PEMBELAJARAN BAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA KEDUA DALAM PROSES PEMEROLEHAN BAHASA Irma Anindiati PENDAHULUAN Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan sarana perumusan maksud, melahirkan perasaan, dan memungkinkan manusia berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa sebagai alat komunikasi diperoleh manusia sejak lahir sampai usia lima tahun, yang dikenal dengan istilah pemerolehan bahasa. Setiap individu dianugerahi kemampuan berbahasa. Bahasa tersebut diperoleh, diwarisi dan ditumbuhkembangkan dari waktu ke waktu. Sejak lahir manusia telah memiliki kemampuan dan kesiapan untuk memperoleh dan mempelajari bahasa. Hal ini terlihat bahwa manusia tidak memerlukan banyak usaha untuk mampu berbicara. Orang yang dalam jangka waktu cukup lama terus menerus mendengar pengucapan suatu bahasa, biasanya ia akan mampu mengucapkan bahasa tersebut tanpa instruksi khusus atau direncanakan. Bahkan banyak peneliti mengenai penguasaan bahasa meyakini bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas mampu menguasai bahasa Ibu mereka tanpa terlebih dahulu diajarkan secara khusus dan tanpa penguatan yang jelas (Rice dalam Deswita, 2007:1120). Pemerolehan bahasa (Language Acquisition) adalah proses manusia mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas. Pemerolehan bahasa (akuisisi bahasa) merupakan proses yang berlangsung di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
1
2
Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan atau manual seperti pada bahasa isyarat. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang dewasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Noam Chomsky yang dikutip oleh Abdul Chaer (2003:169) mengatakan bahwa adanya khusus yang dimiliki setiap manusia sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat tersebut dinamakan Language Acquisition Device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa ibunya. Pada tahap awal perkembangannya, manusia mulai masuk dalam tahap pemerolehan bahasa Ibu atau bahasa pertama yaitu proses pemerolehan bahasa yang pertama kali dikenal manusia, biasanya terjadi antara ibu dan anak, bisa diikuti anggota keluarga yang lainya dan dilakukan secara lisan di lingkungan keluarga secara tidak formal. Pemerolehan bahasa Ibu atau bahasa pertama ini terjadi secara sadar dan alamiah pada tataran keterampilan menyimak dan berbicara. Pemerolehan bahasa pertama bertujuan untuk komunikasi antara Ibu dan anak bahkan dengan keluarga serta lingkunan sekelompoknya pada masa waktu tertentu (anak-anak awal). Setelah seorang individu memperoleh bahasa pertama dan telah mampu berinteraksi dengan lingkungan sosial di luar keluarga dan kelompoknya, ia juga perlu menguasai bahasa
3
lainnya dalam hal ini disebut bahasa kedua. Kebutuhan pemerolehan bahasa kedua muncul karena seseorang memerlukan bahasa baru untuk dapat berkomunikasi dan menyesuaikan diri di lingkungan sosial yang lebih besar, selain itu juga terdapat alasan imigrasi, kebutuhan perdagangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Istilah bahasa kedua juga digunakan untuk mengambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehanya atau pengusaannya dimulai setelah masa anakanak awal, termasuk bahasa ketiga atau bahasa asing lainnya. Bahasa Arab adalah bahasa yang berasal dari rumpun bahasa
Semit
Selatan
yang
digunakan
oleh
orang-orang
Semenanjung Arabia di bagian barat benua Asia (Adib, 2009). Selain itu, bahasa Arab merupakan salah satu bahasa resmi internasional yang telah ditetapkan oleh Persatuan BangsaBangsa (PBB). Hitti (2005:6) menyatakan bahwa pada Abad Pertengahan, selama ratusan tahun bahasa Arab merupakan bahasa ilmu pengetahuan, budaya, dan pemikiran progresif di seluruh
wilayah
dunia
yang
beradab.
Sedangkan
Effendy
(2009:25) menyatakan bahwa bahasa Arab pada masa khilafah Islamiyah
menjadi
bahasa
resmi
untuk
keperluan
agama,
budaya, istrasi, dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa bahasa Arab telah dikenal masyarakat dunia sejak dahulu. Telah kita ketahui juga, bahwa bahasa Arab adalah salah satu bahasa Asing yang diajarkan di sebagian sekolah-sekolah
di
Indonesia,
baik
itu
sekolah
di
daerah
perkotaan maupun di desa-desa. Bahasa Arab diajarkan di madrasah-madrasah,
sekolah-sekolah
dan
pondok-pondok
pesantren yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, mulai dari sekolah dasar sampai perpendidikan tinggi. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Didalamnya terdapat berbagai macam ilmu dan informasi baik pada masa
4
dahulu, sekarang, maupun masa yang akan datang. Untuk mengetahui tentang pembelajaran bahasa dalam perspektif AlQur’an, maka dala makalah ini digunakan metode tafsir maudhu’i atau tafsir tematik. Penafsiran Al-Qur’an secara tematik ini memiliki acuan dan teknik penerapan sendiri. Metode ini tidak bersifat parsial namun merupakan pelengkap dari seluruh bentuk metode penafsiran terdahulu dengan menggunakan seluruh bentuk analisis guna menemukan jawaban dari berbagai aspek persoalan kehidupan manusia dengan menggunakan sumber AlQur’an. Dalam makalah ini, penulis menggunakan metode tafsir maudhu’i yang disandingkan dengan teori-teori kebahasaan menurut para ahli dalam mendeskripsikan dan menganalisa pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua dalam proses pemerolehan bahasa. Quraish Shihab (1999) mencatat bahwa penafsiran alQur’an dengan menggunakan metode maudhu’i digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim yang disusun berdasarkan susunan surah. Sementara tafsir maudhu’i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kummy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun 1960-an. Muhammad Husain al-Dhahaby (1424 H/2004 M) mendefenisikan tafsir maudhu’i yaitu “Mengkaji salah satu aspek diantara aspek-aspek yang terkandung didalam al-Qur’an atau mengkaji salah satu diantara tema-tema al-Qur’an yang berhubungan dengan aspek-aspek ilmiyah al-Qur’an. Sementara itu, Quraish Shihab (1999) sebagai salah seorang pakar al-Qur’an di Indonesia mengajukan tiga bentuk defenisi terminologis.
5
Pertama, Metode Tafsir Maudhu’i adalah penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuantujuannya secara umum yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat dengan berbagai persoalan persoalannya menjadi satu kesatuan yang utuh. Kedua, Metode Tafsir Maudhu’i adalah penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat dalam al-Qur’an yang dapat diurut sesuai dengan urutannya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Qur’an tentang masalah yang dibahas secara utuh. Ketiga, metode dimana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir maudhu’i adalah upaya manusia dalam meneliti dan menelusuri seluruh aspek makna, tujuan dan petunjuk al-Qur’an dalam satu tema guna menjawab berbagai persoalan dengan menjadikan prosedur metode penelitian ilmiah sebagai acuan. Berikut adalah langkah-langkah atau prosedur yang disebutkan para pakar ilmu al-Qur’an dalam metode penafsiran maudhu’i. Quraish Shihab mengajukan prosedur penerapan tafsir maudhu’i sebagai berikut: 1. Penetapan masalah yang akan dikaji, dimana seorang pengkaji maudhu’i dalam penafsiran al-Qur’an diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat atau
6
keganjilan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban-jawaban Qur’ani. 2. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, poin ini hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an yang berhubungan dengan persoalan yang sedang dikaji. Sementara bagi mereka yang hendak mengurai satu kisah, atau kejadian, maka runtutan susunan yang dibutuhkan dalam mengkajinya adalah runtutan krinologis peristiwa. 3. Kesempurnaan penggunaan metode ini dapat dicapai apabila seorang pengkaji Maudhu’i dalam penafsiran alQur’an berusaha memahami arti kosa-kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur’an sendiri. 4. Seorang pengkaji maudhu’i dalam tafsir al-Qur’an seyogyanya tidak mengabaikan Asbab al-Nuzul, karena Asbab al-Nuzul memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula halnya denga munasabah (korelasi antara satu surat dengan surat lainnya dan antara ayat dengan ayat lainnya). Dalam makalah ini, penulis menggunakan prosedur metode penafsiran maudhu’i sesuai yang disebutkan oleh Dr. H. M. Sa’ad Ibrahim, MA1. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut. 1. Menentukan tema dan sub tema yang akan dibahas. 2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur;an yang sesuai dengan tema. 3. Menghimpun hadist yang sesuai dengan tema. 4. Menghimpun tafsir ayat-ayat al-Qur’an tersebut. 1 Dr. H. M. Sa’ad Ibrahim, MA adalah seorang dosen mata kuliah Studi Qur’an pada program Pascasarjana UIN Maliki Malang
7
5. Menghimpun syarah hadist tersebut. 6. Mengkaitkan tafsir dengan peradaban yang ada pada masa tafsir ditulis. 7. Menghimpun teori ilmiah yang sekuler dan berhubungan dengan tema. 8. Mengelaborasi semua bahan. 9. Menyimpulkan ajaran al-Qur’an tentang tema tersebut.
10. والله أعلم بالصواب والخطأ Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa bahasa Arab bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Pembelajarannya telah banyak dilakukan di sekolahsekolah formal dan informal. Beberapa sekolah di Indonesia telah menerapkan sistem bilingual, yaitu penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Arab dalam setiap aspek kegiatannya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa Arab, perlu diadakannya kajian dan inovasi sehingga masyarakat Indonesia dapat menguasai bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi. Adapun permasalahan pokok dalam makalah ini adalah bagaimana pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua dalam proses pemerolehan bahasa. Permasalahan ini dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
Apakah definisi pemerolehan bahasa? Bagaimanakah konsep pemerolehan bahasa pertama? Bagaimanakah konsep pemerolehan bahasa kedua? Bagaimanakah pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua? Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
makalah ini adalah mendeskripsikan pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua dalam proses pemerolehan bahasa. Sebagai seorang yang bergerak dalam bidang bahasa Arab dan juga seorang muslim, maka dalam makalah ini penulis memaparkan: (1) definisi pemerolehan bahasa; (2) konsep pemerolehan bahasa pertama; (3) konsep pemerolehan bahasa kedua; dan (4) pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua
8
dalam proses pemerolehan bahasa, ditinjau dari perspektif alQur’an dan psikolinguistik. DEFINISI PEMEROLEHAN BAHASA Istilah “pemerolehan” dipakai untuk padanan istilah Inggris yaitu acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari “pembelajaran” yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang yang belajar di kelas adalah pembelajaran (Dardjowidjojo, 2008:225). Sejalan dengan Dardjowidjojo, Chaer (2003:167) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika ia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Terdapat dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Chomsky (dalam Chaer 2003:168) menyebutkan bahwa proses kompetensi mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yakni komponen sintaksis, komponen semantic, dan komponen fonologi. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimatkalimat yang didengar. Sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan kalimat-kalimat sendiri. Proses pemerolehan bahasa pertama dapat dilihat dalam bagan berikut.
9
Kompetensi Sintaksis Proses Kompetensi
Kompetensi Semantik Kompetensi Fonologi
Pemerolehan Bahasa Proses Performansi
Proses Pemahaman Proses Penerbitan
Bagan 1 Proses Pemerolehan Bahasa
Di dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, semua manusia yang normal paling sedikit memperoleh satu bahasa alamiah. Dengan kata lain, manusia yang normal memperoleh satu bahasa, yaitu bahasa pertama atau bahasa asli. Kealamiahan bahasa pada setiap manusia merupakan kriteria utama untuk membatasi apa sebenarnya yang disebut insan manusia. Namun di dalam proses pematangan dirinya di tengahtengah masyarakat kompleks dan majemuk, keberadaan bahasa bukan lagi terbatas pada kealamiahannya belaka, melainkan juga sebagai media yang memungkinkan terjadinya kontak antara sesama masyarakat yang saling membutuhkan. Untuk menutupi kebutuhan manusia di tengah-tengah masyarakat yang siksak dan beragam secara aktual menuntut kreativitas manusia sebagai peran sosial untuk memahami sistem komunikasi tidak lagi kondusif bila hanya mengetahui satu bahasa saja, karena sistem kemasyarakatan tidak lagi terbatas pada satu bahasa sebagai alat komunikasi, peran sosial dari berbagai suku seperti di Indonesia masing-masing mempunyai keinginan untuk rnemperkenalkan dan mempergunakan bahasa daerahnya. Pertalian dan kontak antarsuku di dalam suatu masyarakat, bahasa daerah masih dapat difungsikan sebagai alat komunikasi. Tetapi ketika terjadi interaksi antara lain suku, maka mau tidak mau mereka harus mencari sistem komunikasi baru yang memungkinkan terjadinya kontak secara integratif.
10
Seseorang yang terlibat dalam peristiwa kemasyarakatan yang kompleks seperti di atas akan selalu berusaha untuk mengetahui dan memakai suatu bahasa di samping bahasa daerahnya atau bahasa ibunya (B1). Upaya ini dilakukan untuk mencapai tingkat komunikatif di antara mereka yang berlainan suku . Kehadiran sistem komunikasi baru sebagai penghubung diantara mereka yang berlainan suku dikategorikan sebagai bahasa kedua (B2). Penguasaan dua bahasa dapat menggunakan dua bahasa secara bergantian dinamakan dwibahasawan dan peristiwa kebahasaan inilah yang terjadi di Indonesia. Teori-Teori Pemerolehan Bahasa Terdapat dua teori utama tentang proses perolehan bahasa pertama pada manusia yang diperbincangkan di kalangan para peneliti (Hasanah, 2010). Teori pertama menyebutkan bahwa manusia memperoleh bahasanya secara alami. Teori ini dikenal dengan istilah Nativist Theory. Teori kedua, menyatakan bahwa manusia memperoleh bahasa melalui proses mempelajari. Teori kedua ini dikenal dengan Learning Theory. Nativist Theory Nativist Theory adalah teori yang menyebutkan bahwa manusia memperoleh bahasa secara alami. Teori ini juga dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopri oleh Leneberg dan Chomsky. Hipotesis nurani lahir dari sebuah pertanyaan, sebenarnya alat apa yang digunakan anak dalam memperoleh bahasanya yang kemudian dijadikan bahan penelitian oleh kedua pelopor tersebut. Hasil penelitan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Semua anak normal akan memperoleh bahasa ibunya asalkan dia dikenalkan dengan bahasa itu. 2. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan. 3. Kalimat yang digunakan anak cenderung tanpa menggunakan gramatikal, tidak lengkap dan jumlahnya sedikit. 4. Hanya manusia yang bisa berbahasa.
11
5. Perkembangan bahasa anak sejalan dengan perkembangan lain. 6. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks dan universal. Teori Chomsky ini menegaskan bahwa bahasa merupakan warisan. Manusia sejak lahir sudah dibekali dengan program genetik untuk berbahasa. Maka hipotesis naluri berbahasa merupakan suatu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian bahasa tidaklah diperoleh atau dipelajari, akan tetapi ditentukan oleh fitur fitur nurani yang khusus dari organisme manusia. Hipotesis ini menekankan bahwa adanya suatu “benda” nurani khusus yang dibawa manusia sejak lahir yaitu laguage acquisition device (LAD) untuk bahasa dan berbahasa. Alat ini berfungsi untuk memungkinkan seorang anak memperolah bahasa ibunya. Cara kerja dari LAD ini bisa dijelaskan apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa ditangkap atau diberikan kepada LAD, maka LAD akan membentuk masukan itu menjadi tata bahasa formal sebagi keluaran.
Ucapanucapan Bahasa X
LAD
Tata Bahasa Formal Bahasa X
Bagan 2 Cara Kerja LAD
Dengan adanya LAD yang dibawa manusia dari lahir ini muncul sebuah fakta yang mencengangkan. Faktanya, meskipun masukan yang diberikan berupa ujaran-ujaran yang salah, tidak lengkap, dan tidak memenuhi struktur gramatikal yang tepat, namun ternyata anak-anak dapat menguasai bahasa pertamanya dengan baik. Berdasarkan fakta ini, seorang pakar bahasa Eve Clark (dalam Chaer, 2003) mengambil kesimpulan bahwa anakanak tidak mungkin dapat menguasai sintaksis bahasanya jika ia tidak dianugerahi suatu mekanisme nurani yang khusus untuk bahasa bagi tujuan pemerolehan bahasa. Teori Chomsky
12
mengenai LAD ini telah dijelaskan Allah SWT dalam firmanNya QS. An-Nahl ayat 78.
78. dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Dan juga dalam firmanNya QS. Al-Mulk ayat 23-24.
23.
Katakanlah:
"Dia-lah
yang
menciptakan
kamu
dan
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) Amat sedikit kamu bersyukur. 24. Katakanlah: "Dia-lah yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nya-lah kamu kelak dikumpulkan".
Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa pada QS AnNahl ayat 78 Allah SWT menyebutkan karuniaNya yang telah Ia limpahkan kepada manusia. Allah SWT mengeluarkan seorang
13
bayi dari dalam perut ibunya dan memberi indra pendengaran, penglihatan serta hati. Allah SWT juga memberinya akal. Akal yang diberikan Allah inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal manusia dapat membedakan hal-hal yang bermanfaat dan hal-hal yang berbahaya. Kemampuan berpikir dan
indra
tersebut
diperoleh
seseorang
secara
bertahap.
Semakin dewasa seseorang, maka semakin bertambah pula kemampuan melihat, mendengar dan akalnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Dari ayat kedua di atas, setidaknya terdapat tiga hal pembahasan
yang
berhubungan
dengan
pendidikan
dan
pengajaran. Pertama, ayat ini menjelaskan tentang asal kejadian manusia
yang
tidak
mengetahui
sesuatu
apapun
ketika
diciptakan, bagaikan kertas putih yang tidak ternodai apapun bila kita tidak mengotorinya. Kedua, setelah Allah SWT menjelaskan tentang penciptaan manusia pertama kali yang tidak mengetahui apapun, kemudian Allah SWT memberikan kepada manusia potensi
pembelajaran
melalui
kemampuan
fisik
yakni
pendengaran dan juga penglihatan serta memberikan juga kepada
manusia
kemampuan
psikis,
yakni
akal.
Semua
kemampuan tersebut harus dikembangkan dan dibina melalui pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam. Ketiga, setelah Allah SWT memberikan semua potensi tersebut kepada manusia, Allah SWT memerintah agar potensi tersebut digunakan untuk kebaikan dan beribadah kepadaNya sebagai bentuk rasa syukur. Salah satu cara bersyukur kepada Allah atas pemberianNya tersebut adalah dengan menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat, dalam hal ini adalah untuk memperoleh bahasa pertama. Penglihatan, pendengaran, hati dan akal yang diberikan Allah
adalah
LAD
yang
berfungsi
untuk
memungkinkan
14
seseorang
memeroleh
bahasa
pertamanya,
seperti
yang
dikatakan oleh Chomsky. Learning Theory Teori ini menyatakan bahwa pemerolehan bahasa melalui proses mempelajari. Teori ini lahir dai pakar psikologi dari harvard B.F. Skinner. Skinner adalah seorang toko behaviorisme yang menyatakan bahasa adalah perilaku verbal. Behaviorisme adalah aliran psikologi yang mempelajari tentang perilaku yang nyata yang bisa diukur secara objektif. Bloomfield dalam bukunya “Language” (dalam parera, 1986: 80) menerapkan pokok-pokok pikiran behaviorisme dalam analisis bahasa sebagai berikut. 1. Bahasa adalah bentuk dari tingkah laku fisik. 2. Orang harus bisa membedakan antara sesuatu yang mendahului bahasa, bahasa dan peristiwa yang mengikuti bahasa. S
r
s
R
r : merupakan respon pengganti s : merupakan stimulus pengganti 3. Bloomfield lebih menekankan proses mekanisme bahasa bukan proses mentalisme. Skinner mengatakan bahwa berbahasa haruslah ditanggapi sebagai satu respon operan berkondisi terhadap stimulus tersembunyi baik yang internal atau eksternal. Hal ini bisa dijelaskan bahwa semua pengetahuan bahasa yang dimiliki oleh manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa merupakan hasil integrasi dari peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia. Karena itulah kemudian teori ini dikenal dengan istilah teori pembelajran bahasa pengkondisian operan. Dalam teori ini dinyatakan bahwa perilaku berbahasa seseorang dibentuk oleh serentetan peristiwa beragam yang muncul dari sekitar orang itu. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki memori yang dapat merekam semua kejadian yang terjadi dalam
15
hidupnya, menggabungkan serta mengambil kesimpulan dari semua peristiwa tersebut. Memori memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Memori akan membantu seorang manusia mulai dari menghadapi sebuah persoalan, merancang masa depan, sampai dengan memeroleh informasi baru. Memori sangat erat kaitannya dengan akal atau pikiran. Seorang anak ketika lahir sudah mulai melakukan pengamatan melalui indranya. Informasi yang ia peroleh melalui panca indra ini akan dijadikan landasan berpikir ketika ia beranjak dewasa. Sesuatu yang telah ia alami ketika kecil, akan dirangkai kembali untuk menemukan informasi-informasi baru di masa mendatang. Setiap informasi yang diperoleh manusia akan diproses oleh akal dengan menggabungkan informasi lama dan informasi baru sehingga menjadi pengetahuan baru baginya. Dalam al-Quran Allah SWT menyeru manusia untuk terus berfikir sebagaimana firmanNya berikut. QS. Al-A’raaf ayat 185:
185. dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit
dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
QS. Al-Ghasyiyah ayat 17-21:
16
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan? 21. Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
QS. Al-Baqarah ayat 164:
164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-
17
tanda
(keesaan
dan
kebesaran
Allah)
bagi
kaum
yang
memikirkan.
QS. Al-An’am ayat 99:
99. dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan
Maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkaitangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang beriman.
Memori dan akal adalah modal yang dimiliki manusia untuk melakukan kegiatan berfikir. Melalui proses berfikir, manusia dapat mempelajari segala hal, termasuk bahasa. Sebagai penjelasan lebih lanjut dari teori ini bisa digambarkan tentang
18
bagaimana seorang bayi mulai berbahasa. Pada tahapan ketika anak memperoleh sistem sistem bunyi bahasa ibunya, semula dia mengucapkan sistem bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di dunia ini. Akan tetapi karena lingkungan telah memberikan contoh terus menerus terhadap sistem bunyi yang ada pada bahasa ibunya, dan dimotivasi terus untuk menirukan sistem bahasa ibunya, maka yang akhirnya dikuasai adalah sistem bahasa ibunya. Bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia. Dengan menguasai lebih dari satu bahasa, maka sudah pasti seseorang akan lebih menguasai dunia yang ia inginkan. Seperti dalam hadist berikut.
من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الرخرة فعليه (بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم )رواه البخاري Seseorang dengan kemampuan bahasa yang baik, ia akan dapat mencapai kesuksesan. Demikian pula dengan seseorang yang dapat menguasai lebih dari 1 bahasa, maka dunia akan berada dalam ganggamannya. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa bahasa adalah poin penting dalam segala kegiatan manusia. PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA Bahasa pertama seringkali disebut dengan bahasa ibu. Penggunaan istilah bahasa ibu perlu mendapatkan koreksi karena dalam hal ini terdapat berbagai kasus yang pada akhirnya menggugurkan istilah bahasa ibu. Kasus yang sering terjadi yaitu di berbagai kota besar yang multilingual seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dsb. bahasa ibu bukanlah bahasa apa yang digunakan atau dikuasai oleh si ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan suami-istri yang memilki bahasa daerah yang berbada-beda, tetapi si anak sudah tidak diajarkan lagi bahasa daerah (bahasa si ayah atau ibu), si anak sudah mulai diajarkan bahasa Indonesia. dengan demikian bahasa ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa
19
yang digunakan oleh ibu bapaknya. Jadi, dalam hal ini penggunaan bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu. Gelombang penelitian dalam pemerolehan bahasa anakanak ini mendorong para guru bahasa dan pendidik untuk mempelajari beberapa temuan umum demi membuat perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua (Brown, 2007: 26). Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa pendekatan yang menunjang pemerolehan bahasa pertama, yaitu pendekatan behavioristik, Nativis, dan Fungsional.
Pendekatan Behavioristik Menurut Brown (2007: 28), bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia, dan para psikolog behavioristik menelitinya dalam kerangka itu dan berusaha merumuskan teori-teori konsisten tentang pemerolehan bahasa pertama. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa Pertama) dan B2 (Bahasa Kedua) sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi ada pula yang tidak. Pendekatan behavioristik terfokus pada aspek-aspek yang dapat ditangkap langsung dari perilaku linguistik dan berbagai hubungan atau kaitan antara respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Seorang behavioris memandang perilaku bahasa yang efektik sebagai wujud tanggapan yang tepat terhadap stimuli. Jika sebuah respon tertentu dirangsang berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau terkondisikan. Begitu juga jika dikaitakan dalam memperlajari bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Jika orangtua sama-sama bertutur bahasa Indonesia, begitu juga dengan teman-temannya, dan penyampaian bahasa Indonesia dalam sekolah. Maka, akan semakin terbiasa si anak tersebut sehingga dalam mempelajari
20
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama akan terkondisikan secara sendirinya. Pendekatan Nativis Istilah ini hadir, karena diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita (Brown, 2007:30). Teori ini juga mendapat dukungan dari tokoh linguistik terkenal, yaitu Noam Chomsky dengan alirannya transformasional. Menurut Soeparno (2002:53), aliran transformasional merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Karena konsep strukturalisme mensyaratkan bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit) seperti halnya dalam pendekatan behavioristik di atas. Dalam pandangan Chomsky, dalam otak manusia terdapat sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau LAD (Language Acquisition Device). Mc Neill (dalam Brown, 2007:31), memaparkan bahwa terdapat empat perlengkapan linguistik dalam LAD tersebut, yaitu kemampuan membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar; kemampuan menata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian; pengetahuan bahwa hanya jenis sistem linguistik tertentu yang mungkin sedangkan yang lain tidak; dan yang terakhir, kemampuan untuk terus mengevaluasi sistem linguistik yang berkembang untuk membangun kemungkinan sistem paling sederhana berdasarkan masukan linguistik yang tersedia.Berpegang pada LAD tersebut, para peneliti mulai berasumsi bahwa manusia secara genetik dilengkapi kemampuan yang memungkinkan mereka menguasai bahasa dengan mengajukan sebuah sistem kaidah bahasa universal.
21
Pendekatan Fungsional Pendekatan terakhir ini menekankan bahwa kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh kaum nativis adalah abstrak, formal, eksplisit, dan sangat logis, tetapi baru bersentuhan dengan bentuk-bentuk bahasa dan tidak menghiraukan makna. Makna di sini merupakan tataran fungsional yang lebih mendalam yang terbangun dari interaksi sosial. Contoh bentuk dalam bahasa yaitu mulai dari fonem sampai dengan kalimat serta kaidahkaidah yang mengaturnya. Dalam hal ini, pendekatan ini lebih mengutamakan bahwa bahasa tersebut haruslah dikaitkan dengan konteks sosial yang bersifat pragmatis yang penuh dengan bentuk-bentuk. Seorang anak yang keseharian dirumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indoensia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010:205). PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA Pembelajaran bahasa mengacu pada pemerolehan bahasa kedua setelah seorang anak memeroleh bahasa pertamanya. Dalam penyebutan istilah, beberapa pakar menyebutnya dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning), sedangkan beberapa yang lain menyebutnya dengan pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua. Digunakannya istilah pembelajaran karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses balajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan keluarga pengasuh anak tersebut. Bagi mereka yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa kedua beranggapan bahwa bahasa kedua
22
juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan sosial kehidupan seorang anak. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual pemerolehan bahasa kedua secara informal bisa saja terjadi, seperti di daerahdaerah pinggiran Jakarta, bahasa Melayu Betawi bertumpag tindih dengan bahasa Sunda sehingga banyak anak-anak memperoleh kemampuan berbahasa Melayu dialek Jakarta dan berbahasa Sunda sekaligus. Atau dalam masyarakat Montreal, Kanada yang memungkinkan anak-anak dapat menguasai bahsa Inggris dan Prancis dalam waktu yang bersamaan. Pemerolehan bahasa kedua (B2) dapat terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia apa saja, untuk tujuan bermacam-macam, dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Berdasarkan fakta ini, kita dapat membedakan beberapa tipe pemerolehan bahasa kedua. Kedua tipe itu adalah pemerolehan yang terpimpin (learning) dan pemerolehan bahasa alamiah (acquisition). Menurut Krashen (dalam Nababan, 1983), pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi atas dua kategori dasar, yakni “language acquisition”, di mana seseorang juga dapat mempelajari bahasa kedua secara wajar dan alami (tanpa disadari) seperti halnya pemerolehan bahasa pertama dan “language learning” dimana bahasa kedua diajarkan dan atau dipelajari dengan kesadaran penuh untuk suatu tujuan atau maksud tertentu. Pemerolehan bahasa kedua yang terpimpin, yaitu B2 diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang telah diseleksi dan kriterianya ditentukan oleh guru atau seorang pengajar. Dalam makalah ini, digunakan istilah pembelajaran bahasa untuk mengacu pada penguasaan bahasa kedua yang dalam hal ini bahasa Arab yang dilakukan secara formal di dalam pendidikan formal. Dua Tipe Pembelajaran Bahasa Ellis (dalam Chaer, 2003) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Tipe naturalistic bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam
23
lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe pembelajaran bahasa tipe naturalistic banyak dijumpai. Seorang anak yang di dalam lingkungan keluarganya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama misalnya, begitu ia keluar rumah dan berjumpa dengan teman-teman yang berbahasa Indonesia, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Tipe kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, alat-alat bantu pembelajaran yang sudah dipersiapkan. Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua Pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini sesuai dengan berbagai hipotesis yang disampaikan sebelumnya bahwa pembelajaran bahasa kedua bukan suatu hal (proses) yang sederhana. Bahasa kedua akan rumit dipelajari jika pembelajar tidak memiliki faktor pendukung yang memadai. Dalam buku Psikolingustik: Kajian Teoritik, Abdul Chaer menyebutkan lima faktor penentu dalam pembelajaran bahasa kedua, yaitu: (a) faktor motivasi; (b) faktor usia; (c) faktor penyajian formal; (d) faktor bahasa pertama; dan (e) faktor lingkungan. Faktor Motivasi Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil disbanding dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi lain ( Chaer, 2003:251).
Faktor Usia
24
Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis; tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutan ( Chaer, 2003:253). Faktor Penyajian Formal Pembelajaran bahasa secara formal memiliki kemiripan dengan tipe pembelajaran formal yang sifatnya nonalamiah serta didukung oleh perangkat formal pembelajaran. Faktor Bahasa Pertama Bahasa pertama memiliki pengaruh terhadap pembelajaran bahasa kedua. Pada saat pembelajar menggunakan bahasa kedua kadang kala secara sadar atau tidak telah mengalihkan unsur-unsur bahasa pertamanya sehingga menimbulkan interferensi, alih kode, campur kode, dan kekeliruan (error). Dengan demikin, menurut Banathy (Chaer, 2003:257) bahwa mengetahui keadaan linguistik bahasa pertama sangat penting bagi usaha menentukan strategi pembelajaran bahasa kedua, sebab belajar bahasa kedua tidak lain dari pada mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada. Faktor Lingkungan Lingkungan bahasa sangat berpengaruh dalam pembelajaran bahasa kedua. Yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajr sehubungan bahasa kedua yang dipelajari. PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI INDONESIA Setelah mengetahui konsep tentang pemerolehan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, selanjutnya dijelaskan paparan tentang bagaimana pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua. Mempelajari bahasa kedua merupakan sebuah fenomena yang terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa lain
25
menjadi penting dalam aktivitas intelektual manusia setelah menguasai bahasa ibu. Bahasa Arab merupakan bahasa yang familiar di telinga masarakat Indonesia. Hal ini karena bahasa Arab sangat erat kaitannya dengan agama Islam dan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Bahasa Arab telah masuk ke Indonesia berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan masuknya agama Islam. Dikatakan Effendy (2009) bahwa pengajaran bahasa Arab yang pertama di nusantara adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah, khususnya ibadah shalat. Oleh karena itu, bentuk pengajaran bahasa Arab di Indonesia yang pertama digunakan adalah membaca Al-Qur’an dengan metode abjadiyah (alphabetic method). Akan tetapi, pengajaran bahasa Arab tersebut kurang cukup karena seorang muslim juga perlu memahami dan menghayati bacaan shalat serta doa-doa dalam agamanya untuk menjadi seorang muslim seutuhnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka muncullah pengajaran bahasa Arab bentuk kedua. Tujuan utama dari bentuk pengajaran ini pada dasarnya adalah pemahaman isi kitab yang dipelajari sehingga metode yang digunakan adalah gramatika-terjemah. Namun metode pengajaran tersebut hanya berhasil mencapai kemahiran reseptif. Seiring dengan perubahan zaman, pergaulan masyarakat antar bangsa menuntut kemampuan berbahasa sebagai media berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis. Tidak terkecuali dalam bahasa Arab. Kemudian muncullah pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga, yaitu dengan menggunakan metode langsung. Pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga ini mulai digunakan pada awal abad 19 di beberapa perpendidikan Islam modern dan kemudian dikembangkan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah Gontor Ponorogo. Sejak saat itu
26
hingga sekarang, pengajaran bahasa Arab di Indonesia mengalami berbagai kemajuan hingga telah banyak sekolahsekolah yang memasukkan bahasa Arab ke dalam daftar pelajarannya. Bahkan beberapa sekolah yang menerapkan sistem bilingual—seperti SD Islam Sabilillah Malang dan Al-Izzah Batu—memasukkan bahasa Arab bersama bahasa Inggris ke dalam semua aspek kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran Bahasa Arab sebagai Bahasa Kedua Pemblajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua yang dimaksud dalam makalah ini adalah pembelajaran secara terpimpin, yakni pembelajaran dengan menggunakan materi, media dan pengajar yang telah disediakan. Dalam struktur program kurikulum SMU tahun 1975, bahasa Arab ditetapkan sebagai mata pelajaran bahasa Asing pilihan dengan status sebagai bidang studi mayor pada jurusan Bahasa dan bidang studi minor pada jurusan IPS. Akan tetapi GBPP bahasa Arab pada kurikulum tersebut tidak ada. Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan kebutuhan akan penguasaan bahasa asing selain bahasa Inggris, pembelajaran bahasa Arab di Indonesia mulai menampakkan perkembangan. Sejak diberlakukannya KTSP, bahasa Arab dimungkinkan untuk diajarkan di SMA, tidak saja sebagai bahasa asing pilihan untuk jurusan Bahasa, tetapi untuk semua jenjang kelas dan semua jurusan, yaitu sebagai mata pelajaran keterampilan atau muatan lokal. Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembelajaran bahasa Arab pada umumnya. Hanya saja yang ditekankan disini adalah bagaimana seorang pembelajar dapat menguasai bahasa Arab sama baik dengan bahasa pertamanya. Sehingga selain pengajar, materi, dan media, diperlukan juga pembentukan
27
lingkungan bahasa agar pembelajaran semakin meresap pada diri pembelajar. Prinsip-Prinsip Pengajaran Bahasa Arab Angela Scarino dkk (2013) memberikan delapan prinsip pengajaran bahasa yang dapat digunakan pula untuk pengajaran bahasa Arab. Kedelapan prinsip tersebut mengacu pada pendekatan komunikatif, yaitu pendekatan yang bertujuan agar siswa mampu menggunakan bahasa target. 1. Pembelajar akan belajar bahasa dengan lebih baik bila diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat. 2. Pembelajar akan belajar bahasa dengan lebih baik bila diberikan kesempatan menggunakan bahasa sasaran secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas. 3. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika diberi data komunikatif yang dapat dipahami dan relevan dengan kebutuhan dan minatnya. 4. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan berbahasa, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa. 5. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika diberikan data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya bahasa sasaran. 6. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika mereka menyadari peran dan hakikat bahasa dan budaya. 7. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka. 8. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika diberi kesempatan mengatur pembelajaran mereka sendiri. Metode Pengajaran Bahasa Arab Sebelum dibicarakan metode yang dapat digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar bahasa Arab, berikut ini
28
akan disajikan terlebih dahulu pengelolaan kelas yang dapat dilaksanakan oleh guru. Untuk melatih kemampuan berbahasa siswa, guru dapat melakukan berbagai cara pengelolaan kelas. Tempat belajar tidak selalu harus di dalam kelas. Guru dapat mengajak siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, dalam pembelajaran berbicara, guru bertujuan melatih siswa pandai berpidato. Siswa dapat diajak ke halaman sekolah duduk melingkar dan guru mencontohkan cara berpidato yang baik. Jika keadaan tidak memungkinkan dan siswa harus belajar di kelas, maka tempat duduk siswa dapat diatur bervariasi. Tempat duduk siswa juga dapat diatur menjadi setengah lingkaran atau berbentuk U. Intinya, suasana kelas harus dibuat menyenangkan sehingga siswa merasa senang belajar. Guru yang baik, bukanlah guru yang menertibkan kelas dengan cara otoriter. Sementara ini, masih ada anggapan bahwa kelas tertib haruslah kelas yang sunyi, sepi, dan siswa belajar dengan kaku. Anggapan tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan. Sesuai dengan bahasan pengelolaan kelas di atas, dalam pembelajaran bahasa Arab disarankan tidak hanya menggunakan satu metode saja. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Di bawah ini hanyalah beberapa alternatif metode yang dapat digunakan. 1) Metode Langsung Metode langsung adalah metode yang berasumsi bahwa belajar bahasa yang baik adalah belajar menggunakan bahasa secara langsung dengan intensif untuk kegiatan komunikasi. Tujuan metode ini awalnya hanya pada penggunaan bahasa lisan, namun pada perkembangannya kemudian metode ini juga digunakan dalam melatih bahasa tulisan. Langkah-langkah atau teknik yang digunakan pada metode ini akan diuraikan berikut ini. Penyuguhan teks pendek (biasanya bersifat naratif) dengan menggunakan bahasa sasaran. Ekspresi
29
yang sukar dijelaskan dibantu dengan parafrase, persamaan kata, demonstrasi, atau konteks. Untuk menjelaskan lebih jauh tentang teks itu guru mengetengahkan pertanyaan-pertanyaan tentang teks dan pelajar membaca teks dengan keras untuk latihan. Pengamatan gramatika diperoleh dari teks yang dibaca dan pelajar didorong untuk menemukan sendiri prinsip gramatika yang terlibat. Banyak waktu dihabiskan untuk tanya jawab tentang teks atau untuk pembicaraan mengenai gambar dinding. Latihan melibatkan transposisi, substitusi, dikte, naratif, dan karangan bebas. Karena metode langsung banyak melibatkan pemakaian bahasa lisan, penekanan juga diberikan pada pemerolehan ucapan yang tepat. 2) Metode Membaca Sesuai dengan namanya, metode ini membatasi tujuan pengajaran bahasa pada latihan pemahaman bacaan. Dalam metode ini, penggunaan B1 tidak dilarang dan penyuguhan B2 bersifat lisan seperti pada metode langsung. Fokus pembelajaran pada kontrol kosa kata ketika membaca teks. Metode ini sangat memerhatikan keterampilan membaca intensif untuk keperluan studi yang mendalam dan kemampuan membaca cepat. 3) Metode Audiolingual Metode yang telah digunakan sejak tahun 1960 ini memiliki beberapa ciri khas, seperti: a. pemisahan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, b. pemakaian dialog sebagai alat utama dalam menyuguhkan bahasa, c. penekanan pada teknik latihan tertentu, peniruan, pengingatan, latihan runtun pola, d. penggunaan laboratorium bahasa, dan e. memantapkan teori linguistik dan psikologis sebagai landasan metode mengajar.
30
Pengajaran dengan metode ini dimulai dengan fase pertama, yakni pemutaran film strip dan penyuguhan rekaman. Rekaman bunyi memperdengarkan dialog yang diatur dan ditambah komentar naratif. Kerangka film strip sesuai dengan tuturan. Dengan kata lain, gambaran visual dan tuturan lisan saling melengkapi dan membentuk unit semantik. Pada fase kedua, makna-makna bahasa dijelaskan dengan penunjukan, demonstrasi, mendengarkan selektif, atau tanya jawab. Fase ketiga, dialog diulang beberapa kali dan diingat dengan pemutaran ulang dari rekaman dan film strip atau dengan latihan laboratorium bahasa. Pada tahap berikut, siswa dibebaskan dari suguhan tape dan film. Siswa diminta mengingat komentar atau membuat komentar sendiri. Pada tahap ini dapat dilakukan permainan peran atau tanya jawab. 4) Metode Jigsaw Selain metode-metode di atas, ada pula metode jigsaw yang menggunakan pendekatan kooperatif juga. Metode ini sangat membantu guru untuk melatih siswa mengembangkan hubungan inter personalnya. Siswa akan dilatih bekerja dalam kelompok yang berbeda-beda. Dalam metode jigsaw siswa akan berdiskusi secara bertahap dengan kelompok yang berbeda. Kelompok pertama disebut kelompok ekspert, yakni kelompok untuk mendiskusikan hal yang sama. Hasil diskusi akan dibawa siswa kepada kelompok kerjanya. Berikut ini adalah langkah umum yang dilakukan guru dengan menggunakan metode ini. a. Setelah dibentuk kelompok kerja, siswa diberi tugas. Misalnya, setiap kelompok kerja ditugasi untuk menulis resensi buku. Untuk menulis resensi ada beberapa subpokok bahasan yang harus didiskusikan siswa. Setiap anggota kelompok kerja menerima tugas mempelajari satu subpokok bahasan berbeda.
31
b. Setelah setiap siswa mendapat tugas tersebut, mereka berpindah tempat ke kelompok ekspert untuk mendiskusikan subpokok bahasan yang sama. Misalnya, satu kelompok ekspert membicarakan masalah format penulisan resensi buku, kelompok ekspert lain membicarakan komponen yang harus ada pada sebuah resesnsi buku. c. Setelah selesai berdiskusi dengan kelompok ekspert, siswa kembali bekerja dengan kelompok kerjanya untuk menginformasikan hasil diskusinya dengan kelompok ekspert. Hasil diskusi setiap subpokok bahasan tersebut kemudian disintesakan oleh kelompok kerja untuk dilaporkan sebagai hasil kelompok kerjanya. d. Dalam proses evaluasi, guru memberi penghargaan kepada kelompok terbaik. e. Selain hasil belajar kelompok, guru juga menilai siswa secara individual melalui tes/kuis. Nilai individu tersebut akan mempengaruhi nilai kelompok kerja. f. Usai pelajaran siswa melakukan refleksi untuk mencatat kegiatan yang telah dilakukan beserta manfaatnya. Siswa juga dapat mengemukakan saran pada guru untuk peningkatan mutu pembelajaran selanjutnya. Kendala-Kendala Dalam Pengajaran Bahasa Arab Dalam praktiknya, setiap pelaksanaaan metode di atas menghadapi berbagai kendala. Berikut ini adalah beberapa kendala yang sering dihadapi pengajar. 1. Tidak ada metode yang sempurna, mengingat setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak dapat mengakomodasi semua kebutuhan siswa. 2. Kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari akan menyebabkan ketidaklancaran siswa dalam berkomunikasi, baik lisan
32
maupun tulisan. Hal ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan siswa tentang bahasa target. 3. Perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target akan mengakibatkan kesulitan yang cukup besar bagi siswa asing dalam belajar berbahasa. Pembelajar harus menguasai kompetensi gramatikal dan leksikal dari bahasa target jika ingin menguasai bahasa target itu. Namun, sering juga terjadi seorang pembelajar yang sudah memiliki kompetensi secukupnya dalam bahasa target tetapi masih menghadapi kesulitan memahami teks tertentu karena kurangnya pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target. 4. Jika tempat belajar bukan di Indonesia, siswa kesulitan mencari model berbicara selain gurunya. Akibatnya, dialek guru akan sangat berpengaruh kepada dialek siswa. Siswa yang belajar bahasa Arab dari guru dengan dialek kental Jawa akan mengikuti dialek tersebut karena tidak memiliki model bahasa yang lain. PENUTUP Bahasa adalah sesuatu yang dapat dengan cepat diterima oleh tubuh manusia. Bahasa pertama seorang anak didapat secara alami melalui lingkungan keluarga dan sosialnya, tanpa adanya unsur kesengajaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya LAD (Language Acquisition Device) yang memungkinkan seorang anak memeroleh bahasa pertamanya. Sedangkan bahasa kedua dapat diperoleh melalui proses pembelajaran. Al-Qur’an sebagai pedoman bagi umat manusia pun sebenarnya telah membahas tentang pemerolehan bahasa. Pembahasan tersebut berbanding lurus dengan teori-teori yang telah ditemukan oleh pakar bahasa. Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembelajaran bahasa Arab pada umumnya. Hanya saja yang ditekankan disini adalah
33
bagaimana seorang pembelajar dapat menguasai bahasa Arab sama baik dengan bahasa pertamanya. Sehingga selain pengajar, materi, dan media, diperlukan juga pembentukan lingkungan bahasa agar pembelajaran semakin meresap pada diri pembelajar. Demikian yang dapat disimpulkan penulis dalam makalah ini.
والله أعلم بالصواب والخطأ
DAFTAR RUJUKAN
34
Al-Qur’an Al-Karim Adib, Khoirul. 2009. Bahasa Arab dalam Khazanah Budaya Nusantara. Malang: UM Press. Al-Dhahaby, Muahmmad Husain. 1424 H / 2004 M. al-Tafsir wa alMufassirun. Beirut: Maktabah Mus'ab bin ‘Umair alIslamiyyah. Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. San Fancisco: Pearson Longman. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Agustina, Loenie. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Effendy, Ahmad Fuad. 2009. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat. Hitti, Philip Khuri. 2005. History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritas tentang Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hasanah, Mamluatul. 2010. Proses Manusia Berbahasa: Perspektif Al-Qur’an dan Psikolinguistik. Malang: UIN-MALIKI Press. Liddicoat, Anthony J. & Scarino, Angela. 2013. Intercultural Language Teaching and Learning. Oxford: Blackwell Publishing. Nababan. 1983. Peralihan Pola Perolehan dan Penggunaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Univertas Indonesia. Parera, J. D. 1983. Psikolinguistik: Sebuah Ikhtisar Dasar. Jakarta: FPBS, IKIP Jakarta.
35
Shihab, M. Quraish. 1999. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.