. Pemilihan Metoda Analisis Kestabilan Lereng Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan pada lereng, sangat bermanfaat dalam tindakan lanjutan dalam analisis kestabilan lereng. Berdasarkan sejumlah faktorfaktor yang menyebabkan keruntuhan lereng, maka dapat dipilih metoda analisis stabilitas lereng untuk mengetahui keamanan lereng tersebut terhadap gangguan yang ada. Sejumlah metoda analisis kestabilan lereng telah dikembangkan berdasarkan perilaku lereng, parameter-parameter, asumsi-asumsi dan penyederhanaan tertentu. Untuk dapat memilih dan menggunakan metoda yang sesuai dengan kasus yang dihadapi, maka identifikasi masalah terhadap lereng harus cukup lengkap dan disesuaikan dengan hal-hal yang dipertimbangkan dalam pengusulan metoda analisis. Sebagai contoh, metoda analisis lereng yang menggunakan parameter c u misalnya, sangat tidak sesuai dengan lereng yang terbuat dari tanah berbutir kasar. Tindakan selanjutnya adalah meningkatkan stabilitas lereng dengan faktor keamanan terterntu dengan dasar faktor-faktor yang mengganggu dan hasil analisis kestabilannya. Berbagai metoda stabilitas lereng telah dikembangkan. Dari sejumlah metoda yang telah dikembangkan dapat dipilih beberapa metoda yang mungkin dilakukan berdasarkan data-data yang ada. Selanjutnya dari sejumlah yang mungkin dilakukan, dipilih metoda yang sesuai berdasarkan kriteria biaya, waktu, alat, keahlian, umur penanganan, keindahan dan sebagainya.
24
BAB IV
SIFAT FISIK TANAH UNTUK LERENG
Tanah merupakan material geologi yang berada pada bagian kerak bumi sebagaimana halnya batuan. Secara kimiawi, batuan dan tanah dapat mempunyai unsur yang sama, namun keduanya dibedakan berdasarkan sifat fisiknya. Untuk membedakan antara tanah dengan batuan yang bersifat keras dan solid, maka tanah dapat didefinisikan sebagai material geologi yang mempunyai butiran-butiran yang lepas (tidak solid) dan mempunyai kekuatan tekan kurang dari 250 kg/cm2. Propertis tanah yang dimaksud pada bagian ini adalah parameterparameter tanah yang dapat diukur atau dihitung dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam bidang teknik sipil. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa setiap tanah yang terdapat pada lokasi dan kondisi yang berbeda mempunyai nilai parameter yang berbeda. Dengan pengertian tersebut maka dapat diartikan berbalik, bahwa untuk membedakan atau membandingkan satu tanah dengan yang lain dapat dilakukan dengan membandingkan parameter-parameter yang dimilikinya sesuai dengan keperluan dari pembandingan tersebut. Dalam menentukan propertis tanah harus diperhatikan satuan yang digunakan untuk mengukur besarannya. Sebab dalam beberapa hal, satuan yang digunakan dapat menjadi hal yang menambah pengertian atau bahkan sebaliknya dapat mengaburkan arti dari paramater tanah tersebut.
25
Secara mendasar tanah dibedakan berdasarkan gradasi butirannya menjadi dua bagian besar yaitu tanah berbutir halus dan tanah berbutir kasar. Tanah berbutir halus yang utama adalah lempung (clay dilambangkan C), dan terkadang juga lanau (silt dengan lambang M dari kata Mud). Sedangkan tanah berbutir kasar adalah pasir (sand dengan lambang S) dan kerikil ( gravel dilambangkan G ). Walaupun secara mendasar dibedakan dari ukuran butirannya, namun secara perilakunya, kedua jenis tanah tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Sebagai contoh, tanah lempung mempunyai kekuatan yang sangat dipengaruhi dengan kandungan air yang ada di dalamnya, sedangkan tanah pasir perilakunya tidak banyak dipengaruhi oleh air yang dikandungnya. Perilaku yang terkait dengan air pada tanah lempung yang berkaitan dengan pekerjaan praktis antara lain adalah sifat mengembangnya (swelling) dan penurunan akibat konsolidasi yang keduanya tidak dipelajari untuk tanah pasir.
Vv
Va
Gas (Air)
Vw
Air (Water)
Ww
Vs
Butir Tanah (Solid)
Ws
Wa ~ 0
Vtot Wtot
Pembagian Volume
Pembagian Berat
Gambar 4.1. Susunan unsur material sampel tanah
26
4.1. Partikel Tanah Ukuran partikel tanah adalah beragam mulai dari yang besar hingga yang terkecil yang dapat melayang di dalam air. Pada selang ukuran tertentu, telah diberikan nama-nama bagi ukuran partikel yang berguna untuk dapat berkomunikasi dan saling memahami. Dalam bagian ini akan diberikan beberapa istilah atau nama-nama sedimen tanah yang didasarkan pada ukurannya. Lapisan Batuan (Bedrock) Nama ini diberikan pada lapisan batuan yang biasanya terdapat di dalam lapisan tanah. Bedrock biasanya terbentuk akibat pendinginan magma (batuan beku) yang akhirnya membeku dan dilapisi diatasnya oleh lapisan tanah yang mengeras (batuan sedimen). Singkapan lapisan batuan dapat muncul ke permukaan bumi akibat proses-proses geologi membentuk lereng-lereng dan tebing-tebing. Walaupun secara nominal berukuran besar dan keras, kelongsoran pada tebing/lereng batuan dapat juga terjadi akibat pelemahan ikatan dan hal-hal lain yang mengganggunya. Batu (Boulder, cobble) Nama-nama tersebut adalah pecahan atau fragmentasi dari batuan (rock) atau hasil pembekuan mineral letusan gunung berapi yang mempunyai ukuran dari satu meter (atau lebih sedikit) hingga 75 mm. Dalam bahasa sehari-hari, ukuran Boulder disebut batu besar sedangkan cobble adalah batu yang biasanya digunakan sebagai bahan bangunan (untuk pasangan batu). Pada lereng tanah yang mengandung batu-batu ini, dapat terjadi lontaran batu secara tunggal ataupun bersamaan. Kerikil (Gravel, pebble) Gravel dan pebble adalah ukuran butiran yang lebih besar dari pasir yang biasa disebut dengan kerikil. Kerikil digunakan
27
sebagai agregat kasar dalam pencampuran beton. Ukuran kerikil adalah diantara 75 mm hingga 2 (atau 5) mm. Pasir (Sand) Ukuran butiran tanah yang berada dibawah kerikil disebut dengan pasir. Dalam kegiatan praktis di lapangan dan juga disebabkan beberapa perilakunya, terkadang pasir juga dibagi menjadi pasir kasar dan pasir halus. Ukuran butiran pasir berkisar antara 5 (atau 2) mm hingga 0.074 mm. Dalam susunan saringan berdasarkan kode klasifikasi Unified, pasir berada pada saringan nomor 4 hingga nomor 200. Lanau (Silt) Partikel tanah yang lolos saringan nomor 200 dan mempunyai ukuran 0.074 hingga 0.002 mm disebut dengan lanau. Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, antar partikel lanau mempunyai bidang kontak yang kecil sehingga tahanan gesernya sangat rendah. Berbeda dengan lempung (clay), lanau tidak bersifat kohesif (lengket). Namun dengan adanya kandungan lempung yang cukup rendah (5% hingga 8%) saja, dapat memberikan nilai kohesif yang berarti pada lanau. Lampung (Clay) Lempung adalah fraksi terkecil dari tanah. Ukuran butiran lempung antara 0.002 hingga 0.001 mm. Berbeda dengan sifat butiran tanah sebelummnya, lempung mempunyai sifat kohesif yang tinggi. Sifat kohesif (lengket) lempung ini disebabkan mineral yang membentuk lempung tersebut sedemikian rupa sehingga terjadi dua kutub listrik statis pada permukaannya. Mineral lempung berbentuk seperti lempengan-lempengan kecil (seperti lembaran-lembaran keras tebal) yang bermuatan listrik negatif pada bidang pemukaan dan bermuatan positif pada sisisisinya. Dari bentuk dan muatan listrik negatifnya inilah maka lempung bersifat kohesif dan menarik molekul air.
28
Molekul air terdiri dari satu atom oksigen dan dua atom hidrogen yang membentuk sudut 105o. Secara skematik dapat terlihat bahwa molekul air memiliki dua kutub yang berbeda (dipole). Kutub positif air tertarik pada bidang/permukaan lempung yang negatif, sedangkan kutub negatifnya mengarah pada bagian yang berlawanan. Kutub negatif tersebut selanjutnya menarik kutub positif molekul air yang lain dan seterusnya. Ikatan-ikatan ion inilah yang menjelaskan mengapa partikel lempung sangat mengikat air dalam jumlah yang banyak.
Muatan + Muatan -
O2--
H+
H+ Molekul air (dipole)
Gambar 4.2. Partikel Lempung dan Molekul Air
Terdapat tiga jenis mineral lempung yang sangat dikenal dalam mekanika tanah. Montmorillonite adalah mineral lempung yang paling aktif dalam berinteraksi dengan air. Mineral ini dapat mempunyai indeks plastis lebih dari 150%. Ini menunjukkan bahwa mineral ini dapat menyerap air lebih banyak dari beratnya sendiri. Dengan sifat yang demikian, lempung ini dapat
29
digunakan untuk beberapa keperluan antara lain adalah sebagai lapisan penyekat air. Tetapi dengan sifatnya yang demikian, konstruksi yang berinteraksi langsung dengan lempung montmorillonite harus mendapat perlakuan khusus antara lain dalam mengatasi massalah kembang susut akibat rembesan air. Mineral lempung yang lain adalah Illite dengan indeks plastis 30 hingga 50 dan Kaolinite dengan indeks plastis 10 hingga 20. Kaolinite banyak digunakan dalam industri sebagai bahan keramik dan untuk pembuatan batu bata. Sifat lempung yang sangat atraktif terhadap air ini menjadi bagian yang menarik untuk diteliti. Penelitian tentang perilaku tersebut telah dan masih akan banyak dilakukan. Batas-batas kadar air pada mineral lempung yang memberikan sifat cair, plastis dan padat dari beberapa mineral lempung dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Batas konsistensi mineral lempung (Mitchell, 1976) Nama mineral
Batas Cair
Montmorillonite
100900
Illite
60120
Kaolinite
30110
Nontronite
3772
Hallosysite
3555
Attapulgite
160230
30
Chlorite
4447
Allophane
200250
4.2. Klasifikasi Tanah Secara garis besar, tanah dibedakan menjadi dua golongan utama, yaitu tanah berbutir kasar dan tanah berbutir halus. Penggolongan ini didasarkan atas ukuran butirannya. Yang termasuk tanah berbutir halus adalah tanah lempung dan lanau, sedangkan yang berukuran besar dari lanau digolongkan sebagai tanah berbutir kasar. Pada tanah berbutir kasar, pembagian lebih ditailnya didasarkan pada ukuran seperti pasir halus, sedang dan kasar. Selain itu, berdasarkan keragaman gradasinya, dapat digolongkan menjadi bergradasi seragam (poor-graded), gradasi berlobang dan bergradasi baik/lengkap (well-graded). Tanah dengan gradasi yang lengkap umumnya mempunyai tahanan geser yang baik dibanding dengan tanah bergradasi seragam. Hal ini dikarenakan pada gradasi yang lengkap, partikel tanah saling mengisi rongga dan saling mengunci hingga mempunyai kontak antar butir yang lebih banyak dan baik. Selain itu, tanah dapat pula digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan sifat kerekatannya, yaitu tanah kohesif (lempung) dan tanah non-kohesif. Pada penggolongan ini, tanah kohesif masih digolongkan berdasarkan kesensitivannya terhadap gangguan dari luar. Tanah yang mempunyai perobahan perilaku yang lebih mencolok dengan adanya gangguan, dikatakan lebih sensitif dan sebaliknya. Selain itu, mengingat tanah lempung mempunyai perilaku yang sangat terpengaruh dengan air, maka khusus untuk tanah ini, penggolongannya didasarkan pada perilakunya terhadap air. Untuk keperluan tersebut, maka kadar air yang ada di dalam sampel lempung, dijadikan patokan untuk mengklasifikasikannya.
31
Kandungan organik dalam tanah juga sebagai salah satu hal yang dijadikan alternatif untuk menggolongkan tanah. Kandungan organik yang ada didalam tanah, dinyatakan dalam persentase berdasarkan berat (seperti halnya kandungan air). Walaupun warna dan bau tanah organik cukup mencolok untuk dibedakan, tetapi hal tersebut tidak menjadi patokan dalam mengidentifikasi kandungan organik dalam tanah. Kandungan organik dalam tanah dinyatakan dalam dua golongan utama yaitu banyak/tinggi (Organic High-OH) dan sedikit/rendah (Organic Low-OL). Untuk keperluan teknik sipil secara umum, terdapat banyak cara (termasuk ketentuan/prosedur) yang dapat digunakan untuk menggolongkan tanah seperti cara Unified (diusulkan Casagrande, 1948 dan diadopsi oleh ASTM) yang sudah cukup populer. Untuk keperluan yang berlainan, misalnya pertanian, jalan raya atau lapangan udara, maka penggolongan (klasifikasi) tanah dan prosedurnya akan berbeda. Walaupun penggolongan tanah tidak merupakan hal yang sangat penting dalam rekayasa geoteknik termasuk stabilitas lereng, namun hal tersebut masih tetap diperlukan antara lain untuk: -
Memperkirakan perilaku yang akan terjadi pada sebuah bangunan lereng dan struktur geoteknik yang diperlukan. Beberapa metoda perhitungan hanya dapat dipergunakan untuk jenis tanah tertentu seperti lempung misalnya, sehingga dengan mengetahui jenis tanah yang membentuk lereng, maka untuk analisis rekayasa geotekniknya dapat dipilih metoda yang sesuai.
-
Untuk membuat peta perilaku yang umum dari sebuah deposit tanah pada suatu daerah yang sempit atau luas. Peta tersebut dapat digunakan untuk kepentingan dalam mengambil keputusan terhadap eksplorasi geoteknik yang diperlukan pada suatu wilayah tertentu.
-
Untuk dapat mengerti dengan baik perilaku tanah dan bangunan diatasnya berdasarkan catatan kejadian
32
sebelumnya. Hal tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan dan mengambil keputusan teknis pada daerah lain dengan klasifikasi tanah yang serupa.
4.3. Propertis tanah untuk lereng Terdapat sejumlah propertis fisik pada tanah yang sering dipelajari pada mekanika tanah. Namun tidak semuanya dipergunakan dalam analisis kestabilan lereng yang lingkupnya terbatas. Terdapat beberapa propertis yang perlu diketahui dan sering dipergunakan dalam kaitannya dengan pembahasan stabilitas lereng seperti yang akan dijabarkan pada bagian berikut. a. Berat-volume tanah (γ) Berat volume tanah (berat satuan=unit weight) adalah besarnya satuan berat tanah tiap satuan volume. Berat satuan tanah ditentukan dengan membandingkan berat tanah dengan volume yang diisinya. Berbeda dengan spesific gravity yang merupakan perbandingan massa butiran tanah dengan volume butiran saja, berat satuan tanah meliputi perbandingan seluruh berat termasuk butiran, air dan udara pada tanah tersebut dengan keseluruhan volumenya.
γ=
Wtot Vtot
4.1
Berat satuan tanah sangat penting dalam mengestimasi gaya-gaya yang bekerja pada tanah akibat berat sendiri. Selain itu, beban lateral akibat berat tanah juga ditentukan oleh berat satuan dari tanah. Dalam bagian selanjutnya akan diperlihatkan bahwa parameter berat satuan ini menjadi sangat penting dalam analisis gaya-gaya dan tekanan dalam tanah.
33
Selain berat satuan juga terdapat parameter tanah berupa berat volume kering (γ d ), yaitu merupakan nilai perbandingan dari berat tanah dalam keadaan kering (butiran tanah) dengan volumenya pada saat basah (volume total). Berat kering merupakan parameter tanah yang sering digunakan dalam rekayasa pemadatan tanah dan perbaikan tanah dengan bahan tambahan. Berat volume kering akan selalu lebih rendah dari berat volume tanah basahnya. Dalam proses pemadatan tanah tertentu, akan dijumpai/terdapat berat volume kering maksimum dengan kadar air tertentu (optimum).
γd =
Ws Vtot
4.2
b. Spesific gravity (Gs) Spesific gravity adalah salah satu parameter tanah yang sering diuji di laboratorium yang merupakan perbandingan massa butiran tanah dengan volume dari butiran tanah tersebut. Untuk menghilangkan satuannya, perbandingan berat/massa dan volume butiran tersebut dibandingkan (dibagi) dengan berat/massa satuan air pada suhu 4oC (yaitu 1 t/m3 atau 9.81 kN/m3).
Gs =
Ws 1 . Vs γ w
4.3
Spesific gravity digunakan untuk menghitung angka pori dari sedimen tanah yang selanjutnya digunakan sebagai data dalam perhitungan penurunan tanah akibat beban. Untuk berbagai jenis partikel tanah, nilai spesific gravity mempunyai rentang yang tidak besar seperti ditampilkan dalam Tabel 4.2.
34
Tabel 4.2. Nilai spesific gravity beberapa jenis tanah (Das, 1990) Jenis Nilai Tanah Gs Keriki l (Gravel)
2.65 – 2.68
Pasir (Sand)
2.65 – 2.68
Lanau (Silt)
2.62 – 2.68
Lemp ung Organik (O-Clay)
2.58 – 2.65
Lemp ung Nonorganik (Clay)
2.68 – 2.75
Dalam analisis aplikasi mekanika tanah, nilai Gs=2.67 sering digunakan dalam perhitungan untuk tanah berbutir (cohesionless) dan Gs=2.70 untuk lempung in-organik. Sebagai patokan, nilai Gs lebih dari 3.0 dan kurang dari 2.5 sangat jarang untuk tanah. c. Kadar air (w) Kadar air adalah propertis tanah yang menggambarkan perbandingan dari berat air yang ada dalam sampel tanah dengan berat dari partikel tanah kering. Nilai kandungan air ini dalam berbagai pengujian sampel tanah hampir selalu dilakukan. Kadar
35
air mempunyai satuan persen (%), namun dalam pemakaiannya terkadang satuan persen tersebut tidak dituliskan. Parameter kadar air tidak dipakai secara langsung dalam analisis stabilitas lereng. Tetapi nilai kadar air sangat berguna bagi praktisi dalam menentukan keputusan terhadap situasi yang ada. Nilai kadar air menjadi patokan dalam menentukan kekuatan dan perilaku tanah terutama tanah berbutir halus. Dalam bentuk persamaan matematis kadar air dapat dituliskan sebagai berikut:
w=
Ww .100% Ws
4.4
Pengujian kadar air sangat penting dalam mempelajari sifat lempung (aktivitas) terhadap pengaruh air. Nilai keaktivan lempung dalam berinteraksi dengan air sering dinyatakan sebagai indeks plastis (I p ) yang merupakan selisih dari kadar air dalam kondisi di batas perilaku cairnya (Liquid Limit, w LL ) dengan kadar air dalam kondisi di batas keplastisannya (Plastic Limit, w PL ). Sedangkan, untuk tanah dalam keadaan aslinya di lapangan, kadar air yang dikandungnya dikenal dengan kadar air asli/natural (w N ). Dalam kegiatan praktis, nilai kadar air sangat berguna seperti dalam kegiatan pemadatan tanah dan perbaikan tanah (soil improvement) dengan bahan tambahan. Selain itu, untuk tanah lempung yang berada dibawah muka air tanah, kadar air pada tanah tersebut memberikan beberapa pengertian dalam memprediksi perilaku lempung tersebut. Bila kadar air asli (w N ) hampir (mendekati atau sekitar) kadar air batas cair (w LL ), maka umumnya tanah tersebut dalam keadaan tidak terkonsolidasi
36
(normally consolidated). Pada keadaan ini, maka kegiatan (gangguan, seperti pemadatan atau pemancangan tiang) terhadap tanah tersebut akan mengubah tanah berperilaku seperti cairan kental (viscous). Sedangkan tanah dibawah muka air tanah dengan kadar air mendekati batas plastis, menunjukkan tanah tersebut telah terkonsolidasi (over consolidated) sebelumnya. d. Derajat kejenuhan Derajat kejenuhan (S r ), merupakan persentase dari perbandingan volume air dengan volume pori. Pada tanah dalam keadaan jenuh, seluruh porinya akan terisi dengan air, atau derajat kejenuhannya S r =100% dan pada tanah yang kering dimana tidak mengandung air, derajat kejenuhannya adalah 0%.
Sr =
Vw . 100% Vv
4.5
e. Angka pori dan porositas Angka pori (e), adalah angka yang menunjukkan perbandingan volume dari pori tanah dengan volume dari butiran tanah. Angka pori (void ratio) sering dipakai dalam analisis penurunan akibat konsolidasi.
e=
Vv Vs
4.6
Porositas (n), adalah nilai perbandingan volume pori dengan volume dari tanah keseluruhan. Tanah dengan gradasi yang seragam, memiliki pori antar butir yang banyak sehingga porositasnya akan besar pula. Dibandingkan dengan tanah yang bergradasi rapat dimana pori-pori antar butiran besar diisi oleh
37
butiran yang lebih kecil, akan memiliki porositas yang kecil pula. Tanah yang poros (berpori) akan mengalirkan air lebih cepat dan banyak dibanding tanah yang tidak poros.
n=
Vv Vtot
4.7
f. Kerapatan relatif Kerapatan relatif (D r ), merupakan parameter yang diturunkan dari beberapa sifat fisik tanah lainnya. Kerapatan relatif sering dipergunakan untuk tanah-tanah berbutir kasar. Kerapatan relatif adalah persentase dari perbandingan beberapa nilai berat volume tanah pasir atau angka porinya. Nilai ini menunjukkan kepadatan tanah berbutir seperti dalam Tabel 4.3. berikut: Tabel 4.3. Nilai Kerapatan dan berat volume beberapa jenis tanah (Das, 1985)
38
Jenis Kerapatan Tanah
Nilai Dr
Sangat lepas (very loose)
0– 15
lepas (loose)
15 – 50
Sedang (medium)
50 – 70
Padat (dense)
70 – 85
Sangat padat (very dense)
85 – 100
39
BAB V
MEKANIKA TANAH UNTUK LERENG 5.1 Sifat Mekanik Tanah Untuk mempelajari mekanika tanah, maka dikenalkan parameter atau propertis mekanik tanah yang nilainya dapat diukur atau dihitung dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam bidang teknik sipil. Setiap jenis tanah yang berada pada lokasi dan kondisi yang berbeda mempunyai nilai parameter yang berbeda. Maka untuk menentukan propertis mekanik tanah harus dilakukan dengan mengukur parameterparameter yang dimaksud sesuai dengan keperluan dari pengukuran tersebut. Banyak referensi yang dapat digunakan untuk pembahasan mengenai mekanika tanah diantaranya adalah Hakam (2008)a. Tanah merupakan material geologi yang mempunyai mekanisme tertentu dalam mengantisipasi atau merespon gangguan yang diberikan padanya. Respon yang diberikan tanah dapat berbentuk peningkatan tegangan (tegangan total dan effektif) ataupun dalam bentuk pergerakan (perpindahan, geser, longsor atau penurunan). Setiap respons dari tanah mengikuti mekanisme yang dapat dipelajari sebagaimana halnya yang terjadi pada material-material lainnya. Tegangan yang terjadi dalam massa tanah umumnya diakibatkan perubahan kesetimbangan gaya-gaya pada sistem tanah. Bila tegangan yang terjadi masih dalam batas kekuatan tanah, maka tidak terjadi keruntuhan pada sistem tersebut. Kekuatan tanah dirumuskan dengan persamaan khusus berikut parameter-parameter yang digunakan. Selain itu, dengan adanya perubahan tegangan pada tanah, akan terjadi
40
deformasi sesuai dengan peningkatan tegangan tersebut. Estimasi besarnya deformasi pada sistem tanah pada cara analitis dilakukan terpisah dengan kekuatan tanah. Namun untuk metoda yang lebih lanjut dengan bantuan metoda numerik, kekuatan dan deformasi dianalisis secara simultan. Pada mekanika tanah dikenal dengan adanya deformasi yang diakibatkan oleh proses transfer tegangan dari tegangan pada pori tanah ke tegangan pada partikel tanah yang disebut dengan konsolidasi. Proses konsolidasi terjadi umumnya pada tanah berbutir halus yang memiliki kemampuan untuk memampat. Pada pekerjaan praktis di lapangan, sering terdapat permasalahan yang tidak menguntungkan dalam pemanfaatan kekuatan tanah dan sifat deformasinya. Untuk itu maka diperlukan inovasi rekayasa geoteknik dengan memanfaatkan pengetahuan tentang mekanika tanah dan teknologi yang sedang berkembang. Sebagai contoh, pada permasalahan rekayasa stabilitas lereng timbunan diatas tanah lunak, maka hal yang paling mudah untuk meningkatkan kuat geser tanah adalah menggantikan tanah tersebut dengan material lain yang memiliki daya dukung lebih baik. Namun hal tersebut biasanya dibatasi oleh masalah besarnya dana yang tidak realistis. Dalam kasus tersebut, maka metoda penimbunan dan penggunaan jenis konstruksi pondasi yang cocok untuk digunakan perlu dipertimbangkan. Selain itu, kemungkinan penggunaan bahan aditif untuk meningkatkan kekuatan tanah juga merupakan alternatif yang mungkin dilakukan disamping penggunaan bahan perkuatan geosintetis. 5.2. Kuat geser tanah Dalam kaitannya dengan analisis stabilitas lereng dan analisis penstabilan lereng, menentukan kuat geser tanah adalah merupakan hal terpenting. Keamanan lereng akan ditentukan oleh nilai perbandingan antara kekuatan tanah yang menahan beban geser dengan tegangan yang dapat menyebabkan pergerakan.
41
Kekuatan tanah (strength) dinyatakan dalam kekuatannya menahan tekanan dan geseran. Kekuatan geser tanah adalah bagian yang lemah dari tanah untuk menahan beban. Artinya adalah bahwa butir-butir tanah lebih cenderung lepas bergeser ketimbang hancur tertekan. Selain itu tanah adalah merupakan material berbutir yang saling lepas dimana bila diberi tekanan, masing-masing butir akan lebih mudah untuk saling bergeser. Sebenarnya selain terjadi geser antar butiran tanah, terjadi pula tekanan pada butiran itu sendiri. Namun biasanya akibat beban yang bekerja, tahanan geser antar butir tanah akan terlampaui dahulu sebelum butirannya hancur tertekan. Oleh sebab itu, dalam ilmu mekanika tanah, ada kecenderungan untuk menggunakan sifat geser tanah untuk menyatakan kekuatan tanah terhadap beban-beban yang bekerja. Tahanan geser tanah adalah nilai tegangan geser tanah (τ), yang merupakan penjumlahan dari sifat rekat tanah (c = kohesi) dengan perkalian dari koefisien geser tanah (tan φ) dengan tegangan normal (σ) yang bekerja, ditulis sebagai:
τ = c + σ tanφ
5.1
Persamaan diatas bila diplotkan dalam bidang tegangan normal– tegangan geser, adalah merupakan persamaan garis lurus yang dinyatakan sebagai garis batas keruntuhan (failure line/envelope). Nama lain dari garis tersebut adalah garis Mohr-Coulomb. Dalam ilmu mekanika di bidang lainnya, nilai ‘tan φ’ dikenal dengan koefisien geser material dari sebuah bidang geser. Namun telah menjadi kebiasaan di bidang mekanika tanah, bahwa koefisien geser tanah tidak disebutkan secara langsung akan tetapi disebutkan sudut yang dibentuk garis keruntuhan terhadap bidang horizontal (seperti pada Gambar 5.1).
42
Tegangan geser,
τ φ
Tegangan normal, σ
c
Gambar 5.1. Garis keruntuhan di bidang tegangan normal-geser Parameter kuat geser tanah dinyatakan dalam bentuk kerekatan (c = kohesi) antar partikel tanah dan sudut geser dalam tanah (φ). Kohesi yang ada di dalam tanah diakibatkan oleh kekuatan tarikan ion-ion yang membentuk mineral tanah. Kohesi ditentukan sebagai kekuatan geser tanah tanpa adanya tegangan normal yang bekerja atau perpotongan garis keruntuhan dengan sumbu tegangan geser. Sudut geser dalam tanah adalah sudut yang dibuat di atas kertas dalam menggambarkan tegangan-tegangan yang terjadi pada tanah. Sudut geser dalam tanah adalah sudut yang dibentuk oleh garis batas keruntuhan (failure envelope) dengan sumbu mendatar (tegangan normal). Perkembangan ilmu mekanika tanah telah didasarkan pada penggunaan garis keruntuhan tersebut. Garis keruntuhan pada Gambar 5.1 dapat dijelaskan sebagai batasan dari kombinasi tegangan-tegangan (geser dan normal) yang bekerja di dalam tanah. Kombinasi tegangan yang berada diantara garis keruntuhan dengan sumbu tegangan normal (yang berarsir pada gambar) masih mampu ditahan oleh tanah (atau tidak terjadi keruntuhan geser). Kombinasi tegangan yang berada tepat di garis keruntuhan akan
43
mengakibatkan terjadinya keruntuhan (geser) pada tanah. Sedangkan kombinasi tegangan geser dan normal yang berada diatas garis keruntuhan dan sumbu tegangan geser, secara teoritis tidak mungkin terjadi sebab tahanan geser tanah telah terlampaui sebelumnya. Kuat geser tanah tergantung beberapa hal dan kondisi: 1. Materi yang membentuk tanah (mineral tanah) 2. Ukuran butiran tanah (termasuk bentuk permukaan butiran) 3. Kadar air (terutama tanah berbutir halus) 4. Tegangan yang terjadi (termasuk sejarah pembebanan) 5. Cara pengujian (pemberian beban)
5.3. Pengujian kuat geser tanah Untuk tujuan analisis stabilitas lereng dan analisis penstabilan lereng, menentukan kuat geser tanah dapat dilakukan secara langsung di lapangan ataupun di laboratorium. Pemilihan pengujian sedapat mungkin disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Umumnya tujuan dari pengujian kekuatan geser tanah adalah untuk menentukan keamanan lereng (analisis stabilitas) dan peningkatan keamanan lereng (penstabilan lereng). Letak titik pengujian juga harus cukup mewaliki mekanisme yang terjadi pada lereng yang ditinjau. Gambar 5.2 a dan b mengilustrasikan titik pengujian dan mekanisme yang terjadi sehingga dapat dipilih metoda pengujian yang sesuai. Pada pengujian kuat geser tanah di laboratorium, terdapat tiga jenis pengujian yang sering dilakukan yaitu: uji tekan bebas, uji geser langsung dan uji triaksial. Berdasarkan mekanisme pergeseran lereng maka pengujian yang cocok untuk titik a adalah uji tekan bebas, uji triaksial untuk titik b dan uji geser langsung untuk titik c. Walaupun secara teori ketiga jenis pengujian dilaboratorium dapat menghasilkan parameter tanah yang bernilai sama. Namun kenyataannya sering ketiganya memberikan nilai yang berbeda. Hal ini
44
disebabkan tidak samanya (walau sejenis) sampel tanah yang diuji dan perbedaan mekanisme keruntuhan yang terjadi pada sampel tanah.
a
a. jangkauan pengujian
b c a b. Mekanisme pergeseran
b c Gambar 5.2. Pengujian kekuatan tanah pada sebuah lereng
5.4. Pengujian kuat geser tanah di laboratorium Pengujian kuat geser tanah di laboratorium merupakan bagian yang sangat penting dipahami dalam rekayasa geoteknik secara umum. Ketelitian dalam mendapatkan parameter tanah akan mempunyai
45
pengaruh langsung dalam analisis geoteknik. Untuk itu maka pembahasan mengenai pengujian di laboratorium untuk mendapatkan parameter kuat geser tanah secara khusus dibahas tersendiri dalam bagian-bagian berikut. a. Uji tekan bebas (Unconfined Compression Test) Uji tekan bebas (unconfined compression shear test = UCST) hanya dapat dilakukan untuk tanah berkohesi. Sebab tanah tanpa kohesi tidak dapat dibentuk sebagai sampel untuk ditest tanpa tegangan (unconfined) disekelilingnya. Nilai (parameter tanah) yang didapat dari pengujian ini adalah tegangan batasnya, yaitu tegangan maksimum selama pengujian. Nilai ini dilambangkan dengan q u (untuk kemudahan, q inisial dari quantity = nilai terukur, dan u berarti un-confined = tak terkekang / bebas. Pengujian UCST dilakukan dengan sangat cepat dan sederhana sehingga sering dilaksanakan dan mempunyai aplikasi yang cukup luas. Banyak parameter-parameter tanah lainnya yang dikaitkan dengan pengujian ini untuk berbagai aplikasi dan prediksi perilaku tanah. Selain itu karena kemudahannya dalam melakukan pengujian ini, untuk menggolongkan kepadatan tanah lempung, digunakan batasan nilai q u dari UCST (Terzaghi dan Peck, 1946). Untuk lempung normal (Normally Consolidated Clay) dalam keadaan jenuh, parameter kekuatan geser dari pengujian UCST ini dapat ditentukan berupa nilai kohesi un-drained (c u ) yaitu:
cu = ½ qu
5.2
46
qu
memendek ε = ∆L/L
L
bidang runtuh
Awal
Akhir
Gambar 5.3. Sampel pada pengujian UCST
τ
qu
cu
∆L L
qu
a. Regangan-Tekanan
b. Lingkaran Mohr
Gambar 5.4. Grafik hasil pengujian UCST
47
σ
Pengujian UCST sebaiknya diikuti dengan pengujian kadar air, sebab kekuatan tanah lempung sangat dipengaruhi oleh kadar airnya. Pada tanah yang sama di lapangan terutama yang berada di atas muka air tanah minimum, kekuatannya akan berubah dari waktu ke waktu tergantung dari kadar air yang dikandungnya. Hal serupa sering terjadi pada kasus stabilitas lereng dimana saat awal dibentuknya lereng, kemiringan yang dibuat dalam keadaan cukup aman. Akan tetapi dengan turunnya hujan yang meningkatkan kadar air dari tanah pembentuk lereng, stabilitas lereng menjadi berkurang. Kasus kelongsoran lereng pada musim hujan telah menjadi hal biasa dan jarang diperhatikan penanganannya. Padahal stabilitas lereng harusnya diperhitungkan dalam berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan kelongsoran.
b. Uji geser langsung (Direct Shear Test) Sketsa dari pengujian geser langsung dapat dilihat seperti pada Gambar 5.5 berikut. Pengujian ini adalah pengujian yang paling disukai mengingat kemudahannya dan dapat dilakukan pada hampir senua jenis tanah.
σ
pergeseran (Γ )
σ
τ Awal
Akhir Gambar 5.5. Uji Geser Langsung
48
gaya geser (T)
Pengujian geser langsung dilakukan sebanyak tiga kali pada tanah yang sama. Masing-masing benda uji, diberi beban normal yang berbeda. Kemudian digeser dengan memberikan gaya dari arah tegak lurus terhadap gaya normal sebelumnya. Selama pemberian beban normal tersebut (σ), perpindahan ( Γ ) dan besarnya gaya geser (T) dicatat hingga terjadi keruntuhan. Datadata pencatatan tersebut kemudian diolah dan diplotkan dalam bentuk kurva tegangan-regangan dan tegangan normal-geser untuk menentukan parameter c dan φ (Gambar 5.6).
τ3
σ3
τ2
σ2
τ1
σ1
Γ1
Γ2
Γ3
Gambar 5.6. Hasil olah data uji geser langsung
49
Contoh Kasus 5.1 Dari hasil uji geser langsung di laboratorium terhadap sampel tanah diperoleh nilai-nilai tegangan normal dan geser (dengan satuan kg/cm2)pada saat runtuh: test ke-1: σ= 0.5 τ=0.5, test ke-2 σ= 1.0 τ=0.75 dan test ke-3: σ= 1.5 τ=1.0. Gambarkan garis batas keruntuhan untuk sampel tanah tersebut dan tentukan nilai-nilai parameter kekuatan geser berdasarkan teori Mohr-Coulomb. Pastikan apakah tanah yang dibebani dengan tekanan overburdent effektif di lapangan sebesar 1.2 kg/cm2, lalu diberi beban sehingga mengalami tegangan geser sebesar 1.1 kg/cm2, masih berada pada kondisi stabil atau akan mengalami keruntuhan. Solusi: Data-data hasil pengujian diplotkan dalam bidang tegangan normalgeser seperti ditampilkan dalam Gambar K5.1 berikut: τ (kg/cm2) 1.5 Geser = 1.1 kg/cm2
telah runtuh
φ = 26.57o
1.0
0.5
c = 0.25 (kg/cm2) σ (kg/cm2) 0.5
1.0
1.5
Overburdent = 1.2 kg/cm2
Gambar K5.1 Plot tegangan normal-geser
50
Berdasarkan gambar tersebut diatas, maka dapat diperoleh parameter kekuatan geser tanah yaitu tahanan kohesi tanah adalah c = 0.25 (kg/cm2) dan sudut geser dalam adalah φ = 26.57o. Selanjutnya dengan memplotkan nilai tegangan overburdent kedalam tegangan normal pada gambar dan tegangan geser yang sesuai, maka dapat dilihat bahwa kondisi tanah yang sama telah berada diatas garis batas runtuh atau dengan kata lain tanah tersebut telah mengalami keruntuhan terlebih dahulu.
c.
Uji triaksial (Triaxial Test) Uji triaksial adalah pengujian kuat geser tanah yang lebih baik dari pengujian sebelumnya. Dengan pengujian ini dapat diberikan tegangan yang serupa dengan yang mungkin terjadi di lapangan.
σ3
σ3
∆σ1 σ3
ε = ∆L/L
σ1=σ3+∆σ1
σ3
σ3 φ 45 + /2
membran
Awal
Akhir ke pori/volume Gambar 5.7. Skematik uji triaxial
51
∆u atau ∆V
Terdapat beberapa jenis pengujian dengan menggunakan alat triaxial. Perbedaan dari jenis-jenis pengujian (dengan menggunakan alat yang sama) tersebut adalah pada: 1. Kemampatan awal (mampat/consolidated=C atau takmampat/unconsolidated=U) - Kemampatan awal ditentukan saat kondisi awal (seperti Gambar 5.7 diatas), dengan tergantung keadaan keran ke pori atau volume yang terbuka. Bila saluran ke pori yang terbuka, akibat tekanan σ 3 yang diberikan, pori dalam tanah akan ikut tertekan dan nilai tekanan air pori dalam tanah (∆u) terbaca pada dial penunjuk tekanan air pori. Bila hal ini yang dilakukan berarti tidak terjadi pemampatan tanah atau tidak terjadi aliran dalam tanah dan disebut dengan unconsolidated. Selanjutnya pada jenis pengujian ini dilambangkan dengan U (inisial dari unconsolidated). - Bila pada kondisi awal pemberian beban cell (tekanan σ 3 ) air dalam pori dibiarkan mengalir ke pembacaan volume, maka akan terbaca perubahan volume sampel akibat tekanan tersebut (∆V). Perubahan volume tersebut menunjukkan berkurangnya volume (sampel) tanah akibat tekanan awal tersebut yang berarti terjadi pemampatan dengan keluarnya air pori dari dalam tanah (terkonsolidasi). Jenis pengujian dengan kondisi awal ini dilambangkan dengan C (inisial dari consolidated). 2. Kondisi air pori saat pembebanan (mengalir/drained=D atau tidak/undrained=U) - Setelah pemberian beban cell awal (tekanan σ 3 ), selanjutnya pada bagian atas dari sampel diberi dengan beban tambahan (deviatorik = ∆σ 1 ). Pada pembebanan ini, kembali aliran air dari dalam pori tanah menentukan jenis dari pengujian triaxial. Bila keran ke pori yang
52
-
terbuka berarti yang dibaca adalah nilai tekanan dan tidak ada aliran air dari dalam pori tanah. Akibat tambahan tekanan σ 1 yang diberikan, pori dalam tanah akan ikut tertekan dan nilai tekanan air pori dalam tanah (∆u) terbaca pada dial penunjuk tekanan air pori. Bila hal ini yang dilakukan berarti tidak terjadi pemampatan tanah atau tidak terjadi aliran dalam tanah dan disebut dengan undrained (tak terdaenase). Jenis pengujian ini dilambangkan dengan U (inisial dari undrained). Namun bila pada saat pemberian beban tambahan ini (σ 1 ) air dalam pori diperbolehkan mengalir ke pembacaan volume, maka akan terbaca perubahan volume sampel akibat tambahan tekanan tersebut (∆V). Perubahan volume tersebut menunjukkan berkurangnya volume (sampel) tanah akibat tekanan deviatorik tersebut yang berarti terjadi pemampatan tanah dengan keluarnya air pori dari dalam tanah (air teralirkan / terdaenase). Jenis pengujian dengan kondisi awal ini dilambangkan dengan D (inisial dari drained).
3. Cara pemberian beban ( ditekan/compression atau ditarik/extension) - Setelah pemberian beban cell awal (tekanan σ 3 ), selanjutnya pada bagian atas dari sampel diberi dengan beban tambahan (deviatorik = ∆σ 1 ). Pemberian beban deviatorik ini biasanya dilakukan beberapa saat setelah tidak terjadi lagi perubahan tekanan air pori atau volume setelah pemberian tekanan cell. Pemberian beban deviatorik ini dapat dilakukan dengan cara menekan (compression dilambangkan C) atau tarikan (extension dilambangkan E). - Pemberian beban juga membedakan nama dari pengujian sampel dengan alat triaksial. Bila beban yang diberikan pada sampel tanah hanya mempunyai dua beban yang berbeda yaitu beban cell atau minor (σ 3 ) yang arahnya
53
horizontal dan beban axial atau major (σ 1 ) yang arahnya vertikal, maka jenis pengujian ini disebut dengan pengujian triaxial konvensional (Convensional Triaxial test = CT). Jenis pengujian ini yang umum dilakukan dan lebih mudah dan cukup untuk memodelkan perilaku tanah. Sedangkan pengujian yang tidak konvensional menggunakan sampel yang berbentuk kotak (tidak silinder) dengan pemberian beban pada tiga arah yaitu minor/σ 3 , middle/σ 2 dan major/σ 1 . Pengujian ini jarang dilakukan kecuali untuk pengujian yang bersifat pengembangan teori. Dari jenis pengujian sampel dengan alat triaxial ini maka terdapat beberapa pengujian yaitu CTC=Convensional Triaksial Compression yang berarti pengujian triaksial biasa dengan cara ditekan dan CTE= Convensional Triaksial Extension yang berarti pengujian triaksial biasa dengan pemberian beban deviatorik secara ditarik. Selanjutnya untuk pengujian tersebut terdapat beberapa test yaitu: -
-
-
Unconsolidated Undrained = UU-test berarti test CTC takterkonsolidasi dan tak-terdrainase. Pengujian ini biasa disebut dengan quick test (test cepat), yaitu pengujian untuk kondisi tekanan yang dibaca adalah tekanan total (σ). Consolidated Undrained = CU-test, berarti test CTC yang saat kondisi awalnya melakukan konsolidasi pada sampel dan dilanjutkan dengan beban deviatorik tanpa aliran air dari pori (tak-terdrainase) untuk melakukan pembacaan perubahan tekanan air pori (∆u). Consolidated Drained = CD-test yang berarti test CTC yang pada kondisi awal melakukan konsolidasi pada sampel dan dilanjutkan dengan pemberian beban deviatorik dengan aliran air dari pori (terdrainase) untuk melakukan pembacaan perubahan volume (∆V). Pada pengujian ini, jenis tekanan yang terbaca adalah tekanan effektif tanah (σ').
54
Sebagaimana pengujian geser langsung, pengujian tanah dengan triaksial umumnya dilakukan sebanyak tiga kali juga. Masingmasing benda uji, diberi beban confining (beban sell) yang berbeda. Kemudian digeser dengan cara memberikan gaya aksial pada bidang tegak lurus sumbu sampel. Selama pemberian beban tersebut, perpindahan dan besarnya gaya yang diberikan dicatat hingga terjadi keruntuhan. Hasilnya kemudian diplotkan dalam bentuk kurva tegangan aksial-regangan dan setengah lingkaran pada bidang tegangan normal-geser untuk menentukan parameter c dan φ (Gambar 5.8). Batas keruntuhan tanah dinyatakan dengan garis lurus yang menyentuh (mewakili) seluruh lingkaran yang dibuat. Uji triaksial dapat dilakukan baik pada tanah kohesif maupun non-kohesif. Akan tetapi pengujian pada tanah kohesif jauh lebih mudah dibandingkan tanah non-kohesif. Beberapa teknik pembuatan sampel tanah non-kohesif termasuk dengan cara pembekuan sampel telah diselidiki. Akan tetapi pembuatan sampel tanah non-kohesif yang sama dengan keadaan tanah di lapangan masih tetap hal sulit terlebih untuk tanah lepas (loose) adalah hal yang tidak mungkin. Sekilas pengujian ini hampir sama dengan pengujian UCST. Namun perbedaannya adalah penggunaan tegangan sell (σ 3 ) dalam pengujian triaksial sedang dalam UCST tidak (σ 3 =0). Selain itu, pada pengujian ini, sampel diselubungi dengan membran sehingga tegangan-tegangan dan perubahan volume yang terjadi di dalam pori dapat diukur dan dicatat selama pengujian. Pemberian tegangan cell pada triaksial sebaiknya berada pada rentang dimana tegangan-tegangan yang terjadi di lapangan dapat terwakili di laboratorium. Akan tetapi pemberian tegangan yang terlampau kecil sangat tidak dianjurkan sebab berdasarkan pengalaman akan memberikan hasil pengujian yang tidak memuaskan. Pemberian tegangan sampel yang diambil pada kedalaman D s dengan berat isi γ dapat diperkirakan sekitar:
55
σc = σ3 = n γ Ds
5.3
Dimana n adalah faktor pengali berkisar antara 0.3 hingga 1.0.
∆σ1
∆σ1test3
σ3test3
∆σ1test2
σ3test2
∆σ1test1
σ3test1
ε1
ε2
ε3
Gambar 5.8. Lingkaran tegangan hasil uji triaxial
56
εaxial
5.5. Pengujian kuat geser tanah di Lapangan a. Sondir – Cone Penetration Test (T) Sondir adalah alat uji tahanan tanah yang telah lama sangat popular dan digemari untuk digunakan di Indonesia. Sondir berasal dari kata sounding yang berarti pendugaan. Sebutan lain dari alat yang sama adalah Cone Penetration Test (T), Duch Cone Penetration Test (DT) dan Static Penetration Test. Dibandingkan dengan alat uji tahanan tanah yang lain seperti SPT, alat ini lebih mudah dibawa, dioperasikan dan relatif cepat dan murah dalam menduga daya dukung tanah. Dalam pengoperasiannya bagian ujung sondir yang berbentuk kerucut (cone) disebut konus ditekan kedalam tanah dengan kecepatan 1 cm hingga 2 cm per detik (penetrasi) sejauh 5 cm dan nilai tahanan ujung (q c ) dibaca melalui indikator tekanan yang disebut manometer dalam satuan kg/cm2. Kemudian ujung sondir ditekan secalam 5 cm lebih jauh sehingga sisi kerucut ikut bergerak sehingga tahanan total (q t ) dari ujung dan selimut konus (sleeve=skin) dapat dibaca pada penunjuk tekanan (manometer). Selanjutnya tahanan sisi dari selimut konus (q s ) dapat dihitung dari selisih pembacaan tekanan total dengan tahanan ujung (q c ): q s = (q t – q c ).f k
5.4
dengan f k adalah faktor korelasi dari pembacaan penunjuk tahanan ujung menjadi tahanan sisi yang merupakan perbandingan dari luas penampang kerucut dibandingkan dengan luas selimut konus:
57
fk =
luas penampang ujung konus luas sisi selimut konus
5.5
Luas penampang ujung konus umumnya sama yaitu sebesar 10 cm2, sedangkan luas sisi selimut bervariasi dari 110 hingga 150 cm2. Dengan memasukkan harga tersebut kedalam persamaan 5.6, nilai faktor koreksi f k adalah antara 0.067 hingga 0.091. Selanjutnya perbandingan antara nilai tahanan sisi (q s ) dengan tahanan ujung (q c )dapat dihitung sebagai rasio friksi (R f ). Nilai R f mempunyai arti yang sangat penting dalam memperkirakan jenis lapisan tanah (stratigrafi) secara impiris. Berdasarkan pengalaman telah diketahui bahwa jenis tanah berbutir kasar (pasir) mempunyai nilai R f yang lebih kecil dibandingkan tanah berbutir halus (lempung dan lanau). Penetrasi konus dan pembacaannya diulang-ulang tiap selang 20 cm hingga mencapai kedalaman tertentu tergantung keperluan (biasanya kurang dari 30 meter). Pengujian dapat dihentikan setelah tahanan ujung konus menunjukan angka 150 kg/cm2 atau 250 kg/cm2. Pada mulanya, sondir hanya digunakan untuk menduga tahanan dari tanah terhadap beban. Namun pada perkembangannya, hasil pencatatan tahanan konus dapat diinterpretasikan secara empiris untuk keperluan lainnya seperti dalam pendugaan jenis tanah, menentukan besarnya tekanan lateral tanah dan menentukan beberapa parameter tanah lainnya (Meyerhof (1965), Begemann (1965), Schmertmann (1975), dll). Hasil pengujian sondir memberikan data yang cukup dapat diandalkan untuk keperluan analisis lereng. Data dari hasil pengujian sondir harus dikonversikan dahulu kebentuk lain sehingga sesuai dengan keperluan analisis lereng.
58
Hubungan antara parameter kohesi tak terdrainase (C u ) tanah lempung dengan tahanan ujung adalah: C u = q c .N k
5.6
N k adalah nilai konversi yang dapat diambil 5 – 11 % , untuk nilai ratarata dianjurkan digunakan nilai N k = 7 %. Sedangkan hubungan tahanan ujung dengan parameter sudut geser dalam tanah (φ) dapat digunakan gambar 5.9. Tahanan ujung konus, qc (kg/cm2 ) 0
100
200
300
400
500
0
φ = 480
Tekanan vertikal effektif, σ vo (t/m2)
5 10
460
15 20
440
25 30 35 300
320340 360
380
400
420
40
Gambar 5.9. Korelasi pengujian sondir dengan parameter geser tanah (Robertson and Camla, 1983)
59
Proyek : F Kedokteran Lokasi : Limau Manis Nomor Titik :S2
Tanggal Uji : 1 Maret 2009 Diuji Oleh : Andrio P Diperiksa : A H
Cone Penetration Test ASTM D 3441 - 86 Rf %
qc kg/cm2 0
50
100
0
150
0.0
0.0
1.0
1.0
2.0
2.0 D e p t h
3.0
4.0
5
3.0 4.0
(
m )
5.0
5.0
6.0
6.0
7.0
7.0
8.0
8.0
9.0
9.0
0
100 200 300 Cumulative qs kg/cm
400
Gambar 5.10. Interpretasi jenis lapisan berdasarkan rasio tahanan tanah (Perkiraan R f : Pasir: 0-2 %, Lanau: 2-3%, Lempung: 3-6 %, Gambut: > 6%)
60
b. Standard Penetration Test (Nspt) Uji penetrasi standard (SPT), dikembangkan pada tahun 1927 dan langsung mendapat sambutan digunakan secara meluas dikarenakan keunggulan dan kehematannya dalam menyediakan informasi dalam tanah. Diperkirakan lebih dari setengah pondasi bangunan-bangunan yang besar dan berat memiliki pondasi dengan perencanaan didasarkan dari hasil uji penetrasi standar ini. Metoda pengujian SPT telah distandardkan oleh ASTM D 1586 sejak 1958 dan selanjutnya telah pula dilakukan revisi sesuai dengan perkembangan teknologi. Peralatan dan prosedur pengujian SPT terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu: 1. Alat pengambil sampel standard (Standard split-barrel sampler / split-spoon SPT) dengan panjang 18 inchi (46 cm) yang dimasukkan kedalam lobang bor, lalu ditumbuk hingga masuk kedalam tanah. Jumlah tumbukan inilah yang selanjutnya dicatat sebagai nilai tumbukan dari SPT dalam satuan blows/pukulan. 2. Hammer pemukul dengan berat 140 lb (64.5 kg) yang dijatuhkan secara bebas untuk menumbuk sampler diatas hingga masuk ke dalam tanah. Tinggi jatuh dari hammer adalah 30 inchi (76 cm). 3. Jumlah tumbukan dicatat tiap-tiap penurunan 6 inci (15 cm), sehingga terdapat 3 buah nilai tumbukan yang diperlukan untuk memasukkan seluruh panjang sampler kedalam tanah yang dicatat sebagai N 1 , N 2 dan N 3 . 4. Nilai tumbukan yang digunakan untuk keperluan disain, atau disebut dengan N spt adalah jumlah 2 tumbukan terakhir, atau: N spt = N 2 + N 3
5.7
61
Uji pemukulan SPT dinyatakan tidak layak ('refusal') apabila terdapat beberapa hal berikut ini: 1. Pemukulan/penumbukkan untuk memasukkan sapler sedalam 15 cm telah melampaui 50 kali penjatuhan hammer. 2. Jumlah 2 pemukulan/penumbukkan telah mencapai 100 kali. 3. Setelah pemukulan sebanyak 10 kali, tidak terjadi penurunan yang berarti. Penghentian uji pukulan ini dilakukan adalah untuk menghindari kerusakan dari alat uji. Dalam beberapa kasus, pemukulan diinginkan penghentian setelah 100 pukulan untuk memasukkan 15 cm sampler. Untuk keperluan ini harus dilakukan negosiasi yang berkaitan dengan harga dari kerusakan alat dan penggunaan mata bor khusus untuk menembus lapisan tanah. Secara tradisional, uji tumbukan SPT ini dilakukan tiap-tiap 1 sampai 2 meter. Tiap-tiap tumbukan, tanah yang dihasilkan dan tersimpan dalam sampler selanjutnya diidentifikasi dan dapat diteliti guna mendapatkan propertis dari tanah. Hasil pengujian ini selanjutnya dilaporkan bersamaan dengan hasir boring (bor-log). Sebagai contoh dari pelaporan adalah seperti pada Gambar 5.11 berikut.
Selain mendapatkan sampel yang relatif sangat terganggu, pengujian SPT memberikan banyak korelasi terhadap jenis tanah dan banyak rumusan empiris untuk digunakan dalam praktek perencanaan struktur geoteknik. Beberapa korelasi hasil uji tumbukan SPT dapat disadur dari beberapa referensi dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut.
62
7/6/2005
6/6/2005
Date N2+N3 M2+M3
63
5 5.45 6 6.45 7 7.45 8 8.45
5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9
0.45 spt 0.55 Border berpasir abu-abu 0.45 spt 0.55 Border berpasir abu2-kuning 0.45 spt 0.55 Border berkerikil kuning-kehitaman 0.45 spt 0.55 Border berkerikil
abu-abu
20 15 39 15 50 6 33 15 36 15 50 15 25 15 34 15 50 10 28 15 36 15 50 15
B B B
12 15 19 15 35 15
19 15 50 5
15
B
B
B
15 0
0
B
15 0
27 15 20 15 17 15
B
Gambar 5.11. Hasil pengujian SPT 86
84
86
89
54
69
0
37
30
25
30
21
30
30
20
dari sampai N1 M1 N2 M2 N3 M3
0.45 spt 0.55 Border berpasir abu-abu
Air
Kering Tanah (m) (m) (bls) (cm) (bls) (cm) (bls) (cm)
Basah
4 4.5 4.45 5
Sifat
30
Warna
0.45 spt 0.55 Pasir kasar
Jenis
5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0
4.0 4.5
3.0 3.5
(m) 0.0 1.0 1.5 2.0 2.5
depth
Nspt
SPT
Kedalaman cassing
Muka
3 3.5 3.45 4
inti
Deskripsi Tanah
Elevasi MAT Pagi (m) Sore (m)
Tgl. Uji : 6/6/2005 Diuji Oleh : Nippon Koei Ltd & Assn Diperiksa : PP-WIKA-SACNA JO
(m) (m) (m) tanah 0 1 1 Pasir berkerikil hitam 1 1.5 0.45 spt 1.45 2 0.55 Pasir berkerikil kuning 2 2.5 0.45 spt 2.45 3 0.55 pasir berkerikil kuning-abu2
From Till
Depth Panjang
Proyek : Panti Rao & Swamp Project Lokasi : BT. 9e (Aqueduct) No. Titik : BT.12b : :
d
9.0
8.0
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Log
N (blows)
0 25 50 75 100
Boring
Grafik
Batu berkerikil
Batu berpasir
Pasir berkerikil
Keterangan
Tabel 5.1. Korelasi nilai N SPT terhadap parameter tanah (Das, 1990, lihat juga Terzaghi and Peck, 1948 ) Tanah Lempung Nilai N SPT
10 – 20 20 – 30
Unconfined strength q u kg/cm2 Sangat lunak 0 – 0.25 Lunak (soft) 0.25 – 0.5 Sedang 0.5 – 1.0 (Medium) Kaku (stiff) 1.0 – 2.0 Sangat kaku 2.0 – 4.0
30 – 50
Keras (hard)
Kepadatan
0 – 2 2 – 5 5 – 10
> 4.0
Tanah Pasir Kerapatan [ Dr (%) ]
Sudut geser [ φ ( o) ]
Sangat Lepas [0–5]
25 – 30
Lepas (loose) [ 5 – 30 ] Sedang [ 30 – 60 ] Padat (dense) [ 60 – 95 ]
28 – 35 35 – 42 38 – 46
Korelasi antara Nspt dengan sondir untuk berbagai jenis tanah telah dibuatkan oleh Bowles 1988 dalam bentuk grafik hubungan butiran. Berdasarkan grafik tersebut maka diperoleh hubungan tersebut adalah: Tabel 5.2. Korelasi nilai N SPT terhadap nilai konus sondir, q c nilai q c (kg/cm2)
Jenis Tanah Lempung dan lanau Lanau berpasir Pasir berlanau Pasir
64
1–2 2–3 3–4 4–6
N spt N spt N spt N spt
5.6. Konsolidasi Parameter konsolidasi sangat penting untuk analisis stabilitas lereng yang berada diatas tanah lempung jenuh. Banyak pekerjaan-pekerjaan penimbunan yang secara teknis membuat lereng buatan diatas tanah yang dapat mampat (terkonsolidasi). Untuk itu pembahasan singkat mengenai konsolidasi dilakukan pada bagian ini. Proses konsolidasi berlangsung selama keluarnya air pori dalam tanah disebabkan meningkatnya tegangan air pori dari dalam tanah akibat adanya beban tambahan tetap yang cukup lama, seperti beban timbunan dan beban pondasi bangunan. Beban tambahan σ, pada saat seketika (saat pertama diberikan, t=0) ditahan oleh air pori dalam tanah, ∆u. Sebagaimana sifat fluida tertekan, secara berangsur-angsur, air pori akan mengalir menuju tekanan yang lebih rendah ke atas, bawah atau sisi-sisinya. Dengan mengalirnya air ini, tekanan yang ditahan air dialihkan kepada tekanan antar butiran tanah. Proses konsolidasi berhenti setelah tegangan air pori kembali seperti semula, seperti sebelum terjadi peningkatan beban (∆u = 0) dan seluruh beban tambahan ditahan oleh butiran tanah (tegangan effektif, σ’ ). Konsolidasi pada massa tanah memberikan beberapa kerugian dan keuntungan. Kerugian yang dapat dialami akibat perilaku ini adalah turunnya bangunan secara perlahan dan terjadinya perbedaan penurunan. Keuntungan perilaku konsolidasi antara lain adalah meningkatnya daya dukung tanah akibat berkurangnya kadar air tanah. Beberapa jenis tanah mempunyai sifat mengalami peningkatan kuat gesernya dengan berkurangnya kadar air. a. Waktu Konsolidasi Waktu berlangsungnya konsolidasi (lama konsolidasi) sangat tergantung kepada kecepatan pengaliran air keluar dari pori-pori tanah. Untuk tanah pasir yang sangat poros, waktu (lamanya) konsolidasi berlangsung sangat singkat. Tetapi untuk tanah lempung
65
pada umumnya, mempunyai waktu konsolidasi yang cukup lama hingga dalam hitungan tahunan. Kecepatan aliran ini selanjutnya dalam ilmu mekanika tanah ditentukan dengan derajat kecepatan konsolidasi (c v ). Perlu diperhatikan bahwa dalam teori konsolidasi, kecepatan konsolidasi ini dibedakan dengan kecepatan pengaliran air seperti pada kasus permeabilitas tanah (k). Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya konsolidasi biasanya ditentukan pada derajat konsolidasi 90%, sebab secara teori proses konsolidasi mencapai 100% terjadi pada waktu yang sangat lama (tak terhingga). Pada penurunan mencapai 90% dari total penurunan tersebut waktu yang diperlukan adalah:
t 90%
0.848 H dr = Cv
2
5.8
dimana: H dr adalah panjang aliran air pada tanah yang terkonsolidasi yang tergantung pada jenis lapisan tanah di atas/bawahnya. C v adalah koefisien kecepatan konsolidasi yang nilainya didapat dari hasil uji konsolidasi di laboratorium b. Besarnya Penurunan Konsolidasi Besarnya penurunan yang terjadi akibat konsolidasi tergantung pada beberapa hal berikut: 1. Jenis tanah yang mengalami konsolidasi 2. Tebalnya lapisan tanah yang terkonsolidasi 3. Jumlah lapisan tanah yang mengalami konsolidasi 4. Besarnya kemampatan tanah 5. Besarnya beban yang diberikan 6. Lamanya proses konsolidasi telah berlangsung
66
Penurunan maksimum yang ditentukan saat akhir proses konsolidasi (derajat konsolidasi 100%) dapat dihitung dengan persamaan berikut: n σ + ∆σ i C H S100% = ∑ c i log 0,i σ 0,i i =1 1 + e0
5.9
dimana: S 100% adalah penurunan pada saat konsolidasi 100% selesai i =1,..,n adalah jumlah lapisan tanah H i = tebal lapisan tanah ke-i (yang terkonsolidasi) σ 0,i = tegangan normal tanah effektif awal ∆σ i = tambahan tegangan normal tanah (akibat beban luar) e 0 = angka pori awal dari tanah C c = koefisien pemampatan tanah (hasil uji konsolidasi di laboratorium). Koefisien pemampatan tanah (C c ) ditentukan dari kurva penurunan yang diplotkan pada bidang tekanan (σ) versus angka pori (e). Kurva tersebut adalah hasil pengolahan data pengujian konsolidasi di laboratorium terhadap sampel tanah. Untuk perkiraan praktis, Terzaghi dan Peck (1967) mengusulkan persamaan empiris untuk menduga nilai C c sebagai berikut:
C c = 0.009 (w LL - 10)
5.10
untuk tanah lempung asli (tidak terganggu/undisturbed sample)
67
C c = 0.007 (w LL - 10)
5.11
untuk tanah lempung terganggu (remolded/disturbed sample) Penelitian tentang nilai empiris untuk koefisien pemampatan tersebut telah banyak dilakukan di masa yang lalu. Namun untuk keperluan analisis yang baik, maka sangat dianjurkan untuk melakukan pengujian konsolidasi di laboratorium terhadap sampel tanah pada lokasi rencana. Dibandingkan dengan kerugian yang timbul akibat kemungkinan salah estimasi nilai penurunan dengan metoda empiris, biaya pengujian di laboratorium tidak mempunyai arti yang besar.
c. Pengujian Konsolidasi di Laboratorium Pengujian konsolidasi di laboratorium dilakukan dengan alat yang dinamakan Oedometer (atau Consolidometer). Gambar skematik dari pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.8. air batu pori
σ + ∆σi
∆H
σ + ∆σi
H
awal, t=0
akhir
Gambar 5.12. Pengujian Konsolidasi
68
Pengujian konsolidasi bertujuan untuk mendapatkan parameter (koefisien) tanah yang digunakan untuk analisis konsolidasi yaitu C c , C v dan C s . Pada masing-masing tahap pembebanan, penurunan yang terjadi dicatat untuk waktu-waktu tertentu (biasanya hingga 24 jam). Selanjutnya hasil pencatatan tersebut diplotkan dalam kurva penurunan versus waktu (Gambar 1.9). Gambar ini digunakan untuk mendapatkan nilai C v dari sampel tanah. Nilai C v yang digunakan untuk analisis diambil rata-rata dari keseluruhan tahapan pembebanan. Dari tiap tahap pembebanan, perubahan nilai angka pori ∆e (pada penurunan maksimum) dihitung dan diplotkan terhadap beban yang diberikan dalam skala semi logaritmik. Kurva ini digunakan untuk menentukan nilai koefisien pemampatan C c yaitu nilai kemiringan kurva penurunan tersebut. Pada tahap akhir, beban dikurangi secara bertahap dan pengembangan tanah kembali dicatat. Selanjutnya nilai angka pori tiap tahap dihitung dan kembali diplotkan ke kurva yang sama seperti saat pengujian pembebanan. Kemiringan garis dari kurva beban berkurang ini adalah nilai koefisien pengembangan C s (swelling) dari tanah tersebut (Gambar 1.10). Perubahan nilai angka pori dapat dihitung dengan persamaan berikut:
∆e i =
∆H i Hs
Hs =
Ws AG s γ w
5.12
5.13
H v = H - Hs
5.14
69
H
t 90% H−∆Hi t1/2 atau ( log t) Gambar 5.13. Pengujian Konsolidasi Angka pori awal dan saat akhir pembebanan ke-i dihitung dengan:
e0 =
Vv H = v Vs Hs
e i = e 0 - ∆e i dimana
5.15
5.16
H s adalah tinggi butiran tanah kering H v = tinggi pori tanah (void) H dan A adalah tinggi dan luas penampang sampel saat awal ∆H i = besarnya penurunan maksimum (akhir) pada saat pembebanan ke-i G s dan W s adalah spesific gravity dan berat tanah kering γ w adalah berat satuan air (1 t/m3, 1 gr/cm3 atau 9.81 kN/m3)
70
e0 e1 Cc e2=e1−∆e e1 ' e2 '
loading Cs swelling log σ1
log σ2
log σ
∆ (log σ)
Gambar 5.14. Kurva Pemampatan Konsolidasi
Parameter-parameter konsolidasi dapat dihitung sebagai berikut: Koefisien konsolidasi:
0.848 H dr Cv = t 90%
71
2
5.17
Nilai H dr untuk pengujian oedometer adalah ½H i (tinggi awal sampel pada pembebanan ke-i ), sedangkan nilai t 90% diambil seperti pada Gambar 1.9. Satuan untuk C v yang biasa digunakan adalah cm2/dt, namun harus diperhatikan juga satuan dari H dr dan t 90% yang digunakan. Dengan memperhatikan kurva pemampatan pada Gambar 1.10 dengan seksama, maka nilai C c dan C s dapat ditentukan sebagai berikut: Koefisien/indeks pemampatan:
Cc =
e1 − e 2 log σ 2 − log σ1
5.18
Sedangkan indeks swelling adalah:
Cs =
e1 '−e 2 ' log σ 2 − log σ1
5.19
Walaupun keduanya tidak biasa dituliskan dengan satuan, tapi dalam penggunaannya (dalam analisis konsolidasi), satuan yang digunakan hendaknya tetap konsisten. Untuk kasus yang umum, nilai C s akan selalu lebih kecil dari nilai C c dengan kisaran antara 10% hingga 20%. 5.7. Konsep tegangan efektif Tegangan effektif dapat didefinisikan sebagai tegangan (yang terjadi pada massa tanah) yang dialami oleh butiran tanah itu sendiri. Tegangan yang terjadi massa tanah dapat dialami oleh
72
butiran tanah dan cairan pada pori-pori antar butiran tanah. Dalam hal ini, tegangan yang dialami oleh gas (udara) dalam butiran tanah dan diantara butiran tanah diabaikan. Selain itu dianggap pula bahwa tidak ada cairan ataupun rembesan yang terjadi di dalam butiran tanah. Persamaan tegangan effektif dapat dituliskan sebagai berikut: σ’ = σ – u
dengan
5.20
σ’ adalah tegangan effektif pada massa tanah σ merupakan tegangan total dan u adalah tegangan pada pori-pori tanah
Secara skematis dapat dijelaskan mengenai tegangan total, effektif dan tegangan pori seperti pada Gambar 5.15.
permukaan tanah
beban luar
butiran tanah air dalam pori
σ
muka air tanah
u
σ
Gambar 5.15. Tegangan effektif pada massa tanah
73
Konsep tegangan effektif sangat berguna di dalam ilmu mekanika tanah mengingat pada dasarnya, tegangan yang didistribusikan dalam tanah nantinya harus dapat ditahan oleh butiran tanah saja. Apabila tegangan effektif yang terjadi sangat kecil dibandingkan dengan tegangan pada pori tanah, maka dapat mengakibatkan butiran tanah kehilangan kontak. Kehilangan kontak ini mengakibatkan hilangnya kekuatan geser tanah, sehingga tanah tidak berperilaku seperti material padat lagi melainkan dapat berperilaku seperti material cair dan mudah bergerak. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan untuk mendapatkan tahanan yang diperlukan pada sebuah deposit tanah. Pada kasus lereng, sering terjadi kelongsoran akibat adanya peningkatan kandungan air yang significant pada massa tanah. Pada kondisi tersebut, tahanan efektif tanah dapat berkurang dan berat tanah meningkat. Kondisi ini dapat mengakibatkan bergeraknya tanah (longsor). Pada tanah yang mudah bercampur dengan air, longsoran ini seolah mengaduk tanah dengan air, sehingga terjadilah mud-flow atau banjir bandang. Untuk dapat mengerti mengenai konsep tegangan effektif tanah, dapat diperhatikan penjelasan berikut. Pada Gambar 1.19, dapat dilihat sebuah deposit tanah yang mempunyai dua lapisan dengan lapisan pertama setebal 2m terletak diatas muka air tanah sedangkan lapisan kedua berada di bawah muka air tanah. Lapisan tanah yang berada diatas muka air tanah dianggap kering dan mempunyai berat satuan (γ=berat volume) sebesar 1,60 t/m3 sedangkan lapisan tanah yang berada dibawah muka air tanah dianggap jenuh dan mempunyai berat volume γ = 1.80 t/m3. Maka dapat dihitung besarnya tegangan effektif tanah pada kedalaman tertentu dan grafik tegangan dapat digambar seperti terlihat dalam gambar tersebut.
74
0 γ1 = 1,6 t/m3
Tegangan total (σ) t/m2
1
1,6
1,6
2 γ2 = 1,8 t/m3
tegangan pori tegangan effektif (u) t/m2 (σ’) t/m2
0
3 4
Titik-titik
ti j
kedalaman (m) (juga nomor titik tinjauan)
Gambar 5.16. Tegangan effektif akibat berat sendiri
Kasus 5.2 Sebagai contoh, dengan data yang sama seperti pada Gambar 1.19, bila diinginkan tegangan effektif pada kedalaman 1m, 2m, 3m dan 4m yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah dapat dihitung sebagai berikut: Untuk kedalaman 1 m: Tegangan total σ = γ1. 1 m
= 1,60 t/m3. 1 m
Tegangan air pori
75
= 1,60 t/m2
u
= 0,0 t/m2 (tidak ada air)
Tegangan effektif σ’ =σ-u
= (1,60 – 0,0)t/m2 = 1,60 t/m2
Untuk kedalaman 2 m: Tegangan total σ = γ1. 2 m
= 1,60 t/m3. 2 m
= 3,20 t/m2
Tegangan air pori u = γ w . 0,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan nol) = 0,0 t/m2 Tegangan effektif σ’ =σ-u = (3,20 – 0,0)t/m2
= 3,20 t/m2
Untuk kedalaman 3 m: Tegangan total σ = γ1. 2 m + γ2. 1 m = 1,60 t/m3. 2 m + 1,80 t/m3. 1 m = 3,20 t/m2 +1,80 t/m2 = 5,00 t/m2 Tegangan air pori u = γ w . 1,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan 1,0 m ) = 1,0 t/m3. 1,0 m = 1,0 t/m2 Tegangan effektif σ’ =σ-u = (5,00 – 1,0)t/m2 = 4,00 t/m2
76
Untuk kedalaman 4 m: Tegangan total σ = γ1. 2 m + γ2. 2 m = (1,60 t/m3. 2 m) + (1,80 t/m3. 2 m) = 3,20 t/m2 + 3,60 t/m2 = 6,80 t/m2 Tegangan air pori u = γ w . 2,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan 2,0 m ) = 1,0 t/m3. 2,0 m = 2,0 t/m2 Tegangan effektif σ’ =σ-u = (6,80 – 2,0)t/m2 = 4,80 t/m2
77
BAB VI
METODA ANALISIS STABILITAS LERENG
6.1. Teori dasar kestabilan lereng Teori yang dipergunakan untuk analisis kestabilan lereng adalah teori kesetimbangan gaya-gaya pada sebuah bidang datar dan telah dibahas dalam berbagai buku referensi (Hakam, 2004.a dan Huang, 1983 dan). Pada bidang datar yang terletak horizontal, maka aksi berat benda (W) diimbangi dengan gaya normal (N) sebesar berat benda. Sedangkan dalam keadaan miring, aksi dan reaksi yang bekerja pada bidang datar tergantung dari besarnya sudut kemiringan bidang (α). Kesetimbangan gaya-gaya pada bidang datar yang miring akan tetap terjadi sesuai dengan arah gaya terhadap bidang datar tersebut (Perhatikan gambar 6.1). N =W cos α
N =W α T
WT = W sin α
α=0 W
WN = W cos α
W
Gambar 6.1. Gaya normal dan tangensial pada bidang geser
78
Selanjutnya bidang kontak antara benda dengan bidang datar disebut dengan bidang geser. Bila orientasi gaya adalah terhadap bidang datar, maka hanya ada dua kelompok gaya yang bekerja yaitu sejajar bidang (tangensial) dan tegak lurus bidang (normal). Kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja adalah: arah tegak lurus bidang (normal): N = WN
N = W cos α
atau
dan arah sejajar bidang (tangensial): T = WT
T = W sin α
atau
Berdasarkan teori mekanika, gaya geser tangensial yang bekerja pada bidang geser mempunyai nilai maksimum sebesar koefisien geser, f dikalikan dengan gaya normalnya, N : T max = N f
6.1
Dalam ilmu mekanika tanah, koefisien geser antara partikel tanah dituliskan dalam bentuk tangen dari sudut geser dalamnya atau: f= tg φ
6.2
Selain sudut geser dalam, tanah juga mempunyai tahanan geser yang ditimbulkan oleh gaya tarik kimiawi antar partikel tanah yang disebut dengan kohesi, c. Tanah yang demikian disebut dengan tanah kohesif. Sehingga gaya geser maksimum (disebut dengan tahanan geser) pada bidang geser menjadi: T max = N tg φ + c A
6.3
dimana A adalah area atau luas dari bidang geser. Bila persamaan diatas dibagi dengan luas bidang geser tersebut, maka menjadi: τ max = σ tg φ + c
6.4
dimana τ max = T max / A dan σ = N / A.
79
Formula diatas adalah sama dengan persamaan batas keruntuhan pada bidang tegangan geser – tegangan normal seperti gambar berikut: Tegangan geser,
τ =σ
tg φ
+
φ
Tegangan normal, σ
c
Gambar 6.2. Bidang tegangan normal dan geser
6.2. Bidang Keruntuhan pada Lereng Pada lereng yang stabil dianggap tidak terjadi pergerakan baik kearah bawah maupun kesisi lereng. Sebaliknya untuk lereng yang bergerak meskipun secara perlahan, dikatakan sebagai lereng yang tidak stabil. Terdapat berbagai jenis pergerakan yang terjadi pada lereng-lereng yang tidak stabil. Umumnya pergerakan-pergerakan ini diakibatkan oleh keruntuhan baik yang secara tiba-tiba maupun perlahan. Pergerakan lereng yang diakibatkan oleh keruntuhan dari sistem lereng dapat dibagi menjadi enam (6) bentuk/tipe sebagaimana dijabarkan pada bagian terdahulu. Massa tanah atau batuan yang bergerak pada lereng, akan mempunyai bidang kontak dengan bagian massa yang relatif diam. Bidang kontak ini disebut dengan bidang runtuh (atau bidang longsor). Berdasarkan bentuk dari bidang runtuh/failure pada kasus-kasus keruntuhan lereng, beberapa metoda perhitungan untuk analisis keruntuhan lereng telah
80
diturunkan. Diantara yang sering digunakan dalam rekayasa sipil adalah keruntuhan bidang (datar) dan keruntuhan rotasi (lingkaran). Namun ilmu mekanika dasar yang digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng adalah serupa dengan prinsip kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah bidang runtuh. Hal paling utama dalam analisis stabilitas lereng adalah menentukan bidang longsor (=bidang runtuh). Bidang longsor ditetapkan/ diasumsikan berdasarkan penelitian keadaan pada lereng sebenarnya. Selanjutnya adalah kemungkinan gaya-gaya (beban-beban) yang bekerja pada lereng. Dalam keadaan pembebanan statis, umumnya gaya gravitasi lebih dominan menyebabkan keruntuhan lereng. Keruntuhan statis adalah diakibatkan oleh tidak cukupnya (atau berkurangnya) tahanan geser tanah pada bidang longsor. Namun dalam kasus beban dinamik, perlu dipertimbangkan keruntuhan yang diakibatkan oleh meningkatnya beban getaran sehingga diperlukan pertimbangan gaya akibat getaran. Sebagai contoh kasus dinamik adalah keruntuhan akibat beban gempa, gaya horizontal (dinamik) yang mendorong tanah meningkat dengan adanya percepatan gempa pada Bidang Runtuh Rotasi Massa yang Runtuh
Bidang Runtuh Datar
Bidang Runtuh Gabungan Gambar 6.3. Bidang runtuh pada lereng
81
6.3. Data-data tanah untuk analisis stabilitas Lereng Setelah mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu sebuah lereng, selanjutnya diperlukan data-data untuk analisis kestabilan lereng. Data-data yang diperlukan untuk stabilitas lereng adalah sebagai berikut: a. Data topografi dan lapisan tanah. Data-data ini diperlukan untuk menggambarkan potongan melintang dari lereng sehingga dapat dilihat secara visual dimensi dari lereng luar (tinggi dan kemiringan lereng) maupun bagian lapisan dalam sebuah lereng. Data lapisan dalam lereng dikenal dengan stratifikasi (atau stratigrafi) lereng yang menggambarkan tebal lapisan dan kemiringan tiap lapisan. Data topografi diperoleh dengan melakukan pengukuran permukaan di lapangan dengan menggunakan alat ukur (theodolite dan yang sejenis dan pita ukur). Sedangkan data lapisan tanah dapat diketahui dengan melakukan pemboran minimal pada kaki, badan dan puncak lereng. Dengan berdasarkan data-data tersebut maka potongan melintang lereng dapat digambarkan dengan baik. b. Data air tanah. Air tanah diperlukan dalam analisis dalam menentukan tekanan air pori tanah. Seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa dalam menganalisis kesetimbangan gayagaya dalam, tegangan tanah diperhitungkan sebagai tegangan effektif yang terjadi pada butiran tanah. Dengan diketahuinya air tanah, maka analisis stabilitas dengan tegangan effektif dapat dilakukan. Bila tidak dapat dilakukan pengukuran tegangan air tanah, maka dapat dilakukan pendugaan muka air tanah di dalam lereng. Kedalaman muka air tanah dapat diketahui melalui lubanglubang bore setelah beberapa waktu ( sekitar 24 jam) lubang
82
tersebut dibiarkan. Kedalaman muka air tanah ini selanjutnya diplotkan pada gambar potongan lereng (stratifikasi lereng) yang dibuat berdasarkan data-data sebelumnya. c. Parameter kekuatan tanah. Parameter utama kekuatan geser tanah yang diperlukan untuk analisis stabilitas lereng adalah kohesi, sudut geser dalam dan berat isi tanah. Data-data ini dapat diperoleh dengan melalui pengujian laboratorium terhadap sampel yang diambil dari explorasi pada lereng. Sampel tersebut diambil dengan menggunakan tabung sampel pada kedalaman tertentu di dalam lobang pengeboran. Sebaiknya tiap lapisan tanah yang berbeda diambil sampelnya untuk dilakukan pengujian laboratorium. Data-data tersebut selanjutnya diplotkan pada masing-masing lapisan tanah pada sketsa potongan lereng. Data parameter kekuatan tanah juga dapat diperoleh dengan cara mengkorelasikan nilai pengujian kekuatan tanah di lapangan secara langsung dengan uji sondir atau uji penetrasi standart.
Y (m) Lapisan II, γ2, c2 dan φ2
Lapisan I, γ1, c1 dan φ1 m.a.t
Lapisan III, γ3, c3 dan φ3 Lapisan IV, γ4, c4 dan φ4 X (m) Gambar 6.4. Data pada sebuah lereng
83
6.4. Analisis Keruntuhan Bidang Datar Pada lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar (perhatikan Gambar 6.5), maka analisis stabilitasnya dapat dilakukan dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng sebagai berikut: W=γ.Λ
6.4
dimana Λ adalah luas bidang yang longsor (luas abc pada Gambar 6.5) lalu hitung gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan: N = W cos α
6.5
T = W sin α
6.6
dan
Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan: T max = N tg φ + c L
6.7
Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan membandingkan nilai T max dengan T sebagai berikut: SF=
Tmax
/T
6.8 c
b α
T
N
Tmax
W L a Gambar 6.5. Gaya-gaya pada longsor bidang datar
84
Contoh Kasus 6.1: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K6.1. 3m
5m c
b γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
H=6m
L α
a
Gambar K6.1. Data lereng dengan bidang longsor datar Solusi: Menentukan berat bagian longsoran: W=γ.Λ
6.4
Λ = luas bidang yang longsor = luas abc = ½ (5m x 6 m ) = 15 m2 W = 1.4 t/m3 . 15 m2 = 21 t/m’
85
Gaya normal bidang keruntuhan: N = W cos α
6.5
dengan cos α = 0.8 N = 12 t/m’ . 0.8 = 16.8 t/m’ dan T = W sin α
6.6
dengan sin α = 0.6 T = 21 t/m’ . 0.6 = 12.6 t/m’ Gaya tahanan pada bidang runtuh: T max = N tg φ + c L
6.7
dengan tan φ = 0.466 c = 2 t/m2 L = [62 + 82]1/2 = 10 m T max = (16.8 t/m). 0.466 + (2 t/m2). 10 m = 7.834 t/m + 20 t/m = 27.834 t/m Selanjutnya Faktor Keamanan adalah: SF = SF =
Tmax
/T
(27.834 t/m)
6.8
/ ( 12.6 t/m)
= 2.2
86
6.5. Analisis Keruntuhan Bidang Datar - Panjang Pada lereng yang sangat panjang, keruntuhan dapat terjadi pada permukaan lereng dengan kedalaman yang hampir seragam. Keruntuhan ini dikenal dengan keruntuhan permukaan. Bidang runtuh yang terjadi diasumsikan sejajar dengan permukaan lereng dengan kedalaman yang tetap ( yaitu sama dengan D pada Gambar 6.6). Pada lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh yang panjang dan datar ini, analisis stabilitasnya hampir menyerupai cara sebelumnya. Namun dapat lebih disederhanakan dengan mengambil panjang massa yang longsor sebesar satu satuan panjung (unit). Perhitungan gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan sebagai berikut: 1 unit
D T
β
N W Tmax
α
L=~
Gambar 6.6. Gaya-gaya pada longsor bidang datar - panjang
87
W=γ.D.1
6.9
dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 6.6) Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar biasa, gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan adalah: N = W cos β
6.5
T = W sin β
6.6
dan
Perlu diingat bahwa sudut bidang longsor, α adalah sama dengan sudut kemiringan lereng, β. Selanjutnya gaya tahanan pada bidang keruntuhan sama seperti sebelumnya : T max = N tg φ + c .L
6.7
Panjang bidang longsor L = 1 / (cos β ) Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
6.8
88
Contoh Kasus 6.2: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dengan kedalaman 1.0 m dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K6.2. 3m b
c γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
6m
a
β = tan-1 (6/3) = 63.40
Gambar K6.2. Data pada longsor bidang datar - panjang Solusi: Menentukan berat massa longsoran: W=γ.D.1
6.9
D = kedalaman bidang yang longsor = 1.0 m W = 1.4 t/m3 . 1.0 m . 1 m = 1.4 t/m’ Gaya normal bidang keruntuhan: N = W cos β
6.5
dengan cos β = 0.447
89
N = 1.4 t/m’ . 0.447 = 0.626 t/m’ T = W sin β
6.6
dengan sin β = 0.894 T = 1.4 t/m’ . 0.894 = 1.252 t/m’ Gaya tahanan pada bidang runtuh: T max = N tg φ + c / cos β
6.7
dengan tan φ = 0.466 c = 2 t/m2 1/cos β = 1 / 0.447 = 2.236 T max = (0.626 t/m). 0.466 + (2 t/m2) . (2.236 m) = 0.292 t/m + 4.472 t/m = 4.764 t/m Selanjutnya Faktor Keamanan adalah: SF = SF =
Tmax
/T
(4.764 t/m)
6.8
/ ( 1.252 t/m)
= 3.80
Bila kedalaman longsor menjadi D =1.5 m, maka turunlah SF = 2.61. Dan, jika kedalaman menjadi D =2.0 m, maka jadilah SF = 2.02.
90
6.6. Kasus Khusus Keruntuhan Bidang Datar - Panjang a. Untuk lereng non-kohesif (pasir, c = 0) Khusus untuk lereng yang sangat panjang yang terbuat dari tanah nonkohesif, keruntuhan sangat mungkin terjadi bila sudut kemiringan lereng, β lebih besar dari sudut geser dalam tanah, φ. Hal ini dapat dijelaskan dengan menjabarkan formula analisis keruntuhan lereng runtuh sebagai berikut:
c=0
β
Gambar 6.7. Lereng dari tanah non-kohesif Berat elemen: W = γ . D . 1 dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor, lalu: N = γ . D cos β
T = γ . D sin β
dan
Karena nilai c = 0, maka gaya tahanan pada bidang keruntuhan menjadi: T max = N tg φ Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:
91
SF=
(γ . D . cos β . tg φ)
/
(γ . D sin β)
atau dapat disederhanakan menjadi: SF=
tg φ
/tg β
6.10
Persamaan diatas akan bernilai besar dari 1 (SF > 1) bila sudut kemiringan lereng lebih kecil dari sudut geser dalam tanah ( β < φ). Dengan kata lain, untuk memperoleh lereng dari tanah pasir yang aman terhadap longsor, maka sudut kemiringan lereng, β harus dibuat lebih kecil dari sudut geser dalam tanah, φ. Contoh Kasus 6.3: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor panjang dari sebuah lereng timbunan terbuat dari pasir dengan data-data seperti pada Gambar K6.3. 6m
Timbunan Pasir φ = 350
4m
β = tan-1 (4/6) = 33.70
Gambar K6.3. Data lereng panjang dari tanah pasir
92
Solusi: Faktor keamanan dapat ditentukan dengan: SF=
tg φ
/tg β
6.10
Berdasarkan data diatas maka: tg φ = tg (350) = 0.70 tg β = ( 4m / 6m ) = 0.67 SF =
0.70
/0.67
= 1.05
b. Untuk lereng lempung (φ = 0O) Pada lereng yang terbuat dari tanah lempung (normal, undrained), untuk memperoleh nilai yang aman pada saat pembuatan dapat ditentukan sebagai berikut :
L
R
φ=0
H β
Gambar 6.8. Lereng dari tanah kohesif Berat elemen longsor: W=γ.D.1
93
Gaya-gaya pada bidang longsor: N = γ . D cos β
T = γ . D sin β
dan
Karena nilai φ = 0, maka gaya tahanan di bidang keruntuhan menjadi: T max = c / cos β Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:
SF=
(c /cos β )
/
(γ . D sin β)
Pada kondisi yang kritis, nilai faktor keamanan SF=1, selanjutnya persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi: D cr =
c
/ (γ sin β. cos β)
6.11
Persamaan diatas mempunyai arti sebagai kedalaman kritis dari lereng dari lempung dengan sudut kemiringan β. Artinya bila nilai kedalaman bidang longsor lebih besar, maka lereng menjadi tidak stabil. Hal ini menjelaskan tentang fenomena keruntuhan lereng dari lempung yang terjadi akibat pengaruh cuaca seperti dijelaskan pada bagian terdahulu yaitu semakin dalam erosi air pada sisi miring lereng, semakin kurang faktor keamanan lereng tersebut. L H Selanjutnya dengan mengambil nilai cos β = R dan sin β = R serta kwadrat panjang lereng R2 = H2 + L2 , persamaan kedalaman kritis (SF=1) diatas dapat disederhanakan menjadi:
/
c D cr = γ
H 2 + L2 HL
/
6.11
94
Persamaan diatas dapat ditulis ulang menjadi:
H 2 + L2 γ < D cr HL c Keruntuhan lereng permukaan biasanya terjadi hingga kedalaman 2m saja. Sehingga untuk membuat lereng dari tanah lempung yang stabil dalam jangka waktu yang lama, maka perlu diperhatikan kombinasi antara tinggi lereng H dan panjang L sedemikian rupa nilainya berada dibawah batasan berikut:
γ H 2 + L2 < ( 2m ) HL c
6.12
Contoh Kasus 6.4: Suatu lereng dari tanah lempung dibuat dengan sudut 45 derajat. Dengan menganggap penjalaran retak susut pada tanah akibat alam mempunyai kecepatan rata-rata tetap sedalam 60 cm per tahun. Perkirakan kapan lereng tersebut mulai mengalami masalah kestabilan dengan akibat kelongsoran datar memanjang. Data-data lereng tersebut ditampilkan pada Gambar K6.4. 5m
5m
?
Lempung: γ = 1.5 t/m3 c = 0.12 kg/cm2
β = tan-1 (5/5) = 450 …ok ?
Gambar K6.4. Data lereng lempung
95
Solusi: Kedalaman kritis longsor memanjang dapat dihitung dengan: D cr =
H 2 + L2 HL
c γ
6.11
Data dari kasus diatas adalah: H=L=5m H2 = L2 = 25 m2 c = 0.12 kg/cm2 = 1.2 t/m2 γ = 1.5 t/m3 Masukkan data dalam persamaan diatas: D cr =
1.2 1.5
25 + 25 5×5
= 0.8 m × 2 = 1.6 m Waktu yang diperlukan untuk mencapai kedalaman kritis longsor memanjang adalah : Waktu =
1.6 m
/ (0.6 m/tahun)
= 2.67 tahun Hal ini mempunyai arti bahwa bila pada awalnya lereng tersebut tidak mengalami longsor, maka menjelang tahun ke-3 mulai terjadi masalah stabilitas pada lereng (kelongsoran). Buktikan bahwa lereng tersebut memang tidak mempunyai masalah kestabilan pada awalnya dengan menghitung faktor keamanan lereng menggunakan data-data diatas.
96
6.7. Metoda Potongan (Slices) Analisis stabilitas lereng dengan menggunakan metoda potongan berlaku untuk bentuk bidang runtuh yang datar, lingkaran maupun perpaduan dari keduanya. Metoda ini berlaku umum dan sangat populer digunakan. Dengan perkembangan aplikasi numerik pada komputer, perhitungan stabilitas dengan metoda ini semakin mudah dilakukan. Untuk menggunakan metoda potongan, blok tanah yang mengalami kelongsoran dibagi menjadi beberapa bagian (potongan). Pembagian potongan dilakukan secara vertikal. Untuk setiap potongan gaya-gaya yang bekerja dianalisis dan diperhitungkan secara komulatif. Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh yang diasumsikan dapat dihitung dengan membandingkan gaya-gaya yang yang menahan dan meruntuhkan. ∆L
∆H β
T N W
α
i=n n-1
Tmax
n-2 … 3 i=1
α
2
Gambar 6.9. Metoda potongan
97
Untuk setiap potongan (lihat Gambar 6.9) berat dari elemen tanah yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah adalah: W= γ ∆L ∆H
6.12
Selanjutnya gaya normal (N) dan gaya tangensial (T) yang bekerja untuk masing-masing potongan dihitung seperti cara sebelumnya yaitu:
dan
N = W cos α
6.5
T = W sin α
6.6
Perlu diingat bahwa α adalah sudut kemiringan tiap-tiap potongan. Pada setiap potongan diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar, maka analisis stabilitasnya dapat dilakukan dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng. Luas bidang kontak pada dasar potongan adalah: ∆A = ∆L/cos α
6.13
Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan: T max = c ∆A + N tg φ
6.7
Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T sebagai berikut: SF=
ΣTmax
/ ΣT
6.14
Dengan memasukkan nilai gaya geser dan gaya normal kedalam persamaan faktor keamanan, selanjutnya dapat dituliskan menjadi:
98
n
∑ (c i =1
SF =
i
ΔA i + Wi cos α i tan φi ) 6.15
n
∑ W sin α i =1
i
i
α i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik.
Contoh Kasus 6.5: Untuk data tanah yang sama dengan kasus 6.1 sebelumnya, tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan seperti pada Gambar K6.5. 3m
5m
γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 H=6m
φ = 250
Gambar K6.5. Data lereng dengan bidang longsor
99
Solusi: Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan pada bidang longsor seperti pada Gambar K.6.5.a.
1.5 m
1.5 m
1.5 m
1.5 m
2.0 m
5 4
590
3 6.0 m 2
390 260
1 0
180
7
Skala : 1 m =
Gambar K6.5.a. Data gometrik tiap potongan
Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: W= γ ∆L ∆H N = W cos α T = W sin α ∆A = ∆L/cos α
6.12 6.5 6.6 6.13
100
Data tanah: γ = 1.4 t/m3, c = 2 t/m2 dan φ= 250. Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) n
∑ (c SF =
i =1
i
ΔA i + N i tan φ i ) 6.15
n
∑T i =1
i
Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
i 1 2 3 4 n=5
∆L (m) 1.5 1.5 1.5 1.5 2
α 7 18 26 39 59
∆H (m) 1.4 4.1 4.9 3.9 1.7
W (ton) 2.96 8.55 10.31 8.27 4.66
N (ton) 2.93 8.13 9.27 6.42 2.40 ΣT =
Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah:
SF =
34.74
/16.72
= 2.08
101
T (ton) 0.36 2.64 4.52 5.20 3.99 16.72
∆A (m) 1.51 1.58 1.67 1.93 3.88 ΣT max =
T max (ton) 4.39 6.95 7.66 6.86 8.89 34.74
6.8. Prosedur umum untuk Analisis Stabilitas Lereng Prosedur yang dapat diikuti untuk menganalisis stabilitas lereng adalah sebagai berikut: a. Tentukan dimensi lereng termasuk lapisan tanah yang membentuknya. b. Gambarkan dalam sketsa atau dengan skala yang baik. c. Tentukan data-data yang diperlukan untuk analisis, meliputi parameter geser tanah, berat isi, permukaan air tanah dan beban luar yang bekerja. d. Tentukan (asumsikan) bidang runtuh yang mungkin terjadi dengan menggunakan metoda yang ada. e. Hitung gaya-gaya yang diakibatkan oleh berat sendiri dari tanah dan gaya luar. f. Tentukan gaya yang meruntuhkan dan gaya yang menahan sesuai dengan metoda yang dipilih. g. Faktor keamanan ditentukan dengan perbandingan gaya yang menahan dan gaya yang mengakibatkan keruntuhan. h. Gambarkan bidang-bidang keruntuhan yang mempunyai faktor keamanan terkecil pada sketsa.
102
BAB VII
ESTIMASI KEAMANAN LERENG DENGAN GRAFIK 7.1. Pendahuluan Pada jaman dahulu telah banyak dibuat grafik-grafik untuk memperkirakan stabilitas dari sebuah lereng homogen. Hal ini disebabkan pada saat itu perhitungan dengan menggunakan angkaangka yang banyak dan berulang terasa sangat menyulitkan. Walaupun pada kenyataannya penentuan stabilitas lereng dengan menggunakan cara grafik masih memerlukan beberapa perhitungan namun tidak berulang-ulang. Saat ini perhitungan dengan menggunakan peralatan komputer sudah dapat mengatasi kesulitan akibat perhitungan berulang untuk menentukan stabilitas lereng. Akan tetapi cara grafik terkadang masih diperlukan untuk mempercepat pengambilan keputusan bagi praktisi dilapangan. Dalam bagian ini akan diberikan grafik-grafik untuk analisis stabilitas lereng yang homogen. Grafik ini dibuat dari hasil perhitungan dengan parameter-parameter tanah yang diambil untuk rentang tertentu. Selain itu juga akan diberikan beberapa grafik yang pernah ada jaman dahulu serta contoh-contoh penentuan stabilitas lereng dengan cara tersebut. Untuk grafik yang lama, penurunan formula untuk mendapat grafikgrafik tersebut tidak dibahas dalam buku ini. Pemformulasian grafik tersebut, dapat dilihat pada referensi dari masing-masing grafik tersebut.
103
7.2. Bidang keruntuhan datar Untuk lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar (perhatikan Gambar 7.1), maka analisis stabilitasnya dilakukan dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja sebagai berikut: W = γ . ½ (h . b 2 )
7.1
dan
h
T=W
7.2
h + ( b1 + b 2 ) 2 2
serta T max = W
b1 + b 2 h + (b1 + b 2 ) 2
2
tg φ + c h 2 + (b 1 + b 2 ) 2
7.3
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dihitung sebagai berikut: SF =
Tmax
/T
7.4
b2
b1
h
Parameter tanah: c, φ dan γ
H tinggi lereng
B lebar lereng
Gambar 7.1. Data lereng untuk analisis
104
a. Tanah pasir (c=0) Untuk lereng terbuat dari tanah pasir yang dengan bidang runtuh datar, maka faktor keamanan lereng dapat disederhanakan dengan memasukkan persamaan 7.2 dan 7.3 kedalam persamaan 7.4. Perlu diingat bahwa nilai kohesi untuk pasir dapat diambil sama dengan nol. Sehingga faktor keamanan dapat dituliskan menjadi:
SF=
b1 + b 2 tg φ h
7.5
b2
b1
h
Parameter tanah: φ dan γ
H tinggi lereng
B lebar lereng
Gambar 7.2. Data lereng tanah pasir Berdasarkan formulasi faktor keamanan diatas, lalu dibuatkan grafik hasil perhitungan yang menunjukkan nilai-nilai faktor keamanan dari lereng untuk bidang-bidang keruntuhan tertentu. Gambar dari grafik ini ditampilkan pada gambar 7.3. Perlu diingat bahwa lereng dari tanah pasir, tidak boleh memiliki sudut kemiringan lereng, β yang lebih besar dari sudut geser dalam tanah, φ.
105
20 SF=1 1.2 1.5 2.0
15 b1+b2 h 10
atau B/H 5
( B / H )minimum untuk pasir 0 0
10
20
φ
30
40
50
Gambar 7.3. Faktor keamanan untuk lereng tanah pasir Contoh Kasus 7.1: Tentukan lebar kaki minimum dari timbunan tanah pasir setinggi 8 m, dengan sudut geser dalam, φ = 280. Solusi: Dari gambar 7.3. untuk φ=280, diperoleh (B/H)
minimum
= 1.9.
Sehingga panjang kaki minimum agar timbunan pasir tidak longsor adalah: B minimum = 1.9 x 8m = 15.2m
106
b. Tanah lempung (φ =0) Untuk lereng yang terbuat dari tanah lempung (normal, tidak terdraenase) dengan bidang runtuh datar, maka faktor keamanan lereng dapat disederhanakan dengan memasukkan persamaan 7.2 dan 7.3 kedalam persamaan 7.4 untuk sudut geser dalam sama dengan nol. Sehingga faktor keamanan dapat dituliskan menjadi: 2 2 c b1 + b 2 SF = 1 + γ.b 2 h
7.6
Selanjutnya perhitungan faktor keamanan ditampilkan pada Gambar 7.4 dengan prasyarat bahwa nilai b 1 dan b 2 lebih besar dari nol. 5 SF=1 1.2 1.5 2.0
4
3 b1+b2 h 2
1
0 0
0.5
2c
c/γ γbb2
1
1.5
2
Gambar 7.4. Faktor keamanan untuk lereng lempung
107
2
Contoh Kasus 7.2: Tentukan lebar kaki minimum dari sebuah timbunan tanah lempung setinggi 5m pada sebuah bidang datar seperti pada Gambar K7.2. Lempung tersebut memiliki nilai kohesi, c = 0.2 kg/cm2 dan berat satuan, γ = 1.5 t/m3. b2 = 7m
b1 = ?
h = 8m
Solusi: Data tanah: c = 2 t/m2 dan γ = 1.5 t/m3 Nilai (2c / γ.b 2 ) = ([2 x 2 t/m2] / [1.5 t/m3 . 7 m ] ) = 0.38 Dari Gambar 7.4 bahwa dengan ( 2c / γ.b 2 ) = 0.38 untuk nilai faktor keamanan, SF=1 didapat (b 1 +b 2 )/h = 1.3 Selanjutnya untuk b 2 = 7m dan h = 8m dapat dihitung: b1
= 1.3 h – b 2 = 1.3 (8m) – 7.m = 3.4 m
108
c. Tanah secara umum (c dan φ) Untuk lereng terbuat dari tanah secara umum dengan nilai c dan φ, maka faktor keamanan lereng adalah penjumlahan dari kedua faktor keamanan terhadap c dan terhadap φ. Sehingga faktor keamanan dapat dituliskan menjadi: 2 b1 + b 2 2 c b1 + b 2 SF= tg φ + 1 + h γ.b 2 h
7.7
Berdasarkan formulasi faktor keamanan diatas, lalu dibuatkan grafik hasil perhitungan yang menunjukkan nilai-nilai faktor keamanan dari lereng untuk bidang-bidang keruntuhan tertentu terhadap parameter tanah c, φ dan γ. Gambar dari grafik ini ditampilkan pada gambar 7.5 dalam skala semi logaritmik. Perlu diingat bahwa lereng secara umum tidak harus memiliki sudut kemiringan, β yang lebih besar dari sudut geser dalam tanah, φ. Hal ini dikarenakan adanya kohesi,c dalam tanah yang turut mencegah pergeseran akibat beban sendiri massa tanah. Contoh Kasus 7.3: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K6.1. 3m
5m c
b γ = 1.4 t/m
3
c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
H=6m
L a
α
Gambar K7.3.a Data kasus lereng
109
0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.5 2.0
1
φ (derajat) 10
10
10
9
9
8
8
7
7
6
6
5 4
b1+b2 5 h 4
3
3
2
2
1
1
0 100
0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.5 2.0
0 0.01
2c/γ b2 0.1 b1
Gambar 7.5. Gambar faktor keamanan lereng dengan bidang keruntuhan datar
h
b2
Parameter tanah: c, φ dan γ
H tinggi lereng
B lebar lereng
110
1
Solusi Kasus 7.3 : Data tanah: φ = 250, c = 2 t/m2 dan γ = 1.4 t/m3 2
Data lereng: h = 6 m, b 1 = 3m dan b 2 = 5m
3
Nilai (b 1 +b 2 )/h = ( 3m + 5m) / 6m
Nilai 2c/(γb 2 ) = ( [2 x 2 t/m ] / [1.4 t/m . 5 m ] ) = 4/7
= 8m / 6m
= 0.57
= 1.33
Selanjutnya adalah dengan memplot nilai-nilai tersebut dalam gambar dan diperoleh: SF φ = 0.7 dan SF c = 1.5 , Sehingga SF = 0.7 + 1.5 = 2.2 10
10
9
9
8
8
7
7
6 5
0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.5 2.0
1
φ (de rajat) 10
0
6 b1 +b2 h
5
4
4
3
3
2
1.33 2
1
1
0 100
0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.5 2.0
0 0.01
25
2c/ γ b2 0.1
Gambar K7.3.b Penentuan faktor keamanan dengan grafik
111
1
0.57
3. Bidang keruntuhan lingkaran Untuk lereng yang dibuat dengan kemiringan tertentu, Singh (1970) telah membuatkan grafik faktor keamanannya. Metoda yang digunakan adalah metoda keruntuhan lingkaran yang yang diajukan oleh Taylor (1937). Faktor keamanan dihitung dengan cara coba-coba sedemikian rupa sehingga bidang runtuh lingkaran yang dianggap kritis adalah lingkaran dengan faktor keamanan terhadap kohesi bernilai sama dengan faktor keamanan terhadap sudut geser dalam tanah, yaitu: SF = SF φ + SF c
7.8
dimana: SF φ adalah faktor keamanan sumbangan dari sudut geser dalam SF c adalah faktor keamanan sumbangan kohesi tanah Perhitungan dengan coba-coba dihentikan bila diperoleh SF φ = SF c . Selanjutnya faktor-faktor keamanan yang dihitung tersebut diplotkan dalam bentuk grafik φ versus c/γH untuk kemiringan lereng tertentu seperti pada Gambar 77.a s/d e.
r θ r H tinggi lereng
Parameter tanah: c, φ dan γ
Gambar 7.6. Lereng dengan keruntuhan lingkaran
112
1.4 1.2 H
v
tinggi lereng
h
1
2c Hγ
Data tanah: c, φ dan γ
0.8 SF = 2.5 0.6 2.0 0.4
1.6 1.4
0.2
0.6
0 0
10
20
30
0.8
1
1.2
40
φ (derajat) Gambar 7.7.a Faktor keamanan untuk v : h = 1 : ½
113
50
2c Hγ
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
2c Hγ
0.8 SF = 2.5
0.6
0.8 SF = 2.5
0.6
2.0
0.4
0.4 1.6
0.2
0.2 0.8
0.6
1
0
1.2 1.4
0.6
0.8 1
0 0
10
20
30
40
50
0
φ (derajat)
10
20
30
2.0 1.6 1.4 1.2 40
φ (derajat)
Gambar 7.7.b Faktor keamanan untuk v : h = 1 : ¾
Gambar 7.7.c Faktor keamanan untuk v : h = 1 : 1
114
50
2c Hγ
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
2c Hγ
0.8 0.6
0.8 0.6
SF = 2.5
v:h = 1:1.5 0.4
0.4
0.2 0.6 0 0
0.2
2.0 1.6 1.4 1 1.2
0.8 10
20
30
1:1.5 1:2
1:2 1:3 SF=2
1:3
SF=1
0 40
50
0
φ (derajat)
10
20
30
φ (derajat)
Gambar 7.7.d. Faktor keamanan untuk v : h = 1 : 1.5
Gambar 7.7.e SF=1 dan SF=2 untuk v : h = 1: 1.5, 1:2 dan 1:3
115
40
50
Contoh Kasus 7.4: Tentukan keamanan sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K7.4, dengan anggapan terjadi kelongsoran lingkaran pada lereng tersebut. 3m γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 H=6m
φ = 250
Gambar K7.1. Lereng dengan kasus longsor lingkaran
Solusi: Data lereng: Nilai v : h
H=6m
dan B = 3m
= H : B = 6m : 4m = 1:½
Maka, untuk mengestimasi faktor keamanan dapat digunakan Gambar 7.7.a. Berdasarkan data tanah: c = 2 t/m2 dan γ = 1.4 t/m3 Nilai 2c/(γH) = ( [2 x 2 t/m2] / [1.4 t/m3 . 6 m ] )
116
= 4/8.4 = 0.48 Selanjutnya adalah dengan memplot nilai 2c/(γH) = 0.48 dengan φ= 250 kedalam Gambar 7.7.a diperoleh: ~
SF 2.2 Dengan demikian lereng tersebut relatif aman terhadap kelongsoran lingkaran karena memiliki nilai faktor keamanan lebih dari 2.0 1.4 1.2 1
2c Hγ
0.8 SF = 2.5
0.6
0.48
2.0
0.4
1.6 0.2 0.8
0.6
1
0 0
10
20
25o
30
φ (derajat)
117
1.2 1.4 40
50
BAB VIII
ANALISIS STABILITAS LERENG DENGAN PENGARUH AIR
8.1. Teori dasar Teori yang dipergunakan untuk analisis kestabilan lereng dengan pengaruh tekanan air melibatkan teori gaya apung yang diberikan air. Tekanan air dalam tanah akan memberikan daya apung pada massa tanah sebesar tekanan air pada kedalaman yang ditinjau. Dalam mekanika tanah, teori ini dikenal dengan teori tekanan effektif tanah. Besarnya tekanan effektif tanah adalah tekanan tanah keseluruhan (total) dikurangi dengan tekanan air: σ’ = σ - u Tekanan air dalam kondisi diam (dianggap tidak mengalir) dikenal dengan tekanan hidrostatis. Tekanan hidrostatis bekerja dalam ke segala arah dengan besar yang sama. Air adalah material yang tidak mempunyai tahanan geser sehingga tekanan air hanya berupa tekanan normal. Nilai tekanan hidrostatis dibawah muka air tanah adalah berbanding lurus dengan kedalaman muka air (h w ) tanah dan berat satuan air (γ w ). u = γw . hw
8.1
Dengan mengacu pada teori tekanan effektif, maka tekanan effektif tanah dalam keadaan terendam air secara keseluruhan atau sebagian
118
adalah sama dengan tekanan pada bidang dikalikan dengan luas bidang kontak dikurangi dengan tekanan air pada bidang tersebut. Selanjutnya dengan mengacu pada teori kesetimbangan gaya-gaya, aksi dan reaksi yang bekerja pada bidang datar tergantung dari besarnya sudut kemiringan bidang (α). Kesetimbangan gaya-gaya pada bidang datar yang miring akan tetap terjadi sesuai dengan arah gaya terhadap bidang datar tersebut (perhatikan gambar 8.1). α=0 N =Wtot – u. L
hw
u = hw.γw L Wtot Gambar 8.1. Gaya normal pada bidang geser
Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada bidang kontak antara benda dengan bidang datar (bidang geser) yaitu sejajar bidang (tangensial) dan tegak lurus bidang (normal) dapat ditentukan seperti cara sebelumnya. Kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja adalah: arah tegak lurus bidang (normal): N = WN
N = W tot cos α – u.L
atau
dan arah sejajar bidang (tangensial): T = WT
T = W tot sin α
atau
119
Seperti sebelumnya, tahanan geser pada bidang geser adalah sebesar T max = N tg φ + c A Selanjutnya faktor keamanan lereng adalah berbanding lurus dengan tahanan geser dan berbanding terbalik dengan gaya yang menggeser: SF=
Tmax
/T
8.2
8.2. Analisis Keruntuhan Bidang Datar – Panjang Yang Jenuh Pada lereng yang sangat panjang yang jenuh, keruntuhan dapat terjadi pada permukaan lereng dengan kedalaman yang hampir seragam. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bidang runtuh yang terjadi diasumsikan sejajar dengan permukaan lereng dengan kedalaman yang tetap ( yaitu sama dengan D pada Gambar 8.2). Perhitungan gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan sebagai berikut: 1
D T W
β
N Tmax α
u.∆L L=~
Gambar 8.2. Gaya-gaya pada longsor bidang datar - panjang
120
W tot = γ sat . D . 1
8.3
dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 6.6) Besarnya tekanan air pori akibat tinggi muka air yang sejajar lereng adalah: u = γw . hw
8.1
Dengan: h w = D cos β Nilai gaya angkat akibat tekanan air pori adalah sebesar: U apung = u.∆L Dengan: ∆L =
1
/ cos β
Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar sebelumnya, gaya-gaya tegak lurus dan sejajar bidang keruntuhan adalah: N = W tot cos β –
u
/cos β
8.4
dan T = W tot sin β
8.5
Dalam persamaan diatas digunakan sudut lereng dikarenakan sudut bidang longsor, α adalah sama dengan sudut kemiringan lereng, β. Selanjutnya gaya tahanan pada bidang keruntuhan adalah: T max = N tg φ + c .∆L
8.6
Dengan panjang bidang longsor ∆L = 1 / (cos β )
121
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
8.7
Contoh Kasus 8.1: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dengan kedalaman D=1 m dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K8.1. 8m b
c γsat = 1.6 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
6m
β = tg-1 (6/8) = 36.90
a
Gambar K8.1. Data pada longsor bidang datar - panjang Solusi: Menentukan berat massa longsoran: W = γ sat . D . 1
8.3
D = kedalaman bidang yang longsor = 1.0 m W = 1.6 t/m3 . 1.0 m . 1 m = 1.6 t/m’
122
Gaya normal bidang keruntuhan: N = W cos β – u/cos β
8.4
dengan cos β = 0.80 u = γw . hw
dimana: h w = D = 1.0m
3
= 1 t/m . 1.0 m = 1.0 t/m2 Sehingga: 1 N = 1.6 t/m’ . 0.80 – 1.0 t/m2 ( / 0.80 ) m
= 0.03 t/m’ T = W sin β
8.5
dengan sin β = 0.60 T = 1.6 t/m’ . 0.60 = 0.96 t/m’ Gaya tahanan pada bidang runtuh: T max = N tg φ + c / cos β dengan tg φ = 0.466 c = 2 t/m2 1m/cos β = 1 / 0.80 = 1.25 m T max = (0.03 t/m). 0.466 + (2 t/m2) . (1.25 m) = 0.014 t/m + 2.5 t/m = 2.51 t/m
123
8.6
Selanjutnya Faktor Keamanan adalah: SF = SF =
Tmax
/T
(2.51 t/m)
8.7
/ ( 0.96 t/m)
= 2.62
Bila kedalaman longsor menjadi D =1.5 m, maka turunlah SF = 1.75. Dan, jika kedalaman menjadi D =2.0 m, maka jadilah SF = 1.31.
124
8.3. Kasus Khusus Keruntuhan Bidang Datar - Panjang a. Untuk lereng pasir (non-kohesif, c = 0) Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa untuk lereng yang sangat panjang yang terbuat dari tanah non-kohesif, keruntuhan sangat mungkin terjadi bila sudut kemiringan lereng, β lebih besar dari sudut geser dalam tanah, φ. Pada tanah berbutir yang sangat halus dimana kecepatan mengalirnya air dari dalam tanah sangat lambat (permeabilitas kecil), kelongsoran akan mudah terjadi. Kelongsoran yang terjadi bahkan akan menyerupai aliran lumpur (mud flow). Hal ini dapat dijelaskan dengan analisis keruntuhan lereng runtuh sebagai berikut:
D hw c=0
β
Gambar 8.3. Lereng dari tanah non-kohesif Berat elemen: W tot = γ sat . D . 1 dan :
u = γw . hw
dimana: h w = D adalah kedalaman muka air dan bidang yang longsor Lalu: dan
N = γ sat . D cos β – u/cos β T = γ sat . D sin β
Karena nilai c = 0, maka gaya tahanan pada bidang keruntuhan menjadi:
125
T max = N tg φ = (γ sat . D cos β – u/cos β) tg φ Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:
γw.hw γ sat D cos β cos β SF= γ sat D sin β
tg φ
8.8a
atau dapat disederhanakan menjadi: SF=
tg φ 1 tg β
γw.hw γ sat D
cos -2 β
8.8b
Persamaan diatas memberikan pelajaran sebagai berikut: 1. Faktor keamanan lereng akan bernilai besar dari 1 (SF > 1) bila sudut kemiringan lereng lebih kecil dari sudut geser dalam tanah ( β < φ). Dengan kata lain, untuk memperoleh lereng dari tanah pasir yang aman terhadap longsor baik dalam keadaan kering maupun basah dan jenuh, maka sudut kemiringan lereng, β harus dibuat lebih kecil dari sudut geser dalam tanah, φ. 2. Untuk lereng dengan aliran air didalamnya (h w
126
membahayakan terutama untuk lereng-lereng yang terbuat dari tanah pasir yang halus (permeabilitas rendah). 3. Apabila lereng dalam keadaan jenuh keseluruhannya, maka nilai h w =D, dan persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi: SF=
tg φ 1 tg β
γw cos -2 β γ sat
8.9
4. Apabila pada lereng jenuh sebagian dengan nilai:
γw hw cos -2 β ≥ 1.0 γ dry (D - h w ) + γ sat h w
8.10a
atau pada lereng jenuh seluruhnya dengan nilai:
γw cos -2 β ≥ 1.0 γ sat
8.10b
maka faktor keamanan akan bernilai kurang dari 0.0 yang berarti bernilai negatif. Hal ini mempunyai arti bahwa tekanan air lebih dominan dalam perilaku dari lereng. Dengan sifat air yang mudah mengalir ke tempat yang bertekanan rendah, maka lereng dengan faktor keamanan negatif akan dapat mengalir. Peristiwa ini dikenal sebagai aliran lumpur (mud flow, debris flow, galodo atau lahar dingin). 5. Pencegahan dari terjadinya peristiwa aliran lumpur/pasir adalah dengan membuat drainase yang dilengkapi penyaring pada sisisisi lereng dengan kedalaman lebih besar dari kedalaman kritis akibat kelongsoran.
127
filter/penyaring dan pipa drain Gambar 8.4. Drain dan filter pada lereng
Contoh Kasus 8.2: Sebuah lereng timbunan terbuat dari pasir halus dengan data-data seperti pada Gambar K8.2. Tentukan faktor keamanan lereng pada saat kering dan selidiki apakah lereng akan runtuh dan mengalir dalam keadaan jenuh air? 40 m
10 m
hw ? γ = 1.3 t/m3, γsat = 1.7 t/m3 φ = 250 β = tan-1 (10/40) = 140
Gambar K8.2. Data lereng panjang dari tanah pasir Solusi:
128
1. Faktor keamanan pada keadaan kering dapat ditentukan dengan: SF=
tg φ
/tg β
6.10
Berdasarkan data diatas maka: tg φ = tg (250) = 0.466 tg β = (10m / 40m ) = 0.25 SF =
0.466
/0.25
= 1.87 2. Pada keadaan jenuh keseluruhan maka perlu ditentukan nilai berikut:
γw cos -2 β ≥ 1.0 ? γ sat 1.0 t / m 3 cos -2 14 ≥ 1.0 ? 3 1.7 t / m
( 0.588) (0.97) -2 ≥ 1.0 ? keadaan jenuh: 0.625 > 1.0 tidak terpenuhi Faktor keamanan pada saat jenuh dapat dihitung sebagai berikut: SF=
tg φ 1 tg β
γw cos -2 β γ sat
8.9
= 1.87 (1- 0.65) = 0.70 Nilai diatas menunjukkan bahwa timbunan tidak mengalir pada saat jenuh keseluruhan, namun pada kondisi tidak stabil.
129
b. Untuk lereng lempung jenuh (φ = 0O) Pada lereng yang terbuat dari tanah lempung jenuh (normal, undrained), untuk memperoleh nilai yang aman pada saat pembuatan lereng dapat ditentukan sebagai berikut :
L
R
φ=0
H β
Gambar 8.5. Lereng dari tanah kohesif jenuh Berat elemen longsor: W tot = γ sat . D . 1 Gaya pendorong pada bidang longsor: T = W tot sin β Karena nilai φ = 0, maka gaya tahanan di bidang keruntuhan menjadi: T max = c u / cos β Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka: SF=
(cu /cos β )
/
(γsat . D sin β)
130
Pada kondisi yang kritis, nilai faktor keamanan SF=1, selanjutnya persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi: D cr =
cu
/ (γ
sat
sin β. cos β)
8.11
Persamaan diatas serupa dengan persamaan 6.11 terdahulu. Hal ini mempunyai arti bahwa keamanan lereng dari lempung sangat tergantung pada kondisi air. Bila dalam keadaan basah, makan nilai c akan berkurang sedangkan nilai γ sat akan meningkat. Keadaan ini akan memperkecil faktor keamanan lereng dan juga memperkecil kedalaman kritis lereng. Hal ini membuktikan bahwa seringnya terjadi kelongsoran pada saat hujan. Hal ini juga mempertegas tentang fenomena keruntuhan lereng dari lempung yang terjadi akibat pengaruh cuaca seperti dijelaskan pada bagian terdahulu. L H Selanjutnya dengan mengambil nilai cos β = R dan sin β = R serta kwadrat panjang lereng R2 = H2 + L2 , persamaan kedalaman kritis (SF=1) diatas dapat disederhanakan menjadi:
/
D cr =
cu γ sat
H 2 + L2 HL
/
8.11
atau:
H 2 + L2 γ < D cr HL c Keruntuhan lereng permukaan biasanya terjadi hingga kedalaman 2m saja. Sehingga untuk membuat lereng dari tanah lempung yang stabil dalam dalam keadaan basah (hujan), maka perlu diperhatikan kombinasi antara tinggi lereng H dan panjang L sedemikian rupa nilainya berada dibawah batasan berikut:
γ H 2 + L2 < sat ( 2m ) HL cu
8.12
131
Contoh Kasus 8.3: Suatu lereng dari tanah lempung dibuat dengan sudut 45 derajat (serupa dengan kasus 6.4). Dengan menganggap penjalaran retak susut pada tanah akibat alam mempunyai kecepatan rata-rata tetap sedalam 60 cm per tahun. Perkirakan kapan lereng tesebut mulai mengalami masalah saat terjadi hujan ( tinjau kestabilan dengan akibat kelongsoran datar memanjang). Data-data lereng tersebut ditampilkan pada Gambar K8.3. 5m
5m
?
Lempung: γ = 1.7 t/m3 cu = 0.12 kg/cm2
β = tan-1 (5/5) = 450 …ok ?
Gambar K8.3. Data lereng lempung Solusi: Kedalaman kritis longsor memanjang dapat dihitung dengan: D cr =
cu γ sat
H 2 + L2 HL
8.11
Data dari kasus diatas adalah: H=L=5m H2 = L2 = 25 m2 c = 0.12 kg/cm2 = 1.2 t/m2 γ = 1.7 t/m3 Masukkan data dalam persamaan diatas:
132
D cr =
1.2 1.7
25 + 25 5× 5
= 0.7 m × 2 = 1.4 m Waktu yang diperlukan untuk mencapai kedalaman kritis longsor memanjang adalah : Waktu =
1.4 m
/ (0.6 m/tahun)
= 2.33 tahun Hal ini mempunyai arti bahwa bila pada awalnya lereng tersebut tidak mengalami longsor, maka setelah tahun ke-2 mulai terjadi masalah stabilitas pada lereng (kelongsoran) terutama pada saat terjadi hujan. Buktikan bahwa lereng tersebut memang tidak mempunyai masalah kestabilan pada awalnya dengan menghitung faktor keamanan lereng menggunakan data-data diatas.
133
8.4. Analisis Keruntuhan Dengan Muka Air Tanah Analisi stabilitas lereng dengan menggunakan metoda potongan berlaku untuk bentuk semua bidang runtuh secara umum. Metoda ini berlaku umum dalam berbagai keadaan dan sangat populer digunakan. Penggunaan metoda ini lebih dianjurkan dilakukan dengan aplikasi pada komputer. Hal ini untuk mempercepat perhitungan berulang pada bidang-bidang runtuh yang diasumsikan, sehingga diperoleh bidang runtuh dengan faktor keamanan terkecil. Pembagian potongan harus dilakukan secara vertikal. Pada setiap potongan gaya-gaya yang bekerja dianalisis dan diperhitungkan secara komulatif, baik diakibatkan oleh berat tanah maupun oleh tekanan air. Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh yang diasumsikan dapat dihitung dengan membandingkan gaya-gaya yang menahan dan meruntuhkan. ∆L
γ
γsat ∆H β
T ∆ hw
N
α
W
i=n
Tmax
n-1
U
n-2 … 3 i=1
2
α
Gambar 8.6. Metoda potongan umum
134
Untuk setiap potongan (lihat Gambar 6.9) berat dari elemen tanah yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah adalah: W tot = γ ∆L (∆H – ∆h w ) + γ sat ∆L ∆h w Gaya tekan air pada bidang geser: U = γ w ∆h w ∆A
8.13
8.14
Selanjutnya gaya normal (N) dan gaya tangensial (T) yang bekerja untuk masing-masing potongan dihitung seperti cara sebelumnya yaitu: N = W cos α – U T = W sin α
8.15 8.16
dimana: h w = adalah kedalaman muka air dan bidang yang longsor α adalah sudut kemiringan tiap-tiap potongan. Pada setiap potongan diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar, maka analisis stabilitasnya dapat dilakukan dengan menghitung gayagaya yang bekerja per satuan lebar lereng. Luas bidang kontak pada dasar potongan adalah: ∆A = ∆L / cos α
8.17
Gaya tahanan pada bidang runtuh adalah: T max = c ∆A + N tg φ
8.18
Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T berikut: SF=
ΣTmax
/ ΣT
8.19
135
Dengan memasukkan nilai gaya geser dan gaya normal kedalam persamaan faktor keamanan, selanjutnya dapat dituliskan menjadi: n
∑ (c SF =
i =1
i
ΔA i + [Wi cos α i - U i ] tan φi ) 8.20
n
∑ W sin α i =1
i
i
α i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik. Analisis keamanan lereng diatas merupakan metoda umum yang dapat digunakan untuk berbagai bentuk bidang longsor. Metoda tersebut juga dapat digunakan untuk kasus lereng dengan keberadaan aliran air tanah didalamnya maupun yang tidak. Sebagai gambaran untuk lereng dengan keruntuhan datar, maka perlu dilakukan pembagian lereng untuk keperluan analisis seperti ditampilkan pada Gambar 8.7. berikut:
c
b 3
4
2 1 α a
L1
Gambar 8.7. Lereng dengan aliran air: keruntuhan datar
136
Contoh Kasus 8.4: Sebuah lereng dengan ketinggian 6m dan dengan aliran air didalamnya pada ketinggian ½ dari tinggi lereng. Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan seperti pada Gambar K8.4. Data-data lereng tercantum dalam gambar tersebut. 3m
5m
γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 H=6m
φ = 250 γsat = 1.7 t/m3
Gambar K8.4. Data lereng dengan bidang longsor
137
Solusi: Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan pada bidang longsor seperti pada Gambar K.8.4.a. Data kekuatan tanah diambil sama untuk keadaan jenuh dan tidak jenuh.
1.5 m
1.5 m
1.5 m
1.5 m
2.0 m
5 4
590
3 6.0 m 2
390 260
1 0
180
7
Skala : 1 m =
Gambar K8.4.a. Data gometrik tiap potongan Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: W tot = γ ∆L (∆H – ∆h w ) + γ sat ∆L ∆h w U = γ w ∆h w ∆A ∆A = ∆L / cos α
138
8.13 8.14 8.17
Data tanah: γ = 1.4 t/m3, γ sat = 1.7 t/m3, c = 2 t/m2 dan φ= 250. Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) n
∑ (c SF =
i =1
i
ΔA i + [Wi cos α i - U i ] tan φi ) 8.20
n
∑ W sin α i =1
i
i
atau SF=
ΣTmax
/ ΣT
8.19
Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut: i 1 2 3 4 n=5
α (o) 7 18 26 39 59
∆L (m) 1.5 1.5 1.5 1.5 2.0
∆H (m) 1.4 4.1 4.9 3.9 1.7
∆h w (m) 1.4 2.6 1.9 0.9 0.0
W (ton) 3.59 9.71 11.18 8.69 4.66
U (ton) 1.4 2.6 1.9 0.9 0.0
N (ton) 2.16 6.66 8.11 5.81 2.40 ΣT=
T (ton) 0.44 3.00 4.90 5.47 3.99 17.80
∆A (m) 1.51 1.58 1.67 1.93 3.88 ΣT max =
T max (ton) 4.03 6.26 7.12 6.57 8.89 32.87
Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah: SF =
32.87
/17.80
= 1.85 Bila diperhatikan soal sebelumnya (Bab 6, Kasus 6.5), maka dapat dilihat bahwa faktor keamanan lereng yang sama akan turun dikarenakan adanya aliran air dalam lereng tersebut.
139
Contoh Kasus 8.5: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari lereng dengan seperti pada Gambar K8.5. 3m
5m c
b γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
H=6m
γsat = 1.7 t/m3
L = 10m
h = 3.0 m
α a
Gambar K8.5. Data lereng dengan bidang longsor datar Solusi: Kasus ini serupa dengan kasus sebelumnya, namun dengan bidang longsor datar. Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: W tot = γ ∆L (∆H – ∆h w ) + γ sat ∆L ∆h w U = γ w ∆h w ∆A ∆A = ∆L / cos α Data tanah: γ = 1.4 t/m3, γ sat = 1.7 t/m3, c = 2 t/m2 dan φ= 250.
140
8.13 8.14 8.17
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) SF=
ΣTmax
/ ΣT
8.19
Kemiringan bidang longsor lereng adalah sama yaitu sebesar: α = tg-1 (6m/10m) = 370 Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut: i 1 2 3 4 n=5
∆L (m) 1.5 1.5 1.0 2.0 2
∆H (m) 0.9 2.8 3.4 2.3 0.8
∆h w (m) 0.9 1.3 0.4 0.0 0.0
W (ton) 2.39 6.50 4.84 6.30 2.10
U (ton) 0.9 1.3 0.4 0.0 0.0
N (ton) 0.98 3.89 3.50 5.04 1.68 ΣT=
T (ton) 1.43 3.90 2.90 3.78 1.26 13.28
∆A (m) 1.88 1.88 1.25 2.50 2.50 ΣT max =
T max (ton) 4.20 5.56 4.13 7.35 5.78 27.03
Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah: SF =
27.03
/13.28
= 2.04 Bila diperhatikan soal sebelumnya (Bab 6, Kasus 6.1), maka dapat dilihat bahwa faktor keamanan lereng yang sama juga akan turun dikarenakan adanya aliran air dalam lereng tersebut. Perhatikan dari Kasus 8.4 dan 8.5, bahwa keduanya memiliki data yang sama tetapi untuk mempernudah perhitungan, pengambilan potongan vertikal dilakukan sedikit berbeda.
141
BAB IX
PERKUATAN LERENG
9.1. Prinsip Dasar Penanggulangan Longsor Pada suatu lereng bekerja gaya-gaya yang terdiri dari gaya pendorong dan gaya penahan. Gaya pendorong adalah gaya tangensial dari berat massa tanah, sedangkan gaya penahan adalah tahanan geser tanah. Suatu lereng akan longsor bila keseimbangan gaya-gaya yang bekerja padanya terganggu. Kelongsoran terjadi bila gaya pendorong melampaui gaya penahan. Oleh karena itu prinsip penanggulangan longsoran adalah mengurangi gaya pendorong dan/atau menambah gaya penahan. Penanggulangan terjadinya longsoran sangat tergantung pada tipe dan sifat longsoran, kondisi geometri dan geologi serta keadaan lapangan secara keseluruhan. Jenis longsoran yang tidak sederhana/kompleks, memerlukan penanggulangan yang melibatkan analisis yang lebih teliti berdasarkan data yang lebih lengkap. Cara penanggulangan longsoran dengan mengurangi gaya pendorong dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pemotongan dan pengendalian air permukaan. Sedangkan penanggulangan dengan cara menambah gaya penahan antara lain dilakukan dengan pengendalian air rembesan, penambatan penimbunan pada kaki lereng atau pemasangan perkuatan pada badan lereng. Dari sejumlah metoda perkuatan lereng yang ada, terdapat beberapa diantaranya lebih mudah dilakukan dan lebih murah dibanding yang lain. Sebagai contoh penambatan lereng dengan dinding beton dapat
142
lebih mahal dibandingkan dengan perubahan geometri lereng. Namun metoda perkuatan lereng yang paling cocok tetap harus kaji dan disesuaikan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Selain kemudahan dan biaya, harus pula diperhatikan segi keindahan dalam pencegahan kelongsoran. Sebagai contoh, pencegahan kelongsoran dengan mengendalikan air permukaan dengan cara penanaman rumput pada lereng (cara vegetasi), akan lebih memberikan pemandangan yang relatif lebih baik dibanding dengan penutupan menggunakan bahan pabrikan (geosintetik). Secara garis besar, metoda perkuatan lereng dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama adalah perkuatan lereng dengan tidak membangun sesuatu pada lereng (tanpa penambatan). Kelompok pertama adalah tindakan perkuatan lereng dengan cara mengendalikan faktor-faktor yang dapat melemahkan lereng. Kelompok yang kedua adalah perkuatan lereng dengan membuat suatu penambat pada lereng. Pada kelompok ini, kekuatan lereng ditingkatkan dengan menambahkan bangunan geoteknik pada lereng tersebut. 9.2. Pengendalian kekuatan lereng a. Pengaturan Geometri Lereng Umumnya lereng alam menunjukkan kemantapan dalam jangka panjang bila tidak diganggu. Tetapi akibat adanya gangguan manusia, maka kemantapan lereng akan terganggu lebih cepat. Untuk itu perlu dilakukan perubahan geometri lereng sesuai dengan keperluan peradaban manusia. Namun harus diperhatikan parameter geoteknik dari lereng yang akan diganggu sehingga perubahan geometri lereng tetap mempunyai nilai keamanan sama atau lebih besar dari keadaan sebelumnya. Mengubah geometri lereng dapat dilakukan dengan cara pemotongan dan penimbunan pada ujung kaki lereng. Metoda penanggulangan kelongsoran ini mempunyai prinsip mengurangi gaya dorong dari massa tanah yang longsor dan menambah gaya penahan dengan cara
143
penimbunan pada ujung kaki lereng, sehingga faktor keamanan lereng dapat bertambah. Metoda ini umumnya dilakukan untuk tipe longsoran rotasi (lingkaran). Keuntungan utama dari metoda ini dapat merupakan penanggulangan permanen sesuai dengan besarnya nilai faktor keamanan yang diperoleh dari hasil perubahan geometri. Namun demikian tindakan ini sebaiknya dikombinasikan dengan tindakan lainnya untuk tetap menjaga kestabilan lereng.
Gambar 9.1. Perubahan geometri lereng
b. Mengendalikan Air Permukaan Air permukaan merupakan salah satu faktor yang mengurangi kemantapan lereng. Pengaruh air yang mengurangi keamanan pada lereng antara lain adalah peningkatan gaya dorong dan peningkatan tekanan air pori. Genangan air permukaan juga akan menimbulkan kejenuhan, sehingga massa tanah akan menjadi lembek. Kondisi ini pada tanah lempung umumnya dapat menurunkan nilai kohesi tanah. Selain itu, penjenuhan tanah akan menambah berat/massa dari longsoran.
144
Disamping mempengaruhi faktor dalam dari lereng, aliran air permukaan dapat juga menimbulkan erosi sehingga akan mengganggu kemantapan lereng yang ada. Perhatikan kembali mekanisme terjadinya kelongsoran permukaan pada lereng dari tanah lempung pada bagian terdahulu. Oleh karena itu air permukaan perlu dikendalikan untuk mencegah masuknya atau mengurangi rembesan air permukaan ke dalam lereng. Mengendalikan air permukaan dapat dilakukan dengan cara menanam tumbuhan, menata saluran pada permukaan lereng dan memperbaiki permukaan lereng. Dengan cara diatas maka dapat dilakukan pengendalian air permukaan sehingga air tidak tergenang dan mengalir dengan kecepatan yang tidak menimbulkan terjadinya erosi. Untuk mengendalikan air dan juga melindungi permukaan lereng dapat digunakan beton tembak (shotcrete). Namun dalam penggunaanya perlu diperhatikan pula aliran air yang harus keluar dari dalam lapisan tanah pada lereng. Untuk itu perlu dibuatkan saluran-saluran (lubang-lubang) pada permukaan shotcrete (filter dan drain) untuk mengendalikan air rembesan.
Gambar 9.2. Pengendalian air permukaan
145
c. Mengendalikan Air Rembesan Maksud dari mengendalikan air rembesan (drainase bawah permukaan) adalah untuk menurunkan muka air tanah di daerah longsoran. Dalam memilih cara yang tepat perlu dipertimbangkan jenis dan letak muka air tanah. Usaha mengeringkan dan atau menurunkan muka air tanah dalam lereng dengan mengendalikan air rembesan umumnya cukup sulit dan memerlukan penyelidikan yang cermat. Metoda pengendalian air rembesan yang sering digunakan adalah sumur dalam serta drainase tegak atau mendatar.
pipa drain
Gambar 9.3. Pengendalian air rembesan
Untuk jenis tanah yang sangat reaktif terhadap air (kembang susut, lempung lunak, pasir sangat halus dan lanau) maka kondisi kadar air dan muka air tanah dibelakang dinding sebaiknya dijaga konstan. Aliran air keluar-masuk tanah pada tanah lanau dan pasir halus, dapat membawa butiran-butiran tanah sehingga dapat menimbulkan ronggarongga dan saluran-saluran kecil (buluh). Keadaan ini akan menjadi titik awal timbulnya ketidak-stabilan pada tanah dibelakang dinding. Bila hal ini terjadi, maka dukungan tanah dibelakang dinding akan berkurang. Hilangnya dukungan dinding ini akan menurunkan tahanan pasif tanah sehingga dinding akan runtuh kearah timbunan itu sendiri.
146
Pada kasus-kasus tanah yang mudah tererosi oleh aliran air, maka penggunaan filter pada draenase di sistem dinding penahan tanah sangat dianjurkan. Tindakan penggunaan filter ini harus juga dilakukan dengan pertimbangan teknis dan biaya. Pada gambar 9.4 diberikan beberapa contoh pemasangan drain dan filter dibelakang dinding.
a. Dinding kedap air
b. Dinding tidak kedap air
Gambar 9.4. Pemasangan filter pada drainase
9.3. Penambatan dan Tindakan Lain Penambatan merupakan cara penanggulangan yang bersifat mengikat atau menahan massa tanah yang bergerak. Penambatan dilakukan dengan menambahkan (membuat) suatu konstruksi tertentu yang sifatnya tetap. Jenis konstruksi yang dibuat harus disesuaikan dengan tujuan dari penambatan. Sedangkan tindakan lain dilakukan bila penanggulangan dengan cara mengubah geometri lereng, mengendalikan air dan penambatan tidak dapat diterapkan. Contoh tindakan lain adalah grouting, nailling dan coverring menggunakan bahan geosintetik.
147
Cara penambatan untuk penanggulangan kelongsoran dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan material yang bergerak, yaitu penambatan untuk tanah dan untuk batuan. a. Penambatan tanah Penambatan tanah umumnya dilakukan dengan membuat bangunan penahan. Fungsi dari bangunan penahan adalah untuk mencegah massa tanah yang terindikasi longsor agar tidak bergerak. Secara mekanika, penambatan ini bekerja sebagai gaya penahan dan juga dapat meningkatkan tahanan geser. Bangunan penahan tanah yang sering dibuat sebagai penambat terdiri dari beberapa macam antara lain bronjong, tembok penahan (gaya berat, semi gravitasi atau beton), sumuran, tiang (pancang, bor, turap baja), tanah bertulang dan dinding penopang isian batu. Bangunan penahan tersebut umumnya hanya digunakan untuk penggulangan kelongsoran tanah dan jarang digunakan untuk menahan aliran (mud flow). Jenis konstruksi yang digunakan untuk menahan aliran tanah biasanya direncanakan dalam dua fungsi yaitu untuk menahan material padat dan meloloskan material cair. Ukuran material yang ditahan berbeda-beda tergantung pada sumber asal dari aliran tanah. Tambatan jenis aliran ini dipelajari khusus dengan sebutan teknologi sabo.
Gambar 9.5. Bangunan penahan tanah
148
b. Penambatan batuan Penambatan batuan berfungsi sebagai penahan atau pengikat massa batuan yang akan bergerak terhadap massa batuan mantap. Tipe gerakan pada batuan terdiri dari tipe runtuhan dan penjungkiran yang bergerak melalui bidang lemahnya seperti kekar dan bidang pelapisan. Tipe gerakan jenis ini dapat ditanggulangi dengan tumpuan beton, baut batuan, pengikat beton, jangkar kabel (pengangkeran batu), jala kawat, tembok penahan, beton semprot dan dinding tipis.
a. Gorden/jala kawat
c. Jangkar lereng batuan
b. Dinding penahan batu
d. Penutupan dengan beton semprot
Gambar 9.6. Beberapa contoh penambatan batu
149
9.4. Teori Tekanan tanah lateral Dalam menganalisis stabilitas penahan tanah, sangat diperlukan perhitungan gaya-gaya yang diakibatkan oleh tekanan tanah. Tekanan tanah yang bekerja ditentukan berdasarkan teori tekanan tanah lateral. Teori ini telah berkembang melalui berbagai pengujian sejak mula-mula para insinyur mengembangkan teori mekanika tanah (Misal: Terzaghi, 1934). Perkembangan penelitian tekanan tanah lateral juga dilakukan beberapa puluh tahun kemudian (Misal: Janbu, 1957 dan Rosenfarb and Chen, 1972) Namun teori tekanan tanah lateral yang didasarkan pada lingkaran Morh dikembangkan lebih awal (Coulomb, 1776 dan Rankine 1857) tetap menjadi patokan. Tekanan tanah lateral yang disebabkan oleh berat sendiri tanah dapat dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan keadaan pergerakan material tanah relatif terhadap dinding disebelahnya. Untuk memperkirakan stabilitas dinding penahan tanah, gaya utama yang bekerja adalah tekanan tanah lateral yang bekerja dibelakang dinding (terutama kantilever, dinding grafitasi dan bronjong), karena fungsi utama dari struktur penahan tanah adalah menahan gaya ini. Teori tentang perhitungan tekanan lateral tanah akibat berat sendiri mulanya dikembangkan oleh Coulomb. Selanjutnya Rankine mengusulkan prosedur perhitungan yang lebih sederhana berdasarkan pengamatannya di laboratorium. Metoda Rankine telah luas digunakan dan terdapat hampir di semua buku referensi mekanika tanah yang membahas tentang tekanan tanah lateral. Metoda Rankine yang sederhana dan mudah dipahami ini digunakan dalam analisis stabilitas dinding penahan tanah pada bagian berikut.
a. Tekanan tanah diam /at rest (σ o ) Tekanan tanah diam adalah tekanan tanah lateral pada kondisi tanah tidak bergerak. Tekanan tanah ini mempunyai banyak peran dalam aplikasinya diantaranya adalah: - Perhitungan kekuatan dinding penahan tanah dan sheet-pile. Karena tekanan dalam keadaan diam lebih besar dari tekanan
150
aktif, maka lebih aman apabila kekuatan struktur penahan tanah dihitung berdasarkan tekanan tanah dalam kondisi diam. - Analisis daya dukung sisi (skin friction) pada pondasi tiang. - Penentuan tekanan cell pada pengujian triaksial. Untuk menggambarkan tekanan sesuai dengan yang ada dilapangan, sebaiknya pemberian tekanan cell triaksial berada di sekitar (dan lebih besar) tekanan diam sesuai dengan kedalaman sampel tersebut diambil. Suatu elemen tanah yang terletak pada kedalaman z akan mengalami tekanan arah vertikal σ v dan tekanan arah horizontal diam σ o , (sementara tegangan geser pada bidang vertikal dan bidang horizontal diabaikan). Dalam keadaan diam, yaitu tidak ada pergerakan butiran tanah dari posisi awalnya, maka masa tanah akan berada dalam keadaan keseimbangan elastis (elastic equilibrium). Perbandingan tekanan tanah horizontal dan tekanan tanah vertikal dinamakan koefisien tekanan tanah diam (coefficient of earth pressure at rest), K o yaitu : K o = σo / σv
9.1
Dengan memasukkan nilai tekanan akibat berat sendiri tanah (dengan berat satuan, γ) pada kedalaman z sebesar σv = γ z , maka tekanan tanah lateral pada kondisi diam adalah : σo = γ z K o
9.2
Berdasarkan teori elastis, koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam dapat dituliskan sebagai fungsi dari Poisson’s ratio (µ):
Ko =
µ 1− µ
9.3
151
Untuk tanah berbutir dan tanah lempung dalam keadaan terkonsolidasi normal (NC Clay), koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam dapat diwakili oleh hubungan empiris yaitu:
9.4
Ko = 1 - sinφ
σv
z
σo
Gambar 9.7. Tekanan tanah diam
b. Tekanan tanah pasif (σ p ) Tekanan tanah pasif adalah tekanan tanah lateral pada kondisi tanah bergerak akibat terdorong oleh gaya luar. Hal ini terjadi pada tanah di bawah dan di sisi pondasi telapak atau di belakang dinding penahan tanah yang rebah kearah timbunan dibelakangnya. Dengan memperhatikan Gambar 9.8, maka pada elemen tanah di kedalaman z, tekanan vertikal pada elemen tanah sama dengan σ v = γ z dan tekanan tanah horizontal pada tanah di kedalaman tersebut adalah sebesar: φ
φ
σ p = (γ z ) tan2 (45 + / 2 ) + 2c tan (45 + / 2 )
152
9.5
dengan mengambil nilai koefisien tekanan tanah pasif, Kp sebagai:
K p = tan2 ( 45 +
φ
/2 )
9.6
maka tekanan tanah lateral pasif adalah:
σ p = σ v K p + 2c
Kp
9.7
Untuk menentukan resultan gaya akibat tekanan tanah pasif, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada permukaan timbunan dibelakang dinding dari tanah yang kohesif, kedalaman z = 0, dengan tekanan akibat berat sendiri tanah σ v = 0, nilai tersebut memberikan harga tekanan pasif sebesar: σ p = 2c
Kp .
Sementara pada kedalaman z = H, tekanan tanah akibat berat sendiri adalah σ v = γ H. Nilai tersebut memberikan harga tekanan tanah pasif sebesar: σ p = γ H K p + 2c K p Gaya resultan akibat tekanan pasif (gaya tekan pasif) adalah luas dari diagram tegangan seperti terplot pada Gambar 9.8, sebesar: P p = P p,γ + P p,c dengan P p,γ = ½ γ H2 K p P p,c = 2c H K p
9.8 9.8a 9.8b
153
Gaya tekan P p,γ bekerja pada kedalaman z p , γ = 2/ 3 H dari muka timbunan, dan gaya P p,c bekerja pada kedalaman z p,c = ½ H dari muka timbunan. Untuk tanah non-kohesif (c = 0), tekanan tanah lateral pasif dapat ditulis sebagai: σp = σv K p sehingga, resultan gaya tekan pasif yang bekerja pada dinding hingga kedalaman z=H hanya disumbangkan oleh berat tanah sendiri yaitu: P p = 1 γ H2 K p
9.8a
2
z
½H
parameter tanah: γ, c, φ
2
/3 H
σ
H Pp,γ
γ H Kp
2c K p
Gambar 9.8. Tekanan tanah pasif
154
c. Tekanan tanah aktif (σ a ) Jika dinding terdorong keluar akibat tekanan tanah dibelakangnya, maka akan terjadi kondisi tekanan tanah aktif. Besarnya tekanan tanah tersebut menurut Rankine dapat ditentukan sebagai berikut: σ a = (γ z ) tan2 (45 - φ/2) - 2c tan (45 - φ/2)
9.9
dengan mengambil nilai koefisien tekanan tanah aktif, Ka sebagai:
K a = tan2 ( 45 -
φ
/2 )
9.10
maka tekanan tanah lateral aktif adalah:
σ a = σ v K a - 2c K a
9.11
Seperti pada tekanan tanah pasif, untuk menentukan resultan gaya akibat tekanan tanah aktif, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada permukaan timbunan dibelakang dinding dari tanah yang berkohesif, kedalaman z = 0, dengan tekanan akibat berat sendiri tanah σ v = 0, nilai tersebut memberikan harga tekanan aktif sebesar:
σ a = - 2c K a Sementara pada kedalaman z = H, tekanan berat sendiri tanah memberikan harga tekanan tanah aktif:
σ a = γ H K a - 2c K a Gaya resultan akibat tekanan aktif (gaya tekan aktif) adalah luas dari diagram tegangan aktif seperti dapat dilihat pada Gambar 9.9, sebesar: P a = P a,γ + P a,c dengan P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12 9.12a
P a,c = - 2c H K a
9.12b
155
Gaya tekan P a,γ bekerja pada kedalaman z p , γ = 2/ 3 H dari muka timbunan, sedangkan garis kerja gaya P a,c berada pada kedalaman z a,c = ½ H dari muka timbunan dengan arah berlawanan dengan gaya P a,γ . Arah kerja yang berlawanan ini mempunyai arti bahwa tekanan tanah aktif pada tanah yang berkohesi akan berkurang akibat tarik-menarik antar partikel tanah itu sendiri. Untuk tanah non-kohesif (c = 0), resultan gaya tekan aktif yang bekerja dibelakang dinding hingga kedalaman z =H hanya disumbangkan oleh berat tanah sendiri yaitu: P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12a
z
½H 2
H
/3 H
parameter tanah: γ, c, φ
σ Pa,c
Pa,γ
γ H Kp
2c K a
Gambar 9.9. Tekanan tanah pasif
156
Arah kerja yang berlawanan dari tekanan tanah aktif akibat berat sendiri P a,γ dan P a,c menunjukkan bahwa tekanan tanah aktif pada tanah yang berkohesi pada kedalaman tertentu terdapat nilai resultan gaya akibat tegangan yang sama dengan nol. Kedalaman tersebut disebut dengan kedalaman kritis, H c . Kedalaman kritis mempunyai arti bahwa pada tanah berkohesi, akan mempunyai keamanan kritis (=1) bila dilakukan penggalian hingga kedalaman tersebut. Nilai H c dapat ditentukan pada kedalaman dimana P a,γ dan P a,c mempunyai nilai yang sama (perhatikan Gambar 9.10) sehingga memberikan nilai:
Hc =
4c
9.13
γ Ka
Ht γ Ht Ka = 2c Ka
Hc Pa,γ
Pa,c
parameter tanah: γ, c, φ Gambar 9.10. Kedalaman retakan dan penggalian kritis
157
Selain itu, akibat dari tarik-menarik material kohesif tersebut, dapat memungkinkan terjadi retakan pada tanah hingga kedalaman H t . Nilai tersebut dapat ditentukan pada nilai tekanan σ a,γ dan σ a,c yang sama, sehingga menghasilkan besaran setengah dari kedalaman retakan tersebut (Ht = ½ Hc).
Ht = ½ Hc =
2c γ Ka
9.14
-
2
/3 H
H
Pa
γ H Ka - 2c Ka Penyederhanaan
γ H Ka - 2c Ka
γ H Ka
2c
Tekanan aktif
Gambar 9.11. Penyederhanaan tekanan tanah aktif tanah kohesif
158
Kombinasi tekanan aktif akibat berat sendiri dan kohesi tanah memberikan diagram tegangan yang negatif. Untuk keperluan perhitungan praktis perhitungan gaya aktif dapat ditentukan dengan mengabaikan tekanan negatif dari tanah. Sehingga gaya tekan aktif pada timbunan yang homogen akan bekerja pada kedalaman z = 2/ 3 H dengan resultan gaya sebesar (perhatikan Gambar 9.11 ):
P a,γ =
1 H ( γ H K a - 2c 2
Ka )
9.15
9.5. Analisis Stabilitas Dinding Penahan tanah Dinding-dinding penahan tanah yang dibuat untuk mencegah terjadinya kelongsoran harus dibuat dalam keadaan stabil. Kestabilan sistem dinding penahan tanah ditentukan dengan nilai faktor keamanan. Faktor keamanan merupakan perbandingan dari gaya-gaya penahan dengan gaya-gaya mendorong:
SF =
∑ Gaya − gaya..penahan.... ∑ Gaya − gaya..pendorong
9.16
Dalam mekanika tanah, keamanan dinding penahan tanah ditinjau terhadap hal-hal utama yaitu: Stabilitas eksternal, meliputi: - Keamanan terhadap guling - Keamanan terhadap geser - Daya dukung pondasi - Keruntuhan keseluruhan Stabilitas internal, yaitu peninjauan terhadap kekuatan dari struktur dinding penahan tanah. Stabilitas internal ini akan dibahas dalam perencanaan dinding penahan tanah pada bab berikut.
159
Nilai faktor keamanan lebih satu secara teori dapat dinyatakan aman (melebihi kritis) namun dalam prakteknya angka keamanan minimum yang digunakan dalam perencanaan dinding penahan tanah adalah 1,2 hingga 1,5 untuk keamanan terhadap geser, guling dan keruntuhan keseluruhan. Sedangkan angka keamanan 2 sampai 5 digunakan untuk daya dukung. Penetapan nilai angka keamanan yang dicapai sangat tergantung pada keyakinan penganalisis. Hal ini juga sangat terkait dengan data-data yang dipergunakan dalam analisis stabilitas. Apabila data-data yang dipergunakan lengkap sesuai dengan prosedur mulai dari pengidentifikasian masalah, pengukuran, penyelidikan tanah dan lainnya sesuai dengan acuan perencanaan (code) lengkap, maka dapat diambil angka terendah (1,2 untuk kondisi statis). Sebaliknya apabila data-data yang diperoleh terbatas, maka angka keamanan yang tinggi menjadi pilihan yang menenangkan perencana. Hal lain yang juga terkait dengan factor keamanan adalah pengalaman dan metoda analisis yang digunakan. Dalam hal pengalaman, terkait baik dengan pengalaman perencana maupun pengalaman dari kondisi alam yang berhubungan dengan lereng yang sedang dianalisis. Sedangkan apabila metoda analisis yang digunakan sesuai dan telah mempertimbangkan sejumlah aspek stabilitas, maka keyakinan akan hasil analisis menjadi meningkat dan menurunkan angka keamanan minimum yang akan diambil. Gaya-gaya penahan dan pendorong yang bekerja dalam sistem penahan tanah meliputi gaya lateral aktif dan pasif, gaya berat dan gaya geser. Secara umum analisis stabilitas dinding penahan tanah adalah sama, namun dengan perbedaan bentuk dari masing-masing dinding, maka gaya-gaya yang ditimbulkan dan bekerja pada masing-masing dinding sedikit berbeda. Pembahasan tentang gaya-gaya yang bekerja serta analisis stabilitas masing-masing dinding panahan tanah akan dijabarkan bagian berikut.
160
a. Dinding graviti (Gravity walls) Dinding graviti adalah kelompok dinding penahan tanah yang sangat sering digunakan untuk menahan tanah agar tidak longsor. Dinding penahan tanah ini sangat populer di Indonesia ini disebabkan oleh kemudahan dalam pengerjaan dinding tersebut. Beberapa jenis penahan tanah yang dapat digolongkan dalam tipe gravity wall antara lain adalah: - Dinding pasangan batu - Dinding beton pejal - Dinding beton bertulang - Pasangan batu kawat (bronjong/gabion)
Gambar 9.12. Beberapa jenis gravity wall Gravity wall bekerja dalam menahan tanah dibelakangnya dengan memanfaatkan beratnya. Dengan demikian, semakin berat struktur dinding panahan yang digunakan, semakin besar pula tahanannya.
161
Namun demikian dimensi/geometri/bentuk dinding harus juga diperhatikan sehingga memberikan bentuk geometri yang terbaik dalam menahan tanah dibelakangnya.
Pa
W MT MT
T qmin
.. MR
Pp MO
qmax Gambar 9.13. Gaya-gaya pada gravity wall Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding penahan tanah seperti pada Gambar 9.13, nilai faktor keamanan gravity wall dapat ditentukan sebagai berikut: Keamanan terhadap guling:
SF =
MR MO
9.16a
Keamanan terhadap geser:
SF =
T + Pp
9.16b
Pa
162
Keamanan terhadap daya dukung:
SF =
q ult dan q min > 0.0 q max
9.16c
Gaya-gaya yang berkerja diperoleh dengan metoda mekanika biasa (seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya). Sebagai contoh tahanan geser dapat dihitung dengan persamaan: T max = W tot tg φ + c B
9.17
Tegangan maksimum dan minimum tanah dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (pelajari lebih lanjut dalam Hakam, 2009):
q max =
Wtot M + 1 T2 B /6 B
9.18a
q min =
Wtot M −1 T2 B /6 B
9.18b
dan
Dimana B =lebar dasar dinding. W tot =gaya normal pada dasar pondasi dinding. Gaya normal W tot ini merupakan berat total dinding ditambah dengan berat tanah diatas tapak dinding (untuk dinding cantilever). M T = momen yang bekerja ditengah dasar dinding M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding c dan φ merupakan parameter geser tanah (kohesi dan sudut geser tanah) yang berada dibawah pondasi dasar dinding.
163
Sedangkan daya dukung tanah dapat dihitung dengan persamaan q u = cN c (s c d c i c ) + q’ N q (s q d q i q ) + ½ γ B N γ ( s γ dγ iγ )
dengan
9.19
N c , N q , N γ adalah faktor kapasitas daya dukung Meyerhof (1965) tanpa satuan (non-dimensional) yang didapatkan hanya dari nilai sudut geser dalam tanah, φ s c , d c , i c , s q , d q , i q , s γ , d γ , i γ adalah faktor-faktor bentuk, kedalaman dan kemiringan beban seperti Tabel 9.1.
Tabel 9.1 . Faktor bentuk (s=shape), kedalaman (d=depth) dan sudut beban (i=inclination) untuk rumus daya dukung Meyerhof Faktor sc sq = sγ dc dq = dγ ic = iq
iγ
Nilai φ semua nilai φ >10 φ=0 semua nilai φ >10 φ=0
Rumus s c = 1 + 0.2 K p (B’/L’) s q = s γ = 1 + 0.1 K p (B’/L’) sq = sγ = 1 d c = 1 + 0.2 (K p )0.5 (D/B) d q = d γ = 1 + 0.1 (K p )0.5 (D/B) dq = dγ = 1
semua nilai
θo i c = i q = 1 − o 90
φ >0
θo i γ = 1 − o φ
φ=0
2
2
iγ = 0
Nilai K p yang digunakan Meyerhof adalah nilai dari Rankine:
164
π φ K p = tan 2 + 4 2 Nilai faktor kapasitas daya dukung N c , N q , N γ dari Meyerhof selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: N c = [ N q – 1 ] cot φ
Nq = e
π tan φ
9.20a
Kp
9.20b
N γ = [ N q – 1 ] tan(1.4 φ)
Q
9.20c
θ
D L
B
Gambar 9.14. Parameter tanah untuk perhitungan daya dukung pondasi
Prosedur perhitungan gaya-gaya yang bekerja pada dinding penahan tipe gravity wall, akan dijelaskan secara langsung dengan mempergunakan contoh perhitungan.
165
Kasus 9.1 Sebuah dinding dari pasangan batu kali dibuat dengan tujuan untuk menahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K9.1. Tentukan nilai stabilitas dinding tersebut terhadap guling dan geser.
0.5m 1.5m
Tanah timbunan pasir: φ = 30o, γ = 1.5 t/m3 3m
Tanah dasar/asli: c= 0.1 kg/cm2, φ = 25o, γ = 1.5 t/m3 Gambar K9.1. Dinding graviti batu kali Solusi Data: -
-
timbunan : γ = 1.5 t/m3 φ = 30o tanah asli : γ = 1.5 t/m3 c = 1 t/m2 φ = 25o dinding : γ = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu) Tinggi , H = 3.0m Tebal atas, B 1 = 0.5m Tebal dasar, B 2 = 1.5m Lebar, B = 0.5m+1.5m = 2.0m
166
Untuk melakukan perhitungan stabilitas, maka gaya-gaya yang bekerja pada dinding harus ditentukan terlebih dahulu. Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar K9.1.a.
x1 x2 Pa ya
W1
titik guling
W2 T
Gambar K9.1.a. Gaya-gaya kerja pada dinding Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut: 1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a : Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah: P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12a
dengan K a = tan2 ( 45 Pa
φ
/2 )
= ½ (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = ½ (1.5 t.m2) (3.0m)2 (tan2 30)
167
9.10 30
/ 2 )]
= ½ (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333) = 2.25 t (/m') Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada: y a = 1/ 3 H = 1/ 3 (3.0m) = 1.0m 2. Gaya berat sendiri dinding, W 1 dan W 2 : W 1 = γ B 1 H (bentuk persegi) = (2.2 t.m2) (0.5m) (3.0m) = 3.30 t (/m') Garis kerja terhadap titik guling dinding: x 1 = (B tot ) - ½ B 1 = (2.0m) - ½ (0.5m) = 1.75m W 2 = ½ γ B 2 H (bentuk segitiga) = ½ (2.2 t.m2) (1.5m) (3.0m) = 4.95 t (/m') Garis kerja terhadap titik guling dinding: x 2 = (B tot ) – B 1 – 1/ 3 B 2 = (2.0m) – 0.5m – 1/ 3 1.5m = 1.0m atau x 2 = 2/ 3 B 2 = 2/ 3 1.5m = 1.0m (hasilnya sama)
168
3. Tahanan geser dasar pondasi, T: Tahanan pada dasar pondasi dihitung dengan cara seperti pada bidang geser lainnya, yaitu: T = W tot tg φ + c B
9.17
= (W 1 +W 2 ) tg φ + c B = (3.30t + 4.95t) tg 250 + (1t/m2 ) (2.0m) = (8.25t /m') (0.466) + (2.0t/m' ) = 5.85 t (/m') 4. Momen diujung /tumit dari dinding, M R dan M O : MR = W1 x1 + W2 x2 = (3.30t /m') (1.75m) + (4.95t /m') (1.0m) = (5.775) + (4.950) t.m (/m' ) = 10.725 t.m (/m' ) M O = Pa ya = 2.25 t (/m') (1.0m) + (4.95t /m') (1.0m) = 2.25 t.m (/m' ) Selanjutnya dapat dihitung : Faktor Keamanan terhadap guling:
SF =
M R 10.725 = 4.77 = MO 2.25
9.16a
Faktor Keamanan terhadap geser:
SF =
T + Pp Pa
=
5.85t + 0 =2.60 2.25t
169
9.16b
b. Dinding kantilever (Cantilever walls) Dinding kantilever adalah jenis dinding penahan tanah digunakan untuk menahan tanah dengan ketinggian yang relatif besar. Dinding ini biasa menjadi alternatif kedua apabila dinding graviti tidak dapat digunakan. Dinding penahan tanah ini juga cukup populer di Indonesia ini disebabkan oleh bahan yang digunakan merupakan beton bertulang sehingga relatif mudah dalam pengerjaan. Beberapa jenis penahan tanah yang dapat digolongkan dalam tipe cantilever wall antara lain adalah: - Dinding cantilever dengan penahan dinding - Dinding beton bertulang tanpa penahan - Beton bertulang dengan penambat tambahan di dasar
Gambar 9.15. Beberapa jenis cantilever wall
170
Penahan dinding berfungsi untuk menyalurkan beban dorongan tanah timbunan langsung kedasar dinding, sehingga momen yang terjadi pada badan tegak dinding menjadi berkurang. Hal ini dapat menghemat bahan dinding dengan kebutuhan dimensi yang lebih kecil. Sedangkan penambat dasar berfungsi untuk meningkatkan gaya perlawanan pasif pada dasar dinding sehingga tahanan geser dinding dan tahanan terhadap guling menjadi meningkat. Cantilever wall bekerja dalam menahan tanah dibelakangnya dengan memanfaatkan berat sendiri dan berat tanah timbunan diatas tapak. Dengan demikian, semakin berat struktur dinding panahan dan dimensi tapak dibelakang dinding, semakin besar pula tahanannya. Selain itu, semakin lebar tapaknya, maka semakin stabil dinding itu berdiri. Dimensi/geometri/bentuk dinding harus dibuat dengan memperhatikan kemungkinan dimensi terbaik sehingga memberikan bentuk efisiensi bahan dan kemudahan pekerjaan.
WF
WC
Pa
. .
MT qmin
T
MR
Pp MO
qmax
Gambar 9.16. Gaya-gaya pada cantilever wall
171
Seperti penjelasan sebelumnya, maka dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding penahan tanah seperti pada Gambar 9.16, nilai faktor keamanan cantilever wall dapat ditentukan serupa sebagai berikut: Keamanan terhadap guling:
SF =
MR MO
9.16a
Keamanan terhadap geser:
SF =
T + Pp
9.16b
Pa
Keamanan terhadap daya dukung:
SF =
q ult dan q min > 0.0 q max
9.16c
Perbedaan dalam pengerjaan antara dinding graviti dengan dinding cantilever adalah pada dinding graviti, tanah dibelakang dinding tidak perlu disingkirkan untuk keperluan pekerjaan. Sedangkan pada dinding cantilever, untuk mengerjakan tapak dinding, tanah dibelakang harus disingkirkan. Tanah dibelakang dinding selanjutnya ditimbunkan kembali setelah tapak dan badan dinding selesai dikerjakan. Prosedur perhitungan gaya-gaya yang bekerja pada dinding penahan tipe cantilever wall adalah serupa dengan dinding graviti. Namun terdapat sedikit perbedaan dalam perhitungan dikarenakan bentuk geometri dan gaya-gaya yang bekerja. Prosedur perhitungan ini akan dijelaskan secara langsung dengan mempergunakan contoh kasus sederhana berikut.
172
Kasus 9.2 Sebuah dinding cantilever dari beton bertulang dibuat dengan tujuan untuk menahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K9.2. Tentukan nilai stabilitas dinding tersebut terhadap guling dan geser.
1.0m 0.3m 1.2m
Tanah timbunan pasir: φ1 = 30o, γ1 = 1.5 t/m3 H = 3.0m T1 = 0.3m
Tanah dasar/asli: c2= 0.1 kg/cm2, φ2 = 25o, γ2 = 1.5 t/m3
T2 = 0.5m
Gambar K9.2. Dinding cantilever beton bertulang Solusi Data: - timbunan: γ 1 = 1.5 t/m3 φ 1 = 30o - tanah asli : γ 2 = 1.5 t/m3 c 2 = 1 t/m2 φ 2 = 25o - dinding : γ C = 2.4 t/m3 (berat satuan beton bertulang) Tinggi , H = 3.0m Tebal atas, T 1 = 0.3m Tebal bawah, T 2 = 0.5m Lebar, B = 1.0+0.3m+1.2m = 2.5m
173
Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar K9.2.a.
W1 x1
W3
x3
titik guling
Pa ya
.
x2
W2 T
Gambar K9.2.a. Gaya-gaya kerja pada dinding Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut: 1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a : Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah: P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12a 2
dengan K a = tan ( 45 Pa
φ
/2 )
= ½ (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = ½ (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333) = 2.25 t (/m')
174
9.10 30
/ 2 )]
Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada: y a = 1/ 3 H = 1/ 3 (3.0m) = 1.0m 2. Gaya berat sendiri dinding, W 1 dan W 2 : W 1 = γ C T 1 (H – T 2 ) (berat badan dinding, bentuk persegi) = (2.4 t.m2) (0.3m) (3.0m – 0.5m) = 1.80 t (/m') Garis kerja terhadap titik guling dinding: x 1 = (1.2m) - ½ T 1 = (1.2m) - ½ (0.3m) = 1.35m W 2 = γ C B T 2 (berat tapak, bentuk persegi) = (2.4 t.m2) (2.5m) (0.5m) = 3.0 t (/m') Garis kerja terhadap titik guling dinding: x2 = ½ B = ½ (2.5m) = 1.25m W 3 = γ 1 B 1 (H – T 2 ) (berat tanah diatas tapak, persegi) = (1.5 t.m2) (1.0m) (3.0m – 0.5m) = 3.75 t (/m') Garis kerja terhadap titik guling dinding: x3 = ½ B1 + T1 + B2 = ½ (1.0m) + 0.3m + 1.2m = 2.0m
175
3. Tahanan geser dasar pondasi, T: T = W tot tg φ + c B 9.17 = (W 1 +W 2 +W 3 ) tg φ + c B = (1.80t + 3.0t + 3.75t) tg 250 + (1t/m2 ) (2.5m) = (8.55t /m') (0.466) + (2.5t/m' ) = 6.49 t (/m') 4. Momen diujung /tumit dari dinding, M R dan M O : MR = W1 x1 + W2 x2 + W2 x2 = (1.8t /m')(1.35m)+(3.0t /m')(1.25m) +(3.75t /m')(2.0m) = (2.43) + (3.75) + (7.50) t.m (/m' ) = 13.68 t.m (/m' ) M O = Pa ya = 2.25 t (/m') (1.0m) + (4.95t /m') (1.0m) = 2.25 t.m (/m' ) Selanjutnya dapat dihitung : Faktor Keamanan terhadap guling:
SF =
M R 13.68 = 6.08 = 2.25 MO
9.16a
Faktor Keamanan terhadap geser:
SF =
T + Pp Pa
=
6.49 t + 0 =2.88 2.25t
9.16b
Dengan membandingkan kasus 9.1 dan kasus 9.2 terlihat bahwa berat dinding graviti W tot = 5.85 t(/m') lebih berat dibanding dinding cantilever (Wtot=4.8 t(/m'). Namun demikian, meski berat dinding berkurang, tetapi dinding cantilever memberikan faktor keamanan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan keuntungan lebih dari dinding cantilever.
176
c. Dinding sandar (Lay dam) Dinding sandar merupakan jenis dinding penahan tanah dipasang miring kearah timbunan. Dikatakan dinding sandar karena dinding ini seolah bersandar pada tanah dibelakangnya. Dinding sandar ini sering digunakan untuk menahan tanah bukan timbunan. Hal ini disebabkan tanah untuk dinding bersandar harus dalam keadaan stabil terlebih dahulu sehingga dinding sandar mudah dibuat diatasnya. Dinding ini biasa menjadi alternatif apabila topografi yang miring dapat dilakukan. Dinding ini juga sangat populer di Indonesia. Dibandingkan dinding kantilever dan dinding graviti, bahan yang diperlukan untuk membuat dinding sandar ini relatif lebih sedikit. Dinding sandar ini dapat terbuat dari pasangan batu, blok beton, cor beton dengan diperkuat rangka beton bertulang. Gambar 9.17 menunjukkan sebuah ilustrasi dinding sandar. Dinding ini juga sering dibuat dapat menyalurkan air sehingga air tanah dapat mengalir keluar-masuk bagian timbunan. Selain itu kombinasi dengan penanaman vegetasi dapat dilakukan pada dinding ini. Namun harus dianalisis perilaku tanah dibelakang dinding terhadap air, keadaan dinding yang permeable atau impermeable tetap memberikan stabilitas pada sistem lereng dan penahan tanah.
Gambar 9.17. Lay dam sebagai berkuatan lereng
177
Perhitungan kestabilan dinding lay dam hampir serupa dengan dinding lainnya. Tetapi untuk kesetimbangan internal dan global, harus dilakukan dengan baik. Mengingat kekuatan dinding ini biasanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tipe dinding-dinding penahan tanah lainnya. Mengingat dinding ini berdiri dengan cara bersandar pada tanah dibelakangnya, maka tekanan pasif pada tanah akan termobilisasi. Sehingga untuk menjaga kestabilannya, tekanan akibat berat dinding harus pada nilai yang aman dibandingkan dengan tekanan pasif maksimum tanah.
x
β
Pp
WN
WT
Pa
y
Wbf
W M
Tbf
T
Gambar 9.18. Gaya-gaya aktif dan pasif pada dinding Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sistem penahan tanah seperti pada Gambar 9.18, maka kestabilan statis sistem penahan tanah lay dam harus memenuhi ketentuan berikut: (T+Tbf)
/P a / (W . x ) (Pp . sin β ) /W N (Pa . y )
> 1.2
9.21.a
> 1.5
9.21.b
> 3.0
9.21.c
178
Nilai-nilai dalam persamaan 9.21 harus dihitung sesuai dengan jenis lapisan tanah dengan parameter-parameter tanah yang ada, dimana defenisi dari variabel-variabel tersebut yaitu: P a dan P p adalah resultan gaya aktif dan pasif. y = tinggi garis kerja gaya resultan P a atau P p W = resultan gaya berat dinding x = jarak garis kerja resultan berat ke titik guling T = resultan gaya tahanan geser T bf = resultan gaya geser didasar timbunan T bf = W bf tan φ + c bf B bf β = kemiringan dinding W bf = resultan gaya berat tanah timbunan Kasus 9.3 Sebuah dinding sandar dari pasangan baru kali dibuat dengan tujuan untuk menahan tanah seperti terlihat pada Gambar K9.3a. Tentukan nilai stabilitas dinding tersebut.
2.0m
1.0m
Tanah timbunan pasir: φ1 = 30o, γ1 = 1.5 t/m3 H = 3.0m T1 = 0.3m
Tanah dasar/asli: c2= 0.1 kg/cm2, φ2 = 25o, γ2 = 1.5 t/m3
T2 = 0.5m
Gambar K9.3a. Dinding sandar pasangan batu kali
179
Solusi Data: - timbunan: γ 1 = 1.5 t/m3 φ 1 = 30o - tanah asli : γ 2 = 1.5 t/m3 c 2 = 1 t/m2 φ 2 = 25o - dinding : γ C = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu) Tinggi , H = 3.0m Tebal atas, T 1 = 0.3m Tebal bawah, T 2 = 0.5m Lebar, B = 1.0m Kemiringan, β = tan-1 (3m/2m) = 56.30 Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) serta penyederhanaan bentuk dinding dapat dilihat pada Gambar K9.3b.
Penyederhanaan bentuk dinding: x= (2m)
β
Pp y =1m
Pa
WN
WT W
Wbf Tbf
T
M
Gambar K9.3b. Gaya-gaya kerja pada dinding
180
Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut: 1.a. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a : Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah: P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12a φ
dengan K a = tan2 ( 45 Pa
/2 )
= ½ (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = ½ (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333) = 2.25 t (/m')
9.10 30
/ 2 )]
Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada: y a = 1/ 3 H = 1/ 3 (3.0m) = 1.0m 1.b. Gaya tekanan pasif tanah timbunan, P p : Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah: P p,γ = ½ γ H2 K p
9.8a 2
φ
dengan K p = tan ( 45 + / 2 ) Pp
= ½ (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 + 30/ 2 )] = ½ (1.5 t.m2) (9.0m2) (3.0) = 20.25 t (/m')
Garis kerja P p = P a dari dasar dinding terletak pada: y a = 1/ 3 H = 1.0m
181
9.6
2. Gaya berat sendiri dinding, W : W
= γ C T 1 (H /sin β) (berat badan dinding, bentuk persegi) = (2.2 t.m2) (0.3m) (3.0m / sin 56.30) = 2.38 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding: x 1 = (1.0m) - ½ B bf = (1.0m) - ½ (2.0m) = 2.0m W N = W cos β = (2.38 t /m') (cos 56.30) = 1.32 t (/m') 3.a. Tahanan geser dasar pondasi, T: T = W tot tg φ + c B = (2.38t/m') tg 250 + (1t/m2 ) (2.5m) = (1.11 t /m') + (2.5t/m' ) = 3.61 t (/m')
9.17
3.b. Tahanan geser dasar timbunan, T bf : dipilih nilai terkecil dari: T bf = W bf tg φ 1 + c bf B bf = (½ B bf . H . γ 1 ) tg φ 1 + c bf B bf = (½ . 2.0m . 3.0m . 1.5t/m3) tg 300 + (0 ) (2m) = 2.60 t (/m') atau T bf = W bf tg φ 2 + c 2 B bf = ½ (2.0m)(3.0m)(1.5t/m3) tg 250 + (1.0t/m2 ) (2m)
182
= 4.10 t (/m')
Selanjutnya dapat dihitung : Faktor Keamanan terhadap geser:
T + Tbf 3.61t + 2.6 t =2.76 = Pa 2.25t dengan mengabaikan tahanan geser pada tanah timbunan, maka: T 3.61t =1.60 (masih > 1.2) = SF = Pa 2.25t SF =
Faktor Keamanan terhadap guling:
SF =
W.x (2.38t)(2.0m) = 2.11 = Pa .y (2.25t).(1m)
(masih >1.5)
Faktor Keamanan terhadap tekanan pasif:
SF =
Pp sin β WN
=
(20.25t)(sin 56.30 ) = 12.76 (1.32t)
(masih >3)
Dari hasil perhitungan diatas, menunjukkan bahwa dinding lay dam masih dalam keadaan stabil statis. Bila dibandingkan dengan dinding kantilever seperti pada contoh sebelumnya, maka kestabilan dinding lay dam tersebut masih memberikan performan yang baik. Akan tetapi dalam aplikasinya, stabilitas internal struktur dinding harus pula diperhitungkan. Hal ini akan dilihat pada bab berikut.
183
d. Dinding pancang (Sheet pile) Sheet pile merupakan jenis dinding penahan tanah dipasang dengan cara memancang bagian bawah dengan kedalaman seperlunya. Sheet pile menahan tanah timbunan dibelakangnya dengan memanfaatkan tekanan aktif dan pasif tanah dasar dimana struktur ini dipancang. Dikatakan sebagai sheet (lembaran) pile (tiang pancang), dikarenakan konstruksi ini secara keseluruhan mirip dengan lembaran panjang yang dipancang seperti ilustrasi pada Gambar 9.19.
gaya pendorong
gaya penahan
a. Sheet pile di lapangan
b. Anggapan satu lembar
Gambar 9.19. Idealisasi sheet pile Sheet pile dapat terbuat dari baja dan beton bertulang. Sedangkan untuk konstruksi yang kecil, sheet pile dapat terbuat dari papan kayu.
184
Perbedaan dari masing-masingnya adalah kemudahan untuk mendapatkannya, ketahanan dan keawetan material serta metoda pemancangannya. Salah satu keuntungan dari penggunaan sheet pile adalah daerah yang diperlukan untuk konstruksi ini relatif kecil, karena dimensi sheet pile hanya pada arah vertikal. Sedang dimensi horizontalnya secara teori dapat diabaikan. Artinya dalam perhitungan stabilitasnya, sheetpile tidak mempunyai dimensi horizontal, sehingga gaya-gaya yang bekerja hanya pada satu arah saja. Selain itu, sheet pile mudah digunakan untuk konstruksi penahan tanah sementara yang bersifat kedap air. Sheet pile yang terbuat dari baja dapat dibuat sedemikian rupa sehingga antara satu sheet pile dengan yang lain saling mengikat dan dapat dibuat kedap air. Oleh sebab itu sheet pile sering digunakan dalam menahan tekanan tanah dan air pada pelaksanaan pekerjaan bendung elak di badan sungai.
daerah kerja bawah air
Gambar 9.20. Penggunaan sheet pile sebagai bendung elak
185
Salah satu kesulitan menggunakan sheet pile adalah pada saat pelaksanaan konstruksi, dimana untuk struktur yang besar, diperlukan energi yang besar pula untuk memancangkan sheet pile tersebut. Sehingga pelaksanaan pekerjaan sheet pile memerlukan alat berat untuk pemancangannya. Dalam perencanaannya, untuk membuat sheet pile stabil diperlukan perhitungan kedalaman penanaman dari sheet pile. Untuk itu dibedakan sheet pile yang tertanam pada tanah lempung dan sheet pile yang tertanam pada tanah kepasiran. Namun keduanya masih mempergunakan teori tekanan tanah aktif dan pasif dalam perhitungan. Selain itu, teorinya dibedakan tergantung jenis keruntuhan yang mungkin terjadi pada sistem sheet pile yang direncanakan. Dalamnya penanaman tergantung dari jenis tanah yang mendorong sheet pile dan jenis tanah yang menahan. Secara teori apabila kedua jenis tanah mempunyai properties yang sama, maka kedalaman penanaman sheet pile yang diperlukan adalah lebih kecil atau sama dengan tinggi sheet pile. Dalam buku ini tidak dibahas mengenai perhitungan sheet pile karena konstruksi ini jarang digunakan sebagai penambat stabilitas lereng.
Gambar 9.21. Bentuk keruntuhan sheet pile
186
BAB X
DINDING PENAHAN TANAH BETON BERTULANG
10.1. Pendahuluan Bagian dinding penahan tanah beton bertulang ini merupakan pembahasan akhir dari buku ini. Pembahasan mengenai tatacara perhitungan kebutuhan tulangan untuk memperkuat konstruksi beton bertulang pada dinding penahan tanah beton akan dibicarakan secara singkat. Teori mengenai beton bertulang juga ditinjau seringkas mungkin. Namun aplikasi praktis dari teori-teori tersebut untuk keperluan perencanaan dinding penahan tanah beton bertulang (terutama dinding kantilever) akan diuraikan secara jelas. a. Kegagalan dinding penahan tanah Secara garis besar kegagalan yang terjadi dalam sistem penahan tanah dengan menggunakan dinding penahan tanah dapat dibagi menjadi tiga buah: 1. Kegagalan sistem dinding-tanah, terdiri dari: - Gagal akibat guling - Kegagalan geser - Gagal pondasi 2. Kegagalan menyeluruh 3. Kegagalan struktur dinding - Gagal akibat momen - Gagal akibat geser
187
Kegagalan-kegagalan itulah yang harus diperhatikan dalam perencanaan sebuah dinding penahan tanah. Seluruh penyebab terjadinya kegagalan harus ditinjau sehingga dinding penahan tanah yang direncanakan cukup kuat dan stabil. Secara skematik kegagalan-kegagalan tersebut diilustrasikan pada Gambar 10.1 hingga 10.3.
a. Guling
b. Geser
c. Pondasi Gambar 10.1. Kegagalan sistem dinding-tanah
188
189
Gambar 10.2. Kegagalan menyeluruh (global)
a. Momen
b. Gaya geser
Gambar 10.3. Kegagalan struktur dinding penahan
190
Pembahasan mengenai keruntuhan akibat sistem tanah-dinding dan keruntuhan global telah dilakukan pada bagian-bagian terdahulu. Sedangkan kegagalan akibat struktural dari dinding akan dibahas pada bagian ini. Sebelumnya akan diberikan mengenai dimensi dinding penahan tanah yang dapat dipergunakan sebagai acuan awal untuk perhitungan stabilitas. Namun dimensi akhir akan ditentukan dari kekuatan struktur dinding untuk menahan gaya-gaya yang bekerja padanya.
b. Dimensi dinding penahan tanah Dalam merencanakan suatu struktur tertentu, umumnya dimulai dengan mengambil dimensi awal untuk melakukan perhitungan gaya-gaya dalam maupun stabilitas. Selanjutnya dengan melakukan analisis tersebut dapat diketahui bahwa dimensi tersebut kurang, cukup ataupun berlebih. Apabila dimensi yang diambil pada saat awal terlalu besar, maka diperlukan pengurangan dan sebaliknya bila dimensi yang diambil saat awal terlalu kecil, maka perlu penambahan dimensi. Dalam perencanaan sebuah dinding penahan tanah, perlu diambil dimensi tertentu sehingga dinding yang direncanakan mungkin dikerjakan, cukup stabil dan kuat. Pengambilan dimensi awal dinding penahan tanah juga sangat ditentukan dengan bentuk lereng dan tanah yang akan ditahannya. Selain itu pengambilan dimensi dari segi keterbatasan ruang pekerjaan, kepatutan bentuk dan keindahan juga harus diperhatikan dalam perencanaan dinding penahan tanah. Sebagai pedoman awal dalam pengambilan dimensi dinding penahan tanah, pada Gambar 10.4 dan 10.5 ditampilkan potongan penampang dinding penahan tanah tipe graviti dan tipe kantilever. Pada bagian berikutnya akan dijelaskan bagaimana menentukan dimensi minimum dari dinding penahan tanah yang ditentukan berdasarkan analisis kekuatan dan perhitungan stabilitas.
191
0.1 H (Min 20 cm)
2% 1
H
0.15 H (Min 50 cm) 0.5 s/d 0.7 H Gambar 10.4. Dimensi penampang dinding graviti
Ketinggian dinding graviti harus dibatasi, yaitu 6 meter untuk dinding graviti pasangan batu kali dan 8 meter untuk dinding beton. Untuk ketinggian yang lebih besar, maka dinding graviti harus diperkuat dengan tulangan besi (beton bertulang). Sedangkan untuk dinding penahan tanah kantilever dari beton bertulang, ketinggiannya dapat mencapai lebih dari 12 meter. Permukaan dinding harus dibuat miring sedikit agar air yang turun dari atas tidak menetes melainkan mengalir pada permukaan. Hal ini akan menjaga kerusakan/gerusan akibat tetesan air pada bagian bawah.
192
0.1 H (Min 20 cm)
min 2%
1
H
0.1 H
0.15 H (Min 50 cm)
0.1 H (Min 30 cm)
0.1 H (Min 30 cm)
0.5 s/d 0.7 H
Gambar 10.5. Dimensi penampang dinding kantilever
Dinding kantilever mempunyai dimensi penampang beton yang relatif lebih kecil dibandingkan dinding graviti. Namun dengan mekanismenya dalam menahan tanah dibelakangnya, membuat gaya-gaya dalam yang bekerja pada dinding kantilever cenderung lebih besar sehingga memerlukan perkuatan baja tulangan yang lebih banyak. Hal ini akan dapat dilihat nantinya dalam disain tulangan pada bab ini.
193
10.2. Beton dan baja tulangan Beton bertulang merupakan material komposit antara ‘beton’ dengan ‘baja tulangan’. Secara teori, kombinasi dari keduanya dianggap menyatu dengan sempurna sehingga dalam menahan beban keduanya dianggap sebagai satu kesatuan. Untuk itu maka harus dipenuhi syaratsyarat pembuatan beton bertulang agar anggapan dari teori tersebut dapat dipenuhi di lapangan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pekerjaan beton bertulang dapat dilihat pada standar-standar yang berlaku. Untuk di Indonesia, syarat tersebut dapat dilihat pada Standar Nasional Indonesia yang bersesuaian. Beton sendiri pada dasarnya adalah campuran antara semen portland, agregat halus, agregat kasar dan air yang telah mengeras. Terkadang pada saat pencampuran, untuk keperluan tertentu, pada adukan beton ditambahkan bahan tambahan (additive). Pada campuran beton, semen dan air membentuk pasta yang akan mengisi rongga-rongga diantara agregat kasar (kerikil) dan agregat halus (pasir) serta mengikat agregat tersebut pada saat mengeras. Reaksi kimia antara semen dengan air akan menghasilkan kalor dan sifat keras (proses hidrasi) hingga membentuk suatu batuan keras dan tidak larut kembali dalam air. Sebagaimana elemen-elemen yang membentuknya, maka secara mekanik beton hanya menahan gaya-gaya tekan dan geser yang bekerja. Sedangkan tahanan terhadap gaya tarik beton sangat kecil, sehingga dalam perhitungan mekanika tahanan tarik tersebut diabaikan. Tahanan terhadap tekan dari beton dinyatakan sebagai fc’ yaitu nilai yang ditentukan berdasarkan uji silinder beton diameter 15cm dan tinggi 30cm. Pada masa yang lalu, kuat tekan beton dinyatakan sebagai nilai tekan karakteristik K yang didasarkan pada uji tekan dari sampel beton berbuntuk kubus dengan panjang rusuk 20cm. Nilai kuat tekan beton, fc’ untuk konstruksi bangunan sipil biasa berada pada rentang 20MPa sampai dengan 30MPa (hampir setara dengan K-200 s/d K-300). Sedangkan untuk kuat tekan beton yang lebih tinggi dikenal sebagai beton mutu tinggi.
194
Baja tulangan pada beton bertulang mempunyai peran untuk menahan gaya tarik yang tidak mampu ditahan oleh beton. Selain itu, baja tulangan juga mempunyai fungsi dalam menahan gaya tekan dan gaya geser bersama-sama dengan beton. Tahanan terhadap tarikan dan tekan baja sering diasumsikan bernilai sama. Tahanan terhadap tarik material baja tulangan disebut dengan kuat leleh, fy yaitu nilai tegangan baja pada saat leleh karena tegangan tarik. Baja yang disarankan untuk konstruksi sipil adalah baja yang mempunyai nilai tegangan leleh 0.35% dan tegangan leleh fy = 240 MPa hingga fy = 400 MPa. Sedangkan untuk nilai-nilai lainnya harus dipertimbangkan nilai regangan baja dan beton dalam penurunan rumusan-rumusan analisis penampang betonbertulang. Saat ini, untuk konstruksi sipil sangat disyaratkan untuk menggunakan baja tulangan ulir. Penyambungan tulangan harus dilakukan dengan cara membengkokan ujungnya dengan panjang sambungan 48 kali diameter baja tulangan atau minimal 30 cm. Sambungan tersebut harus dilakukuan pada tulangan pembagi pada bagian masing-masing baja tulangan yang disambung. Untuk jelasnya dapat diperhatikan Gambar 10.6.
12 D
48 D
D Gambar 10.6. Detail sambungan baja tulangan
195
10.3. Perhitungan gaya-gaya dalam Gaya-gaya dalam yang bekerja pada struktur dinding penahan tanah dapat dihitung dengan menggunakan teori mekanika rekayasa sederhana. Dalam perhitungan gaya-gaya dalam perlu diperhatikan kombinasi beban luar yang bekerja sedemikian rupa merupakan kombinasi yang memberikan nilai paling besar dari beberapa kemungkinan yang terjadi. Gaya-gaya dalam utama yang bekerja pada dinding penahan tanah diakibatkan oleh beban luar yang bekerja, yaitu: 1. Beban statik akibat berat sendiri tanah dan dinding, W 2. Beben akibat tekanan tanah aktif lateral, P a 3. Gaya akibat daya dukung tanah, Q b 4. Gaya yang timbul akibat tekanan pasif tanah, P p 5. Beban luar tambahan yang bekerja tetap ataupun sementara, Q e 6. Beban akibat aktivitas seismik, P g external load
Pg W Qe Pa Pp
Qb Gambar 10.7. Beban kerja pada dinding penahan tanah
196
Akibat beban-beban yang bekerja, maka pada struktur dinding penahan tanah akan timbul gaya-gaya dalam yang berupa: 1. Momen tekuk 2. Gaya lintang/geser 3. Gaya normal Mengingat beban yang bekerja pada dinding umumnya tegak lurus terhadap penampang dinding, maka untuk gaya normal yang bekerja pada dinding kantilever nilainya relatif kecil dan dapat diabaikan. Namun untuk dinding graviti, gaya normal akibat berat sendiri harus diperhatikan sehingga nilainya harus jauh lebih kecil (maksimum sepertiga) dibandingkan nilai kuat tekan beton yang digunakan. Pada Gambar 10.8 ditampilkan gaya-gaya dalam (momen dan lintang) yang penting dalam perencanaan perkuatan dinding penahan tanah. Yaitu pada sudut-sudut pertemuan elemen dinding dan ditengah badan dinding. Selanjutnya gaya-gaya tersebut dipergunakan dalam perencanaan penulangan struktur dinding penahan tanah.
Lf
Mf
Mb
Mh
Lb
Lh
Mt
Lt
Gambar 10.8. Momen dan lintang pada dinding penahan tanah
197
Kasus 10.1 Sebuah dinding kantilever dari beton bertulang dibuat dengan tujuan untuk manahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K10.1. Tentukan nilai-nilai gaya dalam momen dan geser pada titik-titik penting di struktur dinding penahan tanah tersebut.
1.0m 0.3m 1.2m
Tanah timbunan pasir: φ1 = 30o, γ1 = 1.5 t/m3 H = 3.0m T1 = 0.3m
Tanah dasar/asli: c2= 0.1 kg/cm2, φ2 = 25o, γ2 = 1.5 t/m3
T2 = 0.5m
Gambar K10.1. Dinding kantilever beton bertulang Solusi Data: - timbunan: γ 1 = 1.5 t/m3 φ 1 = 30o - tanah asli : γ 2 = 1.5 t/m3 c 2 = 1 t/m2 φ 2 = 25o - dinding : γ C = 2.4 t/m3 (berat satuan beton bertulang) Tinggi , H = 3.0m Tebal atas, T 1 = 0.3m Tebal bawah, T 2 = 0.5m Lebar, B = 1.0+0.3m+1.2m = 2.5m
198
Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar K10.1.a.
P1 h = 2.5m
x1 x2 Pa
y
W Q Gambar K10.1.a. Gaya-gaya kerja pada dinding Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut: 1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P: Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah: P a,γ = ½ γ H2 K a
9.12a
dengan K a = tan2 ( 45 P1
φ
/2 )
= ½ (1.5 t.m2) [½ (2.5m)] 2 [(tan2 ( 45 -
199
9.10 30
/ 2 )]
= ½ (1.5 t.m2) (1.25m)2 (0.333) = 0.39 t (/m') Garis kerja P 1 dari dasar dinding terletak pada: y 1 = 1/ 3 h 1 = 1/ 3 (1.25 m) = 0.42 m Pa
= ½ (1.5 t.m2) (2.5m)2 [(tan2 ( 45 = ½ (1.5 t.m2) (6.25m2) (0.333) = 1.5625 t (/m')
30
/ 2 )]
Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada: y a = 1/ 3 H = 1/ 3 (2.5 m) = 0.83 m 2. Gaya berat sendiri dinding dan tanah: Wc
= γ C (B 1 ) T 2 (berat tapak belakang, bentuk persegi) = (2.4 t.m2) (1.0m) (0.5m) = 1.2 t (/m')
W s = γ 1 B 1 (H – T 2 ) (berat tanah diatas tapak, persegi) = (1.5 t.m2) (1.0m) (3.0m – 0.5m) = 3.75 t (/m') Berat total: W
= W c +W s = 1.2 t + 3.75 t = 4.95 t (/m')
200
Garis kerja titik tapak belakang: x1 = ½ B1 = ½ (1.0m) = 0.5m Garis kerja titik tapak depan: x2 = ½ B1 + T1 = ½ (1.0m) + 0.3m = 0.8m Untuk badan dinding tegak: W t = γ C T 1 (H – T 2 ) (berat badan dinding tegak) = (2.4 t.m2) (0.3m) (3.0m – 0.5m) = 1.80 t (/m') Garis kerja terhadap titik kaki depan xt = ½ T1 = ½ (0.3m) = 0.15m 3. Daya dukung pondasi, Q: Digunakan Terzaghi dengan anggapan q' = 0 : untuk φ = 250, Nc =25.1 dan Nγ = 9.7 q = c2 Nc + ½ γ2 B Nγ = 10(t/m2) 25.1 + ½ (1.5 t/m3 ) (2.5m) 9.7 = (251 t /m2) + (18.1875 t/m2 ) = 269.1875 t (/m2) q izin = 89.73t (/m2) Selanjutnya: Q = q izin (1.2 m)
201
9.17
= 107.7 t (/m') 4. Momen pada dinding: M f = P (y 1 ) = 0.39 t (/m') . (0.42 m) = 0.1638 t.m (/m' ) M b = Pa y a = 1.5625 t (/m') (0.83m) = 1.3 t.m (/m' ) Mh = W x1 = 4.95 t (/m') (0.5m) = 2.47 t.m (/m' ) atau M t = Q ½ B 2 Mt = W x2 + Wt xt = 4.95(0.8)+1.8(0.15) atau = 107.7t/m(½ 1.2m) ' atau = 64.62 t.m (/m' ) = 4.23 t.m (/m ) 5. Gaya geser pada dinding: Tf = P1 = 0.39 t (/m') T b = Pa = 1.5625 t (/m') Th = W = 4.95 t (/m') Tt
= W + Wt = 6.65 t (/m')
atau atau
202
= Q = 107.7t/m
10.4. Disain penulangan dinding Dimuka telah dijelaskan bahwa beton bertulang merupakan material gabungan antara ‘beton’ dengan ‘baja tulangan’ yang dianggap menyatu dengan sempurna sehingga dalam menahan beban keduanya dianggap sebagai satu material. Untuk anggapan tersebut maka harus dipenuhi syarat-syarat pembuatan beton bertulang agar anggapan dari teori tersebut dapat dipenuhi di lapangan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pekerjaan beton bertulang dapat dilihat pada standar-standar yang berlaku. Untuk di Indonesia, syarat tersebut dapat dilihat pada Standar Nasional Indonesia yang bersesuaian. Secara garis besar, dinding penahan tanah dari beton harus diberi perkuatan tulangan baja pada bagian-bagian yang mengalami tegangan tarik. Sedangkan pada bagian lainnya harus diberi tulangan tekan yang juga berguna untuk menahan retakan beton akibat penyusutan. Sedang untuk gaya geser yang bekerja, sebaiknya ditahan oleh kekuatan geser beton.
Tulangan lentur utama Tulangan pembagi
Tulangan lentur utama
Tulangan tekan
Gambar 10.9. Tulangan penahan momen pada dinding penahan tanah
203
10.5. Grafik dan tabel penulangan beton Teori yang dipakai untuk perhitungan penulangan beton saat ini adalah menggunakan toeri kekuatan batas (ultimit). Berdasarkan teori ini, beton dianggap menahan beban hingga batas kekuatannya. Pada saat yang bersamaan, baja tulangan sebaiknya telah mengalami kelelehan sebelum beton mencapai tegangan batasnya. Hal ini penting untuk menghindari hancurnya beton akibat beban yang bekerja. Secara teori beban momen yang terjadi pada sebuah penampang balok dengan lebar, b akan ditahan sama oleh gaya-gaya yang terjadi pada penampang (momen dalam penampang, perhatikan Gambar 10.10) sebesar: M = (C c d 1 + C s d 2 )
10.1
Momen lentur, M Tulangan tekan Penampang tertekan
Garis netral
Penampang tertarik Tulangan tarik
b
ε c’ εs’
εs
Regangan
a d1
Cs Cc
d2 Ts
Gaya-gaya
Gambar 10.10. Momen pada penampang beton bertulang
204
dimana: M Cc Cs d1 d2 Ts
= momen dalam penampang = gaya tekan beton pada penampang tertekan = gaya tekan baja pada penampang tertekan = jarak gaya tekan beton ke tulangan tarik = jarak gaya tekan baja ke tulangan tarik = gaya tarik baja pada penampang tertarik
Selanjutnya, berdasarkan regangan yang terjadi pada penampang, dapat dihitung besarnya gaya-gaya pada penampang sebagai berikut: Cc = fc’ b a
10.2a
Cs = As ’ εs ’ E
10.2b
Ts = As εs E
10.2c
dimana: A s ’ As εs’ εs’ E
= luas penampang tulangan tekan = luas penampang tulangan tarik = regangan pada tulangan tekan = regangan pada tulangan tarik = modulus elastisitas baja (2 x 105 MPa)
Sedangkan untuk menahan tulangan geser, maka kekuatan geser beton V c dapat dihitung dengan menggunakan rumusan: Vc =
1
/6 fc '
bd
(MPa)
10.2a
dimana: f c ’ = kuat tekan beton (MPa) b = lebar penampang beton d = tinggi penampang beton dikurangi selimut beton Bila gaya geser yang terjadi melebihi kekuatan beton yang ada, maka dimensi yang ada (ketebalan dinding) harus ditingkatkan. Apabila pada
205
ketebalan yang besar masih belum mencukupi untuk menahan gaya geser yang terjadi, maka perlu ditambahkan tulangan geser. Jumlah tulangan geser tambahan dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Vs = Av fy dimana: f y Av ds S
ds S
(MPa)
10.2a
= tegangan leleh baja (MPa) = luas penampang tulangan geser = diameter tulangan geser = jarak tulangan geser (sengkang)
Gaya geser, V
ds
b
S Tulangan geser
Gambar 10.11. Tulangan geser pada penampang Berdasarkan rumusan-rumusan diatas dapat dibuatkan Grafik penulangan untuk momen lentur dan kekuatan geser beton seperti ditampilkan pada Gambar 10. 12 dan 10.13. Sedangkan Tabel 10.1 menampilkan jumlah tungan untuk diameter tertentu berdasarkan nilai luas penampang tulangan.
206
Luas tulangan tarik per m' (mm 2 )
10000 20 cm 25 cm 30 cm 40 cm 50 cm 1000 60 cm 70 cm 80 cm 90 cm 100 cm 100 1
10
100 Momen pada dinding (t.m)
Gambar 10.12. Kebutuhan tulangan tarik terhadap momen lentur per meter untuk mutu beton K-225 s/d K-300 (tebal dinding 20–100 cm)
207
1000
60
Tahanan geser (ton/m)
50 40 30 20 K-225 10
K-250 K-300
0 0
20
40
60
80
100
120
Tebal dinding (cm)
Gambar 10.13. Tahanan penampang dinding terhadap gaya geser untuk mutu beton K-225 s/d K-300
208
Tabel 10.1. Luas penampang vs jumlah tulangan lentur Jumlah tulangan lentur Luas As (mm2) D-12 D-16 D-19 D-22 D-25 600 6 3 3 2 2 650 6 4 3 2 2 700 7 4 3 2 2 800 8 4 3 3 2 900 8 5 4 3 2 1000 9 5 4 3 3 1200 11 6 5 4 3 1400 13 7 5 4 3 1600 15 8 6 5 4 1800 16 9 7 5 4 2000 18 10 8 6 5 2500 23 13 9 7 6 3000 27 15 11 8 7 3500 31 18 13 10 8 4000 36 20 15 11 9 5000 45 25 18 14 11 6000 54 30 22 16 13 7000 62 35 25 19 15 8000 71 40 29 22 17 9000 80 45 32 24 19 10000 89 50 36 27 21 15000 133 75 53 40 31 20000 177 100 71 53 41 25000 222 125 89 66 51 30000 266 150 106 79 62 Pada kasus berikut, akan diberikan contoh perhitungan dari sebuah dinding penahan tanah kantilever dengan beton bertulang dengan menggunakan gambar-gambar dan tabel yang diberikan sebelumnya.
209
Kasus 10.2 Sebuah dinding kantilever dari beton dengan mutu beton K-225, seperti pada kasus 10.1 seperti terlihat pada Gambar K10.2a. Berdasarkan hasil perhitungan nilai-nilai gaya dalam momen dan geser pada titik-titik penting di struktur dinding penahan tanah tersebut (solusi kasus 10.1), rencanakan perkuatan/penulangan dari dinding penahan tanah tersebut.
1.0m 0.3m 1.2m
Tanah timbunan pasir: φ1 = 30o, γ1 = 1.5 t/m3 H = 3.0m T1 = 0.3m
Tanah dasar/asli: c2= 0.1 kg/cm2, φ2 = 25o, γ2 = 1.5 t/m3
T2 = 0.5m
Gambar K10.2a. Dinding kantilever beton bertulang Solusi dari Kasus 10.1 Momen (per meter dinding): • M f = 0.16 t.m • M b = 1.3 t.m • M h = 2.47 t.m • M t = 4.23 t.m Gaya Lintang (per meter dinding): • T f = 0.39 t • T b = 1.56 t • T h = 4.95 t • T t = 6.65 t
210
Mf
Lf
Mb
Lb
Mt Mh
Lt
Lh
Menentukan ketebalan perlu dinding akibat gaya geser: Dilakukan dengan menggunakan Gambar 10.2, sebagai berikut: 60
Tahanan geser (ton/m)
50
Th Tb
Tt
40 30 20 K-225 10
K-250 K-300
0 0
20
40
60
80
100
Tebal dinding (cm)
Gambar K10.2b. Mengecek kekuatan geser Untuk geser (per meter dinding): • T f ketebalan diperlukan sudah OK. • T b ketebalan diperlukan sudah OK. • T h ketebalan diperlukan 15 cm, sudah OK. • T t ketebalan diperlukan 18 cm, sudah OK.
211
120
Luas tulangan tarik per m' (mm 2 )
Menentukan perkuatan/tulangan akibat momen: Dilakukan dengan menggunakan Gambar 10.1, sebagai berikut:
10000 20 cm 25 cm 30 cm 40 cm 50 cm 1000 60 cm 70 cm 80 cm 90 cm 100 cm 100 1
10
100
1000
Momen pada dinding (t.m)
Mb Mh Mt Gambar K10.2c. Menentukan jumlah tulangan lentur Dengan memasukkan nilai-nilai momen kedalam Gambar 10.1 untuk ketebalan dinding yang bersesuaian, diperoleh jumlah luas tulangan per meter lebar dinding adalah: Untuk momen (per meter dinding): • M f diperlukan luas tulangan 1100 (mm2) -->tulangan minimum. • M b diperlukan luas tulangan 1100 (mm2) -->tulangan minimum. • M h diperlukan luas tulangan 2000 (mm2) -->tulangan minimum. • M t diperlukan luas tulangan 2000 (mm2) -->tulangan minimum.
212
Selanjutnya dengan memasukkan nilai-nilai tersebut kedalam Tabel 10.1, diperoleh jumlah tulangan yaitu: 4-D22 (D22 – 250) untuk dinding tegak dan 6-D22 (D22 – 150) untuk dasar dinding (pondasi). Tulangan tekan dan pembagi digunakan 50% dari tulangan utama. Menggambarkan perkuatan/tulangan:
D22 – 300 D22 – 250 D22 – 150
Gambar K10.2d. Gambar tulangan dinding
213
BAB XI
ANALISIS DINAMIS STABILITAS LERENG
Untuk daerah-daerah yang mempunyai potensi besar akan terjadinya gempa bumi, sangat dianjurkan untuk melakukan analisis stabilitas lereng terhadap beban gempa. Secara umum cara analisis kegempaan terhadap lereng dapat dilakukan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: - Analisis dalam riwayat waktu. - Analisis dalam domain frekwensi - Analisis statis ekivalen Analisis dalam riwayat waktu merupakan analisis kegempaan yang mirip dengan keadaan sebenarnya. Dalam analisis riwayat waktu, beban gempa yang terjadi dalam rentang waktu tertentu dibagi-bagi menjadi beberapa tahap untuk selang waktu yang cukup kecil. Tiap saat beban gempa diberikan sesuai dengan beban pada saat tersebut yang kondisi awalnya adalah keadaan dari waktu sebelumnya. Analisis ini terus dilakukan dan saling menyambung hingga rentang waktu gempa (input motion) selesai keseluruhannya. Metoda perhitungan yang paling cocok untuk digunakan untuk analisis riwayat waktu adalah metoda numerik seperti metoda elemen hingga dan metoda beda hingga (atau gabungan keduanya). Untuk melakukan analisis dengan metoda ini, maka pengetahuan tentang numerik dan dasar metoda yang digunakan harus cukup dikuasai. Perkembangan teknologi untuk perhitungan numerik saat ini sangat memungkinkan dan
214
memudahkan ahli rekayasa untuk melakukan perhitungan riwayat waktu dengan cepat. Namun bagaimanapun, data-data yang diperlukan untuk perhitungan numerik tersebut harus diuji secara hati-hati sehingga kesalahan dalam perhitungan numerik dapat diminimalkan. Analisis dengan dalam domain frekwensi jarang dilakukan dalam analisis lereng. Analisis dalam domain frekwensi diadopsi dalam perhitungan response pondasi dinamis (pondasi mesin). Analisis ini juga sangat populer diadopsi dalam perhitungan rekayasa struktur gedung. Perhitungan dengan domain frekwensi relatif sangat mudah dilakukan untuk mendapatkan hasil respons dari struktur yang sederhana. Analisis statis ekivalen untuk stabilitas merupakan analisis pengaruh beban dinamis pada lereng dengan memberikan gaya yang besarnya searah dengan beban dinamis maksimum pada lereng. Analisis ini mengasumsikan bahwa beban dimanis yang bekerja dalam domain waktu hanya memberi pengaruh pada nilai maksimumnya saja. Pembahasan mengenai metoda ini akan dijabarkan dalam bagian berikut. 11.1. Analisis statis ekivalen Analisis stabilitas lereng dengan beban statis, mempunyai tujuan untuk membandingkan nilai tahanan lereng dengan nilai gaya yang melongsorkan akibat adanya gravitasi. Gaya-gaya tersebut bekerja relatif terhadap bidang longsor yang ditinjau. Dalam analisis statis ekivalen untuk beban dinamis, gaya-gaya yang bekerja akibat beban statis adalah sama dengan analisis atabilitas lereng dan ditambah dengan beban inersia akibat percepatan gempa. Percepatan gempa yang diambil adalah nilai maksimum dari catatan gempa atau sesuai dengan standar yang berlaku. Metoda statis ekivalen yang dipergunakan untuk analisis dinamis kestabilan lereng adalah serupa teori kesetimbangan gaya-gaya pada
215
sebuah bidang datar dengan mengaplikasikan gaya dinamik ekivalen tambahan. Kesetimbangan gaya yang bekerja menyangkut adanya kesetimbangan antara gaya aksi dan reaksi (penahan). Pada bidang keruntuhan bekerja gaya berat sendiri (W) akibat gravitasi. Akibat beban dinamis, timbul gaya inersia yang bekerja di pusat masa dengan arah vertikal dan horizontal (Perhatikan gambar 11.1). Nilai gaya dinamis horizontal dan vertikal yang bekerja pada pusat masa itu adalah sebesar: F h =W F v =W
(a / g ) (a / g ) h
11.1a
v
11.1b
Dimana F h = gaya akibat gempa pada arah horizontal F v = gaya akibat gempa pada arah vertikal ah = akselerasi gempa pada arah horizontal (m/dt2) av = akselerasi gempa pada arah vertikal (m/dt2) g = percepatan gravitasi (dapat diambil = 9.81 m/dt2) W = berat benda ah Fv =W g
( /)
α Fh =W
(a /g)
W Gambar 11.1. Gaya aksi pada bidang kemiringan
216
h
Dalam analisis stabilitas lereng akibat gempa, umumnya gaya inersia gempa yang bekerja paling dominan adalah pada arah horizontal. Dengan demikian maka dapat digambarkan gaya inersia tambahan pada arah horizontal, F h . Untuk memudahkan dalam menguraikan gaya-gaya tersebut, maka secara ilustrasi gaya-gaya yang bekerja dapat dipisahkan menjadi menjadi dua bagian, yaitu gaya-gaya statis dan dinamis, seperti pada Gambar 11.2. Akibat adanya sudut kemiringan (α), maka gayagaya yang bekerja harus diuraikankan menurut arahnya terhadap bidang kelongsoran (yaitu tegak/normal dan sejajar/tangensial terhadap bidang kelongsoran).
α T a. Gaya statis WN = W cos α
WT = W sin α
W FN =Fh sin α
α
Fh
b. Gaya dinamis FT = Fh cos α
Gambar 11.2. Gaya normal dan tangensial pada bidang geser
217
Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja adalah: Gaya statis: - Arah tangensial: W T = W sin α ( → )
11.2a
- Arah normal W N = W cos α ( ↓ )
11.2b
Gaya dinamis: - Arah tangensial: F T = F h cos α (→ )
11.3a
- Arah normal F N = F h sin α ( ↑ )
11.3b
Selanjutnya gaya-gaya dalam arah yang sama dapat dijumlahkan secara langsung dan sebaliknya untuk gaya yang mempunyai arah berlawanan akan saling mengurangi. Dengan meninjau kembali Gambar 11.2 dan memasukkan 11.1 kedalam persamaan 11.3, maka dapat dituliskan gaya-gaya yang bekerja adalah: - Arah tangensial T = W sin α + W
(a / g ) cos α
11.4a
(a / g ) sin α
11.4b
h
dan - Arah normal N = W cos α – W
h
218
11.2. Analisis stabilitas lereng akibat gempa Gaya-gaya yang bekerja dalam kasus stabilitas lereng akibat gempa, adalah gaya-gaya yang diakibatkan oleh berat sendiri (gravitasi) dan gaya inersia yang diakibatkan percepatan gempa. Dengan menggunakan kriteria yang sama dalam menilai stabilitas lereng untuk beban statis dalam aplikasi akibat gempa, maka estimasi kestabilan lereng dinamis dapat ditentukan. Hal yang sama berlaku untuk gaya yang menahan dalam kasus dinamis, yaitu ditentukan oleh parameter sudut geser dalam dan kohesi dari tanah lereng. Sehingga nilai stabilitas lereng ditentukan oleh perbandingan gaya yang menahan dengan gaya yang mendorong (perhatikan gambar 11.3) yaitu faktor Keamanan (Safety Factor = SF) sebagai berikut: SF =
Tmax
/T
11.5
dimana:
φ c A T N
T max = N tg φ + c A 11.6 T = sudut geser dalam tanah = kohesi = area atau luas dari bidang geser = (panjang bidang longsor x 1 satuan) = gaya tangensial yang meruntuhkan (persamaan 11.4a) = gaya normal yang bekerja (persamaan 11.4b)
T Tmax
Gambar 11.3. Gaya dalam analisis lereng
219
11.3. Analisis Stabilitas Dinamis Bidang Datar Pada sebuah lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar (perhatikan Gambar 11.4) dengan kemiringan α, analisis dinamis stabilitasnya akibat berat sendiri (akibat percepatan gravitasi, g) dan beban dinamis dengan percepatan maksimum horizontal, a h dapat dilakukan dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng sebagai berikut: W=γ.Λ
11.7a
dimana Λ adalah luas bidang yang longsor (luas abc pada Gambar 11.4) lalu hitung gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan: F h =W
(a / g ) h
11.7b
Sehingga gaya yang meruntuhkan dihitung menjadi: T = W sin α + W
(a / g ) cos α h
11.4a
Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan: T max = [W cos α – W
(a / g) sin α] h
tg φ + c L c
b Fh T
α Tmax
W L
ah
a Gambar 11.4. Stabilitas bidang datar
220
11.8
Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan membandingkan nilai T max dengan T seperti persamaan 11.5.
SF =
Tmax
/T
11.5
Contoh Kasus 11.1: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K11.1. Bila lereng tersebut harus menahan beban gempa dengan percepatan maksimum horizontal sebesar 0.25g, tentukan nilai stabilitasnya. 3m
5m c
b γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
H=6m
L a
α
ah = 0.25g
Gambar K11.1. Data lereng dengan bidang longsor datar
221
Solusi: Menentukan berat bagian longsoran: W=γ.Λ
11.5a
Λ = luas bidang yang longsor = luas abc = ½ (5m x 6 m ) = 15 m2 W = 1.4 t/m3 . 15 m2 = 21 t/m’ Gaya horizontal akibat gempa adalah sebesar: F h =W
(a / g ) h
= 21 t/m’
11.7b
(0.25g/ g)
= (21 t/m’) . (0.25) = 5.25 t/m’ Gaya normal pada bidang, N adalah: N = W cos α – W N = W cos α – W
(a / g ) sin α h
(a / g) sin α h
= (21 t/m’) (0.8) – (5.25 t/m’) (0.6) = 16.8 t/m’ – 3.15 t/m’ = 13.65 t/m’
222
11.4b
Selanjutnya Gaya yang meruntuhkan adalah: T = W sin α + W
(a / g ) cos α h
11.4a
dengan cos α = 0.8 dan sin α = 0.6 T = W sin α + W
(a / g) cos α h
= (21 t/m’) (0.6) + (5.25 t/m’) (0.8) = 12.6 t/m’ + 4.2 t/m’ = 16.8 t/m’ Gaya tahanan pada bidang runtuh: T max = [W cos α – W
(a / g) sin α] h
tg φ + c L
11.8
atau T max = N tg φ + c A
11.6
dengan tan φ = 0.466 c = 2 t/m2 L = [62 + 82]1/2 = 10 m T max = (13.65 t/m’) (0.466) + (2 t/m2) (10 m) = (6.3609) t/m’ + 20 t/m’ = 26.3609 t/m’ Selanjutnya Faktor Keamanan adalah: SF = SF =
Tmax
/T
(26.3609t/m)
11.5
/ ( 16.8 t/m)
= 1.57
223
11.4. Analisis Dinamis Bidang Datar - Panjang Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, pada lereng yang sangat panjang, keruntuhan dapat terjadi pada permukaan lereng dengan kedalaman yang hampir seragam, D (perhatikan Gambar 11.5). Keruntuhan tipe seperti ini ini disebut dengan keruntuhan permukaan. Analisis pada bidang runtuh yang terjadi akibat beban dinamis dapat dilakukan sama dengan cara sebelumnya. Langkah pertama adalah dengan mengambil panjang massa tanah yang longsor sebesar satu satuan panjung (unit). Perhitungan gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan sebagai berikut: 1 unit
D
Fh T
β
W Tmax α L=~
ah
Gambar 11.5. Gaya-gaya pada bidang datar - panjang
224
W=γ.D.1
11.9
dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 11.5) Lalu hitung gaya dinamis horizontal yaitu: F h =W
(a / g ) h
11.7b
Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar biasa, gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan, sehingga gaya yang meruntuhkan dihitung menjadi: T = W sin α + F h cos α
11.4a
dan gaya tahanan pada bidang: T max = N tg φ + c L
11.8
N = W cos α – F h sin α
11.4b
dengan
Perlu diingat bahwa untuk lereng dengan kelongsoran tipe ini, sudut bidang longsor, α adalah sama dengan sudut kemiringan lereng, β. Panjang bidang longsor L = 1 / (cos β ) Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah: SF=
Tmax
/T
11.5
225
Contoh Kasus 11.2: Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan kedalaman longsor 1.0 m yang diakibatkan adanya beban gempa dengan akselerasi (percepatan) sebesar 0.2g. Lereng mempunyai data seperti pada Gambar K11.2. 3m b
c γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
6m
ah = 0.25g
a
β = tan-1 (6/3) = 63.40
Gambar K11.2. Data pada longsor bidang datar - panjang Solusi: Menentukan berat massa longsoran: W=γ.D.1
11.9
D = kedalaman bidang yang longsor = 1.0 m W = 1.4 t/m3 . 1.0 m . 1 m = 1.4 t/m’ Perlu diingat: Untuk tipe kelongsoran ini sudut bidang longsor adalah sama dengan sudut kemiringan lereng (α = β)
226
Gaya horizontal akibat gempa adalah sebesar: F h =W
(a / g ) h
= 1.4 t/m’
11.7b
(0.25g/ g)
= (1.4 t/m’) . (0.25) = 0.26 t/m’ Gaya normal pada bidang, N adalah: N = W cos α – F h sin β
11.4b
dengan cos β = 0.447 dan sin β = 0.894 N = (1.4 t/m’) (0. 447) – (0.26 t/m’) (0. 894) = 0.6258 t/m’ – 0.23244 t/m’ = 0.39336 t/m’ Selanjutnya Gaya yang meruntuhkan adalah: T = W sin α + F h cos β
11.4a
= (1.4 t/m’) (0. 894) + (0.26 t/m’) (0. 447) = 1.2516 t/m’ + 0.11622 t/m’ = 1.36782 t/m’ Gaya tahanan pada bidang runtuh: T max = [W cos α – W
(a / g) sin α] h
tg φ + c L
11.8
atau T max = N tg φ + c / cos β
227
11.8
dengan tan φ = 0.466 c = 0.2 kg/cm2 = 2 t/m2 1/cos β = 1 / 0.447 = 2.236 m T max = (0.39336 t/m’) (0.466) + (2 t/m2) (2.24 m) = 0.183 t/m’ + 4.480 t/m’ = 4.663 t/m’ Selanjutnya Faktor Keamanan adalah: SF = SF =
Tmax
/T
(4.663 t/m)
11.5
/ ( 1.36782 t/m)
= 3.41
Bila kedalaman longsor D diubah menjadi lebih dalam, maka faktor keamanan akan berkurang.
228
11.5. Analisis Dinamis Metoda Potongan (Slices) Dalam analisis dinamis menggunakan metoda potongan, blok tanah yang mengalami kelongsoran dibagi menjadi beberapa bagian (potongan) seperti pada bagian sebelumnya. Pembagian potongan dilakukan secara vertikal. Untuk setiap potongan gaya-gaya yang bekerja baik statis maupun dinamis diperhitungkan secara komulatif. Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh dapat dihitung dengan membandingkan gaya-gaya yang menahan dan meruntuhkan. ∆L
Fh ∆H β
T α
W
i=n n-1
Tmax
n-2 … 3 i=1
α
2
ah
Gambar 11.6. Metoda potongan – analisis dinamis Untuk setiap potongan (lihat Gambar 11. 6) gaya berat akibat gravitasi dari elemen tanah yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah sebesar: W= γ ∆L ∆H
11.10
229
Lalu hitung gaya dinamis horizontal serupa dengan bagian sebelumnya, yaitu: F h =W
(a / g ) h
11.7b
Perhitungan selanjutnya adalah gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan, gaya yang meruntuhkan untuk satu elemen tanah yang longsor dihitung menjadi: T = W sin α + F h cos α
11.4a
dan gaya tahanan pada bidang: T max = c ∆A + N tg φ
11.8
N = W cos α – F h sin α
11.4b
dengan
Luas bidang kontak pada dasar potongan adalah: ∆A = ∆L/cos α
11.8
Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T sebagai berikut:
SF=
ΣTmax
/ ΣT
11.11
230
Bila jumlah potongan ditentukan sebagai i= 1,...,n selanjutnya dengan memasukkan nilai gaya-gaya kedalam persamaan faktor keamanan. Maka dapat ditulis: n
∑ (c SF=
i =1
i
a ΔAi + Wi cos αi − W h sin αi tan φi ) g n a Wi sin αi + W h cos αi ∑ i =1 g
11.12
dimana α i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik. Atau dapat ditulis ringkas n
∑ (c SF =
i =1
i
ΔA i + N i tan φ i ) 11.13
n
∑T i =1
i
231
Contoh Kasus 11.3: Untuk data tanah seperti pada Gambar K11.3, tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor akibat adanya beban dinamis. 3m
5m γ = 1.4 t/m3 c = 0.2 kg/cm2 φ = 250
H=6m
ah = 0.25g Gambar K11.3. Data lereng – metoda potongan
Solusi: Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan pada bidang longsor seperti pada Gambar K.11.3.a. Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan persamaanpersamaan berikut: W= γ ∆L ∆H ah F h =W g ∆A = ∆L/cos α N = W cos α – F h sin α T = W sin α + F h cos α
( /)
232
1.5 m
1.5 m
1.5 m
1.5 m
2.0 m
5 4
590
3 6.0 m 2
390 260
1 180
0
7
Skala : 1 m =
Gambar K11.3.a. Data gometrik tiap potongan
Data tanah: γ = 1.4 t/m3, c = 2 t/m2 dan φ= 250. Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) n
∑ (c SF =
i =1
i
ΔA i + N i tan φ i ) 6.15
n
∑T i =1
i
233
Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
i 1 2 3 4 n=5
∆L i (m) 1.5 1.5 1.5 1.5 2
α 7 18 26 39 59
∆H i (m) 1.4 4.1 4.9 3.9 1.7
Wi (ton) 2.96 8.55 10.31 8.27 4.66
Ni (ton) 2.84 7.47 8.14 5.12 1.40 ΣT i =
Nilai faktor keamanan adalah:
SF =
32.79
/24.01
= 1.37
234
Ti (ton) 1.09 4.68 6.84 6.81 4.59 24.01
∆A i (m) 1.51 1.58 1.67 1.93 3.88 ΣT max =
T max (ton) 4.39 6.95 7.66 6.86 8.89 32.79
BAB XII
ANALISIS DINAMIS DINDING PENAHAN TANAH
Pada suatu wilayah yang rawan terhadap ancaman gempa bumi, telah banyak terjadi keruntuhan dinding penahan tanah pada saat terjadi gempa. Untuk itu sangat dianjurkan melakukan analisis stabilitas dinding penahan tanah yang aman terhadap beban gempa. Penelitian mendalam mengenai analisis dinamis stabilitas dinding penahan longsor menggunakan model laboratorium telah dilakukan (Hakam, 2008.b). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menerapkan bidang kelongsoran yang sesuai untuk keadaan dinamis, maka stabilitas dinding akibat beban dinamis dapat diestimasi dengan baik. Pengembangan ide estimasi stabilitas dinamis dinding penahan tanah juga telah diusulkan Hakam (2009). Analisis statis ekivalen untuk stabilitas dinding penahan tanah merupakan analisis pengaruh beban dinamis yang dapat diterapkan pada dinding penahan tanah. Metoda ini dilakukan dengan memberikan gaya yang besar dan arahnya sesuai dengan beban yang diakibatkan percepatan gempa. Analisis ini mengasumsikan bahwa beban dimanis yang bekerja hanya memberi pengaruh pada nilai maksimumnya saja sepanjang riwayat waktu gempa. Dalam buku ini hanya metoda ini yang akan dijabarkan. Analisis stabilitas dinamis dinding penahan tanah dengan metoda statis ekivalen, bertujuan untuk membandingkan nilai gaya-gaya penahan dengan nilai gaya yang meruntuhkan dinding baik akibat adanya
235
gravitasi sekaligus akibat gempa. Gaya-gaya tersebut bekerja pada titik pusat massa dari elemen-elemen dinding penahan tanah. Gaya-gaya akibat gravitasi ditimbulkan oleh massa elemen dinding dan tanah pada arah vertikal. Sedangkan gaya-gaya akibat gempa ditimbulkan massa dari elemen dinding dan tanah akibat adanya percepatan gempa. Selanjutnya kesetimbangan gaya-gaya pada titiktitik yang ditinjau dapat dihitung dengan mengaplikasikan gaya statik (gravitasi) dan dimanik ekivalen tambahan (gempa). Kesetimbangan gaya yang bekerja melibatkan semua gaya aksi dan reaksi (penahan) yang bekerja. Untuk mengaplikasikan gaya dinamis dibelakang dinding, maka diperlukan bentuk bidang keruntuhan tanah timbunan. Bentuk keruntuhan tanah dibelakang dinding dibedakan menurut bentuk dari dinding penahan tanah yaitu tipe graviti dan tipe kantilever. 12. 1. Analisis dinamis dinding graviti Dalam pengujian model laboratorium (Hakam, 2008.b) terhadap dinding penahan tanah dengan beban dinamis, penentuan massa tanah dibelakang dinding yang bergerak mendorong dinding dapat diperhatikan. Selama pembebanan berlangsung, respon dinamis dari dinding berupa percepatan dan perpindahan dicatat menggunakan alat monitor (lihar Gambar 12.1). Pergerakan setiap butiran selanjutnya diplotkan pada gambar untuk mengetahui pola pergerakan dari interaksi tanah-struktur. Bidang longsor dibelakang dinding penahan tanah selanjutnya dapat digambarkan (Gambar 12.2). Dari hasil pengujian dinamis menunjukkan bahwa bidang longsor dibelakang dinding akibat beban dinamis lebih besar dari pada φ pembebanan statis (θ > 45+ /2) . Sudut keruntuhan bergerak secara perlahan dari keadaan statis akibat tekanan aktif (mengikuti bidang longsor Rankine) hingga membentuk sudut sama dengan sudut φ keruntuhan pasifnya θ = 90-(45+ /2). Dalam keadaan ini (sudut
236
keruntuhan sama dengan sudut keruntuhan Rankin kondisi tekanan pasif) kelongsoran dinding akibat beban dinamis mulai terjadi.
Gambar 12.1. Pergerakan butiran dibelakang dinding penahan tanah
Gambar 12.2. Bidang keruntuhan statis dan dinamis
237
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka analisis stabilitas dinamis dinding penahan tanah dapat dilakukan dengan memperhitungkan bidang kelongsoran sama dengan sudut geser dalam tanah effektif. Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada sistem dinding penahan tanah termasuk massa tanah yang bergerak dapat ditentukan (Perhatikan Gambar 12.3).
Fe2 Tv,2 T2
T1
Fe1
θ T
Th,2
W2
W1
Gambar 12.3. Gaya-gaya akibat beban dinamis
Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding penahan tanah seperti pada Gambar 12.3, nilai faktor keamanan terhadap guling dan geser pada sistem dinding penahan tanah dapat ditentukan sebagai berikut:
SF =
MR dan SF = MO
∑T ∑H
R s
238
dimana: W =gaya akibat berat (gravitasi) F = gaya-gaya akibat percepatan gempa T = gaya-gaya akibat pergeseran dua bidang ΣT R = gaya-gaya penahan geser ΣH s = gaya-gaya penyebab pergerakan geser M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding Besarnya gaya-gaya yang bekerja dapat dihitung sebagai berikut (perhatikan Gambar 12.3). W 1 = (Luas penampang dinding) × γ dinding W 2 = (Luas penampang/bidang tanah longsor) × γ tanah F e1 = (Luas penampang dinding) × γ dinding × (a max /g) = W 1 × (a max /g) F e2 = (Luas penampang bidang tanah longsor) × γ tanah × (a max /g) = W 2 × (a max /g) T 1 = F e2 × tan (2/ 3 φ ) -- gaya ini dapat diabaikan -T 2 = W 2 × cos φ × (tan φ ) = W 2 × sin φ T v,2 = T 2 × sin φ = W 2 × sin2 φ T h,2 = T 2 × cos φ = W 2 × cos φ × sin φ T = c B + W 1 × (tan φ dasar ) dengan c adalah nilai kohesi tanah dasar dan φ dasar dalah sudut geser dalam tanah dasar
239
12. 2. Analisis dinamis dinding kantilever Analisis stabilitas dinamis dinding kantilever dapat dilakukan dengan mengaplikasikan gaya-gaya akibat beban statis dan gempa yang sama seperti pada dinding graviti. Massa tanah yang runtuh dibelakang dinding penahan tanah diambil sama dengan sudut geser dalam tanah. Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada sistem dinding penahan tanah termasuk massa tanah yang bergerak dapat ditentukan (Perhatikan Gambar 12.4).
Fe3 Fe2
Tv,1 W2
Fe1
W1
W3
T1
Th,1
θ
T
Gambar 12.4. Gaya-gaya akibat beban dinamis
Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding penahan tanah seperti pada Gambar 12.4, nilai faktor keamanan terhadap guling dan geser pada sistem dinding penahan tanah dapat ditentukan sebagai berikut:
240
SF =
MR MO
dan SF =
∑T ∑H
R s
dimana: W =gaya akibat berat (gravitasi) F = gaya-gaya akibat percepatan gempa T = gaya-gaya akibat pergeseran dua bidang ΣT R = gaya-gaya penahan geser ΣH s = gaya-gaya penyebab pergerakan geser M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding Besarnya gaya-gaya yang bekerja dapat dihitung sebagai berikut (perhatikan Gambar 12.4). W 1 = (Luas penampang dinding) × γ dinding W 2 = (Luas bidang tanah diatas tapak) × γ tanah W 3 = (Luas penampang/bidang tanah longsor) × γ tanah F e1 = (Luas penampang dinding) × γ dinding × (a max /g) = W 1 × (a max /g) F e2 = (Luas penampang bidang tanah diatas tapak) × γ tanah × (a max /g) = W 2 × (a max /g) F e3 = (Luas penampang bidang tanah longsor) × γ tanah × (a max /g) = W 3 × (a max /g) T 1 = W 3 × cos φ × (tan φ ) = W 3 × sin φ T v,1 = T 1 × sin φ = W 3 × sin2 φ T h,1 = T 1 × cos φ = W 3 × cos φ × sin φ T = c B + W 1 × (tan φ dasar ) dengan c adalah nilai kohesi tanah dasar dan φ dasar dalah sudut geser dalam tanah dasar
241
12. 3. Contoh Kasus: Beban gempa dinding penahan graviti Sebuah dinding penahan tanah yang terbuat dari pasangan batu kali direncanakan menahan tanah lempung dibelakangnya. Dimensi dinding dan parameter tanah lempung ditampilkan seperti terlihat pada Gambar K12.1. Parameter tanah dibelakang dan dibawah dinding mempunyai nilai yang sama seperti ditampilkan pada gambar. Perkirakan faktor keamanan statis dan dinamis (terhadap gempa dengan akselerasi maksimum a g =0.4g) dari dinding penahan tanah tersebut.
B1 = 0.3 m
γ = 1.7 t/m3 cu = 1.75 t/m2 φ=0o
2.5 m
0.5 m
1.3 m
γ = 1.7 t/m3 cu = 3.5 t/m2 φ=0o
0.4g
Gambar K12.1. Dinding penahan tanah dengan beban gempa
242
Solusi Data: - timbunan : γ 1 = 1.7 t/m3 c 2 = 1.75 t/m2 φ 1 = 0o
tanah asli : γ 2 = 1.7 t/m3 c 2 = 3.5 t/m2 φ 2 = 0o
- dinding : γ c = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu) Tinggi , H = 3.0m Tebal atas, B 1 = 0.3m Tebal bawah, B 2 = 1.0m Lebar, B = 1.0 + 0.3m = 1.3m a. Untuk beban statis Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) selanjutnya dihitung dengan memperhatikan Gambar K12.1.a dan b berikut:
B1 = 0.3 m
H=3.0 m
γ = 1.7 t/m3 cu = 1.75 t/m2 φ=0o
x1 x2
Pa Wa
ya
Wb
B2=1.0 m Gambar K12.1.a. Gaya bekerja dan jaraknya
243
Untuk menghitung gaya tekanan aktif P a , dilakukan penyedehanaan hitungan dengan memperhatikan gambar berikut:
γ1 H
γ1 H -2c1Ka0.5
-2cKa0.5
Pa = luas segitiga Pa = ½ H (γ1 H - 2c1Ka0.5) Gambar K12.1.b. Penyederhanaan gaya aktif
Tekanan Aktif :
P a,γ = ½ H (γ H K a - 2c Ka0.5) Garis kerja
Ka =
Pa =
2.40
ya =
1
ya =
1.00
t/m
/3 H
244
m
1
1.00
Berat sendiri dinding: Persegi
Wa = = x1 =
Segitiga
( B1 H ) γc 2.31 1.15
y1 =
½ H
=
1.50
= x2 = = y1 =
1
B2 + ½ B1
=
Wb =
t/m m m
½ ( B2 H ) γc 3.85
t/m
1
1
/3 B2
0.67
m
1
/3 H
=
1.00
m
T=
4.55
t/m
Tahanan Geser:
T = W tot tg φ + c B 1
Momen guling di tumit:
MR = W1 x1 + W2 x2
(gaya MR =
M 0 = Pa ya
4.48
(gaya M0 =
2.40
penahan) t/m
1
pengguling) t/m
1
Daya dukung pondasi (Meyerhof, 1965):
qu = cNc (sc dc ic) + q’ Nq (sq dq iq) + ½ γ B Nγ ( sγ dγ iγ )
245
W tot =
5.28 t/(m)
Q = 5.80 t/(m) inclinasi 24.444 derajat 1.30 m
B= Kp 1.00
Nc 5.70
Qu =
Nq 1.00
148.96
Panjang= Nγ 0.00
50 m
sc sq=sγ 1.01 1.00
t/m
dc 1.08
D=
0.50 m
dq=dγ 1.04
ic=iq iγ 0.53 0.00
1
Faktor Keamanan Statis: 1
Terhadap geser =
2
Terhadap guling =
= = 3
Dukung pondasi = =
T / Pa 1.90 M R /M o 1.87 Qu / Q 25.68
OK OK OK
b. Untuk beban dinamis (Untuk menghitung gaya-gaya yang bekerja, perhatikan kembali Gambar 12.3) Gaya dinamis: W1 =
Wa + Wb
=
5.28
x w1 = = W2 = = x w2 = =
t/m
1
(x 1 .W a + x 2 .W b )/(W a + W b ) 0.85
m
½ (H * H) untuk lempung 7.65
t/m 1
(B 1 + B 2 ) + / 3 H 2.30
246
m
1
F e1 = W 1 × (a max /g) 1 = 2.11 t/m y e1 = (y 1 .W a + y 2 .W b )/(W a + W b ) = 1.19 m F e2 = W 2 × (a max /g)
= 3.06 2 y e2 = / 3 H = 2.00 T 1 diabaikan
t/m
1
m
T 2 dabaikan
Tahanan Geser:
T R = W tot tg φ + c B TR =
4.55
t/m
1
5.17
t/m
1
T o = F e1 + F e2 To =
Dengan Tahanan pasif
T R = W tot tg φ + c B TR =
11.76
t/m
1
Momen guling di tumit:
MR = W1 x1 + W2 x2
penahan MR =
22.07
M 0 = F 1e y 1e + F 2e y 2e
t/m
1
pengguling M0 =
247
8.63
t/m
1
Daya dukung pondasi:
B= Nc Kp 1.00 5.70
1.30 m Nq 1.00 Qu =
Meyerhof (1965) W tot =
5.28
t/(m)
Q=
7.39
t/(m)
inclinasi
44.41
Panjang= Nγ 0.00
derajat
50 m
D=
sc sq=sγ dc dq=dγ 1.01 1.00 1.08 1.04
1 73.0 t/m
Faktor Keamanan Dinamis: 1
Terhadap geser = (tanpa pasif) = (dengan pasif) =
2
Terhadap guling =
3
Dukung pondasi =
T/ Pa 0.88 2.27
NotOK OK
M R /M o = =
2.56 Qu / Q 9.75
248
OK OK
0.50 m ic=iq 0.26
iγ 0.00
12. 4. Contoh Kasus: Beban gempa dinding penahan kantilever Sebuah dinding penahan tanah jenis kantilever yang terbuat dari beton bertulang direncanakan menahan tanah lempung dibelakangnya. Dimensi dinding dan parameter tanah dibelakang ditampilkan seperti terlihat pada Gambar K12.2. Nilai parameter tanah dibawah dasar dinding juga ditampilkan pada gambar tersebut. Perkirakan faktor keamanan statis dan dinamis (terhadap gempa dengan akselerasi maksimum a g =0.4g) dari dinding penahan tanah tersebut.
0.3 m
γ1 = 1.7 t/m3 c1 = 0 t/m2 φ1 = 30o
3m 1m
0.5 m
0.4g
0.4 m γ2 = 1.7 t/m3 c2 = 1 t/m2 φ2 = 20o
2.4 m
Gambar K12.2. Dinding penahan tanah dengan beban gempa
249
Data:
Timbunan:
Tanah Asli:
Dinding:
Konstanta:
γ1=
1.70
t/m
3
c1 =
0.00
t/m
2
φ1=
30.00
γ2=
1.70
t/m
3
c2 =
2.00
t/m
2
φ2=
20.00
γc=
2.40
t/m
H=
3.00
m
Ta=
0.30
m
Tb=
0.40
m
D=
0.50
m
B=
2.50
m
Bt=
1.00
m
o
o
Ka =
0.33
(backfill)
Kp =
2.04
(depan)
a. Statis (perhatikan gambar K12.2.a) Tekanan Aktif :
P a,γ = ½ γ H2 K a - 2c Ka0.5 Garis kerja
Berat diatas dasar:
3
Pa =
3.47
t/m
ya =
1.17
m
1
W2 =
5.10
t/m
x2 =
1.90
m
y2 =
2.00
m
250
1
Wa
T
Pa
W2
Wb
Gambar K12.2.a. Gaya-gaya statis pada dinding kantilever Berat sendiri dinding: Atas
Bawah
Wa =
2.94
t/m
x1 =
1.35
m
y1 =
2.00
m
Wb =
2.88
t/m
x2 =
1.20
m
y1 =
0.25
m
1
(diambil rata-rata)
1
Tahanan Geser:
T = W tot tg φ + c B T=
6.37
t/m
1
Momen guling di tumit:
M R = Wa xa + W b xb + W2 x2 MR =
251
17.12
penahan t/m
1
M 0 = Pa ya
---> pengguling M0 =
B=
2.40 m
Nc Kp 2.04 14.83
Nq 6.40
Panjan
Nγ 2.87
4.05
t/m
50 m
1
D=
dc dq=dγ 1.06 1.03
sc sq=sγ 1.02 1.01
1 Qu = 256.3 t/m
Faktor Keamanan Statis: 1 Terhadap geser = 2 Terhadap guling = 3 Dukung pondasi =
1.84 4.23 22.37
OK OK OK
b. Dinamis Data:
percepatan dinamis maksimum, a g = 0.4 g asumsi sudut keruntuhan, θ = 30
o
Gaya dinamis: 1
W1 =
5.82
t/m
x1 =
1.28
m
W2 =
5.10
t/m
x2 =
1.90
m
W3 =
10.41
t/m
x3 =
3.57
m
F e1 = y e1 =
2.33 t/m1 1.13
252
m
1
1
0.50 m ic=iq 0.65
iγ 0.01
2.04 t/m1
F e2 = y e2 =
2.00
m
4.17 t/m1
F e3 = y e3 =
2.33
m
T 1 diabaikan T 2 dabaikan Untuk melihat letak gaya-gaya dinamis yang bekerja, perhatikan kembali Gambar 12.4 Tahanan Geser: Tanpa Tahanan pasif
T R = W tot tg φ + c B TR =
6.37
t/m
1
Dengan Tahanan pasif
T R = W tot tg φ + c B TR =
9.66
t/m
1
T o = F e1 + F e2 + F e2 To =
8.53
t/m
1
Momen guling di tumit:
M R = W a xa + Wb x b + W 2 x 2 MR =
penahan 54.25
t/m
1
t/m
1
M 0 = F 1e y 1e + F 2e y 2e + F 3e y 3e M0 =
16.44
253
pengguling
Daya dukung pondasi:
B= Nc Kp 2.04 14.83
Meyerhof (1965) W tot = Q=
10.92 13.86
t/(m) t/(m)
inclinasi
38.00
derajat
2.40 m Nq 6.40
Nγ 2.87
Panjan
50 m
sc sq=sγ 1.02 1.01
D=
dc dq=dγ 1.06 1.03
1 Qu = 144.0 t/m
Faktor Keamanan Dinamis: 1 Terhadap geser = dengan pasif: 2 Terhadap guling = 3
Dukung pondasi =
0.75 1.13 3.30
NotOK OK OK
10.39
OK
254
0.50 m ic=iq 0.33
iγ 0.81
12. 5. Diskusi Dari hasil analisis dinamis terhadap kasus dinding penahan tanah graviti maupun kantilever, manunjukkan bahwa dinding penahan mempunyai faktor keamanan dinamis yang lebih kecil dibanding kondisis statis. Perbedaan besarnya nilai faktor keamanan antara kondisi statis dan dinamis tersebut sangat ditentukan oleh hal-hal pokok berikut: 1. Akselerasi yang diberikan. 2. Asumsi keruntuhan tanah. 3. Geometrik dari dinding. 4. Data tanah. Sebagai contoh untuk kasus pada dinding graviti, bila akselerasi maksimum yang diberikan sebesar 0.2g, maka faktor keamanan dinamis adalah: Terhadap geser = 2.35 Terhadap guling = 6.82 Dukung pondasi = 30.05 Nilai tersebut menjadi lebih besar dibanding faktor keamanan kondisi statis yaitu: Terhadap geser = 1.90 Terhadap guling = 1.87 Dukung pondasi = 25.68 Selanjutnya untuk kasus dinding penahan kantilever, apabila bidang keruntuhan diasumsikan sama dengan bidang keruntuhan statis (kondisi aktif) yakni sebesar 60o terhadap sumbu hirizontal, maka faktor keamanan menjadi: Terhadap geser = 0.94 (dengan pasif = 1.43) Terhadap guling = 2.89 Dukung pondasi = 13.28
255
Nilai tersebut lebih besar dibandingkan sebelumnya (untuk asumsi bidang runtuh θ=45o) yaitu: Terhadap geser = 0.75 (dengan pasif = 1.13) Terhadap guling = 3.30 Dukung pondasi = 10.39 Sebaliknya bila diasumsikan bidang keruntuhan dibelakang dinding sama dengan bidang keruntuhan keadaan pasifnya (yaitu θ=30o terhadap horizontal ), maka faktor keamanan akan berubah menjadi: Terhadap geser = 0.55 (dengan pasif = 0.83) Terhadap guling = 4.11 Dukung pondasi = 7.40 Hal-hal tersebut diatas menunjukkan pentingnya pengambilan keputusan oleh perencana dalam menentukan nilai-nilai yang diambil pada saat melakukan analisis keamanan dinding. Untuk menentukan besarya akselerasi maksimum yang diberikan, harus diperhatikan kondisi seismik pada lokasi dimana dinding tersebut akan ditempatkan. Sedangkan pengambilan sudut keruntuhan sangat tergantung dengan performan yang diinginkan dari dinding penahan yang direncanakan. Pengetahuan yang luas dan pengalaman yang cukup merupakan kemampuan yang harus dimiliki untuk pengambilan keputusan dalam sebuah perencanaan. Termasuk keputusan dalam menentukan kedalaman pondasi dinding, tipe dinding yang digunakan, dimensi dinding dan juga jenis tanah yang digunakan untuk timbunan dibelakang dinding.
256
DAFTAR REFERENSI 1. Bowles, J (1988), Foundation Analysis and Design, MsGraww-Hill, Singapore 2. Hakam, A (2004)a, ‘Penstabilan Lereng’,
Diktat
Pendidikan dan Pelatiah PT. PLN Persero, 2004 3. Hakam, A (2004)b, ‘Metoda Analisis Stabilitas Lereng’, Diktat Pendidikan dan Pelatiah PT. PLN Persero, 2004 4. Hakam, A (2008)a, Rekayasa Pondasi: untuk mahasiswa dan praktisi, Bintang Grafika, Padang 5. Hakam, A (2008)b, ‘Earthquake Resistant of Retaining Walls’, International Seminar on Earthquake and Tsunami (ISET), Padang, 26 August 2008 6. Hakam, A (2009), ‘Dynamic Equilibrium Analysis of Earthquake Resistant Retaining Walls’, PIT-HATTI, Denpasar 2009. 7. Huang, Yang H (1983), Stability Analysis of Earth Slopes, Van Nostrand Reinhold Comp. Inc., NY. 8. Janbu, N (1957), Earth Pressures and Bearing Capacity Calculations by Generalized Procedure of Slice, 4th ICSMFE, vol. 2, pp. 207-212
257
9. Robertson , P.K. and Camala, R.G., (1983), “Guidelines for Use and Interpretation of The Electronic Cone Penetration Test”, Soil Mechanics Series No. 69, Depat. of Civil Engineering, Univ. of British Colombia 10. Rosenfarb, J.L and Chen, W.F. (1972), Limit Analysis Solutions of Earth Pressure Problems, Fritz Engineering Lab. Report, Lehigh University, 53 pp (in Bowles, 1988) 11. Singh, A (1970), Shear strength and stabililty of manmade slopes, Journal of the soil mechanics and foundation division, ASCE, Vol 96, No. SM6, 18791892 12. Taylor, D.W (1937), Stability of eatrh Slopes, Journal of the Boston Society of Civil Engineers, Vol. 24, 197-246 13. Terzaghi, K (1934), Large Retaining Wall Tests, Engineering-News Record, Feb.1, pp. 136 – 140
258
GLOSARIUM
Bedrock (lapisan batuan), 21, 27 Boulder (batu besar), 27 Cantilever walls (dinding penahan tanah kantilever), 168 Clay (lempung), 28 Cobble (batu), 27 Cone penetration test (sondir / uji penetrasi kerucut), 55 Dipole (dua kutub), 29 Drained (kondisi teralirkan), 50, 51, 52 Failure line (garis keruntuhan), 40 Gravel (kerikil), 26, 27, 34 Gravity walls (dinding penahan tanah gravity), 159, 160, 163 Land slide (Gelincir), 9 Lay dam (dinding sandar), 175, 176, 181 Liquid limit (batas cair), 35 Modulus elastisitas, 202 Montmorillonite (lempung gunung), 29, 30 Mud flow (aliran lumpur), 10, 123, 125, 146 NC Clay (lempung terkonsolidasi normal), 150 Overburdent (berat sendiri tanah diatas), 48, 49 Pebble (kerikil), 27 Poor-graded (bergradasi seragam), 31
259
Sand (pasir), 26, 28, 34 Silt (lanau), 26, 28, 34 Solid (kompak), 25 Sondir ( alat uji penetrasi kerucut), 55 Spesific gravity (berat spesifik), 33, 34, 68 Standard Penetration Test (SPT / uji penetrasi standar), 59 Undrained (kondisi tidak teralirkan), 50, 51, 52 Well-graded (bergradasi baik/lengkap), 31
260