MAKALAH
TEORI PERKEMBANGAN Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Dosen Pengampu : Dra. Zuraida Lubis, M.Pd Faisal, S.Pd., M.Pd.
OLEH :
KELOMPOK 2
Fitrichia Sinambela
4143121017
Mega Furi Handayani
4152121027
Nana Triana
4151121043
Novantry Seventina Sinaga
4151121049
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2017
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan makalah tentang Pengembangan Peserta Didik. Penulis berterima kasih pada Ibu Dra. Zuraida Lubis, M.Pd dan Bapak Faisal, M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Pengembangan Peserta Didik yang telah memberikan tugas ini. Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya.
Medan, 06 September 2017 Penulis
Kelompok II
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ...............................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2 1.3 Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II. PENGERTIAN FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN 2.1 Teori-Teori Psikoanalisis ................................................................. 3 2.2 Teori-Teori Kognitif....................................................................... 11 2.3 Teori-Teori Perilaku dan Kognitif Sosial ....................................... 14 2.4 Teori Kontekstual Ekologis ........................................................... 17 2.5 Orientasi Teoritris Elektik .............................................................. 19
BAB III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 21 3.2 Saran ................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 21
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan individu merupakan pola gerakan atau perubahan yang secara dinamis dimulai dari pembuahan atau konsepsi dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia yang terjadi akibat dari kematangan dan pengalaman. Menurut Hurlock, dalam perkembangan ada dua proses yang bertentangan yang terjadi secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan yang disebut evolusi dan kemunduran yang disebut dengan involusi. Pada awal kehidupan manusia yang berperan adalah evolusi, sedangkan involusi lebih berperan pada akhi kehidupan, yaitu perubahan-perubahan yang bersifat mundur. Sikap terhadap perubahan-perubahan perkembangan ini dipengaruhi oleh penampilan dan perilaku individu, stereotip budaya, nilai-nilai budaya, perubahan-perubahan peran dan pengalaman pribadi. Salah satu tujuan dari perubahan ini adalah agar individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga baik secara fisik maupun psikis sesuai dengan harapan-harapan sosial. Adapun perubahan-perubahan dalam perkembangan individu merupakan hasil dari proses-proses biologis, kognitif dan sosio-emosional yang saling berkaitan. Proses biologis meliputi perubahan pada sifat fisik individu yang semakin bertambah usia akan mengarah kepada kematangan. Untuk proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi dan bahasa individu, sedangkan proses sosio-emosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, serta perubahan emosi dan kepribadian yang menyertainya. Perkembangan Peserta Didik merupakan bagian dari pengkajian dan penerapan
Psikologi
Perkembangan.
Dalam
pengkajian
mata
kuliah
Perkembangan Peserta Didik difokuskan pada perkembangan individu sebagai peserta didik pada institusi pendidikan. Di dalam makalah, para penulis sebagai penyusun materi mengenai teori-teori dalam perkembangan mencoba memahami perkembangan dari perspektif sepanjang rentang kehidupan manusia
Tujuan
akhir dari perspektif ini adalah untuk membantu hidup individu mengetahui teoriteori perkembangan yang terjadi padanya.
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pandangan teori psikisanalisis terhadap perkembangan 2. Bagaimana pandangan teori kognitif terhadap perkembangan 3. Bagaimana pandangan teori
prilaku dan kognisi sosial
terhadap
perkembangan 4. Bagaimana pandangan teori kontekstual ekologis terhadap perkembangan 5. Bagaimana orientasi teoritis elektik
1.3 Tujuan 1. Mengetahui teori psikisanalisis terhadap perkembangan 2. Mengetahui teori kognitif terhadap perkembangan 3. Mengetahui teori prilaku dan kognisi sosial terhadap perkembangan 4. Mengetahui teori kontekstual ekologis terhadap perkembangan 5. Mengetahui orientasi teoritis elektik
2
BAB II TEORI PERKEMBANGAN 2.1 Teori-Teori Psikonalisis Menurut teori psikoanalisis, proses berkembangan terutama berlangsung secara tidak disadari atau unconscious (diluar kesadaran) dan sangat diwarnai oleh emosi. Para ahli teori psikoanalisis menekan bahwa perilaku hanyalah merupakan karakteristik dipermukaan. Pemahaman sepenuhnya mengenai perkembangan hanya dapat dicapai melalui analisis terhadap makna-makna simbolis dari perilaku serta menelaah pikiran yang lebih dalam. Ahli teori psikoanalisis juga menekankan pada pengalaman dimasa awal dengan orang tua memiliki pengaruh yang luas terhadap perkembangan. Karakteristik-karakteristik ini disoroti dalam teori psikoanalisis utama yaitu Sigmund Freud. 1. Teori Freud Sigmund Freud mengemukakan bahwa kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Topografi atau peta kesadaran ini dipakai untuk mendiskripsi unsur cermati (awareness) dalan setiap event mental seperti berfikir dan berfantasi. Sampai dengan tahun 1920an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur kesadaran itu. a. Sadar (Conscious) Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil saja Bari kehidupan mental (fikiran,
persepsi,
perasaan
dan
ingatan)
yang
masuk
kekesadaran
(consciousness). Isi daerah sadar itu merupakan basil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus atau cue-eksternal. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu yang singkat di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah perconscious atau unconscious, begitu orang memindah perhatiannya ke we yang lain.
3
b. Prasadar (Preconscious) Disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan taksadar. Isi preconscious berasal dari conscious dan clan unconscious. Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar. Di sisi lain, isi-materi daerah taksadar dapat muncul ke daerah prasadar. Kalau sensor sadar menangkap bahaya yang bisa timbul akibat kemunculan materi tak sadar materi itu akan ditekan kembali ke ketidaksadaran. Materi taksadar yang sudah berada di daerah prasadar itu bisa muncul kesadaran dalam bentuk simbolik, seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahanan diri. c. Tak Sadar (Unconscious) Tak sadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls dan drives yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah taksadar. Isi atau materi ketidaksadaran itu memiliki kecenderungan kuat untuk bertahan terus dalam ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur tingkahlaku sangat kuat namun tetap tidak disadari. Model
perkembangan
psikoanalisis
dasar,
yang
terus-menerus
dimodifikasi oleh Freud selama 50 tahun terakhir hidupnya, terdiri atas tiga komponen
pokok;
(1)
satu
komponen
dinamik
atau
ekonomik
yang
menggambarkan pikiran manusia sebagai sistem energi yang cair; (2) satu komponen struktural atau topografik berupa sebuah sistem yang memiliki tiga struktur psikologis berbeda tetapi saling berhubungan dalam menghasilkan perilaku; dan (3) satu komponen sekuensial (urutan) atau tahapan yang memastikan langkah maju dari satu tahap perkembangan menuju tahap lainnya, yang terpusat pada daerah-daerah tubuh yang sensitif, tugas-tugas perkembangan, dan konflik-konflik psikologis tertentu.
4
Menurut Freud, para bayi terlahir dengan kemampuan untuk merasakan kenikmatan apabila terjadi kontak kulit, dan para bayi itu memiliki semacam ketegangan di permukaan kulit mereka yang perlu diredakan melalui kontak kulit secara langsung dengan orang lain. Freud menyerupakan kenikmatan ini dengan rangsangan seksual tetapi ia memberi catatan bahwa hal ini berbeda secara kualitatif dari tipe rangsangan seksual yang dialami oleh orang dewasa karena kejadian yang dialami bayi ini lebih bersifat umum dan belum terdiferensiasi. Freud menyebut kemampuan untuk mengalami kenikmatan ini dan kebutuhan untuk meredakannya dengan nama seksualitas bayi, yang berbeda dari seksualitas orang dewasa. Pandangan mengenai seksualitas bayi dan anak-anak ini memicu protes luas orang-orang menentang Freud pada masa-masa akhir era Victorian dan awal abad ke-20. Tetapi Freud dan para pengikutnya, yang mendasarkan pendirian mereka pada pengalaman-pengalaman klinis, bersikukuh pada teori tersebut” Mereka tetap berpegang pada pandangan bahwa kornponen-komponen psikologiseksperiensial saling terkait dengan disertai pergantian zona-zona erogen secara biologis melalui urutan (sekuen) tertentu. Dengan demikian tahapan-tahapan perkembangan ini disebut sebagai tahapan-tahapan psikoseksual (Psychosexual stages). Teori Freud. memandang bahwa tahapan-tahapan ini bersifat urniversal, berlaku pada sernua anak-anak dimana saja. Menurut Freud, kemunculan setiap tahapan psikoseksual dan sebagian bentuk perilaku yang terjadi di setiap tahapan dikendalikan oleh faktor-faktor genetik atau kematangan sedangkan isi tahapan-tahapan tersebut berbeda-beda bergantung pada kultur tempat terjadinya perkembangan. Sekali lagi ini memperlihatkan contoh mengenai pentingnya interaksi antara kekuatan keturunan dan kekuatan lingkungan bagi proses perkembangan. Freud berpendapat bahwa dalam perkembangan manusia terdapat dua hal pokok yaitu: (1) bahwa tahun-tahun awal kehidupan memegang peranan penting bagi pembentukan kepribadian; dan (2) bahwa perkembangan manusia meliputi tahap-tahap psikoseksual:
5
a. Tahap oral Sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah makan. Dua macam aktivitas oral
ini, yaitu menelan makanan dan mengigit, merupakan
prototipe bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian hari. Karena tahap oral ini berlangsung pada saat bayi sama sekali tergantung pada ibunya untuk memdapatkan makanan, pada saat dibuai, dirawat dan dilindungi dari perasaan yang tidak menyenangkan, maka timbul perasaan-perasaan tergantung pada masa ini. Frued berpendapat bahwa simtom ketergantungan yang paling ekstrem adalah keinginan kembali ke dalam rahim. b. Tahap anal Setelah makanan dicernakan, maka sisa makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara reflex akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf tertentu. Pada umur dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan tentang pengaturan atas suatu impuls instingtual oleh pihak luar. Pembiasaan akan kebersihan ini dapat mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan nilainilai khusus. Sifat-sifat kepribadian lain yang tak terbilang jumlahnya konon sumber akarnya terbentuk dalam tahap anal. c. Tahap falik Selama tahap perkembangan kepribadian ini yang menjadi pusat dinamika adalah
perasaan-perasaan
seksual
dan
agresif
berkaitan
dengan
mulai
berfungsinya organ-organ genetikal. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya kompleks Oedipus.
Freud memandang keberhasilan mengidentifikasikan
kompleks Oedipus sebagai salah satu temuan besarnya. Freud mengasumsikan bahwa setiap orang secara inheren adalah biseksual, setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun pada anggota lawan jenis. Asumsi tentang biseksualitas ini disokong oleh penelitian terhadap kelenjarkelenjar endokrin yang secara agak konklusif menunjukkan bahwa baik hormon seks perempuan terdapat pada masing-masing jenis. Timbul dan berkembangnya
6
kompleks Oedipus dan kompleks kastrasi merupakan peristiwa-peristiwa pokok selama masa phalik dan meninggalkan serangkaian bekas dalam kepribadian. Menurut Freud secara khusus tahap falik penting bagi perkembangan kepribadian karena di periode inilah muncul kompleks Oedipus. kompleks Oedipus adalah hasrat yang kuat dari diri seseorang anak kecil untuk menggantikan kedudukan orang tua yang berjenis kelamin sama dan menikmati afeksi yang diperoleh dari orang tua yang memiliki kelamin yang berbeda. Untuk meredakan konflik antara ketakutan dan hasrat, anak beridentifikasi dengan orang tua yang berjenis kelamin sama dan berjuang agar dapat menyerupainya. Menurut Freud apabila konflik ini tidak terselesaikan, individu dapat terfiksasi pada tahap falik
Tahap laten
Masa ini adlah periode tertahannya dorongan-dorongan seks agresif. Selama masa ini anak mengembangkan kemampuannya bersublimasi ( seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain olah raga, dan kegiatan lainya). Tahapan latensi ini antara usia 6-12 tahun (masa sekolah dasar)
Tahap genital/kelamin
Kateksis-kateksis dari masa-masa pragenital bersifat narsisistik. Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan dari stimulasi dan manipulasi tubuhnya sendiri sedangkan orang-orang lain dikateksis hanya karena membantu memberikan bentuk-bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama masa adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisisme ini disalurkan ke pilihan-pilihan objek yang sebenarnya. Kateksis-kateksis pada tahap-tahap oral, anal, dan phalik lebur dan di sistensiskan dengan impuls-impuls genital. Fungsi biologis pokok dari tahap genital tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu.
7
2. Teori Erikson Psikososial dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruhpengaruh social yang berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam 8 tahap perkembangan. 4 tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap ke 5 pada masa adolesen, dan 3 tahap terakhir pada masa dewasa dan usia tua. Delapan tahap perkembangan psikososial Erikson : a.
Trust versus Mistrust (kepercayaan verssus ketidakpercayan) Pada tahap ini bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya.
Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Kalu ibu memberi bayi makan, memeluk dan mengajaknya bicara, maka bayi
akan memperoleh kesan bahwa
lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat dan bersahabat. Ini yang menjadi landasan rasa percaya. Sebaliknya, jika ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa ketidakpercayaan terhadap lingkungannya. b. Autonomy versus Shame and Doubt (otonomi versus rasa malu-malu dan keraguan) Berlangsung pada akhir masa bayi dan masa mulai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan mereka, maka anak akan mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri sendiri. Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
8
c. Initiative versus Guilt (prakarsa versus rasa bersalah) Berlangsung pada tahun-tahun pra sekolah. Anak terlihatsangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatankegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya. d. Industry versus Inferiority (tekun versus rasa rendah diri) Berlangsung kira-kira pada saat sekolah dasar. Anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, bila anak tidak berhasil menguasai ketrampilan dan tugastugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri. e. Identity versus Identity Confusion (identitas versus kebingungan identitas) Tahap yang berlangsung selama masa remaja. Pada tahap ini, anak dihadapkan dengan pencarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbaharui. Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dank arena kepekaan terhadap perubahan social dan histories di pihak lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan
9
mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa dan bimbang. f. Intimacy versus Isolation (keintiman versus keterkucilan) Tahap ini berlangsung selama tahun-tahun awal masa dewasa. Tugas perkembangan individu pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan orang
lain.
Menurut
Erikson,
keintiman
tersebut
biasanya
menuntut
perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas. g. Generativity versus Stagnation (bangkit versus stagnasi) Tahap yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk, ide, dsb) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson dengan “generativitas”. Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadain akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi. h. Integrity versus Despair (integritas versus kekecewaan) Tahap ini berlangsung selama akhir masa dewasa. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasaaman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi orang tua yang dihantui oleh perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa.
10
Kritik yang dilontar terhadap teori-teori psikoanalisis :
Konsep-konsep utama dari teori psikoanalisis sulit diuji secara ilmiah
Banyak data yang digunakan untuk mendukung teori-teori psikoanalisis berasal dari konstruksi individu terhadap masa lalunya sering kali jauh di masa lalu yang akurasinya tidak diketahuinya
Terlalu banyak menekan pentingnya peranan seksualitas terhadap perkembangan
Terlalu menekankan pentingnya pengaruh pikinan yang tidak disadari terhadap perkembangan
Teori-teori psikoanalisis memberikan suatu gambaran mengenai manusaia yang terlalu negatif
2.2 Teori Kognitif Teori-teori psikoanalisis menekankan pada pentingnya ketidaksadaran, sedangkan teori kognitif menekankan pada pikiran-pikiran yang disadari. Tiga teori kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif menurut piaget, teori kognitif sosio-budaya menurut Vygotsky, serta teori pemrosesan informasi. 1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia: a. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun) Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke
11
dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dll. b. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun) Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan. c. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun) Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. d. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa) Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan bendabenda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwa berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbolsimbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuankemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
12
2. Teori Kognitif Sosio-Budaya Dari Vygotsky Seperti Piaget, Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka. Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental memiliki koneksi-koneksi sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang penolong yang ahli. Pengetahuan ilmiah terbentuk dari sebuah proses relasi anak dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bergantung pada seberapa besar kemampuan anak dalam menangkap model yang lebih ilmiah. Dalam proses ini bahasa memegang peranan yang sangat penting. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yang membantu anak dalam menyampaikan pemikirannya dengan orang lain. Dengan demikian diperlukan sebuah penyatuan antara pemikiran dan bahasa. Seorang anak dalam masa pembelajarannya, idealnya harus mampu memvisulisasikan apa yang menjadi pemikirannya dalam bahasa. Ketika hal tersebut
telah
mampu
terwujud
itu
berarti
ia
juga
telah
mampu
menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara-sendiri. Menurut Vygotsky seorang anak yang mampu melakukan pembicaraan pribadi lebih berpeluang untuk lebih baik dalam hubungan sosial. Karena pembicaraan pribadi adalah sebuah langkah awal bagi seorang anak untuk lebih mampu berkomunikasi secara sosial. Bahasa adalah sebuah bentuk awal yang berbasis sosial. Pandangan Vygotsky ini berkonfrontasi dengan Piaget yang lebih menekankan pada percakapan anak yang bersifat egosentris. Unsur yang perlu untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai kebudayaan dan masyarakat. Seperti sudah dikatakan pada awal penjelasan tadi, dalam teori Vygotsky,
kebudayaan
adalah
penentu
utama
perkembangan
individu.
Kebudayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk, seperti bahasa, agama, mata pencaharian, dan lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky terdapat tiga klaim besar. Pertama, bahwa kemampuan kognitif seorang anak dapat diketahui hanya jika dianalisis dan ditafsirkan. Kedua, kemampuan kognitif diperoleh dengan bantuan kata, bahasa, dan bentuk percakapan, sebuah bentuk
13
alat dalam psikologi yang membantu seseorang untuk mentransformasi kegiatan mental. Vygotsky berargumen bahwa sejak kecil seorang anak mulai menggunakan bahasa untuk merencanakan setiap aktivitasnya dan mengatasi masalahnya. Ketiga, kemampuan kognitif berasal dari hubungan-hubungan sosial ditempelkan pada latar belakang sosiokultural. 3. Teori Pemrosesan-Informasi Menekankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyususn strategi terhadap informasi-informasi yang ditemui. Dalam teori ini proses memori dan berpikir menjadi tema sentral. Menurut teorin ini secara bertahap remaja mengembangkan kapasitas yang lebih besar dan memproses informasi, dimana hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Robert Siegler, seorang ahli terkemuka dibidang pemrosesan infromasi, menyatakan bahwa kegiatan berfikir merupakan suatu bentuk pemrosesan informasi. Menurut Siegler, ketika individu menangkap menuliskan sandi (encoding), menampilkan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi, mereka sebenarnya sedang berpikir. Kritik-kritik yang dilontarkan terhadap teori-teori kognitif :
perkembangan kognitif tidak berlangsung dalam tahapan-tahapan seperti yang dikemukakan piaget.
Tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap variasi individual dalam perkembangan kognitif
Tidak menyediakan deskripsi yang memadai mengenai perubahan perkembangan dalam kognisi
Kurang memberi perhatian pada pemikiran yang tidak disadari
2.3 teori-teori perilaku dan kognitif sosial Teori- teori perilaku dan kognitif sosial menekankan peranan pengalaman lingkungan dan perilaku yang teramati dalam memahami perkembangan remaja. Para ahli sosio kognitif juga menekankan pada faktor-faktor perkembangan.
14
1. Behaviorisme Skinner Skinner
mengembangkan
behaviorisme
dengan
menciptakan
dan
mengembangkan teori operant conditioning. Kunci dari pemahaman operant conditioning ini adalah reinforcement(penguatan) langsung terhadap respon. Reinforcement yang berkesinambungan dapat meningkatkan kemungkinan perilaku yang sama itu muncul lagi. Dalam operant conditioning frekuensi pemberian reinforcement selalu diubah atau diganti. Reinforcementtidak menyebabkan
timbulnya
sebuah
kebiasaan
akan
tetapi
meningkatkan
kemungkinan sebuah perilaku akan diulang kembali. Di dalam operant conditioning terdapat prinsip-prinsip utama bagaimana seseorang beajar perilaku baru atau belajar perilaku yang ada, prinsip-prinsip utama tersebut adalah shaping(pembentukan), extinction
reinforcement
(penghapusan),
(penguatan),
generalization(generalisasi)
punishment(hukuman), dan
discrimination
(pembedaan). Sebagai contoh, Seseorang akan belajar bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). 2. Teori Kognitif Sosial Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social (Social Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi. Ia seorang psikologi yang terkenal dengan teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta factor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/
15
penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan, factor social mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orang tuanya. Albert Bandura merupakan salah satu peracang teori kognitif social. Meourut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif. Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, persnn/kogoitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkuogan mempengaruhi perilaku,
perilaku
mempengaruhi
lingkungan,
faktor
person/kognitif
mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan. Dalam model pembelajarao Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peranan penting. Faktor person (kognitif) yaog dimaksud saat ini adalah selfefficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté meodefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yaog memiliki efikasi diri yaog tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura akan cepat menghadapi masalah dao mampu baogkit dari kegagalan yang ia alami. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar social jenis ini. Contohnya, seseorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahwa judi itu adalah tidak baik.
16
Kritik-kritik pada teori-teori perilaku dan kognisi sosial adalah sebagai berikut :
Kurang menekankan kognisi
Terlalu menekankan determinan lingkungan
Tidak memberi pembahasan yang memadai mengenai perubahan perkembangan
Kurang mempertimbangkan spontanitas dan kreativitas manusia 2.4 Teori Kontekstual Ekologis Pendekatan lainnya yang menekankan pentingnya pengaruh lingkungan
terhadap perkembangan adalah teori kontekstual ekologi (ecological contekstual theory) dari Bronfenbrenner yang kini semakin banyak diminati. Urie Bronfenbrenner merupakan ahli yang mengemukakan teori sistem mengenai ekologi yang menjelaskan perkembangan individu dalam interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya yang terus menerus mempengaruhi segala aspek perkembangannya. Teori ekologi ini ialah pandangan sosiokultural Bronfenbrenner tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan, mulai dari pengaruh interaksi langsung pada individu hingga pengaruh kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem ekologi tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. Adapun urutan sistem tersebut sebagai berikut : a. Mikrosistem, yaitu kondisi yang melatarbelakangi anak hidup dan berinteraksi dengan remaja dan institusi yang paling dekat dengan kehidupannya, seperti orangtua, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan sekitar.dalam mikrosistem inilah terjadi interaksi yag paling langsung antara remaja dengan agen-agen sosial. Dalam situasi ini remaja tidak dipandang sebagai penerima yang pasif namun sebagai seseorang yang membantu dalam membangun situasi. b. Mesosistem, yaitu hubungan antar dua dalam mikrosistem atau lebih. Sebagai contoh, orang tua dan guru berinteraksi dalam sistem sekolah, anggota keluarga dan peer menjadi relasinya di dalam institusi keagamaan, pelayanan kesehatan berinteraksi dengan keluarga anak dan sekolahnya.
17
Anak-anak yang orng tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan relasi positif dengan guru. c. Eksosistem,
yaitu
sistem
yang
berisi
sejumlah
kondisi
yang
mempengaruhi perkembangan anak, namun anak di sini tidak terlibat dalam suatu peran langsung. Sebagai contoh, karena adanya kondisi kemiskinan dalam keluarga, anak terpaksa harus bekerja untuk mencari uang dan tidak melanjutkan sekolah. Contoh lain dari ekosistem adalah pemerintah kota, yang bertanggung jawab terhadap kualitas taman, pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja. d. Makrosistem, yaitu sistem yang mengelilingi mikro-meso-dan eksosistem dan merespresentasikan nilai-nilai, ideologi, hukum, masyarakat dan budaya. Budaya dimana remaja hidup. Budaya yang merujuk pada polapola prilaku, keyakinan, dan semua produk dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Studi lintas-budaya perbandingan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, dan memberikan informasi mengenai generalitas perkembangan. Sebagai contoh anak Indonesia tidak sama dengan anak Amerika. e. Kronosistem, yaitu dimensi waktu yang menuntun perjalanan setiap level sistem dari mikro ke makro. Kronosistem ini juga mencakup berbagai peristiwa hidup yang penting pada individu dan kondisi sosiokultural. Sebagai contoh dalam studi mengenai dampak perceraian terhadap anakanak, peneliti menentukan bahwa dampak-dampak negatif tersebut sering seringkali memuncak ditahun pertama perceraian. Dampak negatif yang lebih besar dialaminoleh anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, dua tanhun kemudian setelah perceraian, interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan lebih stabil. Berkaitan dengan lingkungan sosial budaya remaja perempuan lebih terdororong untuk mengejar karir dibandingkan 20 atau 30 tahun yang lalu.
18
Untuk lebih jelasnya tentang sistem ekologi dari Bronfenbrenner ini dapat dicermati gambar berikut ini.
Berikut ini adalah kritik yang dilontarkan terhadap teori kontekstual ekologis : 1. Kurang menekankan dasar biologis dari perkembangan, meskipun teori juga membahs pengaruh-pengaruh biologis. 2. Mengabaikan proses-proses kognitif Dari perspektif teori ekologi, individu berkembang dalam jaringan yang kompleks dari sistem yang saling berhubungan Oleh karena itu banyak sumber berperan dalam perkembangan tingkah laku. Selain faktor individual, faktor lingkungan seperti aktivitas pengasuhan dianggap sebagai salah satu determinan dari permasalahan tingkah laku bermasalah. Teori ini menekankan bahwa manusia tidak berkembang dalam isolasi, namun merupakan rangkaian interaksi di dalam keluarga, sekolah, masyarakat atau komunitasnya. Setiap lapisan lingkungan selalu bersifat dinamis mempengaruhi mempengaruhi perkembangan individu. 2.5 Orientasi Teoritis Elektik Pandangan ini juga disebut dengan sebagai Eklektisme yaitu pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Dalam pandangan ini digunakan bebagai teori dalam pendekatannya. Hal in dilakukan karena tidak ada suatu teori yang sahih. Setiap teori mempunyai kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Suatu teori dapat diterapkan dalam
19
satu kasus tetapi tidak dapat digunakan dalam kasus lain, hal inilah yang menyebakan digunakannya bebagai teori dalam pendekatannya. Orientasi teoritis elektrik ( elektric theoretical orientation) tidak mengikuti sebuah pendekatan teori manapun, namun memilih dan menggunakan segi-segi yang dianggap paling baik dari masing-masing teori. Melalui pandangan seperti ini, tidak satupun teori yang dijelaskan pada bab ini yag dapat sepenuhnya menjelaskan seluruh kompleksitas perkembangan remaja. Masing-masing teori memberika kontribusi yang berarti terhadap pemahaman kita mengenai perkembangan remaja, namun tidak ada satupun yang dapat memberikan deskripsi dan menjelaskan dengan lengkap. Dalam teori Eklektisme, dasar teori yang digunakan tidak hanya beasal dari satu saja akan tetapi merupakan penggabungan dari beberapa dasar teori. Misalnya suatu kasus dalam penyelesaianya menggunakan teori A akan tetapi teori ini mungkin tidak dapat digunakan dalam kasus lain, oleh karena itu perlu menggunakan teori lain dalam menyelesaikan kasus tersebut.
20
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Menurut teori psikoanalisis struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga struktur yaitu id, ego, dan super ego. Kehidupan remaja dipenuhi dengan ketegangan dan konflik. Remaja berusaha menekan ketegangan yang dialami dengan cara meredam konflik tersebut kedalam pikiran yang tidak sadar. Prilaku-prilaku yang tampaknya spele sekalipun, sebenarnya merupakan segi yang penting apabila kekuatan tidak sadar yang melatar belakangi perilaku yang diungkapkan. 2. Teori kognitif menekan pikiran-pikiran yang didasari oleh tiga teori kognitif yang paling penting adalah teori yang dikemukakan oleh piaget, teori kognitif sosial budaya yang dikemukakan oleh Vygotsky dan teori Pemrosesan informasi 3. Teori behaviorisme (skinner) menyatakan bahwa perkembangan itu dipelajari dan dipengaruhi secara kuat oleh lingkungan artinya lingkungan berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan individu. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan kognisi merupakan faktor-faktor yang penting dalam perkembangan 4.
Teori Kontekstual ekologi yang menjelaskan perkembangan individu dalam interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya yang terus menerus mempengaruhi segala aspek perkembangannya. Teori ekologi ini ialah pandangan sosiokultural Bronfenbrenner tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan
5. Orientasi teoritis elektrik ( elektric theoretical orientation) tidak mengikuti sebuah pendekatan teori manapun, namun memilih dan menggunakan segi-segi yang dianggap paling baik dari masing-masing teori.
5.1 Saran Sebagai calon seorang pendidik sebaiknya mampu memiliki mengetahui tentang teori perkembangan yang ada sehingga kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan para peserta didik kita.
21
DAFTAR PUSTAKA
Elida Prayitno, 1991/1992. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Depdikbud
Hurlock, E. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Syarif, Kemal. 2017. Perkembangan Peserta Didik. Medan : Unimed Press
22