BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Belajar merupakan suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku
yang berlangsung secara berkelanjutan. Menurut pengertian tersebut, jelaslah bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung sepanjang waktu dalam hidup individu. Ketika individu belajar, terjadi sebuah proses yang sangat kompleks pada dirinya. Hasil dari belajar sendiri memberi pengaruh yang relatif permanen
atas
perilaku,
pengetahuan,
dan
keterampilan
berpikir
yang
diperoleh melalui pengalaman selama di sekolah maupun di luar sekolah, misalnya seseorang yang belajar naik sepeda, ketika selesai belajar maka ia akan memiliki keterampilan bersepeda sepanjang hidupnya. Setiap individu mempelajari berbagai macam hal, dari hal-hal kecil, seperti belajar untuk bisa naik sepeda sampai mempelajari hal-hal besar seperti belajar agar bisa menjadi seorang pilot. Individu dapat melakukan kegiatan belajar dimana saja dengan berbagai macam cara. Namun pada umumnya orang tua pasti memasukkan anak-anaknya pada lembaga-lembaga tertentu untuk menunjang pembelajaran yang efektif untuk anak mereka. Salah satu lembaga utama yang menunjang pembelajaran individu secara efektif dan yang paling umum dilakukan semua orang adalah di sekolah. Pada dasarnya semua orang pasti setuju bahwa salah satu fungsi penting dari sekolah adalah membantu murid untuk belajar. Namun, setiap orang juga mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai cara yang dianggap efektif untuk mendidik. Tidak ada kesepakatan utama mengenai cara mendidik
yang
terbaik.
Di
dalam
Psikologi
pendidikan
sendiri,
proses
pembelajaran dijadikan sebagai fokus utama. Terdapat bererapa pendekatan dalam Psikologi Pendidikan yang digunakan untuk mengetahui cara belajar yang efektif agar pembelajaran dapat mengarahkan individu kearah yang lebih baik secara optimal. Agar suatu pembelajaran dapat berjalan dengan lebih efektif dan memberi dampak yang baik bagi individu, maka pendidik perlu memahami
Teori Kognitif Sosial
Page | 1
teori-teori yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam proses pembelajaran. Salah satu teori pembelajaran yang dapat digunakan adalah teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) menyebutkan bahwa faktor sosial, kognitif, dan faktor perilaku memainkan peran penting terhadap pembelajaran. Jadi, menurut teori ini keadaan sosial dimana individu tinggal, kepercayaan-kepercayaan
tertentu
dapat
memengaruhi
hasil
belajar.
Selanjutnya, di bawah ini kami akan membahas lebih dalam mengenai teori kognitif sosial (social cognitive theory), sebuah teori yang mengupas perspektif yang dapat membantu kita memahami apa dan bagaimana orang belajar dengan mengamati orang lain dan bagaimana dalam proses itu, seseorang dapat mengendalikan perilakunya sendiri. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: 1. Apa kemampuan kognitif dasar yang dimiliki manusia? 2. Apa yang dimaksud dengan teori belajar kognitif sosial? 3. Jelaskan
model
kerangka
pemikiran
teori
kognitif
sosial
dalam
pembelajaran? 4. Apa yang dimaksud dengan observational learning? 5. Jelaskan sumber dan peran motivasi dalam pembelajaran menurut teori kognitif sosial! 6. Jelaskan konsep Self-Efficacy? 7. Jelaskan konsep Self-Regulation? 1.3 Tujuan Penulisan Makalah Makalah ini akan menyajikan prinsip-prinsip teori kognitif sosial yang mencakup: 1. Lima kapabilitas kogntif dasar yang dimiliki manusia 2. Menjelaskan konsep teori kognitif social dalam pembelajaran. 3. Model kerangka pemikiran teori kognitif dalam pembelajaran 4. Memberikan penjelasan mengenai observational learning.
Teori Kognitif Sosial
Page | 2
5. Menjelaskan sumber dan peran motivasi menurut teori kognitif social 6. Menjelaskan Self-Efficacy, konsep Self-Efficacy, dan sumbernya menurut teori kognitif sosial. 7.
Menjelaskan konsep Self-Regulation dalam teori kognitif social.
Teori Kognitif Sosial
Page | 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kemampuan Kognitif Dasar Manusia Berikut ini adalah lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia. 1) Symbolising capability. Manusia memiliki kemampuan untuk mentransformasikan pengalamanpengalamannya
menjadi
simbol-simbol
dan
kemampuan
untuk
memproses simbol-simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide-ide yang melampaui pengalaman penginderaannya.
Kenyataan bahwa manusia
memiliki kemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti bahwa mereka selalu rasional.
Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk,
tergantung pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung pada kelengkapan informasi yang dimilikinya. 2) Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran antisipatifnya bukan oleh reaksinya terhadap lingkungannya. konsekuensi Pemikiran
perbuatannya
ke
depan
ini
dan bukan
Orang mengantisipasi
menentukan akumulasi
tujuannya
sendiri.
konsekuensi-kosekuensi
terdahulu, melainkan hasil pemikiran. 3) Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan melalui pengalaman perilaku
langsung,
orang
lain
melainkan beserta
hasil
pengamatannya
konsekuensinya.
Belajar
terhadap melalui
pengamatan ini memperpendek waktu yang dibutuhkan manusia untuk belajar
berbagai
keterampilan.
Keterampilan
tertentu,
seperti
keterampilan berbahasa, demikian kompleksnya sehingga tidak mungkin dapat dipelajari tanpa penggunaan modeling. 4) Self-regulatory capability. Manusia mengembangkan standar internal yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri.
Kemampuan untuk mengatur diri
sendiri ini mempengaruhi perilaku
Teori Kognitif Sosial
Page | 4
5) Self-reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh manusia. Orang dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai.
Jenis pemikiran yang paling sentral dan
paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas. Kemampuan kognitif dasar manusia diatas merupakan factor kunci sumber tindakan manusia (human agency). Human agency yang dimiliki manusia merupakan kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui control terhadap proses berpikir, motivasi, dan tindakan diri sendiri. Lima kemampuan dasar dari kognitif manusia ini dianggap unsur yang penting dalam teori kogntif social sebab teori kognitif social didasarkan pada pengakuan peran penting pembelajaran pengamatan (observational learning dan pembelajaran mandiri). 2.2 Konsep Teori Kognitif Sosial Teori
Kognitif
Sosial
(Social
Cognitive
Theory)
merupakan
penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Asal mulanya teori ini disebut learning, yaitu belajar dengan mengamati perilaku orang lain. Dasar pemikirannya adalah belajar dengan cara mengamati perilaku individu. Dan sebagian perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh orang lain yang disajikan sebagai model. Menurut seseorang
teori
untuk
belajar
social,
mengabstraksikan
yang
terpenting
informasi
dari
ialah
perilaku
kemampuan orang
lain,
mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru dan kemudian melakukan perilaku-perilaku yang dipilih Berdasarkan pernyataan diatas konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian tentang obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Semua informasi yang dipelajari dan kita peroleh berasla dari interaksi kita dengan orang lain. Jika ada seorang "model" di dalam lingkungan
Teori Kognitif Sosial
Page | 5
seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis(Baran & Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan
anaknya
bagaimana
cara
mengikat
sepatu
dengan
memeragakannya berulang kali sehingga si anak bisa mengikat tali sepatunya, maka proses ini disebut proses modeling. Sebagai tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses modeling dapat juga terlihat pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru bagaimana cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski demikian tidak semua
narasumber
dapat
memengaruhi
khalayak,
meski
contoh
yang
ditampilkan lebih mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini, teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar "rewards and punishments" -- imbalan dan hukuman- tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial. Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa ada dua jenis pembelajaran
melalui
pengamatan
(observational
learning).
Pertama,
pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan
oleh
seseorang
secara
langsung,
tetapi
kita
dapat
juga
menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M. 1998a:43).
Teori Kognitif Sosial
Page | 6
2.3 Kerangka Pemikiran Teori Kognitif Sosial dalam Pembelajaran 2.3.1 Interaksi Reciprocal (Reciprocal Determinism) Interaksi reksiprokal menjelaskan bahwa ada tiga faktor penting yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Bandura berpendapat bahwa sesorang berperilaku tentu karena adannya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku orang tersebut, menghasilkan perilaku berikutnya. Dari konsep ini bisa dikatakan bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.
Gambar 2.1: Hubungan antara tingkah laku (behavioristic), person/kognitif, dan Lingkungan belajar (Learning environment) menurut Bandura.
2.3.2 Vicarious Learning dan Enactive Learning 2.3.2.1 Vicarious Learning (Belajar Melalui Pengamatan) Belajar termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan baik akan menuju reinforcement. Pelajar berperilaku karena melihat perilaku orang lain yang diberi penguat, di mana perilaku orang lain tersebut merupakan pengalaman yang dialami oleh orang lain. Hal inilah yang disebut vicarious yaitu mengamati apa yang terjadi pada orang lain. Teknik ini diselidiki secara otomatis oleh Borden, dkk (dalam glover dkk, 1990), pada dua anak yang duduk bersebelahan, yaitu Edwin dan Grey. Guru mulai memperhatikan dan menghargai Edwin dalam mengerjakan tugas-tugas dalam kelas. Perilaku Edwin bertambah baik. Ternyata perilaku Grey juga
Teori Kognitif Sosial
Page | 7
bertambah baik walaupun tidak mendapat penguatan dan guru. Nampaknya Grey belajar dari pengalaman Edwin. 1. Vicarious Reinforcement Pembelajar
yang mengamati
orang
lain diberi penguatan karena
berperilaku tertentu kemungkinan akan menampilkan perilaku yang sama lebih sering lagi, suatu fenomena yang dikenal dengan istilah vicarious reinforcement. (Ormrod, 2008, hal.8) 2. Vicarious Punishment Sebaliknya,
ketika melihat
seseorang
mendapat
hukuman
karena
perilaku tertentu, kecil kemungkinan bagi pembelajar untuk mengikuti perilaku yang sama, suatu fenomena yang dikenal dengan istilah vicarious punishment. (Ormrod, 2008, hal.8) 2.3.2.2 Enactive Learning (Belajar Melalui Perbuatan) Terdapat banyak perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan. Dalam banyak domain, orang perlu melampaui struktur pengetahuannya untuk mengembangkan
tindakan
yang
terampil.
Pengembangan
keterampilan
menuntut orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai keterampilan yang ditargetkannya, yang cocok dengan upayanya untuk ditargetkannya, untuk
melaksanakan
keterampilannya
tersebut.
Pengalaman
merupakan
kendaraan untuk menerjamahkan pengetahuan menjadi keterampilan. Orang menerapkan informasi yang diperolehnya dari pengalaman itu untuk melakukan penyesuaian dalam aspek ruang dan waktu dari kinerjanya, hingga apa yang dikerjakannya itu mendekati kecocokan dengan konsepsi kognitifnya mengenai kinerja terampil itu. Bandura berpendapat perilaku yang kompleks dapat dipelajari ketika manusia
memikirkan
dan
mengevaluasi
konsekuensi-konsekuensi
dari
perilakunya tersebut. Dimana konsekuensi memiliki tiga fungsi: a. efek dari tindakan b. memotivasi perilaku kedepan. c. memperkuat perilaku.
Teori Kognitif Sosial
Page | 8
2.3.3 Learning and Performance (Pembelajaran dan Kinerja) Penjelasan mengenai learning and performance dalam makalah ini akan dijelaskan melalui ilustrasi eksperimen boneka bobo yang dilakukan oleh Albert Bandura. Eksperimen ini dilakukan pada tahun 1965 yang mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat atau penghukum. Eksperimen ini mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran (learning) dan kinerja (performance). Saat pembelajaran
seorang
anak
akan
mengobservasi
apa
yang
dilihatnya,
sementara itu dalam kinerjanya anak tersebut dapat menambahkan perilaku lain yang sebelumnya tidak dicontohkan.
Manusia belajar suatu standar
performa (performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka ia akan dinilai negatif. Studi Boneka Bobo Klasik Eksperimen boneka bobo dilakukan Bandura pada tahun 1965 yang mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat atau penghukum. Eksperimen ini
juga
mengilustrasikan
perbedaan
antara
pembelajaran
dan
kinerja
(performance). Saat pembelajaran seorang anak akan mengobservasi apa yang dilihatnya, sementara itu dalam kinerjanya anak tersebut dapat menambahkan perilaku lain yang sebelumnya tidak dicontohkan. Eksperimen dilakukan dengan sejumlah anak TK secara acak diberikan tiga film dimana ada seseorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Dalam film pertama penyerang diberikan permen, minuman dingin, dan dipuji karena melakukan tindakan agresif. Dalam film kedua, penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif. Dalam film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang boneka. Kemudian, masing-masing anak dibiarkan sendiri berada di ruangan penuh mainan, termasuk boneka bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak yang menonton film dimana penyerang diperkuat atau tidak dihukum apa pun lebih sering meniru tindakan model daripada anak yang
Teori Kognitif Sosial
Page | 9
menyaksikan
si
penyerang
dihukum
dan
seperti
yang
dipertimbangkan
sebelumnya anak laki-laki lebih agresif daripada anak perempuan.
Gambar2.2 : GAMBAR PEMODELAN ALBERT BANDURA Poin
penting
pada
eksperimen
ini
adalah
bahwa
pembelajaran
observasional terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat. Pada studi ini difokuskan pada pembelajaran dan kinerja karena murid tidak melakukan respons bukan berarti mereka tidak mempelajari. Dalam studi Bandura, saat anak diberi insentif (dengan stiker atau jus buah) untuk meniru model, perbedaan dalam perilaku imitatif anak dalam tiga kondisi hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak memberikan respon atas apa yang diamati, anak itu mungkin mendapatkan respon model dalam bentuk kognitif. 2.4
Observational Learning (Belajar Pengamatan) Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling
(peniruan). Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku
yang
teramati,
menggeneralisir
berbagai
pengamatan
sekaligus
melibatkan proses kognitif.
Teori Kognitif Sosial
Page | 10
Menurut Bandura (1986) mengemukakan empat komponen dalam proses belajar meniru (modeling) melalui pengamatan, yaitu: 1. Atensi/ Memperhatikan Sebelum
melakukan
peniruan
terlebih
dahulu,
orang
menaruh
perhatian terhadap model yang akan ditiru. Keinginan untuk meniru model karena model tersebut memperlihatkan atau mempunyai sifat dan kualitas yang hebat, yang berhasilk, anggun, berkuasa dan sifat-sifat lain.Dalam
hubungan
ini
Bandura
memberikan
contoh
mengenai
pengaruh televisi dengan model-modelnya terhadap kehidupan dalam masyarakat, terutama dalam dunia anak-anak. Keinginan memperhatikan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat pribadi. Semakin ada hubungannya dengan kebutuhan dan minatnya, semakin mudah tertarik perhatiannya; sebaliknya tidak adanya kebutuhan dan minat, menyebabkan seseorang tidak tertarik perhatiannya. 2. Retensi/ Mengingat Setelah memperhatikan dan mengamati suatu model, maka pada saat lain anak memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model tersebut. Anak melakukan proses retensi atau mengingat dengan menyimpan memori mengenai model yang dia lihat dalam bentuk simbol-simbol. Bandura
mengemukakan
kedekatan
dalam
rangsang
sebagai
faktor
terjadinya asosiasi antara rangsang yang satu dengan rangsang yang lain bersama-sama. Timbulnya satu ingatan karena ada rangsang yang menarik ingatan lain untuk disadari karena kualitas rangsang-rangsang tersebut kira-kira sama atau hampir sama dan ada hubungan yang dekat. Bentuk
simbol-simbol
yang
diingat
ini
tidak
hanya
diperoleh
berdasarkan pengamatan visual, melainkan juga melalui verbalisasi. Ada simbol-simbol verbal yang nantinya bisa dtampilkan dalam tingkah laku yang berwujud. Pada anak-anak yang kekayaan verbalnya masih terbatas, maka
kemampuan
meniru
hanya
terbatas
pada
kemampuan
mensimbolisasikan melalui pengamatan visual. 3. Memproduksi gerak motorik Supaya bisa mereproduksikan tingkah laku secara tepat, seseorang harus sudah bisa memperlihatkan kemampuan –kemampuan motorik. Kemampuan motorik ini juga meliputi kekuatan fisik. Misalnya seorang
Teori Kognitif Sosial
Page | 11
anak mengamati ayahnya mencangkul di ladang. Agar anak ini dapat meniru apa yang dilakukan ayahnya, anak ini harus sudah cukup kuat untuk mengangkat cangkul dan melakukan gerak terarah seperti ayahnya. 4. Ulangan – penguatan dan motivasi Setelah seseorang melakukan pengamatan terhadap suatu model, ia akan mengingatnya. Diperlihatkan atau tidaknya hasil pengamatan dalam tingkah laku yang nyata, bergantung pada kemauan atau motivasi yang ada. Apabila motivasi kuat untuk memperlihatkannya, misalnya karena ada hadiah atau keuntungan, maka ia akan melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya. Mengulang suatu perbuatan untuk memperkuat perbuatan yang sudah ada, agar tidak hilang, disebut ulangan – penguatan.Dalam tumbuh kembang
anak,
teori
ini
sangat
berguna
sebagai
bentuk
acuan
pembelajaran yang tepat untuk anak. Orang tua, guru, atau pihak-pihak lain dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak dengan menerapkan teori ini. mereka dapat lebih memahami tindakan apa yang pantas atau tidak untuk ditunjukkan kepada anak sebagai bentuk pembelajaran dan pembentukan pola tingkah laku diri.
Fungsi Observational Learning Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Beberapa fungsi observational learning adalah sebagai berikut: a. Modeling dapat mengajari observer keterampilan dan aturan-aturan berperilaku b. Modeling dapat memodiifikasi perilaku yang sudah dimiliki orang. c. Modeling dapat merangsang timbulnya emosi. Biasanya orang dapat berpersepsi dan berperilaku secara berbeda dalam kedaan emosi tinggi. d. Modeling dapat membentuk citra orang tentang realitas social karena menggambarkan
hubungan
manusia
dengan
aktivitas
yang
dilakukannya. 2.5
Sumber dan Peran Motivasi dalam Teori Kognitif Sosial Dalam proses pembelajaran, apakah orang mempraktekan apa yang
dipelajarinya
atau
tidak
tergantung
pada
motivasinya.
Pengamat
akan
cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut:
Teori Kognitif Sosial
Page | 12
a. Menghasilkan imbalan eksternal; b. Secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif; dan c. Pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri. Hal yang harus diperhatikan dalam pelajaran pengamatan adalah bahwa sumber motivasi bisa berasal dari internal pengamat dan eksternal (model). Factor internal yang mempengaruhi motivasi pengamat adalah kecakapan diri (self-efficacy). Anggapan mengenai kecakapan diri (perceived self-efficacy) ini berperan besar dalam perilaku. Anggapan tentang kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu untuk melakukan sesuatu. Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif)
atau
bahkan
dismotivasi
untuk
melakukan
suatu
hal
(apabila
anggapannya negatif). Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa factor model atau teladan menjadi sumber lain dari motivasi yang harus diperhatikan. Oleh karena itu bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut : a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata – kata, tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Sebagai contoh : Belajar gerakan tari dari pelatih memerlukan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan seterusnya ditiru oleh para pelajar pada masa yang sama, kemudian proses meniru akan efisien jika gerakan tari tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar, atau kaedah yang ditulis dalam buku panduan. b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya. c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat. Teori belajar social dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya
Teori Kognitif Sosial
Page | 13
terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh : Penerapan teori belajar social dalam iklan sabun ditelevisi. Iklan selalu menampilkan bintang – bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para “bintang “. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri – cirri model seperti usia, status social, seks, keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak – anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa. Anak – anak juga cenderung meniru model yang sama prestasinya dalam jangkauannya. Anak – anak yang sangat dependen cenderung imitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan observernya. Karakteristik Model yang Efektif Menurut Jeanne Ellis ormrod (2008) ada 4 karakteristik dari beberapa model yaitu: a. Kompetensi:
pembelajar
biasanya
meniru
orang-orang
yang
melakukan sesuatu dengan baik, bukan sebaliknya. Mereka akan mencoba meniru keterampilan bermain bola dariseorang pemain bola
professional
yang
sudah
punya
skill.
Pembelajar
mendapatkan manfaat tidak hanya dari mengamati apa yang dilakukan oleh model kompeten, melainkan juga dari melihat hasil dari hasil akhir yang telah diciptakan oleh model yang kompeten tersebut. b. Prestise dan kekuasaan: Anak-anak remaja sering meniru orang yang terkenal atau orang yang berkuasa. Beberapa model yang efektif, pemimpin dunia, atlet terkenal, bintang rock popular adalah orang-orang yang terkenal di tingkat nasional maupun internasional. Jadi, selain sendiri mencontohkan perilaku yang diharapkan sebaiknya memajan (expose) siswa dengan berbagai model yang mungkin mereka anggap kompeten dan berprestise. c. Perilaku “Sesuai-Jender”: Pembelajar paling mungkin mengadopsi perilaku yang mereka anggap sesuai dengan jender mereka. Individu yang berbeda, tentu saja, bias mendefinisikan yang
Teori Kognitif Sosial
Page | 14
sesuai jender dengan agak berbeda. Sebagai contoh, beberapa anak perempuan mungkin menjauhkan diri dari berkarir di bidang matematika, yang mereka rasa terlalu maskulin. d. Perilaku
yang
relevan
dengan
situasi
pembelajar
sendiri:
pembelajar paling mungkin mengadopsi perilaku yang mereka yakini akan membantu mereka dalam situasi mereka. Sebagai contoh, seseorag siswa sekolah menengah lebih mungkin meniru cara berpakaian teman-teman sekelasnya yang popular jika dia berpikir dia dapat menjadi popular dengan mengenakan pakaian semacam itu. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai dampak model pada tiga area: keterampilan akademis (academic skilss), agresi (aggression), dan perilaku intrapersonal (interpersonal behaviors). a. Keterampilan Akademis (academic skills): siswa mempelajari banyak keterampilan akademis, setidaknya sebagian, dengan mengamati apa yang dilakukan orang lain. Misalnya, mereka mungkin belajar bagaimana memecahkan soal pembagian yang panjang atau menulis karangan yang kohesif sebagian dengan mengamati bagaimana guru dan teman mereka melakukan hal tersebut. Pemodelan keterampilan akademik secara khusus
dapat
efektif
ketika
model
memperagakan
tidak
hanya
bagaimana melakukan suatu tugas, tapi juga bagaimana memikirkan tugas tersebut. b. Agresi (aggression): banyak kajian penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif ketika mereka mengamati model yang agresif atau berperilaku kasar. Anak-anak mempelajari agresi tidak hanya dari model hidup (live models), tapi juga dari model simbolik (symbolic models) yang mereka lihat di film, televise, atau video game. c. Perilaku Interpersonal: dengan mengamati dan meniru orang lain, pembelajar mendapatkan banyak keterampilan interpersonal. Sebagai contoh, dalam kelompok kecil dengan teman-teman kelas, anak-anak bias mengadopsi strategi satu sama lain untuk melakukan diskusi mengenai
kesusasteraan,
pendapat
satu
sama
lain
mungkin
belajar
(“Bagaimana
bagaimana
menurutmu,
meminta Jalisha?”),
mengepresikan persetujuan atau ketidaksetujuan (“aku setuju dengan
Teori Kognitif Sosial
Page | 15
kordel karena …… “), dan membenarkan suatu sudut pandang (“aku pikir hal itu sebaiknya tidak diperbolehkan, karena ……”). 2.6 Self-Efficacy Bandura
mendefinisikan self-efficacy
sebagai
judgement
seseorang
atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu.
Bandura menggunakan istilah
self-efficacy mengacu pada keyakinan (beliefs) tentang kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melak- sanakan tindakan untuk pencapaian hasil. Dengan kata lain, self- efficacy adalah keyakinan penilaian diri berkenaan dengan kompetensi seseorang
untuk
sukses
dalam
tugas-tugasnya.
Menurut Bandura keyakinan self-efficacy merupakan faktor kunci sumber tindakan manusia (human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi bagaimana mereka bertindak”. Di samping itu, keyakinan efficacy juga mempengaruhi cara atas pilihan tindakan seseorang, seberapa banyak upaya yang mereka lakukan, seberapa
lama
mereka
akan
tekun
dalam
menghadapi
rintangan
dan
kegagalan, seberapa kuat ketahanan mereka meng- hadapi kemalangan, seberapa jernih pikiran mereka merupakan rintangan diri atau bantuan diri, seberapa banyak tekanan dan kegundahan pengalaman mereka dalam meniru (copying) tuntunan lingkungan, dan seberapa tinggi tingkat pemenuhan yang mereka wujudkan. Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy mempengaruhi pilihan orang dalam membuat dan menjalankan tindakan yang mereka kejar. Individu cenderung berkonsentrasi dalam tugas- tugas yang mereka rasakan mampu
dan
percaya
dapat menyelesai- kannya serta
menghindari tugas-tugas yang tidak dapat mereka kerjakan. Keyakinan efficacy
juga
membantu
menentukan
sejauh
mana
usaha
yang
akan
dikerahkan orang dalam suatu aktivitas, seberapa lama mereka akan gigih ketika menghadapi rintangan, dan seberapa ulet mereka akan menghadapi situasi yang tidak cocok. Keyakinan efficacy juga mempengaruhi sejumlah stress
dan
pengalaman
menyibukkan
diri
sebagaimana
dikutip
Teori Kognitif Sosial
dalam oleh
kecemassuatu
an
individu
aktifitas.13
seperti
Secara
Pajares, menghubungkan
ketika
mereka
eksplisit,
Bandura
self-efficacy
dengan
Page | 16
motivasi dan tindakan, tanpa memperhatikan apakah keyakinan itu benar secara
objektif
atau tidak.
melalui self- efficacy
yang
Dengan demikian, perilaku dapat diprediksi dirasakan
(keyakinan
seseorang
tentang
kemampuan- nya), meskipun perilaku itu terkadang dapat berbeda dari kemam- puan aktual karena pentingnya self-efficacy yang dirasakan. Keyakinan kemampuan seseorang dapat membantu menentukan hasil yang diharapkan, karena individu memiliki confident dalam mengantisipasi hasil yang
sukses.
Misalnya,
pebelajar
yang
confident
dalam
mengantisipasi
kemampuan menulis, memiliki nilai yang tinggi dalam tugas kepenulisan dan mengharapkan
mutu
tugas
mereka
memperoleh
manfaat
akademik.
Sebaliknya, pebelajar yang ragu-ragu atas kemampuan menulis berpretensi akan memperoleh nilai rendah sebelum mereka mantap mulai menulis. Perasaan efficacy yang kuat meningkatkan kecakapan seseorang dan kesejahteraan (well-being) dalam cara yang tak terbayangkan. Individu yang confident, memandang tugas-tugas
yang sulit sebagai tantangan
untuk
dikuasai daripada sebagai ancaman untuk dihindari. Mereka memiliki minat yang lebih kuat dan keasyikan yang men- dalam pada kegiatan, menyusun tujuan yang menantang mereka, dan memelihara komitmen yang kuat serta mempertinggi dan mendukung usaha-usaha kegagalan.
Mereka
mereka
dalam
menghadapi
lebih cepat memulihkan confident setelah mengalami
kegagalan atau ke- munduran. Self-efficacy yang tinggi membantu membuat perasaan tenang dalam mendekati tugas dan kegiatan yang sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya, mereka bisa percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada yang sesungguhnya. 2.6.1 Self-efficacy dalam Pandangan Teori Kognitif Sosial Teoritisi kognitif sosial menganggap bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci yang mempengaruhi self-regulated learning. Dalam mendukung asumsi ini, persepsi self-efficacy pebelajar ditemukan ber- hubungan dengan 2 aspek kunci pengulangan timbal balik (reciprocal loop) pada umpan balik yang diajukan, yaitu penggunaan strategi belajar dan evaluasi diri. Pebelajar dengan self-efficacy tinggi memiliki kualitas strategi belajar yang lebih baik dan memiliki monitoring diri yang
lebih
terhadap
hasil
belajar
mereka
daripada pebelajar yang memiliki self-efficacy rendah. Beberapa penelitian
Teori Kognitif Sosial
Page | 17
menemukan bahwa persepsi self-efficacy pebelajar secara positif berhubungan dengan hasil belajar sebagai ketekunan tugas, pilihan tugas, aktivitas studi yang efektif , dan prestasi akademik. 2.6.2 Sumber Self-efficacy Menurut Bandura sebagaimana dipublikasikan dalam Wikipedia, ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu penguasaan atau pengalaman yang menetap, pengalaman yang dirasakan sosial,
dan
keadaan
psikologis
atau emosi.
sendiri,
bujukan
Keempat sumber tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penguasaan atau pengalaman yang menetap .Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai faktor terpenting pembentuk selfefficacy
seseorang.
“Kesuksesan
meningkat-
kan
nilai
efficacy
dan
pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi karena refleksi kurangnya usaha atau keadaan eksternal yang tidak cocok”. Perasaan efficacy yang kuat mungkin dapat dikembangkan melalui pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan, orang cenderung menganggap asal kegagalan pada beberapa faktor ekster- nal seperti usaha yang tidak cukup atau strategi yang tidak tepat. Usaha
dalam
melaksanakan
tugas
merupakan
faktor
lain
yang
mempengaruhi efficacy. Ketika seseorang mengeluarkan usaha yang besar dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit, kesuksesan tidak akan dengan kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan akan meruntuhkan self-efficacynya.
Sebaliknya, performan yang rendah dengan
derajat usaha yang lemah memiliki sedikit dampak pada keyakinan selfefficacy
seseorang,
tetapi
kesuksesan
dengan
sedikit
usaha
membawa
performansi mereka pada tingkat self- efficacy yang tinggi. Kedua, pengalaman yang dirasakan sendiri. Seseorang terkadang membuat judgement tentang kemampuannya sendiri dengan memper- hatikan orang lain yang mengerjakan tugas tertentu yang serupa. Kesuksesan orang lain mengindikasikan bahwa mereka sendiri dapat mengerjakan tugas yang sama, sementara kegagalan orang lain mung- kin mengidentifikasi mereka
Teori Kognitif Sosial
Page | 18
tidak mengerjakan tugas. Orang mem- buat perbandingan dengan orang lain dalam hal usia, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, penandaan etnik, dan prediksi kemampuan sendiri mereka dalam mengerjakan tugas. Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman yang dialami sendiri terhadap self-efficacy, Schunk dan Hanson menyelidiki bagai- mana selfefficacy anak-anak dan prestasi mereka dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap
model
pengalaman
teman
berupa
sebaya
kesulitan
(peer dalam
models).
Siswa
pengurangan
yang
belajar
memiliki (learning
subtraction) dikelompokkan secara random, dan setiap kelompok, baik yang mengobservasi
demonstrasi
teman
sebaya
atas
perolehan
keterampilan
pengurangan (subtraction skills), yang meng- observasi model guru yang mendemonstrasikan operasi pengurangan (subtraction operations), maupun yang
tidak
menunjukkan
mengobservasi bahwa
baik
model
model
sama
teman
sekali.
sebaya
Hasil dan
eksperimen
model
guru
menghasilkan self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang tidak mengobservasi model sama sekali. Model teman
sebaya membawa self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi
yang lebih tinggi dari pada model guru. Meski tidak sebesar pengaruh seperti pada mastery experinece (past experience),
modeling
ini
berpengaruh
sangat
kuat
pada
self-efficacy
ketika seseorang, terutama sekali, tidak meyakini dirinya sendiri. Kesimpulan ini juga dicapai oleh Keyser dan Barling.
Dibandingkan dengan anak-anak
lain, anak-anak yang lebih muda lebih mem- percayakan modeling sebagai sumber informasi berkenaan dengan keyakinan self-efficacy mereka. Keyser dan Barling mengasumsikan bahwa pemenuhan performan sendiri anak-anak mungkin tercapai lebih mempengaruhi sebagai sumber self-efficacy seperti anak yang menjadi lebih tua. Argumen ini didukung oleh Wang dan RiCharde26
yang
melaporkan
bahwa
performansi
secara
signifikan
mempengaruhi keyakinan self-efficacy kelas empat, dan tidak pada keyakinan self- efficacy kelas dua. Ketiga, bujukan sosial. Penilaian diri (self-appraisals) atas kompetensi sebagian didasarkan pada opini (penilaian) lain yang signifikan yang agaknya
Teori Kognitif Sosial
Page | 19
memiliki kekuatan evaluatif. Orang yang dibujuk secara verbal yang memiliki kemampuan untuk memenuhi tugas yang diberikan adalah lebih mungkin tetap melakukan (tugas) lebih lama ketika dihadapkan pada kesulitan dan lebih tetap mengembangan perasaan self-efficacy. Peningkatan keyakinan yang tidak realistik atas self-efficacy seseorang bergandengan dengan kegagalan ketika menger- jakan tugas, akan tetapi, hanya akan kehilangan kepercayaan pem- bujuk dan lebih jauh mengikis self-efficacy yang dirasakan seseorang. Persuasi sosial ini berkenaan dengan dorongan/keputusasaan. Persuasi positif meningkatkan self-efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self-efficacy. Secara umum lebih mudah menurunkan self- efficay seseorang dari pada meningkatkannya. Dalam rangka menguji pengaruh penilaian yang akurat terhadap keyakinan self-efficacy siswa, Schunk melakukan studi terhadap anak- anak usia
9 hingga
meningkatkan
11 tahun. Umpan perasaan
self-efficacy
balik yang anak-anak
benar yang
ditemukan untuk telah
mengalami
kegagalan yang amat sangat dalam matematika. Selain itu, Keyser dan Barling mencatat bahwa kegiatan yang terus menerus daripada menunda atau umpan balik yang sebentar-sebentar ber- kenaan dengan kecukupan performan adalah berpengaruh pada ke- yakinan self-efficacy siswa. Keempat, keadaan psikologis atau emosi. Biasanya, dalam situasi yang penuh tekanan, umumnya orang menunjukkan tanda susah, guncang, sakit, lelah, takut, muak, dan seterusnya. Persepsi seseorang atas respon ini dapat dengan jelas mengubah self-efficacy seseorang. Keputusan self-efficacy pribadi seseorang dipengaruhi oleh perasaan dibanding dengan penggerakan yang sebenarnya atas pemunculan dalam situasi yang mengandung risiko. Selain itu, termasuk dalam aktivasi psikologis, suasana hati (mood) njuga mempengaruhi perasaan self-efficacy, karena suasana hati menggerakkan memori seseorang.
Kesuksesan dan kegagalan masa lampau
disimpan sebagai memori. Suasana hati positif menggerakkan pe- mikiran atas prestasi masa lalu, sedangkan suasana hati negatif menggerakkan atas
kegagalan
memori
masa lalu. Kesuksesan di bawah suasana hati positif
menghasilkan tingkat self-efficacy yang tinggi. Kegagalan di bawah suasana hati negatif, bagaimana pun, membawa keyakinan self-efficacy yang rendah.
Teori Kognitif Sosial
Page | 20
“Orang yang gagal di bawah suasana hati yang gembira menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka.
Orang
yang
sukses
di bawah
suasana
hati
yang
sedih menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka”. Pembahasan tersebut menyimpulkan bahwa terdapat empat sumber utama keyakinan self-efficacy seseorang dari perspektif kognitif
sosial. Para
peneliti memberikan faktor tambahan yang mempengaru- hi keyakinan selfefficacy siswa, yaitu minat siswa, peran guru, kom- pleksitas tugas yang dibutuhkan, performansi pebelajar, perbandingan dengan pebelajar lain, dan usaha yang dikerahkan dalam tugas, sebagaimana dalam hasil penelitian Huang dan Chang. 2.6.3 Self-efficacy sebagai Indikator Kesuksesan Self-efficacy dalam beberapa hasil studi menunjukkan adanya hubungan dengan prestasi akademik di sekolah.
Siswa yang me- miliki self-efficacy
rendah untuk belajar mungkin menghindari tugas; sedang siswa yang menilai keyakinan dirinya tinggi melibatkan
diri
dalam
lebih mungkin berpartisipasi”. aktifitas
Siswa
yang
belajar mengamati performansi mereka
sendiri yang mempengaruhi perasaan self-efficacy mereka. Ketika siswa mengamati
kesuksesan
dan
meng-
hubungkan
kesuksesan
dengan
kemampuan mereka sendiri, self- efficacy mereka meningkat. Sedangkan ketika mereka percaya bahwa mereka kurang mampu, dan mereka merasa tidak dapat mencapai kemampuan mereka sendiri, mungkin tidak termotivasi untuk bekerja (belajar) lebih keras. Keyakinan self-efficacy menjadi
melakukan
dengan
dapat
mempengaruhi
seorang
sukses
perilaku
diperlukan
yang
individu untuk
memperoleh hasil yang diinginkan. Teori self-efficacy menyatakan bahwa tingkatan dan kekuatan self-efficacy akan menentukan: (1) apakah perilaku itu akan dilakukan atau tidak, (2) seberapa banyak usaha yang akan dihasilkan, dan (3) seberapa lama usaha yang akan didukung dalam menghadapi tantangan. Teori self-efficacy tidak berkaitan
dengan
keterampilan
(skill)
yang dimiliki individu tetapi lebih berkaitan dengan keputusan yang mereka miliki berkenaan dengan keterampilan. Self-efficacy diajukan untuk menjadi mediasi variabel antara pemenuhan performansi sebelumnya dan performansi yang akan datang.
Teori Kognitif Sosial
Page | 21
Ketika
manusia
memiliki
perasaan
yang
kuat
atas
self-efficacy,
mereka akan maju meraih usaha yang lebih besar untuk memenuhi atau menyelesaikan tugas dan mengenyampingkan rintangan yang mereka hadapi dibanding orang yang memiliki perasaan lemah self- efficacy-nya. Dengan demikian, pebelajar yang memiliki tingkat self- efficacy yang lebih tinggi akan memiliki
niat
yang
lebih
tinggi
pula
dan
lebih
mungkin
untuk
tetap
mengerjakan tugas, meski menghadapi rintangan dari luar. Self-efficacy ini tidak sama dengan self-esteem, keduanya berbeda dalam satu konsep utama. Self-efficacy adalah keyakinan pribadi tentang kompetensi, sedang self-esteem adalah reaksi emosi seseorang pada suatu pemenuhan yang sebenarnya. Dari menjelaskan
pembahasan
self-efficacy
ini
Schunk
bahwa individu yang efficacy-nya tinggi, lebih mungkin
berpartisipasi dalam tugas
atau
pelajaran,
sementara
individu
yang
efficacy-nya rendah, lebih mungkin meninggalkan pelajaran atau tugas. 2.6.4 Self-efficacy untuk Prestasi Akademik Perasaan atau persepsi self-efficacy akademik didefinsikan sebagai judgement pribadi atas kemampuan seseorang untuk mengorganisasi dan melaksanakan jalan kegiatan untuk mencapai jenis-jenis per- formansi pendidikan
yang
dipilih.
Dalam
penelitian
Collins
tentang
self-efficacy
diungkapkan bahwa anak-anak yang berkemampuan mate- mátika, memiliki keyakinan self-efficacy yang lebih kuat. Mereka lebih cepat membuat strategi, memecahkan problem lebih cepat, memilih mengerjakan kembali problem yang belum mereka pecahkan, dan melakukannya dengan lebih akurat daripada anak-anak dengan kemampuan efficacynya.
Pajares
sama
yang
diragukan
self-
juga melaporkan bahwa self-efficacy matematika pada
mahasiswa menjadi prediktor minat matematika mereka yang lebih baik dan utama
dari pada prestasi matematika
matemati- ka.
sebelumnya
atau
harapan
hasil
Menurut Zimmerman dkk, bahwa self-efficacy akademik
mem- pengaruhi prestasi secara langsung dengan meningkatkan tujuan nilai siswa.
Pintrich dan Garcia menemukan bahwa siswa yang percaya bahwa
mereka mampu melakukan tugas-tugas akademik meng- gunakan strategi kognitif dan metakognitif lebih dan tetap melakukan lebih lama dari pada siswa yang tidak percaya.
Teori Kognitif Sosial
Page | 22
2.7 Regulasi Diri (Self Regulation) Manusia
mempunyai
tersebut manusia lingkungan strategi
memanipulasi
akibat
kegiatan
reaktif
dipakai
untuk
kemampuan
dan mencapai
berpikir,
lingkungan
manusia.
proaktif
dengan
sehingga
terjadi
Menurut Bandura,
dalam regulasi
kemampuan
diri.
perubahan
akan
terjadi
Strategi
reaktif
tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai,
strategi proaktiflah yang menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Ada tiga proses
yang
dapat
diapaki
untuk
memanipulasi
faktor
eksternal,
melakukan
memonitoring
laku internal. Tingkah laku manusia merupakan faktor
eksternal
pengaturan
diri,
yaitu
dan mengevaluasi tingkah hasil
pengaruh
resiprokal
dan internal.
a. Faktor Eksternal dalam regulasi diri Faktor eksternal mempengaruhi
regulasi diri dalam dua cara, yaitu
pertama, faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi laku. Faktor
lingkungan
tingkah
berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi,
membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru, serta pengalaman
berinteraksi
dengan lingkungan
yang lebih luas, anak
belajar mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk menilai diri. Kedua,
faktor eksternal
penguatan
(reinforcement).
kepuasan,
orang
eksternal.
Standar
mempengaruhi Hadiah
membutuhkan
regulasi
intrinsik
diri dalam bentuk
tidak selalu
memberi
insentif yang berasal dari lingkungan
tingkah laku dan penguatan biasanya bekerja sama,
dimana ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu maka butuh penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan kembali. b. Faktor Internal dalam regulasi diri Bandura pertama,
mengemukakan
observasi
tiga
bentuk
diri (self observation)
memonitoring performansinya, walau tidak
pengaruh
internal, yaitu
dimana individu harus mampu sempurna
karena
individu
cenderung menilai beberapa aspek tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku yang lainnya.
Teori Kognitif Sosial
Page | 23
Kedua, proses penilaian
tingkah laku (judgement
process) adalah
melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi,
membandingkan
tingkah
laku
dengan
norma standar tingkah laku orang lain, menilai
berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan memberi atribusi performansi. Standar pribadi berasal dari pengalaman- pengalaman mengamati model. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat maka proses kognnitif
menyusun
ukuran-ukuran
atau
penguatan, norma
yang
sifatnya sangat pribadi karena ukuran tersebut tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya dengan
ukuran eksternal, bisa berupa norma standar, perbandingan sosial,
perbandingan dengan orang lain atau perbandingan kolektif. Serta yang ketiga, yaitu respon diri (self response) dimana pada akhirnya berdasarkan pengamatan dan judgment, individu mengevaluasi diri sendiri dan menghadiahi atau menghukum dirinya sendiri. ImplikasiTeoriBelajarSosialdalamPendidikan Berdasarkan
Teori
Pembelajaran
Sosial
yang
dipelopori
oleh
Albert
Bandura, pemerhati akan meniru setiap tingkah laku 'model' sekiranya tingkah laku model tersebut mempunyai ciri-ciri seperti bakat, kecerdasan, kuasa, kecantikan atau pun populariti yang diminati oleh pemerhati. Sudah tentu, sebagaiseorang guru, kita sewajarnya turut mempunyai sedikit/sebanyak mengenai ciri-ciri yang disebutkan di atas. Ia secara tidak langsung amat berkait rapat terhadap proses pengajaran dan pembelajaran. Antara implikasi yang berkait rapat dengan Teori Pembelajaran Sosial terhadap pengajaran dan pembelajaran yang pertama ialah sebagaiseorang guru, amat penting bagi kita memberi setiap orang murid peluang untuk memerhati dan mencontohi berbagai jenis model yang menunjukkan tingkah laku yang diingini. Oleh yang demikian, kita hendaklah memastikan bahawa kita sendiri boleh menunjukkan tingkahlaku yang boleh diteladani serta memaklumkan kepada anak murid berkenaan kesan sesuatu tingkah laku yang tidak bermoral, melanggar norma-norma masyarakat dan undang-undang, bersifat eksploitasi dan manipulasi dan sebagainya.
Teori Kognitif Sosial
Page | 24
Kedua, kita sebagai guru perlu memastikan dan berusaha menyediakan persekitaran sosial yang kondusif agar modeling boleh berlaku. Perkara seperti memberi insentif, pengukuhan dan sokongan moral seharusnya diberi kepada murid-murid secara terus menerus bagi menggalakkan berlakunya tingkahlaku yang baik dalam kalangan murid-murid pada masa kini. Selain itu, persembahan pengajaran seseorang guru seharusnya tersusun dan dapat menarik minat dan perhatian murid-murid serta seharusnya dapat dijadikan model untuk diikuti oleh mereka. Guru mestilah senantiasa mahir dalam komunikasi agar setiap kali sesi demonstrasi pembelajaran di dalam kelas jelas,dapat dipahami dan dapat diikuti oleh murid dengan mudah dan tepat. Contohnya, jika guru mengajar cara-cara untuk menghasilkan lukisan, guru mestilah menerangkan dahulu langkah-langkahnya agar ia dapat diikuti oleh murid secara mudah. Menurut Jeanne Ellis Ormrod (2008) yang membagi-bagi implikasi teori belajar sosial ke dalam 5 bagian berdasarkan asumsi-asumsi dasar teori kognitif sosial yaitu:
Teori Kognitif Sosial
Page | 25
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya. Bandura berpendapat bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah
laku
yang
meliputi
proses-proses
kognitif
belajar.
Komponen-
komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel). Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran
komponen-komponen
skill
itu
sendiri,
perlu
ditumbuhkan sense of efficacy dan self regulatory pembelajar. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu. Dari teori pembelajaran ini kita juga dapat merefleksikan diri bahwa: a. manusia bisa belajar melalui perilaku orang lain; b. manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk; c. manusia dapat memetik pelajaran dari obyek yang menjadi modelnya. Dan Yang dapat dilakukan untuk sesama: a. Memberikan contoh yang baik (menjadi model yang baik), karena kita hidup dengan orang lain, sehingga orang lain tidak menirukan tindakan kita yang kurang berkenan; b. Kita bisa memanipulasi perilaku orang lain dengan pengetahuan tentang penguatan. 3.2 Saran Saran yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kita sebagai pembelajar maupun yang nantinya akan menjadi model (contoh), hendaknya bersikap mengikuti sikap dan perilaku orang lain yang baik. Kita harus selektif dalam
Teori Kognitif Sosial
Page | 26
menirukan karena kita akan ditiru oleh peserta didik kita, sehingga apabila kita salah bertindak akan berpengaruh buruk pula pada peserta didik.
Teori Kognitif Sosial
Page | 27
DAFTAR PUSTAKA
Teori Kognitif Sosial
Page | 28