BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ilmu-ilmu forensik meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan, bahwa dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan, maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting. Kejahatan sebagai masalah yuridis merupakan perbuatan manusia yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (hukum positif). Namun suatu kasus kejahatan tidak sematamata ditangani dari aspek yuridisnya saja, melainkan juga harus ditangani dari aspek teknis dan manusianya, maka ilmu-ilmu forensik sangat membantu guna mengungkapkan suatu kasus kejahatan atau kriminal ( Soeparmono, 2002). Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis yaitu ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik termasuk toksikologi dan ilmu fisika forensik termasuk balistik, daktiloskopi, identifikasi, fotografi dan sebagainya. Sedangkan ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakkan hukum serta keadilan. Dokter yang menjalankan fungsinya membantu pemeriksaan kedokteran forensik baik terhadap korban hidup, korban mati maupun bagian tubuh atau diduga berasal dari tubuh manusia, dituntut oleh undang-undang untuk melakukan dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Apabila dokter lalai memberikan bantuan tersebut, maka ia dapat diancam dengan pidana penjara (Budiyanto, dkk, 1997). Pemeriksaan forensik pada korban meninggal ada dua macam yaitu pemeriksan luar dan dalam atau otopsi. Pemeriksaan luar adalah pemeriksaan bagian luar jenazah yang dilakukan secara cermat atau teliti dan detail, meliputi bagian depan dan belakang dari kepala sampai kaki. Sedangkan pemeriksaan dalam atau otopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya. Di Indonesia otopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua kematian, namun sekali diputuskan oleh penyidik maka tidak ada lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannya, dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya, hal ini sesuai dengan pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP ( Sampurna ; Samsu, 2004). 1
Pada saat kasus korban pembunuhan, penyidik meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan luar dan otopsi, namun banyak dijumpai keluarga menolak untuk dilakukan otopsi. Tentunya hal ini sangat merugikan dalam proses penegakkan hukum, karena alat bukti yang didapatkan menjadi tidak maksimal dalam membuat terang suatu perkara pidana. Sebenarnya secara hukum, jika ada keluarga yang menolak otopsi maka penyidik bisa memaksa untuk tetap dilakukan otopsi. Namun terkadang penyidik belum menerapkan sepenuhnya ketentuan hukum tersebut, sehingga pelaksanaan pemeriksaan jenasah hanya dilakukan pemeriksaan luar. Banyak faktor yang mempengaruhi keluarga atau masyarakat menolak otopsi, namun tentunya kita berharap penolakan otopsi tidak terjadi bila otopsi sangat diperlukan untuk mendukung proses penegakkan hukum. Kita mengetahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan mempengaruhi kejadian penolakan pelaksanaan otopsi, artinya kecenderungannya semakin rendah.
1.2 Tujuan Pembahasan Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut : a. Melengkapi tugas small group discussion skenario satu, modul dua puluh dua tentang autopsi dan undang-undang yang berhubungan dengan forensik. b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis. c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi ujian akhir modul. Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik
2
1.3 Metode dan Teknik Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering digunakan
dalam
pembahasan-pembahasan
makalah
sederhana,
yaitu
dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini. Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Autopsi Bila dokter melakukan pembedahan pada orang hidup, tujuannya adalah melakukan tindakan medik invasif kedalam tubuh pasien untuk pengobatan. Bila ini dilakukan pada orang mati, maka tindakan ini disebut pemeriksaan post-mortem, necropsi, obduksi dan seksi. Dalam istilah indonesia dipakai bedah mayat atau bedah jenazah. Pemeriksaan post mortem (post-sudah, mortem-mati) berarti pemeriksaan yang dilakukan pada orang yang telah mati. Necropsi berasal dari necros (jaringan mati) dan opsi (lihat) jadi berarti pemeriksaan pada jaringan mati. Seksi berasal dari sectio (potong, bedah). Autopsi (autopsy) bila diterjemahkan langsung berarti lihat sendiri (auto-sendiri, opsi-lihat). Sekarang istilah yang terakhir ini yang lebih sering dipakai. Autopsi dimaksud sebagai pemeriksaan luar dan dalam pada mayat untuk kepentingan pendidikan, hukum dan ilmu kesehatan. Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan luar dan dalam untuk kepentingan pendidikan, hukum dan ilmu kesehatan dengan tujuan merumuskan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian(Amir, 2004). Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
2.2 Sejarah Autopsi Pada zaman dahulu, sebelum adanya praktek forensik menimbulkan begitu banyak kerancuan dalam penyelesaian suatu peristiwa kejahatan. Sehingga menyebabkan tidak terungkapnya suatu kasus dan memberikan kemudahan bagi pelaku untuk melarikan diri. 4
Buruknya lagi, manusia-manusia yang hidup di zaman kuno seringkali membuat penyelesaian tidak logis dalam suatu peristiwa, misalnya ada suatu kasus pembunuhan, peradilan terhadap orang yang dianggap pelaku diserahkan pada dewa api dengan cara menyuruh orang tersebut berjalan diatas api, kalau kakinya terbakar orang itu dianggap bersalah. Walaupun begitu pembedahan dan pemisahan organ jenazah telah dilakukan oleh manusia setidaknya 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir Kuno dalam praktek mumifikasi. Pembedahan mayat yang digunakan untuk autopsi sendiri bermula pada sekitar awal millenium ketiga SM, walaupun sebenarnya hal ini berlawanan dengan norma masyarakat saat itu yang menganggap pengrusakan terhadap tubuh jenazah akan menghalanginya ke akhirat. Konsep ilmu forensik modern saat ini bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa orang-orang di zaman dahulu. Buku berjudul “Xi Yuan Lu” , ditulis oleh Song Ci (1186–1249) pada masa Dinasti Song -tepatnya tahun 1248- adalah salah satu tulisan pertama tentang penggunaan obat atau zat kimia dan Entomology untuk menemukan penyebab suatu kematian. Buku ini juga memberikan nasihat tentang bagaimana membedakan antara korban yang tewas karena tenggelam atau pencekikan, bersama dengan bukti-bukti lain dari hasil pemeriksaan mayat yang pernah dilakukan untuk menentukan apakah kematian disebabkan oleh pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan. Sejarah mencatat bangsa Romawi Kuno telah membuat peraturan tentang autopsi sekitar 150 SM. Pada tahun 44 SM, jenazah Julius Caesar adalah salah satu yang beruntung menjadi obyek resmi autopsi, belakangan para autopsist menemukan bahwa tusukan kedua pada tubuhnya lah yang fatal sehingga berakibat pada kematian. Yunani kuno pada abad ketiga SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria, tetapi secara umum autopsi kurang begitu dikenal di Yunani kuno. Selain mereka, pembedahan jenazah untuk alasan medis juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain misalnya seperti yang dilakukan dokter Arab Avenzoar dan Ibn al-Nafis, tapi proses autopsi modern berasal dari para anatomis dari Renaissance. Giovanni Morgagni (1682-1771), yang dikenal sebagai bapak patologi anatomi, menulis karya lengkap pertama pada patologi, “De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis” (The Seats and Causes of Diseases Investigated by Anatomy, 1769).Sedangkan sidik jari mulai digunakan untuk bukti ketika Juan Vucetich memecahkan kasus pembunuhan di Argentina dengan memotong sebagian dari pintu dengan sidik jari berdarah di atasnya. 5
Di Eropa abad keenam belas, praktisi medis ketentaraan dan universitas mulai mengumpulkan informasi tentang sebab dan cara kematian. Ambroise Pare, seorang ahli bedah tentara Prancis, mempelajari efek kematian karena kekerasan pada organ internal. Dua ahli bedah Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia, membangun fondasi munculnya patologi modern dengan mempelajari perubahan yang terjadi dalam struktur tubuh akibat penyakit.Pada akhir 1700-an, tulisan-tulisan tentang topik ini mulai muncul. Hal ini termasuk: A Treatise on Forensic Medicine and Public Health oleh Fodéré, seorang dokter Prancis. Dan The Complete System of Police Medicine oleh ahli medis Jerman Johann Peter Franck. Pada tahun 1776, kimiawan Swedia Carl Wilhelm Scheele menemukan cara untuk mendeteksi oksida arsenous alias arsenik, di mayat meskipun hanya dalam kasus arsenik yang berjumlah besar. Penyelidikan ini diperluas, pada tahun 1806, oleh kimiawan Jerman Valentin Ross, yang mempelajari cara mendeteksi racun pada dinding perut korban, dan oleh ahli kimia Inggris James Marsh, yang menggunakan proses kimia untuk mengkonfirmasi penggunaan arsenik dalam suatu percobaan pembunuhan di tahun 1836. Dua contoh awal penggunaan ilmu forensik Inggris dalam proses hukum menimbulkan berkembangnya penggunaan logika dan prosedur logis dalam penyelidikan kriminal. Pada 1784, di Lancaster, John Toms diadili dan dihukum karena membunuh Edward Culshaw dengan pistol. Ketika mayat Culshaw diperiksa, “pistol wad” (kertas dihancurkan yang digunakan untuk menjaga bubuk dan bola di moncong) yang ditemukan di luka pada kepalanya cocok dengan surat kabar robek yang ditemukan di saku Toms. Di Warwick pada tahun 1816, seorang buruh tani diadili dan dihukum karena pembunuhan seorang pembantu muda.Dia tenggelam di kolam dangkal dan menanggung tanda serangan kekerasan. Polisi menemukan jejak kaki dan bekas cap dari kain corduroy bertambalan di tanah lembab di dekat kolam renang. Selain itu juga tersebar butir gandum dan sekam. Celana dari buruh tani yang tengah mengolah gandum di dekat situ diperiksa dan ternyata cocok dengan bekas cap di tanah dekat kolam renang. Kemudian pada abad ke-20, beberapa patologist Inggris, Bernard Spilsbury, Francis Camps, Sydney Smith dan Keith Simpson merintis metode baru ilmu forensik di Britania. Pada 1909, Rodolphe Archibald Reiss mendirikan sekolah ilmu forensik pertama di dunia, "Institut de polisi scientifique" di University of Lausanne (UNIL). Dua besar peneliti medis abad kesembilan belas Rudolf Virchow dan Carl von Rokitansky telah menurunkan dua teknik otopsi yang berbeda yang masing-masing dinamai sesuai dengan nama mereka. Demonstrasi mereka atas ketekaitan antara kondisi 6
patologis dalam tubuh yang telah mati dan gejala dan penyakit dalam hidup membuka jalan bagi cara berpikir yang berbeda tentang penyakit dan pengobatannya.
2.3 Jenis Autopsi 2.3.1 Otopsi Anatomi Autopsi anatomi, yaitu autopsi yang dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dibawah bimbingan langsung ahli ilmu urai anatomi dilaboratorium anatomi fakultas kedokteran. Tujuannya adalah untuk mempelajari jaringan dan susunan alat-alat tubuh dalam keadaan normal. Tidak mungkin seseorang dapat menjadi dokter tanpa mengenal tubuh manusia dengan segala jaringan, organ tubuh dan sistemnya. Untuk mengenal jaringan manusia secara mikroskopis dipelajari dalam histologi. Pada mulanya tubuh manusia yang dipakai untuk pendidikan ini adalah korban tindak pidana, terutama pada korban pembunuhan, bunuh diri dan korban hukuman mati. Pada masa itu autopsi juga dihindari oleh kalangan bukan dokter, seperti penegak hukum, pejabat negara, pemahat dan pelukis. Belakangan hari, karena sistem demikian tidak efektif untuk pendidikan karena harus dilakukan segera dan waktu yang singkat maka dipergunakan mayat yang sudah diawetkan terlebih dahulu. Dalam al ini digunakan mayat yang tidak dikenal keluarganya atau kerelaan tertulis dari seseorang yang telah membuat pernyataan tubuhnya dapat dipakai untuk pendidikan. Karena sulitnya mendapatkan jenazah untuk pendidikan, petugas kamar mayat (Mr. Burke) di London melakukan pembunuhan dengan menekan dada korban sehingga terjadi gangguan pernapasan yang menyebabkan kematian karena asfiksiab tanpa meninggalkan luka-luka. Asfiksia jenis ini disebut dengan istilah Burking. Dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935.
7
2.3.2
Otopsi Klinik Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit.
Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya. Autopsi klinik dilakukan pada penderita yang meninggal setelah dirawat di RS bertujuan untuk : a. Menentukan proses patologis yang terdapat dalam tubuh korban b. Menentukan penyebab kematian yang pasti c. Menentukan apakah diagnosa klinis yang dibuat selama perawatan sesuai dengan hasil pemeriksaan post-mortem d. Menentukan efektifitas pengobatan yang telah diberikan e. Mempelajari perjalanan lazim suatu penyakit f. Bermanfaat sebagai pencegahan dalam menghadapi penyakit yang serupa dikemudian hari g. Untuk mengetahui kelainan pada organ dan jaringan tubuh akibat dari suatu penyakit Untuk mendapatkan sebab kematian pasti dan tujuan lainnya, autopsi klinik selalu disertai dengan pemeriksaan yang lengkap, seperti pemeriksaan bakteriologi, histopatologi, serologi, mikrobiologi, toksikologi, dan lain-lain sesuai dengan kebuthan. Seluruh penyakit yang diketahui sekarang merupakan hasil dari kumpulan autopsi klinis yang dilakukan diberbagai rumah sakit dibeberapa negara dari dahulu hingga sekarang. Kegiatan ini sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu kesehatan. Di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda dahulu sudah dilakukan kegiatan yang sama, namun sejak indonesia merdekan dengan kegiatan ini semakin menurun. Bahkan sekarang hampir tidak dilakukan lagi. Demikian keamajuan ilmu kesehatan kegiatan ini di Indonesia mulai dirintis kembali. Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta tranplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Dan dilingkungan ABRI dengan diterbitkannya Keputusan Menhankam, panglima Angkatan Bersenjata Nomor : KEP/B/20N/1972 tentang Bedah Mayat Klinis Dalam Lingkungan Angkatan Bersenjata RI. Namun kegiatan ini ternyata hingga kini belum dapat dilaksanakan. Hambatan utama adalah karena masyarakat belum menyadari kepentingan pemeriksaan ini. Keluarga orang sakit sangat keberatan bila dilakukan pemeriksaan pada penderita yang akhirnya meninggal
8
dirumah sakit. Demikian pula dokter dan rumah sakit belum berani menghadapi kenyataan kemungkinan salah dalam menetapkan diagnosa klinis dan pengobatan. Autopsi klinik dilakukan dengan persetujuan keluarga penderita. Dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga apabila orang yang meninggal diduga menderita penyakit yang dapat membahayakan orang ain atau masyarakat sekitarnya (penyakit menular). Autopsi klinik dapat pula dilakukan apabila tidak ada keluarga terdekat datang kerumah sakit dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam. Dineggara maju autopsi klinik kadang-kadang dilakukan atas permintaan keluarga yaitu untuk memastikan adanya penyakit turunan. 2.3.3
Otopsi Forensik/Medikolegal Autopsi forensik atau bedah mayat kehakiman dilakukan atas permintaan yang
berwenang, sehubung dengan adanya penyidikan dalam perkara pidana yang menyebabkan korban meninggal. Biasanya dilakukan pada kematian yang tidak wajar seperti pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, kecelakaan lalu lintas, keracunan, kematian mendadak dan kematian yang tidak diketahui atau mencurigakan sebabnya. Autopsi sejenis ini paling banyak dilkukan di Indonesia karena diperlukan untuk membantu penegak hukum pemeriksaan jenazah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dokter bila diminta oleh penyidik. Namun kenyataannya kecuali di RS yang dipakai untuk pendidikan, pemeriksaan autopsi jarang dilakukan. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan penyebabnya seperti hambatan dari keluarga, agama, dan lainlain. Tetapi hal ini bisa juga disebabkan adanya keengganan dari dokter untuk melakukannya. Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah : a. b. c. d. e. f. g.
Menentukan sebab kematian yang pasti Mengetahui mekanisme kematian Mengetahui cara kematian Menentukan lama kematian Pada korban tak dikenal dilakukan pemeriksaan identifikasi Mengenal jenis senjata maupun racun yang digunakan Apakah ada penyakit penyerta yang diderita oleh korban 9
h. Apakah ada tanda-tanda perlawanan dari korban yang berhubungan dengan kematiannya, seperti pada kasus perkosaan i. Megetahui apakah posisis korban telah diubah setelah ia mati j. Mengumoulkan serta mengenal benda-benda bukti yang berguna untuk penentuan identitas pelaku kejahatan k. Pada bayi yang baru lahir untuk menentukan viabilitas, apakah bayi baru lahir hidup atau lahir mati l. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk Visum et Repertum
2.4 Yang Harus Diperhatikan Pada Otopsi Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal : 1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah. 2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang berwenang. 3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi. 4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan dahulu sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan dari pemeriksaan fisik. 5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi. 6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo, sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh. 7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang. 8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten. 9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus. 10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.
10
2.5 Petunjuk Dalam Autopsi Ada bebearapa petunjuk yang harus dipahami dokter dalam melakukan autopsi forensik yaitu : 1. Pemeriksaan harus dilaksanakan pada siang hari Pemeriksaan dibawah sinar lampu biasa menyebabkan kesalahan dalam interpretasi warna yang kadang-kadang punya peranan penting. Misalnya warna lebam luka atau infark pada organ dan lain-lain. Oleh karena warna lebam luka atau infark pada organ dan lain-lain. Oleh karena itu pemeriksaan pada malam hari harus dihindari. Namun untuk kasus dan keadaan tertentu dengan penerangan yang cukup pemeriksaan kalau perlu dapat dilakukan 2. Lakukan sedini mungkin Penundaan autopsi
menyebabkan
timbulnya
pembususkan
yang
dapat
mengaburkan bahkan menghilangkan tanda-tanda yang penting. Oleh karena itu tidak salah bila dokter turut menjelaskan perlunya dilakukan bedah mayat kepada keluarga korban sementara menunggu kepastian dapat dilakukan autopsi maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan luar pada mayat, meskipun pada malam hari yang dapat dilanjutkan keesokan harinya. Dengan demikian bisa terdapat dua saat saat pemeriksaan dalam Visum et Repertum yaitu : pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam yang berlainan jam atau hari pemeriksaannya. 3. Pemeriksaan lengkap Autopsi bila ditinjau dari kepentingannya adalah membuat laporan sebagai pengganti mayat (corpus delicti) yang mengandung kesimpulan hasil pemeriksaan tentang apa yang terjadi pada mayat. Tujuan ini dapat dicapai bila dilakukan pemeriksaan lengkap, yaitu pemeriksaan luar dan dalam tubuh mayat meliputi rongga kepala, dada, perut dan panggul. Pemeriksaan yang tidak lengkap akan membuat nilai visum menjadi kurang, hal ini harus dihindari dokter. 4. Dilakukan oleh dokter Keterampilan bedah mayat berbeda dengan pembedahan pada orang hidup. Pada orang hidup, pengetahuan dan keterampilan dan wewenang pembedahan hanya dimiliki oleh ahli bedah. Pada bedah jenazah pengetahuan dan keterampilan ini telah diberikan kepada setiap dokterdalam pendidikan. Tidak ada alasan bagi para dokter bahwa ia kurang atau tidak sanggup. Yang diperlukan adalah kemauan untuk melakukannya. 5. Teliti Sesuai dengan defenisi visum baahwa pemeriksaan harus dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya maka diperlukan ketelitian dokter dalam pemeriksaan dan segala catatan selama pemeriksaan dan bila perlu dengan 11
menggunakan sarana fotografi. Dokter harus menyadari tidak mungkin melakukan pemeriksaan ulang bila mayat telah dikubur. Apalagi dikremasi. Apabila diperlukan pemeriksaan tambahan, lebih baik mengambil bahan pemeriksaan lebih dari dipelukan, dari pada sebaliknya. Dokter dapat melaporkan dalam visum tentang penemuan negatif (negative findings) yang menunjukkan dokter telah melakukan pemeriksaan tetapi tidak adanya kelainan yang didapati diputuskan dimeja autopsi, tidak menundanya untuk diputuskan kemudian dibelakang meja. 6. Hasil pemeriksaan segera disampaikan kepada penyidik Karena visum et repertum akan digunakan penyidik sebagai petunjuk dalam melakukan penyidikan, maka sebaiknya hasil pemeriksaan segera disampaikan oleh penyidik. Dalam hal pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksaan tambahan atas petunjuk jaksa maka ini akan berkaitan dengan masa penahanan tersangka yang waktunya terbatas ( dua minggu ) 2.6 Persiapan Otopsi Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan otopsi forensik/medikolegal adalah: 1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan, termasuk surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et repertum. 2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam surat tersebut. 3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan jenis pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan. 4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup : o Timbangan besar untuk menimbang mayat. o Timbangan kecil untuk menimbang organ. o Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam. o Gunting, berujung runcing dan tumpul. 12
o Pinset anatomi dan bedah. o Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel. o Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater. o Gelas takar 1 liter. o Pahat. o Palu. o Meteran. o Jarum dan benang. o Sarung tangan. o Baskom dan ember. o Air yang mengalir 5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam pembuatan laporan otopsi.
2.7 Pemeriksaan Otopsi 1. Pemeriksaan Luar Pemeriksaan bagian luar tubuh korban seperti pakaian dan benda-benda yang dipakai, identitas korban, tanda-tanda khusus, warna kulit, rambut, perkiraan usia, mata, bagian wajah, leher, dada, perut, ekstremitas, alat kelamin dan tanda-tanda kekerasan/luka (Amir, 2004). 2. Pemeriksaan Dalam Pemeriksaan dengan membuka semua rongga tubuh korban, yaitu rongga kepala, dada, perut dan panggul.Organ tubuh yang diperiksa dimulai dari lidah, tonsil, kelenjar gondok, kerongkongan (esofagus), batang tenggorok (trakea), tulang lidah, rawan gondok (kartilago tiroidea), rawan cincin (kartilago krikoidea), arteri karotis interna, 13
kelenjar timus,paru-paru, jantung, aorta torakalis, aorta abdominalis, anak ginjal (kelenjar suprarenalis), ginjal, ureter, kandung kencing, hati, kandung empedu, limpa, kelenjar getah bening, lambung, usus halus, usus besar, otak besar, otak kecil, batang otak, danalat kelamin dalam (Amir, 2004). 2.7.1
Pemeriksaan Luar
Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika pemeriksaan luar adalah : 1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat. 2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari penutup mayat. 3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada. 4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya. 5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. 6. Mencatat benda di samping mayat. 7. Mencatat perubahan tanatologi : a. Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam. b. Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya spasme kadaverik. c. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu ruangan pada saat tersebut. d. Pembusukan. e. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera. 8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut. 9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.
14
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya. 11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan. 12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung. 13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya. 14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara menyeluruh. 15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan lain-lain. 16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh. 17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka, lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis mendatar melalui pusat. Contoh : Luka panjang dua setengah sentimeter dan masuk ke dalam dada. Ujung yang satu letaknya dua sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan dua sentimeter di atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Sedangkan ujung yang lain lima sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan empat sentimeter di atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Saluran tusuk dilukis di bagian pemeriksaan dalam, ditulis organ apa saja yang tertusuk. 18. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.
15
2.7.2
Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan dengan membuka semua rongga tubuh korban, yaitu rongga kepala, dada, perut dan panggul. Secara ilmiah tidak boleh mengabaikan pemeriksaan yang lengkap biarpun dokter telah mendapatkan kelainan dan penyebab kematian. Pemeriksaan yang lengkap akan menghindari dokter dari kesalahan yang mungkin terjadi. Sebab tidak teliti. Ini dapat dipakai pihak lain (misalnya pembela) untuk menurunkan nilai dari laporan pemeriksaan dokter dalam VeR. 1. Pembukaan jaringan kulit dan otot Mayat yang akan dibedah diletakkan terlentang, bahu ditinggikan (dignjal) dengan sepotong balok kecil, sehingga kepala akan bera dalam keadaan fleksi maksimal dan bagian leher tampak dengan jelas. Dalam posisi ini autopsi akan lebih mudah dilakukan. Untuk pembukaan rongga tubuh dikenal 2 metode, yaitu : a. Insisi I Dimulai dari bawah dagu digaris pertengahan tubuh sampai kesimfisis pubis, dengan jalan membelokkan kearak kiri setentang pusat. Dengan insisi ini daerah leher mudah diperiksa (seperti pada korban mati gantung dan mati dijerat/dicekik tetapi dari segi kosmetik kurang menguntungkan karena terlihat bekas jahitan dileher bila sebelum dikubur pasien diperhatikan kepada keluarga/masyarakat. b. Insisi Y Insisi ini dimulai dari pertengahan klavikula atau kira-kira 4 cm dibawah akromion ke prosesus xhipoideus, kesimfisis pubis dengan cara membelokkan irisan kearah kiri setentang pusat. Pada wanita insisi mulai dari axilla ke prosesus xhipoideus secara meengkung melalui bawah garis mammae terus kebawah dan sekitar pusat kesimfisis pubis. Secara kosmetik teknik ini lebih baik dan daerah axilla dapat dipaksa dengan mudah, tetapi kerugiannya pengeluaran alat-alat leher lebih sulit. Ada modifikasi insisi Y, yaitu insisi mulai dari bawah sudut rahang bawah kanan dan kiri kearah pertengahan manubrium sterni, selanjutnya sama kebawah seperti insisi I 2. Membuka Rongga Tubuh Kulit dipotong mulai dari bawah dagu kearah bawah, dikuatkan kekiri dan kekanan untuk melihat adanya kelainan pada jaringan otot, terutama pada kekerasan didaerah leher seperti dicekik, dijerat dan mati gantung. Didaerah dada, bila tidak ada kecurigaan ada 16
trauma yang perlu diperiksa teliti, insisi dapat diteruskan sampai ketulang dada. Pisau dalam posisi tegak, mengiris otot yang telah dikuakkan dengan ibu jari dibagian telunjuk dan jari tengah tangan kiri dimasukkan kedalam rongga perut, pisau diletakkan diantara ibu jari dan pisau ditegakkan memotong kebawah sampai ke simfisis. Sekarang dada telah dibebaskan dari ototdan daerah perut sudah terbuka. Memotong tulang iga sternoclaido, mulai dari iga 2 kearah bawah sedikit lateral. Pisau dipegang dengan tangan kanan dan tangan kiri menekan pisau ditangan kanan dan menariknya kebawah. Kecuali pada orang tua, biasanya pemotongan ini mudah dilakukan. Bila tulang sudah keras dapat dipotong dengan gunting tulang. Sternum dibebaskan dari perlekatannya dengan diafragma dan dinding mediastinum anterior. Kemudian iga
I
dipotong dari arah bawah dan miring kearah craniolateral guna menghindari bagian keras tulang, kemudian pisau diarahkan kembali kearah medial mencari persendian costa 1 dengan sternum. Lalu dipotong persendian sternoclavicula dari bawah keatas mengikuti lengkung persendian. Dengan cara ini dapat dihindari terpotongnya pembuluh darah subclavicula dan memotong lebih mudah. Untuk memudahkan sternum diangkat kearah kepala sehingga dengan demikian sambungan tersebut menjadi renggang dan bisa lepas Rongga paru-paru kanan dan kiri diperiksa adanya perlekatan, cairan darah, pus, atau cairan lain. Bila ada darah atau cairan maka dikeluarkan dengan sendok besar dan diukur jumlahnya. Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persisten. Kantong (pericardium) digunting seperti huruf Y terbalik. Diperiksa isi kantong jantung dan diukur jumlahnya. Dalam keadaan normal akan didapati cairan jernih kekuningan sebanyak 50 ml. Lihat kemungkinan adanya pericarditis atau kelainan lain. Apex jantung diangkat, dibuat insisi diventrikel dan atrium kanan untuk melihat adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi diventrikel dan atrium kiri. Sekarang jantung dapat diangkat dengan memotong pembuluh darah besar dipangkal jantung. Untuk membuka dan mengeluarkan organ dileh dan muut dilakukan insis dibagian dalam rahang bawah dan membebaskan otot dibagian kiri dan kanan. Dengan cara ini, lidah dan organ sekitarnya dapat ditarik keluar dari rongga mulut. Dengan tangan kiri memegang kerongkongan dan tangan kanan kanan dipangkal lidah. Pengeluaran Organ Dalam Tubuh Pada autopsi ada beberapa cara mengeluarkan organ dalam, yaitu : a. Teknik Virchow
17
Organ tubuh dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Teknik ini mudah dan sering digunakan dokter. Kelemahannya hubungan tofografi antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. Untuk autopsi forensik yang memerlukan ketelitian kurang baik digunaka, terutama pada kasus-kasus penembakan, dan penusukan dimana perlu dilakukan penetuan saluran luka, arah serta dalamnya penetrasi yang terjadi. b. Teknik Rokitansky Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan insisi organ secara insitu, baru kemudian semua organ tubuh dikeluarkan dalam kumpulan organ (en block) untuk diperiksa satu persatu diluar tubuh. c. Teknik Letulle Setelah rongga tubuh dibuka, organ-organ leher dan dada diafragma dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse). Kemudian diletakkan diatas meja dengan permukaan posterior menghadap keatas. Plexus coeliacus dan kelenjarkelenjar pada aorta diperiksa. Aorta dibuka sampai arcus aorta, arteri renalis kanan dan kiri dibuka serta diperiksa. Aorta diputus diatas muara a.renalis. rectum dipisahkan disigmoid organ urogenital dipisahkan dari organ-organ lain. Bagian proksimal jejenum diikat pada dua tempat dan kemudian diputus antara dua ikatan tersebut dan usus-usus dapat dilepaskan. Esofaghus dilepaskan dari trakea, tetapi hubungannya dengan lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diatas diafragma dan dengan demikian, organ-organ leher dan dada dapat dilepas dari organ-organ perut. d. Teknik Gohn Setelah rongga tubuh dibuka, organ tubuh dikeluarkan dalam 3 kumpulan organ, masing-masing : 1. Organ leher dan dada 2. Organ pencernaan bersama hati dan limpa 3. Organ urogenital Dalam bedah mayat, tentu dipilih salah satu teknik yang dikemukakan diatas. Teknik mana yang akan dipakai sangat tergantung pada kasus yang dihadapi. Seperti terilihat diatas teknik Virchow adalah yang paling sederhana, yaitu mengeluarkan organ demi organ. Ini sering dipakai karena kasus yang dihadapi umumnya tidak memerlukan ketelitian dalam hubungan organ (seperti kecelakaaan lalu lintas). Tetapi bila kasus yang diperiksa memerlukan ketelitian yang lebih baik (seperti mati tiba-tiba yang mencurigakan sebabnya), maka teknik Letulle dan Ghon harus digunakan. Pilihan untuk teknik mengeluarkan organ tubuh yang paling penting adalah kemampuan untuk melaksanakan teknik tersebut dan bila perlu dapat mengkombinasikan. 18
3. Pembukaan Rongga Tengkorak Kulit kepala diiris mulai dari prosesus mastoideus melintasi daerah parietal dan pada pertengahan kepala sedikit dibelakang vertex menuju prosesus mastoideus pada sisi lain. Buat irisan sampai ke periosteum. Kulit kepala ditarik dan dikupas kedepan sampai 1 cm diatas garis supra orbita dan kebelakang sampai ke protuberantia occipitalis. Periksa bagian dalam kulit kepala, otot-otot temporalis dan tulang tengkorak, apakah ada resapan darah. Tulang tengkorak dopotong dengan gergaji mulai dari pertengahan tulang dahi kearah kana dan kiri menuju satu titik yang letaknya sedikit diatas protuberantia occipitalis atau kirakira 2 cm diatas daun teinga. Bila memungkinkan (ada gergaji listrik), diatas kuping pemotongan tulang kepala diteruskan miring kebelakang atas sehingga berbentuk sudut 1200 dengan garis pertama. Tujuannya agar tulang kepala lebik kokoh letaknya pada penutupan nanti. Hindari terpotongnya durameter dan jaringan otak. Lalu atap tengkorak dilepaskan dengan sedikit pencongkelan dengn pahat berbentuk T (T-chisel) dan otak dapat diperiksa. Pada bayi baru lahir karena tulang kepala masih lunak, atap tengkorak digunting mulai dari ubun-ubun besar sejajar dengan sutura sagitalis superior pada jarak 0,5-1 cm dari garis median, lalu lingkarkan kearah lateral dibelakang sub accipitalis. Dan didepan pengguntingan diteruskan kearah frontalis yang berjarak 1-2 cm dari lipatan kulit kepala dan membelok kearah lateral kanan sampai keatas telinga kanan yang disisakan sejarak 2 cm dari pengguntungan belakang tadi (sub occipitalis) kearah lateral kanan. Demikian juga dilakukan terhadap atap tengkorak sebelah kiri. Tulang tengkorak yang digunting tersebut dibuka seperti jendela dengan engselnya diatas teliga. 4. Pemeriksaan Organ a. Lidah Permukaan, warna selaput lendir. Tanda-tanda tergigit (baru/lama) atau perdarahan b. Tonsil Permukaan, penampang tonsil, selaput (difteri), gambaran infeksi, nanah dsb. c. Kelenjar gondok Ukuran, permukaan rata/benjol-benjol, warna dan berat d. Kerongkongan Oesofagus dibuka dengan jalan menggunting sepanjang dinding belakang dan diperhatikan adanya benda asing, selaput lendir serta kelainan-kelainan misalnya striktura, varises dan lain-lain. e. Tenggorok
19
Pemeriksaan dimulai dari epiglotis. Apakah ada perdarahan dan kelainan lain. Lihat pita suara, tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (kartilago thyroidea), rawan cincin (cartilago cricoidea) f. Tulang lidah lebih dahulu dilepaskan dari jaringan sekitarnya dengan menggunakan pinset dan gunting, perhatikan adanya patah tulang dan resapan darah. Tulang lidah bisa patah pada kasus korban mati gantung atau pencekikan. Pada pemeriksaan korban yang digali dari kuburan pemeriksaan ini dilakukan pada bagian awal pemeriksaan kerena sering pembunuhan dilakukan dengan pencekikan g. Arteri carotis interna Terutama pada kekerasan didaerah leher, lihat adakah tanda0tanda kekerasan diarteri ini, kerusakan pada tunika intima. Pada korban mati gantung, luka pada tunika intima arteri ini khas, disebut redline, berupa garis melintang, setentang tekanan tali. h. Paru-paru Volume atau pengembangan paru : biasa, emfisematous atau mengecil. Paerhatikan adanya bintik perdarahan dipermukaan paru (tardeu’s spot) atau bercak akibat aspirasi darah kedalam saluran paru dostal (alveolus), resapan darah, luka, bul dan lain-lain. Lihat warna, permukaan (licin atau kasar). Pemijitan (consistensi) seperti spons atau padat (pada penderita tuberculosis seperti kantong pasir). Pemotongan saluran nafas dimulai dari apex kearah basal, dengan tangan kiri didaerah hilus. Pada pemotongan bagaimana warnanya, adakah mengeluarkan darah, sifat darah tersebut apakah encer, kental berbuih dan sebagainya. i. Jantung Jantung dilepas dan pembuluh darah besar yang keluar dan masuk kejantung dengan jalan memegang apex jantung dan mengangkat serta menggunting pembuluh darah tadi sejauh mungkin. Perhatikan besar jantung, bandingkan dengan kepalan tinju kanan mayat dan adakah resapan darah, luka atau bintik perdarahan, penebalan dinding jantung j. Hati Perhatikan warna, permukaannya (licin, kasar), tepinya (tajam atau tumpul) dan konsistensinya. Lakukan pengirisan melintang mulai dari lobus kanan sampai lobus kiri dan perhatikan penampang ptong, apakah banyak cairan darah, adakah kelainan. Selanjutnya timbang beratnya. Berat hati norma pada dewasa muda pria 1600 gram, wanita 1400 gram k. Kandung empedu Carilah saluran empedu dan buka dengan gunting sampai kepapilla vateri didupdenum dan lihat apakah adanya penyumbatan, perhatikan warna selaput 20
lendirnya, buka kandung empedu, periksa apakah warna cairan, selaput lendir, danya batu atau tidak. l. Limpa Perhatikan warna, permukaannya
licin
atau
berkeriput.
Ukur
beratnya,
perabaannya, lihat penampangnya, membesar/mengecil m. Lambung dan usus Lambung digunting sampai ke pylorus, lalu mulai dari cardia menyusuri curvatura mayor sampai ke pylorus, lalu isi lambung diperiksa, apa isisnya, misalkan sisa-sisa makanan dan cairan, warna dan baunya. Perhatikan bagian luar lambung, apakah ada perforasi ulkus, warnanya dan lain-laian. n. Vesika urinaria Vesika urinaria digunting mulai dan saluran kensing didaerah prostat kearah atas, lalu puncakknya guntingan diteruskan kearah kiri dan kanan. Kemudian perhatikan mukosa vesika urinaria, warna dan kelainan-kelainan, misalnya adanya batu. o. Alat kelamin dalam 1. Pada pria Kelenjar prostat; peratikan permukaan, besar dan konsistensi. Saluran kencing daerah prostat, apakah ada penyempitan. Testis dikeluarkan dan scrotum melalui rongga perut dan buka konsistensi serta kemungkinan terdapat resapan darah. Perhatikan bentuk dan ukuran epidermis. 2. Pada wanita Uterus dibuka mulai dan portio kearah atas sampai fundus uteri dan diteruskan kearah kanan dan kiri sampai muara tuba, seperti huruf T dan perhatikan bentuk portio, selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga rahim serta kemungkinan kelainan lain. p. Otak Lihat bekuan darah diatas selaput tebal otak atau dibawahnya, bawah selaput lunak, diffus atau setempat. Permukaan otak besar dan otak kecil, apakah dijumpai kerusakan jaringan otak, perhatikan gyrus-gyrus, apakah ada odema.
2.7.3 Pemeriksaan Tambahan 1. Pemeriksaan Patologi Anatomi Pada beberapa kasus diperlukan pemeriksaan lebih teliti melalui pemeriksaan jaringan secara mikroskopik 2. Pemeriksaan racun Yang diambil adalah bahan yang dicurigai seperti muntahan, isi lambung, beserta jaringan lambung dimasukkan kedalam botol. Darah diambil dari jantung dan vena kira-kira 20-50 ml dan dimasukkan kedalam botol begitu juga hati dan empedu. Pada
21
dugaan keracunan logam berat seperti Arsen, maka perlu dikirim rambut, kuku dan tulang 3. Pemeriksaan bakteriologi Bila ada dugaan kearah adanya sepsis, maka darah diambil dari jantung dan limpa untuk pembiakan kuman. Darah diambil dengan spuit 10 ml melalui dinding kantong jantung yang telah dibakar dengan spatel panas terlebih dahulu, lalu dipindahkan kedalam tabung reagen yang steril. Jaringan limpa diambil dengan pinset dengan gunting steril dengan cara pembakaran yang sama seperti diatas, lalu dimasukkan dalam tabung steril 4. Pemeriksaan balistik Pemeriksaan mayat yang diduga mati akibat penembakan seharusnya dimulai dengan melakukan pemeriksaan rontgenologi pada seluruh tubuh untuk mendeteksi adanya loga (peluru). Tetapi karena sarana ini tidak terdapat, bahkan dipusat pemeriksaan kedokteran forensik sekalipun, maka usaha untuk mendapatkan adanya peluru terpaksa dilakukan dengan menelusuri seluruh jaringan tubuh. 2.7.4
Pemeriksaan Penunjang
Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu : 1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ. Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam formalin 10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan. 2. Pemeriksaan toksikologi. a. Lambung dan isinya. b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm. c. Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer (v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet. d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram. e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila urine tidak tersedia. f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.
22
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan. h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun. i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak. 3. Pemeriksaan bakteriologi. Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi. 4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria.Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan 5. 6. 7. 8.
mukosa. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia. Pemeriksaan urine dan feces. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual. Cairan uretra.
2.8 Dasar Hukum Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam membantu peradilan: 1. Pasal 133 KUHAP : Ayat 1: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat 2: Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Ayat 3: Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan 23
diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. 2. Pasal 134 KUHAP: a. Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. b. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. c. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. 3. Pasal 179 KUHAP: a. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. b. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. 2.9 Proses Pengawetan Mayat Dalam prosesnya, pengawetan mayat akan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a. b. c. d.
Arterial Embalming Cavity Embalming Hypodermic Embalming (jika dibutuhkan) Surface Embalming (jika dibutuhkan) Sebelum dilakukan pengawetan, seorang pengawet (embalmer) harus melakukan
proteksi diri dari mayat untuk menghindari penyakit yang dibawa mayat, bakteri dan larvayang membusukkan mayat, dan dari cairan yang digunakan untuk pengawetan. Untuk itu, seorang embalmer harus mensterilkan ruangan, memakai alat pelindung tubuh lengkap, dan mensterilkan mayat yang akan diawetkan terlebih dahulu dengan cairan antiseptik. (Ezugworie et al, 2009.) Arterial embalming adalah permulaan dalam mengawetkan mayat. Pertama, arteri karotis dekstra dipotong dan disambungkan kepada selang yang terhubung dengan pompa mekanis untuk memasukkan cairan pengawet ke dalam tubuh. Darah dikeluarkan melalui vena jugularis. Jika peredaran darah kurang baik, dapat menggunakan arteri besar lain sebagai tempat masuknya cairan pengawet yaitu arteri iliaka, femoralis, subklavia atau aksila. (Ezugworie et al, 2009.) 24
Setelah memasukkan cairan kedalam arteri, cairan yang berada di rongga dalam perut dikeluarkan menggunakan aspirator atau trokar dan diganti dengan cairan pengawet. Trokar atau aspirator dimasukkan pada bagian berongga, yaitu rongga dada dan rongga perut. Setelah masuk, cairan akan dikeluarkan semua dan digantikan dengan cairan pengawet. Ini disebut juga cavity embalming. (Ezugworie et al, 2009.) Ada 2 cara tambahan dalam pengawetan mayat. Pada bagian-bagian yang tidak memiliki perdarahan yang baik, dilakukan penyuntikan cairan pengawet langsung ke dalam jaringan yang membutuhkan. Ini disebut juga dengan hypodermic embalming. Surface Embalming sendiri hanya mengawetkan bagian kulit dan area superfisial lainnya yang rusak. (Ezugworie et al 2009.)
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Autopsi dimaksud sebagai pemeriksaan luar dan dalam pada mayat untuk kepentingan pendidikan, hukum dan ilmu kesehatan. Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas : a. Autopsi anatomik, dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui susunan jaringan dan organ tubuh b. Autopsi klinik untuk menentukan sebab kematian pasti dari pasien yang dirawat dirumah sakit (RS) c. Autopsi forensik (autopsi kehakiman) untuk membantu penegak hukum dalam menentukan peristiwa kematian korban secara medis. Ada 2 bagian besar pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan luar dan pemeriksaan bagian dalam. Pemeriksaan harus dilakukan dengan secara cermat meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, dan teraba pada tubuh mayat. Dalam prosesnya, pengawetan mayat akan dilakukan dengan proses arterial embalming, cavity embalming , hypodermic embalming, dan surface embalming.
25
Pemeriksaan autopsi diatur dengan jelas dalam ketentuan hukum. Dalam RIB (reglemen Indonesia yang diperbaharui), hukum acara pidana sebelum KUHAP yang berlaki sejak 31 Desember 1981, dinyatakan adanya wewenang pegawai penuntut umum dan magistrat pembantu (ternasuk kepolisian) untuk meminta bantuan dokter melakukan pemeriksaan jenazah. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam membantu peradilan: a. Pasal 133 KUHAP b. Pasal 134 KUHAP c. Pasal 179 KUHAP: 3.2 Saran Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya : a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya. b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat. Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
26
DAFTAR PUSTAKA
Amir amri. 2011. Autopsi Medikolegal edisi kedua. Medan; ramadhan simp. Kampus usu
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.
Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.
Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi Kelima.
Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38686/4/Chapter%20II.pdf
27
http://www.google.co.id/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0CEwQFjAE &url=http%3A%2F%2Fetd.ugm.ac.id%2Findex.php%3Fmod%3D %26sub%3DFile%26act%3Dview%26typ%3Dhtml%26file %3D280370.pdf%26ftyp%3Dpotongan%26tahun%3D2013%26potongan%3DS12013-280370-chapter1.pdf&ei=BaKRU7veBc8ugTuhICQAw&usg=AFQjCNHDfh8lfqv6ThuMBZThveqC2YCTSQ&sig2=fOiB y6D43uisMQFIFLdK0w&bvm=bv.68445247,d.c2E
(online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23477/5/Chapter %20I.pdf (08 Juni 2014 )
(online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38941/4/Chapter %20ll.pdf (08 Juni 2014)
28