Laporan kasus
GAWAT JANIN Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
Disusun Oleh:
Cut Thalya Alissya R. Harjuna Muhammad Sigit Ananda Pembimbing:
dr. Niken Asri Utami, Sp.OG
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
1
2016
2
BAB I PENDAHULUAN Perkembangan janin merupakan keajaiban alam ciptaan Tuhan, dan kini menjadi perhatian dunia kedokteran. Dengan teknologi pencitraan kita dapat melihat perkembangan fisik dan fungsi organ janin. Dengan demikian riset mengungkapkan pengertian peranan janin pada implantasi, pengenalan ibu terhadap kehamilan, aspek immunologi, fungsi endokrin, nutrisi dan persalinan. Beberapa tahun terakhir ini, angka kematian dan kesakitan perinatal telah menurun secara signifikan, akan tetapi kematian janin antenatal masih merupakan masalah. Kematian janin tidak selalu pada kelompok kehamilan risiko tinggi, akan tetapi beberapa kematian tersebut terjadi pada kehamilan dengan risiko rendah bahkan normal. Salah satu tujuan utama perawatan antenatal adalah untuk mengidentifikasi ibu hamil yang berisiko tinggi terjadinya gangguan pada buah kehamilannya. Terdapat
berbagai
macam
peralatan/teknik
untuk
pengawasan
janin
ante/intrapartum diantaranya NST, OCT dan penilaian ultrasonik real time. Tetapi sayangnya mayoritas kelompok risiko rendah tidak dipantau oleh alat- alat pemantau elektronik janin atau ultrasonik selama periode antepartum. Disisi lain pemeriksaan hormonal sepertial estriol plasma, HPL serum terbukti kurang dapat dipercaya hasilnya dan tidak praktis untuk penapisan kehamilan risiko rendah maupun tinggi. Beberapa istilah telah dipakai untuk menunjukkan lamanya kehamilan dan usia janin, yang memang berbeda. Usia gestasi yaitu lamanya amenore, dihitung dari hari pertama haid terakhir, suatu periode sebelum terjadi konsepsi, yaitu kirakira 2 minggu sebelum ovulasi dan fertilasi, atau 3 minggu sebelum implantasi blastokis. Lamanya kehamilan rata-rata ialah 280 hari atau 40 minggu (91/3 bulan = 10x 28 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir tersebut sampai bayi lahir.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Fetal distress atau gawat janin dapat didefinisikan sebagai keadaan
kekurangan oksigen, dan peningkatan karbondioksida, sehingga menyebabkan hipoksia dan asidosis selama intra uterin. Gawat janin terjadi jika ditemukan denyut jantung janin diatas 160 denyut per menit atau dibawah 100 denyut per menit, denyut jantung tidak teratur dan keluarnya mekonium kental pada awal persalinan. Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi (perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis (pemecahan glukosa) anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun. Pada Fetal distress kerusakan syaraf terjadi ketika otak janin kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen tersebut dapat dilihat dari pola DJJ. Ketika pola DJJ menunjukkan fetal distress maka janin harus dilahirkan segera. Pola DJJ dapat dipantau dengan Electronic Fetal Monitor (EFM) selama persalinan. Kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan segera maka akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian janin. Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang kurang. Asidemiaa ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam menurun. 2.2
Etiologi Penyebab dari gawat janin yaitu:
1. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu singkat). 2. Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan dengan pemberian oksitosin. 3. Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang.
4
4. Solusio plasenta. 5. Plasenta previa dengan pendarahan. 6. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu lama) 7. Penyakit hipertensi 8. Diabetes melitus 9. Postmaturitas atau imaturitas 10. Kompresi (penekanan) tali pusat. 2.3
Patofisiologi Kontrol fisiologi dari denyut jantung janin meliputi suatu keaneka ragaman
dari mekanisme interkoneksi yang tergantung dari aliran darah oksigenasi. Lebih lanjut aktivitas dari mekanisme kontrol fisiologi ini mempengaruhi kondisi oksigenasi janin, seperti terjadinya suatu insufisiensi plasenta yang kronis, dimana janin yang dihubungkan dengan tali pusat akan mengalami resiko kekurangan oksigen, yang akan membutuhkan suatu mekanisme alami dari janin untuk bertahan dan lebih lanjut pada saat persalinan akan menambah keasaman darah. Dahulu diperkirakan bahwa janin mempunyai tegangan oksigen yang lebih rendah karena ia hidup dalam lingkungan hipoksia dan asidosis kronis. Tetapi pemikiran itu tidak benar karena bila tidak ada tekanan, janin hidup dalam lingkungan yang sesuai dan dalam kenyataanya konsumsi oksigen per gram berat badan sama dengan orang dewasa. Meskipun tekanan oksigen parsial rendah, penyaluran oksigen pada jaringan tetap memadai. Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin dan kapasitas angkut oksigen pada janin lebih besar dari orang dewasa. Demikian juga halnya dengan curah jantung dan kecepatan arus darah lebih besar daripada orang dewasa. Dengan demikian penyaluran oksigen melalui plasenta kepada janin dan jaringan perifer dapat terselenggara dengan baik. Sebagai hasil metabolisme oksigen akan berbentuk asam piruvat, CO2 dan air di ekskresikan melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi akibat dari perfusi ruang intervili yang berkurang, maka penyaluran oksigen dan ekskresi CO2 akan terganggu yang berakibat penurunan PH atau timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama
5
menyebabkan janin harus mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak efisien, bahkan menimbulkan asam organik yang menambah asidosis metabolik. Pada umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus darah uterus atau arus darah tali pusat. Bradikardia janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan jaringan akibat hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi darah bila terjadi hipoksia, sehingga jaringan vital akan menerima penyaluran darah yang lebih banyak dibandingkan jaringan perifer. Bradikardi mungkin merupakan mekanisme perlindungan agar jantung bekerja lebih efisien sebagai akibat dari hipoksia. 2.4
Faktor Predisposisi Fetal distress kronis:
1. Karakteristik ibu: a. Social ekonomi rendah Sosial ekonomi rendah berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal. Status social ekonomi tidak hanya direfleksikan dengan pendapatan tetapi juga pendidikan, nutrisi, kesehatan fisik dan mental. Wanita yang tidak menikah juga termasuk resiko tinggi. b. Ibu muda dan usia > 30 tahun. c. Paritas d. Perokok. Rokok memberikan kontribusi terhadap fetal distress karena nikotin menyebabkan vasokonstriksi yang mengacu kepada penurunan aliran darah uterus, karbon monoksida mengurangi transport oksigen e. Wanita dengan riwayat subfertil. f. Riwayat obstetric yang buruk, seperti abortus, persalinan preterm atau lahir mati. 2. Penyakit ibu Hipertensi menyebabkan spasme arteriol dan suplai darah ke plasenta. Hipotensi berat juga mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke plasenta dan hipoksia janin.Penyakit ibu seperti penyakit paru dan jantung, anemia berat dan hemoglobinopathy, epilepsy, diabetes mellitus dan infeksi maternal juga berakibat fetal distress. Asidosis ibu mengacu kepada asidosis
6
janin dan fetal distress. Inkompatibilitas resus juga menyebabkan anemia hemolitik janin yang berat. 3. Kondisi plasenta Insufisiensi plasenta, post maturitas dan pemisahan plasenta dini juga mengakibatkan
pengurangan
suplai
oksigen
ke
janin.
Perdarahan
antepartum dan insufisiensi plasenta juga meningkatkan kejadian bayi kecil untuk masa kehamilan dan morbiditas perinatal. 4. Kondisi janin Kondisi janin yang berhubungan dengan hipoksia termasuk malformasi kongenital tertentu, infeksi intrauteri dan inkompatibilitas resus. Risiko hipoksia intrauteri juga meningkat pada malpresentasi, malposisi dan kehamilan multiple. 2.5
Klasifikasi Jenis gawat janin yaitu :
1. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah 2. Gawat janin iatrogenik Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong. Resiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin. Gawat janin juga berdasarkan waktu terjadinya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Gawat janin kronik: dapat timbul setelah suatu periode waktu yang panjang selama periode antenatal bila status fisiologis dari unit ibu-janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu. Hal ini dapat dipantau melalui evaluasi dari pertumbuhan janin intrauteri. Penurunan perfusi plasenta merefleksikan keadaan yang berhubungan dengan ibu seperti kelainan vaskuler berupa preeklampsia, eklampsia kelainan hipertensi atau diabetes dengan komplikasi vaskular pelvis, inadekuat sistem sirkulasi seperti kelainan jantung atau inadekuat oksigenasi dalam darah seperti empisema atau
7
berada di tempat yang tinggi dari permukaan bumi. Gawat janin kronis berhubungan dengan abnormalitas plasenta yang meliputi penuaan plasenta prematur dan diabetes mellitus. Diagnosis awal dari gawat janin kronis ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinggi uterus, pada setiap kunjungan antenatal. Juga dengan melakukan pengukuran pertumbuhan janin dan dibandingkan dengan pengukuran tulang, thorak, serta plasenta melalui USG untuk melihat apakah ada pertumbuhan janin yang terhambat. 2. Gawat janin akut (springer): dapat disebabkan oleh suatu kejadian yang tiba-tiba yang mempengaruhi oksigenasi janin, hal ini biasanya terjadi pada saat persalinan. Akselerasi sementara dari denyut jantung janin, dalam hubungannya dengan kontraksi uterus, mengindikasikan adanya oklusi ringan dari tali pusat (hanya vena) atau hiperkapnia dan hipoksia ringan dari janin, selama variasi denyut jantung janin masih dalam batas normal. Sementara variasi dari deselerasi denyut jantung janin dihubungkan dengan kompresi tali pusat yang berat. Gerakan janin akan berkurang dan pH darah kulit kepala janin akan berkurang. Jika hal ini berlangsung lebih dari 30 menit atau jika derajat deselerasi tidak berubah walaupun telah ditatalaksanai, maka terjadilah gawat janin. Seiring dengan hal tersebut pH dari darah kulit kepala janin bernilai 7,2 atau kurang dan mekonium akan muncul. 2.6
Diagnosis Diagnosis denyut jantung janin dibuat berdasarkan system interpretasi
denyut jantung janin tiga-tingkat yang direkomendasikan oleh Lokakarya NICHD tentang pemantauan janin elektronik tahun 2008 sebagai berikut: a. Kategori I – Normal Meliputi semua kondisi berikut ini: 1. Frekuensi basal: 110-160 dpm 2. Variabilitas DJJ basal: sedang 3. Deselerasi lambat atau variable: tidak ada 4. Deselerasi dini: ada atau tidak ada 5. Akselerasi: ada atau tidak ada
8
b. Kategori II – tidak dapat ditentukan Meliputi semua rekaman DJJ yang tidak termasuk kategori I dan II.Rekaman kategori II mungkin mewakili fraksi yang cukup besar dari kasus-kasus yang ditemui dalam perawatan klinis. Contohnya meliputi halhal berikut: 1. Frekuensi basal: a. Bradikardia yang tidak disertai dengan tidak adanya variabilitas basal. b. Takikardia 2. Variabilitas basal DJJ: a. Variabilitas basal minimal b. Tidak adanya variabilitas basal yang tidak disertai oleh deselerasi rekuren c. Variabilitas basal jelas 3. Akselerasi: Tidak adanya akselerasi yang terpicu setelah stimulasi janin 4. Deselarasi periodic atau episodic: a. Deselerasi variable rekuren disertai dengan variabilitas basal minimal atau sedang b. Deselerasi memanjang > 2 menit, tapi < 10 menit c. Deselerasi lambat rekuren dengan variabilitas basal sedang d. Deselerasi variable dengan karakteristik lain, seperti lambat kembali ke basal, ‘over shoot’ atau ‘bahu’ c. Kategori III – Tidak Normal Meliputi salah satu dari: 1. Tidak adanya variabilitas basal dan salah satu dari berikut: 2. Deselerasi lambat rekuren 3. Deselerasi variabel rekuren 4. Bradikardia 5. Pola sinusoidal
9
2.7
Komplikasi Komplikasi yang dapat muncul jika janin mengalami gawat janin yaitu : 1. Asfiksia 2. Menyebabkan kematian janin jika tidak segera ditangani dengan baik.
2.8
Penanganan Prinsip pilihan penatalaksanaan untuk pola denyut jantung janin yang
variable secara signifikan adalah mengoreksi setiap gangguan pada janin. Langkah-langkah yang disarankan oleh ACOG (2005) adalah: 1. Penghentian setiap pemeriksaan serviks yang dilakukan untuk menilai prolapsus tali pusat atau dilatasi serviks cepat atau penurunan kepala janin yang dapat menstimulasi proses persalinan 2. Mereposisi ibu ke posisi berbaring lateral kiri atau kanan, mengurangi tekanan pada vena cava dan meningkatkan aliran darah uteroplasental 3. Pemantauan tekanan darah ibu sebagai penunjuk hipotensi, terutama pada mereka yang menggunakan anestesi regional jika ada, pengobatan dengan ephedrine atau phenylephrine dapat dibenarkan 4. Penilaian uterus pasien untuk mengevaluasi hiperstimulasi uterus dengan pemeriksaan frekuensi dan durasi Rahim 5. Menghentikan
pemberian
oksitosin
untuk
meningkatkan
perfusi
uteroplasental 6. Tokolisis Injeksi 0,25 mg terbutaline sulfat intravena atau subkutan yang diberikan satu kali untuk merelaksasi uterus, sebagai maneuver sementara dalam penatalaksanaan pola denyut jantung janin meresahkan. Alasannya, penghambatan kontraksi uterus dapat meningkatkan oksigenasi janin, sehingga
menuju
keberhasilan
resusitasi
in
utero.
Resusitasi
ini
meningkatkan pH darah kulit kepala janin. 7. Amnioinfusi Gabbe dkk (1976), menunjukkan bahwa berkurangnya cairan amnion pada monyet menyebabkan deselerasi variable dan bahwa penambahan cairan salin menghilangkan deselerasi tersebut. Miyazaki dan Taylor (1983) memberikan cairan saline dengan kateter intrauterus bertekanan pada
10
perempuan bersalin yang mengalami deselerasi variable memanjang yang berhubungan dengan terperangkapnya tali pusat.Terapi ini meningkatkan pola denyut jantung pada setengah dari perempuan yang diteliti. Amnioinfusi transvaginal telah diperluas menjadi tiga wilayah klinis: a. Tatalaksana deselerasi variable atau memanjang. b. Profilaksis bagi perempuan dengan oligohidramnion, seperti pada pecah ketuban yang memanjang. c. Upaya untuk mencairkan atau ihkan meconium yang kental. Berbagai protocol amnioinfusi yang berbeda telah dilaporkan, tapi sebagian besar mencakup bolus saline normal hangat 500 hingga 800 ml, diikuti dengan infus kontinu sekitar 3 ml per menit (Owen dkk, 1990; Pressman dan Blakemore, 1996) Melakukan pemeriksaan profil biofisik pada janin. Aktifitas biofisik janin dipengaruhi oleh beberapa keadaan. Asfiksia janin akan menyebabkan aktifitas biofisik janin berkurang atau menghilang. Obat-obat yang menekan aktifitas Susunan Saraf Pusat (SSP) akan menurunkan aktifitas biofisik (sedative, analgetik, anastesi). Obat-obat yang merangsang SSP dan keadaan hiperglikemia akan meningkatkan aktifitas biofisik.Aktifitas biofisik janin juga bervariasi, sesuai dengan siklus tidur dan bangunnya janin. Penilaian profil biofisik janin merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya resiko pada janin, berdasarkan penilaian gabungan tanda-tanda akut dan kronik dari penyakit asfiksia janin. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Manning dkk, pada tahun 1980, dengan menggunakan sistem skoring terhadap 5 komponen aktivitas biofisik janin, yaitu: 1. Gerakan nafas janin Pada janin yang mengalami hipoksia biasanya gerakan nafas akan menghilang. Gerakan nafas janin juga dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti: a. Hiperkapnia b. Hiperoksia c. Rokok d. Alkohol
11
e. Obat-obatan 2. Gerakan tubuh janin Gerakan tubuh janin pada pemeriksaan USG diketahui dengan mengamati gerakan tubuh ekstremitas, berupa gerakan tunggal dan multipel. Gerakan janin dianggap normal apabila selama 30 menit pemeriksaan terlihat sedikitnya 3 gerakan tubuh atau ekstremitas. Beberapa keadaan dapat mempengaruhi gerakan janin, seperti: a. Asfiksia janin b. Makanan dan glukosa c. Serta kondisi medik ibu (insufisiensi plasenta) d. Janin (pertumbuhan janin terhambat, gawat janin). 3. Tonus otot janin Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan. 4. Denyut Jantung Janin (DJJ) Penilaian DJJ dapat dilakukan dengan pemeriksaan Non Stress Test (NST). Hasil NST dinyatakan normal (reaktif) apabila selama 30 menit pemeriksaan dijumpai 2 kali akselerasi DJJ menyertai gerakan janin yang baik dengan sensitivitas 99%. Hasil NST yang non-reaktif disertai dengan keadaan janin yang jelek (kematian perinatal, nilai APGAR rendah, adanya deselerasi lambat) dengan sensitivitas 20%. 5. Volume cairan amnion Volume cairan amnion secara semikuantitatif dapat ditentukan dengan mengukur diamter vertikal kantung amnion. Cara lain untuk menentukan cairan amnion adalah dengan mengukur Indeks Cairan Amnion (ICA), yaitu mengukur diameter kantung amnion pada 4 kuadran uterus. Jika terjadi Oligohidramnion oleh sebab apapun akan menyebabkan kematian perinatal
12
meningkat, janin akan mudah mengalami kompresi tali pusat. Jaringan paru akan terganggu perkembangannya (hipoplasia paru) sehingga akan menimbulkan distress pernafasan pada neonatus.
Mekanisme biofisik janin dari akibat hipoksemia (asfiksia) pada janin Fetal hypoxemia (asphyxia) CNS cellular dysfunction
Aortic body chemoreseptor stimulation
Reflex late deceleration Reflex redistribution of Hypotonia cardiac out put Absent fetal breathing Absent fetal movement Nonreactive Non-Stress test Increased blood flow to: Decreased blood flow to: Fetal brain (IVH)
Fetal kidneys
(oligouria) Adrenals
Lung
(RDS) Hearts
Gut (necrotizing
enterocolitis) Placenta Trunk
Liver and limbs
IUGR Skema 1 Mekanisme Biofisik janin akibat hipoksia pada janin
13
Tabel 1 Skor Profil Biofisik Janin KOMPONEN
SKOR 2
SKOR 0
Pernafasan janin
≥ 1 episode bernapas ritmik< 30” bernapas dalam 30’ yang berlangsung ≥30” dalam 30’
Gerakan janin
≥
3
gerakan
tubuh
atau≤ 2 gerakan dalam 30’
ekstremitas yang nyata dalam 30’ Tonus otot janin
≥
1
episode
ekstensiTidak ada gerakan atau tidak
ekstremitas yang kembali keada ekstensi/fleksi fleksi atau tangan membuka atau menutup DJJ
≥ 2 akselerasi pada ≥ 15 x/i0 atau 1 akselerasi dalam 20selama ≥ 15” dalam 20-40’
Volume
40’
cairan Kantung vertikal tunggal > 2Kantung
amnion
cm
vertikal
tunggal
terbesar ≤ 2 cm
Tabel 2 Skor Biofisik, Interpretasi dan Penanganan dalam Kehamilan Skor Profil biofisik 10
Intrpretasi Janin
normal
Anjuran Penanganan tanpa
asfiksia
Tidak ada indikasi janin untuk intervensi;
ulangi
pemeriksaan setiap minggu kecuali pada pasien DM dan kehamilan postmatur (2 x seminggu) 8/10 cairan normal
Janin
normal
asfiksia
tanpa
Tidak ada indikasi janin untuk intervensi;
ulangi
pemeriksaan perprotokol
14
8/10
cairan
Dicurigai
asfiksia
Lahirkan
berkurang
janin kronis
6
Kemungkinan asfiksia
Jika volume cairan amnion
janin
abnormal, lahirkan. Jika cairan normal > 36 mgg dengan
servik
memungkinkan,lahirkan Jika pemeriksaan ulang ≤ 6, lahirkan Jika pemeriksaan ulang > 6, observasi dan periksa ulang perprotokol 4
Kemungkinan
besar
asfiksia
Ulangi pemeriksaan pada hari yang sama; jika skor profil biofisik ≤ 6, lahirkan
0-2
Hampir pasti asfiksia janin
15
Lahirkan
BAB III LAPORAN KASUS 3.1. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Agama Suku Alamat CM Tanggal Pemeriksaan 3.2. 3.2.1 3.2.2
: NO : 39 tahun : Perempuan : Islam : Aceh : Syiah Kuala : 1-10-58-94 : 16 Oktober 2016
Anamnesis Keluhan Utama Dirujuk dari klinik dengan distosia Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dirujuk dari klinik dengan distosia. Pasien sebelumnya dirawat di klinik selama 1 hari dan dilakukan pengawasan persalinan oleh bidan. 2 jam setelah pembukaan lengkap bayi tidak lahir, kemudian dirujuk ke RSUDZA. Pasien datang ke RSUDZA mengaku hamil 9 bulan, HPHT 31/12/2016 dengan TTP 7/10/2016 sesuai usia kehamilan 41-42 minggu. Pasien ANC teratur di bidan 2x dan Sp.OG 2x. USG terakhir 3 minggu SMRS dikatakan janin dalam keadaan baik. Pasien mengeluhkan mulasmulas sejak 1 hari sebelum masuk RS, keluar air sejak 3 jam SMRS.
3.2.3 3.2.4
Lendir darah (+), keputihan (+), berbau (-) Gerakan janin aktif. Riwayat Penyakit Dahulu Asma, alergi , hipertensi dan Diabetes Militus disangkal Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita Asma, alergi, hipertensi dan diabetes
mellitus. 3.2.5 Riwayat menarche, Perkawinan, Obstetri dan Kontrasepsi 1. Riwayat menstruasi : 14 tahun, teratur lamanya 6-7 hari, ganti pembalut sebanyak 3-4 kali, disminore (-) 2. Riwayat menikah : 1 kali pada tahun 2009 3. Riwayat obstetric : Anak I : Hamil saat ini Riwayat kontrasepsi : Suntik 1 bulan 3.3 Pemeriksaan Fisik 3.3.1 Vital Sign
16
Kesadaran
: Compos Mentis
Keadaan umum
: Baik
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Laju Nadi
: 84 x/menit
Pernapasan
: 22 x/menit
Suhu Tubuh
: 36.20 C
Tinggi Badan
: 162cm
Berat Badan
: 58Kg
BMI
: 22,1
3.3.2 Status Generalisata 1. Kepala dan leher: anemis (-/-), dan sklera (-/-), Pembesaran KGB (-/-) 2. Paru: simetris, stem fremitus kanan=stem fremitus kiri, sonor pada kedua lapangan paru, vesikuler (+/+), ronki (-/-) dan wheezing (-/-). 3. Jantung: bunyi jantung I > bunyi jantung II, regular, murmur tidak ada. 4. Abdomen: membesar sesuai usia kehamilan, peristaltic normal 5. Ekstremitas: tidak ada edema kedua tungkai, akral hangat 3.3..3 Status Obstetrikus Leopold I Leopold II
: TFU : 35cm, TBJ 3720 gram, His : 2-3x/10’/30’’ : Punggung kiri, DJJ : 97 dpm Dilakukan resusitasi
dengan : 1. O2 10 L via NRM 2. IVFD RL 500 cc dalam 30 menit 3. Posisikan ibu untuk miring kiri Resusitasi dilakukan hingga pasien masuk kamar operasi. Leopold III : Presentasi kepala Leopold IV : 2/5 I : V/U tenang Io : tidak dilakukan Vt : Anterior, lunak, effacement 100%, Ø lengkap, selaput ketuban (-), air ketuban hijau, kepala hodge II, UUK kiri anterior, caput (-), moulase (-) 3.3.4 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium (16 Oktober 2016)
PemeriksaanLaboratorium
Hasil
17
Nilai Normal
DarahRutin Hb Ht Leukosit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV HitungJenis Eosinofil Basofil NetrofilBatang Netrofilsegmen Limfosit Monosit
11,2 gr/dl 34 % 15,7 /mm3 3,7 x 106 /µL 334.000 / mm3 92fL 30pg 33 % 13,4 % 8,7fL
14-17 gr/dl 45-55 % 4,7-6,1 jt/ µL 150.000-450.000/mm3 80-100 fL 27-31 pg 32-36 % 11,5-14,5 % 7,2-11,1 fL
0% 0% 1% 86 % 7% 6%
0-6 % 0-2 % 2-6% 50-70 % 20-40 % 2.8 %
Hasil
Nilai Normal
10,0 gr/dl 31 % 15,8 /mm3 3,3 x 106 /µL 356.000 / mm3 92fL 30pg 33 % 13,5 % 9,1fL
14-17 gr/dl 45-55 % 4.500-10.500/mm3 4,7-6,1 jt/ µL 150.000-450.000/mm3 80-100 fL 27-31 pg 32-36 % 11,5-14,5 % 7,2-11,1 fL
0% 0% 0% 83 % 10% 27%
0-6 % 0-2 % 2-6% 50-70 % 20-40 % 2.9 %
2. Laboratorium (17 Oktober 2016)
PemeriksaanLaboratorium DarahRutin Hb Ht Leukosit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV HitungJenis Eosinofil Basofil NetrofilBatang Netrofilsegmen Limfosit Monosit
18
3.4. Diagnosis Diagnosis Kerja : Fetal distress pada G1P0 hamil 41-42 minggu, JPKTH, distosia PK II e.c enger, arrest of descent 3.5. Rencana Terapi
3.6
a. Sectio Caesaria Cyto b. Resusitasi janin sampai dengan pasien di kamar operasi. Prognosis - Ibu Quo ad Vitam : dubia ad bonam Quo ad Functionam : dubia ad bonam Quo ad Sanationam : dubia ad bonam - Bayi Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanationam
3.7
: dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam
Diagnosa post operasi Diagnosis Post Op: Post SC pada P1A0 ai Fetal distress dan distosia PK II
3.8 Terapi post operasi a. Monitoring : 1. Keadaan umum 2. Tanda – tanda vital 3. Tanda perdarahan b. Terapetik Farmakologi
: 1. Inj. Ceftriaxone 2 gr / 24 jam 2. Inj. Ketorolac 3% / 8 jam 3. Misoprostol 3x200mg 4. Sohobion 2x1
c. Edukasi
: 1. Diet tinggi kalori tinggi protein 2. Istirahat
19
3.2. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Agama Suku Alamat CM Tanggal Pemeriksaan 3.3. 3.3.1
: SH : 35 tahun : Perempuan : Islam : Aceh : Syiah Kuala : 1-10-56-07 : 16 Oktober 2016
3.3.2
Anamnesis Keluhan Utama Keluar air dari jalan lahir sejak ± 1 hari yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan keluar air merembes dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS. Keluar air berwarna jernih dan tidak bercampur lendir darah. Keluhan demam disangkal. Pasien mengeluhkan perut terasa mules sesekali. Pasien mengaku hamil 9 bulan, HPHT 3/2/2016 dengan TTP 8/11/2016 sesuai usia kehamilan 39-40 minggu. Pasien ANC teratur di bidan 2x dan Sp.OG sebanyak 4x, USG terakhir saat usia kehamilan 8 bulan dikatakan janin dalam keadaan baik.. Lendir darah disangkal, keputihan (+) berwarna kekuningan, gatal (+)berbau (+) Riwayat gigi berlubang (+) tidak diobati. Gerakan janin aktif.
3.3.3
Riwayat Penyakit Dahulu Asma, alergi , hipertensi dan Diabetes Militus disangkal 3.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita Asma, alergi, hipertensi dan diabetes mellitus. 3.3.5 Riwayat menarche, Perkawinan, Obstetri dan Kontrasepsi 4. Riwayat menstruasi : 11 tahun, teratur lamanya 5-6 hari, ganti pembalut sebanyak 3-4 kali, disminore (-) 5. Riwayat menikah : 1 kali usia 25 tahun 6. Riwayat obstetric : I : Abortus II : Perempuan, BBL 2500gram, usia 8 tahun, PV III : Perempuan, BBL 3800 gram, usia 4 tahun, PV IV : kehamilan saat ini Riwayat kb : tidak ada 3.4
Pemeriksaan Fisik
20
3.4.1
Vital Sign Kesadaran
: Compos Mentis
Keadaanumum
: Baik
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Laju Nadi
: 84 x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu Tubuh
: 36,70 C
Tinggi Badan
: 163cm
Berat Badan
: 72Kg
3.4.2 Status Generalisata 1. Kepala dan leher: anemis (-/-), dan sklera (-/-), Pembesaran KGB (-/-) 2. Paru: simetris, stem fremitus kanan=stem fremitus kiri, sonor pada kedua lapangan paru, vesikuler (+/+), ronki (-/-) dan wheezing (-/-). 3. Jantung: bunyi jantung I > bunyi jantung II, regular, murmur tidak ada. 4. Abdomen: membesar sesuai usia kehamilan 5. Ekstremitas: tidak ada edema kedua tungkai, pucat ada. 3.4.3 Status Obstetrikus Leopold I : TFU : 36cm, TBJ 3565gram His(-) Leopold II : punggung kanan DJJ : 150 dpm Leopold III : Kepala Leopold IV : 4/5 I : V/U tenang Io : portio licin, OUE terbuka, fluksus (-), lakmus (+) fluor (+) Vt
valsava (+) : posterior, kenyal, t:2cm, Ø 1, kepala Hodge I
3.4.4 Pemeriksaan Penunjang 3. Laboratorium (17 Oktober 2016)
PemeriksaanLaboratorium DarahRutin Hb Ht Leukosit Eritrosit Trombosit MCV
Hasil
Nilai Normal
9,8 gr/dl 31 % 9,3 /mm3 4,1 x 106 /µL 303.000 / mm3 75fL
14-17 gr/dl 45-55 %
21
4,7-6,1 jt/ µL 150.000-450.000/mm3 80-100 fL
MCH MCHC RDW MPV HitungJenis Eosinofil Basofil NetrofilBatang Netrofilsegmen Limfosit Monosit
24pg 32 % 16,1 % 9,7fL
27-31 pg 32-36 % 11,5-14,5 % 7,2-11,1 fL
0% 0% 0% 69 % 25 % 6%
0-6 % 0-2 % 2-6% 50-70 % 20-40 % 2.10 %
Hasil
Nilai Normal
9,8 gr/dl 31 % 16,5 /mm3 4,1 x 106 /µL 308.000 / mm3 75fL 24pg 32 % 16,3 % 10,5fL
14-17 gr/dl 45-55 % 4.500-10.500/mm3 4,7-6,1 jt/ µL 150.000-450.000/mm3 80-100 fL 27-31 pg 32-36 % 11,5-14,5 % 7,2-11,1 fL
0% 0% 0% 81 % 12 % 7%
0-6 % 0-2 % 2-6% 50-70 % 20-40 % 2.11 %
4. Laboratorium (18 Oktober 2016)
PemeriksaanLaboratorium DarahRutin Hb Ht Leukosit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV HitungJenis Eosinofil Basofil NetrofilBatang Netrofilsegmen Limfosit Monosit
3.4 Diagnosis Diagnosis Kerja :
22
G4P2A1 hamil 39-40 minggu, JPKTH, KPD 1 hari, oligohidramnion (ICA 2) non reassuring fetal status, serviks belum matang (PS3) belum a.
inpartu, Rencana Terapi - Hemodinamik stabil : Obs TTV, KU, DJJ, observasi kemajuan -
persalinan Cegah Infeksi : Inj. Ceftriaxone 2g/24 jam Induksi pematangan servix : Drip Oksitosin 5IU dalam 500 cc 12 tpm
3.5 Planning 5. USG (17 oktober 2016) BPD : 40,3 HC : 322,8 AC : 335,0 FL : 79,4 AFI : 1,7 PW : 3429 gram 6. CTG (17 Oktober 2016) - Baseline 145 dpm - Variabilitas 2-5 dpm - Akselerasi - Deselerasi - Gerak janin + - His – Kesimpulan : CTG kategori II Dilakukan resusitasi dengan : 1. O2 10 L via NRM 2. IVFD RL 500 cc dalam 30 menit 3. Posisikan ibu untuk miring kiri CTG ulang (17 Oktober 2016) - Baseline 145 dpm - Variabilitas 2-5 dpm - Akselerasi - Deselerasi - Gerak janin + - His – Kesimpulan : didapatkan hasil uang sama dengan CTG pertama. Disimpulkan suatu non reassuring fetal status 7. Sectio Caesaria Cyto
23
3.6 Prognosis - Ibu Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanationam
: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam
- Bayi Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanationam
: dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam
3.7 Terapi post operasi a. Monitoring
: 1. Keadaan umum 2. Tanda – tanda vital 3. Tanda perdarahan
b. Terapetik b Farmakologi : 1. Inj. Ceftriaxone 2 gr / 24 jam 2. Inj. Ketorolac 3% / 8 jam 3. Kaltopren supp 2 / 8jam 4. Sohobion 2x1 c. Edukasi
: 1. Diet tinggi kalori tinggi protein 2. Istirahat
BAB IV ANALISA KASUS 4.1
Analisis faktor maternal Pasien pertama Ny. NO usia 39 tahun G1P0A0 dengan kehamilan 41-42
minggu dengan permasalahan distosia PK2 dan fetal distress. Pasien merupakan primigravida yang belum diketahui adekuat atau tidaknya panggul sebagai faktor “age”. Distosia diartikan sebagai persalinan yang sulit yang ditandai dengan
24
kemajuan persalinan yang lambat. Keadaan yang terjadi pada pasien ini dapat terjadi oleh salah satu dari 4 kelainan berikut : 1. 2. 3. 4.
Abnormalitas kekuatan mendorong Abnormalitas Presentasi Abnormalitas tulang panggul ibu Abnormalitas jaringan lunak saluran reproduksi
Keadaan ini diringkas kedalam 3 faktor utama power, age, anger. Analisis distosia pada pasien ini yaitu : 1. Power : His 2-3x/30’’/10’ 2. age : Pelvik adekuat 3. enger : Lilitan tali pusat 2x Pasien ini datang rujukan dari bidan dengan pembukaan lengkap dengan penurunan kepala di hodge II-III dan ketuban sudah pecah dan berwarna hijau namun bayi belum lahir setelah 2 jam observasi. Hal ini menandakan adanya distosia PK II. Definisi distosia PK II memiliki batasan yang berbeda anatara primigravida dan multipara. Pada primigravida dibatasi sampai 2 jam dan diperpanjang menjadi 3 jam jika analgesia regional digunakan. Untuk multipara, batasannya adalah 1 jam. Pada pasien ini distosia terjadi akibat lilitan tali pusat yang ditemukan intra op. Tali pusat sering melingkar disekitar bagian-bagian janin, dan hal ini lebih mungkin terjadi pada tali pusat yang lebih panjang. Tali pusat yang melingkari leher disebut sebagai nuchal cord, dan beberapa penelitian besar telah melaporkan satu lengkungan nuchal cord pada 20-34 persen pelahiran, dua lengkungan pada 2,5 sampai 5 persen. Lilitan tali pusat menjadi penyebab sulitnya penurunan janin pada pasien ini. Cairan ketuban kehijauan disebabkan oleh tercampurnya cairan ketuban dengan mekonium. Mekanisme pengeluaran mekonium pada pasien ini berhubungan dengan status gawat janin. Pada keadaan gawat janin oleh karena hipoksia janin, oleh sebab apapun akan merangsang refleks vagus untuk menstimulus
sistem
parasimpatis
janin.
Efek
parasimpatis
pada
sitem
gastrointestinal akan meningkatkan peristaltic janin. Peristaltik yang meningkat akan mendorong mekonium ke distal hingga keluar dari anus. Bukti adanya aktivitas parasimpatis adalah terjadinya penurunan denjut jantung janin pada kasus ini.
25
4.2 Analisis fetal distress Pada kasus Ny. NO ditemukan DJJ 98x/menit dalam waktu 10 menit yang menandakan adanya penurunan frekuensi basal kurang
dari 110x/menit.
Diagnosis fetal distress menggunakan pola denyut jantung janin masih kontroversial. Hal ini karena pola denyut jantung janin merupakan cerminan dari fisiologi janin dan bukan keadaan patologis. Selain itu kegiatan mekanisme kontrol ini dipengaruhi oleh keadaan oksigenasi janin. Oleh karena itu, dibuat suatu sistem interpretasi denyut jantung janin tiga tingkat yang direkomendasikan oleh NICHD yaitu kategori I, II dan III. Pada bradikardi janin, penurunan DJJ menjadi sekitar 100-110 x/mnt masih dianggap normal apabila tidak ditemukan adanya kelainan pada variabilitas jantung janin. Namun, pada penurunan DJJ <100 dpm sering dikaitkan dengan adanya keadaan hipoksia dan asidemia. Pada pasien ini tidak dilakukan CTG sehingga tidak dapat ditentukan interpretasi dari pola denyut jantung namun pada pemeriksaan DJJ didapatkan penurunan frekuensi basal yaitu 98x/menit. Penyebab dari penurunan frekuensi basal dari pasien ini adalah respon hipoksia akibat adanya lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat mengakibatkan turunnya perfusi utero-plasenta yang akan merangsang sistem vagal sehingga merangsang sistem parasimpatis. Stimulus parasimpatis menyebabkan timbulnya bradikardi pada janin serta peningkatan peristaltik janin yang memungkinkan pengeluaran mekonium lebih awal. Pada pasien ini ditemukan adanya cairan ketuban kehijauan yang menandakan adanya mekonium dalam cairan ketuban. Ramin dk. (1996) meneliti hampir 8.000 kehamilan dengan cairan amnion tercemar mekonium disertai sindrom aspirasi mekonium secara bermakna yang menyebabkan asidemia janin saat lahir. Hal ini mengakibatkan kelainan denyut jantung intrapartum, penurunan skor APGAR dan kebutuhan bantuan napas saat lahir. Pada pasien ini bayi lahir dengan APGAR skor 5/8 yang menandakan adanya asfiksia neonatorum dan memerlukan perawatan intensif di NICU. Pasien kedua Ny. SH 35 tahun dengan diagnosa G4P2A1 hamil 39-40 minggu, JPKTH dengan permasalahan KPD 1 hari, oligohidramnion (ICA 2) non reassuring fetal status. Pada pasien ini terdapat riwayat KPD 1 hari yang
26
menyebabkan penurunan jumlah cairan amnion secara bermakna. Selain itu, resiko infeksi intra uterin juga semakin meningkat pada pasien-pasien dengan KPD. Hal ini dibuktikan dengan penurunan indeks cairan amnion bernilai 2 (oligohidramnion berat). Oligohidramnion ini termasuk oligohidramnion pada kehamilan lanjut yaitu penurunan indeks cairan amnion setelah minggu ke 34. Pada kehamilan lanjut dengan oligohidramnion harus diobservasi pertumbuhan dan perkembangan janin secara ketat agar mengurangi morbiditas terkait. Pada 18 penelitan di 10.000 kehamilan dengan ICA< 5 memiliki 2,2 kali lipat resiko persalinan cesarean akibat fetal distress dan 5,2 kali lipat untuk resiko skor APGAR < 7. Hal ini dikarenakan kompresi tali pusat yang terjadi pada oligohidramnion mengganggu sirkulasi utero-plasenta sehingga terjadi hipoksia. Pada pasien ini ditemukan interpretasi CTG kategori II dimana terdapat penurunan variabilitas. Variabilitas DJJ menggambarkan suatu keselarasan sistem kardioakselerator yang diatur oleh sistem simpatis dan kardiodiselerator yang diatur oleh parasimpatis. Variabilitas yang normal berkisar 6-25 dpm yang mengindikasikan bahwa fungsi korteks serebri, aktivitas sistem parasimpatis dan simpatis hingga jantung masih dalam keadaan normal. Adanya penurunan variabilitas pada pasien ini diduga telah terjadi hipoksia terutama pada otak sehingga control simpatis dan parasimpatis hilang. Keadaan ini tergolong kedalam non reassuring fetal status. Pada pasien ini dilakukan resusitasi intrauterin selama 30 menit menggunakan hidrasi intravena 500 cc ringer laktat serta oksigen 10L/menit dengan masker non rebreathing lalu dilakukan CTG ulang dan didapatkan CTG kategori II sehingga dilakukan terminasi perabdominal cito. Hasil yang didapatkan bayi lahir dengan skor APGAR 8/9.
27
DAFTAR PUSTAKA 1.
Benneth, V. (2001). Myles Textbook for Midwives. New York: Churcill Livingstone.
2.
F. Gary Cunningham et al, B. U. (2012). Obstetri Williams ed.23, vol.1. Jakarta: EGC.
3.
Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. YBP-SP, Jakarta.
4.
Varney, Helen et.al. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan edisi 4. EGC, Jakarta.
5.
Nidhal, S. Ali M and Najah H. 2010. A novel cardiotocography fetal heart rate base line estimation algorithm. Scientific research and essay. 5(24) p. 4002-10
6.
Roy K.K et al. 2008. Cesarean section for suspected fetal distress, continous fetal heart monitoring and decision to delivery time. Indian Journal of pediatric. 75(12) p. 1249-52
7.
Fighoeroa HM et al. 2015. Preterm cesarean delivery for non reassuring fetal heart rate. American college of Obsetrician dan Gynecologist. 125(3).
8.
Jenniskens K and Janssen P. 2014. Newborn outcomes in British Columbia after cesaeran section for non reassuring fetal status. J Obstet Gynaecol Can. 37(3). P. 207-2013
iv