Contoh pelanggaran HAM di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat No. 1 2
3
4
Keluarga Orangtua memaksakan kehendak mereka terhadap anak Orangtua menyiksa, menganiaya atau membunuh anaknya Anak melawan, menganiaya atau membunuh orangtua atau saudaranya Majikan atau anggota keluarga yang lain mempermalukan pekerja rumah tangga dengan sewenang-wenang
Sekolah Guru pilih kasih terhadap murid-muridnya Guru memberikan sanksi yang menyakiti secara fisik dan mental terhadap muridmuridnya Siswa menganiaya, menyakiti secara fisik atau mental terhadap siswa lain
Masyarakat Perbuatan main hakim sendiri terhadap pencuri atau pelaku kejahatan Tindakan merusak sarana dan fasilitas umum Pertikaian antarkelompok antarsuku
CONTOH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
KELOMPOK : 1 Tragedi Trisakti sulut api reformasi 1998 LIMA belas tahun yang lalu, enam mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembus peluru polisi. Mereka menjadi martir saat melakukan aksi demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden, pada 12 Mei 1998 silam. Kematian pejuang pro demokrasi itu, dengan cepat menyebar dan membakar amarah rakyat. Peristiwa itu terjadi saat ribuan mahasiswa menggelar longmarch dari kampus Trisakti di Grogol, menuju Gedung DPR/MPR di Slipi Jakarta. Namun, baru sampai depan kampus, mereka sudah dihadang ratusan polisi bersenjata lengkap dengan posisi siap menembak. Meski dihadapkan dengan moncong sejata, pemuda-pemudi pemberani ini tak gentar. Mereka tetap melangsungkan aksi demonstrasi dengan menggelar mimbar bebas di jalan selama berjam-jam. Polisi yang kesal kemudian menyuruh mahasiswa masuk, sambil mengancam akan menembak jika mereka tak mendengar.
Mahasiswa pun setuju untuk kembali ke dalam kampus dengan damai. Namun, saat akan masuk ke dalam kampus, mereka mendapat provokasi hingga berujung pada bentrokan fisik. Suasana berubah menjadi chaos, dan terdengar suara rentetan tembakan ke arah massa pro demokrasi itu. Enam orang dinyatakan tewas dalam peristiwa penembakan itu. Sementara 16 orang mahasiswa lainnya, termasuk pelajar, dan masyarakat yang ikut dalam aksi mengalami luka parah. Mereka dipukuli, diinjak, dan menjadi korban penembakan brutal polisi. Para mahasiswa yang tewas tertembak dalam tragedi Trisakti adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi 96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin 95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen 96), Vero (Fakultas Ekonomi 96), dan Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil 95). Selain mahasiswa, Samsul Bahri, siswa STM juga tewas. Dia terkena peluru tajam pada bagian perutnya hingga terburai, dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk operasi. Sayang, nyawa pelajar pemberani ini tak tertolong. Pada saat yang sama, di kampus Atmajaya, massa mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot) tengah melakukan aksi mimbar bebas di dalam kampus. Saat mendengar rekannya tewas tertembus timah panas, mereka berencana bergabung dengan mahasiswa Trisakti. Namun, baru sampai depan kampus, mereka dihadang polisi. Pasca peristiwa itu, amuk massa terjadi dimana-mana, hingga 15 Mei 1998. Ribuan gedung, toko, dan rumah dihancurkan. Bahkan ada yang dibakar oleh massa. Sasaran kemarahan massa saat itu dialihkan kepada etnis China. Tidak hanya menjarah, massa juga membunuh, dan memperkosa para wanita keturunan etnis minoritas itu. Situasi
benar-benar
tidak
terkendali.
Mahasiswa
ada
yang
coba
menenangkan, namun gagal. Sedang aparat kepolisian, dan tentara yang berjagajaga di lokasi saat itu, hanya menonton dari kejauhan. Alhasil, ribuan orang menjadi
korban. Ada yang tewas dalam bentrok, hilang diculik, hingga terpanggang api saat melakukan penjarahan. Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pelaku kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dibagi menjadi dua golongan. Terdiri dari massa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua kelompok provokator. Para provokator ini, umumnya bukan dari wilayah setempat. Secara fisik, mereka tampak terlatih, dan sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap). Bahkan mereka tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Belum diketahui siapa provokator ini. Mereka juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya. Kelompok inilah yang menggerakkan massa dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan perusakan awal, pembakaran, dan mendorong aksi penjarahan. Kelompok ini datang dari luar, dan bukan penduduk setempat. Jumlah mereka hanya belasan, tetapi sangat terlatih. Kelompok ini mempunyai kemampuan ahli dan terbiasa menggunakan alat untuk kekerasan. Mereka juga memiliki mobilitas yang tinggi dan kerja yang sistematis. Dalam aksinya, mereka kerap menggunakan sarana transportasi, seperti motor, mobil/Jeep, dan alat komunikasi (HT/HP). Pada umumnya, kelompok ini sulit dikenali walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan, ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila). TGPF juga menemukan fakta adanya keterlibatan anggota aparat keamanan dalam kerusuhan di Jakarta, Medan, dan Solo. Dalam kesimpulannya, TGPF menyatakan, kerusuhan Mei bersifat saling terkait antar-lokasi, dengan model yang mirip provokator. Skala kerusuhan ini sangat
besar dan terdapat keseragaman waktu. Lebih jauh, kerusuhan terjadi secara berurutan, dan sistematis. Tim juga menemukan, dugaan adanya faktor kesengajaan yang mengandung unsur penumpangan situasi. Dimana para provokator diduga sengaja menciptakan kerusuhan, sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Kesimpulan itu merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI yang ada di luar kendali dalam kerusuhan itu. D. UPAYAH PENYESLESAIAN DALAM PELANGGARAN HAM Penyelesaian kasus trisakti nasibnya kurang lebih sama dengan reformasi, yaitu mati suri. Bertahun-tahun sudah kasus trisakti terjadi, tapi para pelaku tidak pernah terungkap dengan terang benderang, sehingga mereka tak pernah dibawa ke meja hijau. Padahal Komnas HAM menengarai adanya pelanggaran HAM berat pada penangan demonstrasi mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Salah satu indikasi sulitnya membongkar kasus ini adalah keterlibatan orang-orang penting (berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat ini sehingga ada banyak kepentingan yang menghalang-halangi penuntasa kasus ini. Tahun demi tahun terus bergulir. Pemerintah (presiden) pun telah beberapa kali berganti, namun penyelesaian kasus trisakti tidak tahu rimbanya. Komnas HAM menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan laporan penyalidikan kasus itu sejak 6 Januari 2005 kepada Kejaksaan Agung. Namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut yang jelas yang dapat diketahui masyarakat terutama keluarga korban. Untuk itu diperlukan keseriusan, kejujuran, dan kebranian berbagai pihak untuk menuntaskan kasus ini. Presiden serta menkopolhukam dan kementrian hukum dan HAM yang ada dibawahnya harus bertindak. DPR memberikan pengawasan dan meningkatkan pemerintah, Kejaksaan Agung harus mengambil langkah strtegis. Demikian juga keberadaan Komnas HAM dan pihak lainnya untuk sama-sama
mencari solusi penyelesaiann kasus ini. Tanpa itu semua, sepertinya kita masih harus menunngu bagaimana akhir dari tragedy Trisakti. Namun ada beberapa cara lagi yang menurut saya bisa dilakukan untuk mengatasi kasus pelanggaran HAM pada kasus Trisakti ini. Pertama, pemerintah melalui Komnas HAM, harus menyelidiki dengan seksama apa yang terjadi saat itu, siapa yang menembaki mahasiswa itu dan mengapa mereka harus ditembaki. Komnas HAM harus segera menuntaskannya agar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap pemerintahnya tidak hilang akibat janji-janji kosong mengenai tindakan lanjut dari tragedi di Trisakti. Kedua, tidak hanya Komnas HAM, pemerintah pun harus mendukung penyelesaian kasus ini, yaitu dengan mendukung Komnas HAM dalam investigasi dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam investigasi. Parapejabat tinggi militer pun harus mendisiplinkan mereka yang saat itu bertugas “menjaga ketertiban massa”, karena ternyata mereka membunuh empat mahasiswa dengan peluru bermesiu, bukan peluru karet. Dan suatu hal yang tidak biasa menertibkan massa dengan peluru karet. Saat penyelidikan usai, giliran lembaga yudikatif kita untuk mengadili dengan adil tiap mereka yang bertanggung jawab akan aksi kekerasan dan penembakan yang terjadi. Jangan sampai keputusan yang diambil tidak sebanding denagn perbuatan mereka. Bila ternyata Komnas HAM dan pemerintah ternyata tidak sanggup melakukan penegakan HAM di Indonesia, masyarakat kita harus meminta lembaga yang lebih tinggi lagi, yaitu PBB, untuk mengambil alih kasus ini sebelum kasus ini kadaluarsa dan ditutup sehingga mengecewakan masyarakat Indonesia. Yang terakhir yang dapat saya uraikan agar menjadi suatu cara untuk mengatasi terulangnya kejadian ini adalah pembenahan akan jiwa pemerintah agar menghargai hakhak asasi dari warga Indonesia, melalui mengusahakn secara maksimal agar hak mereka untuk hidup dijunjung tinggi, begitu pula hak asasi lain seperti hak mereka untuk memperoleh penghidupan yang layak, perekonomian yang baik, kebebasab individu diakui sesuai nilai Pancasila yangberkembang dalam masyarakat. Maka pemerintah Indonesia harus memperbaiki hidup bangsa ini.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundangundangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
B. SARAN Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita
KELOMPOK : 2 B. 1.
Kasus Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM pada Tenaga Kerja Indonesia
Telah terjadi banyaknya penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan terhadap para tenaga kerja Indonesia, tetapi pemerintah sepertinya menganggap kecil masalah ini padahal jasa seorang TKI sangatlah penting bagi negara Indonesia. Tenaga kerja Indonesia adalah ornag yang rela berkerja diluar negri untuk memenuhi kebutah keluarganya selain memenuhi kebutuhan keluarganya Negara juga mendapati devisa atas jasa yang diberikan mereka dinegri yang membutuhkan tenaga kerja untuk membantu negara negara yang kekurangan tenaga kerja seperti malaysia, singapura dan beberapa negara lainnya. Tetapi para tenaga kerja Indonesia tidak sedikit yang menerima perlakuan yang tidak baik malah yang sangat merugikan bagi mereka, tidak sedikit pemerkosaan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan yang dialami oleh para tenaga kerja Indonesia, tetapi pemerintah sepertinya hanya memandang sebelah mata terhada para pahlawan devisa bagi Indonesia ini. Sehingga para tenga kerja Indonesia bisa sampai mengalami perlakuan perlakuan yang sangat merugikan mereka. Sudah banyak para tenaga kerja Indonesia yang pulang ke Indonesia yang mengalami kecacatan fisik karena penganiayaan majikannya diluar sana, tetapi pemerintah tidak memberi perhatiannya sama sekali, pemerintah hanya memberi perhatiannya terhadap tenaga kerja Indonesia yang mengalami perlakuan yang tidak semestinya yang sudah terpublikasi oleh media, baru pemerintah terlihat sangat perhatian. Padahal jika sudah tidak ada lagi yang ingin menjadi tenaga kerja Indonesia untuk luar negri maka bisa sangat mempengaruhi pendapatan pendapatan negara, bisa hancur ekonomi negara ini jika sudah banyak yang takut menjadi tanaga kerja Indonesia bagi luar negri. Dimanakah implementasi pemerintah terhadap pancasila yang salah satunya berbuahnya “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” apakah para tenaga kerja Indonesia tidak termasuk warga Indonesia? Atau pemerintah hanya memandang sebelah mata pda para TKI. Seharusnya hakekat HAM yang
sebenarnya HAM lahir sejak manusia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subjek hukum. Akan tetapi HAM baru mendapat perhatian penyelidikan ilmu pengetahuan, sejak HAM mulai berkembang dan mulai diperjuangkan terhadap serangan atau bahaya, yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh bentukan masyarakat yang dinamakan negara (state). Dalam negara modern, HAM diatur dan dilindungi dalam hukum positif. Kenapa HAM perlu dilindungi? Kuntjoro mengemukakan dalam bukunya, Kekuasaan negara itu seolah-olah oleh manusia pribadi (individu) lambat-laun dirasakan sebagai suatu lawanan, karena di mana kekuasaan Negara itu berkembang, terpaksalah ia memasuki lingkungan hak asasi manusia pribadi dan berkuranglah pula luas batas hak-hak yang dimiliki individu itu. Dan disini timbullah persengketaan pokok antara dua kekuasaan itu secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berujud dalam hak- hak dasar beserta kebebasan-kebebasan azasi yang selama itu dimilikinya dengan leluasa, dan kekuasaan yang melekat pada organisasai baru dalam bentuk masyarakat yang merupakan Negara tadi.” . Oleh karena itu seharusnya para TKI juga memiliki hak asasi manusia yang sama sebagaimana yang lainnya, dan harus diperlakukan sebagai manusia seperti biasanya Karena para TKI juga manusia merdeka yang dapat menkmati hak asasi manusia, karena para TKI bukan hamba sahaya atau budak. 2.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM yang Dialami oleh TKI
TKI dipancung di Arab Saudi Seorang TKI bernama Ruyati binti Satubi (54) meregang nyawa di tangan algojo pemerintah Arab Saudi. Ruyati dijatuhi hukuman pancung setelah ia divonis bersalah membunuh Khairiya Hamid binti Mijlid majikannya. Ironisnya, hukuman pancung itu dilakukan hanya empat hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato tentang perlindungan pemerintah terhadap TKI di luar negeri, di sidang ILO ( International Labour Organization) ke-100, 14 Juni lalu. Dalam pidatonya SBY bertutur tentang perlindungan TKI yang bekerja sebagaipembantu rumah tangga (PRT). Kasus pembunuhan yang akhirnya menjerat Ruyati sebagai tervonis itu dimulai pada 10 Januari 2010. Ruyati, dituduh membunuh majikannya dengan menggunakan sebilah pisau dapur. Persidangan perdana kasus pembunuhan tersebut digelar pada Mei 2010. Selanjutnya, sidang pembacaan vonis digelar pada Mei 2011. Hakim
pengadilan setempat menjatuhkan hukuman qisas kepada Ruyati sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Ruyati dijatuhi vonis hukuman mati karena dia telah membunuh. Sebenarnya, Ruyatibisa mendapatkan pengampunan. Syaratnya, ia memperoleh ampunan dari keluarga yang telah dibunuh. Sayang, hingga pembacaan vonis, pihak keluarga belum maumemafkan Ruyati. Ruyati sebelumnya pernah bekerja diArabSaudi sebanyak dua kali. Pada September 2008 lalu, dia berangkatlagikeArabSaudi
menggunakan
jasa
Perusahaan
PengerahTenaga
KerjaIndonesia Swasta (PPTKIS) PT Dana Graha Utama Sejatinya, pada waktu itu secara syarat istrasi Ruyatisudah tidak bisa bekerja sebagai TKI. Tapi, oleh pihak PPTKIS, keterangan umur dalam paspor Ruyati dimudakan sembilan tahun. Sejatinya ia lahir pada 7 Juli 1957 kemudian dirubah menjadi 12 Juli1968. Dalam laporannya ke Migrant Care, Een Nuraeni, anak sulung Ruyati, mengatakan jika pada awal-awal bekerja ibunya tidak pernah mengeluh.Gaji sering dikirim setelah dirapel beberapa bulan.Tapi akhirnya muncul keluhan jika pembayaran gaji kerap telat hingga tujuh bulan. “Kalaupun mau bayar gaji, harus direbut dulu,” kata perempuan 36 tahun itu. Selain itu, Een juga mengatakan ibunya kerap dipukulimajikannya. Sejak penghujung Desember 2009, komunikasi Ruyati dengan keluarga di Bekasi terputus. Kabar Ruyatitersangkut pidana pembunuhan dan terancam hukuman pancung sampai juga ke keluarga. Pihak keluarga diwakili Een melapor ke pemirintah. Mulai dari Kementerian Luar Negeri hingga Kementerian Tenaga Kerja danTransmigrasi. Dia juga melapor kasus ini ke Migrant Care.Een mengatakan mendapatkan kabar kematian ibunya akibat divonispancung. “Kabar itu resmi, diberitahukan Kementerian Luar Negeri,” tandasnya. C.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pelanggaran HAM
terhadap TKI Penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi di Daerah, yaitu sebagai berikut : Salah satu faktor penyebab kompleksitas permasalahan yang terus silih berganti menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah penipuan, tindak kekerasan, over worked, pelecehan seksual/pemerkosaan dan sebagainya. Salah satu penyebabnya adalah Kebijakan Pemerintah yang mengizinkan calon majikan merekrut langsung TKI di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor penyebab lainnya adalah :
1. Kurangnya menghormati hak asasi orang lain, moral, etika, dan tata tertibkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Sumber Daya Manusia yang masih rendah. 3. Interprestasi dan penerapan yang salah dari norma – norma agama danperintah (intruksi) 4. Good Governence masih bersifat retorika. 5. Corporete Governence masih bersifat retorika.
D.
Alasan Banyak Orang yang Menjadi TKI Termasuk Menjadi TKI Ilegal
Dasar hukum keberadaan TKI di luar negeri adalah pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Dalam ayat (1) ditegaskan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahannya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau kenegara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Jadi secara legal formal (hukum) keberadaan TKI di luar negeri sahadanya. Artinya hal tersebut diketahui dan diterima oleh kedua belah pihak baik si pemasok tenaga kerja maupun si pengguna tenaga kerja tersebut. Adapun kemudian terjadi berbagai kasus yang menimpa TKI, misalnya adaTKI melarikan diri dari tempat kerja, majikan menyiksa TKI, bahkanmemperkosanya atau sebaliknya TKI membunuh majikan, istri majikan atau anak majikan. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi manakala kedua belah pihak saling mematuhi perjanjian yang mereka buat dan sepakati bersama. Secara substansial ada 3 (tiga) faktor yang mendorong seseorangmenjadi TKI yaitu: (1) motivasi, (2) berpola pikir prakmatisme, dan (3)ketatnya persaingan mencari lowongan kerja. 1.
Motivasi
Salah satu alasan utama mengapa seseorang terobsesi menjadi TKI adalah ingin merubah nasib yaitu dari serba kekurangan menjadi berkecukupan, baik papan, sandang dan pangan. Namun sayang apa yang mereka impikan tersebut belum 100% terealisasi karena banyaknya prosedur dan aturan yang harus mereka tempuh. Ironisnya hal tersebuttidak menjadikan mereka putus asa, justru sebaliknya
mereka semakin giat dan yakin bahwa mereka akan berhasil. Semangat hidup yang menyala-nyala itu sedikit banyak terinspirasi oleh Firman Tuhan dalam Al Qur’an yang artinya “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaansuatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”(QS 13:11). Namun sayang mereka (TKI) terutama yang ilegal pada umumnya miskin pengetahuan dan keterampilan sehingga seringmenjadi masalah di kemudian hari. 2.
Pola pikir pragmatis
Dalam bukunya yang berjudul Pragmatisme (1907) William James mengetengahkan bahwa inti ajaran prakmatisme adalah sesuatu itu baru dianggap bernilai bila ia bermanfaat. Asal bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, apa saja bisa dilakukan termasuk menipu, menyuap, memanipulasi dan sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian besar calon TKI beserta beberapa instansi yang melindungi mereka. Juga tidak ketinggalan para calonya. Mereka (para TKI) tidak segan-segan utang sana – utang sini, jual ini – jual itu, bila perlu tipu sana – tipu sini termasuk memanipulasi identitas diri dalam hal ini soal umur sebagaimana yang dilakukan Ruyati dan para TKI lainnya. Mereka yakin dengan bekerja sebagai TKI hidup mereka akan bermanfaat tanpaberpikir cara yang mereka tempuh yang penting sukses titik. 3.
Persaingan yang ketat
Sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan informasi, individu harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Segalanya serba cepat dan tepat termasuk dalam mencari lowongan kerja. Tidak cukup mengandalkan ijazah SMA, SMK atau PT (Perguruan Tinggi) tetapi mereka (pencari kerja) harus memiliki ketrampilan tertentu yang bernilai tambah. Jika tidak, mereka akan terlibas begitu saja oleh pesaing lain.Selanjutnya mereka akan jadi pengangguran abadi. Yang lebih menyedihkan lagi jumlah perusahaan di sektor industri saat ini semakin kecil. Sebagaimana harian Kompas tulis dalam tajuk rencananya berjudul “Bahaya Deindustrialisasi” (Kompas, 21 Mei 2011). Dengan mengecilnya jumlah perusahaan di sektor industri otomatis akan memperbesar jumlah orang miskin dan pengangguran. Bila hal ini terus dibiarkan, maka berpotensi mendorong orang ingin bekerja ke luar negerisebagai buruh migran alias TKI, meskipun dengan bekal pengetahuan sekedarnya. Akibatnya mereka
kebanyakan hanya bisa bekerja di ranah domestik, yaitu menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Adapun upaya pencegahan yang telah dilakukan antara lain : a. Bekerja sama dengan stake holder (PJTKI/APJATI Jatim, LSM, Kepolisian, Dinas Infokom Jatim, Pemerintah Kab/Kota) untuk mengoptimalkan kegiatan sosialisasi kepada seluruh masyarakat JawaTimur, tentang prosedur resmi bekerja keluar negeri. b. Secara khusus pada tahun 2008 Disnakertransduk Prov. Jatim, APJATI Jatim dan Polda Jatim telah sepakat membuat dan menindak lanjuti MOU tentang penertiban penempatan TKI ke luar negeri, termasuk memberantas calo TKI dan traffiking. c. Melalui UPTP3TKI Disnakertransduk Prov. Jatim secara khusus,secara kontinyu setiap tahun melaksanakan sosialisasi penempatanTKI ke luar negeri ke Kabupaten/Kota se Jawa Timur, bahkan sampaike tingkat kecamatan, yang dihadiri oleh pencaker dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama di kantor-kantor TKI ilegal. d. Untuk program ke depan Disnakertransduk Jatim merencanakan kegiatan pembentukan wira usaha baru, yang merupakan alternatif perluasan kesempatan kerja bagi TKI yang telah dideportasi.Untuk penanganan TKI ilegal memang membutuhkan
keseriusan
dan
keterpaduan
antara
stake
holder
yang
berkepentingan baik dipemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota disamping itu perlu ada kebijakan yang lebih menyeluruh dan terpadu dalam Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI terutama dalam prosedur penempatan secara legal. E.
Pihak yang Bertanggung Jawab dalam Penyelesaian MasalahPelanggaran
HAM terhadap TKI 1.
Pemerintah
Berikut ini adalah kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah menurutUU No. 39 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah Wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undangundang ini, peraturan peundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara RI.
2. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain. 3. Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasimanusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertibanumum dan kepentingan bangsa. 4. Tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia ataukebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.
2. Masyarakat a. Memperluas pengetahuan dan mengasah ketrampilan dengan sebaik-sebaiknya untuk bisa mendorong kemajuan industri di daerahnya masing-masing. b. Mengantisipasi adanya anggota keluarga yang menjadi TKI. F.
Penanggulangan Pelanggaran HAM terhadap TKI
Berikut ini adalah cara penanggulangan pelanggaran HAM terhadapTKI, yaitu sebagai berikut : 1. Membawa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia ke pengadila hak asasi manusia dengan tetap menerapkan asas praduga tak bersalah. 2. Membangun budaya hak asasi manusia. 3. Berdayakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia yang ada dan membentuk lembaga-lembaga khusus yang mengenai masalah masalah khusus. 4. Mempergiat sosialisasi hak asasi manusia kepada semua kelompok dantingkat dalam masyarakat dengan mengikut sertakan LSM dalamkemitraan dengan pemerintah. 5. Mencabut dan merivisi semua undang-undang peraturan yangbertentangan dengan hak asasi manusia. 6. Memberdayakan aparat pengawas. 7. Mengembangkan managemen konflik oleh lembaga-lembaga perlindungan hak asasi manusia. 8. Memprioritaskan penyusunan prosedur pengaduan dan penanganankasuskasus pelanggaran hak asasi manusia.
9. Membentuk lembaga-lembaga yang membantu korban pelanggaran hak asasi manusia dalam mengurus kompensasi dan rehabilitasi. 10. Mengembangkan lembaga-lembaga dan program-program yang melindungi korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia. 11. Kerjasama dalam hal pembangunan antara Pemerintah daerah dan wargamasyarakat Daerah perlu ditingkatkan. Sehingga bisa memberikanlapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. 12. Pemerintah harus bisa bekerjasama dengan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. 13. Pelanggaran hak asasi manusia terhadap TKI seharusnya ditanggapidengan cepat dan tanggap oleh pemerintah dan disertai peran serta masyarakat.
BAB III PENUTUP A.
Simpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir yang berisi tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku, golongan, keturunanan, jabatan dan lain sebagainya antarasetiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Telah terjadi banyaknya penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan terhadap para tenaga kerja Indonesia, tetapi pemeintah sepertinya menganggap kecil masalah ini padahal jasa seorang TKI sangatlah penting bagi negara Indonesia.Tenaga kerja Indonesia adalah ornag yang rela bekerja diluar negri untuk memenuhi kebutah keluarganya selain memenuhi kebutuhan keluarganya. Negara juga mendapati devisa atas jasa yang diberikan mereka dinegri yang membutuhkan tenaga kerja untuk membantu negara negara yang kekurangan tenaga kerja seperti malaysia, singapura dan beberapa negara lainnya. Tetapi pemerintah tidak bisa melindungi para TKI dengan seksama, sehingga banyak TKI yang terlantar, mati, tidak bisa pulang, dsb. Penyebab
utama
dari
pelanggaran
Hak
adalahInterprestasi
dan
penerapan
yang
Asasi salah
Tenaga
Kerja
Indonesia
dari
perintah
(intruksi)
sertakurangnya menghormati hak asasi orang lain, moral, etika dan tata terbitberkehidupan yang berlaku. UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia di Indonesia didasarkan pada falsafah dan ideology pancasila, pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM terhadap TKI adalah Pemerintah yang kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 dan peran aktif masyarakat untuk berkerja sama dalam mencegah dan mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tenaga Kerja Indonesia. B.
Saran
Pelanggaran HAM pada para TKI Indonesia telah terjadi berulang kali, seharusnya ini menjadi pelajaran bagi kita semua supaya lebih berhati-hati.Dengan itu kita sebaagai sesama manusia harus mempunyai rasa kemanusiaan terhadap sesama manusia misalnya kita sebagai lembaga penyalur TKI tidak boleh hanya mencari keuntungan semata tanpa melihat keahlian dari para TKI dan TKW itu sendiri, lembaga penyalur TKI tidak boleh mengirim TKI yang belum teruji benar kemampuanya karena ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penyiksaan serta pembunuhan karena majikan di Negara tersebut merasa emosi apabila TKI tersebut tidak becus dalam bekerja.Terutama dalam penerjemahan bahasa merupakan alat komunikasi terpenting antara majikan dan TKI tersebut. Apabila bahasa saja belum dikuasai bagaimana terjadi hubungan yang baik antara majikan dan TKI. Ini menjadi salah satu pemicu peningkatan kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap TKI dari Negara kita. Dan perlu ada penindakan yang tegas dari presiden dan pemerintah agar kasus ini tidak terus bertambah jumlahnya. Presiden dan pemerintah harus bias menjamin kehidupan para TKI dan TKW karena ini menyangkut nyawa seseorang. Selain itu pemerintah harus memfasilitasi para TKI yang akan berangkat keluar mulai dari pengawasan dan perlindungan terhadap TKI maupun fasilitas untuk berkomunikasi dengan sanak keluarga mereka di Indonesia sehingga dapat mencegah kasus penganiayaan dan pembunuhan yang
terjadi di luar negeri. Serta adanya pengawasan pemerintah dalam pengrekutan TKI yang akan ke luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia /
2.
http://undang-undang-ri.blogspot.com/
3.
http://zuhdiachmad.blogspot.com/2010/05/pelaksanaan-ham-di-indonesia/
4.
www.idoub.com/doc/46256642/Bentuk-bentuk-Pelanggaran-Ham Terhadap-
Tki
KELOMPOK : 3 Identifikasi Masalah Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis akan memberikan beberapa permasalahan dalam pembahasan makalah ini, yaitu : 1. Bagaimanakah kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur? 2. Bagaimana penerapan hukumnya? 3. Apakah alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres? BAB II PEMBAHASAN A. Kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis
meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Integrasi Timor Timur 1976 Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis. Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang. Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang
keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
Insiden Santa Cruz 1992 Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya
akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992. Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini. Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa istrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin. Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992. Tayangan
tersebut
kemudian
disiarkan
ke
seluruh
dunia,
hingga
sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II. Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran
yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Jajak Pendapat 1999 Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur. Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975. Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua
pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataanpernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998. Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur prointegrasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga
perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia. Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi. B. Penerapan Hukum Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan Pejuang Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga menjadi negara yang merdeka. Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang efektif.
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM swakarsa, yang isinya: - Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan ; - Bunuh para Pemimpin CNRT ; - Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh ; - Bunuh Manuel Viegas Carrascalao ; - Keluarga Carrascalao harus dibunuh ; - Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao ; - Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ; Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa. Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yaitu : 1. Raul Dos Santos Cancela ; 2. Alfonso Ribeiro ; 3. Mario Manuel Carrascalao (Minelito) ; 4. Rafael da Silva ; 5. Alberto Dos Santos ; 6. Joao Dos Santos ; 7. Antonio Do Soares ;
8. Crisanto Dos Santos ; 9. Cesar Dos Santos ; 10. Agustino B.X. Lay ; 11. Eduardo De Jesus ; 12. Januario Pereira ; Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. C. Alasan penangkapan tersangka Eurico Gutteres Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu, Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya melambung. Ia dieluelukan sebagai pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan Mabes Polri, karena dituduh melanggar pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk melawan petugas. Eurico ditangkap Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat. Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan polisi yang dibuat Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga pengungsi TimTim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian. Ini yang menjadi dasar pemeriksaan dan penahanan Guterres," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf seperti dikutip Kompas. Sebenarnya, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, dalam perjalanan lawatannya ke sejumlah negara, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika melanggar undang-undang, Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang seperti Eurico Guterres, kalau memang dia diketahui melanggar undang-undang harus ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di
atas. Sebelumnya, Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira de Mello, juga pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres dan komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan merupakan salah satu kendala penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di Atambua. Alasan penangkapan karena adanya bukti permulaan yang cukup, menyusul diterimanya laporan polisi LP.603/IX/2000/Res Belu, 25 September 2000 serta SPDP dari Kapolres Belu kepada Kejari Atambua 29 September 2000. Selain itu adanya keterangan saksi yang menerangkan keterlibatan pemohon dalam peristiwa perampasan senjata api di Mapolres
Belu.
Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan berdasarkan adanya kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Penangkapan terhadap pemohon, kata Suyitno, dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan nomor Pol SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000 yang terlebih dahulu telah diperlihatkan dan ditunjukkan kepada pemohon saat penangkapan.
BAB III PENUTUP
1)
A. Kesimpulan Pelanggaran Ham berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok Pasukan Pejuang Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas Carascalao di Kota Dili. Dalam kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 (dua belas) orang dan rumah Viegas
2)
Carascalao mengalami kerusakan . Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
3) Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian. B. Saran 1) Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan suatu hak apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju harus diselesaikan secara musyawarah. 2) Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. 3) Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak pidana baru.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia Abdullah, Rozali HM. Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia. 2004. Bogor : PT. Ghalia Indonesia. Contoh – contoh kasus pelanggaran HAM Di Indonesia, meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundangan – undangan mengenai HAM, namun pelanggaran HAM tetap selalu ada baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun olej masyarkat sendiri. Berikut ini beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia : Kasus Trisakti dan Semanggi Kasus pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi ini erat berkaitan dengan gerakan reformasi pada 1998 lalu. Dipicu oleh krisis ekonomi pada tahun 1997 dan tindakan KKN pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, maka terjadilah gerakan reformasi besar-besaran yang dipelopori oleh mahasiswa. Para mahasiswa pun melakukan demo yang berujung pada bentrok fisik dengan aparat. Hal inilah yang akhirnya menyebabakan tewasnya 4 mahasiswa dari Universitas Trisakti akibat tembakan peluru aparat. Sedangkan tragedi Semanggi terjadi 6 bulan kemudian pada 13 November 1998 yang menewaskan 5 mahasiswa. Dua peristiwa ini memicu kerusuhan di seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan dan kekerasan pun terjadi di mana-mana dan menewaskan ribuan warga. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 ini pun dicatat sebagai salah satu tahun kelam sejarah bangsa Indonesia. Kasus Marsinah Kasus pelanggaran HAM Marsinah terjadi pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.S. Marsinah
dan 12 buruh lain menuntut kepada perusahaan untuk mencabut status PHK pada mereka. Namun berselang 5 hari kemudian, Marsinah ditemukan tewas di hutan Wilangan, kota Nganjuk dalam keadaan yang mengenaskan. Kasus Bom Bali Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di mana terjadi peledakan bom oleh kelompok teroris di daerah Legian Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang meninggal dunia, baik dari warga lokal maupun turis asing mancanegara yang sedang berlibur. Akibat peristiwa ini, terjadi kepanikan di seluruh Indonesia akan bahaya teroris yang terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Kasus Pembunuhan Munir Kasus pembunuhan Munir merupakan salah satu pelanggaran HAM di Indonesia yang kasusnya belum terselesaikan hingga akhirnya ditutup. Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah seorang aktivis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Ia meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju kota Amsterdam di Belanda. Banyak yang menganggap bahwa Munir meninggal karena dibunuh atau diracuni oleh suatu kelompok tertentu. Sayangnya hingga kini kasus kematian Munir ini belum jelas dan kasusnya sendiri akhirnya ditutup. Peristiwa Tanjung Priok Kasus pelanggaran HAM di Indonesia lain pernah terjadi di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kasus ini murni pelanggaran HAM. Bermula ketika warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta Utara melakukan demonstrasi beserta kerusuhan karena adanya upaya pemindahan makam keramat Mbah Priok untuk kepentingan lain. Hal ini lalu mengakibatkan bentrok antara warga dengan kepolisian dan anggota TNI yang mengakibatkan sebagian warga tewas dan luka-luka. Sumber Artikel at: http://www.segitigabermuda.com/2015/06/contoh-makalah-kasuspelanggaran-ham.html
KELOMPOK : 4
Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo 29 March 2013 Bosman Batubara Harian Indoprogress Print PDF PADA bulan Agustus tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan pemungutan suara di kalangan
komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang (Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin Daming) sepakat menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan HAM berat, sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan dan Ahmad Baso) menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, 2012). Tulisan ini, akan melihat argumentasi di balik putusan tersebut. Komnas HAM, melalui salah satu komisionernya yang terlibat dalam pemungutan suara yang disampaikan di atas, M. Ridha Saleh, menyatakan bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini termasuk ke dalam kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran HAM berat karena menurut Undang-undang Nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000) hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida. Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini. Tetapi Komnas HAM sepakat bahwa kasus ini bukan bencana alam. Dan sebagai rekomendasi, Komnas HAM memasukkan klausul ekosida dalam draft amandemen UU 26/2000. Komnas HAM juga mengaku kesulitan memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam pelanggaran HAM berat karena yurisprudensi pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara, bukan korporasi (Desiyani, 2012). Apa itu ‘pelanggaran HAM berat?’ Pasal 7 UU 26/2000 menjelaskan bahwa ada dua macam pelanggaran HAM berat yaitu a)kejahatan genosida; dan b)kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, yang paling relevan didiskusikan adalah ‘kejahatan terhadap kemanusiaan.’ Selanjutnya Pasal 9 UU 26/2000 menyebutkan, ‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional; f) penyiksaan; g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; dan i)penghilangan orang secara paksa; atau j) kejahatan apartheid.’ Ada dua hal yang paling relevan dieksplorasi lebih lanjut sehubungan dengan kasus Lumpur Lapindo. Pertama adalah kriteria ‘perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Poin ini bisa dipecah menjadi bagian ‘meluas atau sistematik’ dan ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Kedua adalah permasalahan yang berhubungan dengan poin ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Mari kita lihat satu-per satu. Tidak dijelaskan apa pengertian ‘meluas atau sistematik’ dalam bagian ‘penjelasan’ UU 26/2000. Karena itu, untuk tahap pertama akan diambil kategori ‘meluas’ dengan pengertian ‘bertambah luas.’
Kategori ‘meluas’ jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini dapat kita lihat dari 4 Perpres yang berhubungan dengan kasus ini. Pertama adalah Perpres 14/2007 yang memasukkan daerah Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo ke dalam peta area terdampak. Kedua, Perpres 48/2008 yang menambahkan Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring ke dalam area terdampak. Ketiga, Perpres 40/2009 yang menambahkan RT 1, RT 2, RT 3, d a n RT 12 Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo dan RT 10, RT 13, dan RT 15 RW 2 Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012 yang menambahkan beberapa RT dan hamparan sawah di Desa Besuki, Kelurahan Mindi, Desa Pamotan, Kelurahan Gedang, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan Desa Wunut ke dalam area terdampak. Kriteria kedua adalah ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut pada bagian ‘Penjelasan’ terhadap Pasal 9 UU 26/2000 yang menyatakan bahwa ‘Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.’ Dalam hal ini kasus Lumpur Lapindo adalah jelas ‘kebijakan penguasa’ berupa pemberian izin terhadap pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc. (LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa penyebab terjadinya bencana Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini. Seperti yang sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2011; Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012; dan Batubara, akan segera terbit) bahwa secara umum ada dua kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab terjadinya Lumpur Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini. Pertama, saya mengacu ke Manga (2007) yang berdasarkan data gempa bumi menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah Porong. Kedua saya mengacu ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini belum pernah terbantahkan. Secara logika, melalui studi yang sangat bagus terhadap kasus-kasus pengadilan bencana industri di seluruh dunia, Wibisana (2011) menunjukkan bahwa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang menerima argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa bumi Yogyakarta, mengandung cacat. Dengan demikian, sekarang kita akan melihat proses pengeboran sumur BJP-1. Dalam sejarahnya, kehadiran sumur ini sudah bermasalah. Masalah terletak pada dua hal. Pertama, masalah letak. Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (Subagyo, 2010). Masalah kedua terletak
pada informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran, tetapi untuk kandang ayam (Batubara dan Utomo, 2010). Tahapan berikutnya adalah apakah kebijakan pemberian izin (oleh penguasa) ini masuk dalam kategori ‘suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil?’ Jelas jawabannya adalah ya. Karena korban yang timbul dalam kasus Lumpur Lapindo terutama adalah masyarakat beberapa desa seperti terdapat dalam empat Perpres di atas. Berdasarkan Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada bulan Februari tahun 2008, tercatat jumlah korban di area terdampak (waktu itu) adalah sebanyak 37.850 jiwa. Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender, relasi intergenerasi (Fauzan dan Batubara, 2010) bahkan memori mereka (Batubara, 2009c). Hal terakhir memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Argumen tentang yurisprudensi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara juga terasa tidak tepat. Karena yurisprudensi dijadikan sebagai salah sumber hukum apabila suatu peristiwa hukum belum jelas penanganannya dalam undang-undang. Dalam kasus Lumpur Lapindo, berdasarkan analisis di atas, UU 26/2000 sudah cukup untuk menanganinya tanpa perlu menuggu ‘ekosida’ diatur dalam UU 26/2000 (yang mungkin akan diamandemen). Argumentasi tulisan ini menyangkut yurisprudensi pelanggaran HAM berat semakin kuat karena dalam kasus Indonesia dewasa ini, pasca Orde Baru, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kekuasaan di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, negara sangat kuat sehingga sangat wajar pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara. Pada era ekonomi neoliberal pasca Orde Baru, korporasilah yang menguat (Batubara, 2009; Saleh 2012). Pada tahun 2009-2011 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik antara petani dan investor. Sementara Komnas HAM sendiri menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 10.139 kasus pada rentang dua tahun terhitung surut dari bulan Juni 2012, dimana 1.557 kasus diantaranya adalah konflik agraria dan sumber daya alam (Kompas, 2012). Meskipun tidak jelas berapa komposisi konflik yang melibatkan perusahaan dalam pengaduan yang masuk ke Komnas HAM pada kisaran dua tahun di atas, akan tetapi sangat beralasan memprediksi bahwa presentasi konflik yang melibatkan korporasi pasti sangat besar. Dan, meskipun bukan sebuah perbandingan yang proporsional, tetapi untuk mendapatkan gambaran konteks Orde Baru, kita bisa melihat data kasus tanah yang ditangani Komnas HAM pada tahun 1994 dengan jumlah 101 kasus dan 168 kasus pada tahun 1995 (Lopa, 1996). Berdasarkan analisis seperti yang disampaikan di atas, maka bagi saya sangat layak kalau dinyatakan bahwa kasus Lumpur Lapindo adalah pelanggaran HAM berat. Saya sangat ingin membaca laporan/diskusi/dokumen lengkap dari investigasi/rapat/sidang Komnas HAM ketika para komisioner memutuskan kasus Lumpur Lapindo sebagai ‘bukan pelanggaran HAM berat’ pada pertengahan tahun 2012 yang lalu. Sayang sekali, sampai sekarang saya tidak/belum bisa memperolehnya.***
Bosman Batubara, MA dari Interuniversity Programme in Water Reosurces Engineering, K.U. Leuven dan V.U. Brussel, Belgia Kepustakaan: Batubara, B. dan Utomo, P. W., 2010. “Praktik Bisnis di Banjir Lumpur,” dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Lafadl Initiative, Yayasan Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok. Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta. Batubara, B., (akan terbit). “Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Lapindo,” dalam A. Novenanto, (akan terbit). Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (Sebuah Bunga Rampai). Batubara, B., 2009. Jawaban bagi Tantangan. Jurnal Disastrum 1(1), 5-11 Batubara, B., 2009a. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Disastrum, 1(1), 13-25. Batubara, B., 2009b. Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong. Jurnal Srinthil Edisi 20, Perempuan di Atas Lumpur, 48-63. Batubara, B., 2009c. Resistance Through Memory. Inside Indonesia Magazine, (101) Jul-Sep 2010. Artikel ini dapat diakses di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/resistancethrough-memory; terakhir diakses pada tanggal 22 Februari 2013. Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) JulSep 2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindotitanic; terakhir dibuka 23 Februari 2013.
BPLS, 2008. Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak Wilayah Kerja Penanggulangan Lumpur Sidaorjo. Desiyani, A., 2012. Komnas HAM: Lumpur Lapindo Memusnahkan Lingkungan. tempo.co, 15 Agustus 2012, 22.49 WIB. Dapat diakses di http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/173423593/Komnas-HAM–Lumpur-LapindoMusnahkan-Lingkungan; diakses pada tanggal 21 Februari 2013. Fauzan, A.U. dan Batubara, B., 2010. Displacement and Changing Gender and Intergenerational Relations: Experience of Hot Mudflow Affected Family in East Java, Indonesia. Artikel dipresentasikan pada: 1)International Conference on Migration, Gender and Human Security in an Era of Global Structural Change and Crisis, Institute of Social Studies (ISS), The Hague, Netherland; dan 2)International Conference on Economic Stress, Human Capital, and Families in Asia: Research and Policy Challenges, 3-4 Juni 2010 di National University of Singapore. Laporan tentang konferensi ini dapat diakses di: http://www.ari.nus.edu.sg/docs/s/Reports-and-Proceedings/EconomicReport.pdf; diakses terakhir pada 22 Februari 2013.
Kompas, 2012. Memaknai Pembangunan: Dirampok Keserakahan dan Kerakusan. Kompas, 12 Juni 2012, halaman 6. Lopa, B., 1996. Dilema Masalah Tanah. Kompas, 21 Agustus 1996, halaman 4. Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano? EOS Vol 88, No. 18, p. 201. Doi: 10.1029/2007EO180009. Nugroho, A.S., 2012. Komnas HAM Putuskan Lumpur Lapindo Bukan Pelanggaran HAM Berat. Jurnas.com, 09 Agustus 2012 17:27 WIB. Dapat diakses di: http://www.jurnas.com/news/68499/Komnas_HAM_Putuskan_Lumpur_Lapindo_Bukan_Pel anggaran_HAM_Berat/1/Nasional/Hukum. Diakses terakhir kali pada tanggal 21 Februari 2013. Perpres 14/2007 Perpres 37/2012 Perpres 40/2009 Perpres 48/2008 Saleh, R.M., 2012. Memberantas Impunitas Korporasi. Kompas, 6 januari 2012, halaman 6. Subagyo, 2010. Lumpur Lapindo dan Hukum Usang. Kompas, 31 Mei 2010, halaman 6. Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. Drilling Initiation. Geology, 36, p. 639-642. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Wibisana, A.,G., 2011. Tangan Tuhan di pengadilan: Dalih Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No. 1 Januari-Maret, halaman 102-52.
KELOMPOK : 5
MARSINAH
A. Latar Belakang Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. S) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya,
karyawan PT. S memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (S) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat. Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan S bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. S) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. S memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
BAB II PEMBAHASAN A. Biodata Marsinah
Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (S)
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773. B. Kronologi Kejadian Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekanrekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari S. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. C. Proses penyelidikan Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan
Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT S ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT S dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT S, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol S) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam S) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa". D. Analisis Kasus Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenangwenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat. Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa
setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional. Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM. Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar hukum secara eksplisit para penuntut pun telah ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya. Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan dan unjuk rasa pun telah mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM golongan hak atas kebebasan pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak melakukan tindakan anarkis. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan; setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud yang damai. Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan kecenderungan pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan hak konstitusional dalam sebuah negara demokratis seperti di Indonesia. Selain atas dasar hukum, perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan upah buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan memang tidak mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh. Keseimbangan beban kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan dalam sebuah sistem perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di Indonesia. Keengganan pihak perusahaan membiarkan aksi pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat tidak mendasar. Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang tidak adil dan tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25 undang-undang tersebut menyatakan; setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berlandaskan aturan hukum positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi untuk melarang aksi unjuk rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa kesepakatan cepat tercapai melalui cara perundingan, baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak. Jika terjadi aksi penuntutan secara berkelompok sebagai cara akhir, maka posisi pihak kontra adalah menyerap aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah pihak.
Jika harus berasumsi dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum dapat dicap oknum yang kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada oknum perusahaan yang memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah Agung (MA) membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang berpotensi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang terbunuh, namun tak satu pun pelaku terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan (polisi atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan alibi bahwa yang menyuruh melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan, sedangkan aparat keamanan hanya sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak perusahaan sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas oknum perusahaan dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi persekongkolan. Namun kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya pengaruh institusi TNI yang mungkin saja terlibat. Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik sebelum ataupun setelah dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting mengingat HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan internasional. Perangkat pengadilan dan aturan hukum perlindungan HAM pun telah memadai, sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu dimaksimalkan.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (S) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat. Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenangwenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.