Bali Tempo Dulu Dikompilasi sesuai Aslinya Oleh: I Gusti Bagus Rai Utama
Setiap hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sangatlah baik dan bergunaBaik bagi diri sendiri dan orang lain
EDISI : BELAJAR DAN BERBAGI Om swastiyastu : Belajar & berbagi dengan semua ilmu Setiap hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sangatlah baik dan berguna Baik bagi diri sendiri dan orang lain Teruslah belajar dan berbagi karna di setiap pengetahuan adalah bekal dan harta yang abadi.jadilah pribadi yang baik bagi setiap orang dan mampu bersosialisasi dengan baik di masyarakat Budaya dan sejarah adalah sebuah pondasi yang kokoh untuk pedoman kita menuju masa
Bali Tempo Dulu
1
depan yang lebih baik. MAKA JAGA DAN LESTARIKANLAH SENI BUDAYA DAN SEJARAH AGAR TETAP LESTARI DAN ABADI "RAGE NAK BALI LEKAD IDUP DI BALI SAMPUN SEPATUT NYANE NYAGE LAN NGELESTARIANG SENI BUDAYA LAN SEJARAH BALI APANG PRESIDA NGEMOLIHANG RAHAYU " SALAM BALI TEMPOE DULOE Om shanti shanti shanti Om #BALITEMPOEDULOE#BUDAYA# #SEJARAH#ILMUPENGETAHUAN# #HINDU#ARSIPSEJARAHBALI# #THEARCHIVES#TROPENMUSEUM# #CERITARAKYATBALI#BALI&HINDU# #INDONESIATEMPOEDULOE# #ARSIPNASIONALRI#
Bali Tempo Dulu
2
Sejarah Bali Hasil Kompilasi dari Berbagai Sumber
Asal Usul Sejarah Bali Lengkap Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil senibudayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. ASAL USUL SEJARAH PULAU BALI MASA PRASEJARAH Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita. Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis
Bali Tempo Dulu
3
bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang. Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi : Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut Masa bercocok tanam Masa perundagian MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar. Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya. Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya. MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua
Bali Tempo Dulu
4
Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dindingdinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku. MASA BERCOCOK TANAM Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumbersumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia. MASA PERUNDAGIAN Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo
Bali Tempo Dulu
5
(Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea. Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali. Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat. MASUKNYA AGAMA HINDU Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Bali Tempo Dulu
6
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea. Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali. Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat. MASA 1343-1846 KEDATANGAN EKSPEDISI GAJAH MADA Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan. PERIODE GELGEL Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh
Bali Tempo Dulu
7
Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686). ZAMAN KERAJAAN KLUNGKUNG Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura. Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten. KERAJAAN - KERAJAAN PECAHAN KLUNGKUNG Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung. Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi. Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli. Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng. Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar. Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem. Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung. Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan. Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar MASA 1846 - 1949 Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh istrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah istrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali). PERLAWANAN TERHADAP ORANG - ORANG BELANDA Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Perang Buleleng (1846) Perang Jagaraga (1848--1849) Perang Kusamba (1849) Perang Banjar (1868) Puputan Badung (1906) Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda. ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Bali Tempo Dulu
8
Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali. Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga istrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya. LAHIRNYA ORGANISASI PERGERAKAN Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana". Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa. ZAMAN KEMERDEKAAN Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti
Bali Tempo Dulu
9
Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja. Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat. Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. PUPUTAN MARGARANA Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. KONFERENSI DENPASAR Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang). Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian.
Bali Tempo Dulu
10
Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja. PENYERAHAN KEDULATAN Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil. Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. DAFTAR KABUPATEN DAN KOTA DI BALI No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupate Badung Mangupura 2 Kabupaten Bangli Bangli 3 Kabupaten Buleleng Singaraja 4 Kabupaten Gianyar Gianyar 5 Kabupaten Jembrana Negara 6 Kabupaten Karangasem Amlapura 7 Kabupaten Klungkung Semarapura 8 Kabupaten Tabanan Tabanan 9 Kota Denpasar DAFTAR GUBERNUR BALI 1. Anak agung bagus sutedja : tahun 1950 - 1958 2. I Gusti Bagus Oka : tahun 1958 - 1959 3. Anak agung bagus sutedja : tahun 1959 - 1965 4. I Gusti putu martha : tahun 1965 - 1967 5. Soekarmen : tahun 1967 - 1978 6. Prof. Dr. Ida Bagus mantra : tahun 1978 - 1988 7. Prof. Dr. Ida bagus oka : tahun 1988 - 1998 8. Drs. Dewa made beratha : tahun 1998 - 2008 9. I made mangku pastika : tahun 2008 - 2018 BIODATA PULAU BALI : Batas Wilayah : - Utara : Laut Bali - Selatan : Samudera Indonesia - Barat : Provinsi Jawa Timur - Timur : Provinsi Nusa Tenggara Barat Hari Jadi Bali : 14 Agustus 1959 Ibukota : Denpasar (Dahulu Singaraja) Koordinat : 9º 0' - 7º 50' LS 114º 0' - 116º 0' BT
Bali Tempo Dulu
11
Luas : 5.634 KM2 Situs Web : www SEJARAH BALI
Persimpangan jalan di kabupaten klungkung tahun 1970. Ini adalah foto yang menerangkan sebuah persimpangan jalan menuju kusamba dan pelabuhan padangbai karangasem.masih nampak asri dan indah kelungkung dikala itu. #BaliTempoeDuloe#bagiabalisutrepti# //#Tropenmuseum#
Jalan raya gajah mada Denpasar di tahun 1975. #BaliTempoeDuloe#bagiabalisutrepti# #Tropenmuseum#
Bali Tempo Dulu
12
Puri Kesiman Denpasar 1906 ~2015. #BaliTempoeDuloe#bagiabalisutrepti#Tropenmuseum#
Bali Tempo Dulu
13
Transportasi bemo roda tiga sanglah kereneng pp di tahun 1984. #BaliTempoeDuloe#bagiabalisutrepti# #wikipedia#Tropenmuseum#
Bali Tempo Dulu
14
Bali Tempoe Duloe Nampak sangat polos sekali (alm) bpk i gusti ngurah rai..kira2 beliau baru berumur 16 tahun dikala itu..beliau seorang anak yg baik periang suka bergaul dan cerdas..maka dari itu beliau sangat di senangi oleh teman2 nya. ialah seorang pemimpin pasukan ciuwanara dalam perang puputan margarana yg berjuang dengan gagah berani walaupun akhirnya gugur di medan laga dengan sejumlah luka tembak menebus tubuhnya..selamat jalan pahlawan ku jasamu terhadap tanah bali akan kami kenang selalu. ASTUNGKARA.
Bali Tempo Dulu
15
Jalan raya legian kuta 1972 ~2014. #BaliTempoeDuloe#wikipedia# #TropenMuseum#Arsipsejarahbali# #wikipedia#balilawas#sejarah#
Bali Tempo Dulu
16
Upacara eka dasa rudra di pura besakih 1979. Yg di adakan 100 tahun sekali. Upacara ini akan di adakan kembali nanti pada tahun 2079 di pura agung besakih karangasem bali. Besakih menjadi pusat perhatian kita lagi, karena akan dilaksanakan upacara karya agung eka dasa rudra dan panca wali karma. Besakih memang memikat, bukan saja karena besakih adalah pura terbesar di Bali dan juga di Indonesia, tetapi juga perjalanan sejarahnya yang panjang. Dan kita dapat belajar dari padanya. Pura yang indah dan suci ini memiliki sejumlah legenda dan atau mithologhi baik lisan maupun tertulis. Sastra sejarah yang terkait dengan kisah pendirian dan perkembangan pura ini cukup banyak kita temui baik merupakan koleksi pribadi maupun koleksi lembaga atau perpustakaan lontar. Naskah – naskah tersebut ada yang berkaitan dengan keluarga – keluarga tertentu yang memiliki padharman di Besakih ada pula yang terkait dengan Besakih secara keseluruhan. Besakih memang memilki perjalanan yang panjang, pura ini pun menjadi begitu sentral bagi masyarakat bali. Maka hadirnya berbagai legenda tentang orang – orang suci yang membangun, memperbaiki, menata kembali dapat dipahami kehadirannya. Rsi Markandeya disebut – sebut juga sebagai orang yang pertama kali menanam panca datu sebagai dasar pendirian pura besakih. Beliau dating di Bali setelah menerabas hutan lebat pulau ini, dan setelah sempat kembali ke jawa untuk mencari pengiring barulah beliau sempat kembali ke Jawa untuk mencari pengiring barulah Beliau sampai di besakih. Dalam beberapa pustaka jawa Kuno disebutkan bahwa Rsi Markandeya semula bertempat tinggal di Gunung Damalung. Dibedakaannya pura pemujaan untuk umum dan pura pemujaan keluarga kiranya mengarah pada pengamatan bahwa pura besakih adalah pura pemujaan bagi seluruh umat Hindu. Upacara tawur tebesar Eka Dasa Rudra dan upacara tawur sepuluh tahunan Panca Wali Krama yang dilaksanakan disebuah areal “kosong” (yang setelah upacara berlangsung, tidak akan meninggalkan tanda apa – apa) memang lepas dari perhatian para peneliti dalam rangka melihat “kedudukan dan fungsi” pura tersebut. Apabila kita mengikuti secara langsung upacara ini barulah kita mengetahui bahwa secara simbolik besakih adalah “madyaning bhuwana” (sentralnya dunia) di tempat mana dipuja Tuhan Yang Maha Esa dengan manifestasinya (kekuatannya) yang menguasai semua penjuru dunia : iswara, maheswara, brahma, rudra, mahadewa, sangkara, wisnu, sambhu. Dari sini pula umat hindu memohon kerahayuan bhuwana keselamatan seluruh jagat. Dengan demikian kitapun menyadari melihat tata kehidupan pelaksanaan ajaran agama hindu tidak dapat di lihat dari bangunan fisik semata. Sebuah areal kosong di hadapan pura Besakih ternyata mengandung makna yang penting. Dari sini umat hindu dengan di pimpin oleh para panditanya memuja Tuhan Yang Maha Esa, dan memohon kerahayuan, seluruh umat manusia. Pura Agung Besakih sebagai pura terbesar di Bali dan di Indonesia, merupakan pusat pemujaan umat Hindu . Sebagai pura besar pura Agung Besakih memiliki tatanan upacaraupacaranya yang tersendiri, berbeda dengan pura lain pada umumnya. Sangat banyak jenis upacara yang dilaksanakan di Pura Agung Besakih dari -yang tingkatannya kecil yang bersifat rutin setiap enam bulan atau setahun, sampai yang sangat besar yang dilaksanakan dalam periode 10, 100 bahkan 1000 tahun sekali. Eka dasa rudra pada prinsipnya adalah bhuta yadnya, dan bhuta yadnya dimaksudkan untuk mencapai bhuta – hita atau jagadhita. Bhuta yadnya yang merupakan bagian dari Panca maha yadnya, di dalam kitab – kitab suci disebut sebagai Bali – yajna (dengan struktur yang jelas) mulai dari terkecil sampai yang terbesar dilaksanakan. Karya Agung Ekadasa Rudra telah diselenggarakan di Bali pada Tilem Caitra Saka 1900 (Maret 1979) sebagai rangkaian siklus Bhuta Yadnya, dilanjutkan dengan Karya Agung Panca Bali Krama setiap sepuluh tahun sekali. Terakhir, Panca Bali Krama diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra (Tilem Kasanga) Saka 1920, tanggal 17 Maret 1999 yang dipusatkan di Bancingah Agung Pura Panataran Agung Besakih, di kaki Gunung Agung. Menurut indik atau aturan upacara yadnya yang ada, pada tilem caitra tahun saka 2000 nanti atau tahun 2079 patut dilaksanakan upacara seribu tahunan yang disebut Baligya Marebhu
Bali Tempo Dulu
17
Bhumi). #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#sejarah#budayabali#
President sukarno berziarah ke makam pahlawan (alm) I GUSTI NGURAH RAI di dampingi 3 putra (alm) yaitu I Gusti ngurah gde yudana,I Gusti ngurah tantera, I Gusti ngurah alit yudha dan istri (alm) Desak putu kari di taman makam pahlawan MARGARANA TABANAN BALI tahun1950. #BaliTempoeDuloe#TropenMeseum# #wikipedia#sejarah#arsip#bali#
Bali Tempo Dulu
18
Patung catur muka Denpasar tahun 1980. #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#sejarah#bali#Denpasar#
Bali Tempo Dulu
19
Sebuah pintu gerbang untuk memasuki kota denpasar di tahun 1918. Arti dari nama kota denpasar di ambil dari 2 suku kata yaitu den dan pasar. Den berarti sebelah utara Pasar berarti tempat melakukan transaksi jual beli Jadi Denpasar berarti sebelah utara pasar. #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #Wikipedia#arsip#budaya#
Bali Tempo Dulu
20
Polisi berpatroli melintasi jalan iman bonjol Denpasar,Bali menuju kuta dengan sepeda ontel. Di tahun 1979. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #
Bali Tempo Dulu
21
Koran tempoe duloe 15 maret 1856. #BaliTempoeDuloe #
Bali Tempo Dulu
22
Pantai kuta tahun 1972 ~2015. Bisa kita bayangkan bagaimana dulu.yang masih asri, polos,tanpa polusi, & pembangunan. jauh berbeda di saat sekarang yg sudah banyak berdiri bangunan gedung bertingkat bar,club malam,restoran,swalayan dll yg kesemua itu merubah wajah kuta yang polos menjadi moderen. Tapi apapun itu tetep bersyukur dan mari saling menjaga adat istiadat warisan leluhur untuk ,"AJEG BALI" #BaliTempoeDuloe #bagiabalisutrepti #wikipedia #Tropenmuseum#
Bali Tempo Dulu
23
Pura besakih 1920 ~ 2015 Berdasarkan catatan yg terdapat dalam prasasti logam maupun lontar ~ lontar ,di sebutkan pada mulanya pura besakih merupakan bangunan pelinggih kecil yg kemudian di perbesar dan di perluas secara bertahap dlm tempo yg cukup lama. Dari sumber ~ sumber catatan di temukan bahwa pada permulaan abad ke 11 yaitu tahun 1007 , pura besakih sudah ada. #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#sejarah#budayabali#
Bali Tempo Dulu
24
Belanda yang menjajah negara kita selama 300 tahun lebih dengan kejam dan licik Mengadu domba adalah salah satu cara jitu belanda menghancurkan kekuatan raja2 di nusantara..Mari kita hargai perjuangan leluhur kita dan jng lupakan sejarah bangsa kita..agar kita bisa menghargai jerih payah para pejuang dahulu. "Dumogi amor ring acintya pahlawan tyang sane gugur make sami "
Bali Tempo Dulu
25
BUNUT BOLONG JEMBRANA 1928 ~ 2015. bunut bolong berlokasi di daerah perbukitan yg termasuk wilayah Desa Manggisari,Kecamatan Pekutatan , kabupaten Jembrana. Bunut bolong adalah pohon bunut yg tumbuh lestari di mana di tengah akar~akarnya berlubang dan terdapat jalan raya yg menghubungkan kecamatan pekutatan dengan kabupaten Buleleng. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
PURI AGUNG DENPASAR 1900. Atau yang lebih di kenal dengan PURI SATRIA DENPASAR.
Bali Tempo Dulu
26
#BaliTempoeDuloe#bagiabalisutrepti#Tropenmuseum#
Pantai kuta februari 1972. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
27
Kerja rodi pembangunan jalan di gigit lintasan jalan bedugul ~ singaraja 1935 Tampak para kolonial belanda mengawasi para pekerja yg tak di beri upah, makan dan minum. Sungguh sebuah pemandangan yg sangat memilukan. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
28
Pura luhur uluatu 1920 ~ 2015 Adalah tempat suci hindu sebagi Pemujaan Dewa rudra. Pura luhur uluwatu adalah salah satu pura yg dinyatakan sebagai pura sad kahyangan dalam lontar kusuma dewa dan juga sebagi pura khayangan pa bhuana yang berada di arah barat daya pulau bali. Pura Luhur Uluwatu Stana Dewa Rudra Utpatti Bhagawan Brahma, stithi Wisnuh tathewaca. Pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya sranah. (Buana Kosa. 25) Maksudnya: Tuhan sebagai Dewa Brahma sebagai pencipta Utpati, sebagai Dewa Wisnu menjadi pemelihara atau Stithi dan sebagai Dewa Rudra sebagai pemralina. Tuhan dalam wujud tiga Dewa itulah pelindung bumi. Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadaphadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini. Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.
Bali Tempo Dulu
29
Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Ping Jagat. Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap. Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat. Dalam Lontar Pa Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Pa Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Pa Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Pa Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang. Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Pa Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti
Bali Tempo Dulu
30
Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu. Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak. * I Ketut Gobyah Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Pa Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali. Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu. Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Pa Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah. Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja. Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar. Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut. Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi. Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu
Bali Tempo Dulu
31
Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu. Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku. Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu. Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng -- sekitar lima kilometer -- harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu. pura ini berlokasi di desa pecatu,kecamatan kuta kabupaten Badung. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Pendaratan belanda di pesisir sanur 14 september 1906. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedi#Arsip Nasional Ri#
Bali Tempo Dulu
32
Jalan gajah mada,Denpasar tahun 1975 ~ 20 15 Adalah kawasan kota tua jauh sebelum kemerdekaan indonesia, sudah menjadi pusat perdagangan. Dengan segala kebudayaan dan sejarah yg dimilikinya, awal tahun 2008, di ujung barat jalan gajah mada di pasangkan tanda yg mirip prasasti yg bertuliskan " KAWASAN HERITAGE JALAN GAJAH MADA DENPASAR" #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# www.balimediainfo.com#
Bali Tempo Dulu
33
Peken payuk / pasar priyuk 1930 ~ 2015 Yang sekarang lebih di kenal dengan nama pasar kumba sari. Pasar payuk dulunya ada dalam pemerintahan kabupaten badung sebelum wilayah ini di pisah menjadi kabupaten badung dan kota Denpasar. Pasar badung dan kumba sari adalah 2 pasar yg sangat ramai di setiap harinya dan 2 pasar ini di pisahkan oleh sungai Badung. Dulu peken payuk atau pasar priyuk ini adalah pasar yg menjual berbagai keperluan alat rumah tangga seperti payuk,cobek,penyantokan,gebeh dll Dengan harga yg sangat terjangkau. Dan seiring perkembangan ekonomi dan jaman pasar priyuk ini berubah menjadi pasar tradisional yang moderen,2 pasar ini adalah tempat berbelanja beraneka macam keperluan sehari2 seperti sayur,buah,hasil laut,kerajinan,tekstil,pakaian perlengkapan upacara hindu dll. Sumber: www.sejarahbali.com
Bali Tempo Dulu
34
Gedung pasar Badung mulai dibangun sekitar tahun 1977.pasar yg pernah di renovasi kembali setelah kebakaran hebat menghanguskan bangunan gedung itu di tahun 2000 & 2016 .pasar yg berlokasi di jalan gajah mada Denpasar ini adalah pasar tersibuk di kota Denpasar. Pasar badung sendiri dilintasi tukad / sungai badung dari sisi barat dan selatannya, Sungai ini konon turut "MENJADI SAKSI BISU" pristiwa historis pertempuran rakyat badung bersama rajanya melawan penjajah belanda. Pada tanggal 20 september 1906 #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum #wikipedia# www.balimediainfo.com
Bali Tempo Dulu
35
Baku tembak pasukan kolonial belanda dengan pasukan laskar badung saat akan menyerang desa kesiman 19/09/1906. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# www.balimediainfo.com//ArsipNasionalRi#
Bali Tempo Dulu
36
Pasukan perang belanda melintasi sungai di sebelah timur desa kesiman untuk menyerang wilayah kesiman setelah baku tembak terjadi 19/09/1906. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedi//ArsipNasionalRi
TUGU SINGA AMBARA RAJA, 1971 maskot kota singaraja kabupaten Buleleng Tugu ini di bangun untuk mengenang keperkasaan "KI GUSTI NGURAH PANJI SAKTI" beliaulah seorang penguasa wilayah utara pulau dewata bali di tahun 1660an. Yg berhasil membangun wilayah tersebut menjadi maju dan di segani. Patung singa ambara raja di lambangkan singa bersayap yg mencengkram buah jagung gembal, itu melambangkan kekuatan,kesatria,kekuasaan pemimpin bali utara yg gagah berani. Patung ini tepat berada di tengah kota singaraja yaitu di pertigaan depan kantor bupati buleleng saat ini. Patung ini di tunjang oleh tugu yg berbentuk bunga teratai berkelopak 9 yg menandakan kabupaten buleleng terdiri dari 9 kecamatan. Bulu~bulu panjang di kedua sisi sayap berjumlah 30 helai. Itu melambangkan tgl lahirnya "KOTA SINGARAJA" bulu ~ bulu itu tumbuh dari 3 buah tulang sayapnya yang melambangkan BULAN lahirnya "KOTA SINGARAJA, sedangkan bulu halus yg menutupi seluruh tubuh singa berjumlah 1604 itu melambangkan tahun lahirnya "KOTA SINGARAJA" Jadi dapat di simpulkan kota singaraja lahir pada 30 maret 1604, dan tugu ini di resmikan pada 30 maret 1971. Sebagai maskot "KOTA SINGARAJA. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# www.balimediainfo.com
Bali Tempo Dulu
37
TJOKORDA GDE RAKA SOEKAWATI Beliau adalah presiden indonesia timur Asal ubud,gianyar,Bali. TJOKORDA GDE RAKA SOEKAWATI memiliki 2 orang istri yaitu GUSTI AGUNG NIANG PUTU Yg memberikan beliau seorang putra bernama TJOKORDA NGURAH WIM SUKAWATI Dan beliau menikah lagi di tahun 1933 dengan wanita keturunan perancis bernama GILBERT VINCENT yang memberikan beliau 2 orang anak. Negara indonesia timur adalah negara bagian RIS (republik indonesia serikat) Negara ini meliputi sulawesi,sunda kecil(bali,nusa tenggara) serta kepulauan maluku dan beribu kota di MAKASAR
Bali Tempo Dulu
38
Negara ini terbentuk setelah di laksanakannya konfrensi malino pada tanggal 16-22 juli 1946 dan konfrensi Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946 yang bertujauan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian di wilayah timur indonesia oleh belanda. Pada konfrensi Denpasar 24 Desember 1946 negara baru ini dinamai negara timur besar , namun di ganti kembali menjadi NEGARA INDONESIA TIMUR ,pada tanggal 27 Desember1946. Hingga akhir masa jabatan beliau pada 17 agustus 1950 Beliau wafat di tahun 1967. Sumber : wikipedia & www.sejarahbali.com
Pasar tradisional Desa adat kuta 1982. Masih nampak asri dan polos Kuta dikala itu. #jaen#idup#dibali#BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
39
Pura Besakih karangasem Bali 1966~2015 Perbedaan pura besakih tempoe duloe dengan yg sekarang di jaman moderen. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
40
Pantai sanur di tahun 1975 & 2015 Lihatlah perbedaan nya Sunggu sangat jauh berbeda. Sudah seharusnya kita Menjaga apa yg sudah di titipkan Leluhur kita terdahulu. "DUMOGI AJEG BALI NE" #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
41
"TIRTA GANGGA" KABUPATEN KARANGASEM BALI 1959 ~ 2015 Tirta gangga adalah bekas istana kerajaan karangasem yang terletak di bagian timur pulau bali,taman ini terkenal karena istana airnya,yang di miliki oleh kerajaan karangasem. "TIRTA GANGGA" secara harafik berarti air dari sungai gangga yang merupakan penghormatan kepada umat hindu bali,nama ini mengacu pada istana air yang di bangun pada tahun 1948 oleh raja karangasem,"ANAK AGUNG ANGLURAH KETUT KARANGASEM AGUNG" namun nama ini juga di pakai untuk merujuk pada wilayah yang meliputi istana air beserta daerah pedesaan yang subur di sekitarnya. Istana air tirta gangga berupa labirin kolam dan air mancur yang di kelilingi oleh tanaman yang rimbun serta patung~patung. Kompleks seluas satu hektar ini hampir hancur akibat letusan gunung agung pada tahun 1963.kemudian di bangun kembali,daerah tirta gangga terkenal dengan teras~teras sawahnya yg indah.dan kini daerah ini menjadi salah satu objek wisata sejarah di bali timur. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
42
PURA BESAKIH 1959 ~ 2014 Pura besakih terletak di kecamatan rendang,kabupaten karangasem,propensi bali.berdiri di kaki gunung agung.pura besakih adalah pura terbesar yg ada di pulau bali.wisatawan asing menyebutnya the mother tample of bali.pura besakih adalah kompleks pura,yg dimana pura penataran agung merupakan pusat dari pura-pura yang ada di dalam area pura Besakih tersebut. Pura besakih asal mulanya didirikan oleh RSI MARKANDYA beliau adalah seorang yogi dari INDIA yang tinggal di jawa timur tepatnya di gunung rawung.karena ketinggian ilmu batinnya,kesucian rohaninya serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau kepada rakyat maka beliau di juluki BHATARA GIRI RAWANG. Dan beliau menuju ke arah timur pulau jawa beserta pengikutnya yg berjumlah 8000 orang dengan perbekalan,peralatan yg di bawa dari tanah jawa. Sesampainya beliau di bali beliau mulai memerintahkan pengikutnya untuk mebabas hutan yg di kala itu pulau jawa dan bali belum terpisah seperti saat ini. Dan dari sumber~sumber sejarah menunjukan bahwa pada permulaan abad ke 11 yaitu tahun 1007, pura besakih sudah ada. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
43
SEJARAH BANDARA INTERNASIONAL I GUSTI NGURAH RAI ,BALI 1969 ~2015 Peresmian Pelabuhan udara internasional tuban 1969. Bandara internasional Ngurah rai kini menjadi salah satu bandara terbesar di INDONESIA. Dulunya bandara ini bernama bandara tuban.saat pembangunannya,presiden soekarno menggunakan tenaga ahli arsitek asal jerman. Soekarno menolak menggunakan insinyur dari belanda pada saat itu. Bandara internasional ngurah rai di bangun pertama kali di tahun 1930 oleh Departemet voor verkeer en waterstaats(semacam departemen pekerjaan umum belanda)landasan pacu berupa airstip sepanjang 700 meter dari rumput di tengah ladang dan perkuburan di desa tuban. Tahun 1947 , airstrip south bali di bom oleh Tentara jepang ,dan di kuasai untuk tempat mendaratkan pesawat tempur dan angkut mereka,dan airstrip yg di bom itu di perbaiki lagi yg menggunakan sistim plat baja oleh jepang.dan jepang memperpanjang lagi landasan pacu menjadi 1200 meter setelah itu di lanjut kan kembali oleh pemerintah indonesia dan di panjangkan lagi menjadi 2700 meter proyek yg berjalan dari tahun 1963_1969 di beri nama proyek airport tuban. Proses reklamasi pantai sejauh 1500 meter di lakukan dengan mengunakan material batu kapur dari desa unggasan,batu kali dan pasir dari sungai antosari ,Tabanan. Penyelesaian pembangunan airport tuban di tandai dengan peresmian oleh presiden soeharto pada tanggal 1agustus 1969,yang sekaligus menjadi momen perubahan nama menjadi pelabuhan udara internasional Ngurah Rai (Bali international Airport Ngurah Rai) #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
44
PERANG PUPUTAN BADUNG 20 september 1906 Cerita berawal dari sebuah perahu yg terdampar di wilayah pantai timur kerajaan badung. Pada jam 06:00 pagi. 27 mei 1904, pemilik perahu itu orang cina yg bernama "kwee tek tjiang" karna perahu kandas dan rusak parah maka barang yg masih bisa di selamatkan di turunkan. Atas perintah pemilik barang dan "sie bo" seorang warga cina di sanur melaporkan langsung kepada penguasa sanur pada saat itu yg bernama"IDA BAGUS NGURAH"untuk ikut mengamankan barang2 dalm perahu. Dan pada tanggal 29 mei 1904 utusan dari kerajaan badung datang untuk memeriksa perahu barang itu. Dan pemilik perahu itu membuat laporan palsu kepada utusan kerajaaan dan memfitnah rakyat tlah mencuri barang nya.pemilik perahu meminta ganti rugi ke pada kerajaan badung sebesar 3700 ringgit uang perak serta 2300 uang kepeng.tentu saja laporan ini tidak di terima raja badung beliau tidak percaya rakyatnya melakukan hal serendah itu.lalu pemilik perahu melaporkan hal ini ke "RESIDEN" (pemimpin tertinggi kolonial belanda) Di batavia. Keyakinan teguh raja badung membuat pemerintah belanda di batavia geram. "RESIDEN" J.ESCBACH mengusulkan agar raja badung tetap membayar ganti rugi 3000 ringgit. Walau sudah di ultimatum raja badung "I GUSTI NGURAH MADE AGUNG " tetap menolak tuduhan sampai batas wkt 9 januari 1905.sikap raja badung itu memaksa pihak belanda bertindak tegas dan mengirim tentara dan kapal perang nya dari batavia ke perairan wilayah timur kerajaan badung.dan siap untuk perang menaklukan raja raja di bali. RAJA BADUNG dengan tegas menyatakan tidak akan gentar sedikit pun dengan acaman
Bali Tempo Dulu
45
pemerintah belanda walau harus mati sekalipun untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan badung. Dan raja pun berucap ( NINDIHIN GUMI LAN SWADARMANING NEGARA) Ekspedisi meliter 5 belanda pun tiba di sanur 12/9/1906 belanda sekali lagi memberikan peringatan kepada 2 kerajaan badung dan tabanan agar menyerah dng tempo 2x 24 jam.ultimatum tak di gubris. Belanda mulai angkat senjata. Perang pun di mulai dari timur yaitu menghancur leburkan PURI KESIMAN. 3 bataliyon belanda berhasil menduduki PURI KESIMAN pada jam 15:30 sore 19/9/1906 lalu belanda bergerak ke arah barat ke esokan harinya siap menyerang KERAJAAN BADUNG..perlawanan laskar badung pun semakin berkobar.. Raja badung pun tlah mendengar bahwa pasukan belanda telah memasuki kota denpasar. Pukul 10:30 perempatan di kuasai belanda jln denpasar menuju tangguntiti. Pukul 11 siang seluruh keluarga kerajaan badung beserta rakyat badung mengankat senjata tumbak dan keris menyatakan "NGIRING PUPUTANG"......!!!!!! Perang pun tak terhelakan satu persatu pihak badung gugur Akhirnya pada pukul 18 :00 laskar badung di pemecutan yg merupakan benteng terakhir terhenti Belanda berhasil menduduki badung pada 20 september 1906. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#KITLV# #ArsipNasionalRi#
Korban perang puputan badung Dari pihak kerajaan badung dan laskar badung Gugur,di medan perang..pukul 18:05 wita 20 september 1906. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#KITLV# #ArsipNasionalRi#
Bali Tempo Dulu
46
Suasana puri agung Denpasar setelah perang puputan badung usai 1906 Nampak bangunan puri yang tlah hancur akibat di bom bardir belanda, #TropenMuseum #wikipedia # ArsipNasionalRi#BaliTempoeDuloe#KITLV#
Pasukan ekspedisi meliter belanda mengepung Denpasar. 20/09/1906 #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# ArsipNasionalRi# #KITLV#
Bali Tempo Dulu
47
Suasana setelah perang puputan badung. Di Tahun 1906 Badung dalam kekuasaan Belanda #BaliTempoDuloe#TropenMuseum#Wikipedia#KITLV# #ArsipNasionalRi#
PURA TANAH LOT Foto pura tahun :1958 ~ 2015 SEJARAH PURA TANAH LOT:
Bali Tempo Dulu
48
Pada masa kerajaan majapahit ada seorang bhagawan yang bernama "DANG HYANG DWIJENDRA" atau "DANG HYANG NIRARTA" Beliau dikenal sebagai tokoh penyebar ajaran agama hindu dengan nama "dharma yatra" di pulau lombok beliau di kenal dengan nama"TUAN SEMERU"atau guru dari semeru( sebuah nama gunung di jawa timur) Pada waktu beliau datang ke bali untuk menjalankan misinya,yang pada saat itu bali di kuasai oleh "DALEM WATURENGGONG" yang menyambut beliau dengan sangat hormat,lalu mulai lah beliau menyebarkan ajaran agama hindu di pulau dewata.suatu ketika pada saat belia menjalankan tugas nya tiba2 saja beliau melihat sinar suci dari arah tenggara sampai beliau mencari sumbernya yang ternyata itu adalah sumber mata air,tidak jauh dari tempat itu beliau menemukan tempat yang sangat indah yang di sebut "GILI BEO"(gili artinya batu karang dan beo artinya burung,tempat itu adalah sebuah batu karang yang berbentuk burung) Ditempat inilah beliau melakukan tapa semadi dan mohon petunjuk kepada dewa penguasa laut.lokasi batu karang ini termasuk wilayah desa beraban dimana di desa itu di kuasai oleh pemimpin suci yang di sebut "BENDESA BERABAN SAKTI"dulu masyarakat beraban menganut kepercayaan monotheisme(percaya pada 1 pemimpin sebagai utusan tuhan)dalam waktu yang singkat banyak masyarakat yg mengikuti ajaran "DANG HYANG NIRARTA" yang kemudian membuat "BENDESA BERABAN SAKTI" murka dan mengajak pengikut setianya untuk mengusir "DANG HYANG NIRARTA" dari desa beraban. Dengan kekuatan sepiritual yang dimiliki oleh "DANG HYANG NIRARTA" beliau melindungi dirinya dari serangan "BENDESA BERABAN SAKTI"dengan memindahkan batu karang besar itu di tempat beliau meditasi (gili beo) ke tengah laut dan menciptakan banyak ular dengan selendangnya di sekitar batu karang sebagai pelindung dan penjaga tempat tersebut. Hingga beliau memberi nama tempat itu "TANAH LOT" yang berarti tanah di tengah laut. Akhirnya "BENDESA BERABAN SAKTI" Mengakui kesaktian dan kekuatan "DANG HYANG NIRARTA" hingga "BENDESA BERABAN SAKTI"menjadi murid dan pengikut setia "DANG HYANG NIRARTA"dan ikut menyebarkan ajaran agama hindu ke penduduk,sebagai ucapan terimakasi sebelum melanjutkan perjalanan beliau memberikan sebuah keris kepada "BENDESA BERABAN SAKTI" yang di kenal dengan nama "KERIS JARAMENARA atau KERIS KI BARU GAJAH"dan saat ini keris itu di simpan di puri kediri tabanan.keris ini sangat di keramatkan dan di upacarai setiap hari raya kuningan dan upacaranya di adakan di pura tanah lot setiap 210 hari sekali yakni pada "BUDA WAGE LENGKIR" Sesuai dengan penanggalan kalender bali. Sumber : sejarahdinusantara.blogspot.com/.../sejarah-pura-tanah... #BaliTempoeDuloe #wikipedia#Tropenmuseum#
Bali Tempo Dulu
49
PURA TAMAN AYUN Foto pura tahun 1959 ~2015 Taman ayun adalah sebuah kompleks pura yang besar, yang terletak di kecamatan mengwi,kabupaten badung,Bali Kurang lebih 18 km dari pusat kota Denpasar. Setelah kita melewati pintu masuk anda akan melihat taman yg luas dengan rumput hijau yang terawat dengan baik yang dapat memberikan kita ketenangan hati dan fikiran saat mengunjungi pura taman ayun. Taman ayun di terjemahkan secara harfiah sebagai taman yang indah dan di anggap sebagai salah satu pura yang paling menarik di Bali.Dibangun pada tahun 1634 oleh raja Mengwi ,"I GUSTI PUTU AGUNG" Pura ini berbatasan dengan sungai yang lebar yang mengairi sawah~sawah di sekitar lokasi.pura ini di dedikasikan untuk para leluhur kerajaan mengwi dan dewa~dewa penting lainya.pura taman ayun di anggap sebagai "pura pusat"untuk kerajaan mengwi ,Badung. #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum#Wikipedia#
Bali Tempo Dulu
50
Karagasem bali di tahun 1966 Masih nampak asri dan sangat indah Kabupaten karangasem di kala itu. Kabupaten yang terletak di arah timur pulau dewata itu memamng memiliki daya tarik tersendiri dan berbagai macam obyek wisatanya.dan di karangasem juga terdapat pura terbesar di pulau bali yaitu PURA BESAKIH yang merupakan pusat dari semua pura yang ada di bali. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
51
Pantai legian kuta Tahun 1984.
Bagi anda pecinta kuliner makanan khas bali yaitu babi guling di kota denpasar dan sekitarnya pasti sudah tidak asing lagi dengan foto ini. Ya foto ini adalah bale kulkul dan
Bali Tempo Dulu
52
bangunan warung babi guling yang berada di depan Banjar Gerenceng,jalan sutomo#Denpasar Perbandingan foto tahun: 1925 ~2013. #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Tropenmuseum#
Pekerjana drainase di jalan legian kuta tahun 1982 dan jalan legian kuta di tahun 2013,kuta dari dulu memang di utamakan pembangunan nya untuk kenyamanan turis yg akan berkunjung ke sana.kuta sebagai salah satu tempat favorit wisatawana jika berkunjung ke pulau dewata bali. Sumber : www.sejarahbali.com
Bali Tempo Dulu
53
29 juni 1938 Raja-raja di bali termasuk lombok berkumpul untuk deklarasi daerah pemerintahan. Dari kiri : 1 raja karangasem ( Anak Agung Angloerah ktoet karangasem ) atau yang lebih di kenal ( I Gusti Bagus Djilantik ) 2 raja gianyar (Anak Agung Agung Ngoerah) 3 raja buleleng ( Anak Agung Poetoe Djilantik) 4 raja klungkung ( Dewa Agung Oka Geg ) 5 raja Bangli ( Anak Agung Ktoet Ngoerah ) 6 raja Badung ( Tjokorda Ngoerah Alit ) 7 raja tabanan ( Tjokorda Ngoerah ktoet) 8 raja jembrana ( Anak Agung Bagus Negara) Sumber : KITLV LEIDEN
Bali Tempo Dulu
54
Suasana pertempuran rakyat bali melawan kolonial belanda , dalam ekspedisi pertama pasukan perang belanda di tahun 1900. namun belanda gagal dan kembali mengirim pasukan dari batavia dalam agresi meliter keduanya karena kalah jumlah dan teknologi senjata,rakyat bali hanya tinggal bertahan di benteng-benteng pertahanan sambil sesekali menyerang untuk mempertahan kan kedaulatan kerajaan badung hingga "PUPUT"atau selesai MERDEKA ATAU MATI dalam perang suci sampai tetes darah terakhir. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #
Bali Tempo Dulu
55
Pemandian Tejakula Buleleng 1926. Desa tejakula adalah salah satu desa dari kecamatan #tejakula#Buleleng#Bali. Menurut piagam Raja Janacadhu warmadewa yang memerintah tahun 975 masehi yang sekarang tersimpan di desa sambiran.Dalam piagam itu di temukan nama "Hiliran"hal yang dapat di lihat dari prasasti tersebut : "KUNANG YA ADA DURBALA SANGHYANG PERHYANG MEPEDEM,PANCURAN BANWA DI JULAH, DI INDRAPURA,BUWUNDALEM,HILIRAN,KEBAYANA,AMIN SIWIDHARUAN,SANGHYANG PERHYANGAN DITU" Yang artinya : "Apabila ada kerusakan -kerusakan pura ,kuburan,pemandian,prasada(candi),jalan raya yang ada di sebelah utara maupun sebelah selatan,harus desa julah,indrapura,Buwundalem,dan Hiliran,berganti - ganti memperbaikinya juga mengeluarkan biaya,karena penduduk desadesa ini semuanya memuja pura atau khayangan itu(goris,dalam ginasa 1974 :XVlll).Berdasarkan uraian tersebut diatas menyatakan bahwa yang di maksud dengan "Hiliran" adalah desa Tejakula sekarang,karena nama tersebut tercantum di sebelah timur nama Buwondalem(Bondalem)atau berdasarkan nama urutan penyebutan nama-nama desa
Bali Tempo Dulu
56
yang tercantum yang sangat tua,yang mana penyebutan urutan nama nama desa sudah ada sejak abad ke 10. Berdasrkan nama urutan desa - desa di atas nyatalah bahwa desa yang di maksud desa peminggir iyalah "Desa Tejakula" Menurut prasasti tersebut yang pertama di sebut adalah desa les,jadi desa ini letaknya di sebelah timur desa tejakula,setelah itu baru di sebutkan desa peminggir,Buhundalem,julah dan seterusnya, Kata hiliran kembali di temukan dalam undang-undang desa tersebut yang di singkat menjadi "liran"saja. Perkembangan selanjutnya beberapa tokoh masyarakat menterjemahkan kata paminggir kedalam bahasa sansekerta yaitu : "kula"(bersuku kata panjang)kula juga berarti pingir atau tepi.di depan kata kula di tambahkan kata "teja"yang berarti sinar atau cahaya. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# Www.sejarahbali.com
ANAK AGUNG BAGUS SUTEDJA adalah kepala Daerah bali yang pertama dan pernah dua kali memimpin Bali.
Bali Tempo Dulu
57
Putra terakhir raja jembrana ini dikenal sebagai pendukung setia presiden soekarno, A.A Bagus Sutedja mengawali karir dalam birokrasi pemerintahan di bali dikala daerah bali sedang mengalami transisi sistim politik dari era aristokrasi-kerajaan menuju integrasi dengan negara kesatuan republik indonesia (NKRI)pasca proklamasi dan revolusi kemerdekaan. Pertama kali menjabat pada tahun 1950 sampai 1958, di angkat berdasarkan keputusan dewan pemerintahan daerah sebagai pemeimpin badan eksekutif Bali,sedangkan "Dewan perwakilan rakyat daerah sementara" (DPRDS) menggantikan wewenang Paruman Agung yang terdiri dari wakil-wakil 8 kerajaan yang ada di Bali sebagai badan legislatif. Setelah di selingi oleh "I GUSTI BAGUS OKA" sebagai pejabat sementara kepala daerah bali pada tahun 1958 hingga 1959, beliau terpilih kembali pada bulan desember 1959 sebagai Gubernur kepala daerah tingkat l Provinsi Bali. Masa jabatannya yang kedua berakhir beberapa bulan setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965 beliau hilang secara misterius di jakarta dan tanpa kabar sampai saat ini.selanjutnya di gantikan oleh "I GUSTI PUTU MARTHA" ANAK AGUNG BAGUS SUTEDJA menghilang pada tanggal 29 juli 1966.ia di perkirakan menjadi korban Penculikan politik yang terjadi pada masa itu. Sumber : zeigon.blogspot.com/.../anak-agung-bagus-sutedja-gu... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
"Melayangan 1930" Meplayan layangan atau bermain layangan sudah sangat kental dibali,dimana di masa
Bali Tempo Dulu
58
lampau untuk mengisi waktu luang selain bercengkrama,kegiatan mereka di isi dengan melayangan,hobi melayangan tidak hanya di lakukan oleh anak2 saja tapi orang dewasa juga melakukan permainan ini,kepuasannya terletak pada saat dimana angin berhembus dan menerbangkan layangan,berlenggak~lengok di udara dan mendengarkan suara merdu dari guangan ( bebunyian yang di pasang di atas dan bawah layangan seperti pita yang panjang yg di pasang dengan bambu atau kayu buah yang dapat menghasilkan suara yang sangat merdu) Awal tradisi ini lahir suatu tradisi saat seorang anak gembala bajak sawah yang mengisi waktu senggangnya untuk bermain layang~layang di tengah hamparan sawah atau tanah lapang yang luas,dalam masyarakat bali di sebut "RARE ANGON"yang dalam cerita pewayangan merupakan putra "DEWA SIWA" yang berwujud anak kecil. Pertengahan dekade 80an orang bali seakan begitu tergila~gila dengan layangan hampir setiap siang,terutama pada bulan juli - agustus ada saja yang terliahat membawa layangan ketanah sawah.ada yang sendiri atau pun berkelompok,dan ukuranyan pun beraneka ragam. Cara menerbangkanya satu atau dua orang memegang layangan "NUNJUK" dan yang lainya menarik layangan "NGEDENGIN" Sang pemegang tali memberi aba2 " LEBANG" (lepaskan) yang memegang layang~ layang memposisikan layangan di atas kepalanya.dan layangan di lepaskan ke udara bersamaan dengan tali di tarik dan embusan angin. Jika layangan berhasil mengudara maka tali akan di ikat kan kepohon yang cukup kuat menopang tarikan layang-layang di udara. Di jaman sekarang tradisi ini masih tetap di lestarikan oleh pemerintah bali melalui lomba2 yang di adakan seperti di pantai padang galak sanur bali pada musim layangan antara bulan juli-agustus, mengingat pembangunan di bali begitu pesat yang menyebabkan kurang adanya lahan atau tanah lapang yang luas untuk memainkan layang~layang. Sumber : www.sejarahbali.com #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
SEJARAH KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI INDONESIA
Bali Tempo Dulu
59
Pada jaman kerajaan karangasem sampai tahun 1908 wilayahnya mencakup 21 punggawa,yaitu : karangasem,seraya,bugbug,ababi,abang,culik,kubu,tianyar,pesedehan,manggis,antiga,ulakan, bebandem,sibetan,pesangkan,selat,muncan,rendang,besakih,sidemen,dan talibeng. Cikal bakal keberadaan karangasem sebagai suatu identitas wilayah di awali dengan sebutan daerah "ADRI KARANG" yang di sebutkan dalam prasasti "SADING C"(goris,1954) pada prasasti di sebutkan dengan jelas bahwa di sebelah timur pulau bali berdiri dengan tegak sebuah gunung yang tinggi menjulang menggapai angkasa yang di sebut "ADRI KARANG" yang dapat juga di artikan sebagai "GUNUNG KARANG"(gunung agung) pada penanggal ke 12 bulan paro terang,wuku julung wangi,tahun caka 1072 atau tahun masehi 1150, IDA BHATARA GURU menitahkan putranya "SRI MAHARAJA JAYA SAKTI"atau yang dikenal " HYANG AGNIJAYA" untuk turun ke bali membangun ke makmuran disana.prasasti sading c menyebutkan bahwa "HYANG AGNIJAYA" ke bali sebagai "GUMAWYEANA DHARMA RIKANG ADRI KARANG " rika kerahayuaning jagat bangsul. Frasa ini ada yang mengartikan sebagai membangun tempat suci untuk tujuan memberi keselamatan bagi seluruh jagat bali.berdasarkan komposisi frasa tersebut sebenarnya mengacu pada menciptakan religiusitas(agama dharma) di wilayah yang di sebut"ADRI KARANG" atau "GUNUNG KARANG"sebagai wujud kesejahtraan jagat bali.(bangsul)dari gunung karang itulah "HYANG AGNIJAYA" di perintahkan oleh "BHATARA GURU" untuk menebarkan ajaran dharma keseluruh jagat Bali. Di"GUNUNG KARANG"itu selanjutnya berdiri sebuah pura yang sekarang lazim di sebut pura lempuyang.disanalah konon berstana "HYANG AGNIJAYA"yang di sebut dalam prasasti c.nama lempuyang berkaitan dengan tempat itu sebagai "TEMPAT YANG TERPILIH"atau dengan katalain "GUNUNG KARANG" itu adalah tempat yang terpilih oleh "BHATARA GURU" sebagai titik awal penyebaran agama hindu di bali.maka dasar arti nama "lampu" yang berarti Terpilih dan "HYANG"yang berarti "Tuhan"secara historis penyebutan kata"lampu hyang" kemudian bergeser menjadi "LEMPUYANG" Nama karangasem sebagai satu kesatuan identitas wilayah juga mendapat sebutan lain dalam teks~teks kesusastraan bali. Teks negarakertagama yang merupakan teks historiografi tradisional utama yang di temukan di karangasem.menyebutkan wilayah karangasem sebagai"KAMALASANA"yang dapat di artikan sebagai teratai atau mengacu pada sejenis pohon angsoka penyebutan nama ini berkaitan dengan sejarah kekuasaan "KI DAUH BALE AGUNG" yang di sebut~sebut berkuasa di "AMLANAGATUN" (muljana,1979) Selain itu keberadaan wilayah karangasem ini juga berkaitan dengan spektrum kekuasaan kerajaan "GELGEL"pada masa lalu.Babad gelgel menyebutkan bahwa wilayah kerajaan gelgel,lengkap dengan desa-desa di sekitarnya seperti kedampal,datah,kubu,tyanyar,dll Sumber : addinfobaru.blogspot.com/.../sejarah-karangasem-dan-... #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum#wikipedia# Foto "RAJA KARANGASEM & ISTRI" tahun 1919.
Bali Tempo Dulu
60
Tahun 1910 untuk pertama kalinya masyarakat bali mendengarkan lagu dan musik dari "GRAMOPHONE"oleh belanda alat pemutar musik pertama kali di dunia dan tertua usianya ini di temukan tahun 1888.alat pemutar musik kuno ini menggunakan piringan hitam untuk membantu alat ini mengeluarkan suara,masyarakat bali yang penasaran beramai - ramai mendengarkan dan heran melihat alat itu mengeluarkan suara yang merdu walaupun mereka tidak mengerti tapi mereka nampak sangat menikmatinya. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# — with Agus J. Wirawan.
Bali Tempo Dulu
61
SEJARAH KERAJAAN KABUPATEN BULELENG. DALAM PERANG JAGARAGA 1848. BALI,INDONESIA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA. PATIH RAJA BULELENG : I GUSTI KETUT JELANTIK, Berawal dari hak hukum tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintahan manapun terdampar di wilayah perairan bali.maka menjadi milik kerajaan bali.saat itu pemerintah belanda menolak dengan adanya hak tawan yang sudah tentu merugikan pihak belanda,kapal dagang belanda terdampar di daerah perancak yang merupakan wilayah kerajaan buleleng disita yang membuat pemerintah belanda marah,tak setuju dengan adanya peraturan hak tawan yang mengakibatkan kapalnya terkena tawan karang,pemerintah belanda menuntut untuk menghapus hukum tersebut dan menyarankan agar kerajaan buleleng mengakui kedaulatan pemerintah hindia belanda. Tuntutan yang bagi patih kerajaan buleleng, I GUSTI KETUT JELANTIK meremehkan tersebut akhirnya di sikapi dengan emosi.beliau bahkan bersumpah "SELAMA HIDUP,SAYA TIDAK AKAN PERNAH TUNDUK AKAN KEKUASAAN BELANDA DEMI APAPUN ALASANNYA" beliau lebih memilih perang di bandingkan tunduk kepada musuh atau mengakui ke kuasaan belanda. Begitulah sikap "KESATRIA"dari seorang patih I GUSTI KETUT JELANTIK dalam menghadapi
Bali Tempo Dulu
62
belanda sekali lagi sang patih ber ucap dengan nada kesatrianya "SEMUA PERSOALAN TIDAK BISA DI SELESAIKAN DENGAN SECARIK KERTAS TAPI HARUS DI SELESAIKAN SECARA KESATRIA MELALUI UJUNG KERIS" dengan pernyataan itu membuat pemerintah belanda untuk angkat senjata menyatakan perang terhadap kerajaan buleleng pada tahun 1848 yang menghasilkan kekalahan bagi pihak kerajaan buleleng.akhirnya dalam situasi terdesak sang patih melarikan diri ke daerah JAGARAGA. Kurang puas hanya merebut istana buleleng,belanda mengejar patih raja itu ke daerah jagaraga.Disana ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang di buat bersama dengan prajurit yang tersisa.siasat perang yang menyatakan benteng mempunyai bentuk bangunan yang sulit di jangkau oleh meriam,patih memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang,benar saja keteguhan sikap kerajaan buleleng yang menolak penghapusan hak hukum tawan nyatanya menghantarkan buleleng pada peperangan yang cukup sengit.perang yang meletus pada 8 juni 1848 itu tak hanya melibatkan pihak belanda saja tapi juga kerajaan-kerajaan yang berhasil di perdaya belanda, membantu kerajaan buleleng yang berhasil memukul mundur belanda pada perang jagaraga pertama. Setahun kemudian pada 1849 belanda kembali datang untuk balas dendam dengan strategi yang pernah dinpelajari maka pada 16 april 1849 akhirnya BULELENG jatuh ketangan belanda. Kalah dalam perang patih jelantik melarikan diri ke pegunungan batur kintamani.disana beliau bertahan di perbukitan bale pundak sampai akhinya "GUGUR" dalam perjuang ketika belanda mengetahui gerak-geriknya serta mengepungnya di sana,berkat kegigihan beliau dalam mempertahan kan "KERAJAAN BULELENG"hingga titik darah penghabisan beliau berhak mendapatkan gelar "PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA" menurut SK tahun 1993,penghargaan tersebut sepadan dengan pengorbanan beliau. Sumber : https://peperangan.wordpress.com/perang/perang.../per... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
SEJARAH BARONG LANDUNG Foto tahun 1910. Jro Gde : Delod tunduh abian semal Mula kunyit di sempidi
Bali Tempo Dulu
63
Mepunduh peturu lengar Mare ngejengit tusing megigi Jro Luh : Ngempug kuud caratan diwang Ngempug kuud caratan diwang Meli bulih tuah ji talen Bli suud nyaratang tiang Bli suud nyaratang tiang Kemu alih sube ne elenan Penggalan gending / lagu barong landung diatas biasa dinyanyikan oleh pemundut barong landung,saat ngelawang keliling desa.umat menurunkan sesuhunan berupa barong landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa,dengan harapan tarian ini akan menimbulkan energi gaib positif untuk menetralisir energi negatif. Barong landung adalah sebuah pralingga,sekaligus sebagai prisai bagi desa-desa yang terancam kekeringan.bahkan banyak tempat memuja barong landung sebagai masa lalu yang sangat kelam kisah yang bersumber ketika "SRI JAYA PANGUS"raja bali dari dinasti warmadewa,kerajaan berpusat di panarojan 3 km di sebelah utara kintamani ,SRI JAYA PANGUS dituduh tlah melanggar adat yang tlah di tabukan pada saat itu,yakni tlah dengan berani mengawini putri cina yang cantik jelita bernama "KANG CING WEI"Meski tidak mendapat berkat dari pendeta kerajaan ,mpu siwa gama,sang raja tetap ngotot tidak mau mundur.akibatnya sang pendeta murka,hingga menciptakn hujan terus menerus hingga seluruh kerajaan tenggelam. Dengan berat hati raja memindahkan pusat kerajaan ketempat lain yang kini dikenal dengan nama balingkang(Bali + kang)dan raja dijuluki oleh rakyat sebagai Dalem Balingkang,sayang karena lama mereka tidak mempunyai keturunan,raja pun pergi ke gunung batur,memohon kepada dewa disana agar di anugrahi anak .Namun celakanya ,dalam perjalanan ia bertemu dengan dewi danu yang jelita ia pun terpikat,kawin dan melahirkan anak lelaki yang sangat tersohor hingga saat ini ia adalah "Maya Danawa" Sementara itu kang cing wei yang lama menunggu suaminya pulang mualai gelisah ia bertekad menyusul ke gunung batur.Namun disana,di tengah hutan belantara yang menawan ia terkejut manakala menemukan suaminya tlah jadi milik dewi danu.ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit. Dewi danu dengan emosi yang memuncak menuduh sang raja tlah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka,dengan kekuatan gaibnya Dalem Balingkang dan kang cing wei di lenyapkan dari muka bumi ini.oleh rakyat yang mencintai kedua suami istri ini raja balingkang dan kang cing wei itu di buatkanlah patung yang di kenal dengan nama "STASURA DAN BHATI MANDUL" patung inilah yang kemudian berkembang dalam masyarakat bali yang di simbulkan dalam BARONG LANDUNG. terkait cerita ini maka sudah dari dulu adanya perkawinan budaya 2 negara yang dimana pis bolong yang di gunakan upacara ke agaman di bali berisi tulisan cina dan bali itulah perlambang dari mereka.dan juga keberadaan klenteng di area pura ulun danu batur di kintamani. Sumber : www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/3/20/sis1.html #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
64
Seragam kepolisian di bali tahun 1984 & 2015 Perbedaan tempoe duloe dan sekarang memang jauh berbeda tapi itu bukan suatu hal yang penting akan tetapi pelayanan serta visi misi kepolisian republik indonesia itu yang tak boleh berubah harus tetap disiplin dan tegas dalam menjaga ke amanan di masyarakat dan di dalam anggota kepolisian itu sendiri.
Bali Tempo Dulu
65
Di dalam area pura besakih foto tahun 1959.
Bali Tempo Dulu
66
Museum Bali tahun 1925.
SEJARAH PERANG KUSAMBA KLUNGKUNG,BALI,INDONESIA 24 MEI 1849. Kusamba,adalah sebuah desa yang relatif besar di timur KOTA SEMARAPURA hingga abad ke 18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting kerajaan klungkung.desa yang penuh ilalang(kusa=ilalang)itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala raja "I DEWA AGUNG PUTRA" membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu,bahkan "I DEWA AGUNG PUTRA" menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian di beri nama "KUSANEGARA"itu lalu kusamba praktis menjadi pusat pemerintahan kedua kerajaan klungkung,pemindahan pusat kerajaan ini tak pelak turut mendorong kemajuan kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan kerajaan lain di bali seperti kuta. Nama kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara "I DEWA AGUNG ISTRI KANYA" selaku penguasa klungkung dengan belanda di pertengahan abad ke -19,sampai akhirnya pecah pristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, perang kusamba yang menuai "KEMENANGAN" telak dengan berhasil membunuh jendral
Bali Tempo Dulu
67
besar belanda yang sarat prestasi tak pernah kalah perang di 7 wilayah di bali ialah " JENDRAL AV MICHIELS" Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner ( perahu) milik G.P KING,seorang agen belanda yang berkependudukan di Ampenan ,lombok di pelabuhan batulahak,dibsekitar daerah pesinggahan.kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk pesinggahan dan dawan.raja klungkung sendiri mengangap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya. Oleh Mads lange.seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di kuta yang juga menjadi agen belanda melaporkan langsung hal itu ke wakil belanda di besuki. RESIDEN belanda di besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 mei 1843 tentang penghapusan hukum tawan karang,Emosi Belanda memuncak dengan sikap klungkung membantu buleleng dalam perang jagaraga,April 1849 oleh karena itu timbul niat belanda untuk menyerang klungkung. Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi buleleng dalam perang jagaraga,langsung di arahkan ke "PADANG COVE" (padang bai) untuk menyerang klungkung ,di putuskan 24 mei 1849 sebagai hari penyerangan. Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari belanda itu.karenya,pertahanan di pura goa lawah diperkuat.di pimpin langsung oleh "I DEWA AGUNG ISTRI KANYA,ANAK AGUNG KETUT AGUNG,DAN ANAK AGUNG MADE SANGGING,klungkung memutuskan mempertahankan goa lawah dan puri kusanegara di kusamba. Perang menegangkan pun pecah di pura goa lawah.namun karena jumlah pasukan dan persenjataan yang tidak berimbang ,laskar klungkung pun berhasil di pukul mundur ke kusamba.di desa pelabuhan ini pun,laskar klungkung tak berkutik,sore hari itu juga kusamba jatuh ketangan belanda.laskar klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan kusamba untuk mencegah serbuan belanda ke puri klungkung. Jatuhnya kusamba membuat marah "I DEWA AGUNG ISTRI KANYA" malam itu juga di susun strategi untuk merebut kembali kusamba dari tangan belanda yang melahirkan keputusan menyerang kusamba pada 25 mei 1849 dini hari,kebetulan malam itu tentara belanda membangun perkemahan di puri kusamba karena merasa kelelahan. Hal ini di maan faatkan betul oleh "DEWA AGUNG ISTRI KANYA" beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03 :00,di pimpin "ANAK AGUNG KETUT AGUNG" laskar klungkung megepung tentara belanda yang istirahat karena kelelahan,belanda kalang kabut dalam situasi gelap dan ke tidak pahaman keadaan di puri kusamba Meraka pun kelabakan. Dalam keadaan panik itu,JENDRAL MICHELS berdiri di depan puri.untuk mengetahui keadaan,tentara belanda yang menembakan peluru cahaya ke udara.seketika itu suasana pun jadi terang benderan,justru keadaan ini di maafkan laskar pemanting klungkung mendekati jendral michels.saat itulah,sebuah meriam canon yang dalam mitos klungkung di anggap sebagai senjata pusaka dengan nama I SELISIK,konon bisa mencari sasarannya sendiri dan ditembakan lah langsung mengenai kaki kanan michels.sang jendral pun terjungkal. Kondisi ini memaksa tentara belanda mundur ke padang bai.jendral michels sendiri yang akan di amputasi pun gugur 2 hari berikutnya jasad sang jendral dikirim ke batavia selain itu 7 tentara belanda di laporkan tewas,termasuk 28 orang luka-luka.
Bali Tempo Dulu
68
Klungkung sendiri kehilangan 800 laskarnya yang gugur,dan 1000 yang luka-luka,tapi perjuangan itu merupakan hasil SEPEKTAKULER dalam sejarah perang di tanah bali karena dapat membunuh seorang jendral belanda,sangat jarang belanda kehilangan seorang panglima perangnya,prestasi jendral michels yang memenangkan perang sebanyak tujuh kali di daerah bali tapi laskar klungkung dapat menewaskannya. Meski pada 10 juni 1849,kusamba jatuh kembali ketangan belanda dalam serangan kedua yang di pimpin "LETKOL VAN SWIETEN"perang kusamba merupakan SEJARAH yang sangat gemilang karena dari semua perang yang terjadi di bali hanya perang kusamba lah yang berhasil menewaskan seorang JENDRAL BELANDA perang dan tetesan darah pejuang klungkung tak sia-sia belanda mengakui ketangguhan " KLUNGKUNG " di medan perang. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Klungkung #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #
SEJARAH KABUPATEN TABANAN BALI,INDONESIA. Sagung Ayu Wah, Simbol Kepahlawan Wanita Tabanan Kesetaraan gender mungkin sudah mulai di kenal sejak lahirnya pahlawan Wanita Raden Ajeng Kartini di Jepara, Jawa Tengah. Bahkan sampai sekarang diperingati sebagai Hari Kartini setiap 21 April secara nasional. Namun demikian di Tabanan juga memiliki seorang pahlawan wanita pemberani. Keberaniannya menjadi symbol perjuangan perempuan untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Karena keberaniannya memimpin pasukan melawan pejajah Belanda menjadi inspirasi bagi perjuangan dan pembangunan perempuan di Tabanan. Dialah Sagung Ayu Wah atau lebih dikenal dengan Sagung Wah. Siapa dan bagaimana kiprahnya pahlawan Sagung Wah? Awalnya tidak banyak yang tahu siapa Sagung Wah. Keberadaan Patung megah seorang perempuan memegang sebilah keris ditandu empat pria kekar di depan gapura Gedung kesenian I Ketut Maria tidak banyak yang bisa dijelaskan. Patung itu sendiri di bangun di tahun 1994. Meski beberapa kali seniman Tabanan menggarap berbagai karya sastra dan karya seni tentang Sagung Wah, Belum banyak yang tahu siapa dia. Sampai akhirnya, Pemkab Tabanan mencoba mencari sejarah keberadaan kota Tabanan. Nama Sagung Wah begitu mencuat. Apalagi dikaitkan dengan keberanaiannya menentang penjajah Belanda meski masih berusia remaja.
Bali Tempo Dulu
69
Sagung Wah menjadi sejarah besar bagi keberadan Tabanan yang dikenal sebagai Kota Singasana. Sagung Wah merupakan adik perempuan dari Raja Tabanan I Gusti Rai perang yang gugur saaat melakukan perang puputan melawan penjajah Belanda di Puri Denpasar tahun 1906. Kekalahan Raja Badung saat itu membuat pejajah Belanda leluasa untuk menguasai Bali termasuk Tabanan. Bahkan kerajaan Tabanan yang dipimpin keturunan sira Arya Kenceng juga ditaklukan Belanda. Kemegahan Puri Agung Tabanan dihancurkan penjajah Belanda. Seluruh keluarga Puri Agung Tabanan diasingkan ke Lombok. Apa perjuangan Tabanan lantas berhenti ? Ternyata tidak! Keberadaan Sagung Wah yang seorang perempuan dan masih remaja luput dari perhatian Belanda. Setelah Puri Agung Tabanan di taklukan, Sagung Wah menemui rakyatnya di kaki Gunung Batukaru, tepatnya di wilayah Wangaya Gede, Penebel yang saat itu dipimpin seorang Kubayan. Berdasarkan cerita dari Lontar Balikan Wangaya, Sagung Wah mencoba memompa semangat rakyat dan mengumpulkan para pemuda dan pria di wilayah tersebut untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Tepatnya 5 Desember 1906 Sagung Wah memimpin pasukannya menuju Kota Tabanan hendak menyeranag penjajah Belanda. Dengan menaiki Tandu dengan gagah berani Sagung Wah memimpin pasukannya menuju Tabanan. Dia memegang sebilah keris senjata sakti pura Luhur Batukaru yang kemudian dikenal dengan Ki Baru Gajah. Namun sampai di Desa Wanasari, Sagung Wah mendapatkan informasi, kalau Belanda sudah siaga dengan persenjataan lengkap. Namun hal tersebut tidak lantas menyurutkan keberanian Sagung Wah. Sagung Wah bertekad melawan Belanda. Ketika tiba di Tukailang , sebuah desa di utara Kota Tabanan, Pasukan Sagung Wah bertemu dengan pasukan Belanda. Dengan keris yang dibawa, seluruh senjata Belanda baik bedil maupun meriam tidak mau menyala dan menembakan pelurunya. Banyak serdadu Belanda tewas. Namun mereka kemudian mendapatkan senjata sakti dari Puri Tabanan Ki Tulup Empet mampu mengimbangi kesaktian keris Ki Baru Gajah. Bedil dan meriam belanda kembali menyalak dan memuntahkan peluru. Akibatnya psaukan Sagung Wah Banyak yang gugur dan Sagung Wah memutuskan kembali ke Wangaya Gede saat hari mulai gelap. Selang beberapa saat Sagung Wah memutuskan pindah ke Puri Anyar Kerambitan. Pasalnya Wangaya sudah dicurigai Belanda dan keberadaan Sagung Wah sudah diketahui. Setelah dua hari di Puri Anyar Kerambitan, ada utusan dari Tabanan supaya Sagung Wah kembali ke Puri Tabanan untuk memimpin kerajaan sebagai ratu. Tetapi ternyata hal tersebut hanyalah merupakan tipu muslihat Belanda. Sagung Wah tidak menyadari hal tersebut. Sagung Wah-pun mau datang ke Puri Tabanan. Sesaat sampai di Dauh Pala, tepatnya di depan Pura pesimpangan Manik Selaka, ketika sedang ditandu untuk menuju Puri Tabanan, Sagung Wah ditangkap Belanda. Dia kemudian diasingkan ke Lombok menyusul keluarganya yang telah diasingkan terlebih dahulu. Hingga diasingkan ke Lombok, cerita tentang Sagung Wah kemudian hilang bagai di telan bumi,karena tidak ada catatan mengenai keberadaan beliau. Kepahlawanan Sagung Wah inilah menjadi simbol keberanian masyarakat Tabanan dan menjadi bagian sejarah berdirinya Kota Tabanan. Dari berbagai sumber Kepahlawanan Sagung Wah Diabadikan Lewat Patung Sumber : www.detiablog.com › Budaya › Pengen Tahu #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
70
SEJARAH KABUPATEN GIANYAR BALI,INDONESIA. Gianyar yang kurang beruntung karena terjepit oleh lawan-lawannya yang juga menjadi tetangga. Kondisi ini kemudian melahirkan pilihan pragmatis penguasa Gianyar masa itu yakni menyerahkan kerajaan di bawah kekuasaan dan perlindungan Belanda agar kerajaan tidak hancur dan jatuh ke tangan musuh bertetangga. Namun, ada dua jejak berbeda dalam sejarah Gianyar yang menarik untuk disimak selain jejak-jejak kelamnya. Jejak pertama yakni di pertengahan abad XIX. Raja Dewa Manggis VII yang memerintah kerajaan Gianyar mengangkat seorang patih agung yang ulung dari kaum Sudra yakni dua bersaudara, I Made Pasek dan I Ketut Pasek. Seperti ditulis Ida Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Abad XIX (1989) patih ini di mata raja dan masyarakat kerajaan Gianyar saat itu dianggap sebagai seorang yang cakap dalam soal pemerintahan dan diplomasi. Kepiawaian politik I Made Pasek disebut-sebut telah mengantarkan kerajaan Gianyar disegani sebagai kerajaan yang berwibawa di Bali. Hanya memang, karena tidak dari golongan bangsawan, kedua orang ini tidak diangkat sebagai patih agung secara resmi. Tatkala mengawini seorang wanita dari Desa Sukawati yang kemudian diberi nama Jero Nyeri, Dewa Manggis VII mengangkat I Ketut Sare atau I Ketut Sukawati sebagai patih agung. Sejak saat itu, peran I Made Pasek tergantikan. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung, sejak I Ketut Sare diangkat menjadi patih agung, kerajaan Gianyar mengalami masa suram. Pasalnya, I Ketut Sare dianggap tidak mempunyai pengalaman dalam soal pemerintahan, tidak pernah mengeyam pendidikan untuk menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan serta dalam masa yang begitu genting akibat pertikaian politik Gianyar dengan Klungkung dan Bangli.
Bali Tempo Dulu
71
Jejak kedua, pada dua dekade permulaan abad ke-20. Ketika itu, Belanda mewajibkan orang Bali berkasta rendah untuk menjalani kerja kasar tanpa upah setiap tiap tahun. Kewajiban kerja rodi, menurut sumber-sumber Belanda, tidak dikenakan kepada kelompok Triwangsa. Mendapat beban berat seperti itu, bukan berarti rakyat jelata Bali dari golongan Sudra tidak melawan. Sumber-sumber Belanda menyebut terjadinya demonstrasi sekelompok warga Sukawati, Gianyar pada tahun 1917. Ketika diganjar hukuman enam hari kerja keras karena tak mau menjalani heerendienst, 136 lelaki dari Sukawati diiringi ratusan pendukung berarak-arakan ke kota Gianyar memrotes keputusan itu. Malah, demonstrasi ini berakhir rusuh. Tercatat lima orang demonstran terbunuh, 11 orang luka berat dan 26 orang ditangkap. Belanda terpaksa turun tangan. Residen Belanda di Gianyar kemudian mengumumkan hukuman kerja keras itu sudah dijalankan tanpa embel-embel apa pun lagi. Kedua jejak ini terasa paradoks, memang. Pada jejak pertama kita melihat adanya penghargaan kepada kelompok masyarakat dari kelas bawah untuk turut berada dalam akses kekuasaan. Sementara jejak kedua menggambarkan perjuangan kelas bawah yang ingin disetarakan, tak ada diskriminasi. Namun, catatan penting yang bisa diberikan pada kedua jejak ini yakni pada adanya semangat pembaruan. Jejak pertama menunjukkan adanya kesadaran penguasa untuk menghargai kompetensi pribadi-pribadi terpilih dari rakyatnya yang pada masa itu dipandang tidak lazim bahkan tidak tepat untuk menduduki suatu posisi terhormat dalam elite kekuasaan. Pada jejak kedua kita melihat semangat pembaruan dari rakyat Gianyar yang rindu melihat perlakuan yang setara dan sejajar. Inilah barangkali sumbangan kecil dari sejarah Gianyar di antara jejak-jejak masa lalunya yang kelam. * I Sumber : http://www.balisaja.com/2015/04/asal-usul-kota-gianyar-1-dewa-manggis.html #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum#wikipedia#
CANDI GUNUNG KAWI GIANYAR,BALI,INDONESIA. Foto tahun : 1957-2014. Sekilas sejarahnya : Ketika memikirkan sebuah candi, mungkin yang terbayang di benak Anda adalah sebuah bangunan utuh yang tersusun dari batu atau bata merah. Namun, di Kabupaten Gianyar, Bali, ada sebuah candi yang tidak dibuat dari susunan batu, melainkan memanfaatkan dinding
Bali Tempo Dulu
72
batu padas di tepi sungai sebagai media untuk membuat rumah ibadah para penganut Hindu tersebut. Caranya, dinding batu tersebut dipahat dan dibentuk menyerupai dinding-dinding candi. Tak hanya itu, dinding-dinding batu tersebut juga dilengkapi dengan ruangan tempat bermeditasi. Candi ini disebut Candi Gunung Kawi, atau biasa juga dijuluki Candi Tebing Kawi. Meskipun merupakan salah satu situs purbakala yang dilindungi di Bali, tempat ini tetap menjadi tempat bersembahyang umat Hindu hingga sekarang. Nama Gunung Kawi sendiri konon berasal dari kata gunung smile emoticon gunung atau pegunungan) dan kawi (=pahatan) Jadi, nama gunung kawi seolah menyiratkan makna bahwa di tempat inilah sebuah gunung dipahat untuk menjadi sebuah candi. Kompleks candi yang unik ini pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda sekitar tahun 1920. Sejak itu, candi ini mulai menarik minat para peneliti, terutama para peneliti arkeologi kuno Bali. Menurut perkiraan para ahli, candi ini dibuat sekitar abad ke-11 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Udayana hingga pemerintahan Anak wungsu. Menurut catatan sejarah, Raja Udayana merupakan salah satu raja terkenal di Bali yang berasal dari Dinasti Marwadewa. Melalui pernikahannya dengan seorang puteri dari Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, ia memiliki anak Erlangga dan Anak Wungsu. Setelah dewasa, Erlangga kemudian menjadi raja di Jawa Timur, sementara Anak Wungsu memerintah di Bali. Pada masa inilah diperkirakan candi tebing kawi dibangun. Salah satu bukti arkeologis untuk menguatkan asumsi tersebut adalah tulisan di atas pintu-semu yang menggunakan huruf Kediri yang berbunyi “haji lumah ing jalu” yang bermakna sang raja yang (secara simbolis) disemayamkan di Jalu. Raja yang dimaksud adalah Raja Udayana. Sedangkan kata jalu yang merupakan sebutan untuk taji (senjata) pada ayam jantan, dapat diasosiasikan juga sebagai keris atau pakerisan. Nama Sungai Pakerisan atau Tukad Pakerisan inilah yang kini dikenal sebagai nama sungai yang membelah dua tebing Candi Kawi tersebut. Versi lainnya yang berasal dari cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa pura atau candi Tebing Kawi ini dibuat oleh orang sakti bernama Kebo Iwa. Kebo Iwa merupakan tokoh legenda masyarakat Bali yang dipercaya memiliki tubuh yang sangat besar. Dengan kesaktiannya, konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam dan kuat pada dinding batu cadas di Tukad Pakerisan itu. Dinding batu cadas tersebut seolah dipahat dengan halus dan baik, sehingga membentuk gugusan dinding candi yang indah. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan orang banyak dengan waktu yang relatif lama itu, konon mampu diselesaikan oleh Kebo Iwa selama sehari semalam. Candi Gunung Kawi memang unik dan mengesankan. Kesan itu setidaknya dimulai sejak Anda menuruni sejumlah 315 anak tangga di tubir Sungai Pakerisan. Suasana asri yang nampak dari rerimbunan pohon di tepi sungai, juga gemericik air dari sungai yang dikeramatkan di Bali ini membuat pengunjung seolah disambut oleh simfoni alam. Anak tangga-anak tangga untuk menuju Candi Gunung Kawi ini terbuat dari batu padas yang dibingkai dengan dinding batu. Sesampainya di kompleks candi, wisatawan akan menyaksikan dua kelompok percandian yang dipisahkan oleh aliran Sungai Pakerisan. Candi pertama terletak di sebelah barat sungai, menghadap ke timur, yang berjumlah empat buah. Sedangkan candi kedua terletak di sebelah timur sungai, menghadap ke barat, yang berjumlah lima buah. Pada kompleks candi di sebelah barat, juga dilengkapi kolam pemandian serta pancuran air. Menyaksikan dua kompleks candi ini, Anda akan dibuat takjub oleh pemandangan dinding-dinding batu cadas yang dipahat rapi membentuk ruang-ruang lengkung yang di dalamnya terdapat sebuah candi. Candi-candi ini sengaja dibuat di dalam cekungan untuk melindunginya dari ancaman erosi.
Bali Tempo Dulu
73
Pada kompleks candi di sebelah barat terdapat semacam “ruang” pertapaan yang juga disebut wihara. Wihara tersebut dipahat di dalam tebing yang kokoh dan dilengkapi dengan pelataran, ruangan-ruangan kecil (seperti kamar) yang dilengkapi dengan jendela, serta lubang sirkulasi udara di bagian atapnya yang berfungsi juga untuk masuknya sinar matahari. Ruangan-ruangan di dalam wihara ini kemungkinan dahulu digunakan sebagai tempat meditasi maupun tempat pertemuan para pendeta atau tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Situs lainnya yang masih satu kompleks dengan Candi Gunung Kawi adalah gapura dan tempat pertapaan yang disebut Geria Pedanda. Di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan beberapa gapura dan tempat pertapaan. Para ahli menyebut tempat ini sebagai “Makam ke10”. Penamaan oleh para ahli ini didasarkan pada tulisan singkat dengan huruf Kediri yang berbunyi “rakryan”, yang jika ditafsirkan merupakan tempat persemayaman seorang perdana menteri atau pejabat tinggi kerajaan. Sementara di bagian lain, agak jauh ke arah tenggara dari kompleks Candi Gunung Kawi, melewati persawahan yang menghijau, terdapat beberapa ceruk tempat pertapaan dan sebuah wihara yang nampaknya sebagian belum terselesaikan secara sempurna oleh pembuatnya. Kompleks Candi Gunung Kawi memang sengaja dibuat untuk persemayaman Raja Udayana dan anak-anaknya. Namun makna persemayaman di sini bukan sebagai kuburan untuk badan sang Raja dan keluarganya, melainkan dalam pengertian simbolis, yakni untuk penghormatan kepada sang raja. Oleh sebab itu, mengunjungi tempat ini Anda akan mendapatkan suasana tenang dan damai. Kompleks Candi Gunung Kawi memang merupakan tempat ideal untuk bermeditasi, sembahyang, atau untuk sekedar berwisata. Lokasinya yang sejuk dan terletak persis di tepi sungai membuat kompleks percandian ini menawarkan aura ketenangan batin yang dalam. Candi Gunung Kawi terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penangka, Kecamatan Tampak siring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Jalur menuju Candi Gunung Kawi merupakan jalur yang sama menuju Istana Tampak Siring. Lokasi candi terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam menggunakan mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar berjarak sekitar 21 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan. Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, dari Denpasar maupun Gianyar wisatawan dapat memanfaatkan jasa taksi, bus pariwisata, maupun jasa agen perjalanan. Obyek wisata Candi Gunung Kawi telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti tempat parkir yang cukup memadai, para pemandu yang siap menjelaskan sejarah dan nilai budaya Candi Gunung Kawi, serta warung-warung yang menjual makan dan minuman di sekitar kompleks candi Sumber : bali.panduanwisata.id/.../menengok-wisata-sejarah-can.. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
74
SEJARAH DESA ADAT SIDAKARYA DAN TOPENG DALAEM SIDAKARYA. DENPASAR SELATAN. BALI,INDONESIA. Di suatu desa/daerah yang bernama Keling ada pendeta yang sangat termahsyur tentang kebenaran utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”. Disebut Brahmana Keling karena beliau berasal dari Daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman/pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”. Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampailah beliau di suatu Desa pesisir pantai yaitu Desa Muncar. Di sini beliau sejenak beristirahat sambil menikmati keindahan panorama
Bali Tempo Dulu
75
selat Bali, yang menambat hati beliau akan keindahan alam laut dan pegunungan Pulau Bali. Tak dinyana sebelumnya di hadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaannya di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini di Kerajaan Gelgel yang menjadi Raja adalah Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan Upacara (Karya Eka Dasa Rudra di Pura Besakih). Mendengar Sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemuan Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah melanjutkan perjalanan menuju ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju di Keraton Gelgel. Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju Bali lanjut ke Keraton Gelgel tidaklah ada yang tahu apakah beliau menggunakan apa ? Jejak-jejak perjalanan beliau dimana ? Kemana ? dan sebagainya. Singkat cerita sampailah di Keraton Gelgel, namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Keraton. Dalam keadaan yang lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumel dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya tidak lain adalah Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha tidak ada di Keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha ada disana sedang sibuk dengan para pengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Selanjutnya Sang Brahmana meneruskan perjalanan menuju Pura Besakih. Sesampainya di pelataran pura, lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayang yang ada, di Pura. Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang katanya sedang ada di Pura. Masyarakat tadi pun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara Sang Prabu maupun Dang Hyang Nirartha, bahkan masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Nirartha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang-camping selayaknya seorang pengemis. Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak dapat menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhimya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sejenak, untuk melepas penatnya. Tak berselang beberapa lama datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas Pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk di atas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha yang sangat ingin bertemu dengan Sang Prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada di atas Pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.
Bali Tempo Dulu
76
Mendengar apa yang dilaporkan oleh para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya Sang Prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, karena saking mulianya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apaapa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakuinya lagi sebagai saudara. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya : "Wastu tats astu karya yang dilaksanakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ". Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar di Siang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat Daya. Dalam perjalanan beliau dari Besakih menuju Badanda Negara, semuanya tidak ada yang tabu secara persis seperti perjalanan petualang-petualang lainnya. Menurut perkiraan penulis kemungkinan Brahmana Keling menuju suatu tempat dengan jalan mays (ilmu menghilang), sebab selama perjalanan beliau sampai saat ini belum ada bukti tanda-tanda tempat persinggahan maupun tempat peristirahatan dan dalam jangka waktu yang sangat singkat. Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di (Desa Sidakarya sekarang) dan di sini Beliau membuat pesanggrahan pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin. Arti sesungguhnya Badanda Negara adalah : Badanda=Padanda=Pandan (pahon berduri), Negara=Wilayah. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi pohon pandan, jeruju dan sejenisnya termasuk pohon bakau. Oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut Badanda Negara = Pandan Negara. Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenankan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman pohon pohonan yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semua layu, buah berguguran, wabah / hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit merajalela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau. Sehingga jadwal pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti ini lalu Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Ida Dalem melakukan upakara pembasmian dengan melakukan tapa semadi juga tidak mempan dan bahkan semakin menjadi-jadi, semua keadaan serba menyedihkan akhinya Ida Dalem sendirilah yang turun tangan, memerintahkan Dang Hyang Niratha, untuk membuat upakara lanjut mengadakan tapa semadi. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan semadi di Pura Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk dari Ida Betara yang bersthana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala hanya Brahmana Kelinglah yang mampu melakukan hal itu. Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik), esok harinya langsung Ida Dalem memanggil Perdana Mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para Patih
Bali Tempo Dulu
77
lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan lain-lain termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusirnya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kekeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Badanda Negara (Pandan-Negara) di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu itu yang menjadi Raja (anglurah) Badung adalah I Gusti Tegeh Kori (Dinasti Tegeh Kori). Namun di sini tidak diketahui secara jelas siapakah senapati yang diutus menjemput Brahmana Keling ?. Singkat cerita berangkatlah rombongan penjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara, pertama-tama menuju Keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju Badanda Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Badanda Negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul. Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Basakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya di hadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih barulah beliau disambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat sopan hormat dan ramah. Dalam percakapan beliau berdua yang disaksikan juga oleh Dang Hyang Nirartha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegeringan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong. Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana, sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terbuktilah: Ayam hitam dikatakan putih, benar-benar menjadi putih. Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan dengan buah yang sangat lebat, begitu juga pisang yang kuning dan layu dikatakan hidup kembali dan berbuah ternyata benar. Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat, dan sebagainya yang menyerang tumbuh-tumbuhan dikatakan lenyap, langsung lenyap seketika. Bumi kering menjadi subur. Masyarakat rakyat kegeringan seketika menjadi sehat walafiat. Apa yang diucapkan Brahmana Keling betul¬betul terbukti sehingga Ida Dalem, Danghyang Nirartha serta hadirin semua yang menyaksikan dengan penuh keheranan dan terpesona, karena dihadapannya terjadi hal-hal aneh yang menakjubkan. Akhinya pada saat itu juga Dalem Waturenggong mengakui bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri. Pelaksanaan karya di Pura Besakih, sehabis situasi tersebut, dapat dikembalikan seperti sediakala dan bahkan keadaannya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, sehingga karya dapat dilanjutkan kembali. Karya di Pura Besakih pada saat itu sesungguhnya tingkat karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 = 1515 Masehi (abad ke-16). Pada pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling. Karena sebelumnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah mengalami kegeringan, maka pada saat karya Eka Dasa Rudra juga dirangkaikan dengan karya Nangluk Merana. Jadi, pada saat itu dilaksanakan dua rangkaian karya pokok di Pura
Bali Tempo Dulu
78
Besakih dan lumrah disebut "Karya Nangluk Merana". Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses / berhasil sidakarya sesuai dengan harapan Ida Dalem Waturenggong. Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya. Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan, atas nasihat dan anjuran Dang Hyang Nirartha (disamping itu mungkin karena, sabda Hyang Pramawisesa) Dalem Waturenggong di Pura Besakih dihadapan para Menteri / Patih / Para Arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Nirartha dan Dalem Sidakarya, bersabda : Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di Pesraman Dalem Sidakarya, supaya karya menjadi Sidakarya (Pemuput karya), yang terletak di pesisir selatan Jagat Badung smile emoticon di Desa Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba sidakarya seperti : Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen) dan jejaitan, Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan), Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan).Tujuannya supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba sidakarya = berhasil. Demi sempurnanya pelaksanaan karya wajib mementaskan Wali Topeng Sidakarya. (Tirta Sidakarya sebaiknya diiringi Topeng Sidakarya dari Sidakarya). Wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya. Itulah lebih kurang isi sabda Dalem Waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat. Catatan Catur Bija maksudnya adalah : Beras : sebagai jatu pada makanan / boga (bagi kesejahteraan para pelaksana karya). Ketan : sebagai jatu pada membuat jaja (jajan) uli barak-uli putih (begina dan lain-lain). Beras merah : sebagai jatu untuk membuat bubur bebanten untuk serba tumbuh2an. Injin: sebagai jatu pembuatan tetandingan sarwa banten untuk caru dan lain-lain. Kesemuanya itu secara umum (Catur Bija) digunakan untuk penginih-nginih karya dan pengingsahan karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan ditaruh di penetegan beras. Panca Taru bukan dimaksud kayu istimewa melainkan seperti : Cempaka dan Sandat, kedua kayu ini merupakan simbolis jatu untuk wewangunan suci akan tetapi serpihannya (tampalan) Bering dipergunakan sebagai jatu api pasepan. Naga sari untuk jatu sebagai pelengkap tetandingan bebanten. Dadap untuk penuntun tirta, berisi benang tukel, andel-andel uang kepeng. Kelapa (kloping, danyuh, paang, daun kelapa muda/busung) sebagai jatu alat untuk masak memasak di dapur (pewaregan), pengesengan sekah dan pengesengan penimpugan. Janur / Busung untuk jatu sarwa jejaitan. Beberapa kayu sekarang ini sangat langka tetapi apapun yang dapat diterima dari pura itulah dia sebagai jatu panca taru dari Sidakarya. Sumber : ketutjoel.blogspot.com › Sejarah › Sejarah Sidakarya #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#sejarah#bali#sidakarya#
Bali Tempo Dulu
79
Sabung ayam (tajen) tahun 1947 Nampak tentara belanda larut dalam suasana sabung ayam yang sering di lakukan masyarakat bali.Sabung ayam di bali sudah di kenal sangat lama,keseharian masyarakat bali tak bisa terlepas dari hobi yang satu ini,sebagian besar masyarakat sangat menyukai nya,karena kegiatan ini dapat memberikan suatu hiburan tersendiri bagi mereka.
Bali Tempo Dulu
80
SEJARAH & MAKNA UPACARA NGABEN DALAM AGAMA HINDU. DI BALI. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Bali Tempo Dulu
81
Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll. Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh. Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan. Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara ngaben dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh. Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya
Bali Tempo Dulu
82
berbentuk pa sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal. Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya. Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktuwaktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali. Sumber : www.wisatabaliaga.com/.../makna-dan-tujuan-ngaben-... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
83
Makanan khas bali seperti sate,lawar,urutan babi,jukut serombotan,ares,tipat cantok,plecing kangkung dan masih banyak lagi yang merupakan kuliner khas pulau dewata sudah di jual sedari dulu di pasar-pasar tradisional di bali termasuk jajanan khas bali seperti : laklak,ongol-ongol,lukis,jaje uli,iwel dll merupakan makanan yang di gemari masyarakat bali di kala bangun pagi di temani secangkir kopi sebelum pergi bekerja keladang atau sawah.
Bali Tempo Dulu
84
SEJARAH PERANG PUPUTAN KERAJAAN KLUNGKUNG BALI,INDONESIA 28 april 1908. 28 April 1908 mengguratkan catatan penting bagi Klungkung. Pada hari itu, Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe bersama kerabat, pasukan dan rakyat yang setia gugur membela kedaulatan kerajaan dan rakyat Klungkung, menunaikan dharmaning ksatria, kewajiban tertinggi seorang ksatria sejati. Perang Puputan Klungkung sejatinya merupakan puncak perlawanan raja dan rakyat Klungkung terhadap intervensi Belanda, mulai dari masalah perbatasan hingga monopoli perdagangan candu. Sikap dan tindakan Belanda terhadap Klungkung dianggap mengoyak kedaulatan kerajaan dan rakyat Klungkung. Api perlawanan terhadap Belanda pertama kali meletus di Gelgel. Pemicunya, patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13-16 April 1908. Belanda berdalih patroli itu untuk memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu sebagai konsekwensi monopoli perdagangan candu yang dipegang Belanda. Sejumlah pembesar kerajaan Klungkung menentang patroli ini karena dianggap melanggar kedaulatan Klungkung. Cokorda Gelgel berada di barisan penentang ini, bahkan telah mempersiapkan suatu penyerangan terhadap patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap patroli Belanda terjadi di Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda menderita kekalahan; 10 orang serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker, salah seorang pemimpin serdadu Belanda. Di pihak
Bali Tempo Dulu
85
Gelgel kehilangan 12 prajurit termasuk IB Putu Gledeg. Belanda tampaknya juga menunggu-nunggu peristiwa Gelgel, karena hal itu bisa menjadi pintu masuk untuk menyerang Klungkung. Setelah mengadakan serangan balasan ke Gelgel, Belanda semakin bernafsu menaklukkan Klungkung. Belanda menuding Klungkung memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ekspedisi khusus pun dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung diultimatum untuk menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja menolak tudingan Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir istana Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari berturut-turut. 27 April 1908, ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan lengkap. Belanda mendaratkan pasukan di Kusamba dan Jumpai. Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju Klungkung. Istana Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde Semarabawa gugur dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Mendengar berita ini, putra mahkota yang masih muda (12 tahun) turun ke medan perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung Muter. Semuanya berpakaian serbaputih, siap menyongsong maut. Dewa Agung Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur. Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah membuat Dewa Agung Jambe keder, justru semakin bulat memutuskan berperang sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi seluruh keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan gagah berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00 kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda. Secara fisik Klungkung memang kalah. Tapi, di balik kekalahan itu, Klungkung menunjukkan kemuliaan sikap manusia Bali yang menempatkan harga diri dan kehormatan di atas segalagalanya. Belanda pun memahami itu seperti tercermin dalam catatan-catatan Belanda, termasuk catatan wartawan Belanda di Soerabaiasch Handelsblad. “ …Ketika selesai puputan itu dilakukan penelitian pada orang-orang yang gugur, maka di antara korban terdapat putra raja yang berusia dua belas tahun, adalah satu-satunya (putra mahkota pewaris tahta). Ia tergeletak di tengah-tengah (serakan mayat) dan sejumlah mayat wanita-wanita.sekali lagi belanda mengakui sikap patriotisme kerajaan dan masyarakat "KLUNGKUNG"yang siap hidup atau mati dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan klungkung setelah jendral besar nya yg dulu juga tewas oleh klungkung pada saat perang di kusamba pada tanggal 25 mei 1849. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Klungkung #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
86
PURA ULUN DANU BERATAN DESA CANDI KUNING Kec: BATURITI TABANAN,BALI INDONESIA. Foto tahun : 1935 - 2014. Sejarah pendirian Pura Ulun Danu Beratan dapat dilacak pada salah satu kisah yang terekam dalam Lontar Babad Mengwi. Dalam babad tersebut dituturkan mengenai seorang bangsawan bernama I Gusti Agung Putu yang mengalami kekalahan perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk bangkit dari kekalahan tersebut, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak Gunung Mangu hingga memperoleh kekuatan dan pencerahan. Selesai dari pertapaannya, ia mendirikan istana Belayu (Bela Ayu), kemudian kembali berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan memperoleh kemenangan. Setelah itu, I Gusti Agung Putu yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi ini mendirikan sebuah pura di tepi Danau Beratan yang kini dikenal sebagai Pura ulun Danu Beratan. Dalam Lontar Babad Mengwi juga dikisahkan bahwa pendirian pura ini dilakukan kira-kira sebelum tahun 1556 Saka atau 1634 Masehi, atau sekitar satu tahun sebelum berdirinya Pura Taman Ayun, sebuah pura lain yang juga didirikan oleh I Gusti Agung Putu. Pendirian Pura Ulun Danu Beratan konon telah membuat masyhur Kerajaan Mengwi dan rajanya, sehingga I Gusti Agung Putu dijuluki “I Gusti Agung Sakti” oleh rakyatnya Sumber : https://wisatabali2010.wordpress.com/pura-ulun-danu-... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
87
SEJARAH PERANG PUPUTAN MARGARANA ,TABANAN BALI,INDONESIA 20 November 1946. puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh
Bali Tempo Dulu
88
perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917. Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia. Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Bali. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng. Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya. Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara. Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga. Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung. Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu. Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil istration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan. Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang
Bali Tempo Dulu
89
begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang. Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membombardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga udara Belanda. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia. Latar Belakang Perang Puputan Margarana Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Dijelaskan bahwa salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Dan selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut. Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali. Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba
Bali Tempo Dulu
90
serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu. Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil istration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda. Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah. Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa. Sumber : beritabali.com/.../Sejarah-Perang-Puputan-Margarana.... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
91
SEJARAH UBUD Gianyar,Bali INDONESIA. Ubud dikenal sejak abad kedelapan, ketika pendeta Hindu dari sekte Waisnawaasal Jawa, Rsi Markandya datang ke Bali dan bermeditasi di pertemuan aliran dua sungai, Campuhan, yang terletak di sebelah barat pusat kota Ubud. Pura kemudian dibangun dan diperbesar oleh Danghyang Nirartha, pendeta Jawa yang disebut-sebut sebagai pemrakarsa ritual keagamaan yang dipraktekkan masyarakat Bali hingga saat ini. Saat itu Campuhan merupakan pusat pengobatan alami, dan dari situlah nama Ubud berasal: Ubud adalah bahasa kuno Bali untuk obat.
Bali Tempo Dulu
92
Baik candi maupun pura lainnya dibangun kurang lebih 400 tahun kemudian. Pura di Gunung Kawi dan pura Goa Gajah (di sebelah timur dan timur laut Ubud) adalah peninggalan arsitektural abad ini. Banyak tari-tarian,pertunjukkan drama danupacara sembahyang agama berasal dari jaman itu masih diselenggarakan hingga sekarang. Ketika itu,Raja Airlangga memerintah seluruh Jawa dan Bali dengan pusat pemerintahan di Kediri, Jawa Timur. Yang memerintah di Bali adalah adiknya, Marakata dan Anak Wungsu. Ketiganya adalah putra dari raja Bali bergelar Dharma Udayana Warmadewa yang menikah dengan putri Kediri Shri Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Kerajaan Majapahit dari Jawa kemudian menaklukan Bali di tahun 1343. Kemenangan terbesarnya adalah mengalahkan Kerajaan Pejeng di Bedulu yang juga terletak di sebelah timur Ubud. Berbagai kebudayaan Bali kemudian lahir dan berkembang, dan leluhur keluarga kerajaan Ubud serta silsilahnya dapat ditelusuri kembali ke jaman ini. Pada abad ke-16, Pulau Jawa mengalami Islamisasi sehingga Kerajaan Majapahit bergerak ke arah timur. Kekuasaan berganti-ganti antara kerajaankerajaan maupun tuan-tuan tanah, namun Ubud tetap kuat bertahan melalui pemerintahan yang berganti-ganti. Tahun 1900, Ubud membuat permohonan menjadi wilayah protektorat Belanda. Setelah itu penjajah ikut campur hanya sedikit saja, dan membiarkan di berlangsungkannya kegiatan seni dan budaya diUbud. Era moderen Ubud sendiri baru dimulai sejak tahun 1930 ketika para seniman, dengan dukungan keluarga kerajaan,mengadakan pertunjukkan di kota. Bertempat tinggaldi Ubud, sosok seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet-lah yang kemudian sangat berjasa mempromosikan kesenian dan kebudayaan Bali ke mancanegara. Sekitar tahun 1960an, turis-turis berjiwa petualangan tinggi mulai berdatangan. Saat itusarana infrastruktur yang tersedia masih sangat minim, namun dari situlah Ubud terus berkembang menjadi tujuan wisata utama berkelas internasional, sambil mempertahankan integritasnya sebagai pusat seni dan budaya Bali. Sumber : www.ubudwritersfestival.com/id/sejarah-ubud/ #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# — with Bota Az Tect.
Bali Tempo Dulu
93
SEJARAH PURA TIRTA EMPUL DESA MANUKAYA Kec : TAMPAK SIRING GIANYAR,BALI INDONESIA. Foto tahun :1930 Pura Tirta Empul.
Bali Tempo Dulu
94
Terletak 36 km dari Kota Denpasar. Pura Tirta Empul sebagai peninggalan Kerajaan di Bali, salah satu dari beberapa peninggalan purbakala yang menarik untuk disaksikan dan diketahui di desa ini. Disebelah Barat Pura tersebut pada ketinggian adalah Istana Presiden yang dibangun pada pemerintahan Presiden Soekarno. Mengenai nama pura ini kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Maya Denawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mithologis. Cerita ini merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Galungan bagi umat Hindu. Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana. Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambudwipa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha. Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring. Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian
Bali Tempo Dulu
95
dinamakan Tirta Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhatara Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan, sebagai tonggak peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Lontar Jaya Kasunu menceritakan bahwa pada saat akan naik tahta, Sri Jaya Kasunu melihat rakyat Bali diserang penyakit hebat dan raja-raja yang memerintah sebelum beliau selalu berumur pendek. Beliau melakukan yoga samadhi dan mendapat petunjuk Tuhan yang berwujud Bhatara Durgha, bahwa masyarakat sebelumnya telah melupakan Hari Raya Galungan. Juga agar setiap keluarga memasang Penjor pada Hari Raya Galungan. Sumber : www.wisatabaliutara.com #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #Wikipedia#
Perempuan usia remaja Bali di tahun 1930an Banyak yang sudah membantu ekonomi keluarga mereka dengan berjualan di pasar-pasar tradisional karena tidak adanya tempat untuk menuntut ilmu seperti sekarang jadi mereka sudah terbiasa dengan kondisi di jaman itu yang masih sederhana dan mereka pun memiliki kemandirian dalam menjalani kehidupan
Bali Tempo Dulu
96
di masa itu. maka dapat tercermin wanita bali jaman dulu yang lebih dewasa.karena karakter mereka yang tangguh terbentuk oleh kondisi dan keseharian mereka yang rajin dan ulet membantu orang tua untuk bekerja mencari nafkah.
Sejarah Kec : Blahbatuh Kabupaten Gianyar Provinsi Bali INDONESIA Blahbatuh adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Gianyar, Bali, Indonesia. Luasnya adalah 39,70 km². Blahbatuh adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Gianyar yang kaya akan peninggalan purbakala dan benda-benda bersejarah. Di sebelah timur pasar desa Blahbatuh terdapat sebuah pura kuno yang sangat megah dan indah. Pura itu bernama Pura Gaduh, sebuah tempat penyimpanan benda-benda bersejarah yang didirikan untuk menghormati jasa Mahapatih Kebo Iwo, seorang pahlawan kesayangan raja Asta Sura Ratna Bumi Banten yang tewas di kerajaan Majapahit. Di sebelah utara persimpangan jalan dari Bedaulu ke Gianyar terdapat sebuah pura bersejarah yang disebut Pura Kutri. Di atas puncak bukit yang berada di desa buruan di pura tersebut terdapat sebuah arca Dewi Durga yang tingginya 220 cm. Arca yang dibuat dari batu padas yang sangat indah merupakan perwujudan Ibunda Raja Airlangga yang bergelar Putri Gunapriyadharmapatni. Patung itu berasal dari awal abad XI.
Bali Tempo Dulu
97
Di atas sungai Petanu memasuki Desa Blahbatuh dari Denpasar terdapat sebuah pura kecil yang bernama Pura Penataran Topeng. Di pura itu disimpan sejumlah topeng-topeng sakral yang dinamakan Topeng Gajah Mada. Topeng-topeng itu kini sudah dipindahkan ke Puri Agung Jelantik Blahbatuh dan menurut sumber terpercaya bahwa topeng-topeng itu sering ditampilkan sebagai pergelaran Topeng Pajegan pada upacara-upacara besar di sekitar Desa Blahbatuh untuk pengukuhan sebuah upacara keagamaan. Pada tahun 1937 seorang sarjana Belanda bernama H.H. Noosten melakukan penyelidikan tentang topeng Gajah Mada tersebut dan menerbitkan hasil penelitiannya dalam Majalah DJAWA Nomor 3, Mei 1941 dengan judul "Topeng-topeng Bersejarah di Pura Penataran Topeng Blahbatuh (Bali)". Uraian panjang itu dilengkapi dengan foto-foto hitam putih yang dramatis, serta penjelasan oleh I Gusti Gede Lanang, seorang mantan punggawa distrik Blahbatuh pada masa itu. Menurut peneliti di atas, topeng sebanyak 21 buah itu menggambarkan tokoh-tokoh sejarah Majapahit dan Bali yang berkisar lebih dari 3 abad yaitu mulai tahun 1325-1650. Para ahli belum menemukan dari mana asal topeng-topeng Gajah Mada yang tersimpan di Blahbatuh itu dan masih meragukan apakah benar topeng-topeng itu berasal dari Jawa Timur? Menyusun sebuah sejarah mengenai topeng-topeng Bali memang merupakan suatu hal yang sulit. Namun demikian, kita masih bisa melihat kembali peninggalan-peninggalan kuno yang berupa prasasti-prasasti dan lontar-lontar. Pada masa pemerintahan raja-raja Bali Kuno ditemukan sejumlah prasasti yang menyebutkan adanya pertunjukan topeng. Prasasti itu meliputi prasasti Bebetin (896 M), prasasti Tengkulak A (1049-1077 M), prasasti Belantih A (1058 M), prasasti Julah (1065 M), prasasti Pandak Bandung (1071 M), dan lainlain, kesemuanya menyebutkan pertunjukan topeng sebagai partapuka atau atapukan. Selanjutnya salah satu karya sastra yang barangkali mendekati kebenaran mengenai sejarah topeng Gajah Mada ini adalah lontar Ularan Prasraya. Dalam lontar ini diceritakan tentang pemerintahan Dalem Waturenggong yang bertahta di Gelgel tahun 1460-1550. Pada masa pemerintahannya, dia berniat untuk menaklukkan Blambangan. Maka itu dikirimlah sepasukan tentara di bawah pimpinan Patih Ularan dan ditemani oleh I Gusti Jelantik Pasimpangan. Pada pertempuran itu, Sri Dalem Juru, raja Blambangan dapat ditaklukkan. Pada saat itu pula, Patih Ularan dan I Gusti Jelantik Pasimpangan merampas barang-barang sebagai bukti bahwa mereka berdua telah berhasil mengalahkan Blambangan. Di antara benda-benda yang dibawa dari Blambangan adalah dua buah gong, satu peti topeng, dan sekotak wayang gambuh. Topeng Gajah Mada dan sekotak Wayang Gambuh itu kini juga masih berada di Blahbatuh. Setelah Dalem Waturenggong wafat, dia diganti oleh putra mahkota yang bernama Dalem Bekung memerintah pada tahun 1550-1580. Kemudian setelah meninggal Dalem bekung diganti oleh Dalem Sagening yang memerintah Gelgel pada tahun 1580-1665. Pada pemerintah Dalem Sagening ada 3 orang keturunan I Gusti Jelantik Pasimpangan yang bernama I Gusti Ngurah Jelantik, I Gusti Gede Tusan, dan I Gusti Gede Lebah. Pada saat inilah diduga salah seorang dari keluarga I Gusti Ngurah Jelantik itu menarikan Topeng Pajegan dengan menggunakan topeng-topeng yang diperoleh dari Blambangan. Kemudian setelah kerajaan Gelgel dipindahkan ke Semara Pura (Klungkung) dan pada pemerintahan Dalem Wirya Sirikan kira-kira pada tahun 1879, semua topeng-topeng sakral Gajah Mada itu dipindahkan ke Blahbatuh oleh keturunan keluarga I Gusti Ngurah Jelantik. Untuk sekian abad topeng-topeng itu disimpan di Pura Penataran Topeng Blahbatuh dan baru-baru ini dipindahklan ke Puri I Gusti Agung Jelantik untuk keamanan dan pemeliharaan
Bali Tempo Dulu
98
benda-benda bertuah itu. Menurut penjelasan dari I Gusti Gede Lanang, mantan punggawa distrik Blahbatuh dan pengamatan Tim Peneliti ASTI Denpasar pada tahun 1986, terdapat 21 buah topeng dan menurut ikonografi topeng-topeng itu, hanya 6 buah yang menggunakan canggem merupakan gaya topeng-topeng dari Jawa dan selebihnya topeng-topeng yang tidak menggunakan canggem kiranya dibuat di Bali. Adapun tokoh-tokoh topeng yang didaftar oleh H.H. Noosten dalam artikelnya yang berjudul "De Historische Maskers van Poera Panataran Topeng te Blahbatoe (Bali)" atau "Topengtopeng Bersejarah di Pura Panataran Topeng Blahbatuh (Bali)" antara lain Danghyang Kepakisan (seorang pendeta Siwa yang juga disebut pandita Paramarta, guru agama dari Patih Gajah Mada di Majapahit. Ki Gusti Pinatih, patih Majapahit yang tertua yang mengambil Papak Mada sebagai anak angkatnya dan mengawinkannya dengan Ni Gusti Ayu Bebed. Sira Patih Gajah Mada yang juga disebut Mpu Mada, patih Majapahit sejak pemerintahan Sri Kala Gemet sampai raja Hayam Wuruk. Sumber: Bali Post 23 Januari 2011 dan Drs. I Made Bandem. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# #KITLV#balilawas#
Bali Tempo Dulu
99
SEJARAH DESA SANGEH Kec : ABIANSEMAL Kab : BADUNG BALI,INDONESIA. Foto tahun : 1982 - 2013. Sangeh yang terletak sekitar 21 kilometer sebelah utara kota Denpasar, tepatnya Terkenal dengan hutan yang berpenghuni ratusan monyet yang cukup jinak. Dalam hutan ini terdapat beberapa pura seperti Pura Melanting, Pura Tirta, Pura anyar dan yang terbesar adalah Pura Bukit Sari. Berdasar catatan sejarah, Pura Bukit Sari terkait erat dengan Kerajaan Mengwi, dan dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti, yang merupakan anak angkat dari Raja Mengwi Cokorda Sakti Blambangan. Anak Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti melakukan tapa Rare, yaitu bertapa seperti bayi/anak-anak, dan mendapat ilham untuk membuat Pelinggih atau Pura di hutan Pala Sangeh, yang saat ini dikenal sebagai Pura Bukit Sari yang berada di tengah Hutan Pala.
Bali Tempo Dulu
100
Nama Sangeh diyakini masyarakat sekitar terkait erat dengan Hutan Pala, yang berasal dari dua kata “Sang” yang berarti orang dan “Ngeh” yang berarti melihat, atau orang yang melihat. Konon kayu-kayu Pala dalam perjalanan dari Gunung Agung di Bali Timur menuju perjalanan ke Bali Barat, tapi karena ada orang yang melihat, pohon-pohon tersebut berhenti di tempat yang sekarang dikenal sebagai Sangeh. Selain terkenal dengan 600 ekor kera abu ekor panjang (Macaca fascicularis) yang jinak, Sangeh juga dikenal karena adanya kawasan hutan homogen seluas 10 hektar berisikan hutan Pala (Dipterocarpus trinervis) yang berumur ratusan tahun, serta adanya Pura Bukit Sari peninggalan Kerajaan Mengwi pada abad ke 17serta adanya Pohon Lanang Wadon. Masyarakat sekitar menganggap kera-kera di Sangeh sebagai jelmaan Prajurit Putri yang dianggap sebagai kera suci, sehingga keberadaan mereka tak boleh diganggu karena mereka dianggap membawa berkah bagi masyarakat Sangeh. Seperti layaknya kehidupan manusia Bali, mereka mempunyai 3 kelompok atau Banjar, masing-masing Banjar Timur, Banjar Tengah dan Banjar Barat dimana setiap banjar memiliki pemimpin kelompok. Dalam kehidupan kelompok para kera juga mengenal persaingan antara pejantan untuk memperebutkan menjadi Raja dan masing-masing kelompok akan memperebutkan wilayah kekuasaan di Bnjar Tengah yang memiliki sumber makanan terbanyak. Siapapun boleh berkunjung ke tempat ini, kecuali bagi wanita yang sedang haid atau orang yang sedang ditinggal mati keluarganya. Hal tersebut untuk menjaga kesakralan pura yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sangeh. Sumber : https://sejarahbali.wordpress.com/.../sejarah-desa-sange... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas #KITLV#
Bali Tempo Dulu
101
SEJARAH PURA LUHUR BATUKARU DESA WONGAYA GEDE Kec : PENEBEL TABANAN,BALI INDONESIA Foto tahun : 1925 - 2012 Sanghyang Tumuwuh di Pura Batukaru Avir Vai nama devata, rtena-aste parivrta, tasya rupena-ime vrksah, harita haritasrajah. (Atharvaveda X. 8.31). Maksudnya: Warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan karena mengandung klorofil di dalamnya. Zat klorofil itu menyelamatkan hidup. Hal itu ditetapkan oleh Rta yang ada dalam tumbuhtumbuhan. Karena zat itu tumbuh-tumbuhan menjadi amat berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan.
Bali Tempo Dulu
102
PURA Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuhtumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh -- sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau mengandung klorofil sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan Tuhan di Pura Luhur Batukaru hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual membangun semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber air. Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuhtumbuhan akan subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak tercemar oleh emisi CO2. Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Adanya konferensi tentang merubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut dijadikan momentum untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru. Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru. Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru. Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani. Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Ping Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan. Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti. Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumbersumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut. Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak
Bali Tempo Dulu
103
ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya. Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puingpuing saja. Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya. · I Ketut Gobyah http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12/bd2.htm Melindungi ”Tri Chanda” di Pura Luhur Batukaru Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru sebagai suatu pemujaan untuk memotivasi umat manusia agar secara nyata melakukan langkah melindungi Tri Chanda sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Atharvaveda XVIII.17. Yang dimaksud Tri Chanda itu adalah air, tumbuh-tumbuhan dan udara. Kalau keberadaan tiga benda yang menutupi bumi ini tidak terganggu oleh ulah manusia yang mau hidup berlebihan maka Tri Chanda itulah yang berfungsi untuk menjadi sumber yang menumbuhkan kehidupan ini. Apa fungsi Tri Chanda di Pura Luhur Batukaru itu? Tri Chanda itulah yang menyebabkan keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat alami sesuai dengan tattwa yang melatarbelakangi keberadaan Pura Luhur Batukaru tersebut. Demikian juga Pura Presanak atau Jajar Kemiri dari Pura Luhur Batukaru ini melambangkan nilai-nilai spiritual yang memotivasi umat agar senantiasa menjaga kelestarian eksistensi Tri Chanda tersebut. Penampilan fisik Pura Luhur Batukaru tersebut amat artistik mengikuti rona alam di lingkungan pura. Di Pura Luhur Batukaru ini di samping ada bangunan utama, di sebelah timurnya terdapat sumber mata air terdiri atas dua kompleks. Ada kompleks yang berlokasi di jeroan (dalam) pura pokok yang dipergunakan khusus untuk memohon Tirtha (air suci) untuk kepentingan upacara. Kompleks yang kedua adalah untuk kepentingan mandi dan cuci muka sebagai pembersihan diri dalam rangka persiapan untuk bersembahyang. Upacara piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada setiap Kamis Wuku Dungulan sehari setelah hari raya Galungan. Suatu yang unik di Pura Luhur Batukaru adalah mengenai upacara piodalan dan upacara besar lainnya tidak pernah dipimpin oleh pandita. Upacara cukup dipimpin oleh pemangku yang disebut Jero Kubayan. Di pura ini Dr. R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi, pernah mengadakan penelitian pada tahun 1928. Di pura ini, Goris banyak menjumpai patung-patung yang tipenya serupa dengan patung yang terdapat di Goa Gajah yaitu patung yang keluar pancuran air dari pusarnya. Bedanya patung di Goa Gajah berdiri, sedangkan yang di Pura Batukaru duduk bersila. Menurut Goris, patung yang terdapat di Batukaru sezaman dengan patung di Goa Gajah. Pura Luhur Batukaru denahnya dibagi menjadi tiga mandala. Bangunan yang paling utama di denah yang paling utama atau Utama Mandala berupa candi yang bentuknya sangat mirip dengan bentuk candi di Jawa Timur. Bentuknya ramping atapnya terdiri atas perpaduan tingkatan (punden berundak-undak). Candi utama ini diapit oleh Candi Perwara, serta di ujung kiri dan kanannya diapit oleh Pasana. Jadi pada leretan bangunan utama terdapat lima bangunan atau pelinggih. Di candi utama inilah dipuja Dewa Mahadewa. Masyarakat menyebutnya Ratu Hyang Tumuwuh. Mengapa Dewa Mahadewa diberi gelar Ratu Hyang Tumuwuh. Karena untuk menjaga keterpaduan air, udara dan tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Agar semua alam tersebut
Bali Tempo Dulu
104
terpadu adanya, sebagai langkah awal umat mohon tuntunan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh. Karena Tuhanlah sebagai mahapencipta semua unsur alam tersebut. Sebutan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memang sebutan yang amat lokal Bali. Tetapi dibaliknya terdapat nilai-nilai universal tentang etika perlakuan sumber-sumber alam ciptaan Tuhan tersebut. Kalau udara kotor, sumber-sumber air tak terlindungi maka tumbuhtumbuhan pun akan merana. Kalau tumbuh-tumbuhan merana hidup manusia pun akan menderita kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Pelinggih utama di Pura Luhur Batukaru berbentuk Candi bukan Meru. Ini jelas pengaruh arsitektur Jawa Timur dan India. Candi tersebut merupakan tempat pemujaan Dewa Mahadewa. Candi diapit oleh Candi Perwara. Di sudut timur laut dan barat laut terdapat Pelinggih Pa Ratu Bagus Panji dan Ratu Puseh Kubayan. Di pojok barat daya ada dua bangunan Gedong paling selatan berjejer. Dua Gedong itu sebagai Pedharman Raja Badung dan Raja Tabanan. Kedua Raja ini adalah satu klan. Di areal Utama Mandala terdapat tidak kurang dari 24 bangunan penting dan pelengkap. Di areal kedua yang disebut Madya Mandala ada sebuah Pelinggih Gedong stana Ratu Pasek sebagai tempat memohon suksesnya upacara yadnya. Di pojok barat laut ada Gedong Simpen untuk tempat menyimpan Pratima. Di selatan Gedong Simpen tersebut terdapat bangunan Balai Agung dengan dua belas tiang. Balai Agung ini tempat berkumpulnya semua simbol sakral terutama saat Melasti. Pura Batukaru ini di samping sebagai Pura Sad Kahyangan juga berkedudukan sebagai Pura Catur Loka Pala sebagaimana disebutkan dalam Lontar Purana Bali. Di timur Pura Lempuhyang Luhur, di selatan Pura Andakasa, di Barat Pura Luhur Batukaru dan utara Pura Pucak Mangu. Pura Luhur Batukaru juga sebagai Pura Pa Bhuwana yaitu sembilan pura yang mengelilingi Pulau Bali. Pura Pa Bhuwana sebagai lambang pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana di sembilan penjuru alam semesta. Tidak ada bagian alam semesta ini tanpa kehadiran Tuhan. Keberadaan Tuhan seperti itulah yang diekspresikan di sembilan pura di Pulau Bali. Kalau penerapan konsep ketuhanan agama Hindu di Bali ini benar-benar dihayati, maka umat Hindu tidak akan berhenti pada sembahyang dengan upacara yadnya saja dalam mengamalkan ajaran. Itu baru langkah mengarah pada aspek niskala untuk membangun daya spiritual umat. Yang niskala itu seharusnya di-sekala-kan dalam perilaku hidup sehari-hari untuk secara aktif menjaga eksistensi Tri Chanda tersebut sesuai dengan sifat alaminya. Dalam Chanakya Niti XIV, 18 dinyatakan bahwa untuk mendapatkan hidup sejahtera lindungilah lima hal yaitu: Dharma (kesucian agama) Dhana (aset publik), Dhanyam (bahan makanan), Guru Wacana (kata-kata bijak guru suci), dan Ausada (sistem kesehatan). Kelima unsur tersebut akan terjaga dengan diawali untuk melindungi Tri Chanda bumi ini. Di Bali banyak sekali warisan para resi guru suci berupa kata-kata bijak sebagai pegangan untuk menjaga Tri Chanda dan lima hal untuk membangun hidup sejahtra. * wiana #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia# http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12/bd1.htm
Bali Tempo Dulu
105
Patroli tentara belanda di bali tahun 1937 Untuk memantau setiap wilayah yang telah di kuasai pemerintah hindia belanda di bali.dari pemberontak-pemberontak yang ingin menghancurkan kekuasaan pemerintah hindia belanda.
Bali Tempo Dulu
106
Suasana pasar tradisional bali di tahun 1934,pasar trasional bali di kala itu bukan hanya menjual makanan khas bali tapi juga menjual beraneka ragam hasil kerajinan tangan yang di hasilkan oleh masyarakat bali,karena sebagian besar dari masyarakat bali menghabiskan wktnya untuk membuat kerajinan tangan seperti anyaman bambu untuk di buat keranjang,membuat tikar,kerajinan dari tanah liat untuk alat-alat dapur dan hasil sawah / ladang untuk di jual ke pasar. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV #
SEJARAH KABUPATEN BANGLI BALI,INDONESIA Menurut Prasasti Pura Kehen kini tersimpan di Pura Kehen, diceritakan bahwa pada zaman silam didesa Bangli berkembang wabah penyakit yang disebut kegeringan yang menyebabkan banyak penduduk meninggal.Penduduk lainnya yang masih hidup dan sehat menjadi ketakutan setengah mati,sehinnga mereka berbondong-bondong meninggalkan desa guna menghindari wabah tersebut. Akibatnya Desa Bangli menjadi kosong karena tidak ada seorangpun yang berani tinggal disana. Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang bertahta kala itu dengan segala upaya berusaha mengatasi wabah tersebut. Setelah keadaan pulih kembali sang raja yang kala itu bertahta pada tahun Caka 1126, tanggal 10 tahun Paro Terang,hari pasaran
Bali Tempo Dulu
107
Maula,Kliwon,Chandra (senin), Wuku Klurut tepatnya tanggal 10 Mei 1204,memerintahkan kepada putra-putrinya yang bernama Dhana Dewi Ketu agar mengajak penduduk ke Desa Bangli guna bersama-sama membangun memperbaiki rumahnya masing-masing sekaligus menyelenggarakan upacara/yadnya pada bulan Kasa, Karo, katiga, Kapat, Kalima, Kalima, Kanem, Kapitu, kaulu, Kasanga, Kadasa, Yjahstha dan Sadha. Disamping itu beliau memerintahkan kepada seluruh pendududk agar agar menambah keturunan di wilayah Pura Loka Serana di Desa Bangli dan mengijinkan membabat hutan untuk membuat sawah dan saluran air. Untuk itu pada setiap upacara besar penduduk yang ada di Desa Bangli harus sembahyang. Pada saat itu juga, tanggal 10 Mei 1204, Raja Idha Bhatara Guru Sri Adikunti Katana mengucapkan pemastu yaitu: Barang siapa yang tidak tunduk dan melanggar perintah, semoga orang itu disambar petir tanpa hujan atau mendadak jatuh dari titian tanpa sebab, mata buta tanpa catok, setelah mati arwahnya disiksa oleh Yamabala, dilempar dari langit turun jatuh ke dalam api neraka. Bertitik tolak dari titah-titah Sang Raya yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1204, maka pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Bangli. Sumber : www.banglikab.go.id/?content=profil&mode... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
108
SEJARAH PERANG BANJAR KABUPATEN BULELENG BALI,INDONESIA 1868 Kemenangan Laskar Rakyat Banjar yang tak pernah di kenang. SABAN 20 September, orang Bali umumnya lebih ingat dengan peristiwa Puputan Badung. Masih jarang yang tahu, 20 September juga menjadi hari bersejarah bagi rakyat Bali karena harga dirinya sebagai pejuang handal kembali terangkat. 20 September 147 tahun silam, laskar rakyat Banjar di Buleleng berhasil mengalahkan serangan ekspedisi militer Belanda. Meski sebulan kemudian perlawanan laskar Banjar itu berhasil ditaklukkan, kemenangan di Banjar itu pantas untuk senantiasa dikenang. Seperti apa peristiwa Perang Banjar itu? -----------------------------------------------------------PADA tahun 1860, Belanda sudah menancapkan kekuasaannya di Buleleng. Belanda mengangkat Gusti Ngurah Ketut Jelantik sebagai regent dan diberi gelar raja di Buleleng dengan melaksanakan perintah Asisten Residen Buleleng. Di daerah Banjar, yang ditunjuk memangku jabatan punggawa yakni seorang Brahmana yang
Bali Tempo Dulu
109
masih muda usianya, Ida Made Rai. Karena suatu sebab, Ida Made Rai diberhentikan dari jabatannya sebagai punggawa. Untuk sementara waktu dia diasingkan ke Banyuwangi. Penguasa Belanda menunjuk Ida Ketut Anom, seorang Brahmana dari luar Banjar sebagai punggawa di Banjar menggantikan Ida Made Rai. Keputusan ini mendapat tantangan keras dari penduduk Banjar dan desa-desa sekitarnya. Mereka menganggap penunjukan seorang punggawa dari luar daerah Banjar bertentangan dengan tradisi dan adat yang berlaku sejak dulu. Usai menjalani masa pembuangannya, Ida Made Rai kembali ke Banjar. Sadar golongan Brahmana di Banjar serta pemuka-pemuka rakyat di desa-desa sekitarnya tidak menerima kepemimpinan Ida Ketut Anom, Ida Made Rai pun menyatakan penentangan terhadap pemerintah Belanda. Sikap Ida Made Rai mendapat dukungan dari pemuka-pemuka rakyat Banjar dan desa-desa sekitarnya. Gerakan Ida Made Rai pun tumbuh menjadi gerakan rakyat Banjar dan desa-desa sekitarnya. Pada bulan April 1868, pemuka-pemuka rakyat Banjar bersama Ida Made Rai disertai ratusan rakyat menghadap Regent/Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut jelantik di Singaraja. Kedatangan rakyat itu menuntu agar Ida Made Rai segera diangkat menjadi punggawa Banjar. Seperti ditulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Pada Abad XIX, karena didesak Asisten Residen Eibergen yang berkuasa di Buleleng, Raja menolak permohonan itu. Rakyat Banjar pun tidak menghiraukan lagi perintah Raja dan secara terang-terangan membangkang. Misalnya, perintah untuk memperbaiki jalan tidak mereka hiraukan. Dalam perkembangan selanjutnya, pembangkangan yang dilakukan Ida Made Rai semakin menjadi-jadi. Hal ini memunculkan kekhawatiran Belanda akan mengganggu keamanan dan ketenteraman Buleleng. Karena itu diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi militer keempat di bawah pimpinan Mayor W.E.F. van Heemskerk. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Pada Abad XIX, pasukan ekspedisi Belanda ini dibantu dengan satu divisi pasukan marinis, sehingga jumlah pasukan yang tergabung untuk menyerang Banjar sebanyak 800 orang. Sementara Regent/Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik menyediakan tenaga kuli pengangkut perbekalan dan persenjataan pasukan Belanda. Ida Made Rai sempat hendak berdamai dengan Belanda. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung, pada 19 September muncul ratusan rakyat Banjar di bawah pimpinan pemuka rakyat Kalianget, I Kamasan membawa barang-barang makanan dari Ida Made Rai dan rakyat Banjar yang dihadiahkan kepada pasukan Belanda. Mereka menyampaikan kepada Mayor van Heemskerk dan Residen bahwa Ida Made Rai bersedia menyerahkan diri akan tetapi dengan syarat dia harus diangkat menjadi Punggawa Banjar. Tawaran ini tidak diterima oleh Residen dan malah I Kamasan ditahan berdasarkan alasan bahwa dia sudah dihukum penjara 12 tahun oleh Pengadilan Majelis Kerta dan kemudian dibawa ke salah satu kapal perang menunggu penyelesaian perkaranya. Setelah peristiwa itu, Residen mengirim ultimatum kepada Ida Made Rai untuk menyerah esok harinya. Jika tidak, Banjar akan diserang. Ultimatum Belanda tidak membuat gentar Ida Made Rai. Tanggal 20 September 1868 pecahlah pertempuran antara pasukan Belanda dengan laskar Banjar dipimpin Ida Made Rai. Pertempuran di daerah Dencarik menyebabkan Letnan Stegmen dan 14 orang serdadu Belanda gugur. Sementara para tenaga pengangkut Belanda lari tunggang-langgang. Apalagi banyak di antara tenaga pengangkut itu tertembak secara tidak sengaja oleh pasukan Belanda karena mereka tidak bisa membedakan mana tenaga pengangkut yang disediakan Raja Buleleng, mana laskar banjar. Pasukan Belanda pun memilih mundur menuju pangkalannya di Temukus. Serangan pertama Belanda terhadap Banjar gagal. Mayor van Heemskerk bermaksud mengadakan serangan kedua terhadap Banjar keesokan harinya. Akan tetapi, tenaga pengangkut yang dijanjikan Raja Buleleng tidak muncul. Orang-orang Bali tidak bersedia lagi sebagai tenaga pengangkut karena takut menghadapi ganasnya perlawanan laskar Banjar. Pada tanggal 3 Oktober 1868 kembali dilancarkan serangan kedua kalinya. Dalam serangan kali ini, pasukan Belanda mendapat bantuan 1500 pasukan tambahan dari Raja Buleleng serta 800 orang pasukan tambahan dari Pembekel Pengastulan, Wayan Tragi. Meski begitu,
Bali Tempo Dulu
110
serangan ini pun berhasil dipatahkan oleh laskar Banjar yang bertempur dengan semangat bergelora dan bersenjatakan tombak terhunus. Belanda kembali menyerang Banjar pada 24 Oktober 1868. Kali ini, kekalahan berada di pihak Ida Made Rai. Pertahanannya hancur. Banyak pasukan dan orang-orang dekatnya meninggal dalam pertempuran. Sejumlah desa yang sebelumnya mendukung perjuangan Ida Made Rai pun menyerah kepada Belanda. Ida Made Rai dan pendukungnya kemudian mengungsi ke Mengwi. Belanda pun menggunakan siasat lain untuk menangkap Ida Made Rai. Ibunda Ida Made Rai diajak menuju tempat persembunyian Ida Made Rai di Desa Denkayu dengan perjanjian tidak akan menjatuhi Ida Made Rai hukuman mati atau menembaknya. Ida Made Rai akhirnya menyerah setelah dinasihati ibunya. Ida Made Rai bersama Ida Made Tamu dan Ida Made Sapan kemudian dibuang ke Priangan, Bandung. Sementara pemimpin-pemimpin lainnya seperti I Dade dan I Kamasan dihukum penjara. Kendati begitu, dua kali kemenangan laskar Banjar yang hanya bersenjatakan tombak cukup menampar muka Belanda. Kemenangan itu juga kembali mengangkat harga diri orang Bali setelah dua kali kemenangan yang diraih sebelumnya dalam Perang Jagaraga (1848) dan Perang Kusamba (1849) Sumber : www.balisaja.com/.../kemenangan-laskar-rakyat-banjar... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
IDA AYU NYOMAN RAI ASAL KOTA SINGARAJA KABUPATEN BULELENG BALI,INDONESIA
Bali Tempo Dulu
111
Sekilas tentang beliau ; Ida Ayu Nyoman Rai (lahir 1881 - meninggal 12 September 1958) adalah ibu dari Soekarno, Presiden Indonesia pertama. Ida Ayu Nyoman Rai lahir sekitar tahun 1881 sebagai anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Sewaktu kecil orang tuanya memberi nama panggilan “Srimben”, yang mengandung arti limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri. Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Nyoman Rai Srimben bersahabat dengan Made Lastri yang kemudian mengenalkannya dengan seorang guru Jawa pendatang bernama R. Soekeni. Putri pertamanya, Raden Soekarmini (kelak dikenal sebagai Bu Wardoyo) lahir pada tanggal 29 Maret 1898. Mereka kemudian berpindah ke Surabaya. Kelahiran Soekarno Di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 Nyoman Rai Srimben melahirkan Soekarno di sebuah rumah di sekitar Makam Belanda kampong Pandean III Surabaya. Nyoman Rai Srimben mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual Hindu seperti yang pernah dipelajarinya. Enam bulan kemudian Nyoman Rai Srimben harus mengikuti suaminya untuk pindah ke kota kecil di kecamatan Ploso (Jombang) di mana kedua anaknya sering sakit-sakitan. Karena faktor kesehatan pula, Nyoman Rai Srimben sempat berpisah dengan Soekarno untuk dirawat dan diasuh oleh mertuanya di Tulung Agung. Soekarno ia asuh kembali ketika ia harus mengikuti suaminya pindah ke Mojokerto. Di Mojokerto pula putri sulungnya menikah dan kemudian tinggal bersama suaminya. Persoalan muncul ketika Srimben dihadapkan pada kepindahan suaminya ke Blitar sekaligus menghadapi kenyataan Soekarno untuk sekolah di Surabaya. Akhirnya ia mengikuti kepindahan suaminya ke Blitar dan Soekarno dititipkan di rumah HOS Cokroaminoto untuk meneruskan sekolah di Surabaya. Di Blitar, Nyoman Rai Srimben tinggal di asrama sekolah yang sekarang menjadi Sekolah Menengah Umum I Blitar dan dipercaya untuk mengelola asrama sekaligus mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut. Permasalahan lain yang menjadi suka duka adalah berita tentang ditahannya Soekarno di Penjara Sukamiskin Bandung. Nyoman Rai Srimben menuju Bandung dan mendatangi Penjara Sukamiskin dan karena ia buta politik dirinya langsung bertanya kepada petugas rumah tahanan. Bukan jawaban yang diperolehnya melainkan bentakan dan diusir untuk pergi dari rumah tahanan tersebut. Sejak saat itu dendam Nyoman Rai Srimben tidak terbendung, di manapun berada jika melihat orang Belanda ia memperlihatkan ketidaksukaannya. Di saat yang sama rumahnya di Blitar diawasi karena putranya melawan penjajahan Belanda. Nyoman Rai Srimben menceritakan kejadian yang dialaminya di rumah tahanan sehingga akhirnya R. Soekeni memutuskan untuk pensiun dini sebagai guru dari Kementerian Pendidikan Belanda di Batavia. Memasuki masa pensiun Nyoman Rai Srimben terus mendampingi suaminya di Blitar sambil tetap menunggu surat, berita Koran atau berita burung yang dibawa saudara atau kenalannya tentang putranya Soekarno baik di dalam maupun di luar tahanan. Kehidupan di Blitar kembali bergemuruh ketika Nyoman Rai Srimben mendengar bahwa putranya bercerai dari Inggit dan kemudian menikah dengan Fatmawati, semua beritanya diterima dengan tabah. Hasil pernikahan Soekarno dengan Fatmawati memberikan seorang cucu yang sangat diharapkan oleh Nyoman Rai Srimben dan R. Soekeni. Nyoman Rai Srimben dan R. Soekeni menyaksikan kelahiran cucunya di Jakarta. Kebahagiaan Nyoman Rai Srimben tidaklah lama karena pada saat berjalan-jalan di Jakarta R. Soekeni terjatuh dan sakit keras hingga akhirnya meninggal pada tanggal 8 Mei 1945. Kemudian Nyoman Rai Srimben kembali ke Blitar. Di hari tuanya ketika Soekarno telah menjadi “orang pertama” di Republik Indonesia, Nyoman Rai Srimben tidak pernah mau menginjakkan kakinya di Istana Negara. Nyoman Rai Srimben menjadi pelopor perkawinan
Bali Tempo Dulu
112
campur antar suku, sehingga mungkin memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk menyatukan Nusantara menjadi Republik Indonesia. Kontroversi tentang kasta yang di miliki nyoman rai srimben dengan orang tuanya kenapa berbeda ?? Ini penjelasannya ; Ada satu pernyataan menarik mengemuka saat Diskusi Kebangsaan Bulan Bung Karno 2011 yang berlangsung di Kantor Bupati Bangli, yakni kajian tentang kontroversi pemberian gelar Ida Ayu pada ibunda Bung Karno, Nyoman Rai Srimben. Sejarah mencatat saat Bung Karno menjadi Presiden Pertama RI, disatu kesempatan Bung Karno memberi gelar ”Ida Ayu atau Dayu” kepada ibunda tercintanya, dan sejak itulah rakyat Indonesia mengenal Ida Ayu Nyoman Rai Srimben sebagai nama resmi ibunda Bung Karno. Namun tak banyak yang tahu jika pemberian gelar Ida Ayu itu didasari pada kekurangsukaan Bung Karno dengan sistem feodalisme dan tingkatan kasta yang merajalela di Bali pada zaman itu. Demikian ungkap Dr.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III (President The Sukarno Center) sebagai narasumber. ”Dr.Ir.Sukarno adalah sangat menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi, dan saat itu ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil terhadap keberadaan dan status Ibundanya yang berasal dari keturunan Pasek Bale Agung Singaraja. Saat itu, banyak pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa keturunan Pasek dianggap sebagai Sudra. Padahal itu salah, dan Bung Karno sendiri mengakui jika leluhurnya adalah keturunan Brahmana atau pendeta. Jadi ini pembelaan terselubung Bung Karno terhadap rakyat Bali yang pada awal kemerdekaan menghadapi jurang lebar antara gologan Tri Wangsa dengan golongan biasa.”ungkap Dr.Wedakarna. Ia menambahkan, disetiap literatur tentang Nyoman Rai Srimben saat ini, pasti disebutkan bahwa keturunan Bale Agung Singaraja adalah keturunan Brahmana. ”Dari kajian The Sukarno Center, Bung Karno memberikan dua pelajaran penting bagi rakyat Bali terkait dengan gelar Ida Ayu untuk ibundanya, yakni bahwa rakyat Bali harus menyadari bahwa dikotomi prokasta dan anti kasta saat itu dapat menjadi pemisah persatuan rakyat Bali dan dengan pemberian gelar Ida Ayu itu adalah bukti pengakuan seorang Presiden RI terhadap kesetaraan. Dan kebenaran sejarah tentu harus ditegakkan.”ungkap Rektor Univ.Mahendradatta tersebut. Kini The Sukarno Center mempunyai peran untuk meluruskan sejarah yang berkaitan dengan Bung Karno termasuk keberadaan Rai Srimben. ”Saat Bung Karno memberi gelar Ida Ayu pada Nyoman Rai Srimben, saat itu publik di Bali terhentak kaget, namun saat itu tidak ada yang berani melawan Bung Karno. Dan dari segi kajian akademis, pemberian gelar Ida Ayu pada sosok Nyoman Rai Srimben adalah hal yang wajar, terutama jika melihat visi Bung Karno yang kurang setuju dengan merajalelanya sistem kasta di Indonesia. Bung Karno adalah seorang pejuang demokrasi, tapi ia memakai cara yang halus dan bijak untuk mendidik rakyat Indonesia. Sebagai anak muda, saya bangga dengan keberanian Bung Karno mendobrak kultur negatif kasta di Bali. Selain itu wajar Bung Karno membela nama baik leluhurnya dari soroh Pasek yang secara jujur harus diakui sebagai keturunan Brahmana. Ingat, jangan sampai sejarah dimonopoli oleh salah satu kelompok. Ini pesan tersembunyi dari Bung Karno.”pungkas Abhiseka Raja Majapahit Bali ini. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Ida_Ayu_Nyoman_Rai // www.thesukarnocenter.com/.../gelar-ida-ayu-untuk-rai... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV# ArsipNasionalRi#
Bali Tempo Dulu
113
Presiden Ir Soekarno dan Ibu Fatmawati Sungkem ke pada IDA AYU NYOMAN RAI SRIMBEN " ibunda Ir soekarno " Tahun 1946.
Bali Tempo Dulu
114
Inna bali hotel, jalan veteran Denpasar. Foto tahun 1960~2014
Bali Tempo Dulu
115
SEJARAH KOTA NEGARA KABUPATEN JEMBRANA BALI,INDONESIA Foto tradisi mekepung Tahun 1935. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat di interprestasikan bahwa munculnya komunitas di Jembrana sejak 6000 tahun yang lalu. Dari perspektif semiotik, asal-usul nama tempat atau kawasan mengacu nama-nama fauna dan flora. Munculnya nama Jembrana berasal dari kawasan hutan belantara (Jimbar-Wana) yang dihuni raja ular (Naga-Raja). Sifat-sifat mitologis dari penyebutan nama-nama tempat telah mentradisi melalui cerita turun-temurun di kalangan penduduk. Berdasarkan cerita rakyat dan tradisi lisan (folklore) yang muncul telah memberi inspirasi di kalangan pembangun lembaga kekuasaan tradisional (raja dan kerajaan) Raja dan pengikutnya yaitu rakyat yang berasal dari etnik Bali Hindu maupun dari etnik non Bali yang beragama Islam telah membangun kraton sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede Jembrana pada awal abad XVII oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Raja I yang memerintah di kraton (Puri) Gede Agung Jembrana adalah I Gusti Ngurah Jembrana. Selain kraton, diberikan pula rakyat pengikut (wadwa),busana kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka berupa tombak dan tulup. Demikian pula keris pusaka yang diberi nama "Ki Tatas" untuk memperbesar kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang berkuasa di pusat pemerintahan yaitu di Kraton (Puri) Agung Jembrana. Sejak kekuasaan kerajaan dipegang oleh Raja Jembrana I Gusti Gede Seloka, Kraton (Puri)
Bali Tempo Dulu
116
baru sebagai pusat pemerintahan dibangun. Kraton (Puri) yang dibangun itu diberi nama Puri Agung Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih dikenal dengan nama Puri Agung Negara. Patut diketahui bahwa raja-raja yang memerintah di Kerajaan Jembrana berikutnya pun memusatkan birokrasi pemerintahannya di Kraton (Puri) Agung Negara. Patut dicatat pula bahwa ada dua periode birokrasi pemerintahan yang berpusat di Kraton (Puri) Agung Negara. Periode pertama ditandai oleh birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional yang berlangsung sampai tahun 1855. Telah tercatat pada lembaran dokumen arsip pemerintahan Gubernemen bahwa kerajaan Jembrana yang otonom diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka Ratoe) I Goesti Poetoe Ngoerah Djembrana (1839 - 1855). Ketika berlangsung pemerintahannya lah telah ditanda tangani piagam perjanjian persahabatan bilateral anatara pihak pemerintah kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Gubernemen) pada tanggal 30 Juni 1849. Periode kedua selanjutnya digantikan oleh birokrasi modern, melalui tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang merupakan bagian dari wilayah istratif Keresidenan Banyuwangi. Pemerintahan daerah Regentschap yang dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent) sebagai pejabat yang dimasukkan dalam struktur birokrasi Kolonial Modern Gubernemen yang berpusat di Batavia. Status pemerintahan daerah (Regentschap) berlangsung selama 26 tahun (1856 - 1882). Pada masa Kerajaan Jembrana VI I Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 - 1866) mengalami dua peralihan status yaitu 1855 - 1862 sebagai Raja Jembrana dan 1862 - 1866 sebagai status Regent (Bupati) kedudukan kerajaan berada di Puri Pacekan Jembrana. Ketika reorganisasi pemerintahan di daerah diberlakukan berdasarkan Staatblad Nomor 123 tahun 1882, maka untuk wilayah istratif Bali dan Lombok diberi status wilayah istratif Keresidenan tersendiri. Wilayah Keresidenan Bali dan Lombok dibagi lagi menjadi dua daerah (Afdelingen) yaitu Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana berdasarkan Staatblad Nomor 124 tahun 1882 dengan satu ibukota yaitu Singaraja. Selanjutnya daerah Afdeling Jembrana terbagi atas distrik-distrik yang pada waktu itu terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik Negara, Distrik Jembrana, dan Distrik Mendoyo. Masing-masing distrik dikepalai oleh seorang Punggawa. Selain distrik juga diberlakukan jabatan Perbekel, khusus yang mengepalai komunitas Islam dan komunitas Timur Asing sebagai kondisi daerah yang unik dari sudut interaksi dan integrasi antar etnik dan antar umat beragama. Sejak reorganisasi tahun 1882 telah ditetapkan dan disyahkan nama satu ibukota untuk Keresidenan Bali dan Lombok yaitu Singaraja, yang akan membawahi daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Akan tetapi, pada proses waktu selanjutnya memperhatikan munculnya aspirasi masyarakat di dua daerah afdeling (Buleleng dan Jembrana), maka pihak Gubernemen menanggapi positif. Respon positif pihak Gubernemen di Batavia dapat dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah Lembaran Negara (Staatsblad) tersendiri untuk melakukan pembenahan (Reorganisasi) tata pemerintahan daerah di daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Pihak Gubernemen dan segenap jajaran bawahan di Departemen Dalam Negeri (Binnenlandsch Bestuur) sangat memperhatikan dan mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat untuk menetapkan nama-nama ibukota Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Pihak Gubernemen dalam pertimbangannya ingin mengakhiri kebiasaan yang menyebut nama Ibukota Afdeling Buleleng dan Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok dengan nama lebih dari satu. Semula (Tahun 1882-1895) hanya diberlakukan satu nama Ibukota yaitu Singaraja untuk wilayah Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak disetujui dan untuk kemudian, ditetapkanlah
Bali Tempo Dulu
117
nama-nama Ibukota daerah tersendiri terhadap Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok. Berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsch - Indie Nomor 175 Tahun 1895, sampai seterusnya ditetapkanlah Singaraja dan Negara sebagai ibukota dari masing-masing Afdeling. Dengan demikian, sejak 15 Agustus 1895 berakhirlah nama satu ibu kota: Singaraja sebagai ibukota Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerahdaerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak itu pula dimulailah nama-nama Ibukota: Singaraja untuk Keresidenan Bali dan Lombok dan Daerah bagiannya di Afdeling Buleleng, serta Negara untuk Daerah Bagian Afdeling Jembrana. Munculnya nama-nama Jembrana dan Negara hingga sekarang, memiliki arti tersendiri dari perspektif historis. Rupanya nama-nama yang diwarisi itu telah dipahatkan pada lembaran sejarah di Daerah Jembrana sejak digunakan sebagai nama Kraton (Puri) yaitu Puri Gede / Agung Jembrana dan Puri Agung Negeri Negara. Oleh Karena Kraton atau Puri adalah pusat birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional, maka dapat dikatakan bahwa Jembrana dan Negara merupakan Kraton-kraton (Puri) yang dibangun pada permulaan abad XVIII dan permulaan abad XIX adalah tipe kota-kota kerajaan yang bercorak Hinduistik. Jembrana sebagai sebuah kerajaan yang ikut mengisi lembaran sejarah delapan kerajaan (asta negara) di Bali. Sejak 1 Juli 1938, Daerah (Afdeling, regentschap) Jembrana dan juga daerah-daerah afdeling (Onder-afdeling, regentschap) lainnya di Bali ditetapkan sebagai daerah-daerah swapraja (Zelfbestuurlandschapen) yang masing-masing dikepalai oleh Zelfbestuurder (Raja). Raja di Swapraja Jembrana (Anak Agoeng Bagoes Negara) dan Raja-raja di swapraja lainnya di seluruh Bali terlebih dahulu telah menyatakan kesetiaannya terhadap pemerintah Gubernemen. Anak Agung Bagoes Negara memegang tampuk pemerintahan di swapraja Jembrana secara terus-menerus selama 29 tahun meskipun terjadi perubahan tatanegara dalam sistem pemerintahan. Kepemimpinannya di Jembrana berlangasung paling lama dibandingkan dengan kepemimpinan yang dipegang oleh pejabat-pejabat pelanjutnya.Selama kepemimpinannya pula, dua nama yaitu Jembrana dengan ibukotanya Negara senantiasa terpateri dalam lembaran sejarah pemerintah di Jembrana, baik dalan periode Pendudukan Jepang (Tahun 1943-1945), peiode Republik Indonesia yang hanya beberapa bulan (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke periode bentuk Negara Indonesia Timur (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke periode bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tahun 1950-1958). Jabatan Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Jembrana untuk pertama kalinya dijabat oleh Ida Bagus Gede Dosther dari tahun 1959 sampai tahun 1967. Pada periode selanjutnya jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jembrana dijabat oleh Bupati Kapten R. Syafroni (Tahun 1967-1969); Pjs Bupati Drs. Putu Suasnawa (11 Maret - 30 Juni 1969); Bupati I Ketut Sirya (30 Juli 1969-31 Juli 1974); Pjs Bupati Drs. I Nyoman Tastra (31 Juli 1974 - 28 Juli 1975); Bupati Letkol. Liek Rochadi (28 Juli 1975 - 26 Agustus 1980); Bupati Drs. Ida Bagus Ardana (26 Agustus 1980 - 27 Agustus 1990); Bupati Ida Bagus Indugosa,S.H Selama dua kali masa jabatan (27 Agustus 1990 - 27 Agustus 1995 dan dari 27 Agustus 1995 - 27 Agustus 2000); Plt Bupati I Ketut Widjana, S.H (28 Agustus 2000 - 15 Nopember 2000), Prof.Dr.drg. I Gede Winasa menjabat sebagai Bupati Jembrana selama dua periode (15 Nopember 2000 10 Oktober 2010) dan I Putu Artha SE, MM. sejak 16 Februari 2011 sampai saat ini. Dapat dikatakan bahwa, sejak gelar "Bupati" yang mengepalai pemerintahan di Daerah Tingkat II Jembrana untuk pertama kali diberlakukan pada tahun 1959 sampai saat ini, nama "Negara" sebagai ibukota Daerah Kabupaten Jembrana tetap dilestarikan. Tradisi asli kabupaten jembrana ialah "MEKEPUNG"
Bali Tempo Dulu
118
SEJARAH TRADISI MEKEPUNG ; Makepung adalah tradisi bali sama seperti karapan sapi hanya saja makepu menggunakan hewan kerbau. Mekepu berasal dari kabupaten jembrana, bali. Makepung artinya berkejarkejaran inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai Bajak Lampit Slau. Atraksi Mekepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan Sais-nya berpakain ala prajurit Kerajaan di Bali zaman dulu yaitu memakai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan dipinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng (warna hitam putih). Makepung dibagi menjadi 2 wilayah (blok) yaitu blok barat(hijau), blok timur (merah). Saat ini mekepung di jadikan ajang perlombaan yang menarik. Berbeda dengan dulu saat ini pakaian joki makepung sudah berubah hanya menggunakan kaos berkerah lengan panjang, pengikat kepala dan celana panjang. Sistem pertandingan makepung sangatlah unik berbeda dengan karapan sapi yang di mainkan di lapangan yang datar. Makepung di mainkan di jalanan yang datar dan lebar yang relatif hanya muat 1 makepung. Sistem pertandingan makepung adalah apabila makepung yang di depan bisa menjaga jarak 10 meter dari makepung yang di belakang maka makepung depanlah yang menang dan apabila mekepung yang di depan tidak bisa menjaga jarak 10 meter dari makepung yang di belakang maka makepung belakanglah yang menang. Pesan moral yang dapat di ambil dari tradisi makepung adalah kerja keras, keberanian, dan kerjasama. Sumber : www.jembranakab.go.id/index.php?module=sejarah #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas # #KITLV#
Bali Tempo Dulu
119
Bali Tempo Dulu
120
Uang sebagai alat tukar yang sah diperkenalkan oleh belanda untuk mengganti sistem barter di indonesia ini sederetan uang jadoel tempo dulu yang mungkin bisa mengenang masa lalu kita atau mungkin bernostalgia.
Bali Tempo Dulu
121
Para gadis remaja bali yang sedang di foto oleh seorang belanda tahun 1930an
Suasana pasar tradisional karangasem bali tahun 1910an Napak sangat sederhana di kala itu,pasar di bali tempoe dulu yang lebih terkesan alami dengan hiruk pikuk aktifitas jual-belinya.
Bali Tempo Dulu
122
SEJARAH PURA GOA LAWAH DESA PESINGGAHAN Kec : DAWAN KLUNGKUNG,BALI INDONESIA. Foto tahun 1930 ~ 2013 PURA GOA LAWAH ADALAH SALAH SATU PENINGGALAN SEJARAH DAN DI LINDUNGI NEGARA DAN DIJADIKAN OBYEK WISATA YG INDAH TAPI APAKAH KALIAN TAHU SEJARAH PURA GOA LAWAH????? Dari ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan Jagat. Salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Pa Bhuwana menyebutkan
Bali Tempo Dulu
123
Pura Goa Lawah merupakan salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu? Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu. Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya. Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan. Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya. Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung. Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun? Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya. Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi, sangat jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang, siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun. Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan. Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku tentang ''Pura Goa Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati bersamaan dengan pujawali di Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang, diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut. Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan. Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai
Bali Tempo Dulu
124
saat ini dalam bentuk Desa Pakraman. Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa. Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanan dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun pasana yang notebena tempat bersthana para dewa. Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai. Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut. Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masingmasing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah. Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup. Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Pasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai
Bali Tempo Dulu
125
penguasa laut, atas pemberian amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut. BABAD PURA GUA LAWAH. Pura > Pura Kahyangan Jagad > Pura Gua Lawah Bhatara Tengahing Segara Ava divas tarayanti Sapta suryasya rasmayah. Apah samudrriya dharaah. (Atharvaveda VII.107.1). Maksudnya: Sinar tujuh matahari itu menguapkan secara alami air laut ke langit biru. Kemudian dari langit biru itu hujan diturunkan ke bumi. Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukumnya yang disebut rta. Matahari bersinar menyinari bumi. Air adalah unsur terbesar yang membangun bumi ini. Demikianlah sinar matahari dengan panasnya menyinari bumi termasuk air laut dengan sangat teratur. Itulah hukum alam ciptaan Tuhan. Air laut yang terkena sinar matahari menguap ke langit biru. Air laut yang kena sinar matahari itu menguap menjadi mendung. Karena hukum alam itu juga mendung menjadi hujan. Air hujan yang jatuh di gunung akan tersimpan dengan baik kalau hutannya lebat. Dari proses ala ciptaan Tuhan inilah ada kesuburan di bumi. Bumi yang subur itulah sumber kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Semuanya itu terjadi karena rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Alangkah besarnya karunia Tuhan kepada umat manusia. Itulah hutang manusia kepada Tuhan. Manusia akan sengsara kalau proses alam berdasarkan rta itu diganggu. Untuk menanamkan sikap hidup tidak merusak proses alam itulah Tuhan dipuja sebagai Dewa Laut. Dalam tradisi Hindu di Bali Tuhan sebagai Dewa Laut itu disebut ''Bhatara Tengahing Segara''. Di Bali Pura Goa Lawah merupakan Pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohonpohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup. Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ''Babading Dharma Wawu Anyeneng' yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun
Bali Tempo Dulu
126
saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja. Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur meteri menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia. Pujawali atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara. Oleh ; *Ketut Gobyah Sumber : gusregi.blogspot.com www.babadbali.com #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
127
Bersepeda melintasi persawahan di bali tahun 1971. Sejarah Onthel Sejarah sepeda lawas bermula di Eropa. Sekitar tahun 1790, sebuah sepeda pertama berhasil dibangun di Inggris. Cikal bakal sepeda ini diberi nama Hobby Horses dan Celeriferes. Keduanya belum punya mekanisme sepeda zaman sekarang, batang kemudi dan sistem pedal. Yang ada hanya dua roda pada sebuah rangka kayu. Bisa dibayangkan, betapa canggung dan besar tampilan kedua sepeda tadi. Meski begitu, mereka cukup menolong orang-orang – pada masa itu – untuk berjalan. Penemuan fenomenal dalam kisah masa lalu sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais. Von Drais yang tercatat sebagai mahasiswa matematik dan mekanik di Heidelberg, Jerman berhasil melakukan terobosan penting, yang ternyata merupakan peletak dasar perkembangan sepeda selanjutnya. Oleh Von Drais, Hobby Horse dimodifikasi hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Dengan mengambil tenaga gerak dari kedua kaki, Von Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Ia sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne. Beritanya sendiri dimuat di koran lokal Jerman pada 1817. Oleh Von Drais, Hobby Horse dimodifikasi hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan yang ternyata merupakan peletak dasar perkembangan sepeda selanjutnya. Dengan mengambil tenaga gerak dari kedua kaki, Von Drais mampu meluncur lebih cepat. Proses penciptaan selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada tahun 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada. Hobby Horses dan juga Celeriferes, belum punya mekanisme sepeda zaman sekarang, batang kemudi dan sistem pedal. Yang ada hanya dua roda pada sebuah rangka kayu.
Bali Tempo Dulu
128
James Starley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Ia memproduksi sepeda dengan roda depan yang sangat besar (high wheel bicycle) sedang roda belakangnya sangat kecil. Sepeda jenis ini sangat populer di seluruh Eropa. Sebab Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Sampai kini, kedua teknologi itu masih terus dipakai. Buntutnya, sepeda menjadi lebih ringan untuk dikayuh. Sayangnya, sepeda dengan roda yang besar itu memiliki banyak kekurangan. Ini menjadi dilema bagi orang-orang yang berperawakan mungil dan wanita. Karena posisi pedal dan jok yang cukup tinggi, mereka mengeluhkan kesulitan untuk mengendarainya. Sampai akhirnya, keponakan James Starley, John Kemp Starley menemukan solusinya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja pada 1886. Sepeda ini sudah punya rantai untuk menggerakkan roda belakang dan ukuran kedua rodanya sama. Namun penemuan tak kalah penting dilakukan John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Beragam bentuk sepeda berhasil diciptakan. Seperti diketahui kemudian, sepeda menjadi kendaraan yang mengasyikkan. Di Indonesia, perkembangan sepeda banyak dipengaruhi oleh kaum penjajah, terutama Belanda. Mereka memboyong sepeda produksi negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya alam Indonesia. Kebiasaan itu menular pada kaum pribumi berdarah biru. Akhirnya, sepeda jadi alat transport yang bergengsi. Pada masa berikutnya, saat peran sepeda makin terdesak oleh beragam teknologi yang disandang kendaraan bermesin (mobil dan motor), sebagian orang mulai tertarik untuk melestarikan sejarah lewat koleksi sepeda antik. Rata-rata, sepeda lawas mereka keluaran pabrikan Eropa. Angka tahunnya antara 1940 sampai 1950-an. Dan mereka sangat cermat dalam merawatnya.
Para pecinta ayam aduan di bali tahun 1912. Sedang berkumpul untuk melakukan kegiatan sabung ayam (Tajen) yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat bali jauh sebelum zaman penjajahan belanda.
Bali Tempo Dulu
129
SEJARAH PURA SAKENAN DESA ADAT SERANGAN DENPASAR SELATAN BALI,INDONESIA Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli. Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M). Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; ìÖsesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau.î Lalu disebutkan lagi, ìDalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini
Bali Tempo Dulu
130
Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara.î Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana. Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir. Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang. Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon ó sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan ó pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Pasana. Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana ó penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon. Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha. Sumber : www.denpasarkota.go.id/index.php/.../Pura-Sakenan #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas# #KITLV#
Bali Tempo Dulu
131
BABAD PURA SAKENAN. DESA ADAT SERANGAN DENPASAR SELATAN BALI,INDONESIA. Pura SakenanPura > Pura Kahyangan Jagad > Pura Sakenan Tempat Memohon Keselamatan
Bali Tempo Dulu
132
Umat Manusia di Dunia Upacara pujawali di Pura Sakenan dilaksanakan setiap enam bulan sekali setiap Sabtu Kliwon, Wuku Kuningan yang disebut juga Tumpek Kuningan. Pujawali yang sudah biasa dilaksanakan berupa meraramen, padudusan alit, dan padudusan agung. Besar-kecilnya pujawali sesuai dengan keputusan rapat (paruman). Seperti apakah sejarah Pura Sakenan itu? Dan, makna apa yang bisa dipetik dari pendirian Pura Sakenan itu? Berdasarkan Purana Pura Sakenan yang disusun oleh Tim Dinas Kebudayaan Bali, bahwa di Pura Sakenan ini dulu sebagai tempat krama subak mohon berkah Tuhan. Di mana, Pura Sakenan tempat mereka memohon kesejahteraan hidup. Memohon agar segala macam penyakit yang merusak tanaman di sawah atau ladang agar dilenyapkan. Disebutkan dalam purana itu bahwa Hyang Sakenan menjaga walang sangit dan Hyang Masceti menjaga tikus agar tidak merusak sawah dan ladang petani. Dan, ini harus diingat. Bagaimana dengan sekarang? Sawah dan ladang petani di sekitar wilayah Sakenan tidak berfungsi lagi. Yang berkembang justru pariwisatanya. Yang menjadi sawah dan ladang penduduk di sana pariwisatanya dengan mengembangkan wisata bahari. Karena itu, para pelaku pariwisata diharapkan memohon kesejahteraan hidup di Pura Sakenan, agar objekobjek wisata seperti Sanur, Kuta, Nusa Dua, dan Denpasar bisa aman. Jika pelaku wisata memohon kesejahteraan dengan tulus, niscaya tidak ada lagi kelompok teroris yang mengacaukan pariwisata Bali. Kelompok teroris itulah kini diibaratkan walang sangit dan tikus-tikus di sawah. Oleh karena itu, hanya memohon kepada-Nya niscaya ''tikustikus'' tidak mengganggu pariwisata Bali. Sudahkah hal itu dilakukan? Jawabannya pada umat. Sejak zaman dulu Hyang Maharesi Markandya membangun serta menata keberadaan desadesa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan permohonan kesejahteraan hidup itu, menyebabkan segala jenis tumbuhan yang ditanam, baik yang ditanam di tegalan maupun sawah semuanya tumbuh dengan subur. Itulah yang menyebabkan para pengikut beliau sangat taat dan sama-sama menciptakan kesejahteraan, semuanya bersatu dan hormat kepada Sang Dwijaswara. Oleh karena demikian asal-usulnya Sakenan itu, maka disebut juga Sad Kahyangan. Dibolehkan menggunakan candi bentar dan candi kurung. Adapun pakelem/padagingan candi kurung di puncak dan di dasarnya. Sarananya emas mirah dan selaka. Sementara sesuaran/tulisan pada pripihan-nya. Saat beliau mengawali membangun Pura Sakenan, berdasarkan ketentuan patut diaturkan saji hyasan, segehan agung selengkapnya. Patut miasa 21 kali. Itulah yang patut diketahui bila membangun bangunan untuk Batara Sakenan. Bila dilanggar menyebabkan kacau seluruh negara (jagat). Oleh karena itu, tak boleh sembarangan membangun pelinggih. Sebab, orang-orang suci membangun tempat suci, bentuk bangunan, dan perlengkapannya berdasarkan hasil meditasi. Ada juga disebutkan, Pura Sakenan termasuk salah satu Sad Kretiloka. Disebut sebagai simbol dari Sad Darsana. Disebut Sad Kretih yaitu Atma Kretih, Samudra Kretih, Wana Kretih, Jagat Kretih dan Jana Kretih. Pura Sakenan sendiri disebut Samudra Kretih. Sakenan itu sebagai tempat pemujaan Ida Hyang Dewa Biswarna atau Baruna. Beliau benar-benar sebagai penjaga Segara Pakretih (ketenangan lautan/samudera) untuk keselamatan dunia, menghilangkan segala jenis rintangan di dunia, dan segala jenis penyakit dan menyucikan segala jenis kala, bhuta dan manusia, dan berbagai jenis penyakit. Demikianlah yang disebutkan di dalam sastra. Oleh karena itu, bagi umat Hindu janganlah melanggarnya. Pura Sakenan adalah tempat yang sangat suci dan tempat memohon keselamatan seluruh
Bali Tempo Dulu
133
dunia. Tempat pemujaan beliau didirikan di tepi laut selatan di wilayah Desa Serangan. Bangunan suci parahyangan itu dinamakan Parahyangan Dalem Sakenan (Pura Dalem Sakenan) sebagai tempat berstananya Hyang Sandhijaya. Mengapa dinamakan Dalem Sakenan? Karena memang titah dari Batara yang memberikan petunjuk pada saat beliau memilih pulau-pulau kecil di laut selatan. Di tempat itulah dibangun Pura Sakenan karena sebagai perintah melalui suara-suara gaib (sabda) Ida Batara. Pura Dalem Sakenan merupakan stana Hyang Sandhijaya juga disebut Tatmajuja, selalu menjaga ketenangan lautan (segara pakreti), penyelamat dunia dam merayascita segala macam kala bhuta, manusia dan segala jenis penyakit, menghilangkan segala jenis bencana di dunia. Sejarah Pura Sakenan juga tak bisa lepas dari perjalanan orang-orang suci seperti Danghyang Nirarta, Empu Kuturan, dll. Dulu, pada saat pembangunan Candi Sekar Kancing Gelung, orang-orang yang ada di Serangan dan di sekitarnya dengan semangat untuk ngaturang ayah. Mereka bersatu dan semuanya memohon kesejahteraan hidup. Adapun orang yang ada di sekitar Serangan saat itu antara lain berasal dari Intaran, Suwung, Kepaon, Pemogan, Kelan, Jimbaran, Panjer, Dukuh Siran dan banyak lagi. Pura Sakenan berkonsep swamandala terdiri atas pelinggih-pelinggih dan bangunanbangunan yang ada di dalamnya. Pura Sakenan terdiri atas dua pelebah yaitu Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan/Penataran Agung Sakenan. Pura Sakenan mempunyai tiga halaman (trimandala): utama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Masing-masing halamam dibatasi oleh tembok keliling lengkap dengan kori agung, apit lawang dan bebetelan. Pada puncak kori agung dipahatkan hiasan kepala kala. Di dalam utama mandala terdapat sejumlah pelinggih seperti candi, bale tajuk, bale pesandekan, dan apit lawang. Di depan Candi Kurung yang menghubungkan utama mandala dan madya mandala terdapat dua buah arca Ganesha yang mengapit Candi Kurung. Madya mandala ini seluruhnya dikelilingi oleh tembok penyengker lengkap dengan Candi Bentar pada sisi sebelah baratnya dan petetesan pada sisi utara dan timurnya. Di nista mandala hanya berupa halaman kosong. Bangunan pelinggih yang ada di utama mandala yakni bebatuan berupa Pa Capah stana Ida Batara Masjati, juga sebagai pemujaan Jro Dukuh Sakti. Meru Tumpang Tiga stana Batara Batur, Intaran, Ida Batara Muter. Gedong Jati stana Ida Ratu Ayu, Gedong (Tajuk) stana Batara Buitan dan Batara Muntur. Ada pula bale gede atau bale paruman fungsinya sebagai tempat pesamuan para pemangku, dan juga tempat penyucian pratima Ida Batara dan tempat para sulinggih dan para raja pada saat ada upacara pujawali. Diceritakan bahwa keturunan Ida Batara Sakti Pemecutan yang bertahta di Puri Pemecutan, semuanya sudah mendapat kedudukan dan sekaligus mendapat tugas menjadi penganceng, pengempon yang berada di wilayah Kerajaan Badung. Puri Agung Kesiman ditugasi sebagai pengempon Pura Sakenan, Puri Oka Denpasar pengempon Pura Susunan Wadon dan Pura Batu Tegeh. Puri Agung Jro Kuta pengempon Pura Uluwatu, Puri Kaler Kawan pengempon Pura Geger dan Pura Pucak Tedung, Puri Denpasar pengempon Pura-pura lainnya yang ada di wilayah Jembrana dan Bukit dan Puri Langon pengempon Pura Peti Tenget. Maka mulai saat itu Puri Agung Kesiman menjadi penganceng/pengempon Pura Sakenan sampai sekarang. (sut)
Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau
Bali Tempo Dulu
134
kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli. Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M). Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempattempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; "...sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau." Lalu disebutkan lagi, "Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara." Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana. Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir. Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang. Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon -- sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan -- pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Pasana. Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon,
Bali Tempo Dulu
135
Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana -- penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon. Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha Sumber : www.babadbali.com › Pura › Pura Kahyangan Jagad #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV#
PURI AGUNG PEMECUTAN DENPASAR. Foto ; raja badung ke X dari puri pemecutan yang memerintah di tahun 1947. "IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN" Sejarah Puri Pemecutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Arya Damar dan Sejarah Puri Tabanan di Bali. Keberadaan Puri Pemecutan berkaitan dengan sejarah Majapahit dan Kerajaan Bedulu di Bali RAJA PEMECUTAN X IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN / KIYAYI ANGLURAH PEMECUTAN X Pada tanggal 28 Oktober 1939 Purnama kelima Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan abiseka Ratu menggantikan Raja Pemecutan IX yang gugur pada peristiwa heroik Puputan Badung pada hari kamis kliwon wara ukir tanggal 20 September 1906 jam 16.00 wita. Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan sebagai penguasa wilayah Badung tahun 1947 Kisah Bayi Dalam Perang Puputan Badung Raja Pemecutan IX mempunyai 3 orang saudara dari lain ibu yaitu : Kyahi Ngurah Putu (Menjabat sebagai Patih Agung) Kyahi Ngurah Made
Bali Tempo Dulu
136
Kyahi Ngurah Rai Kyai Ngurah Ketut/ Bima Dalam perang puputan tersebut semua Saudara beliau gugur sebagai seorang kesatria demi membela tanah Badung agar tidak jatuh ketangan Belanda. Salah seorang Saudara beliau yaitu Kyahi Ngurah Rai mengambil istri dari Jero Grenceng yaitu Anak Agung Ayu Oka yang merupakan anak kandung dari Kyahi Agung Putu Gde lahir seorang bayi yang baru berumur 3 bulan. Bayi tersebut ditemukan terbaring dan menangis disamping jenazah ibunya yaitu Kyahi Agung Ayu Oka yang turut serta gugur mendampingi suaminya Kyahi Ngurah Rai dalam perang puputan tersebut. Bayi yang masih berusia 3 bulan tersebut diselamatkan oleh bibinya yaitu Anak Agung Kompyang Raka untuk dibawa ke Geria Tegeh Bindu Kesiman. Adapun pertimbangannya dibawa kesana karena disana ada keluarga dekatnya yaitu Anak Agung Made Oka yang merupakan putri dari Anak Agung Made Banjar dari Jero Grenceng juga sedang menyusui . Bayi ini dipelihara dan diasuh oleh Ida Putu Grodog hingga berusia lima tahun. Setelah keadaan dirasa sudah aman maka bayi tersebut dikembalikan lagi untuk selanjutnya diasuh oleh kakek dan pamannya di Jero Grenceng. Bayi tersebut kemudian diberi nama Kyahi Ngurah Gde Pemecutan. Menurut sesepuh Jero Grenceng, Kyahi Ngurah Gde Pemecutan setelah berumur 20 tahun pindah dari Jero Grenceng ke Jero Kanginan. PENOBATAN COKORDA PEMECUTAN X Setelah Perang puputan Badung terjadi kekosongan pemerintahan selama beberapa tahun di Puri Pemecutan, kemudian atas prakarsa keluarga besar Puri Agung Pemecutan dan Warga Ageng Pemecutan dan untuk melestarikan budaya leluhur terdahulu maka dicarilah kandidat untuk diangkat sebagai Cokorda Pemecutan ke X. Kyahi Ngurah Gde Pemecutan merupakan keponakan dari Cokorda Pemecutan IX , dalam Perkembangannya karena Raja Pemecutan IX hanya meninggalan seorang Putri yaitu Anak Agung Sagung Ibu maka berdasarkan hasil Musyawarah Keluarga Puri Agung Pemecutan kemudian memutuskan untuk mengangkat Kyahi Ngurah Gde Pemecutan sebagai Keluarga terdekat dari Raja Pemecutan IX dari Jero Kanginan sebagai Raja Pemecutan X dengan gelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan. Sebagai wakil beliau ditetapkan kakak belaiu dari lain ibu yang berasal dari Desa Munggu yang bernama Kiyayi Agung Gede Lanang Pemecutan/ Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Beliau sebagai kakak beradik menampakkan kehidupan yang rukun dan selalu merundingkan berbagai permasalahan untuk dicarikan jalan pemecahannya sehingga masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau. PEMBANGUNAN PURI AGUNG PEMECUTAN YANG BARU Karena Puri Pemecutan yang lama telah hancur dan yang tersisa hanya bale kulkul di sebelah selatan puri maka Jero Kanginan yang berlokasi tepat di depan Puri Pemecutan yang lama (disebelah Timur) direhab untuk dijadikan Puri Agung Pemecutan yang baru. Bangunan bangunan di Puri Yang lama seperti Pemerajan Agung dipindahkan ke puri yang baru dan dibuatkan upacara Ngeteg Linggih pada tahun 1966. Sebagai Arsitek pembangunan puri tersebut yaitu Anak Agung Made Gde dari Jero Grenceng. Pada Mandala puri baik saren daje maupun saren kelod juga dibangun (pawongan) puri
Bali Tempo Dulu
137
seperti saren daje, saren delod, saren dangin, saren dauh, bale bali tradisional, begitu pula bale lantang sama seperti di Jero Grenceng. Pada (palemahan) Puri Agung Pemecutan bagian dari Tri Mandala dibangun Kori Agung dan bhetelan sebagai bagian dari bangunan puri untuk keluar masuk sehari hari. Begitu pula candi bentar menghadap ke barat sebagai gerbang utama Puri Agung Pemecutan yang baru. KETURUNAN IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN X Istri ke I ( A.A Biyang Putu Raka ) Putri dari Kiyahi Lanang Kepaon - Jero Batanmoning tidak mempunyai keturunan Istri ke II ( A.A. Biyang Raka ) dari Jero Kelodan Peken Pasah tidak mempunyai keturunan Istri ke III ( A.A. Sagung Ibu ) Putri dari Raja Pemecutan IX yang merupakan misan kepurusa tidak mempunyai keturunan namun mengangkat anak dari Istri ke V yaitu A.A Ngurah Mayun Parwaka Istri ke IV ( A.A. Biyang Made Rai ) putri dari Kiyahi Lanang Tanjung mempunyai anak 4 orang : A.A. Ngurah Manik Parasara (Dinobatkan sebagai Raja Pemecutan XI) A.A. Sagung Parasari A.A. Sagung Mirah Pranyadari A.A. Sagung Putri Paraniti Istri ke V ( A.A. Biyang Ketut Adi ) Putri Kiyahi Lanang Ketut Meregan dari Jero Pasah Pemedilan mempunyai 8 orang putra : A.A. Ngurah Gede Parasurama A.A. Ngurah Rai Parwata A,A, Sagung Bintang Paranawati A.A. Ngurah Putra Pranayama A.A. Ngurah Ketut Parwa A.A. Ngurah Putu Pranacita A.A. Ngurah Agung Gde Parmadi A.A. Ngurah Alit Parasuwanta Istri ke VI ( A.A. Biyang Ketut Rai ) Putri Kiyahi Lanang Kedisan dari Jero Pemedilan mempunyai 4 orang putra : A.A. Ngurah Alit Partiwa A.A. Ngurah Oka Partayadnya A.A. Sagung Bulan Partiwi A.A. Ngurah Parikesit Istri Ke VII ( A.A Biyang Oka ) Putri Kiyahi Lanang Kerobokan dari Jero Kerobokan Kajanan mempunyai putra 5 orang : A.A. Ngurah Bagus Paramarta A.A. Sagung Putra Paramawati A.A. Sagung Alit Parmita A.A. Ngurah Made Parwata A.A. Sagung Istri Parcinti Istri ke VIII ( A.A. Sagung Oka ) Putri Kiyahi Made Tegal dari Jero Ukiran mempunyai putra 1 orang : A.A. Ngurah Agung Paranaraga IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN DALAM PERANG KEMERDEKAAN Tanggal 30 September 1927 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan Magang di Kantor Asisten Residen di Denpasar, kemudian diangkat menjadi juru tulis Pembantu di Kantor yang sama. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengadakan pertemuan dengan I Gusti Ngurah Rai, I Made Wijayakusuma dan I Gusti Putu Merta membahas kesewenang wenangan Jepang Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan dan I Gusti Putu Merta memperkenalkan I Gusti Ngurah
Bali Tempo Dulu
138
Rai dan I Made Wijayakusuma kepada Letnan Hera Uei wakil serei Angkatan Laut Jepang Sunda Kecil di Denpasar Tanggal 23 Agustus 1945, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung mendukung terbentuknya Republik Indonesia dan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pimpinan pasukan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Tanggal 14 Desember 1945 bertempat di Puri Kesiman, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung, I Gusti Ngurah Rai, Ngurah Wisnu, Sudiaryo Joko, I Gusti Ngurah Pidha, Ida Bagus Anom Ngurah, Tiaga, Pugeg, Punggawa Kesiman, Guru Reta, Les Subroto Aryo Mataram dikurung tentara Jepang. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan berkata bahwa penyerangan terhadap Ringsitai Jepang sedikit sekali hasilnya berupa senjata, sekarang kita harus perang habis habisan dengan tentara Jepang. Tanggal 8 April 1946 bertempat di desa Pagutan, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta dan I Gusti Ngurah Rai mengadakan rapat untuk pelaksanaan Serangan Umum di Kota Denpasar. Tanggal 10 April 1946 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama pengiring beliau ikut serta dalam serangan Umum Kota Denpasar. Ida Bagus Japa (Kakak Prof Dr Ida Bagus Mantra Gubernur Bali) gugur dalam pertempuran. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan ditangkap pasukan Nika dibawah pimpinan Letnan Jon Yoseph. beliau diintograsi selama 3 jam di penjara Pekambingan Denpasar untuk selanjutnya ditahan selama 8 hari sebagai tahanan politik, namun atas desakan masyarakat beliau dibebaskan kembali. Juli 1946 I Gusti Ngurah Rai menitipkan istrinya yaitu Desak Putu Kari dan 3 putranya kepada Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan untuk tinggal di Puri Pemecutan. Adapun Tiga putra I Gusti Ngurah Rai yaitu I Gusti Ngurah Gde Yudana (4 Th) I Gusti Ngurah Tantera (2 Th) dan I Gusti Ngurah Alit Yudha (2 bln). Upacara 3 bulanan dan Otonan (6 bln) I Gusti Ngurah Alit Yudha dilaksanakan di Puri Pemecutan. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus orang kepercayaan beliau yaitu A.A. Kompyang Candri untuk memberi bantuan logistik kepada I Gusti Ngurah Rai. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus Ketut Tugir untuk mengadakan hubungan dengan I Gusti Ngurah Rai, namun utusan ini tertangkap di daerah sengkidu sehingga komunikasi antara Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan dengan I Gusti Ngurah Rai menjadi terputus. Tanggal 21 Nopember 1946 pagi harinya ajudan Sibler dari pasukan Nica memberitahukan Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bahwa I Gusti Ngurah Rai sudah gugur pada perang puputan Margarana tanggal 20 Nopember 1946. Tanggal 21 Nopember 1946, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama A.A. Kompyang Candri dan para pejuang lainnya menuju desa Behe untuk menjemput jenazah pahlawan kemerdekaan I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Bagus Sugianyar. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta bertemu dengan Menteri dalam Negeri N.I.T yaitu A.A. Gde Agung mendesak agar segera diadakan aksi untuk keluar dari cengraman pengaruh Belanda dan mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta mengecam kepergian A.A. Gde Agung ke PBB mewakili pemerintah Belanda melawan Indonesia, namun dibantah oleh A.A. Gde Agung bahwa kepergiannya hanya sebagai tourist dan tidak turut dalam perdebatan dan pembicaraan di PBB mengenai Indonesia. Tanggal 1 Mei 1947 Cokorda Alit Ngurah dari Puri Satria pensiun sebagai Raja Badung dan digantikan oleh Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan sebagai Raja Badung
Bali Tempo Dulu
139
Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali Foto bale banjar di bali tahun 1900 Koleksi Tropen museum Sekilas tentang Banjar di Bali Kata Banjar di Bali, sudah dikenal dari jaman dulu yang hanya mengurus masalah irigasi atau pengairan sawah yang dikenal dengan subak, karena maklum pada saat sebagaian besar penduduk mengandalkan mata pencaharian sebagai petani, beda dengan sekarang Bali yang menjadi daerah wisata dan seiring dengan perkembangan jaman, banjar memiliki fungsi yang lebih luas, yaitu untuk mengurus surat-surat istrasi pemerintahan seperti membuat KTP, Kartu Keluarga, kipem (untuk penduduk pendatang) dan untuk pendaftaran anak sekolah di tingkat sekolah dasar terutama untuk wilayah Kodya Denpasar. Sistem pemerintahan tingkat bawah ini persis seperti RT/RW. Di bawah banjar ini
Bali Tempo Dulu
140
masih ada lagi, kelompok-kelompok kecil yang dinamakan tempekan atau banjar tempekan. See more at: http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-dibali.html#sthash.qdRULvCO.dpuf Bale banjar di Bali Menurut fungsi, di Bali ada 2 jenis banjar, yaitu Banjar Dinas dan Adat. Banjar Dinas fungsinya untuk urusan pemerintahan, pembagian wilayah istratif di bawah Kelurahan atau Desa ini di kepalai oleh Kelian Dinas atau Kepala Lingkungan, setingkat dengan RT/RW, bedanyana nama identitas dari RT/RW memakai nomer angka, sedangkan Banjar memakai nama seperti Banjar (sering disingkat dengan Br.) Br. Ekasila, Br. Legian Kaja, Br. Titih, Br. Muding Mekar, Br. Gede dan banyak-banyak lagi yang lainnya. Satunya lagi Banjar Adat, fungsinya untuk urusan adat seperti dalam upacara agama di Purapura yang ada di desa bersangkutan, upacara perkawinan, ada kematian warga terutama yang beragama hindu. Banjar adat ini dikepalai oleh Kelian Adat, yang sifatnya sosial (tanpa gaji bulanan, seperti kelian Dinas), sebagai pengaman dinamakan pecalang, yaitu polisi adat yang terdidri anggota masyarakat setempat yang berfungsi mengatur keamanan saat upacara agama berlangsung. Banjar atau bale banjar ini memang memiliki fungsi penting di tanag Dewata ini, selain untuk balai pertemuan warga yang berfungsi juga untuk lebih mengenal satu warga dengan warga lainnya. Dipakai juga untuk kegiatan posyandu, sebagai tempat pelestarian seni seperti seni tari ataupun gamelan, kegiatan ibu-ibu PKK, kegiatan mudamudi, utsaha dharmagita, bahkan bisa dipinjam untuk kegiatan upacara seperti tempat ngaben ataupun pesta pernikahan. Pada saat pemilu bale banjar digunakan sebagai tempat pemungutan suara (TPS). Banjar merupakan warisan leluhur yang patut terus dijaga. Dengan adanya banjar, ada juga ikatan kepada semua warga yang sewaktu-waktu dijadikan tempat pertemuan masyarakat, sehingga menimbulkan kedekatan sesama warga. Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali Dikaji dari sudut ilmu sejarah, asal-usul keberadaan banjar sulit untuk diketahui secara jelas sejarahnya. Namun dari cerita-cerita legenda dan cerita-cerita rakyat di bali dapat diyakini kebenarannya. Banjar, pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama hindu. - See more at: http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-dibali.html#sthash.qdRULvCO.dpuf Maka sulit untuk menemukan data-data mengenai sejarah banjar ini, meskipun segala sesuatunya itu masih harus dilihat dari sudut ilmu sejarah. Istilah banjar telah dikenal pada jaman prasejarah bali. Pada tahun 836 caka atau 914 masehi dalam prasasti gobleg pura desa yang berbahasa bali kuno. Pada prasasti itu disebutkan "......ser tunggalan banjar di indrapura." yang artinya "....pengawasan bersama tunggalan untuk lingkungan atau kelompok di indrapura." Salah satu bukti yang mendukung sejarah banjar di bali Adanya suatu cerita yang terdapat dalam lontar Maharsi Markandya sebagai bukti yang mendukung sejarah banjar di bali. Cerita itu di antara lain isinya sebagai berikut : Seorang Maharsi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), melakukan perjalanan ke Bali bersama 500 orang pengikutnya, dengan maksud untuk perambahan hutan yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat pemukiman/tempat tinggal. Mereka bermula tiba di Taro, yakni wilayah Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar (Sekarang). Di sini (Taro) mereka mula-mula perambahan hutan dilakukan. Namun usaha Maharsi Markandya tidak berhasil oleh karena banyak banyak diantara pengikut Maharsi Markandya menderita sakit, diserang binatang-binatang buas, dan diantara pengikutnya meninggal dunia. Kegagalan Maharsi Markandya bersama pengiringnya tidak menjadikan keputus asaan. Maharsi Markandya kembali melakukan upacara ritual (Bertapa) di Gunung Raung hingga beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat lagi ke Bali bersama para pengikutnya yang masih hidup. *Namun kedatangan yang kedua kalinya di Bali ini, Maharsi Markandya terlebih dahulu melakukan upacara ritual Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya. Beliau menanamkan lima jenis logam pelengkap upakara yadnya, pada suatu tempat di kaki Gunung Agung, sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah selesai Bhuta Yadnya, beliau beserta pengiringnya menuju
Bali Tempo Dulu
141
Taro, yang kemudian pekerjaan perambasan hutan dilanjutkan kembali. Alhasil, pembukaan hutan berjalan dengan baik, yang selanjutnya beliau melakukan pembagian lahan garapan dan pemukiman kepada pengikutnya. Tempat beliu mengadakan pembagian tanah itu sekarang dikenal dengan nama Desa Puakan, yang terletak di sebelah utara Desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan berasal dari kata Piakan, yang artinya pembagian. Pada perkembangan sejarahnya, keturunan dari para pengikut Maharsi Markendya ini, menyebar luaskan tempat-tempat pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya. Perluasan tempat tinggal baru (Pemukiman) antara lain : Desa Pelaga, Desa Trunyan, Desa Batur, Desa Beratan, Desa Cempaga, Desa Sembiran, Desa Gobleg, Desa Tigawasa, dan masih banyak lagi perluasannya yang hampir semuanya terletak di daerah pegunungan. Maharsi Markandya seseorang penganut ajaran Hindu. Sebagai seorang Pendeta, beliau dikenal kesucian dan kebijaksanaannya. Dikalangan umat Hindu, beliau juga diperkirakan sebagai pencipta sistem pengairan disawah, sekarang dikenal dengan nama "Subak". Pada Garis besarnya, cerita diatas dianggap sebagai awal asal-usul satu bukti yang mendukung sejarah Banjar di Bali. - See more at: http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-dibali.html#sthash.qdRULvCO.dpuf #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #KITLVLAIDEN#AdatBudaya#SeniBali#
OM SWASTIASTU Suksema atur tyang majeng ring semeton sami sane sampun ngemiletin album bali tempo duloe sane karyanang tyang,dumogi je presida dados genah melajah,lan dados bekel utawi ilmu sane meguna ring pedewekan irage soang-soang,seantukan sejarah gumi irage ring bali patut irage nawang mangde mani puan presida ke caritayang majeng ring pianak cucu irage sareng sami.selantur nyane indik foto-foto bersejarah utawi lawas sane unggah tyang puniki makasami langsung ke panggihin tyang uling "TROPEN MUSEUM " Belanda,www.sejarahbali.com,situs resmi pemerintahan sebali lan internet.ainggih asapunika atur piuning tyang dumogi je sangkaning pasuwece hyang prama kawi irage state
Bali Tempo Dulu
142
rahayu,langgeng menyame braya.kirang langkung yening wenten iwang,tyang nunas kritik utawi saran semeton sinareng sami.ngiring sareng-sareng melajahang sejarah gumi baline.suksema atur tyang majeng ring semeton sami dumogi state rahajeng lan rahayu irage ring bali. OM SANTI SHANTI SHANTI OM.
Peken payuk atau pasar priyuk Yang sekarang lebih di kenal dengan pasar badung. Dulu pasar badung adalah pasar yang menjual semua hasil kerajinan tangan dari tanah liat yang di hasilkan masyarakat. Selain itu juga banyak hasil kerajinan lain yang di jual di pasar badung tempo dulu.dan kini pasar ini menjadi pasar moderen yang sangat ramai bukan hanya kerajinan tangan saja yang dijual saat ini di pasar badung tapi beraneka ragam keperluan sehari-hari dan keperluan upacara keagamaan,pasar badung adalah pasar tersibuk di tengah KOTA DENPASAR.
Bali Tempo Dulu
143
Bali Tempoe Duloe June 26, 2015 · Edited ·
Bali Tempo Dulu
144
Jembatan unda klungkung bali Jembatan yang di bangun dari jaman Penjajahan hindia belanda ini menghubungkan klungkung dan karangasem di bali timur Dan kini di sekitar jembatan ini adalah salah satu tempat untuk foto pernikahan tepatnya di sungai unda klungkung tempat yang baik & romantis bagi para fotografer yang menjadi kan sungai unda yang indah ini sebagai latar belakang foto mereka. Jadi jika berkunjung ke bali jangan lupa mampir ke sungai unda kabupaten klungkung. Sumber : balitempoeduloe Foto : TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #KLUNGKUNG#BALI#WIKIPEDIA#
OBYEK WISATA BALI. HUTAN SANGEH KABUPATEN BADUNG BALI,INDONESIA. Sangeh adalah sebuah tempat pariwisata di pulau Bali yang terletak di Desa Sangeh,Kecamatan Abiansemal,Kabupaten Badung, Bali. Sangeh terkenal karena ini merupakan sebuah desa di mana monyet-monyet(beruk)
Bali Tempo Dulu
145
berkeliaran dengan bebas dan di keramatkan oleh penduduk setempat di sebuah hutan. Di tengah hutan ada pula sebuah pura yang bernama Pura Bukit Sari.Pura ini dibangun oleh Kerajaan Mengwi dan sekarang diserahkan ke penduduk setempat. Monyet di sini memiliki raja dan konon memiliki tiga wilayah kerajaan. Menurut legenda,adanya Pura Bukit Sari di hutan ini diceritakan secara mitologis dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak dia maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam. Ketika perjalanan baru sampai di Sangeh, telanjur ada penduduk yang melihat perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan pelinggih. Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Pura Besakih di lereng Gunung Agung itu tergolong Pura Purusa atau sebagai jiwa dari Pulau Bali. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sangeh #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV#
Bali Tempo Dulu
146
Bali Tempo Dulu
147
Bali Tempo Dulu
148
Suasan jalan pedesaan di bali tempo dulu Terlihat masyarakat yang berjalan membawa hasil sawah Jalanan terlihat sepi,dan sangat natural,seperti ini lah bali tempo dulu. Jauh dari kebisingan seperti saat ini. Tetepi apapun itu kita wajib menjaga warisan leluhur kita. Dan juga wajib melestarikan semua yang di warisi. agar tidak terkikis dan punah oleh perkembangan jaman.
Bali Tempo Dulu
149
PURA ULUN DANU BATUR DESA KALANGANYAR Kec : KINTAMANI BANGLI,BALI INDONESIA
Bali Tempo Dulu
150
FOTO : 05/06/1912 Koleksi tropen museum Pura Ulun Danu Batur di Kintamani adalah pura yang dianggap paling penting kedua di Bali setelah Pura Besakih. Oleh karenanya, apabila Anda mengunjungi kawasan wisata Batur sempatkanlah singgah ke pura yang memiliki sejarah dan sakral bagi masyarakat Hindu Bali ini. Pura ini menjadi tempat ibadah bagi lima puluh enam desa di Bangli, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya. Dalam upacara keagamaan dan adat, desa-desa tersebut wajib menyediakan bahan yang dibutuhkan dalam upacara (atos).
Pura Ulun Danu Batur terletak di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut tepatnya di Desa Kalanganyar, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Berlatar belakang pemandangan Gunung Batur lengkap dengan lava hitamnya yang mengeras serta Danau Batur di kaki gunungnya, Pura Ulun Danu Batur berdiri anggun menghadap ke bagian Barat. Keindahan alam pegunungan Batur dan hijaunya kawasan Kintamani seolah menjadi latar sempurna berpadu dengan kesakralan pura yang sempat berpindah lokasi ini.
Pembangunan Pura Ulun Danu Batur ditujukan untuk memuja Dewi Batari Ulun Danu, dewi danau dan sungai. Ulun Danu sendiri bermakna penguasa danau. Salah satu nilai universal dari diadakannya upacara pemujaan di pura ini adalah adanya pesan untuk menjaga kelestarian air dan hutan di Bali Kawasan di sekitar pura (Gunung Batur dan sekitarnya) disebut-sebut sebagai kawasan resapan air di Bali. Oleh karenanya, kelestariannya harus dijaga mengingat kerusakan di daerah resapan air tersebut akan berakibat buruk tidak hanya bagi Kintamani tapi juga bagi Bali secara keseluruhan.
Awalnya Pura Ulun Danu Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Letusan dasyatnya pada tahun 1917 memakan korban ribuan nyawa dan menghancurkan desa namun cukup mencengangkan tidak menyentuh pura ini. Tahun 1926, Gunung Batur kembali meletus dan sekali lagi menghancurkan dan mengubur Desa Batur dan juga Pura Ulun Danu Batur dengan hanya menyisakan satu pelinggih tertinggi. Pelinggih tersebut oleh penduduk setempat digunakan lagi untuk membangun kembali pura dan desa mereka di tempat yang lebih tinggi, yaitu di Desa Kalanganyar dan bertahab sampai sekarang.
Ada banyak catatan mengenai sejarah dan versi cerita yang melatari keberadaan pura yang berdiri anggun di tepi jalan Kintamani ini. Diantaranya adalah sejarah Pura Ulun Danu Batur yang termuat dalam Babad Pasek, ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi. Selain itu kisah tentang pura ini juga termaktub dalam Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa dan juga Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II (disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk) juga menuliskan tentang sejarah pura ini.
Pada dasarnya Pura Ulun Danu merupakan kompleks meliputi 9 pura yang berbeda, terdiri dari 285 pelinggih dan tempat persembahan yang didedikasikan bagi dewa dewi air, pertanian, sumber mata air suci, seni, dan lainnya.
Bali Tempo Dulu
151
Berikut adalah penjelasan tentang beberapa bangunan di kompleks pura tersebut.
Pura Penataran Agung Batur adalah pura utama yang memiliki 5 halaman. Pelinggih tertinggi adalah meru terletak di bagian paling sakral di kompleks pura. Pelinggih ini adalah ditujukan untuk memuja sang dewi danau, Dewi Batari Ulun Danu. Terdapat pula 3 pelinggih beratap 9 lapis yang dimaksudkan bagi dewa Gunung Batur, Gunung Abang, dan Ida Batara Dalem Waturenggong, seorang raja dari Dinasti Gelgel (1460-1550. Meru beratap 3 lapis didedikasikan untuk Ida Ratu Ayu Kentel Gumi yang menjaga bahan pangan dari serangan hama.
Penataran Pura Jati berkaitan dengan pura sumber yang terletak di sebelah Barat Danau Batur. Pura Tirta Bungkah dimana mewakili sumber air panas yang muncul dari danau. Pura Taman Sari dan Pura Tirta Mas Mampeh adalah pura yang berhubungan dengan kegiatan pertanian. Pura Sampian Wangi adalah pura bagi kerajinan tangan seperti menenun, menjahit, pembuatan sesajen, dan sajian upacara adat. Pura Gunarali adalah tempat bagi para remaja lelaki dan perempuan memanjatkan doa. Pura Padang Sila memiliki 45 batu pelinggih bagi para dewa dan dewi Pura Ulun Danu Batur. Pura Tuluk Biyu adalah pura yang direlokasi dari lereng sebelah Selatan Gunung Abang.
Di Pura Ulun Danu Batur terdapat gong gede yang hanya dimainkan saat perayaan untuk memperingati relokasi pura. Upacara tersebut dinamakanNgusaba Kedasa dan dilaksanakan setiap tahun pada malam purnama sasih kedasa (purnama pada bulan kesepuluh), biasanya jatuh pada bulan Maret atau April berdasarkan penanggalan kalender Saka Bali. Selain itu, tujuan diadakannya upacara ini adalah untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat diberikan oleh Dewi Danu dan Tuhan serta keselamatan yang diberikan kepada masyarakat sehingga dapat bertahan hidup dari malapetaka.
Di dalam kompleks pura juga terdapat sebuah kuil Budha. Pada hari-hari besar agama tersebut umat Buddha dari berbagai tempat datang ke pura ini untuk berdoa. Hal tersebut menunjukkan bahwa toleransi beragama berjalan dengan baik di pura ini.
Apabila Anda ingin sekadar ingin mengunjungi dan melihat-lihat pura ini maka akses untuk memasukinya terbatas di bagian halaman. Sementara bagian paling dalam adalan tempat paling sakral dan area tersebut hanya diperuntukkan bagi umat yang akan melakukan kegiatan sembahyang. Sumber : www.indonesia.travel › Beranda › Batur www.babadbali.com › Pura › Pura Kahyangan Jagad www.babadbali.com/pura/plan/batari-dewi-danuh.htm #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV # #Baliage #balilawas#
Bali Tempo Dulu
152
Suasana pemedek (umat hindu) melewati hutan bakau di saat air laut surut,pulang setelah bersembahyang di pura dalem sakenan atau pun pemedek yang hendak datang ke pura,hal ini dikarenakan akses menuju pura pada saat belum di reklamasi harus menggunakan perahu nelayan yang di sewakan masyarakat setempat,jadi ketika air laut surut mau tidak mau harus melewati hamparan hutan bakau dan lumpur,tapi melihat dari semangat umat hindu untuk tangkil (datang)bersembahyang ke pura dalem sakenan hal itu tak jadi masalah mereka sangat senang akan kondisi seperti itu bahkan sekarang mungkin saat itu masih menjadi kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Sumber : wikipedia.
Bali Tempo Dulu
153
Bali Tempo Dulu
154
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI. Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Pasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Pasana, Bentuk-bentuk Pasana dan Letak Pasana. Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut: 1Tujuan Asta Bumi adalah Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi Mendapat vibrasi kesucian Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi Luas halaman Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.bMemanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13 Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Pasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13). HULU-TEBEN. "Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu Arah Timur, dan Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
Bali Tempo Dulu
155
BENTUK HALAMAN. Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala. PEMBAGIAN HALAMAN. Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu: Utama MandalaMadya MandalaNista Mandala. Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain. Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun saranasarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih "Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan. MENETAPKAN PEMEDAL. Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
Bali Tempo Dulu
156
JARAK ANTAR PELINGGIH. Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala. PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Pasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Pasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai. Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Pasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Pasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan). Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Pasari/Pasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
Bali Tempo Dulu
157
Sumber: Bhagawan Dwija Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP 081-7971986-4 Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya. Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar Oleh N. Gelebet Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, pa kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi. Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus. Proses Membangun Pura Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud. Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan. Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata keundagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara. Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit
Bali Tempo Dulu
158
dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis. Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai. Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada. Pekerjaan Konstruksi Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain. Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan. Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional. Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifatsifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan. Ngurip Wewangunan Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, an jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya. Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan
Bali Tempo Dulu
159
upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya. Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia. Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun dengan sistem tender. Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan. Sumber: Terimakasih kepada Bali Post
Bali Tempo Dulu
160
SEJARAH NUSA DUA Kel ; BENOA
Bali Tempo Dulu
161
Kec ; KUTA SELATAN BADUNG,BALI INDONESIA. Salah satu pantai yang unik di bali adalah pantai Nusa Dua. pantai ini memiliki dua karang yang terpisah. Dahulu kala ada cerita rakyat bali mengatakan bahwa Nusa Dua adalah buatan seorang ksatria sakti yang bernama Kebo Iwa. Dengan kekuatan Kebo Iwa menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. (‘Beda’ diartikan sebagai kekuatan yang berbeda). Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi. Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali. Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Raja Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada. Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Semua kapal-kapal perang Majapahit ditenggelamkan selagi berada di Selat Bali. Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Dalam siasat yang diatur, Gajah Mada memberikan pujian kepada Baginda Sri Astasura Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa tanpa menimbulkan kecurigaan. Lantas, Raja Majapahit membujuk Patih kebo Iwa untuk melakukan perjalanan ke Majapahit guna menikahi wanita terhormat nan jelita pilihan raja yang berasal dari Lemah Tulis. Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga.Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, dengan memberikan dua buah batu, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa. Salah satu dari batu tersebut di bawa ke desa Bedahulu dimana tempat mereka dilahirkan. dan satunya lagi akan di bawa ke Majapahit, namun dalam perjalanan ke tanah Jawa tiba tiba batu itu pecah menjadi dua dan jatuh di pinggir pantai. Kemudian dipastulah batu tersebut menjadi tempat kehidupan masyarakat sehingga lama kelamaan batu tersebut semakin membesar sehingga terjadilah nusa yang dipanggil Nusa Dua. Itulah awal mula cerita dari pantai Nusa Dua. Nusa Dua sendiri adalah di paling ujung selatan Pulau Bali. Jaraknya dari Bandara Internasional Ngurah Rai, Kuta kurang lebih 8 km, atau sekitar tiga puluh menit perjalanan. Nusa Dua memiliki areal lahan sekitar 350 hektar. Lahan kering dan non produktif ini di akuisisi oleh pemerintah pada tahun 70-an, kemudian di kembangkan menjadi suatu proyek pariwisata prestisius dengan rancang bangun yang komprehensif dan terpadu sebagai resor wisata budaya. Pada tahun 1970 pemerintah menetapkan sebuah perusahaan konsultan Perancis, yakni Centrale Société pour l'peralatan Touristique outre-Mer (SCETO) untuk menyusun rencana induk guna pengembangan pariwisata di Bali secara berkelanjutan. Rencana SCETO diusulkan kompleks resor mandiri ditepi laut, terpisah dari pusat penduduk utama untuk meminimalisir dampak pariwisata terhadap budaya Bali. Situs ini diusulkan
Bali Tempo Dulu
162
adalah Nusa Dua. Ini adalah salah satu keunikan resor wisata Nusa Dua, yakni dibangun terpisah dari desa Bualu sebagai lokasi utama dari resor ini. Resor dengan konsep wisata budaya ini mendapat gelar sebagai salah satu dari enam resort terbaik dunia. Sumber : wikipedia
ASTA KOSALA KOSALI DALAM AGAMA HINDU DAN MASYARAKAT BALI. Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali. Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur. Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai
Bali Tempo Dulu
163
dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali. Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti: Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas), Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka) Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan) Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti : Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya: Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya. Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja. Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi: jaba untuk bagian paling luar bangunan jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. II. PEMBAHASAN 2.1 Landasan Asta Kosala Kosali a. Landasan Filosofi Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini. b. Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah
Bali Tempo Dulu
164
Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini. c. Landasan Etis Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala. · Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha. d. Landasan Ritual Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. 2.2 Konsepsi Perwujudan Pembangunan/Perumahan Umat Hindu Konsepsi Perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam : 1. Keseimbangan Alam Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. 2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi. 3. Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi). 4. Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu. 2.3 Syarat-syarat di dalam membangun suatu Pembangunan 1. Pemilihan Tanah Pekarangan. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah : karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan), karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan), karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan) karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
Bali Tempo Dulu
165
karang teledu nginyah (karang tumbak tukad), karang gerah (karang di hulu Kahyangan), karang tenget, karang buta salah wetu, karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi), karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk) Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda. 2. Membangun Rumah yang Bertingkat, bersusun dan pekarangan sempit a. Pekarangan Sempit. Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Pa, Penunggun Karang dan Natar. b. Rumah Bertingkat. Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas. c. Rumah Susun. Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan. 3.Dewasa dan Upacara yang dilaksanakan di dalam membangun Rumah a. Dewasa Membangun Rumah Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa. Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem. Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya. Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa. (Ida Bagus Anom paketan :2010:117). b. Upacara Membangun Rumah. Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti. · Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara. upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat. (upacara/upakara paumahan lan Mrajan:2007:13-27).
Bali Tempo Dulu
166
5. Bentuk Bangunan Bali Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada Bentuk, Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya. Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah: Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala Konsep keseimbangan kosmologi Konsep proporsi dan skala manusia Konsep court, Open air Konsep kejujuran bahan bangunan Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali: Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya III. SIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Adapun landasan yang dipakai dalam pembangunan menurut asta kosala kosali seperti ada landasan bhuana alit dengan bhuana agung, unsur-unsur pembentuk, landasan etnis, landasan ritual, dalam pembuatan suatu pembangunan tidak hanya melihat landasannya saja, akan tetapi juga memperhatikan tanah, tempat rumah tinggal yang akan dibangun selain itu juga harus melaksanakan suatu upacara sebelum dan setelah pembangunan rumah seperti upacara melaspas, upacara ngruwak. Pembangunan umat Hindu selalu berpedoman pada asta kosala kosali tanpa harus menyampingkan desa kala patra. Sumber : wikipedia.
Bali Tempo Dulu
167
Bali Tempo Dulu
168
SEJARAH DESA ADAT LEGIAN Kec : KUTA BADUNG,BALI INDONESIA. KISAH KIYAI LANANG MUNANG KIYAI LANANG LEGIAN. Ki bendesa Wayahan Mas di Dsa Kerobokan mempunyai seorang putra yang bernama Ki Bendesa Mas meninggalkan desa Kerobokan untuk mencari tempat tinggal yang baru kearah selatan karena ingin hidup mandiri terpisah dari orang tuanya. Kepergiannya diikuti oleh 40 orang pengiringnya , ditengah perjalanan mereka banyak menemukan pohon cerme sehingga memutuskan untuk beristirahat sambil makan siang. Setelah itu mereka memetik buah cerme yang karena rasanya asm manis maka daerah itu kemudian dinamakn Karang Manisan. Ditempat itulah beliau kemudian mendirikan perumahan yang baru dengan terlebih dahulu merambah hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon bandil berduri. Setelah perambasan selesai maka terlebih dahulu ditempat tersebut dibangun Pura Desa dan didekat didekat tempat tersebut kemudian dibangun perumahan untuk Ki Bendesa Mas. Dibawah kepemimpinan Ki Bendesa Mas wilayah tersebut menjadi aman sentosa dan makmur, namun keamanan tersebut menjadi terganggu dengan memburuknya hubungan kerajaan Badung dengan Kerajaan Mengwi. Sering terjadi pelanggaran batas wilayah oleh warga Mengwi ke wilayah Badung karena adanya Pura Ulun Suwi di desa Jimbaran yang merupakan Pura Leluhur dariKerajaan Mengwi pada jaman pemerintahan Kyai Agung Maruti pada saat beiau melarikan diri dari Kerajaan Gelgel ke Desa Jimbaran. Melihat perkembangan situasi tersebut maka timbul niat
Bali Tempo Dulu
169
Ki Bendesa Mas untuk menghadap ke Puri Agung Pemecutan utnuk bertemu dengan Ida Bhatara Sakti Raja Pemecutan III. Singkat cerita beliau sudah berada dhadapan Ida Bhatara Sakti untuk melaporkan keamanan di wilayah Legian dan mohon salah satu Putra Ida Bhatara Sakti agar di tempatkan di wilayah itu untuk menjamin keamanan dan menjadi Kwangen (Penguasa) di wilayah tersebut. Ida Bhatara Sakti menerima permohonan Ki Bendesa Mas dan memerintahkan salah satu Putranya yang bernama Kiyai Lanang Munang untuk membuat perumahan di tempat tersebut. Kepergian Kiyai Lang Munang diiringi oleh Ki Gde Bandem warga Dalem Tarukan, Warga Pasek Gelgel dari Alangkajeng dan Warga Pasek Gelgel dari Desa Pedungan. Kiyai Lanang Munang membangun perumahan disebelah timur jalan menghadap ke barat dan diberi nama Jero Legian dan Kiyai Lanang Munang mengganti namanya menjadi Kiyai Lanang Legian. Legian asal kata dari Legi yang artinya Manis, maka sejak saat itu karang kemanisan berubah menjadi Desa Legian. Semenjak Kiyai Lanang Legian bersama para pengawalnya berada di Desa Legian maka keamanan bertambah mantap sehingga karena sudah dirasa aman maka Ki Gde Bandem memutuskan untuk pulang kembali ke ke Pemedilan Pemecutan. Disebelah Timur Desa legian terdapat suatu daerah yang sekarang bernama Margaya yang merupakan asal kata dari Marga dan Aya yang artinya jalan yang berbahaya karena selain ditumbuhi pohon bandil yang sukar dilalui manusia juga tempat tersebut adalah merupakan perbatasan antara Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung. Desa Legian merupakan dataran yang rendah sehingga pada waktu musim hujan sering terjadi banjir sehingga Lanang Legian selalu berhalangan hadir di Puri Pemecutan pada saat Pujawali di Pri Agung Pemecutan. Oleh karena itu beliau kemudian membangun tempat pemujaan sendiri bernama Pura Agung untuk memuja leluhurnya yang ada di Pemerajan Agung Puri Pemecutan. Kiyai Lanang Legian memunyai seorang putri yang cantik jelita bernama I Gusti Istri Legian telah dipinang oleh I Dewa Agung Jambe dari Puri Klungkung. Beliau walaupun sedah berkelaurga belum juga mempunyai keturunan untuk melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Klungkung. Peminangan tersebut telah diterima dengan baik dan upacara perkawinan akan dilaksanakan 3 pekan lagi. Istri I Dewa Agung Jambe yang bernama Anak Agung Istri Plung sebenarnya tidak rela suaminya mengambil istri dari Badung karena berdasarkan pengalaman orang dari badung sulit dikalahkan oleh siapapun dan selalu mendapat tempat paling atas. Oleh karena itu Anak Agung Istri Plung berusaha sekuat tenaga untuk membatalkan perkawinan tersebut. Diceritakan iringan pengantin putri dari Badung dengan diiringi oleh pengiringnya telah sampai ke pertigaan Bangli sedangkan Kiyai Lanang Legian karena ada keperluan yang mendesak tidak ikut dalam iringan tersebut. Iringan tersebut diminta berhenti di pertigaan tersebut karena sebentar lagi rombongan dari Puri Kelungkung akan datang menjemput. Tidak beberapa lama datanglah rombongan dari Puri Klungkung menjemput mempelai wanita. Ikut serta pula Anak Agung Istri Plung istri tua I Dewa Agung Jambe. Suasana pada saat itu tidak ada yang mencurigakan karena berjalan dengan aman dan penuh kekeluargaan. Tiba ~ tiba suasana yang tenang tersebut mendadak dikejutkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh orang bersenjata lengkap dengan keris terhunus dan menyerang secara membabi buta kearah iringan mempelai Wanita.
Bali Tempo Dulu
170
Rombongan dari Badung menjadi kalang kabut dan tidak menduga akan adanya serangan tersebut dan berusaha mempertahankan diri dengan senjata yang ada. Karena kalah banyak rombongan dari Badung terdesak dan I Gusti Istri Legian Tewas tertusuk oleh penyerang tersebut sedangkan pengiringnya yang lain berusaha menyelamatkan diri lari berpencar ada yang ke Tabanan dan ada yang Ke Bangli. Pengiringnya tidak berani pulang kembali jero Desa Legian karena takut dihukum akibat lari dari peperangan. Yang lari ke Tabanan membuat perumahan di daerah tersebut diberi nama Desa Siyut yang artinya gelisah karena takut lari dari peperangan dan yang lari ke Bangli membuat perumahan di Desa Tiyingan. Entah sudah berapa dasawarsa lamanya kejadian tersebut para keturunannya berusaha mencari tahu dari mana sebenarnya asal mereka dan dimana Letak Pura Agung tersebut. Akhirnya didapat informasi bahwa Pura Agung tersebut berada di Legian maka datanglah tiap tiap pujawali di Pura Agung warga dari Desa Siyut Tabanan Ngaturang sembah. Diposkan oleh Lanang Dawan d
Foto dari atas pesawat belanda,terlihat pesisir pantai kuta,dalam patroli angkatan udara meliter belanda pada masa perang dunia kedua,melintasi wilayah bali selatan.
Bali Tempo Dulu
171
Koleksi Tropen Museum #balitempodulu#
Seperti inilah keadaan rumah masyarakat bali tempo dulu,memelihara babi,anjing,ayam ,burung dll karena disamping kesibukan disawah / ladang masyarakat bali juga menyibukan diri dengan rutinitas di rumah dengan hewan peliharaan mereka terutama untuk hewan babi dan ayam,sangat penting bagi masyarakat bali selain dapat untuk di olah menjadi lauk,babi dan ayam juga di pergunakan untuk persembahan saat ada upacara ke agamaan hindu di bali,tapi di era moderen seperti saat ini tidak banyak rumah orang bali menyediakan sedikit lahan di rumah mereka untuk memelihara babi dengan alasan yang tentunya beraneka ragam,tapi apa pun itu inilah masyarakat bali dengan sejuta keunikannya,kesenianya,karakteristiknya yang tetap terjaga dari dulu hingga sekarang. Koleksi foto : Tropen Museum #balitempodulu#
Bali Tempo Dulu
172
DESA ADAT SANUR DENPASAR SELATAN BALI,INDONESIA Foto Koleksi Tropen Museum. Asal - usul kata Sanur , Suasana Pasar Sanur, 1949. Secara tertulis asal usul kata Sanur sampai saat ini belum didapat, namun berdasarkan informasi dari beberapa Pemuka Adat menjelaskan bahwa sanur berasal dari urat kata „Saha dan Nuhur“ yang berarti memohon untuk datang pada suatu tempat yang mana dari kata Saha Nuwur ini lama kelamaan berubah menjadi #Sanur. Sedangkan siapa yang memerintah pertama kali sebagai Kepala Desa berdasarkan dokumen yang ada tercatat yaitu : Sejak tahun 1909 – 1932 Sanur diperintah oleh seorang Kepala Desa bernama IDA BAGUS SARI, Kemudian dari tahun 1932 – 1935 Sanur diperintah oleh IDA BAGUS ANOM sebagai Kepala Desa Sanur yang saat itu mewilayahi Sanur sampai Renon. Selanjutnya dari tahun 1935 – 1951 Sanur dipimpin oleh IDA BAGUS MADE BADRA Pada masa pemerintahan beliau Sanur dimekarkan menjadi bagian timur Desa Sanur dan bagian barat Desa Renon. Pada tahun 1951 – 1959 Pemerintahan Sanur dipegang I GUSTI NGURAH GEDE PEMECUTAN. Tahun 1959-1986 Desa Sanur dipimpin oleh IDA BAGUS KETUT BERATHA, yang pada masa Pemerintahan ini banyak peristiwa yang terjadi sebagai hasil
Bali Tempo Dulu
173
perkembangan pembangunan. Berdasarkan surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk. II Badung tertanggal 1 Desember 1979 No. 167/Pem.15/166/1979 maka Desa Sanur dimekarkan menjadi 3 (tiga) yaitu: Sebagai Induk disebut Kelurahan Sanur Pemekaran menjadi Desa Sanur Kauh Pemekaran menjadi Desa Sanur Kaja Pada tanggal 16 Januari 1986 Kepala Kelurahan Sanur IDA BAGUS KETUT BERATHA meninggal dunia karena sakit, maka selanjutnya diangkat I KETUT KONTIA ( Sekretaris Kelurahan Sanur ) sebagai Pejabat Sementara (Pjs) sampai pengangkatan Lurah sanur yang baru. Selanjutnya pada tanggal 11 Maret 1987 Lurah Sanur dijabat oleh IDA BAGUS MADE KERTI sampai tahun 1994 lalu digantikan oleh : IDA BAGUS ALIT WIRADANA, S.Sos sampai tanggal 6 Februari 2006, lalu digantikan oleh : DRS. I WAYAN PUJA sampai tanggal 31 Januari 2008, dan kini Sanur dipimpin oleh I. B. ALIT SURYA ANTARA, SS Sumber : situs resmi kelurahan sanur & Www.sejarahbali.com #balitempodulu#
Bali Tempo Dulu
174
Puri Agung Denpasar atau yang lebih di kenal dengan Puri Satria Denpasar. Nampak pintu gerbang puri hancur di hantam peluru meriam dan kapal tempur belanda yang berpangkalan di sanur. saat perang puputan badung 20 september 1906.
Bali Tempo Dulu
175
Wanita sedang mencuci pakaian di sungai,bungkulan,buleleng Bali 1920. Koleksi : tropen museum.
Bali Tempo Dulu
176
Ubud,Gianyar,Bali 1981.
Bali Tempo Dulu
177
Upacara pernikahan Di Kabupaten Buleleng Bali,Indonesia. juli 1939 Sumber : collectie P.F. Valois
Bali Tempo Dulu
178
Bali Tempo Dulu
179
SEJARAH TROPEN MUSEUM AMSTERDAM,BELANDA TEMPAT DI SIMPANNYA SEMUA BERKAS-BERKAS PENTING,FOTO,VIDEO,BARANG PUSAKA,LONTAR DAN LAIN SEBAGAINYA YANG DI JAGA DENGAN TEKNOLOGI SUPER CANGGIH.DARI JAMAN PENJAJAHAN BELANDA HINGGA BELANDA KEMBALI KE NEGARANYA,YANG KESEMUA ITU TERSIMPAN DI MUSEUM INI. Frederick van Eeden, ayah dari penulis Frederik van Eeden, dan sekretaris theMaatschappij ter bevordering van Nijverheid (bahasa Inggris: Masyarakat untuk Promosi Industri) mendirikan Museum Koloniaal (English: Colonial Museum) inHaarlem pada tahun 1864, [1] dan membuka museum untuk umum pada tahun 1871. [3] Museum ini didirikan untuk menunjukkan milik Belanda di luar negeri, dan penduduk negara-negara asing, seperti Indonesia. Pada tahun 1871 lembaga ini mulai penelitian untuk meningkatkan keuntungan yang dibuat dari koloni. Ini termasuk mencoba untuk mengembangkan sarana peningkatan produksi biji kopi, rotan dan parafin. Museum ini berada di bawah pengaruh etnolog, yang menambahkan informasi tentang ekonomi, tata krama, dan adat istiadat penduduk. Pada tahun 1926, mereka meresmikan gedung saat ini di Timor Amsterdam. Pada saat itu, mereka memiliki 30.000 objek, dan koleksi yang cukup besar dari foto-foto. [3] Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ruang lingkup museum berubah dari hanya harta kolonial Belanda, dengan yang banyak negara kolonial berkembang di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Pada tahun 1960 dan 1970-an Ministerie van Buitenlandse Zaken Inggris: Departemen Luar Negeri mendorong museum untuk memperluas ruang lingkup untuk isu-isu sosial yang lebih seperti kemiskinan dan kelaparan. Pada awal 1970-an sayap baru untuk anak-anak ditambahkan. Sayap ini sekarang disebut Tropenmuseum Junior. [3]
Bali Tempo Dulu
180
Tropenmuseum kini telah mulai menggunakan pameran semi permanen yang berfokus baik pada budaya dalam dan luar negeri.
Sejarah Tari Kecak (Bali) Foto koleksi Tropen museum Tari Kecak disebut juga sebagai tari "Cak" atau tari api (Fire Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sinta dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya. Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam hal kerauhan atau masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak terbakar oleh api. Tidak diketahui secara pasti darimana tari kecak ini berasal, dan dimana pertama kali berkembang. Namun ada suatu macam kesepakatan pada masyarakat Balikecak pertama kali berkembang menjadi seni pertujukan di Bona, Gianyar, sebagai pengetahuan tambahan kecak pada awalnya merupakan suatu tembang atau musik yang dihasil dari perpaduan suara yang membentuk melodi yang biasanya dipakai untuk mengiringi tari Sanghyang yang disakralkan. Dan hanya dapat dipentaskan di dalam pura. Kemudian pada awal tahun 1930an seniman dari desa Bona, Gianyar mencoba untuk mengembangkan tarian kecak dengan mengambil bagian cerita Ramayana yang didramatarikan sebagai pengganti Tari Sanghyang sehingga tari ini akhirnya bisa dipertontontan di depan umum sebagai seni pertunjukan. Bagian cerita Ramayana yang diambil pertama adalah dimana saat Dewi Sita diculik oleh Raja Rahwana. Perkembangan Tari Kecak Di Bali Tari kecak di Bali mengalami terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat adalah dari segi cerita dan pementasan. Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari Ramayana. Kemudian dari segi pementasan juga mulai mengalami perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa Bona, Gianyar namun juga desa desa yang lain di Bali mulai mengembangkan tari kecak sehingga di seluruh Bali terdapat puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para anggota banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah atau pun oleh sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari terbanyak yang pernah dipentaskan dalam tari kecak tercatat pada tahun 1979 dimana melibatkan 500 orang penari. Pada saat itu dipentaskan kecak dengan mengambil cerita dari Mahabarata. Namun rekor ini dipecahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan yang menyelenggarakan kecak kolosal dengan 5000 penari pada tanggal 29 September 2006, di Tanah Lot, Tabanan,
Bali Tempo Dulu
181
Bali. Pola Tari Kecak Sebagai suatu pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa factor yang sangat penting, Lebih lebih dalam pertunjukan kecak ini menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu musik sangat vital untuk mengiringi lenggak lenggok penari. Namun dalam dalam Tari Kecak musik dihasilkan dari perpaduan suara angota cak yang berjumlah sekitar 50 – 70 orang semuanya akan membuat musik secara akapela, seorang akan bertindak sebagai pemimpin yang memberika nada awal seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang solo, dan sorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam tari kecak dalam gerakannya tidak mestinya mengikuti pakem-pakem tari yang diiringi oleh gamelan. Jadi dalam tari kecak ini gerak tubuh penari lebih santai karena yang diutamakan adalah jalan cerita dan perpaduan suara. Sumber : http://kumpulansejarah-aris.blogspot.com/ #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Tropenmuseum # KITLV LAIDEN #
Bali Tempo Dulu
182
PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA "I GUSTI KETUT PUDJA" ASAL SINGARAJA BULELENG,BALI INDONESIA. Putra Bali ini lahir di Singaraja, 19 Mei 1908 dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jera Ratna Kusuma. Tahun 1934, diusia 26 tahun, Pudja berhasil menyelesaikan kuliah di bidang hukum dan meraih gelar Meester in de Recten dari Rechts Hoge School, Jakarta. Setahun Kemudian, ia mulai mengabdikan dirinya pada kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja. I Gusti Ketut Pudja adalah tokoh Bali yang pada masa awal RI memegang jabatan sebagai Gubernur Provinsi Sunda Kecil (sekarang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT). Sebelumnya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ia telah memberikan kontribusi pemikiran, khususnya mengenai Pembukaan UUD 45. Usulnya agar istilah “Allah Yang Maha Kuasa” diganti menjadi “Tuhan Yang Maha Esa” disetujui oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Usul itu diajukannnya agar istilah tersebut dapat diterima
Bali Tempo Dulu
183
oleh golongan non-Muslim. Sebagai Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja menghadapi situasi yang cukup sulit. Di satu pihak, pemerintah pendudukan Jepang di Bali masih utuh. Di pihak lain, di Bali masih terdapat daerah-daerah swapraja warisan pemerintah kolonial Belanda. Terhadap pihak Jepang, ia menuntut agar kekuasaan pemerintahan diserahkan kepadanya dan hal itu baru terlaksana pada bulan Oktober 1945. Terhadap raja-raja sebagai kepala pemerintahan swapraja, ia melakukan pendekatan persuasif, menghimbau mereka agar mendukung Pemerintah RI. Kedatangan pasukan Sekutu mengubah situasi. Atas desakan Sekutu, Jepang menarik kembali kekuasaan yang diserahkan kepada Ketut Pudja, bahkan Ketut Pudja ditangkap dan ditahan selama satu bulan.
Penangkapan kedua dilakukan Belanda yang tiba di Bali pada awal Maret 1946. Ketut Pudja dipenjarakan untuk waktu yang cukup lama dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Setelah bebas, ia pindah ke Yogya dan bekerja sebagai gubernur diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, ia ditangkap dan dipenjarakan beberapa waktu lamanya di penjara Wirogunan. Dengan persetujuan Pemerintah RI, pada tahun 1950 Ketut Pudja diangkat sebagai Menteri Kehakiman dalam kabinet Negara Indonesia Timur (NIT) dengan tugas mempercepat proses likuidasi dan penggabungan negara federal ini ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesudah itu, ia ditempatkan kembali di Kementerian Dalam Negeri dan dipekerjakan pada staf Perdana Menteri sebagai penghubung Parlemen. Ketut Pudja pernah memangku berbagai jabatan dalam lembaga negara, antara lain sebagai Wakil Ketua Dewan Pengawas Keuangan, anggota Dewan Perancang Nasional, dan anggota Panitia Undang-Undang Pokok Agraria. Jabatan terakhirnya ialah sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga ia memasuki masa purna bakti di tahun 1968. I Gutsti Ketut Pudja meninggal dunia pada 4 Mei 1977 di usia 68 tahun. Atas jasa dan perjuangannya terhadap bangsa dan negara, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan surat Keputuskan Presiden Nomor 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011. Sumber : wikipedia // meidyana215.blogspot.com
Bali Tempo Dulu
184
Bali Tempo Dulu
185
Bali Tempo Dulu
186
SEJARAH KOTA DENPASAR PROVINSI BALI INDONESIA Kota Denpasar merupakan sebuah kota di Pulau Bali dan sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Bali, Indonesia. Pertumbuhan industri pariwisata di Pulau Bali mendorong Kota Denpasar menjadi pusat kegiatan bisnis, dan menempatkan kota ini sebagai daerah yang memiliki pendapatan per kapita dan pertumbuhan tinggi di Provinsi Bali.[2]Pemerintah akan mempersiapkan tiga kota yaitu Medan, Denpasar, dan Makassar sebagai kota metropolitan baru. Tata ruang tiga kota itu masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Perpres 45/2011).[3][4] Sejarah Nama Denpasar dapat bermaksud pasar baru, sebelumnya kawasan ini merupakan bagian dari Kerajaan Badung, sebuah kerajaan yang pernah berdiri sejak abad ke-19, sebelum kerajaan tersebut ditundukan oleh Belanda pada tanggal 20 September 1906, dalam sebuah peristiwa heroik yang dikenal dengan Perang Puputan Badung.[5] Setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958, Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah daerah Kabupaten Badung, selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi Provinsi Bali yang semula berkedudukan di Singaraja.[6] Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi ‘’Kota istratif Denpasar’’, dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Kota Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi ‘’kotamadya’’, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992. Geografi Kota Denpasar berada pada ketinggian 0-75 meter dari permukaan laut, terletak pada posisi 8°35’31” sampai 8°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23” sampai 115°16’27” Bujur Timur. Sementara luas wilayah Kota Denpasar 127,78 km² atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali. Dari penggunaan tanahnya, 2.768 Ha merupakan tanah sawah, 10.001 Ha merupakan tanah kering dan sisanya seluas 9 Ha adalah tanah lainnya. Tingkat curah hujan rata-rata sebesar 244 mm per bulan, dengan curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Desember. Sedangkan suhu udara rata-rata sekitar 29.8° C dengan rata-rata terendah sekitar 24.3° C. Sumber : situs resmi pemerintahan kota Denpasar // https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Denpasar // www.denpasarkota.go.id #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV#
Bali Tempo Dulu
187
Bali Tempo Dulu
188
PURI AGUNG TABANAN Asal~ Usul nama Kabupaten Tabanan Foto koleksi Tropen Museum. Tahun 1906. Di Bali, pada zaman kerajaan, rumah jabatan tempat tinggal raja disebut "Puri Agung". Keberadaan Puri Agung Tabanan berkaitan dengan tokoh Arya Kenceng, yang dipercaya ikut datang bersama Gajah Mada ketika Majapahit menaklukkan Kerajaan Bedulu di Bali pada tahun 1343[1]. Diceritakan setelah Bali berhasil ditaklukan, sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan pulau Bali, semua Arya dikumpulkan, diberikan ceramah tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik. tujuan utamanya ialah tetap mempersatukan pulau Bali dan dapat dipertahankan sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Setelah semua dirasa cukup, semua Arya diberikan daerah kekuasaan yang menyebar diseluruh Bali. Arya Kenceng diberikan kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang, Arya Kuta Waringin bertahan di Gegel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang, Arya Sentong berkedudukan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang dan Arya Belog ( Tan Wikan ) diberikan kerdudukan di Kaba~kaba dengan jumlah rakyat sebanyak 5.000 orang . Arya Dhamar diajak kembali ke Majapahit, kelak dia diangkat menjadi Adipati Palembang.[2]. Arya Kenceng memerintah Tabanan, dengan pusat kerajaan atau Puri Agung yang terletak di Pucangan (Buahan), Tabanan. Arya Kenceng adalah Raja Tabanan I, yang Kerajaannya berada di Pucangan/Buahan mempunyai putra : 1. Dewa Raka /Sri Megada Perabhu 2. Dewa Made /Sri Megada Natha 3. Kiayi Tegeh Kori 4. Nyai Tegeh Kori. Yang selanjutnyaSri Megada Natha, Raja Tabanan II, berputra : 1. Sirarya Ngurah Langwang 2. Ki Gusti Made Utara ( Madyatara ) 3. Ki Gusti Nyoman Pascima 4. Ki Gusti Wetaning Pangkung 5. Ki Gusti Nengah Samping Boni 6. Ki Gusti Batan Ancak 7. Ki Gusti Ketut Lebah 8. Kiyai Ketut Pucangan/Sirarya Ketut Notor Wandira. Puri Agung Pindah Ke Tabanan Puri Agung Beserta Pura Batur Kawitan Di Pucangan Pindah Ke Tabanan Selanjutnya Sirarya Ngurah Langwang, Raja Tabanan III. Dia menggantikan Ayahnya Sri Megada Natha menjadi raja, yang kemudian mendapat perintah dari Dalem Raja Bali agar memindahkan Kerajaannya / Purinya di Pucangan ke daerah selatan, hal ini kemungkinan disebabkan secara geografis dan demografis sulit dicapai oleh Dalem dari Gegel dalam kegiatan inspeksi. Akhirnya Arya Ngurah Langwang mendapat pewisik, dimana ada asap (tabunan) mengepul agar disanalah membangun puri. Setelah melakukan pengamatan dari Kebon Tingguh, terlihat di daerah selatan asap mengepul ke atas, kemudian dia menuju ke tempat asap mengepul tersebut, ternyata keluar dari sebuah sumur yang terletak di dalam area Pedukuhan yaitu Dukuh Sakti( di Pura Pusar Tasik Tabanan sekarang ). Akhirnya ditetapkan disitulah dia membangun Puri, setelah selesai, dipindahlah secara resmi Puri Agung / Kerajaannya beserta Batur Kawitannya dari Pucangan ke Tabanan ( Sekitar Abad 14 ). Oleh karena asap terus mengepul dari sumur seperti tabunan sehingga puri dia diberi nama Puri Agung Tabunan, yang kemudian pengucapannya berubah menjadi Puri Agung Tabanan, sedangkan Kerajaannya disebut Puri Singasana dan Raja bergelar Sang Nateng Singasana. Semenjak itu pula Arya Ngurah Langwang beserta saudara-saudaranya ( Ki Gusti Made Utara, Ki Gusti Nyoman Pascima dan Ki Gusti Wetaning Pangkung) dan seketurunannya berpura kawitan di Pura Batur di Puri Singasana Tabanan ( Puri Agung Tabanan ). Sedangkan bekas lahan Pura Batur di Buahan/Pucangan,
Bali Tempo Dulu
189
Denah Puri Agung Tabanan 1900 Batas Utara : Rurung /Jalan, Pasar( di area pohon beringin sekarang )dan Dangin PekenBatas Timur : Jalan sebelah barat Pura Sakenan dan Jero Oka( Pasar Tabanan sekarang )Batas Selatan : Jalan Gajah MadaBatas Barat : Jero Subamia, Pekandelan Puri Gede / Agung dan Jero Meregan Selanjutnya Puri Agung Tabanan ditempati oleh Raja-Raja Tabanan berikutnya, yang juga menurunkan Pratisentana Arya Kenceng di berbagai Jero / Puri yang ada di Tabanan[3], sebagai berikut : Raja Tabanan ke : IV. Sirarya Ngurah Tabanan / Prabu Winalwan / Betara Mekules. Pura Batur Wanasari di Wanasari Tabanan V. Ki Gusti Wayahan Pemadekan VI. Ki Gusti Made Pemadekan VII. Sirarya Ngurah Tabanan / Prabu Winalwan / Betara Mekules. ( Pelinggih / Tempat memuja dan mengaturkan sembah bakti kepada Dia ada di Pura Batur Wanasari di Wanasari Tabanan. Petoyan / Odalan pada dina Anggara/Selasa Kliwon Dukut ) VIII. Sirarya Ngurah Tabanan / Betara Nisweng Penida IX. Ki Gusti Nengah Malkangin dan Ki Gusti Made Dalang X. Ki Gusti Bola XI. Ki Gusti Alit Dawuh / Sri Megada Sakti XII. Putra Sulung Sri Megada Sakti / Ratu Lepas Pemade XIII. Ki Gusti Ngurah Sekar / Cokorda Sekar XIV. Ki Gusti Ngurah Gede / Cokorda Gede Ratu XV. Ki Gusti Ngurah Made Rai / Cokorda Made Rai XVI. Kiyayi Buruan XVII. Ki Gusti Ngurah Rai / Cokorda Rai. Berpuri di Penebel Tabanan XVIII. Ki Gusti Ngurah Ubung XIX. Ki Gusti Ngurah Agung / Ratu Singasana XX. Sirarya Ngurah Tabanan / Ida Betara Ngeluhur Raja XX dari tahun 1868 s/d 1903, berputra : 1. Arya Ngurah Agung 2. Ki Gusti Ngurah Gede Mas 3. Arya Ngurah Alit 4. Ki Gusti Ngurah Rai
Bali Tempo Dulu
190
Perang ( Membangun Puri Dangin ) 5. Ki Gusti Ngurah Made Batan ( Puri Dangin ) 6. Ki Gusti Ngurah Nyoman Pangkung ( Puri Dangin ) 7. I Gusti Ngurah Gede Marga ( Membangun Puri Denpasar Tabanan ) 8. I Gusti Ngurah Putu ( Membangun Puri Pemecutan Tabanan ), berputra :.1. I Gusti Ngurah Wayan. 2. I Gusti Ngurah Made, berputra : 1. I Gusti Ngurah Gede 2. I Gusti Ngurah Mayun. 3. I Gusti Ngurah Ketut. 4. Sagung Nyoman. 5. Sagung Rai. 6. Sagung Ketut9. Sagung Wah ( terkenal memimpin Bebalikan Wangaya melawan Belanda ) XXI. Ki Gusti Ngurah Rai Perang / Cokorda Rai Perang dari 1903 s/d 1906 Zaman penjajahan BelandaSunting Pada 27 September 1906, zaman penjajahan Belanda, Kerajaan Tabanan dikuasai oleh Belanda, Raja Tabanan saat itu, Cokorda Ngurah Rai Perang beserta Putra dan SaudaraSaudaranya ditawan oleh Belanda di Puri Denpasar. Tanggal 28 September Puri Agung Singasana, Puri Mecutan Tabanan, Puri Dangin Tabanan, Puri Denpasar Tabanan dan beberapa yang lainnya dihancurkan oleh Belanda. Raja Tabanan Cokorda Ngurah Rai Perang dan seorang Putra Dia ( I Gusti Ngurah Gede Pegeg ) dengan keberaniannya melakukan puputan(bunuh diri ) di Puri Denpasar, karena tidak mau tunduk atau menjadi tawanan Belanda. Tanggal 29 September 1906 putra dan saudara-saudaranya di Puri Dangin Tabanan, Puri Pemecutan Tabanan dan Puri Denpasar Tabanan diselong / diasingkan ke Sasak Lombok. Setelah beberapa tahun diselong di Lombok, masih dalam masa penjajahan Belanda, putra dan saudaranya Alm. "Cokorda Ngurah Rai Perang" lagi dikembalikan ke Tabanan. Dalam rangka memilih Kepala Pemerintahaan di Tabanan, Belanda juga mencari dan menerima saran-saran dari beberapa Puri / Jero yang sebelumnya ada dalam struktur kerajaan, tentang bagaimana tatacara memilih seorang raja di Tabanan sebelumnya. Setelah mempertimbangkannya, pada tanggal 8 Juli 1929, diputuskan sebagai Kepala / Bestuurder Pemerintahan Tabanan dipilih I Gusti Ngurah Ketut putra I Gusti Ngurah Putu ( putra Sirarya Ngurah Agung Tabanan, Raja Tabanan ke XX ) dari Puri Mecutan, dengan gelar Cokorda. Pelantikan Raja Raja di Besakih, 8 Juli 1938( Cokorda Ngurah Ketut nomer 1 dari kiri) Selanjutnya Dia membangun kembali puri beserta Pura Batur Kawitan Betara Arya Kenceng di area bekas letak Puri Agung Tabanan yang telah dihancurkan Belanda. Karena adanya keterbatasan saat itu, luas area yang digunakan dan jumlah bangunan adat yang didirikan tidak seperti yang semula. Raja Raja Bali 1938 ( Cokorda Ngurah Ketut nomer 2 dari kiri) Pada tanggal 1 Juli 1938 Tabanan menjadi Daerah Swapraja, Kepala Daerah Swapraja tetap dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut ( dari Puri Mecutan Tabanan ), kemudian Dia dilantik / disumpah di Pura Besakih pada Hari Raya Galungan tanggal 29 Juli 1938 dan Mabiseka Ratu bergelar Cokorda Ngurah Ketut, dilihat dari urutan Raja Tabanan, dia adalah Raja Tabanan ke XXII 1938 s/d 1947. Setelah kemerdekaan sampai sekarangSunting Cokorda Ngurah Ketut berada di Puri Agung Tabanan bersama putra dan saudaranya ( I Gusti Ngurah Wayan, I Gusti Ngurah Made, Sagung Nyoman, Sagung Rai dan Sagung Ketut ). Pada zaman kerajaan, hanya raja dan putera mahkota saja yang menempati Puri Agung Tabanan, sedangkan putra-putra lainnya, oleh raja dibuatkan Puri / Jero baru beserta kelengkapannya. Seiring dengan terjadinya perubahan zaman dan pemerintahan, hal tersebut tidak
Bali Tempo Dulu
191
berkelanjutan, dimana tidak dibangun lagi Puri Pemecutan Tabanan dan Puri-Puri/Jero-Jero baru. Sekarang yang berada di Puri Agung Tabanan adalah kelanjutan keturunan Cokorda Ngurah Ketut dan Saudaranya, yang merupakan putera I Gusti Ngurah Putu ( Putera Sirarya Ngurah Agung Tabanan, Raja Tabanan ke XX ) yang berasal dari Puri Pemecutan Tabanan. Cokorda Ngurah Ketut berputera :1. I Gusti Ngurah Gede2. I Gusti Ngurah Alit Putra3. Sagung Mas4. I Gusti Ngurah Agung Cokorda Ngurah Gede Selanjutnya I Gusti Ngurah Gede, putera sulung Cokorda Ngurah Ketut menjadi Cokorda Tabanan, bergelar Cokorda Ngurah Gede, Raja Tabanan XXIII Maret 1947 s/d 1986 dan dia menjabat Bupati Tabanan Pertama tahun 1950, tempat tinggal Dia disebut Puri Gede / Puri Agung Tabanan. Cokorda Ngurah Gede, Berputra :.1. Sagung Putri Sartika.2. I Gusti Ngurah Bagus Hartawan.3. Sagung Putra Sardini.4. I Gusti Ngurah Alit Darmawan.5. Sagung Ayu Ratnamurni.6. Sagung Jegeg Ratnaningsih.7. I Gusti Ngurah Agung Dharmasetiawan.8. Sagung Ratnaningrat.9. I Gusti Ngurah Rupawan10. I Gusti Ngurah Putra Wartawan11. I Gusti Ngurah Alit Aryawan12. Sagung Putri Ratnawati13. I Gusti Ngurah Bagus Grastawan14. I Gusti Ngurah Mayun Mulyawan15. Sagung Rai Mayawati16. Sagung Anom Mayadwipa17. Sagung Oka Mayapada18. I Gusti Ngurah Raka Heryawan19. I Gusti Ngurah Bagus Rudi Hermawan20. I Gusti Ngurah Bagus Indrawan21. Sagung Jegeg Mayadianti22. I Gusti Ngurah Adi Suartawan. Ida Cokorda Anglurah Tabanan Pada tanggal 21 Maret 2008, I Gusti Ngurah Rupawan putera Cokorda Ngurah Gede Mabiseka Ratu, bergelar Ida Cokorda Anglurah Tabanan merupakan urutan Raja Tabanan ke XXIV, berpuri di Puri Agung Tabanan. Cokorda Anglurah Tabanan, berputra :1. Sagung Manik Vera Yuliawati2. I Gusti Ngurah Agung Joni Wirawan3. Sagung Inten Nismayani Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Puri_Agung_Tabanan
Bali Tempo Dulu
192
TARI BARONG & KERIS DESA BATUBULAN GIANYAR,BALI INDONESIA Foto by Wallter Spice Tahun : 1937 Tari Barong & Keris Batubulan memang bermula dari pertunjukan tari Barong yang ada di Pagutan, namun saat itu masih menggunakan lakon Balian Batur. Tari Barong ini sempat didokumentasikan oleh Wallter Spice sekitar tahun 1937. Juga sudah ditulis dalam bukunya yang berjudul Dance And Drama In Bali. Berdasarkan informasi dari para penglingsir kami di Pagutan, tari Barong inilah merupakan cikal bakal tarian Barong yang dipentaskan untuk touris saat ini yang memakai lakon Kunti Seraya. Menurut Prof. DR I Wayan Dibia, MA dari desa Singapadu dapat meluruskan sedikit tentang kesejarahan Tari Barong Kunti Sraya. Beliu menyatakan bahwa seni pertunjukan tari barong yang menjadi tontonan para touris di era tahun 1936 hingga 1947 mempunyai karakteristik berbeda-beda pada awalnya. Saat itu pementasan tari barong mengambil lakon berbedabeda ada yang mengambil lakon Calon arang, ada lakon Kolekek, ada lakon Balian Batur, sampai terdekumentasikan di Pagutan dan Pura Dalem Tahak Batubulan. Walaupun sebenarnya pemetasan tari barong saat itu juga ada di Pura Dalem Sekar Mukti Singapadu, Puri Tegal Tamu dan Br. Pagutan. Tentang lakon kunti sraya, menurut beliau tercipta di era 1942 yang pertama kali dipentaskan di Pura Desa Singapadu. Kurun waktu 1942 hingga 1961 rutin dipentaskan tarian barong kunti sraya di Pura Desa Singapadu yang akhirnya terjadi gejolak atas pemakaian area pura sebagai tempat pementasan tari barong tourist yang akhirnya harus membuat tempat pementasan baru di banjar Sengguan Singapadu.Saat pembangunan pura di Sengguan pertengahan tahun 1961-1962 akhirnya seniman Singapadu yaitu Bapak Kredek mengajarkan tari barong kunti sraya ke Br. Denjalan Batubulan.
Bali Tempo Dulu
193
Di Batubulan seni pertunjukan tari barong kunti sraya berkembang awalnya dipentaskan di pura Puseh Batubulan dan akhirnya kembali ke banjar Denjalan dengan personil Pemaksan Barong banjar Denjalan dan banjar Batur. Berkembang juga si Banjar Tegaltamu dan satu lagi di puri Batubulan yang disokong oleh Travel Bali Tour saat itu dengan personil Pemaksan Barong Pagutan. ( Br, Pagutan Kaja & Pagutan Kelod). Karena tuntutan managemen dan partnership yang berubah pemaksan barong Pagutan melebur menjadi yayasan Sahadewa yang sekarang Stagenya representatif di Jalan Kampus Seni Batubulan. Tahun 1990an lahir juga Barong& Kris Sila Budaya di Br Tegehe dan Tahun 2010 Lahir barong Jambe Budaya. Kembali ke Barong Calonarang Balian Batur. Karena yang ditonjolkan adalah tari Barong Dan tari Keris, maka jalan cerita Balian Batur tidak menjadi fokus perhatian saat itu. Sehingga pementasan ini terkenal dengan tari Barong Pagutan. Tari Barong ini memang unik. Disamping akan terjadinya trance atau kerawuhan karena mementaskan Ida Panembahan (Barong sakral), tari kerisnya ditata memakai penari pria dan wanita. Mungkin tari keris oleh penari wanita ini yang sulit kami lestarikan pada saat sekarang. Karena beberapa keunikan itu sulit kami teruskan,maka pada kesempatan upacara ngodakan Panembahan Ratu Anom 7 April 2009 kami menggarap cerita Balian Batur ini dalam bentuk seni pertunjukan Drama Tari Calonarang. Drama tari Calonarang memang sangat terkenal sebagai salah satu seni pertunjukan di Bali. Namun orientasi orang akan selalu mengarah pada cerita Walu Nateng Dirah kontra Empu Peradah. Akan tetapi lain halnya dengan Calonarang yang ada di Pagutan. Kalau kita menoleh ke belakang, dari dokumentasi yang terdapat di beberapa museum di luar negeri khususnya Amerika dan Eropa, ternyata terdapat dokomentasi dari pementasan tari Barong Pagutan yang mengambil lakon “Balian Batur”. Menurut data yang ada di filmnya maupun dalam buku Dance And Drama In Bali, itu didokumentasikan pada tahun 1937 oleh Wallter Spice. Nah, bertitik tolak dari hal itu, kami para pelaku seni pertunjukan di Pagutan dan juga atas dorongan masyarakat Banjar Pagutan Kaja dan Kelod, kami mencoba membangkitkan kembali apa yang telah dilakukan oleh para pelaku seni di Pagutan jaman dulu. Karena dokumen yang kami temukan tidak komplit atau berupa cuplikan-cuplikannya saja dan tanpa suara yang asli, mendorong kami untuk menata kembali sesuai dengan informasi yang kami dapatkan baik dari para penglingsir kami di Pagutan dan juga dari para seniaman akademis. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, cerita ini kami kemas dalam bentuk seni pertunjukan Drama Tari Calonarang. Sumber : http://desabatubulan.com/pariwisata/narasi-seni-tari-barong-dan-calonarang/ #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#Balilawas# #senibudayabali#SEJARAH#KEUNIKANBALI #
Bali Tempo Dulu
194
Seperti inilah suasana pekerja paksa di bali atau yang lebih di kenal dengan (KERJA RODI ) bekerja tanpa di beri imbalan sepeser pun, apa bila ada yang melawan maka para romusa (pekerja) itu di siksa bahkan hingga tewas.oleh pemerintah hindia belanda. Orang bali di wajibkan menjalani rata-rata 30 hari kerja kasar tanpa upah, dikurangi menjadi 25 hari pada 1931 & menjadi 20 hari kerja pada 1938. Maka sudah sepantasnya kita sebagai regenerasi bali menjaga,menghargai apa yang tlah di warisi para leluhur kita terdahulu dengan berbagai rasa yang mereka alami di masa itu. Foto : koleksi cetakan dari koninklijk Instituut voor Taal-,Land-,en Volkenkunde,Leiden/The Dark Side of Paradise. // www.sejarahbali.com
Bali Tempo Dulu
195
Bali Tempo Dulu
196
ALAT TULIS TEMPO DULU SABAK & GRIB Alat tulis yg dibuat dari batu berbentuk papan tipis diberi bingkai untuk ditulisi, pada sekitar tahun 1949 ,kebanyakan murid menulis di atas sabak. dulu nama sekolah nya bukan SD (SEKOLAH DASAR ) tapi SR ( SEKOLAH RAKYAT ) Alat tulis antik alias SABAK , dengan grip untuk menulisnya. Zaman dulu memang serba terbatas dan langka, sampai buku tulis pun susah didapat sehingga sarana belajar pun apa adanya. Sabak ini telah menjadi saksi bisu atas perkembangan dunia pendidikan di tanah air ini, sepatutnya dirawat sebaik baiknya. Sabak harus selalu berdampingan dengan grip. Sabak sebagai media untuk menulis sedangkan grip adalah alat tulisnya maka sampai sekarang tempat menyimpan pensil atau balpen disebut doosgrip, seharusnya kan doospen ya … Jadi kalau mengerjakan tugas atau ulangan ya sabak itulah yang digunakan. Dengan menggoreskan grip yang runcing di permukaan sabak, akan menghasilkan bekas seperti menulis pada kertas menggunakan pensil, tetapi agak lebih jelas dari pensil. Menulis huruf, membuat angka pada pelajaran berhitung dan menggambarpun dengan menggunakan sabak dan grip. Bagaimana kalau mencatat? Itulah kelebihan anak sekolah jaman dahulu. Tidak mempunyai catatan, tetapi memahami pelajaran. Ingatan dan pendengaran sangat memegang peranan. Saat diterangkan guru, mendengarkan dengan seksama dan menyimpan semua penjelasan guru dalam ingatan sebagai catatan. Sumber : www.kaskus.co.id
Bali Tempo Dulu
197
Bali Tempo Dulu
198
Bali Tempo Dulu
199
PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA "Dr IDA ANAK AGUNG GDE AGUNG " ASAL KABUPATEN GIANYAR BALI,INDONESIA Ida Anak Agung Gde Agung adalah ahli sejarah dan tokoh politik Indonesia. Di Bali, beliau menjabat sebagai Raja Gianyar, menggantikan ayahnya, Anak Agung Ngurah Agung. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga meraih gelar sarjana hukum (Mr.), Ida Anak Agung Gde Agung melanjutkan pendidikan untuk mendapatkan gelar doktor di Universitas Utrecht, Belanda. Sebagai seorang terpelajar, Ida Anak Agung Gde Agung pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri maupun Menteri Luar Negeri pada era pemerintahan Presiden Sukarno. Selain itu, ia pernah menjabat pula sebagal Dubes RI di Belgia (1951), Portugal, Perancis (1953), dan Austria. Sebelumnya, pada tahun 1948, ia menggagas berdirinya Perhimpunan Masyarakat Federal (PMF) guna mewadahi dan menyatukan wilayah wilayah federal di Indonesia yang terbentuk akibat perjanjian Indonesia Belanda saat itu. Di tahun 1949, Ida Anak Agung Gde Agung memimpin delegasi Negara Indonesia Timur dan PMF ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Peran beliau dalam perjuangan diplomasi ini menguatkan posisi Indonesia dalam perundingan sehingga Belanda mengakui kedaulatan NKRI. Tempat/Tgl. Lahir : Gianyar, 24 Juli 1921Tempat/Tgl. Wafat : Bali, 22 April 1999 SK Presiden : Keppres No. 066/TK/2007, Tgl. 9 November 2007Gelar : Pahlawan Nasional Sumber : https://www.pahlawanindonesia.com/sejarah-ida-anak-... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
200
Bali Tempo Dulu
201
Foto berwarna pertama di bali Oleh Franklin Price Knott Dari National Geographic Society / Corbis Tahun 1928 #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #
Bali Tempo Dulu
202
GUNUNG AGUNG KARANGASEM , BALI INDONESIA Foto tahun 1963 Sejarah bali mencatat letusan gunung agung : Misteri Dibalik Letusan Gunung Agung di Bali - Biasanya dibalik letusan gunung berapi ada sebuah misteri yang terkandung didalamnya, seperti misteri yang satu ini. Saat gunung Merapi di Jogja meletus, Indonesia geger dan terenyuh dengan meninggalnya Mbah Marijan sang juru kunci gunung Merapi tersebut, tapi kalau kita lihat saat tahun 1963 gunung Agung meletus di Bali, tak hanya juru kunci gunung Agung nya yang tak mau mengungsi, bahkan
Bali Tempo Dulu
203
hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung Agung tersebut. Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Bali ini termasuk muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun. Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui. Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808. Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik terjadi. Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut. Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung. Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan menghasilkan akibat yang sangat merusak. Berdasarkan buku yang dikarang Kusumadinata pada tahun 1979 gempa bumi sebelum letusan gunung berapi yang saat ini masih aktif tersebut terjadi pada 16-18 Februari 1963. Gempa tersebut dirasakan dan didengar oleh masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Agung. Letusan Gunung Agung yang diketahui sebanyak 4 kali sejak tahun 1800, diantaranya : Di tahun 1808 ; Dalam tahun ini dilontarkan abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa. 1821 Terjadi letusan normal, selanjutnya tidak ada keterangan. Tahun 1843 Letusan didahului oleh gempa bumi. Material yang dimuntahkan yaitu abu, pasir, dan batu apung. Selanjutnya dalam tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak tembusan fumarola. 1963 Letusan dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Januari 1964. Letusan bersifat magnatis. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka. Karakter Letusan Pola dan sebaran hasil letusan lampau sebelum tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 menunjukkan tipe letusan yang hampir sama, diantaranya adalah bersifat eksplosif (letusan, dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu), dan efusif berupa aliran awan panas, dan aliran lava (Sutukno B., 1996). Periode Letusan Dari 4 kejadian letusan masa lampau, periode istirahat Gunung Agung dapat diketahui yakni terpendek 16 tahun dan terpanjang 120 tahun. Letusan 1963 ; Kronologi Letusan tahun 1963. Lama letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari pertengahan Pebruari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964, dengan kronoya sebagai berikut : . 16 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi ringan oleh penghuni beberapa Kampung Yehkori (lebih kurang 928 m dari muka laut) di lereng selatan, kira-kira 6 kilometer dari puncak Gunung Agung. 17 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi di Kampung Kubu di pantai timur laut kaki gunung pada jarak lebih kurang 11 km dari lubang kepundannya. 18 Pebruari 1963 : Kira-kira pukul 23.00 di pantai utara terdengar suara gemuruh dalam tanah.
Bali Tempo Dulu
204
19 Pebruari 1963 : Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang. Pukul 03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan,makin hebat bergumpal-gumpal dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama kalinya. Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh sembuaran asap berwarna kelabu kehitam-hitaman . Sebuah bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih. Penghuni Desa Sebudi dan Nangka di lereng selatan mulai mengungsi, terutama tidak tahan hawa sekitarnya yang mulai panas dan berbau belerang itu. Di sekitar Lebih, udara diliputi kabut, sedangabu mulai turun. Air di sungai mulai turun. Air di sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh, tanda lahar hujan permulaan. Penghuninya tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan dan asap makin tebal. Pandangan ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar lerengnya. Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat sambungmenyambung di atas puncaknya. 20 Pebruari 1963 : Gunung tetap menunjukkan gerakan berapi. 06.30 terdengar suara letusan & terlihat lemparan bom lebih besar. 07.30 penduduk Kubu mulai panik, banyak diantara mereka mengungsi ke Tianyar, sedangkan penghuni dari lereng selatan pindah ke Bebandem dan Selat. 21 Pebruari 1963 : Asap masih tetap tebal mengepul dari kawah. 22 Pebruari 1963 : Kegiatan terus menerus berupa letusan asap serta loncatan api dan suara gemuruh. 23 Pebruari 1963 : Pukul 08.30 sekitar Besakih, Rendang dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu. 24 Pebruari 1963 : Hujan lumpur lebat turun di Besakih mengakibatkan beberapa bangunan Eka Dasa Rudra roboh. Penduduk Temukus mengungsi ke Besakih. Awan panas letusan turun lewat Tukad Daya hingga di Blong. 25 Pebruari 1963 : Pukul 15.15 awan panas turun di sebelah timurlaut lewat Tukad Barak dan Daya. Lahar hujan di Tukad Daya menyebabkan hubungan antara Kubu dan Tianyar terputus. Desa Bantas-Siligading dilanda awan panas mengakibatkan 10 orang korban. Lahar hujan melanda 9 buah rumah di Desa Ban , korban 8 orang. 26 Pebruari 1963 : Lava di utara tetap meleler. Lahar hujan mengalir hingga di Desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap tampak meningkat dan penduduk Desa Sogra, Sangkan Kuasa, Badegdukuh dan Badegtengah mengungsi ke selatan. Di Lebih hujan yang agak kental dan gatal turun. Lahar terjadi di sekitar Sidemen. Juga lahar mengalir di utara di Tukad Daya dan Tukad Barak. Pukul 18.15 hujan pasir di Besakih. Pangi diliputi hawa belerang yang tajam sekali. Penduduknya mengungsi ke Babandem. Kemudian kegiatan Gunung Agung ini terus menerus berlangsung, boleh dikatakan setiap hari hujan abu turun, sementara sungai mengalirkan lahar dan lava terus meleler ke utara. 17 Maret 1963 : Merupakan puncak kegiatan. Tinggi awan letusan mencapai klimaksnya pada pk. 05.32. Pada saat itu tampak awan letusannya menurut pengamatan dari Rendang sudah melewati zenith dan keadaan ini berlangsung hingga pukul 13.00. Awan panas turun
Bali Tempo Dulu
205
dan masuk ke Tukad Yehsah, Tukad Langon, Tukad Barak dan Tukad Janga di selatan. Di utara gunung sejak pukul 01.00 suara letusan terdengar rata-rata setiap lima detik sekali. Awan panas turun bergumpal-gumpal menuju Tukad Sakti, Tukad Daya dan sungai lainnya di sebelah utara. Mulai pukul 07.40 lahar hujan terjadi mengepulkan asap putih, dan ini berlangsung hingga pukul 08.10. Pukul 08.00 turun hujan abu, pada pukul 09.20 turun hujan kerikil, dan sementara itu awan panas pun turun bergelombang. Pada pukul 11.00 hujan abu makin deras hingga penglihatan sama sekali terhalang. Pada pukul 12.00 lahar yang berasap putih itu mulai meluap dari tepi Tukad Daya. Baru pukul 12.45 hujan abu reda dan kemudian pukul 15.30 suara letusan pun berkurang untuk selanjutnya hilang sama sekali. Adapun sungai yang kemasukan awan panas selama puncak kegiatan ini adalah sebanyak lk. 13 buah di lereng selatan dan 7 buah di lereng utara. Jarak terjauh yang dicapainya adalah lebih kurang 14 kilometer, ialah di Tukad daya di utara. Sebelah barat dan timur gunung bebas awan panas. Lamanya berlangsung paroksisma pertama ini yakni selama lebih kurang 10 jam yakni dari pukul 05.00 hingga pukul 15.00. 21 Maret 1963 : Kota Subagan, Karangasem terlanda lahar hujan hingga jatuh korban lebih kurang 140 orang. Setelah letusan dahsyat pada tanggal 17 Maret ini, maka aktivitasnya berkurang, sedang suara gemuruh yang tadinya terus menerus terdengar hilang lenyap. Demikian leleran lava ke utara berhenti pada garis ketinggian 501,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m dari puncak. 16 Mei 1963 : Paroksisma kedua diawali oleh letusan pendahuluan, mula-mula lemah dan lambat laun bertambah kuat. Pada sore hari 16 Mei, kegiatan meningkat lagi terus meneru, hingga mencapai puncaknya pada pukul 17.07. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi kira-kira 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lebih kurang 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi lebih kurang 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lk. 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00. Nopember 1963 : Tinggi asap solfatara/fumarola mencapai lebih kurang 500 m di ats puncak. Sejak Nopember warna asap letusan adalah putih. 10 Januari 1964 : Tinggi hembusan asap mencapai 1500 m di atas puncak. 26 Januari 1964 : Pukul 06.50 tampak kepulan asap dari puncak Gunung Agung berwarna kelabu dan kemudian pada pukul 07.02, 07.05 dan 07.07 tampak lagi letusan berasap hitam tebal serupa kol kembang, susul menyusul dari tiga buah lubang, mula-mula dari sebelah barat lalu sebelah timur mencapai ketinggian maksimal lebih kurang 4.000 m di atas puncak. Seluruh pinggir kawah tampak ditutupi oleh awan tersebut. Suara lemah tetapi terang terdengar pula. 27 Januari 1964 : Kegiatan Gunung Agung berhenti Produk Letusan 1963 Lahar Hujan: Sesuai dengan letak geografi dari Gunung Agung yang bertindak sebagai penangkap hujan angin tenggara yang menghembus, lahar besar dimulai di lereng utara, kemudian di lereng timur menenggara untuk kemudian lambat laun bergeser ke
Bali Tempo Dulu
206
jurusan barat dan mencapai klimaksnya di lereng selatan baratdaya. Lahar besar ke selatan mulai meluas pada ketinggian 500 m antara Rendang dan padangkerta. Kemudian di bawah Tukad Jangga, yakni di Tukad Krekuk dan Jasi, Bugbug dan akhirnya di Tukad Unda. Mengingat daerah utara terletak dalam bayangan hujan, laharnya bukan bayangan daripada endapan lepas, yang sebenarnya maksimal jatuh di sebelah sini. Aliran Lava : Lava yang meleler antara 19 Pebruari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m. Isi lava tersebut ditaksir sebanyak lebih kurang 339,235 juta m3. Bahan Lepas : Terdiri dari bom gunungapi, lapili, pasir dan abu, baik berasal dari awan panas letusan maupun dari ledakan kawah pusat. Jumlah seluruhnya selama roda kegiatan berlangsung : Eflata (bom, pasir dan abu) lebih kurang 380,5 . 106 m3, Ladu lebih kurang 110,3 . 106 m3. Awan Panas Gunung Agung : Di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Pada waktu itu maka bagian bawah dari tiang letusan yang jenuh dengan bahan gunung api melampaui tepi kawah dan meluncur ke bawah. Bergeraknya melalui bagian yang rendah di tepi kawah, ialah lurah dan selanjutnya mengikuti sungai. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di Tukad Luah dan di sebelah utara 14 km di Tukad Daya. Menurut Suryo (1964) selanjutnya, awan panas guguran adalah awan panas yang sering meluncur dari bawah puncak (tepi kawah). walaupun tidak ada letusan dapat terjadi awan panas guguran. Dapat pula terjadi apabila terjadi bagian dari aliran lava yang masih panas gugur, seperti terjadi pada waktu lava meleler di lereng utara. Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan baratdaya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas lebih kurang 70km2 dan menyebabkan jatuh 863 korban manusia. Korban Kegiatan Gunung Agung Menurut Suryo (1965, p.22-26) ada 3 sebab gejala yang menyebabkan jatuh korban selama kegiatan Gunung Agung dalam 1963, yakni akibat awan panas, piroklastika dan lahar. Akibat awan panas meninggal 820 orang, 59 orang luka. Akibat Piroklastika meninggal 820 orang, luka 201 orang. Akibat lahar meninggal 165 orang, 36 orang luka. Kehebatan dan Energi : Kusumadinata (1964) telah menghitung energi dan kehebatan letusan Gunung Agung tahun 1963 dengan hasil sebagai berikut : kehebatan di level 4, Volume bahan letusan 0.83 km3, berat jenis 2,3 (d), Energi kalor yang dilepaskan 2,189.1025 erg (Eth), Kesetaraan bom atom : 2605,9 (Ae), Kebesaran letusan 8,99. Dari catatan dan wawancara tim expedisi Ring of Fire, ada beberapa kisah memilukan juga “kemanusiaan” saat gunung Agung ini meletus, ini petikan dari hasil wawancara nya : PURA di Badeg Dukuh dan Sogra hancur. Hampir seluruh bangunan ambruk diterjang awan panas. Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra.
Bali Tempo Dulu
207
Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra dan Badeg mungkin dianggap mencari mati. Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu itu. Badeg Dukuh, menurut budayawan Bali, Cok Sawitri, memang bukan perdukuhan biasa. ”Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Marijan (di Gunung Merapi, Yogyakarta). Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia memang tak mau mengungsi,” katanya. Budayawan yang berasal dari Karangasem ini pernah bertemu dengan saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh. ”Mereka bilang, di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa,” katanya. Semua korban, menurut Cok Sawitri, berlapis debu. ”Saat disentuh langsung hancur.” Cok yakin, orang-orang yang tewas di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan. ”Itu barangkali ungkapan kesetiaan sebagai kuncen,” katanya. Keyakinan Cok Sawitri itu didasari cerita dari pamannya, Tjokorda Gde Dangin, yang pada saat letusan menjadi Perbekel Desa Sidemen, sekitar 20 kilometer dari Badeg Dukuh. Menjelang letusan pada Minggu pagi itu, anak-anak dari Badeg Dukuh, termasuk anak dari Kepala Badeg Dukuh, datang ke rumah Gde Dangin. Mereka meminta izin mengungsi di Sidemen karena Gunung Agung dipercaya akan meletus hebat. ”Paman lalu bertanya, bapak kalian mana?” kisah Cok Sawitri. Anak-anak itu menjawab, ayah mereka tidak ikut karena harus mengiringi perjalanan Bathara Gunung Agung menuju samudra. ”Barangkali orang-orang di Badeg Dukuh itu disuruh memilih, mau menyambut letusan gunung itu atau mengungsi,” kata Sawitri. Kisah Sawitri ini mengingatkan pada hasil penelitian Thomas A Reuter dalam Custodians of the Sacred Mountains (2002) yang menyebutkan bahwa orang-orang Bali di pegunungan merasa memiliki kewajiban suci melindungi pulau itu. Reuter mengutip pernyataan Jero Tongkong, tetua Bali Aga—sebutan orang luar terhadap masyarakat Bali pegunungan—yang mengatakan,”Kami menjaga pegunungan kehidupan ini, pura-pura asal-usul Bali: kami adalah dahan tua yang mendukung ujung yang segar. Jika kami mengabaikan tugas (ritual) kami, dunia akan berguncang dan seluruh penduduknya akan hancur lebur.” Antropolog Universitas Indonesia, James Danandjaja dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, 1980, juga mencatat tentang kisah orang-orang Trunyan yang tidak mau mengungsi saat Gunung Agung meletus hebat pada 1963. Padahal, letusan itu berdampak pula kepada masyarakat Trunyan yang desa induknya terletak di tepi Danau Batur. Menurut Danandjaja, awan panas tidak langsung mengenai desa tersebut, tetapi hujan abu yang turun lebat menyebabkan sebagian tanah di kawasan itu menjadi tandus sehingga menimbulkan kelaparan. Lahar juga mengakibatkan sebagian besar desa induk Trunyan tersapu masuk ke dalam danau. ”Mereka tidak mau meninggalkan desa walau diperintahkan oleh Bupati Bangli untuk keluar dari kawah Gunung Batur purba, tempat desa induk berada,” tulis Danandjaja. Yang mengungsi saat itu, menurut Danandjaja, hanya Perbekel (kepala desa) Trunyan, lantaran tidak mau menyinggung perasaan pemerintah daerah. ”Itu pun setelah beberapa hari, ia pulang kembali ke desa walaupun suara gemuruh dan gempa bumi belum reda,” tulisnya.
Bali Tempo Dulu
208
Danandjaja menggambarkan, masyarakat Bali sejak dulu begitu terikat dengan gununggunung yang mengelilingi mereka. Gunung menjadi pusat orientasi spiritual masyarakat. Besakih saat Letusan Menjulang 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) di tengah Pulau Bali, Gunung Agung merupakan gunung suci. Gunung tertinggi di Bali ini dipercaya sebagai perempatan agung atau sumbu Bumi yang menjadi persemayaman Bathara Mahadewa atau Hyang Tolangkir. Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang datang ke Bali pada saat kritis itu, menemukan sebagian masyarakat Bali meyakini bahwa penyebab letusan Gunung Agung tahun 1963 bersifat spiritual. Arahan dari jawatannya pun diabaikan. Padahal, Direktorat Geologi—lembaga pemerintah yang bertanggung jawab soal gunung api waktu itu—telah menetapkan zona bahaya Gunung Agung dalam radius 5 kilometer dari puncak. Dalam laporan resmi kepada jawatannya berjudul Kegiatan Gunung Agung: tanggal 16 Febuari- 21 Maret 1963, Kusumadinata menyebutkan, sebagian masyarakat Bali lebih mempercayai ucapan orang yang kerasukan (trance). Beberapa informasi yang berhasil dikumpulkannya dari orang-orang trance itu, di antaranya, ”Bathara Gunung Agung marah dan mengancam akan meletus jika dalam jangka waktu satu minggu tidak dilaksanakan sesajen-sesajen dan permintaan lainnya yang akan dikemukakan oleh orang-orang yang kerasukan roh suci.” Untuk mengatasi itu, tambah Kusumadinata, kemudian marak dilakukan upacara nyapuh agem dan manik sampih dengan bebantem berupa kerbau, angsa, kambing putih, dan aneka sesajen lainnya. ”Memang setelah itu terasa kegiatan Gunung Agung agak mereda,” tulis Kusumadinata. Saat-saat kritis menjelang paroksimal pertama itu, masyarakat Bali tengah menyiapkan perayaan Eka Dasa Rudra pada 8 Maret 1963 di Pura Besakih, sekitar 6,5 km dari puncak Gunung Agung. Eka Dasa Rudra, menurut David J Stuart-Fox dalam Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, 2010, merupakan upacara agama yang paling besar bagi umat Hindu-Bali karena itu harus diselenggarakan di pura terbesar dan paling utama: Pura Besakih. Kusumadinata dan jajaran staf Direktorat Geologi, yang ditemui salah seorang panitia acara waktu itu, meminta agar upacara ditunda dulu seminggu hingga ada pemeriksaan lebih lanjut. Terjadi perdebatan alot. Upacara akhirnya tetap dilakukan pada tanggal yang sama. Para peneliti dari Direktorat Geologi mengalah. Mereka berkompromi upacara hanya boleh digelar pada hari pembukaan saja, selebihnya disarankan agar Pura Besakih dikosongkan sejak 9 Maret 1963. Alasan pengosongan, menurut Kusumadinata, ”Terasa getaran tanah yang lain sekali dari semula dan mungkin menandakan akan terjadi letusan besar. Letusan terus-menerus, kemungkin bisa menyebabkan tangkis alam yang selama ini melindungi Besakih lama-lama runtuh.” Sederet alasan yang disampaikan para ahli gunung api dari Direktorat Geologi itu pun tak mampu meyakinkan masyarakat Bali. ”Pengosongan Besakih tak dapat dilaksanakan,” tulis Kusumadinata. Upacara Eka Dasa Rudra tetap digelar seperti yang direncanakan. ”Sepuluh ribu orang menghadiri upacara tersebut pada hari itu (8 Maret), termasuk gubernur, para kepala pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh Bali yang terkemuka lainya,” tulis Stuart-Fox. Pada hari-
Bali Tempo Dulu
209
hari setelah itu, sekitar 5.000 orang datang ke Pura Besakih walaupun terjadi hujan debu dan lapili—kerikil yang disemburkan gunung api. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret, hanya dua hari sebelum letusan besar pertama terjadi. Sepanjang masa letusan, bangunan dan tempat-tempat suci di Pura Besakih itu hanya mengalami kerusakan kecil. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh. Demikian pula pada letusan besar kedua pada 16 Mei 1963. Namun, Pura Besakih mengalami kerusakan besar karena gempa tektonik berkekuatan 6 skala Richter yang mengguncang Bali pada 18 Mei 1963. #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#KITLV# Sumber : www.serunik.com › Misteri
Bali Tempo Dulu
210
Bali Tempo Dulu
211
KISAH PELUKIS LEGENDARIS "Andrien-Jaen ( Le Mayeur de Merpres ) & Ni Pollok ( Ni Nyoman Pollok) Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (lahir di Brusel, 9 Februari 1880 – meninggal di Ixelles, 31 Mei 1958 pada umur 78 tahun) ialah seorang pelukis dari Belgia. Ia tiba di Singaraja, Bali dengan perahu pada tahun 1932. Lalu ia menetap di Denpasar. Le Mayeur menyewa sebuah rumah di banjar Kelandis, Denpasar, tempatnya berkenalan dengan penari legong Ni Nyoman Pollok yang berusia 15 tahun, yang kemudian menjadi model lukisannya. Sejumlah karya Le Mayeur yang menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama kalinya pada tahun 1933, yang kemudian sukses dan iapun terkenal. Kembali dari Singapore, Le Mayeur membeli sepetak tanah di Pantai Sanur dan membangun rumah. Di rumah yang menjadi studio ini, Ni Pollok bekerja tiap hari sebagai model bersama 2sahabatnya. Kecantikan dan kepribadian Ni Pollok membuat Le Mayeur menikmati rumah barunya di Bali. Awalnya, ia hanya akan tinggal selama 8bulan, namun kemudian ia memutuskan untuk tinggal di pulau itu sampai akhir hayatnya. Setelah 3 tahun bekerja bersama, pada tahun 1935, Le Mayeur dan Ni Pollok menikah. Sepanjang kehidupan pernikahannya, Le Mayeur tetap melukis dengan menggunakan istrinya sebagai model.Le Mayeur tak ingin istrinya hamil karena ia takut tubuhnya yang indah itu rusak setelah melahirkan maka mereka tak memiliki anak sampai ajal menjemput. Pada tahun 1956, Bahder Djohan, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat itu mengunjungi Le Mayeur dan Ni Pollok di rumahnya. Bahder begitu terpesona dengan karya pelukis itu dan kemudian mengusulkan kepada pasangan itu untuk melestarikan rumah mereka dan seisinya sebagai museum. Le Mayeur menyetujui gagasan itu dan sejak itu ia bekerja lebih keras untuk menambah banyak koleksi rumah itu dan menambah kualitas karyanya juga. Akhirnya, impian Le Mayeur menjadi kenyataan ketika pada tanggal 28 Agustus1957, sebuah testamen ditandatangani, yang isinya adalah bahwa Le Mayeur mewariskan semua miliknya termasuk tanah, rumah, dan seisinya kepada Ni Pollok sebagai hadiah. Di saat yang sama, Ni Pollok kemudian memindahkan semua yang diwarisi dari suaminya kepada Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai museum. Pada tahun 1958, Le Mayeur menderita kanker telinga parah, dan ditemani oleh Ni Pollok ia kembali ke Belgia untuk menerima perawatan medis. Setelah 2 bulan di sana, akhirnya Le Mayeur meninggal dunia dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Ixelles/Elsene, Brusel. Ni Pollok kemudian pulang kampung untuk merawat rumahnya yang menjadi museum hingga kematiannya pada tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun. #BaliTempoeDuloe #wikipedia # Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Adrien-Jean_Le_Mayeur
Bali Tempo Dulu
212
Kunjungan Presiden Ir Soekarno beserta rombongan ke rumah Le Mayeur yang sekaligus dijadikan studio lukisannya di Jln pantai Sanur, Bali tahun 1950. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia# ArsipNasionalRi #
Bali Tempo Dulu
213
Kegiatan beragama umat hindu dibali yang sangat kental dengan nilai religius & sepiritual dari dulu hinga sekarang berdampak positif bagi kehidupan dalam masyarakat hindu di bali. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #
Bali Tempo Dulu
214
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Ngaben #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia#
Bali Tempo Dulu
215
MENGENAL LEBIH DALAM TARIAN KECAK Siapa yang tak mengenal tari Kecak. Tari tradisional Bali ini begitu unik dan sangat populer dikalangan wisatawan. Begitu populernya tarian ini hingga pernah tampil di Internasional. Tarian ini menceritakan mengenai kisah Ramayana. Berbeda dengan tarian lain yang diiringi musik gamelan, maka tarian ini hanya diiringi dengan paduan suara “cak” dari para penari laki-laki. Suara-suara tersebut ditata sedemikian rupa sehingga menjadi musik yang harmonis dan menyerupai kor akapela. Bahkan nama kecak juga diambil bunyi tarian ini. I Wayan Limbak, adalah tokoh di balik tarian ini. seniman kelahiran Bedulu, Gianyar, Bali.Bersama dengan temannya yang seorang pelukis berkebangsaan Jerman, Walter Spies, mereka membuat tari kecak di tahun 1930. Tak hanya itu mereka juga mempopulerkan
Bali Tempo Dulu
216
tarian ini ke negara-negara di Eropa. Ide pembuatan tarian kecak ini berawal dari kekaguman mereka terhadap tarian dalam ritual Sanghyang yang ditambahkan kisah Ramayana di dalamnya. Ritual Sanghyang merupakan tradisi masyarakat Bali untuk menolak bala dengan berkomunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur. Ada beberapa tarian dalam ritual Sanghyang, misalnya Tarian Sanghyang Dedari yang dibawakan oleh dua penari perempuan yang masih perawan. Tarian ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat. Selain itu juga ada Sanghyang Jaran yang dipentaskan oleh penari laki-laki. Laki-laki ini kesurupan dan berjingkrak-jingkrak layaknya tingkah seekor kuda dan ia menari di atas bara api.Tari kecak dimainkan oleh 50 hingga 150 penari yang umumnya pria. Mereka menggunakan kain tradisional Bali, kotak hitam-putih, dan bertelanjang dada. Sementara tokoh Rama, Sinta , Hanoman, Sugriwa dan Rahwana mengenakan pakaian layaknya pertunjukkan pada umumnya. Para penari kemudian membunyikan “cak, cak, cak,…”, yang diselingi dengan beberapa aksen dan ucapan yang lain, sembari mengangkat kedua lengan. Bunyi yang dikeluarkan penari dalam tarian berdurasi 45 hingga 60 menit ini menyerupai suara monyet sehingga tarian ini disebut juga dengan “Monkey Dance”. Para penonton juga merasakan aura mistis ketika mendengarkan ritme bunyian para penari. Ada empat adegan yang menggambarkan cerita Ramayana. Adegan yang pertama menggambarkan ketika Rama diminta Sinta untuk menangkap kijan emas. Sinta kemudian dijaga adik Rama, Laksamana. Namun karena Laksamana dituduh telah menyababkan Rama meninggal, ia pun meninggalkan Sinta sendirian. Dilanjutkan dengan adegan kedua yang menggambarkan ketika Sinta diculik oleh Rahwana yang menyamar sebagai orang tua. Selanjutnya Sinta dibawa ke Alengka Pura. Pada adegan ketiga Rama dan Laksamana tersesat di hutan Ayodya Pura. Rama meminta Hanoman mengantarkan cincinnya kepada Sinta yang berada di Alengka Pura. Dan di adegan keempat menggambarkan Hanoman yang mengobrak-abrik taman di Alengka Pura usai memberikan cincin kepada Sinta. Usai adegan Ramayana, tarian ini dilanjutkan dengan tarian Sanghyang Dedari dan Sanghyang Jaran. Para penari yang membawakan tarian ini sedang dalam kondisi tidak sadar karena dimasuki roh. Maka tak mengherankan jika mereka kebal menari di kelilingi api Sumber : http://www.anythingbali.com/mengenal-lebih-dalam-tarian-kecak/ #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum#wikipedia#Balilawas#senibudayabali#
Sejarah Terbentuknya Zelfbestuur (Gelar Raja) di Bali oleh Pemerintah hindia Belanda. Foto raja-raja bali 1938 Koleksi : KITLV LEIDEN
Bali Tempo Dulu
217
berdasarkan staatblaad No. 529 berupa Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda No. 1, tertanggal 30 Juni 1938, maka terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 I Gusti Bagus Jelantik diangkat menjadi pimpinan zelfbestuur Karangasem. Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbestuur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah zelfbestuurzelfbestuur lain di seluruh Bali, yaitu zelfbestuur Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng (Ibid). Setelah terbentuknya zelfbestuur (swapraja) di seluruh Bali, atas inisiatif Residen L.J.J. Caron, pada tahun 1929 gelar raja sebagai zelfbestuurder disesuaikan dengan linggih (titel adat) Bali. Raja Klungkung menggunakan gelar “Dewa Agung”; Buleleng, Jembrana, Gianyar, dan Bangli menggunakan gelar “Anak Agung”; Badung dan Tabanan menggunakan gelar “Cokorda”; dan Karangasem menggunakan gelar “Anak Agung Agung” (ibid)22. Semua negara zelfbestuur tersebut kemudian masing-masing membentuk apa yang disebut paruman negara, yaitu sebuah majelis perwakilan yang terdiri dari para punggawa, seorang anggota Raad Kerta (pengadilan), beberapa orang sedahan, dan seorang dari kalangan swasta yang ditunjuk oleh zelfbestuurder (raja) atas persetujuan residen. Di samping itu—demi kepentingan bersama—dibentuk pula paruman agung, yaitu sebuah badan perwakilan yang mewakili setiap zelfbestuur yang ada di Bali. Anggota paruman agung terdiri dari masingmasing dua (2) orang yang dikirim oleh zelbestuurder. Dewan perwakilan tersebut memiliki seorang sekretaris dan ketuanya ialah residen yang berkedudukan di Singaraja. Sumber : www.karangasemkab.go.id/index.php?...sejarah-kabupaten-karangasem... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum# #wikipedia#KITLV#
Bali Tempo Dulu
218
PERTUNJUKAN TARI KECAK DESA ADAT BONA,GIANYAR 1930. Belum ada yang tahu darimana awal mulanya tari kecak muncul dan pertama kali berkembang. Namun terdapat sebuah kesepakatan dari masyarakat Bali Kecak yang menyebutkan bahwa Tari kecak pertama kali berkembang di Bona, Gianyar. Pada awalnya tari kecak merupakan suatu seni musik yang di hasilkan dari perpaduan suara yang biasa mengiringi tarian sahyang. Pada mulanya hanya dapat di pentaskan di pura, karena Tarian Sahyang merupakan salah satu tarian sakral. Namun pada tahun 1930an muncul seorang seniman bernama Wayan Limbak yang bekerja sama dengan seorang pelukis dari Jerman yang bernama Walter Spies yang mencoba mengembangkan tarian ini dengan mengambil bagian dari cerita ramayana yang di dramatarikan sebagai pengganti dari tarian sahyang dengan tujuan agar tarian ini dapat dipentaskan di depan khalayak ramai. Bagian cerita yang diambil dan di dramatarikan awalnya adalah ketika Dewi Shinta di culik oleh Raja Rahwana. Bupati Gianyar Anak Agung Gde Agung Bharata mendorong warga Desa Adat Bona kembali menghidupkan tari Kecak yang sempat mengalami masa keemasannya pada era 1980-an. "Dulu Desa Pakraman (adat) Bona terkenal oleh penampilan tari Kecak. Sekarang tradisi itu harus dihidupkan kembali," katanya di Gianyar, Bali, Ahad. Ia menilai, kesenian tradisional selain memberikan hiburan pada masyarakat juga bagian dari upaya melestarikan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. "Warga Bona berkewajiban mengembalikan tari Kecak sesuai dengan pakemnya. Jangan seperti sekarang yang terkesan asal-asalan," kata Agung Bharata di sela-sela menyaksikan uji coba tari Kecak oleh masyarakat Desa Bona. Sumber : kebudayaan1.blogspot.com/.../asal-muasal-munculnya... www.antarabali.com/.../warga-bona-hidupkan-kecak-k... #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum#wikipedia#
Bali Tempo Dulu
219
PEMENTASAN KESENIAN ARJA DI BALI TAHUN 1920. Foto koleksi Tropen Museum Terlihat antusias masyarakat bali yang ingin menonton kesenian ini Mereka membuat sebuah lingkaran besar membentuk panggung Ada beberapa lingkaran dan setiap lingkaran itu di pentaskan kesenian yang berbeda,semangat dan kecintaan masyarakat terhadap seni budaya sangat tinggi,Walaupun kesenian yang di pentaskan pada jaman dulu sering di adakan pada siang hari di saat terik matahari sangat terasa panas. Arja Arja sebagai kesenian Tradisional Bali, disebutkan awalnya muncul kira - kira pada tahun 1920 yang diperankan oleh para laki - laki. Tema yang biasanya digunakan dalam arja bisanya mengambil lakon sejarah / kisah - kisah, drama kontemporer maupun cerita cinta. Demikian sejarah arja yang dikutip dan diterjemahkan dari Arja, Balinesedance.
Bali Tempo Dulu
220
Berbeda dari kesenian tradisional Bali lainnya, ciri khas arja dalam setiap video pementasannya terlihat kesenian arja ini disamping memiliki petuah ajaran kebaikan, lelucon, dagelan, tarian dan seni drama yang tidak kalah dengan kesenian bali lainnya, arja juga selalu menonjolkan nyanyian seperti kekawin atau kidung - kidung tradisional Bali dan juga busana yang digunakan pun pakaian adat Bali lengkap. Sedangkan musik atau gamelan sebagai pengiring dalam kesenian ini disebutkan dalam babad bali, arja pada mulanya Arja hanya menggunakan gamelan Geguntangan, namun kirakira sejak beberapa tahun dalam perkembangan selanjutnya Arja diiringi dengan gamelan gong kebyar Sumber : senitradisionalbali.blogspot.com/2012/05/arja.html #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum #wikipedia # #Baliage#balilawas #KITLV#
SEJARAH PURI AGUNG GIANYAR ASAL MULA NAMA KABUPATEN GIANYAR BALI,INDONESIA. Foto Puri Agung Gianyar Tahun : 1880. Dikisahkan Manca Agung Puri Grenceng yang beranama Kiyayi Anglurah Wayahan Grenceng salah satu cucu Ida Bhatara Sakti Pemcutan yang merupakan putra tertua Kiyayi Anglurah Nengah Tanjung dari Jero Dlod Bale Lantang Pemecutan pernah mengalahkan Raja Sukawati yang bernama I Dewa Agung Gde Sukawati. Berawal dari I Dewa Agung Jambe dari Puri Kelungkung yang beribu dari Putri Kyayi Anglurah Pemecutan I/ Kiyayi Jambe Pule mempunyai 3 putra : I Dewa Agung Made - menggantikan kedudukan I Dewa Agung Jambe sebagai raja di Kerajaan KelungkungI Dewa Agung Anom - mendirikan Puri Sukawati I Dewa Agung Ketut Agung kembali ke puri lama Gelgel I Dewa Agung Anom raja Sukawati mempunyai 2 orang putrayang sulung I Dewa Agung Gde dan yang bungsu I Dewa Agung Made. Setelah dewasa kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan dan jarang sekali berada di
Bali Tempo Dulu
221
Puri sehingga membuat Raja Sukawati sangat khawatir akan kelanjutan pemerintahan di Puri Sukawati. Pada sutu hari datanglah menghadap Dewa Manggis Api dari Desa Beng untuk mengabdi di Kerajaan Sukawati. Raja Sukawati menerima dengan baik permohonan Dewa Manggis Api dan setelah diterima mengabdi di Kerajaan Sukawati Dewa Manggis Api dapat menempatkan diri sebagai abdi yang setia dan sangat membantu kelangsungan pemerintahan Kerajaan Sukawati. Oleh karena itu lambat-laun Dewa Manggis Api mendapat kepercayaan besar dari Raja Sukawati untuk mengurus jalannya pemerintahan karena kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan Kerajaan Sukawati. Pada suatu ketika Raja Sukawati menderita sakit yang sangat parah dan Dewa Manggis Api sebagai Abdi yang setia berusaha dengan segala cara untuk mencarikan pengobatan untuk Raja Sukawati, namun usahanya sia-sia sampai Akhirnya raja Sukawati kembali ke alam baka. Setelah Raja Sukawati meninggal terjadilah perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Gde dan I Dewa Agung Made, masing masing ingin menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala pemerintahan di Kerajaan Sukawati. Perselisihan yang akhirnya menyulut perang saudara dan menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat Sukawati. Didalam peperangan ini I Dewa Agung Made menderita kekalahan yang menyebabkan beliau menyingkir dari wilayah Sukawati menuju desa Peliatan dan mendirikan Puri baru yang bernama Puri Peliatan. Walaupun I Dewa Agung Gde sudah mendapat kemenangan hati beliau belum puas sebelum dapat menyingkirkan adik beliau selama lamanya, maka diseranglah kembali Puri Peliatan. Dalam peperangan tersebut I Dewa Agung Made dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan I Dewa Agung Gde dan minta perlindungan ke Kerajaan Badung. Ida Bhatara Sakti sebagai penguasa di wilayah Badung menerima dengan baik I Dewa Agung Made yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Puri Agung Pemecutan. Sekian lama I Dewa Agung Made di Kerajaan Badung dan Puri Peliatan telah dikuasai oleh kakaknya yaitu I Dewa Angung Gde. Kembali kepada Dewa Manggis api yang mengabdi di kerajaan Sukawati, beliau adalah keturunan Ida Dalem Segening (Raja Gelgel) yang beribu dari penawing (rakyat biasa). Ayah beliau bernama Dewa Manggis Bengkel yang mendirikan desa Beng. Ayahnya mempunyai 2 orang saudara dari lain ibu yaitu Dewa Ketut Pinatih dari Puri Serongga dan Dewa Gde Kesiman dari Puri Bitra. Sesudah Raja Sukawati meninggal maka Dewa Manggis Api meninggalkan Kerajaan Sukawati kembali ke asalnya yaitu desa Beng. Kembalinya Dewa Manggis Api ke Desa Beng ternyata menimbulkan masalah dengan Cokorda Anom Bende yang merupakan saudara angkatnya dari Puri Pejeng. Perselihan tersebut menyebabkan Dewa Manggis api mengalah dan pergi dari Desa Beng menuju Desa Taman Bali untuk mengabdi kepada Raja Taman Bali yaitu I Dewa Gde Ngurah Pemecutan yang beribu dari keluarga Puri Agung Pemecutan. Setelah beberapa lamanya Dewa Manggis Api mengabdi di Kerajaan Taman Bali, beliau dijemput oleh pamannya yaitu Dewa Ketut Pinatih dan Dewa Gde Kesiman yang mempunyai maksud untuk mendirikan kerajaan Baru sebab banyak rakyat Sukawati yang dulunya setia kepada Dewa Manggis Api pada waktu mengabdi di Kerajaan Sukawati yang pindah ke Puri Serongga,
Bali Tempo Dulu
222
Adapun Maksud kedua paman Dewa Manggis Api mendapat dukungan penuh dari I Dewa Gde Ngurah pemecutan asalkan kerajaan tersebut tidak dibangun di Desa Beng. Akhirnya diputuskan bahwa kerajaan baru tersebut akan dibangun agak keselatan di tempat Griya Ida Pedanda Tarukan. Untuk mendukung rencana tersebut maka I Dewa Gde Ngurah pemecutan menyediakan ahli bangunan dari Kerajaan Taman Bali diantaranya I Tarukan, I Karang dan I Gunung. Tidak berapa lama Kerajaan Baru telah selesai didirikan dan diberi nama Geriya Anyar karena didirikan diatas Geriya Ida Pedanda Tarukan. Lama kelamaan Geriya Anyar berubah menjadi Puri Agung Gianyar dan Dewa Manggis Api dinobatkan sebagai Raja I Puri Gianyar dengan gelar I Dewa Manggis Sukawati tahun 1771 Masehi. Kembali lagi kepada I Dewa Agung Made setelah sekian lama beliau berdiam di Kerajaan Badung minta perlindungan Ida Bhatara Sakti, beliau ingin mengembalikan kedudukannya sebagai raja di Puri Peliatan. Ida Bhatara Sakti dapat mengerti hal tersebut dan setelah dilakukan perundingan dengan putra putra beliau maka diputuskan untuk memberi tugas kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng untuk melaksanakan tugas tersebut. Ida Bhatara Sakti memerintahkan untuk mengempur kerajaan Sukawati sampai bertekuk lutut, Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng mohon restu Ida Bhatara Sakti dan meninggalkan bale penangkilan puri Agung Pemecutan dan mempersiapkan laskar Badung untuk menggempur Kerajaan Sukawati dengan kekuatan inti warga Pulasari karena ibu beliau berasal dari warga Pulasari, maka Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng dianggap sebagai kewangen oleh warga Pulasari dan mereka akan membantu sampai titik darah penghabisan. Diceritakan laskar Pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng sudah berada di seberang sungai disebelah Barat Puri Sukawati, Rakyat Sukawati yang sudah mengetahui kedatangan musuh tersebut mengadakan perlawanan dengan hebat, korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Karena kewalahan menghadapi serangan tersebut laskar Sukawati yang ada di Puri Peliatan terpaksa ditarik untuk mempertahankan Puri Sukawati. Namun usaha tersebut gagal karena kuatnya perlawanan dari laskar Badung maka Raja Sukawati I Dewa Agung Gde merintahkan kepada seluruh pasukannya untuk mundur dan menyingkir ke Tojan Blahbatuh. Namun karena di desa Blahbatuh dirasa masih kurang aman maka beliau memutuskan untuk minta perlindungan kepada I Dewa Manggis Sukewati yang baru dinobatkan sebagai Raja Gianyar. Laskar Badung terus menyerbu kedalam Puri Sukawati dan berhasil menduduki Puri Sukawati. Sungai yang dipakai untuk medan pertempuran kemudian dinamakan sungai Gerenceng dan lama kelamaan disebut sungai Cengceng. Kembali kepada adik Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Made yang minta perlindungan kepada Raja Pemecutan, setelah mendengar kekalahan I Dewa Agung Gde, beliau kemudian mohon pamit kepada Ida Bhatara Sakti untuk kembali ke Purinya di Peliatan. I Dewa Agung Gde yang minta perlindungan kepada Raja Gianyar I Dewa Manggis, disana beliau diterima dengan sangat baik karena I Dewa Manggis merasa berhutang budi kepada ayah beliau semasa I Dewa Manggis mengabdi di kerajaan Sukawati. Dibawah bimbingan raja Gianyar tersebut tingkah laku I Dewa Agung Gde banyak mengalami perubahan, dimana dulunya tidak hirau dengan ilmu kenegaraan maka sekarang beliau dapat belajar banyak dari I Dewa Manggis tentang bagamana seharusnya tingkah laku sebagai seorang Raja sehingga dicintai oleh rakyat.
Bali Tempo Dulu
223
Melihat perubahan sikap I Dewa Agung Gde tersebut timbul niat Raja Gianyar I Dewa Manggis untuk mengembalilan posisi I Dewa Agung Gde sebagai Raja Sukawati. Untuk maksud tersebut sebagai tahap awal I Dewa Manggis mengadakan kontak dengan I Dewa Agung Made Raja Peliatan untuk menjelaskan maksud beliau agar kedua Raja bersaudara tersebut bisa hidup rukun kembali. I Dewa Manggis mengharapkan keiklasan I Dewa Agung Made untuk datang ke Kerajaan Badung mohon kepada Ida Bhatara Sakti untuk menarik laskar pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng di Kerajaan Sukawati. I Dewa Agung Made dapat menyetujui saran tersebut dan setelah melalui beberapa kali perundingan antara Raja Peliatan dengan Raja Badung maka akhirnya diputuskan untuk menarik laskar Badung dari Kerajaan Sukawati. Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng selama menjalankan pemerintahan di Kerajaan Sukawati pernah membangun Banjar Pemecutan dan peninggalan tersebut masih ada sampai sekarang. Dan sebagai rasa terima kasih raja Gianyar I Dewa Manggis Sukawati kepada pimpinan laskar Badung Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng maka seorang gadis keturunan Meranggi putri pembesar kerajaan Gianyar diserahkan kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng. Putri tersebut akhirnya diberikan kepada Putra beliau yaitu Kiyayi Agung Made Gerenceng sehingga melahirkan keturunan Kiyayi Agung Gde Meranggi. Untuk menjamin suasana perdamaian tersebut maka Raja Gianyar I Dewa Manggis memberikan maklumat kepada kedua raja bersaudara tersebut bahwa bila ada salah satu dari Raja tersebut menyerang Raja lainnya maka Raja Gianyar akan memihak kepada Raja yang diserang. Maka mulai saat itu kedua kerajaan bersaudara tersebut ada dibawah kekuasaan Raja Gianyar. I Dewa Agung Gde kemudian kembali memerintah kerajaan Sukawati dan menurukan pertisentana (keturunan) Cokorda Ubud, Cokorda Payangan dan Cokorda Singapadu. Demikianlah akhir dari ekspedisi Laskar Pemecutan ke daerah Sukawati dan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng kembali ke Puri Pemecutan. Sumber : http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.ru/2009_11_23_archive.html #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV # #Baliage #balilawas #
Bali Tempo Dulu
224
Bali Tempo Dulu
225
PURA BEJI SANGSIT Kec : SAWAN KABUPATEN BULELENG BALI,INDONESIA Foto : 1910 - 2013 Pura Beji adalah salah satu pura atau tempat peribadatan agama Hindu yang terkenal di Pulau Bali, tepatnya di Sangsit, Sawan, Buleleng, Bali Utara. Pura ini diperuntukkan bagi pemujaan untuk Dewi Sri yang menjadi lambang dewi kesuburan atau dewi pertanian. Pura Beji yang terletak di Sangsit, Sawan, Buleleng ini memiliki arsitekstur yang sangat berbeda dari semua pura di Bali Barat dan Selatan. Pura di kawasan Bali Utara ini bentuknya lebih simetris dan sangat kental dengan pengaruh Tiongkok. Karena keunikan inilah mengapa Pura Beji di Sangsit, Sawan, Buleleng ini menjadi sangat populer. Pura cantik ini terletak sekitar 8 kilometer dari arah timur Kota Singaraja. Jika dicermati lebih lanjut, Pura Beji di kawasan Sangsit, Sawan, Buleleng ini merupakan contoh yang sempurna dari gaya Rococo utara yang lengkap dengan ukiran candi dan sudut simetri yang tidak biasa. Pura di kawasan Sangsit, Sawan, Buleleng dibangun dengan ukiran batu pasir merah muda yang sangat halus. Pada dindingnya dihiasi dengan patung setan dan ular. Anda juga akan dengan mudah melihat sebuah pohon Kamboja tua yang terletak di pekarangan pura di kawasan Sangsit, Sawan, Buleleng ini. selain itu terdapat juga beberapa ukiran yang dibuat oleh musisi Belanda yang sangat menawan dan menarik untuk dilihat. Konon dulu , sebelum era kedatangan Dang Hyang Nirartha, kawasan Bali utara atau kabupaten Buleleng dikenal sebagai wilayah Den Bukit. Pada awalnya kehidupan manusia di Bali, keberadaan mereka bermula hidup di wilayah Buleleng timur. Pada saat itulah diperkirakan awal kemunculan konsep “Pa Bhuwana” dalam penataan pura-pura di Bali. Khususnya di daerah Buleleng timur. Salah satu pura yang termasuk di dalamnya adalah Pura Beji Sangsit. Sebagaimana pernah diungkap oleh Ida Pandita Nabe Sri Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, pura-pura yang disebutkan masuk dalam konsep penataan itu, yakni Pura Panegil Dharma, pura-pura yang ada di Desa Bulian, Pura Meduwe Karang, Pura Dalem Puri, Pura Gunung Sekar (Guruyang/Guru Hyang), Pura Beji, Pura Pasupati, Pura Air Sanya (Air Sanih) dan Pura Bukit Sinunggal. Disebutkan pula, pada zaman Kesari Warmadewa, Pura Besakih belum ada. Dalam perkembangannya setelah kedatangan Mpu Kuturan, disusul kemudian dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di era Dalem Waturenggong, keberadaan pura-pura berkonsep “Pa Bhuwana” ditata kembali lebih dalam lingkup wilayah seluruh Bali. Seperti berkembangnya Pura Besakih dan berdirinya pura-pura Kahyangan Jagat lain yang ada sampai saat ini. Di antaranya yang termasuk pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Batukaru, Tanah Lot, Uluwatu, sampai Goa Lawah. Dikisahkan pada zaman Waturenggong, wilayah Buleleng timur dianggap daerah yang tidak patut dihuni. Bahkan ketika itu menjadi tempat pembuangan, termasuk tempat pengasingan Ki Anglurah Panji Sakti. Namun belum ada data pasti, kapan tepatnya peristiwa itu terjadi. Terlepas dari itu lingkungan Pura Beji yang dikenal sebagai pura subak untuk desa pakraman Sangsit ini dikatakan sebagai lingkungan pura untuk memuja Dewi Sri – dewi yang diyakini berhubungan dengan bidang pertanian, menciptakan padi sebagai bahan makanan pokok, dan pemberi kemakmuran. Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing. Dengan keberadaan bentuk struktur bangunan, pura Beji merupakan media komunikasi bagi masyarakat sebagai wadah untuk kegiatan spiritual dan juga sebagai hasil dari kebudayaan. Pura ini dibangun melalui proses kesepakatan bersama masyarakat saat itu dengan rancangan yang holistik dari para undagi zaman dulu. Pura Beji menjadi salah satu karya arsitektur bersejarah yang religius
Bali Tempo Dulu
226
yang tetap berada pada lokasi historisnya yang memiliki ciri khas tersendiri. Itulah informasi seputar keindahan dan nilai yang terdapat di Pura Beji, semoga nilai-nilai yang terdapat di pura ini dapat dijaga dan dilestarikkan sepanjang hayat agar bisa dinikmati oleh acak cucu genereasi selanjutnya. Sumber : http://www.tempat-wisatabali.org/2014/02/keindahan-pura-beji-di-bali.html #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV #
PERAIRAN BALI UTARA KABUPATEN BULELENG Kabupaten Buleleng merupakan salah satu Kabupaten yang terletak dibagian utara Pulau Bali berbatasan dengan Laut Jawa/Bali, sehingga sebagian besar wilayah Kabupaten merupakan kawasan pesisir dengan panjang pantai 157,05 Km dengan aneka ragam kekayaan laut serta potensial ( luas laut 319.680 Ha ) Atau ± 1.166,75 km² untuk radius 4 mil. Dari penduduk yang berjumlah sebanyak 786.972 pada tahun 2009 sebanyak 4.314 orang ( 0,67 % ) bermata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan yang bekerja sebagai petani ikan ( pembudidaya ) sebanyak 864 orang ( 0,13 % ). Perkembangan pembangunan dibidang perikanan dalam periode 2 tahun terakhir menunjukan peningkatan, tercemin dari peningkatan produksi yang cukup pesat baik dalam budidaya ikan air tawar, air deras, minat padi dan kegiatan budidaya diperairan umum lainnya.
Bali Tempo Dulu
227
Sampai dengan tahun 2009 Sub Sektor perikanan telah dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan PDRB Kabupaten Buleleng sebesar 188.953.100.000 miliar rupiah.
Budidaya Perikanan Laut Potensi perairan Kabupaten Buleleng, selain memiliki potensi perikanan tangkap juga mempunyai potensi perikanan budidaya. Kawasan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai budidaya mencapai luas 1000 Ha, dengan jenis budidaya sebagai berikut : Budidaya Kerapu dan Bandeng Potensi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kerapu dan bandeng seluas 500 Ha dan pada tahun 2009 pemanfaatan baru mencapai 3,50 Ha ( 0,70 % ) dengan hasil produksi sebesar 56,70 ton, dan sisa peluang investasi seluas 496,5 Ha ( 99,30 % ).
Budidaya Rumput Laut Potensi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut seluas 250 Ha dan pada tahun 2009 pemanfaatan baru mencapai 220 Ha (88 %)dengan hasil produksi 1,251,40 ton masih tersedia peluang investasi seluas 30 Ha ((12%). Budidaya Mutiara Potensi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mutiara seluas 129,50 Ha (51,80%), dengan hasil produksi sebesar 104. 110 ekr sepat,72.969 butir mutiara dan 130 ton cangkang dan sisa hasil peluang investasi seluas 120,5 Ha (48,20%). Sumber : www.bulelengkab.go.id/index.php/profil/10/Perekonomian #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum #wikipedia #Balilawas #KITLV #
Bali Tempo Dulu
228
I NYOMAN KAKUL SENIMAN TARI BALI ASAL DESA BATUAN GIANYAR,BALI INDONESIA Kakul dalam bahasa Bali berarti keong, atau siput air. Kerap digunakan metafora gerakan serba lambat, loyo, malas. Makna ini sungguh berbeda dengan anak manusia asal Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Gianyar, tahun 1905, yang kelak dinamai I Nyoman Kakul oleh orangtuanya, I Wayan Timtim (ayah) dan Ni Wayan Renti (ibu). Manakala menari, energi Kakul mengalir begitu deras, penuh vitalitas, dan menjadi standar mutu pada zamannya. Bila ada penari baris mendapat komentar dari penonton, "Cara igeligelan Baris Kakul,'' itu berarti sang penari sudah bagus, seenergik Kakul. Namun andai komentar yang diperoleh berbalik, "Tusing nyak cara igel-igelan Kakul,'' itu berarti sang penari kalah tanding, belum sedahsyat tarianKakul. Itu menjadikan Kakul begitu mencorong di antara pragina Bali sezamannya, hingga menembus berbagai benua. ''Saya sudah Meriken, juga sudah berbincang-bincang dengan Tuan Tepis,'' ucapnya ketika suatu hari, tahun 1967, sekawanan mahasiswa dari ASTI Denpasar beserta mahasiswa Jurusan Antropologi dan Fakultas Teknik Universitas Udayana, menemui sang maestro, di rumahnya. Yang dimaksud Kakul dengan Meriken adalah Negeri Paman Sam, Amerika, sedangkan Tuan Tepis maksudnya tiada lain Walter Spies, pelukis sekaligus impresario seni semasa kolonial Belanda. Tahun 1933 Kakul memang sudah memukau penikmat seni di Perancis dan Belanda. Dua
Bali Tempo Dulu
229
dasawarsa berselang bersama sekaa Legong Peliatan, Gianyar, dia pentas di Amerika Serikat, Jerman Barat, Paris, London, dan Kanada. Pernah juga tiga bulan dia berkelebat-kelebat dari Cekoslowakia, Belanda, India, hingga ke Rusia bersama sekaa Legong Bedulu yang berkarib dengan Walter Spies. Tahun 1970, bersama Prof. Dr. IB Mantra, semasa menjadi Dirjen Kebudyaan, Kakul kembali diajak melawat ke Jerman Barat. Pendakian Kakul di jagat seni bermula dari keterpikatannya ikut nglawang (pentas keliling) pada umur belasan tahun bersama sekaa Barong Bangkal di desanya. Dari sini mpu tari I Dewa Ketut Gedit lantas mendidik remaja Kakul menari Gandrung, lalu Arja Telu (dimainkan tiga penari). Tak puas sampai di sana, Kakul lantas suntuk belajar tari Baris. Hanya dalam waktu kurang dari sebulan dia sudah bisa menguasai sempurna tari Baris hingga menjadi acuan mutu. Dari mahaguru tari Anak Agung Gede Pajenengan, asal Sukawati, Kakul menimba ilmu tari Jauk, Arsawijaya, topeng tua, hingga Calonarang. Pendakiannya kian memuncak manakala kelak belajar tari Gambuh, sampai kemudian mnjadi satu di antara mpu Gambuh. Manakala kini orang menyebut Gambuh Batuan, sejatinyalah itu Gambuh warisan Kakul. Ayah lima anak dari dua istri ini kelak memang melesat menjadi penari sekaligus mahaguru tari penuh dedikasi. Ketenaran nama mengantarkannya sebagai rakyat malah bisa menjadi guru tari di balik tembok puri yang dihuni kaum ningrat, keturunan raja. Maka, dia pun mengajar tari Baris di Puri Klungkung, Bangli, Karangasem, Gianyar, selain juga mengajar tari di desa-desa atau banjar-banjar, membentuk sekaa-sekaa sebunan. Tiada heran bila muridmurid I Nyoman Kakul kebanyakan berderet dengan gelar Cokorda, Anak Agung, I Dewa, dan Ida Bagus. Sebagian murid-muridnya di kalangan puri itu kelak menjadi petinggi di jajaran birokrasi pemerintahan, ada pula menjadi duta besar, seperti Mr. Ide Anak Agung Gde Agung dari Puri Gianyar. Kakul juga ikut menjadi guru di Kokar (sejak berdiri 1961) dan ASTI (sejak berdiri 1967). Karena tidak bisa membaca dan menulis, Kakul kerap meminta bantuan para muridnya di sekolahan itu untuk membubuhkan cap jempol atau tanda tangan di lembar absen. Di lembaga seni sekolahan itu, Kakul yang mahaguru seni tar tradisi itu mengalirkan tari Gambuh, Parwa, Topeng, Barong, Baris, hingga Jauk. Di lembaga pendidikan seni itu dia tidak cuma melahirkan seniman bergelar sarjana, tapi juga master dan doktor hingga profesor. Namun di bilik lain, sang maestro, mahaguru Kakul, tetap saja hidup sederhana. Ia tidak mereguk keuntungan materi dari seni tari, kecuali keharuman nama menjagat. Untuk menghidupi keluarga, dia kerap mendapat upah justru dari jasa memanjat pohon kelapa, atau menjual daun sirih. Daun sirih itu didapat dengan membeli hingga ke Tegallalang yang berjarak 25 km dari desanya, lalu dijual ke Denpasar yang berjarak sekitar 15 km dari desanya. Semua ditempuh dengan berjalan kaki. Di kesempatan lain ada kalanya dia menjual kayu bakar, minyak kelapa, beras dan lain-lain. Sesekali sang maestro juga menerima upah dari jasa mendorong gerobak. Hikmah derita hidup itu bagi Kakul memang bermakna lain: di tetap menjadi manusia sederhana, rendah hati, apa adanya, tidak sombong. Dia tetap menjejak bumi meskipun namanya menjulang melambung, mencorong cemerlang. Sikap hidup sahaja, apa adanya itu pula menuntun dia memperlakukan semua muridnya sama saja, tanpa membedakan derajat harta maupun kasta. Manakala mengajar dia tetap galak, tegas. Tak segan dia ninjak punggung atau betis murid sang murid yang dinilai kaku, kalah lentur dengan pohon kelapa, lau memijat-mijat sekujur tubuh sang murid agar lemas, lentur.
Bali Tempo Dulu
230
Pola ajar itu pula dia terapkan kepada anak-anaknya di rumah. Kakul memang pantas menjadi teladan bagus, bagaimana menjaga alir tradisi seni agar terus ajeg, melewati batas generasi. Ia berprinsip: supaya alir seni itu terjaga sepajang generasi, jalan awal mesti ditempuh adalah menyiapkan secara matang anak-anak dan keluarga sendiri sebagai pelanjut. Bersamaan dengan itu dia letih dan bentuk pula sekaa di kampung kelahirannya. Dengan begitu setidaknya dia sudah menyiapkan dua lapis pertahanan buat menjaga kelangsungan alir tradisi seni yang ditekuni. Kesadaran itulah menyebabkan kini Gambuh dan tari-tari lain yang dikuasai Kakul tetap berdenyut di Batuan dalam napas sekaa sebunan. Di lingkup keluarganya Kakul mengalirkan kepiawaiannya kepada I Wayan Kantor, putra bungsunya. Kantor kelak menjadi generasi penerus tradisi tari di tanah natah palekadan Kakul. Kantor pula belakangan membentuk Sanggar Tari Nyoman Kakul di rumahnya, bersama anak-anaknya, selain memimpin sekaa Gambuh Mayasari milik desa, yang dibentuk semasa Kakul hidup. Sanggar Tari Nyoman Kakul dibentuk tahun 1983, setahun setelah Kakul meninggal, karena rajaman sakit lumpuh yang dideritanya sejak 1975. Dengan taktik dan strategi demikian Kakul, sejatinya, telah menumbuhkan akar bagi kekokohan kehidupan tari Bali. Tiada heran bila alir bening Gambuh di Desa Batuan kini sudah bisa menembus hingga ke generasi cucu Kakul, bahkan juga sudah siap-siap disalin generasi kumpi, cicit. Sumber : www.balipost.co.id #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia #KITLV # #Baliage #balilawas#
Bali Tempo Dulu
231
DESA CARANGSARI Kec : PETANG BADUNG,BALI INDONESIA. Desa Carangsari terletak di Kecamatan Petang Kabupaten Badung, dengan luas desa sekitar 885 Ha. Desa Carangsari pada bagian utara berbatasan dengan Desa Getasan, bagian selatan berbatasan dengan Desa Sangeh, bagian barat berbatasan dengan Sungai Penet dan pada bagian sebelah timur berbatasan dengan Sungai Ayung. Desa yang memiliki semboyan “Rumaketing Taksuning Jagat” yang berarti menghimpun potensi desa untuk membangun desa. Desa Carangsari sebagian besar warganya yaitu 60% beraktivitas aktif dalam hal bercocok tanam atau agraris. Merupakan salah satu desa dari 7 Desa yang ada di Kecamatan Petang dengan jumlah penduduk 4655 jiwa dimana jumlah laki-laki mencapai 2.316 jiwa dan perempuan mencapai 2.339 jiwa. Terdiri dari 10 wilayah banjar yaitu, Banjar Samuan Kangin, Banjar Samuan Kawan, Banjar Mekarsari, Banjar Bedauh, Banjar Pemijian, Banjar Senapan, Banjar Anggungan, Banjar Beng, Banjar Telugtug, dan Banjar Sangut. Orbitasi (jarak dari pemerintahan) Desa/Kelurahan Carangsari mulai jarak dari pusat pemerintahan kecamatan
Bali Tempo Dulu
232
adalah 7 km, dari ibukota kabupaten/kotamadya adalah 22 km, dan dari ibukota provinsi adalah 36 km. Sumber : balipromosi.com/balivillage/index.php/.../desa-carangsari/11-badung #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas# #KITLV #
I GUSTI AYU RAKA RASMI MAESTRO PENARI OLEG TAMULILINGAN PERTAMA DI BALI ASAL PELIATAN UBUD,GIANYAR BALI,INDONESIA Foto Tahun : 1952 KOLEKSI TROPEN MUSEUM. ''Menari merupakan bagian hidup saya. Bila tak menari, tubuh terasa kelu. Karena itu, saya senang mewariskan tarian Legong dan Oleg kepada generasi penerus sebagai yadnya.'' Itulah pernyataan I Gusti Ayu Raka Rasmi, penari pertama Oleg Tamulilingan yang sudah menjelajah hingga ke mancanegara. Bagaimana ceritanya sampai-sampai I Gusti Ayu Raka Rasmi menjadi penari pertama Oleg Tamulilingan itu? -----------------------------------SEORANG mantan diplomat, Imrad Idris, yang pernah bertugas di Paris -- saat rombongan Gong Peliatan pentas di sana pada Februari 1953 -- pernah menulis buku berjudul "Liku-liku Kehidupan Seorang Diplomat". Dalam buku itu ditulis, I Gusti Ayu Raka Rasmi (akrab
Bali Tempo Dulu
233
dipanggil Raka Rasmi) yang kala itu berumur 12 tahun, turut dalam lawatan rombongan kesenian Gong Peliatan untuk kedua kalinya ke Eropa. Pusat perhatian pers dan televisi saat kedatangan rombongan di Paris dalam lawatan ke Eropa Barat dan Amerika Serikat itu lebih banyak pada Raka Rasmi. Ia dielu-elukan sebagai penari bintang. Dalam lawatan kesenian yang meraih sukses besar itu pula, seorang impresario asal Inggris, John Coast, menobatkan Raka sebagai penari bintang karena penampilannya menari luar biasa dalam tarian Condong Legong plus Garuda, serta Oleg Tamulilingan. Karenanya, wajah Raka Rasmi dalam pose tarian Garuda lantas dipakai cover buku karya John Coast berjudul "Dancing Out of Bali". Lalu, siapa Raka Rasmi? Ia lahir pada 1939 di Banjar Teruna, Peliatan, Ubud, sulung dari lima bersaudara putri pasangan I Gusti Putu Pageh dan Ni Gusti Putu Kompiang. Raka belajar menari Condong Legong sejak umur sembilan tahun atas asuhan penari Legong asal Peliatan, Gusti Made Sengog. Minat dan bakat menari Raka Rasmi memang tinggi. Kedua orangtuanya pun membekali Raka Rasmi tradisi berkesenian yang kental serta selalu memberikan motivasi. Sebagai pasangan trio legong Peliatan yang mempunyai kekhasan ngelayak itu, Raka Rasmi ditemani putri pertama AA Gde Mandera pimpinan Gong Peliatan, AA Oka dan keponakannya, AA Anom. Trio legong yang ikut serta melanglang buana dalam umur belia ini tetap bugar dan cantik dalam kesempatan kehadirannya pada peluncuran buku "Dancing Out of Bali" oleh istri kedua John Coast di Museum ARMA Peliatan pada 2004. Saat itu ditayangkan pula film dokumenter bagaiamana trio itu menari tempo dulu. Kini, Raka Rasmi sudah menjadi nenek sembilan cucu dari empat anaknya dari pernikahannya dengan AA Gde Djelantik (alm) asal Puri Abiansemal, Badung. Di usia senjanya kini, Raka Rasmi sering tinggal di Peliatan bersama ayahnya untuk mengabdikan dirinya pada seni tari. "Usia boleh senja, tetapi semangat tak boleh sirna," begitulah prinsip keseharian Raka Rasmi yang tetap langsing, yang masih aktif mewariskan kepiawaiannya dalam tarian Legong dan Oleg kepada generasi kini di Museum ARMA Peliatan dan Sanggar Cuda Mani, Ubud. Pengalaman Berat Raka Rasmi mengaku punya pengalaman betapa beratnya memulai menjadi penari. "Tubuh betul-betul terasa sakit," tuturnya. Pada zamannya, menurut Raka Rasmi, guna mendapatkan agem yang kuat, tubuh harus tengkurap di lantai kemudian diinjak-injak dan di bawah kedua ketiak diikat sabuk stagen. Untuk melatih gerakan ngelayak dilakukan dengan bersandar sambil kayang di atas meja atau tembok. Bagi sejumlah pencipta tari, pengadeg Oleg Tamulilingan memang pas buat diri Raka Rasmi. Selama belajar tari Oleg, I Ketut Marya yang kemudian akrab dipanggil I Mario -- pencipta tari Oleg -- dengan sabar memberikan berbagai gerakan tari yang kemudian ditiru Raka Rasmi. Menurut Raka Rasmi, gurunya itu sering berlaku "galak" jika murid melakukan agem dan tanjek yang tidak benar, serta kurang senyum. Setelah bersuami, Raka Rasmi masih tetap berprofesi sebagai penari. Sebagai penari dia telah mengenyam asam garamnya berbagai panggung. Muhibah ke luar negeri, bagi Raka Rasmi, merupakan pengalaman yang sangat berharga karena dirinya dapat melihat kehidupan negara lain. "Dengan musim yang berbeda sungguh mengasyikkan, apalagi berjalan di atas salju," kenang Raka Rasmi. Beberapa negara yang telah dikunjunginya di antaranya RRC pada 1959, Pakistan (1964), Jepang (1968), Australia (1971), Eropa (1973), Amerika (1982) dan Singapura (1996).
Bali Tempo Dulu
234
Kini di usia senja, Raka Rasmi pun masih sering tampil, baik dalam acara pergelaran kehormatan maupun dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai seniman tua. Penari Oleg Peliatan ini pernah juga sebagai dosen tamu di STSI (kini ISI) Denpasar. Sumber : www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/5/14/sip2.html #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV # #senibudayabali#
WARUNG IBU JENIK'S KUTA,BADUNG BALI,INDONESIA SEJARAH POPPIES LINE DAN WARUNG JENIK'S Poppies Lane adalah sebuah lorong atau gang kecil di sebuah jalan yang sangat terkenal seantero dunia. Poppies lane sendiri terbagi menjadi dua jalan, yaitu Popies Lane I dan Popies Lane II. Kedua akses jalan yang sebenarnya merupakan gang itu berhubungan langsung ke pantai Kuta dan pantai Legian. Dengan posisi seperti itu, wajar jika para wisatawan asing lebih suka berdiam diri di kampung tersebut ketimbang di kawasan lain. Disamping, tentunya harga segala keperluan akomodasi dari penginapan, pakaian, makan hingga hiburan, cukup murah untuk ukuran bule. Tidak itu saja, gang Poppies seakan telah menjadi ikon bagi para pelancong atau pendatang. Jika datang ke Bali mereka merasa belum lengkap sebelum menjejakkan kakinya di lorong-lorong sempit disana. Gang poppies berada persis di tengah-tengah pantai Kuta dan Legian. Disitu ada papan nama Popies II. Sedangkan gang Popies I letaknya berjarak tak terlalu jauh dari Hard Rock Hotel. Jika ditelusuri, kedua gang itu tembus ke segala lokasi wisata, seperti monument Bom Bali di jalan Legian dan kawasan Seminyak. Gang-gang yang ada disana terbilang juga cukup sempit.
Bali Tempo Dulu
235
Bahkan untuk pejalan kaki saja harus antre satu per satu. Sebagai kampung bule, tentu saja, pemandangannya sangat berbeda dengan kampung pada umumnya. Disana, hampir tidak ditemui tempat tinggal. Yang ada hanya hotel, penginapan, restoran, butik dan para penjual souvenir atau studio seniman perajah tubuh. Setiap Bangunannya tak ada yang terlihat berukuran besar dan megah. Justru, rata-rata kecil namun didesain secara unik. Itu yang menjadi daya pikat wisatawan, sesuatu dengan sentuhan seni tersendiri dan tak terikat oleh segala aturan. Karena itu, menjadi sangat lumrah ketika berada di gang poppies pemandangan yang jamak ditemui adalah bule yang tengah berjalan-jalan setengah telanjang sambil membawa papan selancar, atau wisman yang lagi bersantai di meja bar dengan ditemani botol-botol bir. Ibaratnya, berada di gang Popies seperti berbaur di tengah-tengah para bohemian yang tengah melakukan perjalanan ‘spiritual’ untuk mencapai ekspresi diri yang paling hakiki menurut mereka. Semua serba bebas. Keberadaan gang Popies tak bisa dilepaskan dari Kuta yang saat ini jadi ikon wisata di Bali. Di tahun 70-an ketika pertama kali wisatawan asing mengunjungi kampung ini, warga Kuta membuat penginapan sederhana dengan menyewakan sebagian kamar rumah mereka dan juga membuat warung bambu untuk kebutuhan makanan bagi turis. Nama poppies sendiri awalnya berasal dari nama sebuah restoran yang hingga sekarang masih ada di jalan pantai Kuta. Pada awal tahun 1973, ada dua wisatawan asal California, Amerika Serikat, bernama George dan Bob, berkunjung ke Bali. Merasa tertarik dengan keindahan alam pantai Kuta, ia kemudian berniat membangun pemondokan yang terdiri dari restoran serta penginapan. Kebetulan, disitu ada sebuah warung kecil yang namanya warung Jenik yang dikelola Jenik Sukeni yang tak lain adalah pemiliknya. Sedangkan Bob dan George sendiri awalnya juga punya restoran yang namanya Poppies di kota La Jolla, California, Amerika Serikat. Karena restoran tersebut sudah tidak beroperasi lagi, begitu melihat warung Jenik, dua bule itu berniat menggandeng Jenik Sukeni untuk mengembangkan restoran baru yang berada di kawasan pantai Kuta. Satu-satu restoran moderen itu menjadi cukup terkenal sampai akhirnya, kawasan itu pun ikut berubah nama menjadi kawasan Poppies Lane atau jalur popies. Poppies sendiri sebenarnya merupakan bunga liar dengan bunga berwarna jingga yang tumbuh liar di negara bagian California. “Sekarang hampir seluruh dunia tahu Poppies Lane yang ada di Bali. Karena di beberapa promosi wisata, nama itu selalu dimasukkan. Seperti terlihat sekarang, disini harga penginapan pun tergolong sangat murah, bahkan ada yang tidak sampai Rp 100 ribu per malam. Akhirnya, lambat laun poppies sendiri identik dengan tempat tinggal bule berkantong pas-pasan,” ujar Anaz, seorang mantan guide Sumber : www.jurnal.koranjuri.com/?Poppies...Warung... #BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS #
Bali Tempo Dulu
236
Penari Legong, dari kiri : Ni Luh Cawan, I Wayan Rindi dan Ni Wayan Sadri. Foto Tahun : 1930an flickr / P.F VALOIS I Wayan Rindi adalah tokoh seniman tari Bali yang memiliki kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali. Dia juga dikenal sebagai pencipta atau koreografer bentuk modern dari Tari Pendet. I Wayan Rindi lahir di Banjar Lebah Denpasar pada tahun 1917, yang sewaktu usia kanakkanak dipungut seorang petani Banjar Tegal Linggah. Oleh petani inilah, Rindi dikenalkan dengan dunia tari lewat empu tari ternama, seperti I Wayan Lotering dari Kuta, I Nyoman Kaler dari Pemogan, serta oleh penabuh I Regog dari Ketapian. Dari tempaan energi-energi seni bertuah para maestro inilah, Rindi lahir dan tumbuh menjadi seniman tari yang utuh; praksis penguasaan teknik tari berenergi taksu, sekaligus pula menubuhkan citarasa intuisi yang selalu berkembang maju.
Kisah Rindi berawal pada 1930-an, ketika tiba-tiba masyarakat Badung dikejutkan kehadiran tari Gandrung Lawangan. Masyarakat begitu terpesona gerak berasa seorang penari belasan tahun. Siapa sangka penari Gandrung berkarisma itu ternyata I Wayan Rindi. Dalam deskripsi profesi I Nyoman Kaler, Pada tahun 1933 bersama Ni Luh Cawan dan Ni Sadri, I Wayan Rindi juga belajar Legong Kebyar di Banjar Lebah, Kesiman. Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang
Bali Tempo Dulu
237
luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.[1]Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.[2] Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengankipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, danpakaad. Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi. Sumber : galuhwahyuangelia.blogspot.com/ https://id.wikipedia.org/wiki/Legong #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas #KITLV # #flickr/P.F.VALOIS#
A.A GEDE SOBRAT MAESTRO SENI RUPA ASAL PADANGTEGAL UBUD,GIANYAR BALI,INDONESIA Foto Tahun : 1930 Nama lengkapnya Anak Agung Gede Sobrat lahir tahun 1917 di Padangtegal, Bali. Seperti anak Bali lainnya, Sobrat sejak kecil sudah dicekam oleh suasana artistik kehidupan tradisi keluarga dan kehidupan pura ibadah. Ia belajar membuat wayang kulit dari kakeknya, yang menempa dasar-dasar kemampuan skill-nya sebagai seniman rupa dan pengetahuan mengenai dunia perwayangan Bali.
Bali Tempo Dulu
238
Bersama tetangganya, Anak Agung Gede Meregeg, di awal tahun 1930-an Sobrat merupakan orang Bali yang bertemu dan belajar pertama kali pada pelukis Walter Spies dan Marcel Bonnef. Spies dan Bonnef merupakan orang yang dianggap sebagai pelopor seni rupa modern Bali, yang mengajari dan menyebarluaskan teknik dan cara pandang modern dalam melukis. Sebelumnya, Sobrat menggambar wayang, setelah bertemu Spies dan Bonnef, tema lukisan dan tekniknya menjadi meluas, misalnya kehidupan pasar, lukisan potret, penari, alam pedesaan dan lain sebagainya.
Sobrat menjadi salah seorang pelukis setempat yang menjadi pelopor tumbuhnya seni rupa modern di Bali. Tahun 1957 hingga 1959 Sobrat menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Ia terus berkarya, hingga tahun 1980-an Sobrat mendapat penghargaan dari pemerintah (Wijaya Kusuma dan Dharma Kusuma). Karya-karyanya tersebar di berbagai tempat, seperti: Taman Budaya Denpasar, Bali, Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda dan juga di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, Belanda. Sobrat mengikuti berbagai pameran, diantaranya di Singapore Art Museum (1994) dan di Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia 1996). Sobrat meninggal dunia tahun 1992. Sumber : archive.ivaa-online.org/pelakuseni/anak-agung-gde-sobrat #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas#senibudayabali#
KINTAMANI BANGLI,BALI INDONESIA Foto Tahun 1977 Kintamani salah satu objek wisata di Bali, yang memiliki udara pegunungan berhawa sejuk dengan panorama Gunung dan Danau Batur begitu indah. Kawasan paling favorit adalah desa
Bali Tempo Dulu
239
Penelokan kecamatan Kintamani, desa ini terletapada tepian kaldera Gunung Batur, spot ini adalah tempat tampil teramat indah untuk melihat pemandangan Gunung Batur beserta danaunya. Dari tempat ketiinggian melihat sensasi gunung Batur, kadang-kadang terlihat begitu jelas mengeluarkan asap, karena tergolong masih aktif dan keindahanan danau bulan sabit yang beradapada kaki gunung. Berkunjung ke sini adalah waktu siang hari, saat waktu makan siang, karena sepanjang jalan tersedia restaurant dengan menyajikan pemandangan lembah, gunung serta danau.
Walaupun gunung tersebut tergolong kecil, namun gunung ini tergolong masih aktif, sempat beberapa kali meletus sampai letusan besar, saat itu terjadi pada tahun 1917, dimana letusan tersebut telah mengambil ribuan nyawa juga menghancurkan ratusan rumah penduduk Desa Batur Tua keberadaannya di dasar kaldera Batur. Penduduk yang masih tersisa mengungsi ke Desa Batur, pura Ulun Danu lokasinya beradapada dasar lembah gunung Batur, juga pindah ke Desa Batur seperti ditempati sekarang, tapi sampai sekarang pura Ulun Danu Batur yang ada di penolokan masih menjadi pusat kegiatan pemujaan penduduk setempat dan Bali.
Menempati bagian tengah pegunungan dan dataran tinggi pulau Bali, suhu udara daerah Kintamani, Bangli ini cukup sejuk bahkan sangat dingin pada malam hari untuk wilayah Kintamani, tanahnya tergolong subur, pohon jeruk, kopi serta coklat bisa berkembang optimal, sehingga tidak mengherankan produksi jeruk paling tinngi adalah Kintamai. Kawasan ini pada musim-musim tertentu biasanya musim penghujan, akan disertai turunnya kabut. Kintamani terletak di kabupaten Bangli. Bangli merupakan sebuah kabupaten letaknya di tengah-tengah pulau ini, salah satu kabupaten yang tidak punya pesisir pantai, berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, menyebabkan wilayah ini sangat sejuk, tumbuh-tumbuhan bisa berkembang dan tumbuh subur.
Pesona alamnya indah memunculkan kesan damai, hamparan pemandangan lembah juga Danau Batur merupakan danau terbesar di kawasan pulau Bali dan Gunung Batur salah satu Gunung berapi masih aktif, berdiri di tengah-tengah kaldera membuat daerah ini menjadi salah satu tujuan wisatawan paling favorit, serta diminati. Jarak ditempuh ke kawasan ini kira-kira 2 jam perjalanan mobil dari Denpasar atau Karangasem ataupun Lovina. Jejeran restaurant sepanjang penelokan menawarkan kelebihan dari keindahan alam lembah dan gunung, terbukti sangat diminati, sambil bersantai menikmati makan siang, pengunjung disuguhi panorama alam yang memukau. Agar lebih maksimal menginaplah beberapa hari disini, karena selain pemandangan indah dari desa Penelokan anda bisa juga trekking ke puncak Gunung Batur dengan menggunakan jasa guide atau pemandu penduduk lokal. Tujuan untuk berkunjung ke objek wisata Kintamani tentu untuk menyaksikan keindahan pemandangan alam, selain itu sejumlah restuarant tersedia sebagai tempat bersantap siang ideal, sampai saat ini Kintamani adalah salah satu terfavorit pilihan wisatawan berkunjung saat tour, tidak mengherankan saat jam santap siang tiba, kawasan ini dipenuhi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Yang menjadi andalan bagi restoran disini selain makanan yang lezat dan halal pemandangan di depan mata membuat sensasi santap siang lebih sempurna.
Bali Tempo Dulu
240
Sumber : www.balitoursclub.com/berita_58_Kintamani.html #BALITEMPOEDULOE#BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI# #PANORAMAALAMBALI#TROPENMUSEUM#
Bali Tempo Dulu
241
Bali Tempo Dulu
242
PAHLAWAN ASAL BALI UNTUNG SURAPATI BIOGRAFI Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Menurut sejarah, Untung Surapati berasal dari Bali yang awalnya ditemukan oleh perwira VOC yang ditugaskan di Makasar yang bernama Kapten van Beber. Perwira VOC itu kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia bernama Moor. Ketika usianya 20 tahun, ia dimasukkan ke penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. Kemudian Untung memimpin pergerakan para tahanan hingga akhirnya berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan. Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, sang raja Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung Gede. Setelah melalui proses yang panjang, iIa memutuskan menyerah asalkan ia dijemput oleh perwira VOC pribumi. Beruntungnya, Untung telah menerima tawaran sebagai tentara VOC dan dilatih ketentaraan. Ia diberi pangkat letnan dan saat itu ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. Untung yang tiba di Kartasura kemudian mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada Patih Nerangkusuma, ayahnya, yang juga tokoh anti VOC. Ia gencar melakukan pendesakan kepada Amangkurat II untuk melanggar kesepakatan dengan Belanda. Nerangkusuma kemudian menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati. Pada Februari 1686, Kapten François Tack yang merupakan perwira VOC senior tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC. Pertempuran pun tidak terhindarkan. Pasukan VOC sebanyak 75 orang tewas, termasuk Kapten Tack yang tewas di tangan Untung. Amangkurat II yang takut pengkhianatannya terbongkar kemudian merestui Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Di Pasuruan, Suropati berhasil mengalahkan Anggajaya, Sang bupati. Untung Suropati pun menjabat menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC dibawah pimpinan Mayor Goovert Knole menyerang Pasuruan. Pertempuran tersebut menewaskan Untung Suropati pada tanggal 17 Oktober 1706. Sumber : profil.merdeka.com › PROFIL › INDONESIA › U azwirchan.blogspot.com/.../nama-pahlawan-dari-provi... #BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM # WIKIPEDIA#SEJARAH#
Bali Tempo Dulu
243
GUNUNG BATUR KINTAMANI,BANGLI BALI,INDONESIA Foto Tahun 1920 Koleksi KITLV LAIDEN SEJARAH GUNUNG BATUR DAN CATATAN LETUSANNYA. Gunung Batur yang terletak di Kintamani, Kab. Bangli merupakan Gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung. Memiliki ketinggian 1717 mdpl, Gunung Batur termasuk Gunung Api yg aktif. Terakhir meletus pada tahun 2000. Letusan besar pada 2 Agustus dan 21 September 1926 memusnahkan Pura Ulun Danu Batur dan desa Batur. Dalam lontar Candi Supralingga Bhuana dikemukakan keadaan Bali Dwipa dan Seleparang masih sunyi senyap, seolah masih mengambang di tenga samudra yang luas. Pada saat itu di Bali Dwipa baru ada empat buah Gunung, yaitu : Gunung Lempuyang di Bagian Timur Gunung Andakasa di Bagian Selatan Gunung Karu di Bagian Barat Gunung Beratan (Mangu) di Bagian Utara Sehingga keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih labil dan goyah. Keadaan ini kemudian diketahui oleh Hyang Paspati yang beristana/berParahyangan di Gunung Semeru (Sampai saat ini masyarakat Hindu Bali masih menganggap bahwa Gunung Semeru adalah salah satu Pura Utama). Agar Bali menjadi stabil (Tegteg) Hyang Pasupati kemudian memerintahkan SangHyang Benawang Nala, SangHyang Naga Anantaboga, SangHyang Naga Besukih dan SangHyang Naga Tatsaka memindahkan sebagian puncak Gunung Semeru ke Bali. SangHyang Benawang Nala menjadi dasar puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali. SangHyang Naga Anantaboga dan SangHyang Naga Besukih menjadi tali pengikatnya. Sedangkan SangHyang Naga Tatsaka disampig menjadi pengikat puncak Gunung Semeru
Bali Tempo Dulu
244
yang akan dipindahkan ke Bali, juga sekaligus menerbangkan dari Jawa Dwipa Wetan ke Bali. Kemudian setelah tiba di Bali, bagian puncak gunung Semeru yang dibawakan dengan tangan kanan menjadi Gunung Udaya Purwata/Tohlangkir/Gunung Agung.yang dibawa dengan tangan kiri menjadi Gunung Cala Lingga atau kemudian disebut Gunung Batur (Nama lain dari Gunung Batur dulunya adalah Gunung TampurHyang/Gunung Sinarata/Gunung Lekeh/Gunung Lebah/Gunung Ideran/Gunung Sari/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Catur) Kedua gunung inilah yang kemudian dikenal sebagai Dwi Lingga Giri,yang menjadiParahyangan Purusa Peredana (Tempat bersemayamnya paa Dewa penguasa alam raya). Selain memerintah SangHyang Benawang nala, SangHyang Naga Aantaboga, SangHyang Naga Besukih, dan SangHyang Naga Tatsaka; Hyang Pasupati juga menugaskan putra-putranya ke Bali Dwipa, yaitu : I. Dwi Linga Giri Purusa Predana : a. Pura Kahyangan Besakih (Purusa) b. Pura Kahyangan Ulun danu Batur (Segara Danu sebagai Predana) II. Tri Lingga Giri : a. Pura Lempuyang Luhur (Brahma) b. Pura Besakih (Siwa) c. Pura Ulun Danu Batur (Wisnu) III. Sapta Lingga Giri a. Hyang Geni Jaya Ring Gunung Lempuyang, paraHyangNya (Maksud dari paraHyangNya adalah berdiam/bersemayam. Sedangkan Nya adalah kata ganti dari Tuhan/Dewa) di Pura Lempuyang Luhur b. Hyang Putra Jaya ring Gunung Udaya Parwata/Gunung Tohlangkir/Gunung Agung, paraHyangNya di Pura Besakih c. Hyang Dewi Danu ring Gunung Cala Lingga/Gunung Batur (Atau Gunung Sinarata/Gunung Tampurhyang/Gunung Lekeh/Gunung Ideran/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Sari) d. Hyang Tumuwuh ring Gunung Batukara, paraHyanganNya di Pura Watukaru. e. Hyang Tugu ring Gunung Andakasa, paraHyangNya di Pura Andakasa f. Hyang Manuk Gumuwang ring gunung Beratan/Puncak Mangu/Puncak Tinggahan, paraHyangNya di Pura Ulun Danu Beratan/Pura Tinggahan. g. Hyang Manik Gayang/Galang ring Pejeng, parahyangNya di Pura Manik Corong. Putra-putra Hyang Pasupati inilah yang kemudian menjadi Amongan, Sungsungan dan Penyiwian, Ratu Muang Kaula di Bali Dwipa. Salah seorang Putra Hyang Pasupati yaitu Hyang Dewi Danu dalam bahasa Purana adalah Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Pratiwi, dan Dewi Basundari yang semuanya merupakan Abiseka Dasa Nama (mempunyai nama lain) Dewi
Bali Tempo Dulu
245
Kesuburan, Dewi Kesejahteraan, dan Kewi Keberuntungan Sakti Dewa Wisnu (Dewa Wisnu merupakan Dewa Pemelihara Alam). 3.1 Kronologis Pembentukan Kaldera Batur Gunung Bumbulan (bubulan, dungulan, penulisan), Gunung Payang, dan Gunung Abang menjadi satu dengan Gunung Batur Purba yang ketinggiannya mencapai 3500 mdpl. Amblasnya bagian kerucut yang membentuk kaldera satu, kira-kira 29.300 SM, dimana Gunung Abang berdiri sendiri dengan ketinggian lebih kurang 2.152 mdpl. Amblas kedua kalinya, kira-kira 20.150 SM, dimana kerucut Gunung Payang, kerucut Gunung Bumbulan/Penulisan membentuk undagan Kintamani. Lama kelamaan muncul Gunung Kecil (anak Gunung Batur Purba) di tengah danau Batur berpucak Dua (pucak Kanginan dan pucak Kawanan). Maka dari itu desa Pekraman Batur ada dua Jero, yaitu Jero Gede Kanginan (dijabat oleh Jero Gede Duhuran Puri Kanginan), dan Jero Gede Kawanan (dijabat oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan). Nama Gunung Sebelum Bernama Gunung Batur 1. Gunung Cala Lingga (Cala = tidak bergerak dan tidak dibuat oleh manusia; Lingga= Tempat abadi para Dewa) 2. Gunung Sinarata (Merata kena sinar matahari) 3. Gunung TampurHyang/Tempuh Hyang (Tanda Ida Betara dalam perjalanan yang digonggong (dipikul) oleh pamucangan) 4. Gunung Lebah (rendah) 5. Gunung Ederan (dikelilingi Bukit) 6. Gunung Lekeh (meingkar) 7. Gunung Sari (Inti/Utama) 8. Gunung Indrakila (dikelilingi Munduk) 9. Gunung Kembar (berpuncak dua) 10. Gunung Catur (Gunung berempat) 11. Gunung Batur (Gunung Dasar) Catatan Meletusnya Gunung Batur Berdasarkan isi lontar Raja Puranan Pura Ulun Danu Batur di Batur bagian Babad Pati Sora dijelaskan pada tahun Candra Sangkala : Angeseng Sasi Wak yaitu tahun Saka 110 (188 Masehi), Gunung Batur meletusWang Sasi Wak yaitu tahun Saka 111 (189 Masehi), Gunung Batur meletusTahun Saka 112 (190 Masehi), Gunung Teluk Biyu meletusWedang Sumiranting, ksiti yaitu Tahun Saka 114 (192 Masehi), Gunung Batur meletus.Dari tahun 1804 – 2000 Gunung Batur meletus sebanyak 30 kali. Letusan yang paling dahsyat yaitu pada tanggal 2 Agustus – 21 September 1926 jam 23.00 WITA yang laharnya menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Dengan pertolongan
Bali Tempo Dulu
246
pemerintah Hindia Belanda, para narapidana, serta Batun Sendi Ida Betara (Bayung Gede, Sekardadi, Bonyoh, Selulung, Sribatu, Buahan, Kedisan, Abang, Trunyan, dll) seisi Desa Batur dapat menyelamatkan diri. Termasuk pusaka-pusaka seperti Gong Gede, Semar Kirang bale Pelinggih Mamas-mamas (tombak Lerontek). Semuanya diselamatkan ke Desa Bayung Gede. Setelah pindah ke Di Desa Bayung Gede ini pernah di adakan Puja Wali sebanyak dua kali. Kemudian karena merasa telah aman, penduduk Desa Batur yang sementara mengungsi ke Desa Bayung Gede ingin kembali ke lokasi desa mereka kembali. Namun tidak diijinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keselamatan masyarakat. Di tempat baru tersebut, yang disebut Kalanganyar, penduduk Desa Batur diberi lahan dengan ketentuan yang sudah berkeluarga sebanyak 3 are dan untuk Duda/Janda mendapat 1,5 are. Selama menghuni Kalanganyar, para penduduk Desa Batur tetap berupaya membagun kembali Pura Ulun Danu Batur di tempat semula. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada bulan April 1935, dilaksanakan Ngusaba Kedesa untuk pertama kali di Pura Ulun Danu Batur yang baru tersebut. Pada tahun 1963, 6 bulan setelah meletusnya Gunung Agung, terjadi kembali letusan Gunung Batur yang cukup besar. Korban jiwa pada saat itu tidak ada. Letusan ini kembali menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Sehingga semua penduduk mengungsi dan pindah desa ke lokasi desa Batur sekarang ini. Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan, yaitu pada saat lahar mau memasuki desa Batur, lahar tersebut berhenti. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Bahkan ada yang sempat memanen bawang di ladangnya terlebih dahulu. Setelah semua barang-barang dan hasil kebun mereka selamat, lahar yang tadinya berhenti bergerak kembali menuju arah desa sampai menimbun seluruh desa tersebut. Setelah pindah desa tersebut, kecuali terkena debu, sampai saat ini tidak pernah terkena dampak langsung dari letusan Gunung Batur. Sumber : www.kompasiana.com/.../gunung-batur-bali-sejarah-dan-kosmologisnya_5... #BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM # WIKIPEDIA #SEJARAH # # KITLV LAIDEN #GUNUNGBERAPI#
Bali Tempo Dulu
247
GERBANG UTAMA PURA BATUR TERTIMBUN MUNTAHAN MATERIAL AKIBAT LETUSAN DAHSYAT GUNUNG BATUR 1926. Foto Tahun : 1938 KITLV LAIDEN Serangkaian letusan dahsyat. Letusan itu turut membentuk seluruh lanskap Pulau Bali. Letusan mematikan itu terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali dengan muntahan 84 kilometer kubik ignimbrit (material vulkanik). Letusan dahsyat ini membentuk kaldera Batur pertama. Jejak material vulkanik yang dilontarkan dalam letusan itu tersebar hingga ke Ubud dan sisi utara Denpasar (sekitar 40 km dari Danau Batur) dengan ketebalan ignimbrit hingga 120 meter (Sutawijaya, 2000). Selama ribuan tahun, material vulkanik itu membatu dan kini ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan. Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu, memuntahkan 19 km3 ignimbrit dan membentuk kaldera kedua. Di dasar kaldera kedua ini kemudian tumbuh Gunung Api Batur. Jejak letusan besar kedua ini tersingkap sempurna di kompleks Pura Gunung Kawi (sekitar 21 km dari Danau Batur). Ignimbrit yang membentuk tebing hingga 20 meter itu dipahat menjadi kompleks untuk memuliakan roh leluhur, termasuk Raja Udayana. Pura ini dibangun sekitar abad ke-11. Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi Bandung, menggambarkan kedahsyatan letusan kaldera kedua itu melalui singkapan material vulkanik di tebing sekitar Jalan Besakih-okan, 10 kilometer dari kaldera Batur. Singkapan itu menunjukkan adanya serangkaian letusan sebelum terjadi letusan dahsyat yang melontarkan isi dapur magma ke udara hingga 40 km. Seperti dikutif dari sains kompas (Evolusi Batur Belum Selesai, 15 Desember 2011). Disisi lain, Kawasan Pegunungan Batur merupakan sebuah kawasan yang menjadi tulang punggung Bali (tulang giing Bali). Dikawasan ini memiliki cadangan air yang sangat besar. Air bawah tanah yang mengalir disebagian sawah di Bali diproduksi sebagian besar di wilayah pegunungan ini. Kawasan Pegunungan Batur memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlanjutan kehidupan ekosistem di Pulau Bali. Selain pegunungan Batur, bersama-sama pegunungan lainnya yang terbentang dari barat sampai timur merupakan rangkaian pegunungan yang membentuk tulang punggung Pulau Bali. Rangkaian pegunungan tersebut merupakan wilayah konservasi yang dimaksudkan untuk penyediaan cadangan air Pulau Bali secara alami. Peradaban di Kaki Gunung Batur 89 tahun telah berlalu, sampai pada letusan besar terakhir Gunung Batur pada tanggal 3 Agustus 1926, sebelum bencana terakhir menimpa Desa Batur di kaki Gunung Batur. Disebelah Barat Daya terdapat sebuah pura besar sebagai pusat peradaban pada masa itu, yaitu Pura Batur yang saat ini dikenal dengan nama Pura Ulundanu Batur beserta desa intinya yaitu Desa Sinarata (sebelum perubahan istrasi desa oleh penguasa di Tahun 1460-1550 Masehi). Pada Tahun 1612 Gunung Batur meletus dan menghujani Desa Sinarata dengan serpihan batu dan material gunung, sehingga menimbulkan kerusakan luar biasa bagi Desa Sinarata. Kemudian letusan selanjutnya pada Tahun 1700 Desa Sinarata kembali mengalami bencana, Desa Sinarata Terkena semburan api dan hawa panas yang turun dari kawah Gunung Batur. Kembali pada Tahun 1784 Gunung Batur mengeluarkan lahar panas yang menimbulkan banyak rumah yang hanyut dan penduduk yang meninggal serta saat itu juga bersamaan muncul gunung kecil baru di Gunung Batur. Peradaban kebudayaan telah dibangun dari masa ke masa yang telah melalui proses persahabatan dengan bencana alam gunung berapi, bahkan kita telah merasakan 26 kali letusaannya dan itu hanya yang tercatat semenjak 1804 hingga 2005.
Bali Tempo Dulu
248
Berdasarkan data Peta Batur Tahun 1915 yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat itu, menunjukkan Pura Ulundanu Batur dengan desanya yaitu Desa Batur memiliki kawasan permukiman terbesar jika dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya. Sumber : http://www.kompasiana.com/maivautama/rekam-jejak-batur-sebuah-peradabandi-kaki-gunung-batur-ulasan-pameran-foto-sejarah_555476276523bdf01d4aef3a #BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM # WIKIPEDIA #SEJARAH # #GUNUNGBERAPI # KITLV LAIDEN #
SEJARAH DESA ADAT BONGKASA Kec : ABIANSEMAL BADUNG,BALI INDONESIA Konon dahulu kala daerah ini masih merupakan hutan belantara dan semak-semak yang tanahnya berpalung-palung, pada saat ini dibawah kekuasaan Raja Mengwi yang batas timurnya adalah sungai ayung. Pada tahun 1600 M Raja Mengwi mengutus orang kepercayaanya yang bernama I Gede Geredegan dan I Made Tanggu untuk merabas daerah sebelah barat sungai ayung, utusan tersebut tidak berani menolak tugas yang merupakan perintah langsung Raja Mengwi. I Gede Geredegan dan I Made Tanggu melakukan tugas menuju tanah sebelah barat sungai ayung dengan mengambil lokasi disebelah barat Pura Sima yang ada Sekarang. I Gede Geredegan dan I Made Tunggu pekerjaanya hanya merabas hutan sambil menanam tanaman yang bias dinikmati, tetapi sayang mereka tidak mengajak istrinya sehingga tidak menumbuhkan anak sebagai keturunan (sentana). Meskipun demikian dia tetap bertahan (teguh dalam hutan atau wana) sehingga tempat tersebut diberi nama TEGUH WANA dan lama kelamaan menjadi TEGUAN. I Gede Geredegan dan I Made Tanggu memebagi tugas dengan kesepakatan I Gede Geredegan
Bali Tempo Dulu
249
kembali ke Puri Mengwi untuk melaporkan hasil pekerjaan atau tugas yang diembannya dan I Made Tunggu dengan setianya menunggui batas timur kerajan Mengwi, tak lama kemudian ada berita bahwa Permaisuri atau Istri Raja Mengwi mengalami sakit keras dan pada saat itu keadaan terpakasa Raja Mengwi mengundang para Pendeta dan para Dukun atau Tabib yang ada diistana maupun yang ada diluar istana untuk memberikan pertolongan mengobati Istri Raja Mengwi, namun satupun tidak ada yang berhasil untuk mengobati Istri Raja Mengwi. Kabar berita itu telah tersebar kesegala penjuru hingga sampai kedaerah Manuaba di Gianyar, kala itu berita didengar oleh orang tua Jero Ketut Tangsub dan segera orang tua Jero Ketut Tangsub mengutus Jero Ketut Tangsub untuk berangkat ke Puri Mengwi untuk memberi pertolongan atau pengobatan kepada Isteri Raja Mengwi. Jero Ketut Tangsub tidak berani menolak apa yng diberitahukan oleh ayahnya dan segera berangkat ke Puri Mengwi dengan peralatan berupa sebuah tas yang terbuat dari Ate. Yang sering disebut dengan Kompek Gandek yang berwarna warni, sehingga baik dipandang yang dilengkapi dengan isinya antara lain : sirih, kapur, pinang, tembakau, dan tempat penumbukannya (pengelocokan) yang berguna untuk camilan penghangat mulut serta dapat dimanfaatkannya sebagai sarana didalam melakukan pengobatan. Dalam perjalanannya banyak rintangan-rintangan yang ditemui tetapi dapat diatasi, setelah sampai didepan puri Mengwi kelihatan masyarakat serta para patih sibuk keluar masuk Puri Mengwi, karena para resi dan pandita Kerajaan serta dukun yang ahlidalam pengobatan sudah pada berdatangan, guna meladeni para Rsi, Pandita Kerajaan dan para dukun untuk melakukan pengobatan demi sembuhnya istri Ratu Mengwi, dengan mengucapkan beraneka ragam Japa Mantra pengobatan (Usada) para Rsi dan Pandita Kerajaan serta para dukun dengan khusuknya mengucapkan Japa Mantra untuk meminta restu pengobatan agar istri Raja Mengwi sembuh. Pada saat bersamaan dibawah pohon beringin ada seorang pedangang rujak yang sedang asik berjualan dan Jero Ketut Tangsub tiba dijaba Puri Mengwi dan bertanya kepada dagang rujak”Ibu pedagang rujak, berapakah dapat ongkos orang-orang yang berkeliaran keluar masuk puri itu?”. Mendengar perkataan itu rasanya terlalu mengejek, lalu pedagang rujak melapor ke Puri kepada para Patih dari Raja Mengwi, mendengar laporan tersebut semua Patih Raja Mengwi menjadi marah dan ingin membunuh orang tersebut ( Jero Ketut Tangsub ). Jero Ketut Tangsub dipnggil menghadap ke Puri oleh para Patih dan dipaksa ntuk menjelaskan apa maksud kata-kata “Berapakah dapat ongkos orang-orang yang berkeliaran keluar mask Puri itu?” dengan tenangnya Jero Ketut Tangsub menawab “Maksud hamba apakah orang yang berhasil mengobati istri Raja Mengwi hingga sembuh mendapatkan imbalan”. Tampa memberikan jawaban para patih langsung menyuruh Jero Ketut Tangsub mengobati istri Raja Mengwi yang sakit supaya sembuh, kalau tida mau Jero Ketut Tangsub akan dibunuh oleh para Patih Mengwi. Dengan wajah berseri-seri Jero Ketut Tangsub mengikuti para Patih ke tempat dimana istri Raja Mengwi, setibanya di ruangan istri Raja Mengwi dalam keadaan sakit tergolek lemas, dengan melihat keadaan yang demikian Jer Ketut Tangsub meminta ijin untuk mengobatinya, dengan kekuatan batinnyaJero Ketut Tangsub mengeluarkan sebuah gandek / tas atau sebagai sarana pengobatan dan diciptanya sebagai balai pemujaan (pawedan), isi dari tas/gandeknya diciptakan sebagai perlengkapan untuk melakukan Japa Mantra dan Jero Ketut Tangsub memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberkati mengobati istri dari Raja Mengwi. Setelah melakukan pemujaaan Jero Ketut Tangsub memohon ijin kepada Raja Mengwi agar diijinkan untuk melakukan pengobatan dengan cara pembersihan yang menggunakan sarana air yang telah disucikan untuk dipercikkan keseluruh badan istri Raja Mengwi, setelah dipercikkan air suci tiba-tiba Istri Raja Mengwi bias terbangun dan tidk merasakan lemas dan mengatakan sembuh kepada Raja Mengwi.
Bali Tempo Dulu
250
Dengan sembuhnya Istri Raja Mengwi Jero Ketut Tangsub menerima berkah dari Raja Mengwi berupa secutak tanah dengan tempat yang dipilih oleh Jero Ketut Tnagsub seluas 10 Ha, setelah selesai tugas yang diaksanakannya dan telah selesai pula semua pembicaraan dengan Raja Mengwi Jero Ketut Tangsub mhon pamit kepada Raja Mengwi guna mencari tempat yang diberikan oleh Raja Mengwi, pada saat itu Ratu Mengwi memerintahkan I Gede Geredegan dan Istrinya untuk mengikti dan selalu mendampingi Jero Ketut Tangsub dalam keberangkatannya menuju kearah timur, dalam perjalanannya Jero Ketut Tangsub sambil memegang sehelai daun lontar setibanya di daerah ketinggian Jero Ketut Tangsub memandangi kea rah timur dan dilihatnya suatu pertanda seberkas sinar merah keemasan yang penuh dengan hawa kesucian yang dirasakan oleh Jerio Ketut Tangsub dan I Gede Geredegan. Pada sebuah ketinggian Jero Ketut Tangsub duduk beristirahat dengan memegang gandek yang dibawanya sambil membuat sebuat geguritan pupuh ginada bebungklingan yang disurat pada sehelai daun lontar yang telah dibawanya : Ada kidug anyar teka, Mijil saking ranged langit Kawi muda kapupungan, Sira lajua mintar kidung Iseng-isengan manyurat, Anggen nyarwi Ban ibuk larane liwat. Setelah membuat beberapa bait geguritan Jero Ketut Tangsub langsung menuju tempat yang terdapat sinar merah keemasan itu, sambil mengupas ciri-ciri sinar yang dilihatnya, sehingga ciri-ciri tersebut diartikan Rangde Langit yaitu sinar merah keputih-putihan yang muncul dari langit yang mana dalam bahasa balinya mengandung arti Bang Akasa, disebutlah daerah ini Bangkasa yang kemudian lama kelamaan orang-orang mengatakannya Bongkasa yang sekarang ini disebut dengan Desa Bongkasa, Kecaatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Proponsi Bali. Dengan kesuburan tanahnya dan keamanan yang sangat menjanjikan maka lama kelamaan daerah ini banyak pendatangnya yaitu dari : Pengembungan berasal dari pengembungan Tabanan, Kedewatan berasal dari Kedewatan Gianyar,Tanggayuda berasal dari Tanggayuda Gianyar, Sayan berasal dari Sayan Gianyar, Kambang berasal Samuan Carangsari,Kutaraga berasal dari Punggul dan Pengembungan, Tohpati berasal dari kambang dan Camuan Carangsari. Desa Bongkasa terdiri dari dua Desa Adat yaitu : Desa Adat Bongkasa dan Desa Adat Kutaraga. Desa Bongkasa yang terdiri dari sepuluh banjar dinas yaitu: 1. Banjar Kedewatan berasal dari Kedewatan Gianyar (Icaka 1655/1733 M) 2. Banjar Tanggayuda berasal dari desa Tanggayuda Gianyar 3. Banjar Sayan Agung berasal dari Desa Sayan Gianyar 4. Banjar Sayan Tua berasal dari Desa Sayan Gianyar 5. Banjar Pengembungan Sari berasal dari Banjar Pengembungan Bongkasa 6. Banjar Teguan berasal dari Teguh Wana 7. Banjar Pengembungan berasal dari Pengembungan Tabanan
Bali Tempo Dulu
251
8. Banjar Kambang berasal dari Desa Samuan Carang Sari 9. Banjar Kutaraga berasal dari banjar Pengembungan dan Desa Punggul 10. Banjar Tohpati berasal dari banjar Kambang Desa Bongkasa Mengenai Dua Desa Adat yang ada di Desa Bongkasa Didukung Oleh 12 Banjar adat yang ada didesa yaitu: 1. Desa adat Bongkasa didukung oleh 10 Banjar adat antara lain; a. Banjar adat Karang adat Dalem 1 b. Banjar adat Tegalkuning c. Banjar adat Kedewatan d. Banjar adat Tanggayuda e. Banjar adat Sayan agung f. Banjar adat Sayan Tua g. Banjar adat Pengembungan Sari h. Banjar adat Teguan i. Banjar adat Pengembungan j. Banjar adat Kambang 2. Desa adat Kutaraga berposisi disebelah selatan desa adat Bongkasa yang didukung oleh 2 banjar adat antara lain; a. Banjar adat Kutaraga b. Banjar adat Tohpati Demikianlah sekelumit sejarah singkat desa Bongkasa ini dapat kami sampaikan, mudahmudhan ada manfaatnya. Tentunya sejarah ini masih jauh dari sempurna karena tidak didukung oleh data dan fakta sejarah yang akurat, hanya berdasarkan penuturan dari sesepuh desa,yang diketahuinya melalui penuturan secara turun-temurun. Oleh karena itu melalui kesempatan ini kami mohon bantuan semua pihak untuk menyempurnakan sejarah Desa Bongkasa ini,yang telah dijadikan pedoman dalam pembuatan lambang Desa Bongkase yang digunakan dalam istrasi Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Desa Bongkasa. Foto colection P.F.VALOIS. Sumber : sejarahbal.blogspot.com/2014/02/sejarah-adanya-desa-bongkasa.html #BaliTempoeDuloe#wikipedia #Tropenmuseum # #P.F.VALOIS #
Bali Tempo Dulu
252
HARIMAU BALI SUDAH PUNAH SEJAK TAHUN 1937. Foto koleksi Tropen Museum. Harimau bali (bahasa Latin: Panthera tigris balica) adalah subspesies harimau yang sudah punah dan habitatnya di Pulau Bali, Indonesia. Harimau ini adalah salah satu dari tiga subspesies harimau di Indonesia bersama dengan harimau jawa (juga telah punah) dan harimau sumatera (spesies terancam). Harimau ini adalah harimau terkecil dari ketiga subspesies; harimau terakhir ditembak pada tahun 1925, dan subspesies ini dinyatakan punah pada tanggal 27 September 1937. Subspesies ini punah karena kehilangan habitat dan perburuan. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Harimau_bali #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #Wikipedia#,Flora&faunabali# #DinaskehutananBali#
Bali Tempo Dulu
253
SEJARAH HARIMAU BALI. YANG SUDAH PUNAH. Kemungkinan pada waktu itu harimau bali dianggap sebagai hama ternak sehingga mereka dimusuhi. Harimau bali memangsa ternak karena mangsa mereka di hutan habis diburu manusia. Sementara harimau bali sendiri bersembunyi kesana kemari untuk menyelamatkan diri dari kejaran pemburu. Karena diburu secara terus menerus dan tidak ada habitat lagi sebagai tempat berlindung yang aman, akhirnya harimau bali punah. Kini harimau bali hanya tinggal kenangan. Asal-usul harimau bali Ribuan tahun yang lalu, daratan mulai dari semenanjung malaka (malaysia) menuju sumatera dan terus ke jawa hingga bali, adalah merupakan satu daratan yang tidak dibatasi oleh laut. Karena adanya proses evolusi akibat keretakan bumi selama ribuan tahun di sepanjang oceania, maka daratan itu terputus oleh selat dan menjadi pulau sumatera, jawa dan bali. Oleh karena itu hingga sekarang ini ketiga pulau tersebut memiliki satwa yang “mayoritas” sama, karena dulunya merupakan satu daratan. Mengapa disebut panthera tigris? Harimau loreng datang dari lembah tigris dengan berjalan kaki selama ribuan tahun. Harimau loreng ini merupakan karnivora besar dengan wilayah persebaran geografis yang sangat luas. Mereka menjelajah dari lembah Tigris di Siberia hingga sampai ke Rusia Timur, lalu menyebar ke India kecuali Srilanka, kemudian terus menjelajah sampai di Indocina dan semenanjung Malaya, hingga akhirnya sampai di kepulauan Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Hewan ini dianggap berasal dari lembah Tigris yang kemudian menyebar hingga ke Bali melewati rentang waktu ribuan tahun. Karena adanya perubahan suhu permukaan air laut yang tinggi dan fragmentasi antar populasi, maka membuat spesies harimau loreng terpecah menjadi 8 sub-spesies.
Bali Tempo Dulu
254
Kini ada tiga sub-spesies harimau loreng yang dinyatakan sudah punah, yaitu harimau kaspia, harimau jawa dan harimau bali. Dan harimau bali merupakan harimau loreng paling kecil dari keluarga harimau yang datang dari lembah tigris. JIKA INGIN TAU HARIMAU BALI,KITA HARUS DATANG KE NEGARA BELANDA UNTUK MELIHAT KULIT ASLI,HARIMAU BALI YANG DINYATAKAN PUNAH PADA 27 SEPTEMBER 1937. Sumber : juragancipir.com › Satwa Liar #BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM #MUSEUMVONLEIDEN#WIKIPEDIA# #FLORAFAUNABALI#DINASKEHUTANANBALI#
SEJARAH GEMPA BUMI DI BALI "GEJER BALI" (BALI BERGUNCANG) Foto Tahun : 1917 Koleksi Tropen Museum Nampak reruntuhan bangunan pada foto yang menggambarkan Betapa dahsyatnya gempa bumi pada saat itu yang pernah mengguncang pulau bali sehingga mebuat banyak rumah,tempat ibadah dll yang luluh lantak. Berdasarkan catatan sejarah, daerah Bali dan sekitarnya dikenal sebagai daerah yang rawan gempa bumi, Tercatat beberapa kali gempa besar yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian harta benda, diantaranya gempa tahun 1917, gempa Seririt (1976), gempa Culik (1979) dan gempa Karangasem (2004).
Bali Tempo Dulu
255
Pada tahun 1917 gempa bumi dahsyat mengguncang seluruh daratan Bali. Akibat gempa bumi ini tercatat korban tewas 1500 orang. Gempa bumi dikenal sebagai Gejer Bali yang artinya Bali berguncang. Gempa bumi dahsyat yang kedua setelah Gejer Bali adalah Gempa bumi Seririt yang terjadi pada tanggal 14 Juli 1976. Gempa bumi ini berkekuatan 6.2 Skala Richter dengan episentrum di daratan. Gempa bumi Seririt menelan korban tewas sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang. Dilaporkan juga, hampir 75% dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami kerusakan. Gempa bumi Karangasem pertama (6.0 Skala Richter) terjadi pada tanggal 17 Desember 1979 yang menelan korban tewas sebanyak 25 orang, 47 luka berat. Dampak gempabumi telah meimbulkan puluhan rumah roboh dan ditemukan retakan tanah sepanjang 500 meter. Gempabumi Karangasem kedua (6.2 Skala Ricter), terjadi pada tanggal 2 Januari 2004 menelan seorang korban tewas dan 33 orang luka-luka. Beberapa daerah yang mengalami kerusakan parah adalah daerah Tenganan, Dauh Tukad, Abang, Tohpati, Muncan, dan Bukit. (sumber: Daryono, BMKG) balai3.denpasar.bmkg.go.id/sejarah-gempa-merusak #BaliTempoeDuloe#wikipedia #Tropenmuseum # #BMKG#PENANGGULANGANBENCANA#
A.A PANJDI TISNA RAJA BULELENG KE - 16 Masa jabatan : 1944-1947.
Bali Tempo Dulu
256
BIOGRAFI : Anak Agung Pandji Tisna (lahir di Buleleng, 11 Februari 1908 – meninggal 2 Juni 1978 pada umur 70 tahun), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976 [1] yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji Tisna, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna.[2] Pada saat Pandji Tisna lahir,Buleleng berada di bawah pemerintahan Belanda sejak 1872. Meskipun ayahnya hanya diangkat sebagai istratur oleh Pemerintah Belanda, namun Anak Agung Putu Djelantik adalah pewaris tahta kerajaan. Pandji Tisna lahir dalam budaya dan kepercayaan Hindu-Bali, serta tumbuh di istana kerajaan Singaraja, di mana ia mengalami dan menyaksikan sendiri kekayaan artistik istana.[2] Antara usia tujuh hingga tujuh belas tahun, Pandji Tisna belajar di sekolah menengah Belanda, mula-mula di Singaraja, kemudian dilanjutkan di Batavia (Jakarta). Sekolahnya tidak dilanjutkan, lalu ia kembali ke Singaraja, bekerja membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi.[2] Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. [2] Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. [2]Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana.[2] Bahasa ibu Pandji Tisna adalah bahasa Bali. [2]Ia belajar bahasa Belanda saat bersekolah. [2]Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun. [2]Meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya. [3] Sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali, ''I Swasta: Setahun di Bedahulu'', dan ''Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara Dunia''.[2] Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera.[3] Pada 1942, Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali.[2]Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang.[2] Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing.[2] Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada 1944.[2] Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".[4] Menjelang akhir tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Pandji Tisna menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung), yang beranggotakan delapan pemimpin wilayah Bali, dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur.[2] Pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari
Bali Tempo Dulu
257
beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas.[2] Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.[2] Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.[2] Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.[2] Sumber : https://id.wikipedia.org/.../Anak_Agung_Pandji_Tisna #BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM# WIKIPEDIA #SEJARAH #
Bali Tempo Dulu
258
KECAMATAN SUKAWATI GIANYAR,BALI INDONESIA Foto Tahun :1920 Koleksi Tropen Museum Sukawati adalah sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Gianyar-Bali, seperti yang kita kenal Gianyar adalah daerah yang memiliki nilai seni tinggi terlebih lagi di kecamatan sukawati, disini kita bisa berwisata di pasar yang sangat terkenal yaitu pasar seni Sukawati yang menjual berbagai jenis barang kesenian yang di hasilkan masyarakat.
Bali Tempo Dulu
259
Objek wisata pasar seni Sukawati merupakan sebuah pasar yang sangat terkenal di kalangan wisatawan, karena pasar ini menjual pakaian-pakaian juga barang-barang kerajinan seni khas lokal dengan harga murah, sebagai buah tangan atau oleh-oleh dari pulau dewata. Banyak para pelancong dalam perjalanan tour menjadikan pasar ini sebagai tujuan wisata belanja, sehingga menjadi tempat wajib dikunjungi dan selalu ramai, apalagi kaum ibu, terkenal suka tawar-menawar harga barang, nah disinilah tempatnya, tidak hanya dari kalangan turis domestik, tamu asingpun doyan untuk mampir ke sini, apalagi lokasi pasar berada jalur searah perjalanan tour menuju Kintamani, Goalawah serta Bali Safari. Barang-barang ditawarkan di pasar sukawati seperti; baju kemeja, T-shirt, sarong pantai disablon dengan ukiran atau gambaran seni kas tradisional, patung-patung, lukisan, tas, dompet, payung, sandal, lukisan dan barang kerajinan tangan lainnya. Sangat pas sekali bagi untuk kebutuhan sendiri ataupun untuk keperluan oleh-oleh ciri khas produksi Bali. Wisatawan domestik paling gemar untuk berkunjung ke Sukawati, entah itu bertujuan belanja ataupun melihat-lihat barang-barang hasil kerajinan khas lokal, bisa berkinjung ke sini. Tetangga dekat pasar Sukawati juga menjual barang-barang serupa adalah Pasar Guwang, terletak berdekatan sebelah selatan Pasar Sukawati. Pasar tradisional ini terletak di Kabupaten Gianyar, 20 km ke arah timur kota Denpasar, 30 km dari kawasan objek wisata Kuta. Untuk bisa mengunjungi pasar Sukawati ini, wisatawan bisa ikut paket full day Kintamani - Tampaksiring Tour susunan acaranya telah kami kemas berdasarkan rute perjalanan searah. Atau anda bisa sewa mobil di Bali + supir + bbm menentukan sendiri rute objek wisata yang mau dipilih bisa juga setir sendiri kalau sudah tahu rute/ jalan ke tempat tersebut. Alternatif lain wisata belanja selain Sukawati adalah pasar swalayan, menyediakan barangbarang hasil kerajinan masyarakat lokal, juga sering disebut pasar oleh-oleh modern seperti Krisna, Hawaii Bali, Erlangga, Kampoeng Nusantara, belanja ditempat seperti ini, harga sudah dibandroll dengan harga pas, tidak ada istilah tawar menawar, harganyapun cukup kompetitif, pasar oleh-oleh modern ini menjadi pesaing utama, sehingga pasar seni kelihatan semakin redup. Menarik untuk dibahas, memukau kalau dipandang, sedap untuk dinikmati, begitulah gambaran pulau dewata ini, karena itu semakin banyak saja peminatnya. Selain untuk wisata belanja seperti pasar seni Sukawati, tentu banyakobjek wisata di Bali mempuni lainnya yang membuat anda semakin mengagumi pulau kecil ini Sumber : www.balitoursclub.com/berita_64_Sukawati.html #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Tropenmuseum # #KITLV LAIDEN #
Bali Tempo Dulu
260
OBYEK WISATA ULUWATU DESA PECATU Kec : KUTA SELATAN BADUNG,BALI INDONESIA Objek wisata Uluwatu memang kita kenal sebagai tempat yang menawarkan keindahan matahari terbenam, dimana bola bundar dengan rona jinnga kemerahan ini seolah tenggelam ditelan samudera Indonesia di sebelah Barat kaki cakrawala, ditambah paduan tari Kecak dipentaskan setiap sore harinya dimulai pukul 18.00 selama 1 jam, menjadikanya objek paling dicari pada sore hari oleh wisatawan, pementasan Tari Kecak ini tergolong paling menarik dan mengasikkan, dengan durasi pementasan cukup lama, latar belakang sunset, serta penonton kadang-kadang diajak ikut berinteraksi.Sehingga menjadikannya pengalaman menarik. Namun sebelum perjalanan puncak sampai ke Uluwatu sepanjang perjalanan searah menuju tempat ini, kita melintasi desa Pecatu, sepanjang perjalanan banyak sekali tempat-tempat primadona, serta sangat layak dikunjungi, seperti GWK, pantai Dreamland, Balangan dan pantai Pandawa sebuah tempat baru dalam suguhan pesona alam eksotik. Memang kawasan Selatan ini tergolong kaya dengan tempat-tempat dengan keindahan yang tak terbantahkan. Sumber : www.balitoursclub.com/berita_73_Uluwatu.html ENMUSEUM # #WIKIPEDIA # #BALILAWAS # OBYEK WISATA #
Bali Tempo Dulu
261
HARI RAYA HINDU GALUNGAN & KUNINGAN DI BALI Foto Tahun : 1939 Koleksi : P.F.VALOIS Rangkaian Hari Raya Galungan : Tumpek Wariga : Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa
Bali Tempo Dulu
262
Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti: a. Bubuh putih untuk umbi-umbian b. Bubuh bang untuk padang-padangan c. Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif d. Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog): “Dadong- Dadong I Pekak anak kija I Pekak ye gelem I Pekak gelem apa dong? I Pekak gelem nged Nged, nged, nged” Dialog diatas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuhtumbuhan. Sugihan Jawa : Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang Sugihan Bali : Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
Bali Tempo Dulu
263
Hari Penyekeban : Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyajan : Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Jadi hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan. Hari Penampahan : Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan [penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya masing-masing. Punjung atau Suguhan untuk para Leluhur Hari Raya Galungan : Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung” , umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masingmasing. Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra , banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan diatas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga). Persembahan pada saat Hari Raya Galungan Hari Umanis Galungan : Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi. Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, dimana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah
Bali Tempo Dulu
264
penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan Hari Pemaridan Guru : Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan. Ulihan : Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan Hari Pemacekan Agung : Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan. Hari Kuningan : Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang,kolem, dan endong.Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran. Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum. Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan. Hari Pegat Wakan : Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Galungan
Bali Tempo Dulu
265
#BaliTempoeDuloe#wikipedia #Tropenmuseum # P.F.VALOIS #
Pasar ubud,Gianyar,Bali,Indonesia Tahun 1940. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas #KITLV LAIDEN #
Bali Tempo Dulu
266
Sebelum lahirnya Indonesia, bumi nusantara ini dulu dikenal dunia dengan nama Dutch East Indies, sebuah negara koloni Belanda yang dikenal dengan keindahan alam dan hasil bumi yang melimpah ini masih menyimpan banyak sejarah bangsa yang harus diketahui, salah satunya tentang sistem pemerintahan dan keamanan, untuk urusan militer negara Dutch East Indies masih dibantu tentara dari negara induk yakni Belanda, namun untuk keamanan dalam negeri Dutch East Indies memiliki lembaga kepolisian modern dengan nama Dutch East Indies Politie yang dibentuk pada tahun 1887 hingga 1945, mereka bertugas menjaga keamanan dalam sebuah kota atau wilayah, Dutch East Indies Politie sendiri diambil dari warga pribumi dengan seorang perwira Belanda sebagai pemimpin Sumber : sosialpower.blogspot.com #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia # ArsipNasionalRi # # KITLV LAIDEN #
Bali Tempo Dulu
267
SEJARAH GOA GAJAH DESA BEDULU Kec :BLAHBATUH GIANYAR, BALI INDONESIA Foto Tahun : 1930 KITLV LAIDEN Goa Gajah adalah gua buatan yang berfungsi seperti tempat ibadah. Gua ini terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali. Berjarak kurang lebih 27 km dari Denpasar. UNESCO mencatat goa ini sebagai warisan dunia dalam daftar tentatif (menunggu kepastian) pada tanggal 19 Oktober 1995 dalam bidang kebudayaan. Etimologi : Dalam kitab lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M terdapat literatur Lwa Gajah (Lwa atau Lwah/Loh) yang berarti sungai gajah. Sungai yang terletak di depan candi yang sekarang dikenal dengan Sungai Petanu. Sejarah : Penemuan Goa Gajah berawal dari laporan pejabat Hindia Belanda, LC. Heyting pada tahun 1923 yang menemukan arca Ganesha, Trilingga serta arca Hariti kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut di tindak lanjuti oleh Dr. WF. Stuterhiem untuk mengadakan penelitian lanjut pada tahun 1925. Pada tahun1950 Dinas Purbakala RI melalui seksi-seksi bangunan purbakala di Bali yang dipimpin oleh J.L Krijgman melakukan penelitian dan penggalian pada tahun 1954 sampai tahun 1979 dan ditemukanlah tempat petirtaan kuno dengan 6 buah patung wanita dengan pancuran air di dada dan sampai sekarang keberadaanya bisa
Bali Tempo Dulu
268
dipercaya bisa memberikan vibrasi penyucian aura bagi pengunjung.[5] Pada tahun 1931 Mr. Conrat Spies menemukan pula peningalan yang cukup penting di komplek "tukad pangkung" berupa stupa bercabang tiga yang terpahat pada dinding batu yang telah runtuh tergeletak didasar tukad pangkung. Kompleks Goa Gajah terdiri atas 2 bagian utama, yaitu kompleks bagian utara merupakan warisan ajaran Siwa, dengan bukti adanya Trilingga dan patung Ganesha di dalam goa, merupakan tempat umat Hindu melakukan persembahyangan. Komplek sebebelah selatan Goa Gajah yakni area Tukad Pangkung, berupa stupa Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitabhabersusun 13 stupa dan stupa bercabang 3 yang dipahat dibatu besar. Di bagian depan terdapat arca Hariti, arca Ganesha, arca [[Raksasa. Patung Ratu Brayut atau Hariti (bahasa Avesta Harauhuti) dipercaya sebagai tokoh yang berkarakter jahat namun setelah belajar agama Buddha ia berubah menjadi penyayang anak, sebagaimana yang terlihat dalam patung tersebut. Selain itu terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat J.L Krijgman menjabat kepala kantor Purbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di kolam pemandian atau pentirtaan terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca Widyadhari pancuran ini terdapat enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau pa. Pa adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Sedangkan arca Widyadara berada di tengah keenam Widyadhari. Hal ini berdasarkan konsep Sapta Nadi yaitu tujuh sungai suci Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Serayu dan Narmada.[2] Area Tukad Pangkung berbentuk lembah pura Patapan, disini tersimpan arca Budha.[5] Goa ini dipahatkan pada batu padas keras yang menjorok keluar sejauh 5,75 meter dari dinding batu tersebut, berukuran tinggi 6,75 meter dan lebar 8,6 meter. Permukaan goa berhiaskan motif daun daunan, batu karang, raksaasa, kera, dan babi. Ditengah tengah relief tersebut terdapat relief mulut goa dengan ukuran lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Di ambang mulut goa terdapat pahatan muka raksasa yang menyeramkan dengan mata bulat besar melirik kearah kanan, rambut dan alis tampak kasar, hidung besar, bibir atas dengan sederetan gigi tepat berada diatas lubang goa. Pada dinding timur goa terdapat dua baris tulisan berbunyi 'Kumon' dan baris bawah 'Sahy(w)angsa' menilik bentuk hurufnya berasal dari abad ke-11. Setelah memasuki goa terdapat lowongan bercabang dua, satu ke timur dan satu ke barat sehingga denah menyerupai huruf 't'. Lorong yang membentang dari timur-barat itu berukuran panjang 13.5 meter, lebar 2.75 meter dan tinggi 2 meter. Pada dinding utara dari lorong yang melintang kearah barat terdapat 7 buah ceruk, salah satu dari 7 buah ceruk itu berhadapan dengan jalan masuk goa dan merupakan ceruk yang terbesar dengan ukuran tinggi 1,26 meter, kedalaman 1,35 meter, terletak 0.7 meter dari permukaan tanah. Di dalamnya terdapat fragmen arca raksasa dan fragmen arca siwa. Pada kedua ujung lorong yang melintang ke arah timur-barat juga terdapat ceruk. Ceruk di ujung timur terdapat trilingga dan ceruk di ujung barat terdapat arca Ganesha. Sejak tahun 1950 setelah Badan Purbakala Republik Indonesia membuka kantor seksi bangungan cabang Bali yang berkedudukan di Gianyar dibawah pimpinan J. C. Krijgsman, penelitian terhadap peninggalan purbakala di Goa Gajah mendapat perhatian secara Khusus. Hal ini dibuktikan pada tahun 1951/1952 dengan diadakan penggalian di pelataran depan mulut goa. Dari penggalian itu ditemukan pondasi kuna berbentuk persegi panjang, dimana dinidng muka goa sebagai salah satu sisi panjangnya. Pada tahun itu ditemukan pula retakan pada langit-langit goa sebagai akibat dari akar-akar pohon kamboja yang tumbuh diatas
Bali Tempo Dulu
269
tebing sebelah kanan mulut goa. Sewaktu dilakukan pembersihan tanah dan akar dibagian barat goa ditemukan dua buah pecahan batu, pecahan pertama merupakan bagian atas kepala raksasa diatas lubang goa, pecahan kedua merupakan bagian berukir dari tembok sebelah timur. Disamping itu ditemukan pula sebuah pedang dari batu padas yang merupakan bagian dari arca raksasa didepan goa. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Goa_Gajah #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia# #KITLV LAIDEN # #Baliage#balilawas # sejarah #
Bali Tempo Dulu
270
Bali Tempo Dulu
271
PANTAI KUTA DESA ADAT KUTA BADUNG,BALI INDONESIA Pantai Kuta adalah sebuah tempat pariwisata yang terletak kecamatan Kuta, sebelah selatan Kota Denpasar, Bali, Indonesia. Daerah ini merupakan sebuah tujuan wisata turis mancanegara dan telah menjadi objek wisata andalan Pulau Bali sejak awal tahun 1970-an. Pantai Kuta sering pula disebut sebagai pantaimatahari terbenam (sunset beach) sebagai lawan dari pantai Sanur. Selain itu,Lapangan Udara I Gusti Ngurah Rai terletak tidak jauh dari Kuta. Sejarah Sebelum menjadi objek wisata, Kuta merupakan sebuah pelabuhan dagang tempat produk lokal diperdagangkan kepada pembeli dari luar Bali. Pada abad ke-19, Mads Lange, seorang pedagang Denmark, datang ke Bali dan mendirikan basis perdagangan di Kuta. Ia ahli bernegosiasi sehingga dirinya terkenal diantara raja-raja Bali dan Belanda. Selanjutnya, Hugh Mahbett menerbitkan sebuah buku berjudul “Praise to Kuta” yang berisi ajakan kepada masyarakat setempat untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata. Tujuannya untuk mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku itu kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan. Pantai Kuta terkenal memiliki ombak yang bagus untuk olahraga selancar(surfing), terutama bagi peselancar pemula. Selain keindahan pantai, wisata pantai Kuta juga menawarkan berbagai jenis hiburan seperti bar, restoran, pertokoan, restoran, hotel, dan toko-toko kelontong, serta pedagang kaki lima di sepanjang pantai menuju pantai Legian. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Kuta #BALITEMPOEDULOE#BALILAWAS # SEJARAH # WIKIPEDIA #SEJARAH # #KITLV LAIDEN # TROPEN MUSEUM #
Bali Tempo Dulu
272
JALAN LEGIAN KUTA,BADUNG BALI,INDONESIA TAHUN : 1988 #BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS # OBYEK WISATA # WIKIPEDIA #
Bali Tempo Dulu
273
SEPUTARAN KOTA DENPASAR FOTO TAHUN 1960an #BaliTempoeDuloe #wikipedia # KOTA DENPASAR #
PASAR KUMBA SARI KOTA DENPASAR #BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS # WIKIPEDIA # KOTA DENPASAR#
JALAN RAYA UBUD GIANYAR, BALI INDONESIA Foto tahun 1920-an Koleksi Tropen Museum
Bali Tempo Dulu
274
#BaliTempoeDuloe #wikipedia #Tropenmuseum # #KITLV LAIDEN #
Wisata Bali - Pura Ulun Danu Beratan Pura Ulun Danu Beratan merupakan salah satu tempat wisata menarik di Bali. Pura Ulun Danu Beratan berada di Bedugul yang merupakan tempat yang menawarkan suasana sejuk, tenang dan nyaman karena Bedugul terletak di dataran tinggi. Pura ini terletak di tepi sebuah danau yang terkenal di Bali yaitu Danau Beratan Bali. Pura ini sudah terkenal ke mancanegara, sehingga Pura ini selalu di kunjungi oleh wisatawan asing, dan juga Pura ini menjadi salah satu obyek wisata popular di Bali. Tentang Pura Ulun Danu Beratan Pura Ulun Danu Bratan berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Sanghyang Widhi sebagai perwujudannya Dewi Laksmi / Dewi Kesuburan. Selain berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan, Pura Ulun Danu Beratan ini juga berfungsi sebagai pemikat hati wisatawan untuk mengunjunginya. Pelinggih yang terkenal di area Pura Ulun Danu ini adalah Pelinggih Telengin Segara yang berwujud Bangunan Suci / Meru bertumpang 11 dan Pelinggih Lingga Ulun Danu yang berwujud bangunan Meru bertumpang 3. Karena kedua Pelinggih/Pura ini memiliki nilai estetika yang tinggi. Sumber : infowisata-bali.blogspot.com/.../wisata-bali-pura-ulun-... #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Tropenmuseum # KITLV LAIDEN # #wisata bali#ADATBUDAYA # warisan leluhur #
Bali Tempo Dulu
275
SEJARAH PELABUHAN BENOA Foto Tahun : 1984 Pelabuhan Benoa telah mulai diusahakan sejak 1924, berdasarkan Stb. 1924 No. 378, seiring dengan keberadaan bangsa Belanda di Kota Denpasar. Pada awalnya batas daerah kerja dan kepentingan pelabuhan Benoa didasarkan pada gambar peta pelabuhan zaman Belanda yang ditetapkan dalam Staadblad nomor 16 tanggal 8 Januari 1926. Selanjutnya batas-batas lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan kepentingan Pelabuhan Benoa ditetapkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan nomor 15 Tahun 1990/KM.18 Tahun 1990 tanggal 14 Pebruari 1990. Pada tahun 2010 Pelabuhan Benoa mendapat penghargaan dari Majalah Dream World Cruise Destination sebagai Best Port Welcome. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Benoa #BaliTempoeDuloe#wikipedia# Pemerintah Kota Denpasar#
Bali Tempo Dulu
276
PELABUHAN PADANG BAI ( PADANG COVE) Foto Jaman penjajahan Belanda. Nama desa Padangbai sebenarnya diberikan oleh Belanda. Dulunya desa ini bernama desa Padang. Karena terletak di sebuah teluk dangkal berperairan tenang, Belanda, dalam usahanya menjadikan Bali sebagai wilayah jajahannya, membangun tangsi sekaligus pelabuhan di sana. Oleh Belanda, teluk Padang disebut Padang Baai. Baai dalam bahasa Belanda berarti Teluk. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama desa Padang diubah menjadi Teluk Padang. Namun, para wisatawan dan penulis-penulis buku traveling asing, menyebutnya sebagai Padang Bay, yang dalam terjemahannya berarti Teluk Padang. Selain itu nama Padangbai juga disebut-sebut dalam naskah-naskah kuno antara lain dalam Prasasti Kehen B yang bunyinya "Mpu Kuturan menyusul saudaranya turun ke Bali tahun Çaka 923 (th 1001 M), berperahu daun kapu-kapu dan berbidakkan daun bende, turun di Pantai "Padang". Demikian bunyi Prasasti yang menyebutkan Pemargin Mpu Kuturan ke Bali : “Kunang sira Mpu Kuturan turun wentening Bali, apadawu witning kapu-kapu, abidak rwaning benda, turun maring kakisiking Bali ring Padang, kala diwe udha siwa wara Pahang, titi sukla paksa madu, sirsa caksu, I sakyem gni suku babahan udani dita 923, neher winangunaken Parhyangan Silayukti, ayoga swala Brahmacari”. Pantai Padang yang dimaksud dalam prasasti tersebut adalah Padangbai dikarenakan adanya Pura Silayukti tempat pemujaan Mpu Kuturan di Padangbai. Secara istratif, nama Teluk Padang masih digunakan sampai pada tahun1992. Kemudian setelah resmi menajadi desa yang berdiri sendiri, nama ini kemudian diganti menjadi Padangbai. Politik dan Pemerintahan : Padangbai baru menjadi sebuah Desa yang berdiri sendiri sejak tahun 1992dimana sebelumnya masih berupa Dusun yang merupakan bagian dari DesaUlakan dan bernama Dusun Padang atau Dusun Teluk Padang. Desa Dinas Padangbai dibagi atas 4 Dusun atau
Bali Tempo Dulu
277
Banjar Dinas antara lain Dusun Luhur, Dusun Melanting, Dusun Segara dan Dusun Mimba. Selain berupa Desa Dinas, Desa Padangbai juga memiliki sistem pemerintahan tradisional Bali yang disebut Desa Pakraman yang terdiri atas 3 Banjar yaitu Banjar Kaler, Banjar Sidha Karya dan Banjar Karya Nadhi. Sumber : https://id.wikipedia.org/.../Padangbai,_Manggis,_Kara... #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum #wikipedia # ArsipNasionalRi # KITLV LAIDEN # #Baliage #balilawas # sejarah #
SUNGAI BADUNG DENPASAR,BALI INDONESIA Foto Sungai Badung Februari 1972 SUNGAI kota dapat diartikan sebagai sungai yang mengalir di wilayah kota besar. Sungai kota umumnya jauh dari suasana sungai di pedesaan yang alami dengan gemericik air jernih mengalir di antara bebatuan serta dahan pepohonan menggelayut menggapai permukaan sungai. Air sungai kota jauh dari jernih, justru penuh sampah, pekat, hitam dan bau. Pun tak dihiasi pepohonan, namun rumah-rumah kumuh berjejalan di bibir sungai hingga menjorok ke tengah, membuat setiap orang yang memandang sumpek. Pengertian ini akan membedakan pemahaman terhadap keberadaan sungai-sungai besar yang juga melintasi wilayah kota besar di Kalimantan dan Sumatera. Sungai-sungai besar tersebut sangat lebar dan dalam, sehingga menjadi sarana transportasi masyarakat. Sungai kota dalam skala yang lebih kecil, acapkali menjadi momok pemerintah kabupaten/kota dalam upaya menata dan memperindah kota. Sampah hanyut dan tersangkut di mana-mana dengan air yang pekat berubah-ubah warna. Untuk Denpasar meski tidak dalam ukuran besar, terdapat beberapa sungai yang melintasi jalan utama kota Denpasar. Sungai terbesar adalah Tukad Badung. Sungai ini mulai terlihat dari Jalan Gatot Subroto di Lumintang kemudian ke selatan melintasi Jalan Gajah Mada, Hasanudin, Nusa Kambangan dan terpanjang terlihat di Jalan Imam Bonjol dan berakhir di
Bali Tempo Dulu
278
Estuari Dam Suwung. Sungai lainnya Tukad Teba yang berdampingan dengan Jalan Imam Bonjol, mulai dari Banjar Abiantimbul, Margaya hingga di Banjar Abianbase di wilayah Kuta. Maka kedua sungai ini, Tukad Badung dan Tukad Teba mendapat perhatian lebih dari pihak Pemkot, terutama pada penataan kebersihan dan keindahannya. Sampah-sampah kota seperti kantong dan botol plastik, sampah rumah tangga sepertinya tidak pernah tidak, selalu menghiasi wajah sungai. Belum lagi pada beberapa bagian terdapat genangan sampah dengan bangkai binatang mengapung dan busa yang membumbung tinggi hingga terbang terbawa angin jalan. Jika ini dibiarkan, kondisi ini berbanding terbalik dengan misi menjadikan Denpasar yang "BALI" -bersih, aman, lestari dan indah. Maklum saja kedua sungai kota ini melintasi jalan raya dengan intensitas kepadatan tinggi karena merupakan jalan raya pariwisata dan ekonomi masyarakat. Maka sangat perlu perhatian dan kesadaran warga untuk menjaga kebersihan sungai-sungai yang ada di sekitar kita untuk tidak membuang sampah sembarangan karena akan sangat mempengaruhi ke indahan dan kenyamanan baik warga sekitar sungai maupun wisatawan yang datang ke bali. Apalagi di saat musim penghujan jika sampah yang banyak menumpuk dan menyumbat saluran air di sungai-sungai itu dapat menyebabkan banjir yang membahyakan kita sendiri maka perlu kesadaran dari diri sendiri untuk menjaga kebersihan sungai-sungai yang ada di bali. Sumber : www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/9/7/des1.html #BaliTempoeDuloe#wikipedia # Pemerintah Kota Denpasar # #DinaskebersihankotaDenpasar #provinsi bali#
PANTAI LOVINA SINGARAJA BULELENG BALI, INDONESIA
Bali Tempo Dulu
279
Foto Tahun : 1988 Pantai Lovina atau Lovina terletak sekitar 9 Km sebelah barat kota Singaraja, ini merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Bali Utara. Wisatawan baik asing maupun lokal banyak yang berkunjung ke sana, selain untuk melihat pantainya yang masih alami, juga untuk melihat ikan lumba-lumba yang banyak terdapat di pantai ini. Dengan menyewa perahu nelayan setempat, kita dapat mendekati lumba-lumba. Berbagai penginapan mulai dari Inn hingga Cottages tersedia dengan harga yang sangat terjangkau. Sejarah Lovina Menyinggung sejarah Lovina, tentunya tidak bisa lepas dengan sosok Anak Agung Panji Tisna. Nama Panji Tisna sering ditulis Pandji Tisna. Sekitar 1950-an, Anak Agung Panji Tisna, pernah melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Apa yang menarik perhatian dia terutama adalah kehidupan masyarakat di India. Dia tinggal beberapa minggu di Bombay. Cara hidup dan kondisi penduduk di sana, serta merta mempengaruhi cara pikir dan wawasan dia ke depan untuk Bali, terutama pembangunan kesejahteraan masyarakat diKabupaten Buleleng. Sementara itu, Panji Tisna juga melihat suatu tempat yang ditata indah untuk orang-orang berlibur di pantai. Tanah tersebut memiliki kesamaan dengan tanah miliknya di Pantai Tukad Cebol, Buleleng yang juga terletak di antara dua buah aliran sungai. Inspirasi Panji Tisna muncul untuk membangun sebuah peristirahatan seperti itu. Pemunculan Lovina : Kembali dari luar negeri pada tahun 1953, Anak Agung Panji Tisna segera menyatakan inspirasinya dan mulai membangun di tanah miliknya, sebuah pondok bernama "Lovina". Tempat itu dimaksud untuk para “pelancong”, istilah sekarang “turis”, untuk berlibur. Dilengkapi dengan 3 kamar tidur utuk menginap dan sebuah restoran kecil dekat di pinggir laut. Waktu itu, beberapa pengamat bisnis mengkawatirkan, bahwa rencana Panji Tisna tidak akan berhasil seperti yang diharapkan. Terlalu awal waktunya untuk membuat usaha sejenis itu di pantai terpencil seperti pantai di Tukad Cebol. Pengamat budaya lokal menyatakan, "Lovina" adalah sebuah kata asing, bukan bahasa Bali. Selanjutnya lagi, tidak ada huruf "v" dalam aksara Bali. Komentar lain mengatakan dengan tegas, jangan menggunakan kata “Lovina”, sebaiknya dihapus saja. Anak Agung Panji Tisna, pada tahun 1959, menjual Penginapan Lovina kepada kerabatnya yang lebih muda,Anak Agung Ngurah Sentanu sebagai pemilik dan manajer. Bisnis ini berjalan cukup baik. Namun, tidak ada pelancong atau turis. Hanya datang beberapa teman Panji Tisna berasal dari Amerika dan Eropa, serta pejabat pemerintah daerah dan para pengusaha untuk berlibur. Merasa beruntung juga, karena pada hari-hari khusus seperti hari Minggu dan hari libur, juga pada hari raya seperti Galungan dan Kuningan banyak orang termasuk pelajar yang datang menikmati suasana alam pantai. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Lovina #BaliTempoeDuloe#wikipedia #Balilawas #wisata #pulaudewata#
Bali Tempo Dulu
280
Pura Besakih Karangasem,Bali INDONESIA Foto Tahun : 1917 From The archives
Bali Tempo Dulu
281
#BaliTempoeDuloe#Sejarah#Budaya# #adatistiadat#Pulaudewata#
Bali Tempo Dulu
282
Bali Tempo Dulu
283
Pura Besakih - Pura Penataran AgungPura : Kahyangan Jagad > Pura Besakih > Pura Penataran Agung Sekilas Pura Penataran Agung Di sebelah utara Pura Basukihan terletak megah Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung inilah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh. Kebanyakan orang menyangka Pura Besakih itu hanya Pura Penataran Agung saja, padahal masih banyak lagi pura pura disekitar Pura Penataran Agung yang menjadi penyiwiannya, seperti pura pura pedharman, dan kahyangan kahyangan lain. Pujawali di Pura Penataran Agung jatuh pada hari Purnamaning Kapat, sedang mengaci lainnya ialah "Bhatara Turun Kabeh" pada setiap hari Purnama Kedasa, Tawur Panca Wali Krama sepuluh tahun sekali dan Tawur Eka Dasa Rudra 100 tahun Caka sekali. Pura Penataran Agung terdiri dan 7 mandala yang melambangkan "Sapta Loka" atau tujuh lapisan alam, di tiap-tiap petak terdapat bangunan-bangunan palinggih. Sumber : www.babadbali.com › Kahyangan Jagad › Pura Besakih #BaliTempoeDuloe#wikipedia #Tropenmuseum # KITLV LAIDEN # #Baliage #balilawas # sejarah # TRADISI # HINDU#
#BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA # KITLVLAIDEN # TROPENMUSEUM # #WIKIPEDIA #
Bali Tempo Dulu
284
PERKAWINAN MENURUT AGAMA HINDU Foto koleksi Tropen Museum. Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata
Bali Tempo Dulu
285
wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130). Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwapawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat. Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masingmasing telah menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut: “Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah. Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah” “Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551). Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu: Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma. Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab
Bali Tempo Dulu
286
Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut: “Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah” “Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”. “Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram” “Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553). Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut: “Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam” “Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa). Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut: Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk
Bali Tempo Dulu
287
perkawinan ini dilarang.Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang. Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan istrasi, sebagai berikut: Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi: “Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate, Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya” “Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141). Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur. minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain. Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalamManava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34). Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.Selain itu persayaratan istrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua. Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu
Bali Tempo Dulu
288
perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut: “Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam, Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca” “Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut: “Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham” “Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut: 1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya. 2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra. 3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36). 4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
Bali Tempo Dulu
289
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan. 6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña. 7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara. 8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan. 9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah. 10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan. Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga setelah menikah. Upacara Perkawinan Adat Bali Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap dalam mencapai tujuan hidup, adapun tujuan hidup tersebut dinamakan Catur Purusa Artha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Sementara dalam Perkawinan adalah bentuk perujudan dari suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma Upacara perkawinan pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapanTuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sedangkan pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan secara lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi selamanya hingga akhir usia. Bila seseorang sudah berniat melakukan perkawinan, diharapkan sudah mereka sudah siap lahir dan batin dalam menempuk bahtera rumah tangga kelak. Dalam perkawinan umat Hindu di Bali, ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan dibutuhkan suatu bimbingan, nasehat dan wejangan agar dalam pelaksaanaannya nanti tidak mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul dalam mengarui biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang yang mengerti dan ahli dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti agama ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban bagi orang yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Bali Tempo Dulu
290
Lalu dilanjutkan dengan proses penyucian diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali percaya leluhur yang sudah meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak cucu kembali) untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat perkawinan mengasuh, membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak tersebut dapat menjadi manusia yang sempurna, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara. Perkawinan bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Saat itu perkawinan layak atau tidak nya ditentukan oleh seorang Resi, dimana sang Resi(Bramana Sista) ini mampu melihat lewat mata batin cocok tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan, bila tidak cocok atau jodoh akan dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangga mereka nanti. Namun seiring masa berganti dan pertimbangan duniawi lebih mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk anak anak mereka dan bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi Pernikahan adat Bali menggunakan sistem patriarki yaitu semua tahapan dan proses pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria. Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974, sah tidaknya suatu perkawinan adalah sesuai menurut hukum dan agama masing masing. Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut “ Mekala-kalaan (natab banten). Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik. Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai. Peralatan Mekala-kalaan dan symbol upacara adat perkawinan Bali Sanggah Surya/bambu melekungmerupakan niyasa (simbol) istanaSang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.Tikeh Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.Benang Putihdibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta
Bali Tempo Dulu
291
pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asramamenuju alam Grhasta Asrama. Tegen – tegenanMakna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat tegen-tegenan ini :Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.Periuk simbol windhu.Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.Suwun-suwunan(sarana jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.Dagang-daganganmelambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.Tetimpugadalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. (Sumber Asli) Rangkaian tahapan upacara pernikahan adat Bali: Upacara Ngekeb: Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik. Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas. Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar
Bali Tempo Dulu
292
dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya. Mungkah Lawang (Buka Pintu): Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu. Upacara Mesegehagung: Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng Madengen–dengen: Upacara ini bertujuan untuk ihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian Mewidhi Widana: Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacaraMewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan Mejauman Ngabe Tipat Bantal: Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacaraMejamuan/menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas Bali. Sumber : pura-kebonagung.blogspot.com/.../perkawinan-menur... Diposkan oleh Jero Mangku Nyoman Pica di 00.14
Bali Tempo Dulu
293
#BaliTempoeDuloe#wikipedia #Tropenmuseum # KITLV LAIDEN # #Baliage #balilawas # sejarah # TRADISI # HINDU # Budayabali # adat budaya #
OBYEK WISATA PANTAI SANUR DENPASAR SELATAN BALI,INDONESIA Pantai Sanur adalah sebuah tempat pelancongan pariwisata yang terkenal di pulau Bali. Tempat ini letaknya adalah persis di sebelah timur kota Denpasar,ibukota Bali. Sanur berada di Kotamadya Denpasar. Karena memiliki ombak yang cukup tenang, maka pantai Sanur tidak bisa dipakai untuk surfing layaknya Pantai Kuta [1]. Tak jauh lepas Pantai Sanur terdapat juga lokasi wisata selam dan snorkeling. Oleh karena kondisinya yang ramah, lokasi selam ini dapat digunakan oleh para penyelam dari semua tingkatan keahlian. Pantai Sanur juga dikenal sebagai Sunrise beach (pantai Matahari terbit) sebagai lawan dari Pantai Kuta. Karena lokasinya yang berada di sebelah timur pulau Bali, maka pantai Bali ini menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati sunrise atau Matahari terbit. Hal ini menjadikan tempat wisata ini makin menarik, bahkan ada sebuah ruas di pantai Sanur ini yang bernama pantai Matahari Terbit karena pemandangan saat Matahari terbit sangat indah jika dilihat dari sana. Sepanjang pantai Bali ini menjadi tempat yang pas untuk melihat Matahari terbit. Apalagi sekarang sudah dibangun semacam sanderan yang berisi pondok-pondok mungil yang bisa dijadikan tempat duduk-duduk menunggu Matahari terbit. Selain itu, ombak di pantai ini relatif lebih tenang sehingga sangat cocok untuk ajang rekreasi pantai anak-anak dan tidak berbahaya. Selain itu, pengunjung bisa melihat Matahari terbit dengan berenang di pantai. Sebagian kawasan pantai ini mempunyai pasir berwarna putih yang eksotis. Dilengkapi dengan pohon pelindung, pengunjung bisa duduk-duduk sambil menikmati jagung bakar ataupun lumpia
Bali Tempo Dulu
294
yang banyak dijajakan pedagang kaki lima. Sepanjang tempat wisata pantai Bali ini sekarang sudah dilengkapi dengan penunjang wisata berupa hotel, restoran ataupun kafe-kafe kecil serta art shop. Salah satu hotel tertua di Bali dibangun di pantai ini. Hotel ini bernama Ina Grand Bali Beach yang terletak persis di tepi pantai. Selain itu, sepanjang garis pantai juga dibangun semacam area pejalan kaki yang seringkali digunakan sebagai jalur jogging oleh wisatawan ataupun masyarakat lokal. Jalur ini terbentang ke arah selatan melewati pantai Shindu, pantai Karang hingga Semawang sehingga wisatawan bisa berolahraga sekaligus menikmati pemandangan pantai di pagi hari. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Sanur #BALITEMPOEDULOE#BALILAWAS # OBYEK WISATA # KITLV LAIDEN # #PULAUDEWATA # WISATADEWATA#TROPENMUSEUM#
Jalan di ubud,Gianyar, Bali, Indonesia Foto tahun : 1988 #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Balilawas #KEUNIKANBALI #
Bali Tempo Dulu
295
SEJARAH PURA PENATARAN SASIH DAN SEJARAH BULAN DI PEJENG Desa pejeng Kec : Tampaksiring Gianyar,Bali INDONESIA Foto nekara pejeng Tahun 1915 Pura Penataran Sasih terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini memiliki sejarah yang panjang.Di pura ini menyimpan mitos.Salah satunya tentang Bulan Pejeng. Nekara perunggu terbesar yang berada di Pura Penataran Sasih ini berukuran 186,5 cm dan dengan garis tengah 160 cm. Nekara tersebut dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Nekara tersebut di letakkan di sebuah pelinggih yang di sebut Ratu Sasih. Orang-orang mempunyai kepercayaan bahwa nekara ini adalah bagian bulan yang jatuh dari langit.4 Sehingga Pura Penataran Sasih berasal dari nama bulan (sasih=bulan). Nekara ini dimungkinkan sebagai sarana upacara untuk memohon hujan agar hutan-hutan menjadi rindang, menumbuhkan tanaman bahan makanan dan obat-obatan, sungai mengalirkan air yang jernih, dan adanya bulan bersinar sejuk merupakan panorama alam yang indah dan memukau. Sumber-sumber tradisional menyebut, benda ini adalah bulan yang dahulu kala jatuh dari langit, yang membuat Desa Pejeng menjadi terang-benderang sepanjang hari, sehingga para pencuri tidak dapat beraksi. Para pencuri jadi marah, lalu bulan itu dikencingnya, sehingga tidak bersinar lagi sampai sekarang. Sementara itu, ada yang menceritakan bahwa Bulan Pejeng adalah subang Kebo Iwa, seorang tokoh legendaris yang dengan segala kesaktiannya dapat memahat sejumlah kekunaan seperti candi tebing Gunung Kawi di Tampaksiring. Dari beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih merupakan pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Seorang arkeologi, R. Goris dalam buku “Keadaan Pura-Pura di Bali” menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng. Pura Penataran Sasih merupakan pura penataran sekaligus sebagai pemujaan awal terjadinya kehidupan di dunia. Sedangkan menurut ahli ilmu purbakala, Von Heine Geldern yang dikutip oleh Prof. I Gst. Gede Ardana dalam bukunya “Penuntun ke Obyek-obyek
Bali Tempo Dulu
296
Purbakala” menyatakan bahwa nekara tersebut merupakan hasil Kebudayaan Dongson dari Vietnam Utara. Maka di duga Pura Penataran Sasih telah ada sejak jauh sebelum Hindu masuk ke Bali. Karena kebudayaan Dongson ada pada tahun 300 SM. Sementara itu adanya Hindu masuk ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8. Ini artinya tempat pemujaan yang bernama Pura Penataran Sasih ini sudah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Bali. Setelah adanya pengaruh Hindu di Bali, barulah Pura Penataran Sasih ini diperluas secara bertahap menurut konsep pemujaan Hindu oleh penguasa dan masyarakat Bali yang beragama Hindu pada saat itu. Sekali lagi bahwa nekara tersebut difungsikan sebagai sarana pemujaan agar alam menjatuhkan hujan menurut musimnya. Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini mengandung nilai simbolis magis yang tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kedok muka yang disusun sepasang-sepasang dengan mata bulat membelalak, telinganya yang panjang, dengan anting-antingnya yang dibuat dari uang kepeng, dan hidungnya yang berbentuk segitiga. Bulan Pejeng ini dianggap sebagai subagnya Kebo Iwa. Nekara perunggu ini adalah hasil teknologi logam yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah, yaitu pada masa perundagian, sekitar 2000 tahun silam. Jauh sebelum pengaruh Hindu masuk di Bali.Para ahli arkeologi berpendapat, hiasan kedok muka ini berfungsi simbolis magis atau religius magis, yaitu sebagai lambang leluhur yang arwahnya berdiam di puncak gunung atau bukit dan mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya. Hiasan kedok muka seperti itu juga terdapat pula pada sarkofagus (peti mayat) yang tersebar di seluruh Bali, dengan berbagai gaya dan mempunyai fungsi yang sama dengan kedok muka pada “Bulan Pejeng”. Mungkin juga hiasan ini mempunyai fungsi estetik dekoratif. Selain itu ada juga sarkofagus Bali yang memakai hiasan berbentuk geometris, yaitu bundar (agak bulat) dan persegi yang mungkin digunakan untuk mengikat tali pada saat peti mayat di turunkan ke liang kubur. Di sebuah pura di Desa Manuaba ditemukan lima buah fragmen cetakan batu untuk nekara tipe Pejeng, maka timbul dugaan bahwa nekara Pejeng adalah hasil industri logam lokal yang telah maju. Perkiraan ini di dukung kenyataan bahwa cetakan batu dari Manuaba memakai hiasan kedok muka yang memperlihatkan persamaan dengan kedok muka pada nekara Pejeng, walaupun mempunyai ukuran yang lebih kecil. Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini sebagai gendrang upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hiasan nekara dengan adanya binatang dan matahari dengan delapan sinar. Di samping itu hiasan nekara ada motif lajur-lajur lingkaran terpusat. Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang menghadap ke delapan arah. Karena dalam kitab suci agama Hindu pun keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama. Dalam perkembangan selanjutnya, A.J. Bernet Kempers menyatakan bahwa Pura Penataran Sasih ini menjadi pura penataran sabagai pusat kerajaan di Bali yang berstana di Pejeng. Sedangkan sebagai pusat pura gunungnya adalah Pura Puncak Penulisan di Kintamani. Dalam agama Hindu diharapkan adanya perpaduan antara unsur kejiwaan yang disebut Purusa dengan unsur kebendaan yang disebut Pradana. Dua unsur yang berpadu itu akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran. Di Pura Penataran Sasih ini terdapat beberapa peninggalan purbakala, baik yang berasal dari tahun 300 SM maupun abad X Masehi dan pada abad XIV Masehi. Nekara yang biasa disebut Bulan Pejeng oleh masyarakat setempat ini merupakan peninggalan pada tahun 300 SM. Sedangkan berdasar pecahan prasasti yang dapaat di jumpai di pura ini menunjukan bahwa prasasti tersebut sudah ada sejak abad X Masehi. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Huruf Kawi dan Bahasa Sansekerta yang digunakan oleh prasasti tersebut. Di Pura Penataran Sasih juga terdapat pula arca Batara Guru yang disimpan di sebuah
Bali Tempo Dulu
297
pelinggih gedong dengan dua pintu. Pada ruang sebelah utara distanakan dua arca perwujudan sebagai stana Batara Guru. Salah satu arcanya menggunakan candrasengkala yang berbunyi “Krta rasa tinggaling wong”. Candrasengkala tersebut menunjukan angka tahun Saka 1264 atau 1343 Masehi. Pada tahun itu datang serangan dari Gajah Mada ke Bali. Sedangkan di ruang selatan terdapat dua buah arca perwujudan sebagai stana Batara Iswara. Selain itu ada juga arca Catur Kaya yaitu arca dengan empat muka menghadap ke semua arah. Arca ini menggunakan atribut Tri Netra lambang Siwa. Salah satu tangannya membawa Pustaka atribut Dewa Wisnu. Arca Catur Kaya ini melambangkan Dewa Tri Murti. Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai pura induk. Bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Pa Kurung sebagai tempat penyimpenan Sang Hyang Jaran. Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng. Di Pura Penataran Sasih terdapat beberapa pelinggih pesimpangan yaitu di pojok paling timur laut terdapat pelinggih Trenggana. Di sebelah selatannya agak ke barat terdapat Pasana. Di selatan Pasana inilah ditempatkan Gedong Pelinggih Ratu Penataran Sasih. Di selatannya ada bangunan balai pesamuan. Di selatannya lagi ada Gedong Swara. Di deretan tembok di selatannya terdapat pelinggih Gedong Pesimpangan Batara Brahma. Ada pula Pelinggih Pesimpangan Batara Gana, Batara Wisnu dan Batara Mahadewa. Di barat pesimpangan Batara Brahma terdapat pelinggih yang disebut Bale Paselang. Di Bale Paselang inilah tempat melangsungkan upacara Padanaan atau upacara Mapeselang. Upacara ini melambangkan bertemu baktinya umat dengan waranugraha atau swecan Ida Batara. Upacara ini umumnya dilangsungkan sebagai puncak upacara pujawali. Upacara piodalan atau pujawali Ida Batara di Pura Penataran Sasih dilangsungkan pada Hari Manis Kuningan. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir berlangsung upacara yang bernama upacara panyelah yang berlangsung selama tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnana kesanga, nemu pasha. Di samping nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Tulisan menggunakan bahasa Kawi dan Sansekerta sehingga tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan ada kemungkinan bahwa pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke 9 atau permulaan abad ke 10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula beberapa peninggalan pada masa Hindu masuk ke Bali. Misalnya prasasti dari batu yang berlokasi di bagian dalam di bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke 10. Di bagian luar pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci. Di samping sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tarian tersebut dipentaskan bilamana di Pura Penataran Sasih diselenggarakan upacara besar seperti upacara ngenteg linggih dan caru balik sumpah. Tarian ini biasanya dibawakan oleh empat orang penari. Bahkan untuk penarinya ini bukanlah orang sembarangan. Untuk penari biasanya akan hadir beberapa waktu sebelum tarian tersebut dipentaskan. Kehadirannya tersebut terjadi secara mendadak atas petunjuk sesuhunan. Orang tersebut akan tiba-tiba karauhan (kesurupan). Orang yang karauhan tersebut bisa saja warga dari luar daerah Pejeng. Pura Penataran Sasih ini pernah mengalami kerusakan pada ahun 1963 akibat meletusnya Gunung Agung. Oleh karena itu, maka pura tersebut mengalami pemugaran pada
Bali Tempo Dulu
298
tahun 1966 yang ditandai dengan adanya suatu kronogram dengan simbol matahari dan gajah mengapit naga. Kronogram ini menandakan angka tahun saka 1888 atau tahun 1966 Masehi. A. SEJARAH BULAN PEJENG Bulan Pejeng adalah sebuah genderang (nekara) perunggu yang dipercayai orang Bali memiliki kekuatan supranatural. Nekara ini terletak di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar di Pulau Bali. Genderang ini dianggap suci dan diceritakan bahwa genderang ini tidak dibuat oleh manusia melainkan jatuh dari langit. Nekara ini diperkirakan dipergunakan dahulunya dalam upacara meminta hujan. Banyak legenda tentang nekara ini, salah satunya adalah bahwa nekara ini dahulu merupakan roda dari kereta langit yang menyebarkan sinar terang, sehingga dahulu pada malam hari selalu terang benderang. Legenda lain mengatakan bahwa nekara ini adalah perhiasan telinga dari Dewi Ratih (Dewi Bulan dalam mitologi Bali).10 Menurut penuturan kuno diceritakan juga bahwa dahulu kala ada 13 bulan di atas bumi.Pada suatu hari salah satu bulan ini jatuh ke atas bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan bulan ini sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri yang berani mencuri di malam hari. Namun pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka bersepakat untuk memadamkan bulan itu, salah satu dari mereka memanjat pohon itu dan dengan air kecilnya ia berusaha memadamkan bulan tersebut yang diliputi lidah-lidah api. Seketika juga bulan itu meledak dan salah satu pecahan bulan itu menjadi nekara bulan Pejeng tersebut. Kerusakan yang ada di balik nekara itu diceritakan berasal dari ledakan itu. Description: pura penataran sasih, penataran sasih Sumber : pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/08/pura-penataran-sasih.html #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #TROPENMUSEUM#WIKIPEDIA# #adatbudaya#tradisi#hindubali#
Bali Tempo Dulu
299
OBYEK WISATA CANDI DASA KARANGASEM, BALI INDONESIA Seperti kebanyakan pantai di bali, candidasa juga merupakan pantai berpasir putih. Objek wisata Candidasa memiliki pemandangan alam yang menawan di mana pengunjung dapat menyaksikan sunset dan sunrise yang tak kalah menarik dari pantai kuta. Bahkan pemandangan sunset di pantai candidasa terlihat lebih menarik karena matahari terlihat lebih bulat dan terbenam di antara bukit dan perairan Candidasa. Ketika matahari telah tenggelam, langit masih membiaskan warna kemerahan yang membuat suasana menjadi tambah indah. Pada pagi hari, pemandangan sunrise tidak akan terlihat langsung di pantai Candidasa karena tertutup perbukitan di sebelah timur pantai ini. Jika anda ingin menikmati sunrise sebaiknya anda sedikit berjalan ke arah Tanjung Iri yang berada di sebelah timur objek wisata candidasa bali. Selain menikmati keindahan pantai, sunset serta sunrise anda bisa menghabiskan liburan anda di pantai candidasa dengan menyelam, memancing, kanoe, ataupun trekking melalui jalur perbukitan. Pantai candidasa memiliki ombak yang tidak terlalu besar, sehingga anda bisa memanfaatkan untuk melakukan olahraga air seperti kegiatan snorkling maupun diving. Semua fasilitas transportasi dan penginapan juga sangat mendukung untuk anda tinggal lebih lama di candidasa. Selain itu objek wisata candidasa juga memiliki letak yang strategis yang dekat dengan beberapa tempat wisata lain di kabupaten Karangasem misalnya Tirta Gangga, Taman Ujung, Tenganan, dan Nusa Penida serta Nusa Lembongan. Pemandangan lain yang dapat dinikmati dari objek wisata candidasa adalah Lotus Lagoon yang merupakan sebuah danau buatan yang berada di tengah-tengah areal wisata candidasa. Lotus Lagoon memiliki luas sekitar 50 x 50 meter persegi yang di tengah-tengahnya terdapat daratan kecil yang ditumbuhi pohon
Bali Tempo Dulu
300
ketapang dan beringin. Selain itu kawasan wisata ini juga terkenal sebagai tempat untuk belajar yoga. Sumber : tempatwisatabali2.blogspot.com › ... › wisata pantai #BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS # OBYEK WISATA # WIKIPEDIA #SEJARAH #
Bali Tempo Dulu
301
DESA ULAKAN Kec : MANGGIS Kab : KARANGASEM BALI, INDONESIA Foto : 1961 Desa Ulakan adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem yang lokasinya sangat strategis karena letaknya diantara dua daerah Pariwisata Bali Timur, yaitu Padangbai dan Candidasa. Desa ini memiliki 1 PAUD dan TK, 4 Sekolah Dasar Negeri, Satu SMP Negeri dan Satu SMA Negeri. Kegiatan anak-anak di Desa ini setelah pulang dari sekolah selain membantu orang tuanya di rumah adalah menonton televisi dan juga bermain play station. Melihat perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa belum di optimalkan untuk bersaing di era globalisasi, maka tergerak hati Bapak I Wayan Gunayasa, SE.MM untuk membangun sarana belajar sambil bermain yang diberi nama "YAYASAN RARE ANGON GIRI INDRAWATI" yang mana tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan anak-anak dengan buku-buku dan membiasakan mereka untuk membaca. Selain itu mengajarkan anak-anak untuk berkreasi dan beraktivitas sehingga mereka bisa diajarkan untuk belajar menghargai waktu dan mempersiapkan dirinya untuk bersaing kelak. Dunia anak adalah dunia bermain. Karena itu, “Yayasan Rare Angon Giri Indrawati” selalu berusaha membuat kegiatan tambahan yang cukup menyenangkan. Misalnya, mendongeng, menggambar, membaca puisi, drama, menjahit dan lain-lain. Selain itu kemampuan anak dapat diapresiasikan lewat perlombaan, seperti cerdas cermat, lomba menggambar, lomba
Bali Tempo Dulu
302
mengarang dan sebagainya. Berawal dari keprihatinan beliau akan kondisi anak-anak yang terjebak berjam-jam lamanya di depan layar kaca, terbersit mimpi untuk dapat merubah kebiasaan menonton menjadi budaya membaca. upaya menumbuhkan minat baca dan memotivasi anak-anak agar mau mengisi waktu luangnya dengan kegiatan membaca. Kami sadar, mengubah kebiasaan agar terbiasa membaca bukanlah perkara mudah. Namun paling tidak budaya menonton televisi itu bisa sedikit terkikis dengan hadirnya sebuah komunitas taman bacaan. Disamping itu pula Bapak I Wayan Gunayasa, SE.MM juga mempersiapkan genereasi muda untuk siap bekerja, bagaimana membantu mereka untuk memberikan beberapa ketrampilan ataupun kecakapan sebelum mereka berjuang mencari pekerjaan, karena ilmu yang di dapat di sekolah belumlah cukup tanpa diimbangi ketrampilan dan kemampuan serta motivasi dan percaya diri untuk bersaing di dunia bisnis. Beliau juga berusaha membantu untuk menjadikan generasi muda ini menjadi seorang pengusaha dengan menciptakan pekerjaan sendiri walaupun scoopnya masih kecil. Beliau juga melihat potensi alam dan juga hasil bumi desa Ulakan ini tidak kalah dengan daerahdaerah lain, yang diperlukan adalah penataan dan juga pengelolaan manajemen yang baik untuk mengoptimalkan penggunaan tanah-tanah pertanian dan perkebunan dengan menanami pohon-pohon buah, bunga ataupun sejenisnya yang bisa di jual atau di “ekspor” keluar desa. Karena Desa Ulakan berada di antara dua daerah pariwisata (Padangbai dan Candidasa) dan juga pelabuhan kapal pesiar di Tanah ampo telah dioperasikan merupakan suatu tantangan bagi generasi muda untuk mempersiapkan dirinya ikut bersaing secara sehat dan positif memperebutkan bisnis pariwisata ini. Dalam memberikan short course (life skill) bagi generasi mua ini, beliau bermaksud mengundang beberapa pakar yang berkompeten dan mempunyai pengalaman di bidangnya masing-masing, untuk sementara sebgai volunteernya kami mengundang orang-orang yang berasal dari Desa Ulakan yang sudah sukses dan sedang bekerja ataupun pensiun untuk bisa membagikan pengalamannya dan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Sumber : www.yragi.org/?PROFIL%2FSejarah_Singkat #BALITEMPOEDULOE#BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA # WIKIPEDIA #SEJARAH # #KITLV LAIDEN # #PULAUDEWATA #
Bali Tempo Dulu
303
PANTAI KUSAMBA Kec : DAWAN KLUNGKUNG, BALI INDONESIA Foto Tahun : 1980 Pantai Kusamba adalah pantai yang terletak di Desa Kusamba, kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Kurang lebih 7 km ke arah timur kota Semarapura, Klungkung. Para nelayan dan petani garam di sini masih menggunakan cara-cara lama yang diajarkan dari generasi ke generasi. Awal mula lokasi ini disebut dengan Pantai Kusamba dikarenakan pantai ini berada di sebuah Desa yang bernama Desa Kusamba untuk mempermudah mengingat tempat ini lalu dinamakan Pantai Kusamba. Berjarak sekitar 3 km ke timur dari pantai Kusamba terdapat gua kelelawar dan Pura Bali. Kedua tempat ini juga dikenal sebagai “Pura Goa Lawah” (Bat Cave Temple). Gua ini terletak di bukit, di dalam gua ini terdapat ribuan kelelawar karena itu disebut Pura Gua Kelelawar. Pura ini sangat tua dan memiliki makna yang besar bagi masyarakat Bali. Pura Goa Lawah Bali berjarak sekitar 49 km dari kota Denpasar, di daerah Dawan, Kabupaten Klungkung, atau berjarak sekitar 10 km sebelah timur dari Semarapura. Tidak ada yang tahu siapa dan kapan pura ini didirikan. Masyarakat : Masyarakat disekitar Pantai Kusamba ini rata-rata bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani garam, ini bisa terlihat dari Banyaknya perahu dan pondok-pondok tempat mengolah garam yang terdapat disepanjang pantai. Dengan dijadikannya Pantai Kusamba ini sebagai salah satu objek wisata di Kabupaten Klungkung harapkan bisa meningkatkan perekonomian didaerah tersebut.
Bali Tempo Dulu
304
Fasilitas : Fasilitas untuk mendukung sektor kepariwisataan di objek wisata ini terdapat warung makan dan minuman serta area parkir, sementara bagi wisatawan yang ingin melaut dapat menyewa perahu nelayan dilokasi ini. Akses : Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke objek wisata Pantai Kusamba ini memerlukan waktu 90 menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai bila menggunakan kendaraan bermotor dan jarak tempuh perjalanan dari kota Denpasar yaitu 29 km. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Kusamba,_Bali #BALITEMPOEDULOE #BALILAWAS # OBYEK WISATA # WIKIPEDIA #SEJARAH #
DESA ADAT KAPAL BADUNG,BALI INDONESIA 27 september 1906 Desa Kapal adalah salah satu desa tradisonal di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung-Bali ini memiliki berbagai tradisi unik dan menarik yang masih berlangsung sampai sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat-Bantal. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Predhana Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di
Bali Tempo Dulu
305
dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini. Dalam tradisi ini masyarakat Kapal berkumpul di depan Pura Desa setempat dimana kemudian mereka membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok disediakan tipat dan bantal sebagai senjata, kemudian kedua kelompok ini saling melempari kelompok yang lain dengan tipat dan bantal ini. Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya. Keberadaan tradisi Perang Tipat Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut : Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal. Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut. Pada suatu saat ketika itu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehinggga desa ini makmur dan tentram. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat Bantal ini di Desa Kapal (+ 666 tahun), salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan. Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehiduan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan
Bali Tempo Dulu
306
pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah berbagai krisis global yang terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai belahan bumi, tradisi tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta Sumber : http://panglan.blogspot.com/ Foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#BALILAWAS#THE ARCHIVES#
Pemandangan dekat pura taman ayun Badung,Bali INDONESIA
Bali Tempo Dulu
307
#BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#TROPENMUSEUM#BALI#
PELABUHAN GILIMANUK Kel : GILIMANUK Kec : MELAYA Kab : JEMBRANA BALI,INDONESIA Foto Tahun : 1950an Pelabuhan Gilimanuk adalah sebuah pelabuhan feri di Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali yang menghubungkan Pulau Bali dengan Pulau Jawa via perhubungan laut (Selat Bali). Pelabuhan Gilimanuk berada dalam naungan dan pengelolaan dari ASDP Indonesia Ferry. Pelabuhan ini dipilih para wisatawan yang ingin menuju Pulau Jawa menggunakan jalur darat. Setiap harinya, ratusan perjalanan kapal feri melayani arus penumpang dan kendaraan dari dan ke Pulau Jawa melalui Pelabuhan Gilimanuk di Bali.
Bali Tempo Dulu
308
Rata-rata durasi perjalanan yang diperlukan antara Gilimanuk - Ketapang atau sebaliknya dengan feri ini adalah sekitar 1 jam. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Gilimanuk #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#TRANSPORTASI# #BALILAWAS#
PASAR UBUD GIANYAR, BALI
Bali Tempo Dulu
309
INDONESIA Tahun 1949 Pasar Tradisional Ubud merupakan salah satu pelengkap keanekaragaman Bali sebagai lokasi wisata yang terkenal sampai ke mancanegara. Berbagai barang-barang kebutuhan seharihari dengan harga yang murah khas pasar-pasar di tempat lainnya di Indonesia bisa Anda didapatkan. Barang-barang yang ditawarkannya terbilang berkualitas namun harganya cukup terjangkau sehingga tak heran menurut orang-orang yang pernah kesini berani mengklaim bahwa Pasar Tradisional Ubud ini merupakan pasar terbaik di Bali. Pasar Tradisonal ini terbagi kedalam dua wilayah, dimana yang pertama berada di sebelah barat. Kawasan Barat ini lebih dikenal dengan Pasar Seni Ubud karena ditempat inilah banyak pedagang yang menjajakan barang-barang seni dan kerajinan khas Bali semacam sendal khas Bali, Baju Bali, sarung pantai, tikar, lukisan, patung, cermin unik sampai gantungan kuncipun ada disini. Bagi Anda yang ingin berbelanja oleh-oleh khas Bali dengan kualitas terbaik dan harga yang terjangkau, maka direkomendasikan untuk berbelanja disini saja. Pedagang biasanya mengambil langsung barang-barang seni dan kerajinan yang dijualnya dari para pengrajin Bali sehingga berdampak pada harganya yang bisa ditawar. Sedangkan wilayah yang kedua ialah Pasar Tradisional Ubud yang menjual barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur buah-buahan, dan lainnya. Jam operasional di pasar barang-barang kebutuhan pokok ini berbeda dengan jam buka Pasar seni Ubud yakni dari dinihari sampai siang hari. Lokasi berbelanja ini patut Anda kunjungi jika ingin mendapatkan oleh-oleh khas Bali yang unik dan murah. Disini Anda bisa menawar sepuasnya sampai barang yang diinginkan tersebut sesuai degan harga yang sreg dihati Anda. Sumber : bali.panduanwisata.id/.../harga-murah-meriah-di-pasar... #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas #wisata #pulaudewata # KITLV LAIDEN # #Baliage #SEJARAH #
Bali Tempo Dulu
310
KAWASAN JALAN GAJAH MADA DENPASAR. TAHUN 1980 BALI,INDONESIA Walau Jalan Gajah Mada Denpasar kumuh dan semrawut, gagasan mewujudkannya sebagai kawasan heritage (warisan alam/budaya?) jalan terus. Buktinya, awal Desember 2008, di ujung Barat Jalan Gajah Mada dipasang tanda yang bertuliskan ‘Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar’. Tanda yang mirip dengan prasasti berukuran besar itu dipasang di pojok utara dan selatan ujung Barat jalan. Prasasti ini bisa terlihat jelas oleh masyarakat yang memasuki kota dari arah Barat (Jl Wahidin) dan Utara (Jl Sutomo) dan yang datang dari arah Selatan (Jl Thamrin). Sinar lampu disorotkan ke arah tanda itu sehingga terang terbaca malam hari. Tanda serupa mungkin adakan dipasang di ujung timur Jalan Gajah Mada, sekitar Catur Muka. Pertanyaan kemudian: kekhasan apakah yang ditawarkan kawasan Gajah Mada sehingga
Bali Tempo Dulu
311
pantas disebut sebagai ‘heritage’? Apakah kawasan Gajah Mada dianggap warisan budaya? Warisan alam? Pesona apakah yang diharapkan memikat hati masyarakat atau turis di kawasan tersebut? Adakah di kawasan itu sesuatu yang dibanggakan? Cukupkah hanya dengan memasang prasasti yang bertuliskan ‘kawasan heritage’? Di kawasan Jl Gajah Mada memang ada Pura Desa dan dua pasar yaitu Kumbasari (barat sungai) dan pasar Badung (sebelah timur) yang semuanya bisa menunjukkan kehidupan tradisional. Namun, untuk mengangkat aktivitas pasar menjadi bagian dari ‘heritage’ yang membanggakan dan menyamankan mungkin banyak usaha penertiban dan kebersihan yang harus dilakukan. Deretan toko-toko di Jl Gajah Mada, terutama di Barat jembatan Tukad Badung, sungguh kumuh. Sebagian besar toko tidak dirawat pemilik atau pemakainya dengan baik. Pilar bangunan kusam, pot bunga yang berubah menjadi tempat duduk compang-camping alias ‘kepèh-kepèh’. Trotoar tidak ada, emper toko tempat jalan menjadi arena parkir sepeda motor. Toko-toko di Timur jembatan juga banyak yang sudah tua, tak terawat, berdebu, kecuali sedikit toko baru mentereng di bagian ujung Timur dekat Bank BNI. Pemandangan yang semrawut kian pekat karena parkir. Tanda dilarang parkir sudah jelas, tetapi masyarakat melanggarnya. Polisi juga menoleransi, mungkin karena tidak ada pilihan, tidak ada solusi. Sepeda motor pun diparkir di depan poster yang bertuliskan ‘terima kasih untuk tidak parkir di sini’ . Beberapa pedagang kain di sisi selatan jalan ada yang memajang dagangan di trotoar, pedestrian. Usaha mempercantik paras Gajah Mada kelihatan jauh dari tanda-tanda sukses. Walau lampu-lampu gaya ‘klasik’ dipasang, pohon bunga ditanam, semua usaha ini tampak tidak akan berhasil memberikan perubahan menyeluruh. Jalan di bagian Timur kawasan Gajah Mada, terutama yang dibuat dengan batu-sikat, compang camping. Ada yang mengkritik karena batu-sikat tidak cocok untuk jalan karena tidak tahan dilindas-lindas kendaraan. Yang lain mencela karena sistem pengerjaan proyek tidak profesional. Kritik datang dari anggota DPR tetapi kita jadi bertanya, mengapa wakil rakyat dan pemerintah ini tidak mengontrol kinerja kontraktor sehingga hasil proyek baik? Sayang, media massa yang ada tidak total menurunkan jurnalisnya untuk menyoroti dan melakukan investigasi proyek ‘heritage Gajah Mada’. Siapa pun yang memperhatikan pekerja menggarap proyek di kawasan Gajah Mada pantas prihatin. Sebab, alat yang mereka gunakan, tenaga yang mereka turunkan tidak mengesankan pekerja profesional untuk menangani proyek berbiaya banyak. Sepertinya mereka berbekal cetok dan ember kecil. Bagaimana membuat luluh sempurna kalau alat kerja ala kadarnya? Pemasangan tiang lampu juga tampak sepintas tidak dilakukan dengan olahan luluh yang kuat. Semoga saja tiang lampu itu kuat sehingga tidak tumbang karena angin atau dorongan lain. Kalau usaha melestarikan atau memperindah kawasan Gajah Mada terus seperti sekarang,
Bali Tempo Dulu
312
maka bisa dipastikan Denpasar akan kehilangan pesona sebagai ibu kota Provinsi Bali. Kalau kumuh dan semrawut tak berhasil disulap menjadi keindahan yang mempesona di kota tujuan wisata internasional ini, orang akan mengeluh seperti Naga Bonar: apa kata duniaaaa? Komentar sinis mungkin lebih sering terdengar daripada decak kagum. Orang akan jarang berkata “inilah Denpasar” tapi lebih kerap bertanya “inikah Denpasar?” #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#BALI#DENPASAR# #PULAUDEWATA#PERKOTAAN#
PURA BESAKIH KARANGASEM BALI,INDONESIA TAHUN : 1915 Sejarah Pura Besakih Pura Agung Besakih di Bali sudah terkenal sampai ke macanegara, begitu banyak wisatawan asing atau domestik yang berwisata ke tempat ini. Saking besarnya Pura ini, Pura Agung Besakih mendapat nama sebagai ibunya dari Pura di Bali. Anda pasti bertanya siapakah yang membangun Pura ini untuk pertama kali? Awalnya saya juga tidak tahu, tapi setelah membaca buku sejarah tentang Pura di Bali maka saya tahu jawabanya. Pembangun Pura Besakih adalah seorang tokoh agama Hindu dari India yang telah lama menetap di pulau Jawa, nama beliau adalah Rsi Markandeya. Jika sekarang anda lihat sebuah bangunan Pura megah, dulunya lokasi dari Pura ini adalah hutan belantara. Tentunya anda dapat membayangkan hutan belantara jaman dulu, pastinya akan banyak terdapat binatang. Maaf agak ngelantur sedikit. Konon dikala itu belum terdapat selat Bali seperti sekarang, karena pulau Jawa dan pulau Bali masih menjadi satu dan belum terpisahkan oleh lautan. Karena saking panjangnya pulau
Bali Tempo Dulu
313
yang kita sebut sekarang dengan sebutan pulau Jawa dan pulau Bali, maka pulau ini diberi nama pulau Dawa yang artinya pulau panjang. Awal mulanya Rsi Markandeya pendiri dari Pura ini, bertapa di Gunung Hyang (Gunung Dieng di Jawa Tengah). Setelah lama bertapa Rsi Markandeya mendapat wahyu untuk merambas hutan di Pulau Dawa dari selatan menuju ke utara. Ditempat perambasan hutan, Rsi Markandeya menanam kendi yang berisikan logam dan air suci. Logam tersebut antara lain logam emas, logam perak, logam tembaga, logam besi dan logam perunggu. Kelima logam tersebut dimasyarakat Bali disebut dengan mama Pancadatu. Selain logam juga turut serta ditanam permata yang disebut Mirahadi yang artinya mirah utama. Tempat penanaman kendi inilah yang disebut dengan nama Basuki yang artinya selamat. Diberikan nama Basuki atau selamat dikarenakan dalam perambasan hutan para pengikut dari Rsi Markandeya selamat melaksanakan tugasnya. Dengan berjalanyan waktu nama Basuki berubah menjadi Besakih. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #ISTADEWATA#WIKIPEDIA# #AGAMAHINDU#BUDAYA# #PULAIBUPURA#
UPACARA HINDU TERBESAR UPACARA YADNYA EKA DASA RUDRA DI PURA BESAKIH KARANGASEM BALI
Bali Tempo Dulu
314
INDONESIA FOTO : 28 MARET 1979 Eka Dasa Rudra (Ludra) adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyambut perhitungan perputaran tahun saka saat satuan dan puluhan mulai menjadi angka 1 (satu). Karya agung terbesar di Bali ini, dalam Rudra Tattwa disebutkan ditujukan untuk kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas dan meresapi segala ciptaanNya agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit sebagai aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana. Dalam perayaannya di Pura Agung Besakih, Eka Dasa Rudra dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu. Dalam catatan di Di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963. Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900. Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung. Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga), Pada pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa. Sebagai tambahan, disebutkan pula dalam Babad Usana Bali Pulina, setelah Sri Jaya Kasunu wafat, Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Pangus. Pada masa pemerintahan Beliau inilah dilaksanakan upacara TAWUR EKA DASA RUDRA. Tawur Agung Ekadasa Rudra 1963 Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih. Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar. Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon
Bali Tempo Dulu
315
keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan. Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam. Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel. Pada masa-masa penjajahan, upacara ini tidak dapat dilaksanakan, pada saat menjelang praletusan gunung Agung ditahun 1963 (dengan status Siaga), atas pertimbangan para tokoh Hindu saat itu, Presiden Soekarno menyetujui agar diadakan upacara tawur Eka Dasa Rudra agar keseimbangan jagat dapat kembali dipulihkan. Maka upacara ini dilaksanakan kembali meskipun bersamaan dengan meningkatnya dari status Siaga 1 menjadi status Awas dari kondisi keaktifan terakhir Gunung Agung pada awal tahun 1963 itu. Karena kondisi Gunung Agung yang bisa membahayakan umat, maka beberapa tingkatan ritual dan pelaksanaannya ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya dan lokasi persembahyanganpun berpindah tempat ke Menanga. Upacara agung Ekadasa Rudra pada tahun 1963 itu lebih sebagai karya paneregteg atau karya dengan maksud penebusan, yaitu upacara yadnya yang diselenggarakan karena telah cukup lama karya tersebut tak digelar, karena karya yang mestinya diadakan 100 tahun sekali pada saat tahun Saka berakhir 00 atau rah windhu tenggek windhu, sudah cukup lama tidak dilaksanakan. Pada Tilem Caitra Saka 1900 tepatnya bulan Maret 1979, Karya Agung Ekadasa Rudra digelar sesuai dengan petunjuk Lontar 'Indik Ngekadasa Rudra' -- (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur)menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. Disuratkan dalam lontar itu, ketika tahun Saka berakhir dengan dua windhu (00) disebut windhu turas, besar sekali terjadinya perubahan alam (jagat). Yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan upacara tersebut, yaitu diselenggarakan pada tahun Saka berakhir dengan windhu turas atau rah windhu tenggek windhu. Artinya, saat itu sudah mulainya diberlakukan hitungan menurut tatanan waktu yang ditentukan dan menjdai kewajiban untuk diteruskan pelaksanaannya sesuai interval waktu tersebut dimasa-masa mendatang. Maka saat itu dipakai atau dipilih melaksanakan tawurjagat di Bali yakni setiap sepuluh tahun disebut Panca Bali Krama, setelah Panca Bali Krama sepuluh kali disebut windhu turas (rah windhu tengek windhu atau 00), barulah mengadakan Ekadasa Rudra. Diantara sumber-sumber tersebut antara lain :. Purana Pura Agung Besakih, yang tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menuliskan : ”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5,
Bali Tempo Dulu
316
tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga." Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menuliskan : "Wusni Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya." Lontar Bhama Kretih, menuliskan : ”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1." Tampaknya Ekadasa Rudra akan tetap dipertahankan dengan interval waktu setelah sepuluh kali upacara Panca Walikrama (Bali Krama). -Sumber: -PHDI; 'Pamahayu Jagat'04 Maret 2009 -David J.Suart-Fox ; Pura Besakih; Pura, agama dan Masyarakat Bali, 2010 -Yayasan Mertasari Rempoa #BALITEMPOEDULUE#SEJARAH# #YADNYA#HINDU#PURASERIBUPURA# #ISTADEWATA#PULAUDEWATA# #Lestarikan bahasa bali#
OBYEK WISATA BEDUGUL TABANAN,BALI INDONESIA
Bali Tempo Dulu
317
Salah satu tempat wisata di Bedugul yang harus anda kunjungi adalah Kebun Raya. Kebun Raya Bedugul merupakan salah satu hutan lindung sebagai paru – paru udara pulau Bali. Tempat wisata Kebun Raya, udaranya sangat sejuk dan sangat cocok untuk tempat piknik keluarga. Ada beberapa spot menarik di Kebun Raya seperti: Candi Bentar Ramayana Boulevard Kumbakarna Laga Statue Roses Garden Lake Beratan View Usada Cafe Traditional Balinese house Di Kebun Raya Bedugul, terdapat aktivitas petualangan yang sangat disukai wisatawan mancanegara terutama anak-anak. Nama aktivitasnya adalah Bali Treetop. Setelah lelah berjalan – jalan di kebun raya, jangan lupa singgah di pasar tradisional Candi Kuning. Tersedia bermacam-macam sayuran seperti wortel, sayur ijo, kembang kol dan tomat. Ada juga buah strawberry, salak, jeruk dan markisa segar hasil panen dari penduduk setempat. Banyak juga pedagang jagung manis rebus, yang mantap dinikmati dengan dinginnya udara pegunungan. Barang kerajinan khas Bali seperti ukir – ukiran, baju Bali, kain pantai juga banyak dijual di pasar ini. Obyek wisata yang letaknya berdampingan dengan Kebun Raya Bedugul, adalah Danau Beratan. Merupakan wilayah Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Cuaca yang sejuk di siang hari dapat dinikmati dengan menyewa kapal boat atau sampan untuk mengelilingi danau. Di tengah danau terdapat sebuah pura yang disebut Pura Ulun Danu, tempat pemujaan Sang Hyang Dewi Danu sebagai pemberi kesuburan. Di sekitar danau sering dijadikan salah satu lokasi foto pre wedding di Bali oleh wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik. bedugul bali Di sepanjang jalan menuju Kebun Raya Bedugul dan Danau Beratan, banyak dibangun penginapan dan restoran. Restoran tersebut menyediakan menu masakan Indonesia, seafood dan menu International. Harganya pun bervariasi. Pedagang makanan kecil dan pedagang acung juga terdapat di pinggir jalan di tepi danau. Obyek wisata ini sangat cocok bagi keluarga dan pasangan yang ingin berlibur ke Bali. Sebagian besar pelanggan kami, memilih untuk membeli paket tour ke Bedugul. Karena dengan membeli paket tour di Bali tanpa hotel, akan memudahkan pelanggan dalam berwisata. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #OBYEKWISATA#PARIWISATABALI# #BALI#PULAUDEWATA#
Bali Tempo Dulu
318
OLAHRAGA BULU TANGKIS DAN SEJARAHNYA : Bulu tangkis atau bton adalah suatu olahraga raket yang dimainkan oleh dua orang (untuk tunggal) atau dua pasangan (untuk ganda) yang saling berlawanan. Mirip dengan tenis, bulu tangkis bertujuan memukul bola permainan ("kok" atau "shuttlecock") melewati jaring agar jatuh di bidang permainan lawan yang sudah ditentukan dan berusaha mencegah lawan melakukan hal yang sama. Sejarah bulu tangkis : Permainan Battledore and Shuttlecock pada tahun 1854 Olah raga yang dimainkan dengan kok dan raket, kemungkinan berkembang di Mesir kuno sekitar 2000 tahun lalu tetapi juga disebut-sebut di India dan Republik Rakyat Tiongkok. Nenek moyang terdininya diperkirakan ialah sebuah permainan Tionghoa, Jianzi yang melibatkan penggunaan kok tetapi tanpa raket. Alih-alih, objeknya dimanipulasi dengan kaki. Objek/misi permainan ini adalah untuk menjaga kok agar tidak menyentuh tanah selama mungkin tanpa menggunakan tangan. Di Inggris sejak zaman pertengahan permainan anak-anak yang disebut Battledores dan Shuttlecocks sangat populer. Anak-anak pada waktu itu biasanya akan memakai dayung/tongkat (Battledores) dan bersiasat bersama untuk menjaga kok tetap di udara dan mencegahnya dari menyentuh tanah. Ini cukup populer untuk menjadi nuansa harian di jalan-jalan London pada tahun 1854 ketika majalah Punch mempublikasikan kartun untuk ini. Penduduk Inggris membawa permainan ini ke Jepang, Republik Rakyat Tiongkok, dan Siam (sekarang Thailand) selagi mereka mengolonisasi Asia. Ini kemudian dengan segera menjadi permainan anak-anak di wilayah setempat mereka.
Bali Tempo Dulu
319
Olah raga kompetitif bulu tangkis diciptakan oleh petugas Tentara Britania di Pune, India pada abad ke-19 saat mereka menambahkan jaring dan memainkannya secara bersaingan. Oleh sebab kota Pune dikenal sebelumnya sebagai Poona, permainan tersebut juga dikenali sebagai Poona pada masa itu. Para tentara membawa permainan itu kembali ke Inggris pada 1850-an. Olah raga ini mendapatkan namanya yang sekarang pada 1860 dalam sebuah pamflet oleh Isaac Spratt, seorang penyalur mainan Inggris, berjudul "Bton Battledore - a new game" ("Battledore bulu tangkis - sebuah permainan baru"). Ini melukiskan permainan tersebut dimainkan di Gedung Bton (Bton House), estat Duke of Beaufort's di Gloucestershire, Inggris. Rencengan peraturan yang pertama ditulis oleh Klub Bton Bath pada 1877. Asosiasi bulu tangkis Inggris dibentuk pada 1893 dan kejuaraan internasional pertamanya berunjukgigi pertama kali pada 1899 dengan Kejuaraan All England. Bulu tangkis menjadi sebuah olah raga populer di dunia, terutama di wilayah Asia Timur dan Tenggara, yang saat ini mendominasi olah raga ini, dan di negara-negara Skandinavia. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #OLAHRAGA#KESEHATAN# #WIKIPEDIA#Bali#
Bali Tempo Dulu
320
BALE KULKUL BR.KEDATON KESIMAN DENPASAR TIMUR 18 SEPTEMBER 1906 BALE kulkul banyak ditemui di pura, puri, serta bale banjar. Sesuai dengan namanya, bale kulkul merupakan bale untuk penempatan kulkul. Kulkul berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk memberi tanda kepada masyarakat atau anggota suatu banjar, penyungsung suatu pura, ataupun puri. Jumlah atau irama pukulan kulkul mempunyai arti
Bali Tempo Dulu
321
tersendiri yang berbeda-beda pada setiap daerah ataupun banjar sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam hal fungsinya untuk pertanda sangkep atau rapat warga pada suatu banjar, kulkul dapat dikatakan sebagai sarana penggalang massa. Bale kulkul lahir karena kebutuhan akan tempat untuk kulkul. Pada awalnya, fungsi kulkul sebagai sarana komunikasi digantungkan pada ranting pohon. Untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan, kulkul diatapi tanpa memindahkannya dari pohon tersebut. Lambat laun, besar kemungkinan karena pohon tersebut tua ataupun rebah, kulkul tersebut dibuatkan bale yang kemudian bernama bale kulkul. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #ADATBUDAYA#HINDU#BALI# #SEJARAH#PULAUDEWATA#
BALE KULKUL PURA DALEM SUDHA DESA ADAT SIDAKARYA TAHUN : 1980 - 2015 Bale Kulkul, Perkembangan Bentuk dan Fungsinya Banyak penanda yang dapat diambil dari karakter suatu lingkungan antara lain ruang terbuka, jalur pejalan kaki beserta pedestrian furniturenya ataupun street furniture lingkungan tersebut. Bale kulkul dengan bentuknya yang menjulang tinggi mampu sebagai penanda lingkungan. Penanda di sini dapat berfungsi sebagai orientasi masyarakat atau titik pergerakan. Tidak salah bila seseorang yang mencari suatu lokasi akan memakai bale kulkul
Bali Tempo Dulu
322
sebagai arah penunjuknya. Sebagai salah satu contoh, untuk menuju Pura Tambangan Badung, Denpasar, orang dapat diarahkan melalui tanda bale kulkul di Pemecutan ke arah Barat lebih kurang 500 meter. Sejalan dengan perjalanan zaman, bagaimana perkembangan fungsi dan bentuk bale kulkul kini? BALE kulkul banyak ditemui di pura, puri, serta bale banjar. Sesuai dengan namanya, bale kulkul merupakan bale untuk penempatan kulkul. Kulkul berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk memberi tanda kepada masyarakat atau anggota suatu banjar, penyungsung suatu pura, ataupun puri. Jumlah atau irama pukulan kulkul mempunyai arti tersendiri yang berbeda-beda pada setiap daerah ataupun banjar sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam hal fungsinya untuk pertanda sangkep atau rapat warga pada suatu banjar, kulkul dapat dikatakan sebagai sarana penggalang massa. Bale kulkul lahir karena kebutuhan akan tempat untuk kulkul. Pada awalnya, fungsi kulkul sebagai sarana komunikasi digantungkan pada ranting pohon. Untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan, kulkul diatapi tanpa memindahkannya dari pohon tersebut. Lambat laun, besar kemungkinan karena pohon tersebut tua ataupun rebah, kulkul tersebut dibuatkan bale yang kemudian bernama bale kulkul. Bentuk dan Fungsi Berdasarkan fungsinya, kulkul dapat dibedakan atas kulkul Dewa, kulkul manusa atau manusia, dan kulkul Butha. Sedangkan berdasarkan personifikasinya, kulkul dibedakan atas kulkul lanang (lelaki) dan kulkul wadon (perempuan). Biasanya, setiap bale kulkul memiliki kedua jenis kulkul ini, namun kini banyak bale kulkul yang juga mendapat titipan kulkul untuk sakaa -- kelompok atau perkumpulan -- seperti sakaa manyi (kelompok pemotong padi) hingga kulkul untuk sakaa muda mudi. Jumlah saka atau kolom sebuah bangunan bale kulkul cukup bervariasi. Berdasarkan jumlah kolomnya, bale kulkul dapat dibedakan atas bale kulkul dengan 4 saka, 8 saka, 12 saka dan 16 saka. Sedangkan berdasarkan perletakan saka-nya, dapat dibedakan atas bale kulkul maanda dan tidak maanda atau biasa. Bale kulkul maanda merupakan bale kulkul yang memiliki perbedaan ketinggian perletakan saka, banyak ditemukan pada bale kulkul dengan 8 saka. Bale kulkul dengan bentuk yang menjulang tinggi (berbentuk menara) mempunyai tiga palih atau jenjang lantai yaitu tepas, batur, dan sari. Di atasnya berdiri bale dengan saka dari kayu dan ditutup dengan dengan kerep atau (penutup) atap. Kerep pada bale kulkul di pura banyak ditemukan memakai ijuk. Berdasarkan bentuk atap atau kekerep-nya, terdapat bale kulkul dengan atap tunggal dan atap tumpang (bersusun). Untuk bale kulkul dengan atap bersusun, terdapat kecenderungan pencapaian menuju kulkul melalui bagian bawah bale kulkul, tidak dari samping yang biasa ditemui pada bale kulkul atap tunggal. Pada bale kulkul atap tumpang, cenderung tidak mempunyai palih yang lengkap. Bale kulkul atap tunggal cenderung mempunyai palih sehingga pencapaian menuju kulkul melalui tangga tidak permanen yang diletakkan di samping bale kulkul. Ragam Hias Perletakan bale kulkul cenderung di daerah tepi jalan dan di arah teben dari site. Namun, ada pula banjar serta pura yang memiliki dua bale kulkul. Kedua bale kulkul tersebut diletakkan di tepi jalan. Perletakan tersebut tidak dimaksudkan agar pencapaian menjadi mudah. Bila untuk kemudahan pencapaian, tentu bale kulkul akan dilengkapi dengan tangga permanen, tidak seperti tangga bongkar pasang yang biasa terlihat disenderkan pada bale kulkul. Perletakan tersebut tidak terlepas dari fungsinya sebagai sarana komunikasi dengan suara yang mudah tersalurkan (melalui jalan yang terbuka) serta hendaknya mudah terlihat.
Bali Tempo Dulu
323
Bale kulkul sebagai sarana komunikasi yang cukup penting, tidak boleh dipukul oleh sembarang orang. Kelihan adat yang menangani tugas tersebut naik ke bale kulkul melalui palih-palih. Bale kulkul sama seperti wujud arsitektur Bali lainnya, memiliki ragam hias dan dekorasi. Ragam hiasnya dan dekorasinya terdiri dari pepatran, kekarangan serta togog atau patung. Ragam hias serta dekorasi pada setiap palih berbeda-beda. Pada tepas cenderung mempergunakan wujud binatang yang tidak bersayap serta bhuta. Pada batur mempergunakan wujud manusia ataupun keturunan dari dewa-dewi Pada palih sari mempergunakan wujud dewa dewi serta binatang yang mempunyai sayap. Di daerah kabupaten Badung dan Kota Denpasar juga dilengkapi dengan pepalihan yang merupakan komposisi maju mundur dari susunan batu bata yang dipergunakan. Perkembangan Saat ini berkembang bentuk-bentuk bale kulkul yang beragam. Ada bale kulkul dengan tiga saka yang disesuaikan dengan kondisi site yang menyudut, atau bale kulkul dengan saka dua di daerah Tabanan untuk kulkul tempekan. Selain itu juga ditemukan bale kulkul yang diletakkan di atas atap bale banjar. Dengan bentuk yang menjulang tinggi serta didukung teknologi bahan beton, bagian bawah bale kulkul akan membentuk ruang yang cukup luas sehingga sering dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tertentu. Kini berkembang pemanfaatan bale kulkul sebagai Pos Satpam, ruang genset, garasi, tower air, kantor kelihan banjar, gudang simpan, dan lain-lain. Fungsi tambahan apakah sebenarnya paling sesuai dengan fungsi utama bale kulkul? Bale kulkul sebagai sarana komunikasi, salah satunya untuk pengerahan massa, dapat diartikan sebagai suatu suatu pengerahan power atau tenaga. Dapatkah tenaga (power) ini disetarakan dengan power listrik dari genset? Ataukah sarana komunikasi yang setara dengan informasi yang cukup hanya disampaikan oleh Satpam? Saat ini juga berkembang pemanfaatan bale kulkul sebagai shaft lift atau saluran terowongan lift, ataupun hanya sebagai elemen estetika saja. Perkembangan ini banyak dijumpai pada sarana pariwisata semisal hotel-hotel di Nusa Dua. Pada fungsinya sebagai elemen estetika, bale kulkul juga dimanfaatkan sebagai penanda. Elemen penanda ini banyak dimanfaatkan oleh bangunan-bangunan di sepanjang jalan by Tohpati - Nusa Dua. Dengan laju kendaraan yang cepat (80 km/jam), bentuk bale kulkul yang menjulang tinggi tersebut akan memberi tanda kepada pengemudi bahwa bangunan atau gedung yang dituju sudah dekat, sehingga dapat menurunkan kecepatan untuk kemudian masuk ke areal tempat yang dituju. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#BUDAYA#ADAT#BALI#
Bali Tempo Dulu
324
HOTEL PEMECUTAN DENPASAR,BALI INDONESIA 20 april 1970 #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #PARIWISATA#PULAUDEWATA# #SEJARAH#BALI#
Bali Tempo Dulu
325
PASAR KUMBASARI DENPASAR,BALI INDONESIA. TAHUN 1979 Pasar Kumbasari ialah termasuk yang terbesar di Denpasar. Pasar tradisional ini buka selama 24 jam dalam setiap harinya, dimana pada pagi harinya pasar ini digunakan untuk menyediakan berbagai kebutuhan pokok dan di siang dan malam harinya berganti menjadi tempat berjualan aneka cinderamata kerajinan tangan yang dibuat masyarakat Bali seperti Kerajinan Perak, Batik Bali, Lukisan, Aksesoris dan pernak khas Bali, serta Tenun Ikat Bali. Pasar Kumbasari sendiri berdiri diatas lahan sekitar 6.230 meter persegi dengan mengandalkan arsitektur khas Bali. Pasar ini terdiri dari dua lantai, yang mana untuk menjual berbagai bahan kebutuhan pokok berada di lantai dasar, sedangkan di lantai atasnya terdapat art-shop untuk menjual berbagai macam cinderamata dan kerajina tangan khas Bali. Harga jual di Pasar Kumbasari ini jauh lebih murah dibandingkan bila membeli ditempat lain, kuncinya, harus berani menawar. Pasar Tradisional Kumbasari Badung dibuat pada tahun 1977 namun sempat terbakar pada tahun 2000 yang kemudian dibangun kembali pada tahun 2001. Menurut sejarah konon tukad Badung menjadi lintasan bagi pasukan ekspedisi Belanda yang bergerak menuju Pemecutan dari Denpasar pada peristiwa Puputan Badung tanggal 20 September 1906. Tidak hanya masyarakat lokal Bali yang datang kesini untuk berbelanja, namun terkadang juga banyak turis mancanegara datang mencari dan membeli pernak-pernik murah khas Bali. Kalau dibandingkan harga barang di kuta atau Legian, harga barang-barang seni di Pasar Kumbasari ini yang jauh lebih murah. Sumber foto : filosbali.net #BALITEMPOEDULOE#PASAR# #KOTADENPASAR#BALI#BUDAYA# #WIKIPEDIA#BALILAWAS#
Bali Tempo Dulu
326
ALAT TRANSPORTASI DOKAR DI BALI SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI TRADISIONAL. Angkutan tradisional ini merupakan alat transportasi vital pada tahun 1960an. Jumlahnya lumayan banyak. “Dulu penambangan dokarnya di Suci,” ujar Nengah Purna, salah satu kusir. Dia telah bekerja sejak 1963. Kini, perlahan-lahan jumlah dokar di Denpasar bisa dihitung dengan jari. “Jumlahnya sekitar 25an kira-kira,” tambahnya. Menurut penuturan Nengah Purna, di era itu belum ada kendaraan secanggih sekarang sehingga dokar menjadi primadona. “Setelah Gestok, pas Soeharto jadi Presiden motormotor itu mulai ada,” ujar. Di usianya yang telah berkepala tujuh, Nengah Purna mengaku bangga dengan pekerjaannya sebagai kusir dokar dulu. Dia punya tiga anak. Semua bisa sekolah hingga kuliah. Didampingi istri yang bekerja sebagai pedagang sayur, Nengah Purna yang memilih merantau ke Denpasar bertekad untuk memberi kehidupan lebih layak bagi anakanaknya. Romantisme Nengah Purna akan kebanggan masa lalunya sebagai kusir dokar membangkitkan pertanyaan, tidakkah ada selain pemerintah, semacam kelompok yang mengkoordinir ataupun aktif dalam mengurus persoalan-persoalan dokar di Denpasar. Bukankah Denpasar memiliki Perdoden; Persatuan Dokar Denpasar. #BALITEMPOEDULOE#TRANSPORTASI# #TRADISIONAL#BALILAWAS#SEJARAH#
Bali Tempo Dulu
327
KAWASAN JALAN SULAWESI DENPASAR,BALI INDONESIA Banyak wisatawan yang berkunjung ke Bali menanyakan dimana tempat yang terbaik untuk membeli kain . Jawabannya sederhana cukup satu kata yaitu Jl. Sulawesi di Denpasar , yang merupakan ibu kota pulau ini. Entah itu bahan untuk baju baru, kain tirai atau batik tradisional untuk upacara adat orang Bali, kamu dapat mendapatkan itu semua(dan banyak) di Jl.Sulawesi Ada beberapa tempat wisata dan atraksi yang dapat di kunjungi di Denpasar, dan perjalanan ke Jl. Sulawesi dapat dengan mudah di sisipkan ke dalam liburan setengah hari atau seharian penuh. Cukup dekat dari pasar tradisional di Pasar Badung dan juga Pasar Kumbasari . Daerah yang sebenarnya sebelum mulai dari Jl.Sulawesi (dekat dengan Pasar Badung) dimana anda dapat menemukan pilihan katun yang baik untuk membuat bantal selimut dan selimut. Kebanyakan kain dijual meteran meskipun anda juga dapat membelinya perlembar kain atau per-potong, biasanya dijual dengan harga yang terjangkau. Sebenarnya menyenangkan namun dimulai dari bagian atas Jl. Sulawesi, dimana terdapat toko-toko kain yang berbaris di kedua sisi jalan.
Bali Tempo Dulu
328
Banyak toko-toko disini mengkhususkan untuk menjual kain renda halus yang digunakan untuk kebaya, blus cantik wanita bali yang digunakan untuk upacara. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#WISATA#BALI# #KOTADENPASAR#
RAPAT RAKSASA DI KOTA NEGARA KABUPATEN JEMBRANA BALI,INDONESIA 1962 OLEH PRESIDEN SOEKARNO Sebuah Catatan Ekonomi Politik Kekerasan oleh I Ngurah Suryawan Setelah rezim kolonial Belanda meninggalkan jejak-jejak kolonisasinya, Bali sebagai sebuah pulau kecil menggeliat menuju pergolakan penting yang menentukan perjalanan sejarahnya. Menginjak tahun 1950-an, banyaknya partai yang berebut kekuasaan, ditambah dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Bali dilanda sebuah masa kegelapan dalam sejarahnya. Kemiskinan dan tragedi alam letusan Gunung Agung menyebabkan ribuan manusia Bali jatuh kondisi terburuk. Ditengah kemiskinan dan kelaparan itu, ketegangan politik dalam perebutan kekuasaan lokal di Bali—yang paling keras antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia)—semakin memuncak.
Bali Tempo Dulu
329
Perseteruan politik dan keterpurukan kondisi ekonomi Bali menjadi tema-tema penting tahun 1950-1960-an di Bali. Artikel ini berusaha untuk memetakan dan mencatat secara deskriptif bagaimana ekonomi politik kekerasan tersebut terjadi di Bali. Diawali dengan pergolakan yang terjadi dalam merebut simpati massa antara PKI dan PNI, tragedi salama meletusnya Gunung Agung, dan berbagai kisah-kisah seputar isu land reform yang menjadi tema penting untuk menjelaskan isu-isu ekonomi politik kekerasan. Semenjak akhir tahun 1950-an, situasi ekonomi di Bali memburuk. Harga beras dan kebutuhan lainnya menjulang tinggi. Laporan kelaparan dan kekurang gizi semakin sering terdengar. Tahun 1963 Gunung Agung meletus dan menewaskan sekitar 1.500 orang, merusak ribuan hektar lahan, dan membuat membuat 75.000 orang menyelematkan ke daerah-daerah terdekat pulau Bali. Juga terjadi ganguan hama tikus dan penurunan panen antara tahun 1962 dan 1965. Malapetaka letusan Gunung Agung, gunung yang tertinggi dan paling dikeramatkan pada tahun 1963 banyak dipandang sebagai akibat campur tangan Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainnya dalam menetapkan waktu dan struktur upacara. Mitologi meletusnya Gunung Agung dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali dianggap sebagai pertanda buruk dari kehancuran bumi Bali. Alasan untuk melakukan pembantaian massal 1965-1966 sering menggunakan pertanda mitologi meletusanya Gunung Agung, menganggap orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI, adalah sumber masalah terjadinya kelaparan dan bencana di Bali. Karena itu, pembantaian massal sah dilakukan oleh membasmi pembuat onar dan masalah di Bali, yang dilakukan oleh orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Bencana letusan Gunung Agung juga menjadi satu momen semakin menguatnya keterpurukan ekonomi ketika itu. Banyak pengungsi dan rakyat yang ketinggalan tempat tinggalnya. Kelaparan dan kemiskinan menjadi keakraban, dan ini semakin menguatkan keguncangan yang terjadi di masyarakat. Selain itu keterpurukan ekonomi juga diperparah
Bali Tempo Dulu
330
dengan silih bergantinya wabah tikus, serangan hama dan kegagalan panen antara tahun 1962 dan 1965, serta oleh letusan Gunung Agung pada awal tahun 1963. Letusan pada 17 Maret dan 16 Mei dinyatakan telah merenggut kira-kira 1.500 nyawa dan menelan lebih dari 62.000 hektar lahan produktif, mengakibatkan kekurangan gizi yang parah pada lebih dari 10.000 orang, dan eksodus sampai sebanyak 75.000 manusia ke kerajaan-kerajaan tetangga. Laporan akibat letusan Gunung Agung dibuat oleh tim Palang Merah local dan Dr. Made Jelantik bersama Kepala Gereja Protestan Bali, K. Suweca. Perkiraan dari KoGA—organiasasi pemerintah yang bertanggungjawab menangangi bencana membuat laporan yang lebih tinggi. Pada Oktober 1963 dilaporkan ada 98.792 pengungsi internal, 15.595 penderita kekurangan gizi yang parah, dan 122.743 penderita yang sudah gawat. Semuanya dilaporkan dalam harian Suara Indonesia, 21 Oktober 1963. Bahkan Gubernur Sutedja memperkirakan 25.000 hektar lahan telah hancur secara permanen, dan 100.000 hektar akan tak bisa berproduksi selama bertahuntahun. Pada April 1963, Gubernur Sutedja mengatakan: “Kami harus memberi makan 85.000 pengungsi, dan kami semata-mata tak punya makanan untuk itu.” Yang paling serius terkena dampaknya adalah wilayah timur pulau Bali: Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Gianyar. Pengungsi dari kawasan-kawasan ini merubung kota besar, Denpasar dan Singaraja (Robinson, 2006: 365-367). Krisis ekonomi berlangsung secara kompleks menyentuh kehidupan paling mendasar dari rakyat. Robinson (2006) mengemukakan, kegagalan panen yang parah pada tahun 1949-1950, paceklik bahan-bahan kebutuhan pokok impor, dan tiadanya kepercayaan pada mata uang kertas Republik selama Revolusi, telah ikut membungbungkan inflasi. Dalam kondisi semacam itu, hampir-hampir tak mengherankan jika pencurian dan kejahatan ekonomi meningkat tajam. Surat kabar Sin Po, 14 Februari 1950 menuliskan, “Dewasa ini rakyat Bali sumpek dengan tindak banditisme dan pencurian yang semakin galak. Gangguan ketentraman ini terutama berkaitan dengan naiknya harga pangan. Bukan saja beras, tapi juga makanan lain
Bali Tempo Dulu
331
semua naik harganya. Paceklik terburuk terjadi di Buleleng—yang secara tradisional sangat mengandalkan pasokan beras dari Tabanan—dan di Buleleng itulah perampokan dan banditisme paling ganas. Kesulitan ekonomi juga memacu mobilisasi politik di Buleleng, yang sudah punya lembaga buruh tani migran yang relatif besar dan militan—terutama dipekerjakan di perkebunan kopi—dan kaum pekerja urban yang berserikat. Harian Suara Indonesia di Denpasar menuliskan berita, “Harga beras semakin menggila” pada 22 Oktober 1963 mengungkapkan, di desa-desa, rakyat makin sering mencampur nasinya dengan pisang dan kelapa serta daun pepaya, dengan perbandingan 1:3 atau 1:4.Sesungguhnya, banyak yang sampai makan pisang dan daun-daunan saja, tanpa nasi sama sekali. Di desa-desa yang menghasilkan surplus beras pun, petani miskin hanya sedikit makan nasi atau tidak sama sekali. Laporan mengenai kematian akibat kelaparan dan merajalelanya kekurangan gizi semakin lazim di pers local selepas tahun 1963, walaupun laporan semacam itu di media nasional dibatasi oleh keinginan melestarikan citra tentang Bali yang “subur” dan “harmonis.” (Robinson, 2006: 356). Krisis ekonomi yang serentak dengan perubahan social sesudah tahun 1963 berpengaruh dalam kehidupan politik. Inilah yang mengakibatkan begitu populernya partai-partai kiri yang mempunyai program untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Partai-partai seperti PKI, partindo, IRMI (Ikatan Rakyat Murba Indonesia) dan Partai Buruh semakin mendapatkan tempat di hati rakyat yang tertindas. Di Denpasar dan Singaraja adalah dua tempat yang memiliki populasi kaum migran dan pekerja yang cukup besar. Sudah menjadi partai terpopuler ketiga di Bali pada 1955, PKI dan berbagai organisasi massanya, kabarnya mengalami gelombang ekspansi besar-besaran yang kedua di Bali selepas tahun 1963. Mereka yang tercerabut dan terhempas—atau lebih tepatnya kaum upahan, migran dan penganguran, baik di kota maupun di daerah pedesaan, membentuk bagian yang signifikan dari penduduk Bali menjelang penghujung tahun 1963, dan menyediakan lahan yang subur
Bali Tempo Dulu
332
bagi ormas yang kala itu juga kian militan. Salah satu sumber ketegangan di antara masyarakat saat tahun 1950-an hingga awal 1960-an adalah land reform yang memungkinkan terbaginya tanah secara merata pada rakyat miskin, tidak hanya didominasi oleh golongan bangsawan kerajaan atau kelas penduduk kaya. Istilah land reform biasanya digunakan dalam arti perombakan dalam penguasaan dan pemilikan tanah, khususnya redistribusi tanah yang bertujuan untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan pertanian. Redistribusi tanah dalam rangka land reform diharapkan dapat mengurangi kemiskinan (Hadiwijana, 1992: 5; Robinson, 2006). Pelaksanaan land reform di Bali pada fase pertama dimulai 1 Januari 1961 ditandai dengan pendaftaran tanah dari orang-orang atau anggota keluarganya atau kepala keluarganya yang memiliki tanah lebih dari jumlah luas maksimum. Sedangkan fase penutupan pendaftaran tanah yang melebihi batas maksimum sampai tanggal 31 Maret 1961, melalui kantor distrik setempat, dengan peraturan pemerintah nomor 10 tentang pendaftaran tanah. Pada saat keluar pengumuman tentang pelaksanaan pendaftaran tanah yang sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961, banyak masyarakat Bali yang merasa gelisah. Kegelisahan ini terutama melanda para pemilik tanah yang terkena ketentuan lebih serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee. Selain itu kegelisahan juga muncul karena adanya batas waktu yang diberikan oleh pemerintah untuk mendaftarkan tanah kelebihannya dalam jangka waktu enam bulan, jangka waktu itu dirasakan terlalu singkat oleh pemilik tanah. Kegelisahan yang timbul di masyarakat itu dimanfaatkan dengan baik oleh partai-partai politik yang ada di Bali untuk mencari massa pendukung, terutama oleh PKI beserta organisasi massanya yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia). Hal ini dilaksanakan oleh PKI dengan slogan tanah untuk petani penggarap di pedesaan. Dengan demikian land reform yang dilaksanakan 1 Januari 1961 telah dijadikan alat oleh PKI untuk mencari massa pendukung. Akibatnya terjadi keresahan social di pedesaan yang mengarah pada konflik yang semakin tajam.
Bali Tempo Dulu
333
Pernyataan tentang isu land reform sebagai titik sentral dukungan rakyat pada PKI memang sering diuraikan dalam studi-studi tentang Tragedi 1965. Geoffry juga mengungkapkan bahwa polarisasi dan militansi politik di tingkat nasional didukung dengan nasionalisasi perkebunan Belanda yang dimulai pada 1957 dan land reform pada awal dasawarsa 1960-an. Penguasaan militer atas perkebunan sesudah tahun 1957 mempertajam pertikaian perkara upah dan kondisi kerja, dan menyediakan landasan bagi konflik politik antara militer dan buruh tani. Namun demikian, yang lebih signifikan untuk Bali adalah perundangan nasional yang memerintahkan redistribusi tanah dan mengamanatkan perubahan dramatis dalam sistem bagi hasil panen. Akses terhadap tanah pertanian inilah yang menjadi salah satu isu yang memancing upaya lokal untuk perombakan tanah (land reform). Ketika krisis ekonomi kian terasa pada sepanjang awal decade 1960-an dan inflasi semakin pesat, tanah—yang sudah langka dan selalu jadi objek pertikaian— kiranya menjadi satu-satunya jaminan mata pencaharian, sehingga pembaruan agraria menjadi prioritas yang lebih mendesak lagi. Karena itu, implementasi perundangan land reform nasional pada awal dasawarsa 1960an memiliki signifikasi yang menonjol untuk politik Bali. Tidak seperti kampanye “konfrontasi” melawan Malaysia atau perjuangan merebut Irian barat, land reform berdampak langsung pada praktis semua orang Bali, kebanyakan dari mereka jelas diuntungkan atau dirugikan ketika perundangan ini memasuki babak pengejawantahan. Land reform berada di jantung ekspansi mendadak PKI dan BTI pada awal dasawarsa 1960-an, dan memicu penyekutuan kembali yang signifikan dari berbagai kekuatan politik. Jika gerakan revolusioner dan mobilisasi partai politik pada tahun-tahun permulaan pascakemerdekaan dilandasi koalisi beragam kelas dan di sejumlah kasus, bergantung pada sumber daya dan otonomielemenelemen yang lebih berkecukupan dalam koalisi itu, politik tanah mendorong pola perpecahan yang lebih jelas berlandasakan pada kelas. Bukti yang ada menunjukkan bahwa petani yang paling lapar-tanah dan buruh tanilah
Bali Tempo Dulu
334
yang menjadi anggota BTI di Bali selepas tahun 1963. Pola ini masuk akal dan lebih sesuai dengan fakta militansi BTI ketimbang berbagai penggambaran tentang PKI dan organisasi BTI di Bali sebagai kedok pengelompokan social “tradisional”. Lagipula, inilah pola yang sengaja dibina lewat taktiktaktik BTI, yang mencakup pembagian pakaian, makanan dan janji-janji tanah untuk pihak yang paling papa dan paling lemah. Keanggotaan di organisasi petani PNI, Petani, lebih heterogen dalam hal kelas, yang barangkali mencerminkan berlanjutnya penggunaan strategi mobilisasi vertical oleh PNI. Anggota Petani termasuk kaum tani pemilik tanah yang relatif makmur, tapi juga para petani penggarap yang lebih miskin dan tetap bergantung secara social dan ekonomi pada para tuan tanah yang berafiliasi dengan PNI. Perbedaan antara BTI dan Petani di Bali jadi menajam selama berlangsungnya kampanye land reform. Meski Petani dan BTI secara resmi samasama mendukung land reform, ada perbedaan yang jelas dalam keseriusan dan militansi upaya mereka serta dalam kelas social yang mereka didik. Petani menekankan kemakmuran, keamanan, kesatuan, dan menjungjung Pancasila. Sejumlah contoh dari berbagai belahan pulau menunjukkan perbedaan pola keanggotaan dan mobilisasi BTI dan Petani selama kanmpanye land reform(Robinson, 2006: 397-398). Di Desa Tejakula Kabupaten Buleleng, sebuah distrik miskin yang tingkat sewagarap tanahnya tinggi dan banyak sekali buruh migran dari kawasan tetangga, Karangasem, PKI dan BTI menjadi sangat popular di kalangan “rakyat kecil” pada awal dasawarsa 1960-an. Menurut punggawa pada masa itu, yang orang PNI, Pni di sana dipandang sebagai partai tuan tanah dan menderita kekalahan serius dari PKI dalam hal keanggotaan sesudah tahun 1963. Kemunduran PNI membuka kesempatan bagi sejumlah petani yang berafiliasi dengan PNI untuk hijrah ke PKI dan BTI. Namun demikian, para petani yang lebih mkmur cenderung tetap di Petani. Demikian pula di Karangasem, kepopuleran PKI dan BTI di kalangan buruh migran dan petani penggarap kecil dilaporkan meningkat tajam menyusul penjarahan tanah di bawah
Bali Tempo Dulu
335
kampanye aksi sepihak pada tahun 1963. Perebutan pengaruh ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk-bentuk kegiatan dan program-program kerja masing-masing partai. Selain dua partai besar ini, terdapat partai Islam yang dalam konteks Bali dan juga nasional berada dibawah bayangbayang persaingan PKI dan PNI. Termasuk juga di Jembrana, meskipun memiliki penduduk muslim yang besar—karena pengaruh daerah pesisir dan berbatasan dengan Pulau Jawa—dukungan masyakarakatnya tetap pada dua partai besar ini, ditambah lagi dengan warga muslim yang benci dengan komunis yang dalam pandangan mereka atheis, murtad. Persaingan dan ketegangan ini juga berimbas pada pilihan politik masyarakat yang akhirnya harus memilih antara PKI atau PNI. Pilihan yang hitam putih ini menyebabkan tensi ketegangan menjadi tinggi dengan pilihan antara PKI atau PNI. Kondisi ini jugalah—selain sentimen pribadi, persaingan kedudukan, perebutan tanah, persaingan status dan ritual—yang menyebabkan korban pembantaian di Bali sangat mencengangkan, antara 80.000 hingga 100.000 “manusia merah” di Bali tewas mengenaskan ditangan saudaranya sendiri (Gie, 1995; Cribb, 2003; Robinson, 2006). Di tingkat massa akar rumput, persaingan juga terlihat dari pelantikan-pelantikan pengurus kedua partai yang berlangsung silih berganti. Situasi ketegangan dan persaingan antara kedua partai ini tidak terlepas dari situasi dan kegairahan melanjutkan revolusi seperti apa yang disampaikan Bung Karno. Suasana bergairah revolusi ini tidak menolong laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang melaju kencang. Seperti juga yang terjadi di Jembrana, meskipun suasana keamanan di bidang pemerintahan dan ekonomi di Jembrana berlangsung aman-aman saja dari tahun 1959 hingga 1963, tidak menghalangi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat akibat inflasi rupiah dan rapuhnya ekonomi saat itu. Harga beras terus melonjak dari Rp. 650 per kg menjadi Rp. 900 per kg. perubahan harga beras ini terjadi setiap hari secara terus menerus. Akibat kepanikan masyarakat dengan naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras,
Bali Tempo Dulu
336
memancing keinginan untuk menimbun beras dan minyak tanah oleh para pedagangpedagang. (Alm)Wayan Reken dalam catatannya bahkan langsung menuding penimbunan-penimbunan beras dan minyak tanah itu dilakukan oleh pedagang-pedagang yang berafiliasi dan bersimpati pada PKI. (Reken, tt; Suryawan 2006, 2007). Setelah peristiwa itu, terajadilah berturut-turut pembakaran tempat-tempat penyimpanan beras di jineng-jineng (lumbung-lumbung padi) milik para pedagang simpatisan dari PKI ataupun pedagang dari etnis Tionghuoa yang berafiliasi ke PKI. Di Kabupaten Jembrana, Presiden Soekarno pada awal tahun 1962 ke kota Negara dengan helikopter untuk mengadakan rapat raksasa di alun-alun kota. Kedatangan ini disambut meriah oleh pejabat pemerintah, polisi dan militer, segenap veteran pejuang 45, segala lapisan masyarakat bahkan rakyat dari pedesaan-pedesaan dan pegunungan ikut membanjiri tanah lapang ini. Dalam pidatonya terhadap rakyat Jembrana ditekankan betapa perlunya menggalang persatuan untuk terciptanya cita-cita revolusi. Musuh revolusi Indonesia yang terutama adalah ialah kaum imperialis, iblis yang tidak senang atas kedatangan revolusi kita dan selalu menghantam republik Indonesia dengan segala macam jalan dan cara. Mereka itu kadang-kadang menjalankan aksi-aksi subversif seperti membantu pemberontakan PRRI dan Permesta, mengacau ekonomi Indonesia, melancarkan kabar bohong. Usaha mereka yang sekarang ini sedang mengepung Indonesia dengan mendirikan negara boneka Malaysia. Selain itu termasuk musuh-musuh revolusi Indonesia ialah golongan “Blandis”, yaitu orang-orang Indonesia yang masih berfikir secara kolonialis Belanda, golongan-golongan kontra revolosioner, yaitu orang-orang yang tidak senang akan adanya revolusi kita serta cita-cita membentuk masyarakat adil dan makmur. Golongan kontra revolusi ini menjalankan bermacam daya untuk merongrong revolusi dari dalam, juga golongan bunglon dan tengkulak termasuk musuh revolusi kita (Reken, tt). Puncak dari ketegangan ekonomi politik kekerasan di tahun 1960-an adalah apa yang dikenal oleh rakyat Bali sebagai Gestok
Bali Tempo Dulu
337
(Gerakan 1 Oktober) mengikuti ucapan dari Bung Karno, atau G30S (Gerakan 30 September) yang pada rezim Orde Baru ditulis “G30S/PKI”, untuk menunjukkan bahwa bahwa G30S didalangi oleh PKI. Kontestasi sejarah kemudian menandingi versi tunggal Orde Baru terhadap sejarah G30S yang menyebutkan bahwa masih perdebatan siapa yang menjadi dalang G30S tersebut. Sumber artikel : I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #POLITIKBALI#PULAUDEWATA# #WIKIPEDIA#BALI#
BRUNA BEACH / BEACHWALK KUTA , BADUNG BALI INDONESIA. Beachwalk Bali yang terletak di Jalan Pantai Kuta, Bali ini baru berdiri tahun April 2012 namun letaknya yang strategis dan lengkapnya brand lokal maupun internasional menjadikan Beachwalk ramai pengunjung setiap harinya. Berbeda dengan konsep mall pada umumnya, mall ini memiliki disain unik dengan udara terbuka, Anda akan teringat dengan tradisi Bali dengan alang-alang
Bali Tempo Dulu
338
dan tanaman tropis. Ada juga air mancur, panggung utama yang kerap menghadirkan acara musik, dan taman gantung berpagarkan kaca transparan. Open-air walkway in Beachwalk Bali Toko di sini pun termasuk lengkap, baik dari brand lokal maupun internasional. Pada lantai Basement, Anda dapat menemukan bank, ATM, money changer, supermarket, dan apotik. Sedangkan lantai 1 didominasi oleh restoran, café, outlet fashion seperti Guess, Topman, Topshop, Pull & Bear, dan lain-lain. Bila Anda ingin menonton bioskop, Cinema XXI terdapat di lantai 2 dengan toko lain seperti produk olahraga, sepatu, optik, gadget dan alat elektronik, produk kecantikan, alat traveling , dsb. Pada lantai paling atas, yaitu lantai 3 terdapat food court , alat dan perlengkapan bayi, pusat seni dan kerajinan hingga oleh-oleh. Cukup lengkap, bukan? Sport Attire in Beachwalk Bali Beachwalk Bali juga menyatu dengan hotel Sahid Kuta Lifestyle Resort, juga melengkapi Hotel Harries Resort Kuta Beach, dan rencananya akan hadir Sheraton Bali Kuta Resort yang dijadwalkan dibangun tahun ini. Selain itu, mall ini juga memiliki 3 akses pintu masuk, yaitu dari Poppies Lane, dari pantai, dan dari belakang. Salah satu yang menarik adalah Beachwalk Mall Bali adalah salah satu dari sedikit mall yang menyediakan tempat parkir motor dengan atap sehingga motor tidak basah bila hujan. Hal kecil namun penting ini juga tentunya menjadi pertimbangan pengunjung. Beachwalk Bali – Toko oleh-oleh Jam buka operasional Beachwalk Bali sendiri dari pukul 10 pagi hingga 12 malam setiap hari Minggu hingga Kamis. Sedangkan pada hari Jumat dan Sabtu, restoran dan café di mall ini buka hingga jam 2 pagi. Kadang di sini juga diadakan midnight sale di mana banyak diskon pada setiap outlet dan toko di Beachwalk. Pada hari besar tertentu, seperti malam Tahun Baru misalnya, di mall ini juga pasti ada acara seperti pesta kembang api, dan lainnya. Beachwalk Bali – Art Section Terlepas dari lokasinya yang strategis dan lengkapnya toko di Beachwalk Bali, brand yang tersedia di mall ini relatif lebih mahal daripada mall lainnya di Bali. Juga dengan Jalan Pantai Kuta yang satu arah juga harus dilalui dengan kemacetan terlebih dahulu pada jam-jam ramai atau high season sebelum mencapai mall ini. Namun, mall ini cocok untuk berganti suasana
Bali Tempo Dulu
339
atau sekedar cuci mata dan makan ketika Anda berada jalan-jalan di sekitar Kuta, Bali. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #PARIWISATABALI#ARSIP#SEJARAH# #BALI#PULAUDEWATA#
Sejarah Gempa Bumi Seririt 1976 Oleh : BBN/sejarahbali.com | sumber foto :mindef.gov.sg/medis asal Singapura mengobati korban gempa Beritabali.com, Seririt . Pada 14 Juli 1976, sebuah gempa bumi besar dengan skala 6.2 skala Richter mengguncang Seririt, Buleleng, Bali, dengan episentrum di daratan. Gempa bumi Seririt menelan korban tewas sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang. Dilaporkan juga, hampir 75% dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami kerusakan. Pada tanggal 27 Juli 1976 Pemerintah Singapura saat itu menanggapi tragedi ini dengan mengirimkan 20 personel tenaga medis ke Bali. Tim yang dipimpin oleh MAJ (DR) Winston Koh, tiba di Bali dengan membawa 3,500 kg pasokan medis dan peralatan. Tim mendirikan base camp di kota Seririt Buleleng, sekitar 65 kilometer barat laut dari Denpasar. Tim bekerja berdampingan dengan tim medis lainnya dari Bulan Sabit Merah Indonesia dan beberapa universitas di Indonesia. Tim medis dikirim setiap hari ke desa-desa sekitarnya untuk membuka posko kesehatan dimana konsultasi medis, pengobatan dan
Bali Tempo Dulu
340
imunisasi diberikan untuk desa-desa tersebut. Setelah bekerja sekitar 2 minggu lebih, pada tanggal 15 Agustus 1976, tim medis Singapura ini kembali ke negaranya dengan kontribusi telah merawat sekitar 3.000 pasien korban gempa di Seririt dan sekitarnya. #BALITEMPOEDULOE##WIKIPEDIA# #BMKG#BENCANAALAM#SEJARAH# #BALI#ARSIP#PRISTIWA#
PASAR DESA ADAT SANUR DENPASAR SELATAN BALI,INDONESIA Pasar tradisional sekarang jauh lebih bersih. Meskipun kita berada di dekat los daging yang biasanya becek disertai bau anyir, namun tetap nyaman, seperti di Pasar Sindu ini. Setelah terjadi kesepakatan harga, baru membayar. Tidak heran jika pasar ini terlihat lebih nyaman dibandingkan sebelumnya, biaya untuk merevitalisasinya saja mencapai Rp3,4 milyar. Dana tersebut murni bersumber dari swadaya masyarakat dan Yayasan Pembangunan Sanur. Pasar ini kemudian diresmikan kembali pada tanggal 4 Agustus 2010 oleh Marie Elka Pangestu saat menjadi Menteri Perdagangan RI. Saat itu Marie Elka Pangestu menginginkan pasar tradisional seperti Pasar Sindu lebih dikenal dengan nama pasar ramah dan segar. Ramah berarti masyarakat dapat berinteraksi saling tawar menawar secara ramah, dan segar masyarakat yang berjualan menyediakan bahan
Bali Tempo Dulu
341
pokok yang segar. Senyum pedagang cerminkan keramahan mereka yang bersahaja. Pasar Sindu berdiri di atas lahan seluas 51 are untuk menampung 361 pedagang yang sebagian besar merupakan masyarakat lokal. Dari jumlah tersebut 150 ditampung los dan 78 menempati toko, sisanya pedagang musiman. Pedagang los ditata sesuai dengan jenis dagangan yang dijual sehingga masyarakat lebih mudah untuk berbelanja. Penataan los sesuai dengan jenis dagangan juga dapat mempermudah menjaga kebersihan pasar. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #PASARTRADISIONAL#WISATABELANJA# #DESAPEKRAMANSANUR# #KOTADENPASAR#
TAJEN (Acara Sabung Ayam di Pulau Bali) Foto : Tajen di pasar legian 1977 Kontroversi mengenai Tajen selalu ada sampai saat kini bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya Bali identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karea dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama Hindu-Bali itu sendiri. Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan
Bali Tempo Dulu
342
di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam dan tajen sebagai obyek wisata. Dalam kegiatan upacara yadnya dalam agama Hindu-Bali dikenal istilah matatabuhan atau matabuh, yaitu, proses menaburkan lima warna zat cair. Lima warna tersebut antara lain: putih yang disimbolkan dengan tuak, kuning yang disimbolkan dengan arak, hitam yang disimbolkan dengan berem, merah yang disimbolkan dengan taburan darah binatang, dan yang terakhir brumbun yaitu dengan mencampurkan keempat warna. Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, darah merah, kelenjar empedu yang berwarna hitam dan air sebagai simbol semua warna atau brumbun. Dimana kelima tersebut harus dijaga keseimbangannya. Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Upacara tabuh rah bersifat sakral sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa judi tajen sudah ada dari jaman sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Bali, yaitu sebelum abad X Masehi. Namun sayangnya pendapat ini sukar dibuktikan dan dipercaya, dikarenakan kebanyakan orang di Bali lebih mempercayai bahwa tajen berasal dari tabuh rah. Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan
Bali Tempo Dulu
343
dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja harus dilestarikan. Sumber : http://pendakiliar.blogspot.com/2011/02/ kontroversi-mengenai-tajen-selalu-ada.html #BALITEMPOEDULOE#TAJEN#WIKIPEDIA# #PULAUBALI#SOSIALMASYARAKAT# #BALI#PULAUDEWATA#
SEJARAH DESA MUNDUK Kec : BANJAR BULELENG,BALI INDONESIA Foto : Tahun 1910 Desa Munduk berasal dari Banjar Munduk yaitu bagian dari Desa Gobleg. Pada Tahun 1892 oleh pemerintah Belanda melalui Punggawa Distrik Banjar dijadikanlah Banjar Munduk menjadi Desa Munduk yang merupakan Pemerintahan Desa dipegang oleh seorang Perbekel. Adapun nama-nama yang pernah dan sedang menjabat Perbekel Munduk sebagai berikut : Mekel Ragi Ketut Djada / Ketut Mekel Wayan Dana Nyoman Canang Putu Suwanda Nyoman Soenoe Putu Wijana
Bali Tempo Dulu
344
Gede Djapa Ketut Dasna Nengah Wirota Made Darmawan I Putu Suparnaya Nengah Yuhena (sedang menjabat masa jabatan 2008-2013) Adapun wilayah pemerintahan Desa Munduk saat itu terdiri dari Bajar Munduk Dangin Rurung, Banjar Munduk Dauh Rurung, Banjar Gesing dan Banjar Umejero. Lahan perkebunan dominasi tanaman kopi arabika dan robusta, disamping kebun kopi di tiap banjar terdapat juga tanah sawah antara lain Subak Munduk dengan luas areal :142 hektar, subak Gesing : 27 hektar, Subak Umejero : seluas : 36 hektar. Desa Munduk saat itu adalah merupakan sentra kopi arabica nomor 1 di Bali yang dieksport ke Negara Belanda dan Jerman melalui Pelabuhan Laut di Desa Temukus dan angkutan barang dari Desa Munduk menuju pelabuhan menggunakan Gedereg / Gerobak yang ditarik oleh kerbau. Pada tahun 1967 Banjar Gesing dan Banjar Umejero melepaskan diri dari Desa Munduk dan menjadi desa difinitif. Mulai sejak itu maka batas wilayah Desa Munduk adalah: Sebelah Utara : Desa Gobleg Sebelah timur : Hutan Pemerintahan Sebelah Selatan : Desa Gesing Sebelah Barat : Kayuputih Tata Guna Tanah VISI, MISI DAN PROGRAM KERJA VISI : Mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, tentram, dan damai melalui pembangunan fisik dan non fisik dengan belandaskan konsep Tri Hita Karana, yaitu Harmonis/Bhakti pada Tuhan, harmonis dengan sesama manusia dan harmonis dengan lingkungan / alam. MISI : Membangun Desa dengan melibatkan dan mengajak semau lembaga yang ada di Desa serta seluruh lapisan masyarakat berdasarkan azas gotong royong dan musyawarah mufakat. PROGRAM KERJA Meningkatkan rasa bakti, Taqwa dan kesadaran beragama serta berbudaya bagi masyarakat. Meningkatkan pelayanan istrasi kepada masyarakat. Membangun kerja sama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait seperti BPD, LPM, Subak, PKK, LINMAS, Tokoh-tokoh Masyarakat
Bali Tempo Dulu
345
dan |Lembaga terkait lainya LUAS WILAYAH : 2.170 hektar terdiri dari : Pemukiman : 73,99 hektar Kantor : 0,49 hektar Sekolah : 1,28 hektar Pasar :0,06 hektar Tempat Ibadah : 8,33 hektar Kuburan : 0,22 hektar Pertanian / Perkebunan : 1.090,25 hektar Persawahan :132,74 hektar Pekarangan : 141,75 hektar Danau : 110 hektar Tegal / ladang : 82,60 hektar Hutan : 1.056,10 hektar Lain-lain : 12,19 hektar ( data per 2010 ) #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#PULAUBALI#TROPENMUSEUM#
Bali Tempo Dulu
346
FOTO PELINGGIH MERU TUMPANG 11 DAN TUMPANG 9 DI BALI TAHUN 1890. Makna Meru bagi Tahapan Kehidupan di Bumi Bentuk pelinggih Meru yang ada di bali. DALAM Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana). Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb: Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan
Bali Tempo Dulu
347
candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om. Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut. Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan. Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam. Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat. Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya.
Bali Tempo Dulu
348
Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat. Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumbersumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam. Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bisa menimbulkan kerusakan di angkasa. Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia. Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan
Bali Tempo Dulu
349
Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpang meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara. Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga. * # BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #ISTADEWATA#BALIPOST#WIKIPEDIA# #BALILAWAS#PULAUDEWATA#
PUSAT PERBELANJAAN TIARA DEWATA DENPASAR,BALI INDONESIA Maskot Gajah di pintu masuk parkir sebelah timur Tiara Dewata. Tiara Dewata Supermarket didirikan pada tanggal 17 Juni 1985 dengan nama PT. KARYA LUHUR PERMAI dan mulai resmi beroperasi tanggal 25 Maret 1986. Berlokasi di jalan Mayjen Sutoyo no.55
Bali Tempo Dulu
350
(Banjar Gemeh) Denpasar yang sebelumnya dikenal dengan nama gedung "Balai Prajurit" Gelanggang Remaja Udayana yang oleh masyarakat kota Denpasar dinamakan Indra Loka. Sesuai dengan latar belakang pendirian suatu usaha Arena Hiburan dan Pasar Swalayan maka misi utama perusahaan adalah bagaimana bisa menyediakan segala kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas pada keperluan dapur saja, dengan harga yang pantas dan pelayanan terbaik. Kini Supermarket 2 lantai ini merupakan tempat belanja sekaligus rekreasi keluarga, karena semua yang dibutuhkan dapat diperoleh di sana, mulai dari belanja, makan, bermain dan juga berenang. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PULAUDEWATA#BALI# #KOTADENPASAR#WISATABELANJA# #WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
351
PERTUNJUKAN ARJA DESA BATUAN UBUD,GIANYAR BALI,INDONESIA TAHUN 1976 Terlihat pencahayaan pada masa itu Masih menggunakan lampu strongking. Arja adalah semacam opera khas Bali,
Bali Tempo Dulu
352
merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat . Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (bahasa Sanskerta ) yang berarti "keindahan". Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut " Gaguntangan " yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820-an , pada masa pemerintahan Raja Klungkung , I Dewa Agung Sakti. Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja Muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat, terutama karena menghadirkan komedi segar. Fase Tiga fase penting dalam perkembangan Arja adalah: Munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang). Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang). Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang). Lakon Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat. Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana , Sampik Ingtai , Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana . Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing - masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif. Sumber foto : www.flickr.com #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
353
#KESENIAN#SEJARAH#BUDAYA# #BALI#WARISANLELUHUR#
SEJARAH GAMBELAN GONG LUANG DAN DESA KEROBOKAN KABUPATEN BADUNG BALI,INDONESIA FOTO TAHUN 1976 Gamelan Gong Luang merupakan bentuk gamelan yang tergolong tua, dengan repertoar gending yang masih ada, diperuntukkan dalam pengiring upacara pengabenan (Pitra Yadnya). Beberapa repertoar itu dikhususkan dalam prosesi upacara ngaben, seperti dalam prosesi pemandian jenazah (layon), pembungkusan, dan sampai pada pamitan (mepamit). Gamelan Gong Luang yang semula keberadaannya sangat vital bagi kehidupan masyarakat setempat, karena gamelan ini dimainkan selain untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya, juga difungsikan untuk iringan seni pertunjukkan lainnya seperti topeng, arja dan tari-tarian lepas. Dalam dua dekade terakhir ini gamelan tua ini mulai mengalami pergeseran dengan semakin jarangnya Gong Luang difungsikan dalam keperluan tersebut, perkembangannya sebatas pada pengiring upacara pengabenan saja, sudah tidak difungsikan untuk keperluan seni pertunjukkan lain. Gong Luang di Banjar Apuan Singapadu – Gianyar dewasa ini sudah jauh bergeser bila dibandingkan dengan keberadaannya di tahun 1980-an. Walawpun
Bali Tempo Dulu
354
bentuk barungan serta tabuh-tabuhnya masih relatif sama, fungsi dan makna dari gamelan Gong Luang sudah mengalami banyak pergeseran. Sejarah Informasi mengenai Gong Luang. Baik yang berupa informasi oral, buku, deskripsi maupun artikel – artikrl lainnya belum banyak ditemui. Oleh karena itu maka uraian mengenai asal – usul sejarahnya lebih banyak bersifat dugaan belaka. Menurut I Nyoman Rembang gamelan Gong Luang diperkirakan berasal dari Majapahit, dibawa ke Bali oleh sekelompok orang setelah kerajaan tersebut mengalami kejatuhan. Atau bisa jadi dibawa oleh sekelompok orang tatkala kerajaan Majapahit sedang jaya. Dugaan ini dilandasi atas adanya kemiripan antara gamelan Jawa yang ada sekarang dengan gamelan Gong Luwang yang ada di Bali saat ini. Bedanya hanya terletak pada jumlah instrument. Jumlah instrument gamelan Gong Luang di Bali lebih sedikit dibandingkan jumlah barungan gamelan Jawa sekarang. Selain itu, instrument yang bernama trompong dan riyong yang semula di Jawa dijajar empat – empat dalam satu tungguh, sekarang dijadikan 8 ( delapan ) dalam satu tungguhnya. Selanjutnya menurut Rembang bahwa apabila dilihat relief – relief gamelan yang terpampang pada dinding – dinding Candi Prambanan di Jawa Timur ternyata memiliki kemiripan dengan Gong Luang di Bali. Maka semakin kuatlah dugaan bahwa Gong Luang berasal dari Majapahit. Bukti lain yang dapat diterangkan bahwa dalam hal tembang atau lagu – lagu yang dipergunakan pada umumnya memakai iringan vokal berbahasa Jawa Kuno atau Jawa Tengahan. Sejalan dengan pendapat di atas, informan Made Karba ( Budana, 1984 : 9 ) mengatakan juga bahwa Gong Luang berasal dari kerajaan Majapahit. Sepanjang pengetahuannya, konon pada zaman dahulu para patih dan punggawa dari kerajaan Kalianget berhasil merampas seperangkat gamelan Gong Luang dari Jawa Timur ( Majapahit ) dan langsung dibawa ke Bali. Gamelan tersebut didemonstrasikan di Desa Sangsi, Desa Singapadu Kabupaten Gianyar. Selang beberapa hari kemudian, di desa Sangsi terjadi pertempuran antara raja Sangsi melawan raja Singapadu. Akibatnya gamelan itu ditinggal begitu saja di desa Sangsi. Selanjutnya gamelan tersebut dikuasai oleh sekelompok masyarakat ( warga Pasek ) sampai sekarang. Itulah sebabnya
Bali Tempo Dulu
355
gamelan Gong Luang tersebut dianggap sebagai milik keluarga Pasek ( Gong Luang druwe Pasek ). Sementara itu gamelan Gong Luang di desa Tangkas Kabupaten Klungkung yang dianggap sebagai Gong Luang yang paling tua usianya di Bali, memiliki sejarah yang menunjang asumsi di atas. Menurut Informan I Nyoman Gejer dari Desa Tangkas ini mengatakan bahwa ayahnya I Nyoman Digul dan Mangku Ranten pernah belajar sekaligus menjadi anggota Sekehe Gong Luang di Puri ( Kerajaan ) Klungkung. Ketika pecah perang Puputan Klungkung tahun 1908, barungan Gong Luang milik kerajaan tersebut dirampas oleh Belanda. Selanjutnya masyarakat tidak mengetahui dimana barungan Gong Luang itu berada. Sedangkan barungan Gong Luang yang ada di Tangkas sekarang adalah buatan baru beberapa tahun kemudian, dikerjakan di Desa Tihingan. Nada – nada Gong Luang yang baru ini dibuat semaksimal mungkin mendekati nada aslinya ( yang pernah ada di Puri ) atas jasa Mangku Ranten. Dari penjelasan informan di atas, rupa –rupanya barungan gamelan Gong Luang di Puri Klungkung tersebut berasal dari Majapahit mengingat hubungan antara kerajaan Klungkug dengan kerajaan Majapahit ketika itu sangatlah akrab. Lain lagi cerita yang diperoleh di Desa Kerobokan Kabupaten Badung. Keberadaan Gong Luang di desa ini memiliki sejarah yang cukup unik. Sekitar abad XVI ( Sudiana, 1982 : 16 ) tersebutlah 3 ( tiga ) kerajaan kecil di desa itu yakni : Kerajaan Lepang, Kerajaan Taulan dan Kerajaan Kelaci. Ketiga raja di masing – masing kerajaan itu bergelar I Gusti Ngurah. Diceritakan bahwa raja kerajaan Lepang dan Kelaci masih muda. Keduanya sedang berusaha mencari jodoh. Di pihak lain, raja kerajaan Taulan memiliki seorang putri, selain cantik, juga ramah dan penuh sopan santun, Tidaklah mengherankan apabila banyak raja disekitarnya yang.tertarik kepada putri ini semua berminat memperistrinya. Dalam waktu cukup lama, raja Taulan bingung menjatuhkan pilihan bagi putrinyan. Namun akhirnya raja Taulan menyetujui raja dari Kelaci. Raja – raja lain yang berminat tentu saja kecewa. Namun yang paling kecewa adalah raja kerajaan Lepang. Pada suatu hari, raja Lepang secara diam – diam memasuki kerajaan Taulan dan akhirnya berhasil menculik Sang Putri. Berita hilangnya Sang Putri segera tersebar. Raja Kelaci yang telah resmi dijodohkan menjadi sangat marah kepada calon
Bali Tempo Dulu
356
mertuanya dan tanpa piker membakar hangus kerajaan Taulan. Raja Lepang membalas dendam lalu menyerang dan membakar hangus kerajaan Kelaci. Raja Kelaci pun berbalik menyerang dan membakar kerajaan Lepang. Konon, dalam waktu yang tidak begitu lama, ketiga kerajaan itu hancur dan rata dengan tanah. Persada Kerobokan dibanjiri darah di mana – mana. Beberapa orang rakyat yang berhasil menyelamatkan diri ke desa lain. Sepanjang pelarian itu mereka terpaksa “Ngerobok’ ( mengarungi ) darah. Daerah itulah selanjutnya dinamai desa Kerobokan. Selang beberapa lama kemudian, seorang petani dari Desa Tektek Peguyangan yang tinggal di Kerobokan memacul tanah – tanah tegalan di bekas kerajaan Lepang. Dia sangat terkejut, karena pada tanah yang digalinya itu ditrmukan sebuah gong dan beberapa buah trompong. Gamelan tersebut diduga milik kerajaan Lepang. Seluruh benda itu dibawanya pulang dan diserahkan kepada I Dukuh Sakti. Selanjutnya, di tempat dimana ditemukannya gamelan itu didirikan sebuah Pura. Lama – lama, Pura ini digabung ke Pura Gunung Payung di Banjar Petingan – Kerobokan. Adapun sebuah Gong dan beberapa trompong yang ditemukan itu, oleh I Dukuh Sakti dan keluarganya yang lain di sekitar Kerobokan ditambahkan lagi dengan alat – alat kelengkapan yang lain dengan mendatangkan ahlinya dari Klungkung. Konon, Pande dari Klungkung tersebut terus menetap di desa Kerobokan. Demikianlah sejarah Gong Luang yang ada di desa Kerobokan. Sumber foto : www.flickr.com #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #BUDAYA#SENI#SEJARAH# #BALILAWAS#BALI#
Bali Tempo Dulu
357
SEJARAH KABUPATEN BANGLI DAN KERAJAANNYA BALI,INDONESIA Menurut Prasasti Pura Kehen kini tersimpan di Pura Kehen, diceritakan bahwa pada zaman silam didesa Bangli berkembang wabah penyakit yang disebut kegeringan yang menyebabkan banyak penduduk meninggal.Penduduk lainnya yang masih hidup dan sehat menjadi ketakutan setengah mati,sehinnga mereka berbondongbondong meninggalkan desa guna menghindari wabah tersebut. Akibatnya Desa Bangli menjadi kosong karena tidak ada seorangpun yang berani tinggal disana. Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang bertahta kala itu dengan segala upaya berusaha mengatasi wabah tersebut. Setelah keadaan pulih kembali sang raja yang kala itu bertahta pada tahun Caka 1126, tanggal 10 tahun Paro Terang,hari pasaran Maula,Kliwon,Chandra (senin), Wuku Klurut tepatnya tanggal 10 Mei 1204,memerintahkan kepada putra-putrinya yang bernama Dhana Dewi Ketu agar mengajak penduduk ke Desa Bangli guna bersama-sama membangun memperbaiki rumahnya masingmasing sekaligus menyelenggarakan upacara/
Bali Tempo Dulu
358
yadnya pada bulan Kasa, Karo, katiga, Kapat, Kalima, Kalima, Kanem, Kapitu, kaulu, Kasanga, Kadasa, Yjahstha dan Sadha. Disamping itu beliau memerintahkan kepada seluruh pendududk agar agar menambah keturunan di wilayah Pura Loka Serana di Desa Bangli dan mengijinkan membabat hutan untuk membuat sawah dan saluran air. Untuk itu pada setiap upacara besar penduduk yang ada di Desa Bangli harus sembahyang. Pada saat itu juga, tanggal 10 Mei 1204, Raja Idha Bhatara Guru Sri Adikunti Katana mengucapkan pemastu yaitu: “Barang siapa yang tidak tunduk dan melanggar perintah, semoga orang itu disambar petir tanpa hujan atau mendadak jatuh dari titian tanpa sebab, mata buta tanpa catok, setelah mati arwahnya disiksa oleh Yamabala, dilempar dari langit turun jatuh ke dalam api nerakaâ€Â. Bertitik tolak dari titah-titah Sang Raya yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1204, maka pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Bangli. SEJARAH KERAJAAN BANGLI : Tersebut empat para Hyang bersaudara bernama Sanghyang Angsanabra (Sekar Angsana) di Gelgel, Sanghyang Subali di Gunung Tolangkir, Sanghyang Aji Rembat di Pura Kentel Gumi. Sanghyang Mas Kuning di Giri Lor Abang. Sanghyang Subali pergi ke jurang Melangit menciptakan air suci yang harum (Tirta Harum) pada hari Selasa, Kliwon, Julungwangi, purnama bulan keempat. Kemudian Sanghyang Subali mendirikan taman yang indah di sebelah barat laut Tirta Arum, diberi nama Taman Bali. Kemudian Sanghyang Subali menyerahkan Tirta Arum dari Taman itu kepada Sanghyang Aji Rembat. Sanghyang Subali moksa, menghadap Sanghyang Wisnu Bhuana memohon seorang anak, diberi nama Sang Angga Tirta. Puri Susut Bangli Anak tersebut diletakkan pada saluran air (pancuran) di Tirta Arum. Sanghyang Aji Rembat memungut bayi tersebut. Dan menerima wahyu, (sabda angkasa) dari Sanghyang
Bali Tempo Dulu
359
Subali, bahwa anak itu adalah anugrah Dewa Wisnu bernama Angga Tirta dan kemudian agar diberi nama Sang Anom. Anak tersebut diupacarai oleh Sanghyang Aji Rembat dan berdiam di pura Agung Guliang. Tersebut bahwa Sanghyang Angsana di Gelgel mempunyai seorang putri bernama Dewa Ayu Mas Dalem . Sering terserang penyakit, kemudian sembuh berkat pengobatan Sanghyang Aji Rembat di asramnya. Terjadi hubungan gelap (seperti suami istri) antara Sang Anom dengan Dewa Ayu Mas Dalem. Dewa Ayu Mas Dalem diantar ke Gelgel, Segera Sanghyang Sekar Angsana mengusut putrinya karena menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sang putri mengaku terus terang berkat hubungannya dengan Sang Anom. Sanghyang Sekar Angsana mengirim pasukan untuk menyerang ke Pura Agung Guliang, menangkap Sang Anom namun gagal, Sang Anom tidak dijumpai. Sang Anom melarikan diri ke Alas Jarak Bang kemudian desa itu disebut Jagat Bali. Pengejaran terus dilakukan dan Sang Anom tertangkap dan dibawa ke Gelgel. Sanghyang Aji Rembat amat kecewa, melaporkan hal itu secara gaib kepada Sanghyang Sekar Angsana di Gelgel perihal riwayat Sang Anom serta pantas menjadi suami Dewa Ayu Mas Dalem. Pernikahan pun segera dilakukan. Kembali ke Pura Agung Guliang. Kemudian lahir seorang putra diberi nama Korda Anom Oka Den Bancingah. Korda Anom Oka Den Bancingah berputra I Dewa Garba Jata. I Dewa Garba Jata berputra I Dewa Ngurah Den Bancingah. I Dewa Ngurah Den Bancingah menikah dengan putri Dalem (?) di Dasar Gelgel berputra Cokorda Den Bancingah, Cokorda Den Bancingah berputra I Dewa Pamecutan; I Dewa Pulasari, I Dewa Batanwani, I Dewa Tangeb, I Dewa Mundung, I Dewa Beranjingan, I Dewa Auman. I Dewa Pamecutan
Bali Tempo Dulu
360
berputra I Dewa Gde Pering pindah ke Nyalian, I Dewa Kaler di Taman Bali, I Dewa Pindi pindah ke Gagahan, I Dewa Perasi di Gada, yang bungsu smile emoticon pingajeng) I Dewa Gde Ngurah bertahta di Taman Bali. I Dewa Gde Pering memohon pada ayahnya untuk membawa Keris "Ki Lobar" ke Nyalian sebagai tanda kebesaran. Permohonannya itu dapat dikabulkan, segera dibawa ke Nyalian. Nyalian dan Taman Bali pun aman dan sentosa. I Dewa Gde Ngurah penguasa Taman Bali mengirim utusan untuk membunuh I Gusti Paraupan di Bangli. Tetapi karena kesaktian I Gusti Paraupan, maka utusan itu menyampaikan niatnya terang-terangan. I Gusti Paraupan kembali memerintahkan untuk membunuh I Dewa Gde Ngurah, dengan catatan bila berhasil akan dijadikan penguasa di Taman Bali. Terjadi perkelahian antara I Dewa Gde Ngurah dengan kedua utusannya yang disuruh membunuh I Gusti Paraupan. Keduanya mati dan I Dewa Gde Ngurah menderita luka- luka. I Dewa Kaler putra I Dewa Gde Ngurah tidak membantunya. I Dewa Gde Ngurah dalam keadaan sakit karena luka-luka dirawat oleh para istri dan lainlainnya. Pada saat-saat demikian salah seorang istri I Dewa Gde Ngurah berbuat serong (abamia) dengan I Dewa Kaler. Diperintahkan untuk membunuh I Dewa Kaler dan istrinya yang serong itu. Namun tidak diijinkan oleh Dalem Gelgel. Hanya derajat kebangsawanannya diturunkan menjadi Pungakan, kemudian bernama Pungakan Bagus atau Pungakan Den Yeh, I Dewa Gde Ngurah meninggal dunia digantikan oleh putranya bernama I Dewa Gede Ngurah Anom Oka. Ia tahu sebab kematian ayahnya karena upaya I Gusti Paraupan. Maka bersama keluarga dan pemukapemuka serta rakyatnya mengadakan serangan balasan ke Bangli (I Gusti Paraupan). Terjadi
Bali Tempo Dulu
361
peperangan antara Bangli dengan Taman Bali yang dibantu oleh I Dewa Pering (=Nyalian). Bangli kalah, gugurnya I Gusti Paraupan, Ki Lurah Dawuh Waringin, Ki Lurah Dawuh Pamamoran, Maka I Dewa Perasi diangkat sebagai penguasa di Bangli dibantu/ didampingi oleh sanak keluarganya antara lain I Dewa Tangeb, I Dewa Batan Wani, I Dewa Pulasari. Lama kelamaan ganti berganti keturunan I Dewa Gde Perasi menjadi raja Bangli. Salah seorang raja bernama I Dewa Kompiang Perasi mempunyai seorang-anak wanita bernama Dewa Ayu Den Bancingah. Maka mengangkat menantu, putra raja Taman Bali, bernama I Dewa Gde Anom Rai. Raja Taman Bali I Dewa Gde Raka, kakak I Dewa Gede Anom Rai. Bangli dan Taman Bali aman sentosa. I Dewa Gde Anom Rai dengan Dewa Ayu Den Bancingah berputra seorang wanita bernama Dewa Ayu Comel. I Dewa Gede Anom Rai mengambil istri lagi, dan amat terikat hati beliau kepadanya. I Dewa Gde Oka/ cucu I Dewa Gde Tangkeban dinikahkan dengan I Dewa Ayu Comel, menggantikan tahta di Bangli. Tetapi pernah berbuat serong (seperti suami istri) dengan ibu mertuanya. I Dewa Gde Anom Rai berusaha untuk membunuh Dewa Ayu Den Bancingah, tetapi gagal. Dan terbalik Dewa Ayu Den Bancingah kini berusaha untuk membunuh I Dewa Gede Anom Rai, berbagai siasat dilakukan, dan seorang petugas/ algojo bernama Ida Waneng Pati (brahmana Kemenuh) berhasil masuk ke peraduannya, tetapi tidak mempan senjatanya. Hanya senjata Dewa Ayu Den Bancingah yang sanggup mencabut nyawa I Dewa Gede Anom Rai. Dukuh Suladri (turunan Sirarya Rembat) mempunyai anak dua orang wanita. Ki Dukuh kedatangan seorang lakilaki dari Majapahit anak Sri Aji Ayu Murub. Anak laki-laki tersebut diajak menetap di ashram Dukuh Suladri
Bali Tempo Dulu
362
dan dikawinkan dengan putrinya yang sulung, putri yang kedua menikah dengan raja/ Dalem di Gelgel. Dalem memberikan iparnya (menantu Dukuh Suladri di Padukuhan) rakyat dua ratus orang, pada akhirnya mengurusi rakyat lima ratus orang. Putri Ki Dukuh menjadi istri Dalem mempunyai seorang anak wanita bernama I Dewa Ayu Den Bancingah kemudian bersuamikan anak dari Kanca di Padukuhan beribu putrinya Ki Dukuh, Mereka menetap di Gelgel di sebelah utara istana. Kemudian pindah ke Nyalian membawa Ki Lobar, karena di Gelgel terjadi perebutan kekuasaan oleh Anglurah Agung. Terjadi perebutan kekuasaan di Gelgel oleh Anglurah Agung, Dalem mengungsi ke Guliang, dan wafat di sana. Seorang putranya pindah ke Singarsa dengan pengiring 150 orang, berkat kesetiaan Lurah Singarsa. Dari Singarsa (Sidemen) direncanakan perebutan kembali kerajaan Gelgel atas prakarsa bekas punggawa dari Gelgel (?) dengan Lurah Singarsa, minta bantuan ke Buleleng dan Badung, kemudian dilakukan pengepungan dari beberapa penjuru, terjadi peperangan sengit, Anglurah Agung mengalami kekalahan. I Dewa Den Bancingah dengan gelar I Dewa Gde Tangkeban tetap bertahta di Nyalian. Dalem (raja) Smarajaya meminta kembali keris Ki Lobar. I Dewa Gde Tangkeban, mengadakan perundingan dengan I Dewa Gde Rai (Bangli) dan I Dewa Gede Oka (Taman Bali) , dikuatkan dengan sumpah setia mereka tidak akan mengembalikan Ki Lobar dengan catatan berani menanggung segala resiko. Dalem Smarajaya tetap menuntut keris itu agar dikembalikan. Namun I Dewa Gde Tangkeban tetap pada pendiriannya semula. Akhirnya terjadi peperangan antara Smarawijaya melawan Nyalian Bangli dan Taman Bali tidak menepati
Bali Tempo Dulu
363
perjanjian. I Dewa Gde Tangkeban mengalami kekalahan, Sebelum meninggal sempat mengutuk raja Taman Bali dan Bangli, dan memotong ujung keris (Ki Lobar), merestui putranya yang bernama I Dewa Gde Oka agar menyerang Taman Bali dan Bangli. Lalu I Dewa Gde Oka mengamuk membabibuta di puri Nyalian. Banyak jatuh korban. Akhirnya ia juga meninggal berkat Ida Bagus Made Gelgel, namun Ida Bagus Made Gelgel meninggal pula. Ki Sedahan Kasub yang berperang dalam istana, mengumpulkan mayatmayat dan harta benda, kesudahannya juga mati terbunuh, Maka daerah I Dewa Gede Tangkeban mutlak ditaklukkan oleh Sri Aji Dalem di Smarajaya dengan bantuan Raja Karangasem dan Gianyar. Kutukan I Dewa Gde Tangkeban meresap di Bangli dan Tamanbali, akhirnya terjadi perang saudara. Raja Bangli terbunuh oleh istrinya sendiri, Dewa Ayu Den Bancingah bertahta di Bangli I Dewa Gde Tangkeban, putra I Dewa Gde Oka (yang mengamuk di Nyalian) cucu I Dewa Gede Tangkeban demikian turun temurun. Lama kelamaan terjadi perlawanan dan Bangli (I Dewa Gde Oka Tangkeban) dengan Tamanbali (I Dewa Gde Oka) dibantu oleh Gianyar (I Dewa Manggis) pasukan Gianyar dipimpin oleh Cokorda di Mas. Pasukan Tamanbali kalah dengan gugurnya Cokorda Mas dan I Dewa Gede Oka raja Tamanbali. Dilanjutkan dengan susunan sila- sila keturunan I Dewa Gde Tangkeban yang masih hidup di desa-desa. Raja Tamanbali yang telah wafat meninggalkan seorang putra bernama I Dewa Sukawati, dan bermukim di Tumuhun, berputra lima orang. Dilanjutkan dengan sila-sila keturunan. Riwayat I Dewa Putu Sekar, yang semula di Nusa Penida. Kemudian kembali menjadi kepercayaan raja Bangli (I Dewa Gede Tangkeban) ditempatkan di Susut, putra- putra yang di Nusa Penida I
Bali Tempo Dulu
364
Dewa Gde Dauh dan I Dewa Gde Dangin kemudian menjadi kepercayaan raja Tabanan ditempatkan di desa Jelijih, lama kelamaan mendirikan Pura Aseman. Selanjutnya mempunyai keturunan. kemudian dalam peperangan Tabanan melawan Badung dan Mengwi I Dewa Gde Dangin gugur karena pihak Tabanan kalah, putraputranya pindah ke Jembrana, I Dewa Gde Dauh tetap di Jelijih bersama anak-anaknya. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PERADAPAN#BUDAYA#WARISAN# #KERAJAANBALI#BALIAGE# #WIKIPEDIA#HINDU#
PEMENTASAN GONG KEBYAR DESA SEBATU GIANYAR,BALI INDONESIA 1976. Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuhtabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau
Bali Tempo Dulu
365
pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkok nya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10 . cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil . Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan. Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang , Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gedeyang kokoh atau Pelegonganyang melodis. Pola Gagineman Gender Wayang, pola Gegambangan dan pukulan Kaklenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar. Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Barungan ini diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915 ( Mhee, 1966 : 328 ). Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng ) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar . Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng ). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong. Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkandengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan , Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.
Bali Tempo Dulu
366
Lagu-lagunya seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentukbentuk (repertoire) tabuh klasik dengan merubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi. Matra tidak lagi selamanya ajeg, pola ritme ganjil muncul di beberapa bagian komposisi tabuh. Barungan Gong Kebyar bisa diklasifikasikan menjadi 3 : 1. Utama = Yang besar dan lengkap 2. Madya = Yang semi lengkap 3. Nista = Yang sederhana Barungan yang utama terdiri dari: Jumlah Satuan Instrumen 10 buah gangsa berbilah (terdiri dari 2 giying / ugal , 4 pemade , 4 kantilan) 2 buah jegogan berbilah 5 6 2 buah jublag atau calung berbilah 5 7 1 tungguh reyong berpencon 12 1 tungguh terompong berpecon 10 2 buah kendang besar (lanang dan wadon) yang dilengkapi dengan 2 buah kendang kecil 1 pangkon cengceng 1 buah kajar 2 buah gong besar (lanang dan wadon)
Bali Tempo Dulu
367
1 buah kemong (gong kecil) 1 buah babende (gong kecil bermoncong pipih) 1 buah kempli (semacam kajar) 1-3 buah suling bambu 1 buah rebab #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #MUSIKTRADISIONAL#BUDAYA# #SENI#ADAT#BALI#KLASIK#
Hari Saraswati Hari Saniscara Umanis Wuku Watugunung 1 Nopember 1980 merupakan hari dan wuku terakhir yang dikenal dengan hari Saraswati. Pada hari suci ini dihadapan Pasana Agung Pura Jagatnata Denpasar berkumpullah umat Hindu terutama hadir sebagian besar para pelajar yang melakukan persembahyangan sampai empat
Bali Tempo Dulu
368
gelombang karena ruangan tidak menampungnya. Mereka berkumpul untuk menghaturkan sembah bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, menghaturkan puja dan puji atas diturunkannya ilmu pengetahuan “Widya dan Dharma” kepada umat manusia ciptaannya yang patut dihayati dan diamalkan ilmu pengetahuannya dan pendidikan yang dianugerahkannya. Makna hari Suci Saraswati ini tidak jauh dari penghayatan umat manusia akan hakekat ilmu pengetahuan, sehingga pada hari Saraswati ini oleh Ketua Parisadha Hindu Dharma Pusat yang dalam sambutan tertulisnya dibacakan Ida Bagus Suanda Wesnawa SH mengantarkan Murdha Wahya Upanisada bertemakan “Saraswati Yadnya memberikan hikmah guna meningkatkan dedikasi manusia terhadap ilmu pengetahuan manusia dan pendidikan”. Ida Bagus Suanda Wesnawa SH selanjutnya menguraikan bahwa, tidak ada dan tidak mungkin suatu karya besar didunia ini tanpa dilandasi ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta dengan jutaan planet didalamnya adalah karena prabhawa sesuatu yang sakti yang berabiseka “Saraswati”. Kata Saraswati berarti sesuatu yang essensi, yang merupakan hakekat dari kebenaran dan kebijaksanaan. Saraswati berarti sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang mengalir tiada hentinya. Sang Hyang Widhi dalam prabawa sakti Saraswati ini adalah Hyang Hyangning Pangeweruh. Karena itu, oleh para Maharesi Beliau di “NIYASA” (dibayangkan), sebagai seorang Dewi yang amat cantik rupawan, “catur bhuja” (bertangan empat ), yang masing-masing memegang pustaka (keropak), kembang padra, genitri, wina atau damara, yakni sejenis gitar atau gendang kecil dibelakangnya bertengger seekor merak, dan biasanyan didekatnya nampak beberapa ekor angsa. Adapun arti terkandung dari perlambang tersebut adalah : Dewi : melambangkan bahwa ilmu pengetahuan adalah mulia, luhur dan menarik. Catur bhuja: melambangkan bahwa ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Sang Hyang Widhi tak terbatas, dan sangat kuasa. Pa : melambangkan bahwa hakekat ilmu pengetahuan adalah suci.
Bali Tempo Dulu
369
Pustaka : Melambangkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah sumber ilmu pengetahuan (weda). Genitri : melambangkan bahwa ilmu pengetahuan tiada hentinya, juga media konsentrasi kepada Sang Hyang Widhi. Wina : melambangkan bahwa ilmu pengetahuan adalah memiliki nilai seni (aestetika), sehingga mengasikan untuk mempelajarinya. Merak : Melambangkan bahwa mereka yang memiliki ilmu pengetahuan menampakkan kewibawaan/keagungan. Angsa : Melambangkan bahwa hakekat ilmu pengetahuan adalah bijaksana. Ilmu pengetahuan yang diperlambangkan, sebagai dedikasi dan bhakti umat manusia kepada Sang Hyang Widhi yang telah menurunkannya. Selanjutnya perlu ditinjau makna Saraswati Yadnya yang diselenggarakan itu. Memperhatikan upaka, upacara dan rangkaian hari-hari Saraswati yang kita rayakan, makna Saraswatipuja adalah sebagai berikut : Manusia diciptakan NYA, mempunyai suatu kelebihan yang luar biasa bila dibandingkan dengan makluk hidup lainnya. Dengan pikiran dan kemampuan yang dimiliki, umat sanggup dan wajib memanfaatkan wara nugraha pangwerung yang diturunkan Nya kepada umatnya untuk meningkatkan kehidupan rohani demi tercapainya cita-cita suci”moksa dan jagadhita” (kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin). Tentang kewajiban untuk meningkatkan kerokhanian umat, Seri Bhagawan Krsna, dalam Bhagawad-gita antara lain menyebutkan: seseorang harus meningkatkan dirinya dengan jalan memakai kemampuan pikirannya, jangan menurukan derajat dirinya karena Pikiran adalah teman bagi atma yang terikat, tetapi pikiran itupun musuhnya juga. Demikianlah Bhagawadgita menekankan bahwa dengan kemampuan pikiran, dalam hal ini adalah meningkatkan pendidikan, mengejar ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan akan merupakan teman yang baik untuk mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik dan pahala dari ilmu pengetahuan yang memberikan hikmah dalam kehidupan sehari-hari yang harus dicari,
Bali Tempo Dulu
370
ditimba seumur hidup (long life educstion) harus diamalkan untuk kemanusiaan. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #ILMUPENGETAHUAN#SEJARAH# #DENPASAR#BALI#UPACARAHINDU#
OBJEK WISATA KUTA BADUNG,BALI INDONESIA. Objek wisata di Kuta Bali memang sangat terkenal hingga ke kancah internasional. Selain dikenal karena keindahan pantai dengan pasir putihnya, panorama matahari tenggelam serta deburan ombaknya yang menjadi surga bagi peselancar dunia menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara untuk mengunjungi kawasan ini. Kuta Bali terletak di selatan Pulau Bali, tepatnya di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pantai Kuta hanya berjarak 1,5 km dari Bandara Internasional Ngurah Rai Bali dan sekitar 12 km dari Denpasar sehingga bisa ditempuh 20 menit saja dari pusat kota Denpasar. Jika Anda ingin berwisata di Kuta Bali, salah satu tempat paling favorit adalah Pantai Kuta. Pantai Kuta merupakan pantai yang paling banyak dan ramai dikunjungi oleh wisatawan daripada Pantai Sanur. Pantai ini mempunyai panjang pantai sekitar 1500m. Untuk tiket masuk menuju Pantai Kuta tidak dikenakan biaya. Namun jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, maka harus membayar parkir sekitar Rp. 5000,- per kendaraan. Di daerah Kuta terdapat banyak sekali
Bali Tempo Dulu
371
restoran, tempat pemandian umum dan tempat untuk berjemur di bawah sinar matahari. Tak ketinggalan juga terdapat banyak pertokoan di sepanjang Jalan Kuta sehingga sangat memudahkan wisatawan jika hendak membeli oleh-oleh dari pulau yang bergelar Seribu Pura ini. Objek wisata di Kuta Bali juga menawarkan berbagai tempat hiburan seperti bar dan restoran yang terletak di sepanjang Pantai Kuta ketika menuju pantai Legian. Ocean Beach Club, Kamasutra, Rosovivo adalah beberapa club yang terkenal dan ramai yang berada di sepanjang Pantai Kuta. Foto tahun : 1986 #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#OBYEKWISATA# #PARIWISATABALI#PULAUDEWATA#
Bali Tempo Dulu
372
PEMAKAMAN PEJUANG "PUPUTAN MARGARANA" MARGARANA,TABANAN BALI,INDONESIA 1946 Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Dimana Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II , mengakibatkan kematian seluruh pasukan I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang sebagai salah-satu Puputan di era awal kemerdekaan serta mengakibatkan Belanda sukses mendirikan Negara Indonesia Timur Peristiwa : Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 20 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan " atau
Bali Tempo Dulu
373
perang habis-habisan di Desa Margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 November 1946 dikenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Sumber foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#ARSIPNASIONALRI# #BALI#NKRI#INDONESIA#
Ketut Bangbang Gde Rawi (1910-1989)
Bali Tempo Dulu
374
Perintis Kalender Bali Beliau lahir di Desa Celuk, Sukawati, Sabtu Pon Sinta 17 September 1910 Sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Jro Mangku Wayan Bangbang Mulat dan Jro Mangku Nyoman Rasmi. Tahun 1929, setelah tamat sekolah Goebernemen Negeri di Sukawati, dalam usia 19 tahun, Ketut Bangbang Gde Rawi sudah mulai tekun mempelajari ihwal wariga, adat, dan filsafat agama Hindu. Proses perburuan ilmu ini dilakukan dengan cara bertandang ke griya-griya, mencari lontar, menekuni wariga dan berdiskusi dengan peranda-peranda. Di samping menekuni ilmu wariga, Rawi juga tertarik pada bidang seni tari dan seni rupa, seperti memahat dan melukis, dilakukan sepanjang tahun 1930-an. Dekade ini, Ketut Bangbang Gde Rawi yang ulet bekerja juga pernah menjadi tukang jahit, jual-beli pakaian jadi, dan perhiasan emas. Awal 1940-an, sebelum Indonesia merdeka, beliau pernah menjadi perbekel di desa kelahirannya, Celuk. Saat itulah, Rawi yang mewarisi banyak pustaka lontar sering dimintai untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan upacara atau kegiatan adat lainnya. Lamakelamaan, bakat beliau di bidang menentukan hari baik untuk melakukan sesuatu (padewasaan) mulai tumbuh dan tersiar di kalangan masyarakat luas sehingga beliau didesak oleh para tokoh adat dan agama seKabupaten Gianyar untuk menyusun kalender. Desakan
Bali Tempo Dulu
375
itu ditolak dengan rasa rendah hati. Namun, dalam rapat-rapat sulinggih Bali Lombok antara tahun 1948-1949, muncullah keputusan untuk memberikan kepercayaan kepada beliau untuk membuat kalender Bali. Tampaknya keputusan ini sulit beliau tolak. Setahun kemudian, atas dorongan Ida Pedanda Made Kemenuh , Ketua Paruman Pandita BaliLombok, Rawi mulai menyusun kalender. Kalender hasil karya beliau yang pertama dicetak penerbit Pustaka Balimas, salah satu penerbit besar di Bali saat itu. Tahun 1954, beliau dilantik menjadi anggota DPRD Bali berkat keahliannya di bidang adat dan agama. Banyak intelektual Bali mencoba menyusun kalender, tetapi sampai tahun 1980-an, praktis kalender Ketut Bangbang Gde Rawi yang populer dan banyak dijadikan pegangan oleh masyarakat. Selain karena isinya yang diyakini ketepatannya, yang khas dalam kalendernya adalah pemasangan foto diri yang mengenakan dasi dan kacamata. Mengapa bukan foto yang mengenakan destar? Tak jelas, tetapi foto berdasi itu adalah potret beliau sebagai anggota DPRD Propinsi Bali. Semula foto itu dipasang di kalender sebagai tanda pengenal semata, tetapi lama-lama menjadi merk dagang (trade mark). Kalender beliau tampil khas, pinggirannnya dihiasi dengan pepatran ukiran dedaunan, di atasnya tercetak gambar swastika simbol agama Hindu. Menurut Jro Mangku Nyoman Bambang Bayu Rahayu, cucu Ketut
Bali Tempo Dulu
376
Bangbang Gde Rawi yang kini menjadi penerus penyusunan kalender, bentuk, bingkai, ilustrasi, susunan hari, potret diri dan nama penyusun kalender itu sudah dipatenkan sejak April 2002. Ini berarti model kalender beliau tidak boleh dijiplak. Meski demikian, kalender Bali lain yang muncul belakangan mau tak mau mengikuti pola kalender Ketut Bangbang Gde Rawi meski tidak persis sama. Kecemerlangan Rawi di bidang adat, wariga, dan agama Hindu mendapat pengakuan dari Institut Hindu Dharma (IHD, kini Unhi). Buktinya, tahun 1972, beliau ditunjuk menjadi dosen untuk mata kuliah "wariga" di IHD. Tahun 1976, beliau juga mengabdikan diri di Parisadha Hindhu Dharma Pusat yang berkedudukan di Denpasar sebagai anggota komisi penelitian. Selain membuat kalender dan mengajar, Rawi juga menerbitkan beberapa buku, seperti Kunci Wariga (dua jilid, 1967) dan Buku Suci Prama Tatwa Suksma Agama Hindu Bali (1962). Ketut Bambang Gde Rawi meninggal 18 April 1989 dengan mewariskan kecerdasan yang monumental, yakni pengetahuan tentang cara menyusun kalender Bali. Sejak kepergiannya, penyusunan kalender diteruskan oleh putranya, Made Bambang Suartha . Tugas ini dikerjakan sekitar delapan tahun, tepatnya hingga Made Bambang Suartha meninggal 10 April 1997. Warisan ilmu menyusun kalender itu kemudian menurun pada Jro Mangku Nyoman Bambang
Bali Tempo Dulu
377
Bayu Rahayu, cucu Ketut Bangbang Gde Rawi. Sampai sekarang kalender Ketut Bangbang Gde Rawi tetap hadir di tengah-tengah masyarakat. Di bawah potret Ketut Bangbang Gde Rawi tertera tulisan "Disusun oleh Ketut Bangbang Gde Rawi (alm) dan Putra-putranya". Bagi masyarakat Bali di Bali, dan mereka yang ada di daerah transmigran, termasuk yang menetap di luar negeri, kalender Bali sudah menjadi kebutuhan. Dengan menggantung kalender Bali di rumah, mereka dengan mudah bisa mengetahui hari khusus agama Hindu seperti purnama tilem, Galungan Kuningan, Nyepi dan sebagainya. Belakangan sejumlah ahli penyusun kalender Bali yang lain selain "dinasti Ketut Bangbang Gde Rawi", juga bermunculan dan mereka berhasil membuat kalender yang diterima publik. Perkembangan penyusunan kalender Bali ini tentu tak bisa dipisahkan dari jasa Bambang Gde Rawi, sang perintis. Usaha Rawi dan penyusun kalender Bali lainnya besar jasanya kepada masyarakat dalam usaha menjaga kearifan lokal Bali. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#BUDAYABALI# #ARSIP#PULAUDEWATA#TOKOH#
Bali Tempo Dulu
378
Maestro Lukis I Gusti Nyoman Lempad Tidak susah mencari kediaman pelukis I Gusti Nyoman Lempad. Anda hanya berjalan sepanjang 500 m ke arah Timur Puri Ubud dan akan melihat papan tandanya. Siapapun yang anda tanya, pastilah tahu di mana rumahnya. Ia telah menjadi bagian dari seni lukis Bali. Ia adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering untuk generasi seni berikut. Sejarah dan pengembangan seni lukis Bali tidak bisa dipisahkan darinya. Tidak diketahui dengan pasti kapan ia dilahirkan, tetapi banyak sumber mengatakan anak ketiga dari empat bersaudara ini dilahirkan tahun 1862, dan telah menikah ketika gunung Krakatau meletus ditahun 1883. Menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 April 1978, diusia 116
Bali Tempo Dulu
379
tahun. Ia tidak bisa membaca, karena ia tidak berekolah secara formal, namun ia bisa menulis namanya di atas lukisannya dengan hanya mencontoh. Walaupun bapaknya adalah seorang pengukir, namun ia tidak memiliki ketrampilan ayahnya. Tetapi dari seorang Brahmin yang hidup di Puri, ia mendapatkan kemampuannnya. Brahmin ini menguasai berbagai bidang, seperti ; perancang bangunan, pemahat, pelukis dan ahli dalam peraturan adat. Darinya ia belajar segalanya tentang tarian, agama dan masyarakat. Ketika berusia 40 tahun, ia membantu Walter Spies membangun rumahnya di Campuhan, Ubud. Suatu ketika, Spies melihat coretan lukisannya diatas secarik kertas, ia lalu mengagumi dan membayarnya dengan kemeja, kain dll. Ia lalu menasehatnya untuk terus melukis apapun yang ada dikepalanya dan tetap fokus pada gaya melukisnyaMenurutnya bertemu dengan Spies adalah suatu karunia, sebab ia telah diajari teknik melukis Ia akhirnya berkonsentrasi pada lukisan wayang, dengan mengambil tema Ramayana dan Mahabharata. Gayanya yang mengesankan mudah untuk ingat, seperti memahat gaya Tjokot. Ia selalu menggunakan cat hitam di atas kertas putih yang menghasilkan bentuk yang bagus, gaib dan kuat dan nampak tak terputuskan. Banyak orang yang ridak mengetahui apa yang ada dalam pikiran Lempad ketika ia menorehkan kuas diatas kertas. Ia juga aktif dalam pembentukan Pita Maha, suatu organisasi seni yang didirikan oleh Tjokorde Gde Agung Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet di tahun 1935. Organisasi ini telah dipimpin oleh Spies dan sejumlah seniman Bali sampai tahun 1950-an. Pita Maha memperkenalkan gaya lukisan barat kepada seniman muda Bali dan memperkenalkan karya mereka kepada pengunjung dari luar negeri. Melauli pameran didalam maupun diluar negeri. Ciri khasnya dengan jelas terlihat dalam setiap dari karyanya walaupun sederhana namun mengandung suatu identitas unik. Karya-karyanya mempengaruhi para pelukis asal bali sampai hari ini.Tidak ada seorangpun yang mampu menirunya kecuali cucu lelaki nya Gusti Nyoman Sudara, seorang guru SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) diUbud,di mana ia mengajar Studi Bali klasik. Mendapatkan penghargaan dari pemerintah RI pada HUT RI ke-25, berupa medali emas dan uang Rp. 100.000,-yang berikan kepada cucunya untuk
Bali Tempo Dulu
380
membeli sepeda motor. Penghargaan lain adalah Hadiah Udayana [(1975), dan penghargaan Dharma Kusuma (1982). Ia beserta karyakaryanya juga didokumentasikan dalam film oleh Lome Blair dan Yohanes Darling yang bekerja sama dengan televisi Australia. Film Dokumenternya itu menerima penghargaan sebagai film dokumenterterbaik dalam festival film Asia yang ke-26 di Yogyakarta (1980). Sementara itu Sanggar Dewata Indonesia menamakan penghargaannnya dengan nama Lempad Prize, yang diberikan kepada seseorang yang concern atas kesenian Bali. Karya lukisannya dapat kita lihat dirumahnya, Puri Ubud, Neka Musium Ubud, Pusat Seni Denpasar, Tropen Musium (Amsterdam), Rijkmuseum voor Volkenkunde (Leiden), Musium fur Volkenkunda Basel (Jerman). Nama : I Gusti Nyoman Lempad Lahir : Bendahulu, Bali, 1862 Wafat : 25 April 1978 Pencapaian : Anugerah Seni dalam bidang seni lukis dari Pemerintah RI (1970), Hadiah Udayana (1975), Penghargaan Dharma Kusuma (1982), Pemberian nama Lempad Award oleh Sanggar Dewata Indonesia #BALITEMPOEDULOE#TOKOH# #MAESTROBALI#SEJARAH# #SENI#BUDAYA#BALI# #WIKIPEDIA#SENIMANBALI#
Bali Tempo Dulu
381
SUASANA LALU LINTAS DI KOTA DENPASAR DI TAHUN 1989,DENGAN MOTOR HONDA C 70 DAN HELM TOPI. Pada tahun 1966, Honda akhirnya merefresh kembali motor andalannya, mengingat penjualannya yang melejit bak kacang goreng, tentu refreshment menjadi perlu. Nah mulai dari sini tidak hanya body yang diupdate namun juga kubikasinya. Keluarlah Honda C50, C70 dan C90 [C90 menggunakan kopling]. Julukan yang sering kita kenal adalah “pispot” karena identitas joknya yang mirip pispot dan terpisah dengan belakang . Selain jok berbentuk pispot, identitas cub gen 2 ini juga terdapat di posisi headlamp yang menyatu dengan setang. Cub generasi kedua akhirnya berhenti di tahun 1973. Honda Super Cub generasi 3 Untuk generasi ketiga ini hanya dijual tipe 70
Bali Tempo Dulu
382
cc saja dan masih wira wiri sampai sekarang. Sekilas memang tidak ada perubahan dengan generasi 2. Perubahan yang paling terlihat adalah kunci kontak yang berada di dekat setang, Jok boncenger dan rider menjadi satu dan setangnya kini berbentuk V. Di generasi ini dikenal dengan nama “pitung” karena dalam bahasa jawa pitung puluh artinya tujuh puluh sesuai kubikasi cub ini. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #TRANSPORTASI#SEJARAH# #KOTADENPASAR#BALILAWAS#
Bali Tempo Dulu
383
DESA ADAT ABIAN TUWUNG Kec : KEDIRI TABANAN,BALI INDONESIA TAHUN : 1912 - 2012 Semoga tulisan ini bisa mengabadikan potret wilayah di Abiantuwung, Tabanan Sebelumnya terima kasih buat rekan Gusti Ketut Ardana dan Ayodya Wikananda,
Bali Tempo Dulu
384
yang telah berusaha mengumpulkan data berupa foto dan keterangannya dari berbagai sumber. Jika Anda datang dari Denpasar menuju Tabanan, Anda akan melewati sebuah desa yang bernama Abiantuwung sebelum Anda masuk di wilayah kota Kediri. Pohon beringin besar yang berada disebelah utara jalan raya, memberikan tanda bahwa Anda telah berada di wilayah Kabupaten Tabanan. Disebelah pohon beringin tersebut ada sebuah Pura Desa yang berada tepat dipinggir jalan. Perhatikanlah gambar . Seratus tahun yang lalu Pura Desa tersebut terlihat sudah berdiri kokoh. Tidak bisa dibayangkan tahun berapa Pura ini dibangun pertama kali. Namun berbagai perubahan pun telah tampak selama 100 tahun kemudian. Lihatlah jalan raya (selatan pura). Seratus tahun yang lalu jalan ini masih berupa jalan tanah yang sempit, dan pura pun berada sedikit lebih tinggi dari jalan. Seratus tahun kemudian, Jalan raya sudah tampak lebih besar dan telah menggunakan aspal. Pohon – pohon rindang dibelakang Pura pun terlihat telah menghilang, seiring berkembangnya pemukiman disana, dan Pura pun kini sejajar dengan jalan raya. Jika kita masuk agak ke utara, kita akan melihat sebuah wantilan tempat warga biasanya mengadakan parum / musyawarah, dan berbagai kegiatan lainnya misalnya latihan pencak silat. Jika melihat foto , pepohonan rindang masih mudah kita temui pada tahun 1912. Wantilan yang dulunya hanya beratapkan jerami, kini sudah berubah lebih baik. Namun pada struktur bangunan masih terlihat sama. Wantilan tersebut masih menggunakan dua atap bertingkat namun dengan jarak yang berbeda. Sepertinya areal parum pada wantilan tersebut pun masih terlihat sama, yaitu agak sedikit kebawah dari jalan utama. Komposisi pura puseh pun tampak masih sama seperti aslinya, walupun mengalami perubahan pada motif ukiran pada kori agung. Namun ciri khas ukiran dan beberapa patung masih terlihat berada pada posisi yang semula di tahun 1912. Beberapa perubahan yang kita lihat diatas adalah sebagian kecil perubahan yang terjadi di bumi ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa dijadikan sebagai catatan dan nostagia kita kemasa lalu melihat begitu besar dan megahnya peradaban penduduk Bali. Peradaban – peradaban tersebut bukannya tidak mengenal perubah. Perubahan terjadi disana sini, namun tanpa mengurangi estetika budaya yang telah menyatu dengan adat istiadat
Bali Tempo Dulu
385
penduduk sekitar. Artikel by : wahya biantara #BALITEMPOEDULOE#ARSIP# #BUDAYA#SEJARAH#BALI# #WIKIPEDIA#PERADABAN#
FOTO BERWARNA PERTAMA DI BALI DARI @ FRAN KLIN PRICE KNOTT / NATIONAL GEOGRAFHIC SOCIETY/CORBIS TAHUN : 1928 Fotografi (dari bahasa Inggris : photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya . Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera . Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat. Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas
Bali Tempo Dulu
386
cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa). Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter. Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA ( ISO Speed ), diafragma ( Aperture), dan kecepatan rana ( speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan ( exposure ). Di era fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula digunakan berkembang menjadi Digital ISO. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#SENI# #BUDAYA#ARSIP#BALI#FOTO#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
387
TRADISI MEPEED DI BALI FOTO TAHUN 1920an Mepeed adalah tradisi seperti parade yang diikuti oleh para perempuan Bali yang mengusung Gebogan yaitu rangkaian buah dan aneka jajanan tradisional Bali yang dihiasi dengan aneka janur setinggi kurang lebih 1 meter yang dibawa secara berjalan kaki dari Banjar menuju ke Pura Kahyangan Desa. Upacara Mepeed merupakan upacara persembahan untuk Tuhan masyarakat Hindu Bali bernama Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upacara Mepeed merupakan salah satu rangkaian kegiatan upacara di pura yang bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat Hindu Bali kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghanturkan persembahan. Piodalan biasanya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali jadi jika ingin melihat upacara ini pastikan jadwalnya karena biasanya upacara ini berbeda di setiap desa. Acara iring-iringan dimulai dari jam 3 sore, semua masyarakat desa memenuhi jalan untuk mengikuti upacara ini. Yang menarik bukan cuma perempuan dewasa yang ikut parade tersebut tetapi anak-anak kecil desa juga ikut di dalam barisan. Iring-iringan perempuan Bali yang membawa persembahan berupa buahbuahan dijunjung di atas kepala, berbaris dengan memakai kostume kebaya dan berkain sarung serta ikat pinggang khas Bali. Memang cantik dan penuh disiplin. Dikawal oleh para lelaki yang berkeris di pinggang berbaju putih,berkain putih dan berdestar putih. Istilah 'Mepeed' bermakna berjalan beriringan, karena warga tidak boleh datang secara perorangan. Adapun prosesi 'Mepeed' dibagi menjadi dua gelombang yaitu tempek kauh, yakni warga yang bermukim di barat desa, dan tempek kanginan, warga di timur desa. Jika ada sesajen yang dipersembahkan dalam keadaan kotor atau ada yang patah, akan dikembalikan ke warga yang membawa, karena dinilai tidak ikhlas dalam melakukan persembahan, tidak sampai disitu ada sanksi adat berupa denda dengan menyerahkan uang kepeng sebanyak 1.800 buah.
Bali Tempo Dulu
388
#BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #BUDAYA#AGAMAHINDU#TRADISI# #YADNYA#WIKIPEDIA#ADAT#
DENPASAR MARKETS BALI,INDONESIA Pasar Badung merupakan slah satu pasar tradisional di Bali, khususnya di Denpasar yang menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh kalangan turis domestik maupun asing. Di pasar ini berbagai macam kebutuhan dijual baik itu kebutuhan pokok masyarakat Denpasar, makanan tradisional yang berciri
Bali Tempo Dulu
389
khas, barang-barang seni khas Bali dan lain sebagainya. Ketika berkunjung ke Bali, Anda sebaiknya menyempatkan diri untuk berkunjung kesini. Pasar ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan, dimana disamping mereka bisa menyaksikan proses jual beli secara langsung dari pedagang kepada pembeli yang masih dilakukan secara tradisional karena adanya proses tawar-menawar, juga adanya tenaga suun (membawa barang dagangan yang sudah dibeli), mereka juga bisa sekalian menikmati aneka sajian kuliner tradisional dan membeli aneka barang kerajinan yang menjadi ciri khas Bali untuk dijadikan oleh-oleh. Pasar Badung ini menjual aneka macam barang seperti aneka bahan makanan, kerajinan tangan, tekstil, maupun untuk keperluan upacara adat/ keagamaan. Diseberangnya terdapat Pasar Kumbasari yang juga menyediakan aneka macam kebutuhan sehari-hari di lantai dasarnya, kemudian di lantai atasnya terdapat art shop yang menjual aneka jenis kerajinan yang terbuat dari kayu sampai bahan tenunan danm lukisan serta cinderamata lainnya. Pasar Badung memiliki waktu operasional setiap hari dimana buka dari pagi dini hari hingga larut malam. Bahkan dapat dibilang bahwa pasar ini tidak pernah sepi akan pengunjung karena waktu operasional hampir mencapai 24 jam sehari. Dimalam harinya kawasan kedua pasar tersebut kerap digelar pasar malam atau pasar senggol yang menjual berbagai barang dengan harga yang relatif miring atau terjangkau. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#PERKOTAAN# #WISATABELANJA#BALI# #BUDAYA#ADAT#TRADISI#
Bali Tempo Dulu
390
ISTANA PRESIDEN TAMPAKSIRING GIANYAR,BALI INDONESIA 1966 Istana Tampaksiring adalah istana yang dibangun setelah Indonesia merdeka, yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar , Bali. Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu "tampak" dan "siring" , yang masing-masing bermakna telapak dan miring . Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Akibat
Bali Tempo Dulu
391
dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya tidak mengenali jejak telapak kakinya. Namun, ia dapat juga tertangkap oleh para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun itu yang kemudian bernama "Tirta Empul" ("air suci"). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu terkenal dengan nama Tampaksiring. Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara. Arsiteknya adalah R.M. Soedarsono dan istana ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200 m dan Wisma Yudhistira seluas 2.000 m dan Ruang Serbaguna. Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali dibangun yaitu pada tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan selesai yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PEMERINTAHAN#BUDAYA# #BANGUNANBERSEJARAH# #ISTANAPRESIDEN#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
392
INDONESIA. Bali. Village of Batubulan. Barong dance. 1949. The "Kris dancers" in a trance, they are doing the self-stabbing with kris, ngurek. From Magnum Photos. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #BUDAYA#SENI#WIKIPEDIA# #BALI#ADATBUDAYA#ARSIP#
PO. Bali Indah - bis legenda jalur SurabayaDenpasar dan Jogja-Denpasar era 80 an, gile lintasannya... Aceh sampai Bali (* dalam sejarah
Bali Tempo Dulu
393
trayek bis ini hanya mentok sampai Jakarta Denpasar) PO Continental (atau yang oleh sebagian bismania sering disingkat PO. Conti) adalah salah satu PO tertua yang pernah melayani jalur Jakarta–Surabaya, Jakarta-Malang, JakartaSingaraja, Jakarta-Denpasar, serta JakartaPalembang mulai akhir dasawarsa 70an atau awal 80 an. Semula, PO. Continental nama lengkapnya adalah Continental Megah Express, nama pemiliknya adalah Pak Teddy (CMIIW) dengan kantor pusat berada di jalan AM. Sangaji dan Pool berada di Pondok Bambu. Pemilik PO ini adalah penggemar berat burung. Karena itulah, dahulu di semua armada PO. Conti selalu tertulis nama burung, mulai dari Pinguin, Kaca-Kaca, Condor, Colibri, Taon-Taon, dsb. Saat masih dipegang pemilik lama, PO. Continental memiliki ciri khas warna dasar Putih bergaris jingga, merah, dan kuning. Pada awalnya, PO ini armadanya adalah MB LP 911 dan OF 1113 bermesin depan. Saat Mercedez-Benz mulai mengenalkan produk mesin belakang, PO. Continental sempat membeli beberapa unit berkaroseri MBM, namun rupanya, si empunya PO lebih suka memelihara bis mesin depan, sehingga kebanyakan armadanya Mitsubishi BM dengan karoseri bawaan Mitsubishi rakitan TriJaya Union dengan AC Gantung di bagian belakang. Selain Mitsubishi, PO. Continental juga memiliki banyak Nissan CK (seri mesin depan sebelum Nissan CB), serta Hino AK Silver Wing seri pertama. PO. Continental sampai punya pelanggan fanatik karena servis yang sangat bagus dan kebersihan bisnya. PO. Continental memiliki konsep yang hampir sama seperti PO. Raya, yakni disaat banyak bis-bis malam memasang TV / Audio di dalam bis, PO. Continental tidak mau memasangnya karena dapat mengganggu konsentrasi sopir dan dapat mengganggu waktu tidur penumpang. Cara ini cukup berhasil menarik penumpang, karena tanpa adanya pemasangan 'atribut' tersebut, biaya perjalanan pun bisa ditekan seminimal mungkin. Memasuki tahun 90an, PO. Continental mulai mengalami kemunduran. Disaat yang sama, PT. Mitra Rajasa, perusahaan pengangkutan semen Tiga Roda sedang berada di puncak kejayaannya dan ingin melakukan ekspansi besar-besaran di bisnis transportasi. Saat itulah, akhirnya Continental Megah Express diakuisisi oleh PT. Mitra Rajasa. Pemilik baru PO. Continental kemudian mengganti livery menjadi Siluet Harimau yang sedang 'balapan'. Disaat yang
Bali Tempo Dulu
394
bersamaan, PT. Mitra Rajasa juga menjadi operator bis kota jurusan Ragunan–Tanah Abang via Antasari dengan armada Hino AK karoseri Rahayu Sentosa Euroliner dengan pool di Depok, sedangkan PO. Continental dipindahkan ke Pondok Kelapa. Untuk armada PO. Continental, pemilik baru menggunakan armada MB King dan Hino RG, sedangkan untuk trayek baru Blitar– Merak memakai Hino AK eks bis kota PT. Mitra Rajasa. Menjelang keruntuhannya, PO. Continental hanya mengandalkan trayek Jakarta– Klaten dengan bis-bis Hino AK3HR karoserie Rahayu Sentosa Euroliner eks bis kota Mitra Rajasa dengan kelas AC Ekonomi seat 2-3. Padahal, PO. Continental pada saat-saat jayanya hanya melayani kelas Executive. Meskipun hanya kelas Executive, penumpang selalu dimanjakan dengan fasilitas servis makan sekelas Super Executive di RM. Taman Sari Pamanukan ataupun di RM. Taman Sari Tuban dengan dua kali servis makan, makan pagi dan makan malam. Sejak awal, PO. Continental sangat disiplin. Bis malam executive-nya pun sudah menerapkan kebijakan anti sarkawi (penumpang liar) sejak mulai operasi hingga menjelang keruntuhannya. #BALITEMPOEDULOE#TRANSPORTASI# #SEJARAH#WIKIPEDIA#BALIINDAH# #ARSIP#KENANGAN#BALILAWAS#
PEMANDANGAN SAWAH DAN ALAM BALI DI TAHUN 1930an DENGAN SISTIM SAWAH BER UNDAG-UNDAG , (TERASERING) TERRACE & SISTIM PENGAIRAN TRADISIONAL BALI (SUBAK) Indonesia boleh berbangga memiliki Bali sebagai salah satu pulau yang telah ‘mendunia’. Selain
Bali Tempo Dulu
395
pesona wisata alam dan budaya yang sangat indah dan menarik, Bali yang dikenal sebagai pulau Dewata pun berhasil membuktikan bahwa mereka mampu memadukan wisata dan budaya yang dimiliki sebagai sebuah warisan yang diakui di mata dunia. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Subak Bali (Bali Culture Landscape) sebagai situs Warisan Dunia oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan dan Budaya atau United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pada Sidang ke-36 di St.Petersburg – Rusia, hari Jumat (29/6). Subak Bali adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah tradisional yang digunakan masyarakat Bali untuk bercocok tanam padi. Sistem Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi Dewi Sri yang merupakan dewi kemakmuran dan kesuburan. Sistem pengairan ini kemudian diatur oleh seorang pemuka adat yang juga merupakan seorang petani. Konon, Subak telah dianut selama ratusan tahun lamanya, namun dianggap tetap cocok untuk diterapkan di era modern ini, sebab sistem pengairan Subak identik dengan sikap kekeluargaan dan gotong royong masyarakat Bali. Bahkan, Subak pun membuat para petani bersikap adil dan bijaksana dalam pengairan sawah. Selain mengandung makna mendalam tentang kebudayaan Bali, keunikan Subak terletak pula pada tampilan kawasan Subak yang berundak-undak atau bertingkat-tingkat. Inilah yang menjadi perpaduan antara wisata alam dan budaya sistem Subak Bali. UNESCO sendiri menilai, Subak sebagai sistem irigasi telah mampu mempertahankan budaya asli bahkan menjadi perekat sosial masyarakat Bali. Tentu pengesahan ini menjadi puncak kegembiraan masyarakat Bali dan sekitarnya, setelah 12 tahun memperjuangkan agar Subak menjadi salah satu budaya Indonesia yang diakui dunia. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Windu Nuryanti, mengaku senang sistem pengairan Subak dari masyarakat Bali telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (World Heritage). Windu pun sangat berterima kasih kepada negara-negara lain yang telah mendukung pengesahan Subak Bali. Menurut Windu, budaya Subak dianggap memiliki Outstanding Universal Values atau memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukkan bukti-buktinya sebagai kultur hidup serta diikuti oleh
Bali Tempo Dulu
396
masyarakat adat di Bali sampai saat ini. Tidak mengherankan jika pengesahan ini adalah peristiwa yang sangat bersejarah. Adanya usulan subak menjadi warisan budaya dunia ternyata telah mendongkrak kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara ke salah satu kawasan Subak, yakni kawasan terasering persawahan Desa Jatiluwih. Terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan berjarak sekitar dua jam dari Kuta, tempat ini memiliki luas lebih dari 400 hektar. Di tempat inilah, bisa didapati hamparan terasering persawahan yang hijau, udara yang bersih, suasana yang tenang dan melihat langsung kehidupan para petani dari dekat. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, Wayan Adnyana mengatakan, sejak mulai diusulkan menjadi warisan budaya dunia pada tahun 2002, kawasan Jatiluwih telah banyak dikunjungi wisatawan. Kawasan Jatiluwih rata-rata per harinya dikunjungi lebih dari seratus orang wisatawan mancanegara yang sebagian besar merupakan wisatawan Eropa. Jumlah ini belum termasuk rombongan wisatawan domestik dan pelajar yang mengunjungi Jatiluwih. Tren peningkatan kunjungan wisatawan tahun 2012 pun dinilai cukup signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja hal ini juga disebabkan karena rasa penasaran sebagian wisatawan terhadap keindahan kawasan terasering pertanian yang berundak-undak. Ceking Terrace adalah daerah yang menggunakan sistim pertanian terasering atau bentuk area persawahan yang berundak-undak pada daerah miring atau lereng bukit. Ceking Terrace ini terletak di Desa Ceking, Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Dengan adanya sistim terasering ini menjadikan Desa Ceking memiliki keunikan tersendiri. Keindahan panorama Ceking Terrace yang menawan ditambah lagi dengan udaranya yang sejuk dan nyaman membuat anda akan betah berlama-lama untuk menikmati suasana alamnya. Di sini anda akan melihat petani Bali membajak serta memelihara sawah mereka di daerah perbukitan yang miring lengkap dengan sistim irigasinya yang terus mengalirkan airnya dari pegunungan. Ceking Terrace ini telah menjadi salah satu objek wisata alam yang saat ini ramai dikunjungi oleh wisatawan setiap hari. Ceking Terrace diperkirakan sudah ada sejak abad ke-9 dan tetap dipertahankan dan dijaga keasrinya oleh para petani desa ini sampai
Bali Tempo Dulu
397
sekarang. Dengan dijadikannya Ceking Terrace sebagai salah satu objek wisata di Bali maka masyarakat Desa Ceking bersama-sama dengan aparat desa setempat menyediakan fasilitasfasilitas bagi wisatawan yang datang, seperti banyaknya toko-toko souvenir, café dan rumah makan disepanjang jalan Desa Ceking ini. Selain itu banyak juga para pedagang asongan yang menawarkan asesoris khas Bali. Ceking Terrace berjarak 32 km dari Kota Denpasar dan dapat ditempuh dalam kira-kira 50 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Panorama sawah Ceking begitu indah dan alami membuat siapapun yang datang akan kesini akan mengagumi, jadi jangan sampai terlewatkan bila anda berkunjung ke Bali. Foto koleksi : KITLV LAIDEN #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #OBYEKWISATA#PERTANIAN# #ALAM#BUDAYA#AGRARIS# #BALILAWAS#ALAMBALI#SUBAK#
PARA WANITA BALI MEMBAWA HASIL KERAJINAN GERABAH KEPASAR UNTUK DI JUAL Foto : 13 Feb 1950 Pada era sekarang, mendengar nama gerabah ingatan kita pasti fokus kepada hal yang bernuansa tradisional dan barang kuna.
Bali Tempo Dulu
398
Pasalnya, gerabah era teknologi saat ini nyaris orang tidak lagi menggunakan sarana perabot rumah tangga karena dianggap kurang efektif dan efesien. Benar adanya, kecuali khusunya bagi umat Hindu di pulau Bali, penggunaan produk gerabah hampir tidak pernah diabaikan karena dalam melaksanakan ritual agama Hindu terutama Upacara Pitra Yadnya gerabah berwujud periuk wajib digunakan untuk tempat tirta penanjen, dan masih banyak lagi penggunaan gerabah dalam upacara agama/adat bagi umat Hindu di Bali. Bukan di Bali saja penggunaan gerabah untuk sarana upacara agama/adat, tetapi di banyak daerah di Nusantara penggunaan produk gerabah untuk keperluan kegiatan ritual upacara adat atau acara-acara tertentu karena diyakini memiliki simbol spiritual tertentu. Saat ini penggunaan gerabah sudah berkembang/ bergeser digunakan oleh masyarakat sebagai barang koleksi seni. Begitu besar fungsi gerabah dalam kehidupan manusia sejak jaman dulu hingga sekarang, tetapi kapan sejarah gerabah itu mulai dikenal manusia di dunia, nyaris tidak pernah orang mengetahui. Tulisan ini mencoba menelusuri sepintas bagaimana kilas balik keberadaan gerabah dari dimensi sejarah dan fungsi dasarnya di tengah-tengah masyarakat. Hal itu dirasakan penting sebagai bentuk apresiasi dari generasi sekarang yang telah menggunakan produk gerabah kepada orang-orang yang bejasa pada jaman dahulu dalam menciptakan teknik pembuatan produk gerabah dan berbagai jenis mode. Sejarah Gerabah Gerabah, suatu benda yang terbuat dari tanah liat dengan proses bembakaran/ pemansan dari api. Menurut data sejarah, gerabah atau juga dikenal nama tembikar mulai dikenal dan digunakan oleh manusia sekita akhir masa paleolitikum atau neolitikum, yaitu ketika manusia telah menetap dan melakukan kegitan pertanian atau hortikultura. Di luar Indonesia, gerabah tertua ditemukan sekitar tahun 6500 SM pada masyarakat Sumeria Kuna di lembah sungai eufrat, dan di mesir kuno sekitar tahun 4500SM. Gerabah diciptakan dan dikembangkan manusaia secara independen
Bali Tempo Dulu
399
dikalangan masyarakat benua barat maupun timur. Namun pada masyakat yang tidak mengenal atau menggunakan gerabah dalam kehidupan mereka misalnya penduduk Polenesia. Diperkirakan bahan baku untuk gerabah tidak ditemukan di daerah mereka (Polenesia). Penyelidikan arkeologis di Indonesia membuktikan bahwa benda–benda gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam. Bukti–bukti tersebut berasal dari Kendenglembu (Banyuwangi), Kelapa Dua (Bogor), Serpong (Tanggerang), Kalumgpang dan Minangaa Sipakka (Sulawesi Tengah), dan dari sekitar bekas danau Bandung. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, hasil ekskavasi juga ditemukan gerabah di situs Gunung Piring pada tahun 1976, terletak di Kampung Mertak, Desa Truwai, Kecamatan Pujut, Kabupaten lombok Tengah. Gerabah tersebut sebagian besar berupa periuk, kini disimpan sebagai koleksi di pusat penelitan Arkeologi Nasional Jakarta, Balai Arkeologi Denpasar, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan Musuum Negeri NTB (Prima, 1994:18). Benda-benda peninggalan tersebut mampu “berbicara” tentang keberadaan aktifitas sosial religius masyarakat penduduknya pada masa lampau. Fungsi Gerabah Berbagai jenis wujud fisik gerebah pernah di ciptakan oleh manusia, dari jenis yang dibuat secara tradisional (memakai tangan) sampai modern (memakai alat putar). Diperkirakan gerabah yang dibuat pada mulanya berkisar pada fungsi alat-alat rumah tangga (dapur) dan aktifitas religi. Kini pada jaman serba teknologi, gerabah yang diperkirakan akan tergeser dan tersungkur, justru sebaliknya. Seperti kita ketahui bersama, tampak berkembang “hidup” berdampingan di masyarakat digunakan sebagai media seni (interior) dan ekonomi (cindramata). Banyak jenis gerabah masih dikenal masyarakat sampai saat ini, diantaranya berupa priuk, tempayan, tungku, kukusan, celengan, pot atau pas bunga, kendi, gentong dan bentuk benda seni ainnya. Tidak memungkiri, memang sekarang hampir semua masyarakat di kota maupun desa tidak lagi menggunakan peralatan rumah tangga (dapur) dari alat gerabah, dan kini telah diganti dengan bahan aluminium/
Bali Tempo Dulu
400
plastik yang dirasakan lebih praktis dan efesien. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan relgi, gerabah tidak begitu mudah dapat digantikan dengan benda lain. Misalnya, Kendi Gerabah masih digunakan berbagai pihak dalam upacara peresmian/pengukuhan yang sering kita lihat di siaran televisi, tentunya dalam rangka memohon keselamatan. Seperti pada upacara pemberian nama Tetuko untuk pesawat terbang Nusantara di Bandung th. 1984, Presiden Soeharto memecahkan Kendi Grabah yang berisi air wangi di hidung pesawat. Secara umum termasuk pada masyarakat Lombok, priuk gerabah telah dipergunakan sebagai wadah bekal kubur. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh hasil ekskavasi Gunung Piring th. 1976. Seperti halnya bagi umat Hindu di Bali dan masyarakat di Lombok (Nusa Tenggara Barat) tempat pernah penulis bertugas, sebagian ada warga masyarakatnya masih sampai sekarang menganut kepercayaan (religi) yakni menggunakan periuk gerabah kecil sebagai wadah ari-ari bayi dari seorang ibu yang baru melahirkan. Priuk beserta ari-arinya ditanam di depan rumah tempat tinggal sang orangtua bayi. Umat Hindu di Bali saat upacara Pitra Yadnya (ngaben) , menggunakan puluhan periuk ukuran kecil yang tidak dapat digantikan dengan wadah lainya sebagai wadah tirta penanjen dari sang Sulinggih yang dipersembahkan kepada sang pitra yang diupacarai. Di Jawa Barat pada upacara perkawinan mempelai wanita membasuhi kaki mempelai pria dengan air kendi sesudah upacara pemecahan telur. Kemudian kendi tersebut diberikan kepada memplai pria untuk dipecahkan. Upacara ini melambangkan kesetiaan istri pada suami, dan untuk menghilangkan rasa saling syakwasangka. Masih banyak lagi jenis gerabah yang memiliki fungsi dan aktifitas religi. Sebagai komuditi seni dan ekonomi, gerabah produk dari berbagai daerah di Nusantara tampaknya masih mampu hidup di sepanjang zaman karena mengalami modifikasi dalam berbagai bentuk seperti desain bentuk, mutu bahan, teknik pembuatan dan ilustrasi seni yang sangat
Bali Tempo Dulu
401
menarik sesuai dengan selera pasar. Tentunya modifikasi tersebut berkat pembinaan terarah dan insensif dari berbagai pihak. Di Indonesia bagian Timur, misalnya gerabah produk desa Banyu Mulek, Lombok Barat, sebagai salah satu Desa dari beberapa desa di NTB memproduksi berbagai bentuk gerabah, telah terkenal di mancanegara sampai saai ini. Sentra-sentra gerabah di NTB meskipun masih berupa industri rumah tangga, tetapi sudah mampu memberi nilai tambah sosial ekonomi bagi perajin. Di Pulau Jawa (Yogyakarta) tepatnya Desa Kasongan terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya. Sedangkan di Bali, produk gerabah dikenal banyak dihasilkan oleh masyarakat desa Pejaten, (Tabanan), Kapal (Badung), dan juga wilayah timur Karangasem tepatnya di Desa Jasri. Perajin gerabah di Jasri lebih banyak fokus pada periuk untuk keperluan upacara agama. Gerabah Sebagai Koleksi Museum Usaha-usaha penyelamatan gerabah hasil proses budaya manusia sepanjang zaman oleh masyarakat dilakukan dengan cara menyimpan di rumah tempat tinggalnya sendiri sebagai koleksi benda warisan leluhurnya. Cara lain lagi, menyerahkan langsung ke Museum terdekat dengan sistem imbalan ganti rugi, hibah dan titip. Penyelamatan lain dari masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap benda-benda seni budaya dengan cara mengumpulkan mengoleksi berbagai jenis wujud gerabah sekaligus sebagai penyalur hobi/seni. Hampir semua museum umum/ daerah (negeri) di Indonesia memiliki berbagai jenis koleksi gerabah sesuai dengan fungsinya yang diperoleh dengan cara ekskavasi (penggalian) dan seperti sistem yang terurai di atas. Sebagai koleksi Museum gerabah terklasifikasikan kedalam jenis etnografi, arkeolog dan prasejarah. Begitu tinggi nilai gerabah, penulis beberapa tahun lalu pernah menemui seorang mahasiswa fakultas teknik sipil dari salahsatu perguruan tinggi di Denpasar, Bali sedang mengadakan penelitian di Museum Nusa Tenggara Barat untuk penyusunan skripsi tentang pembuatan museum gerabah. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#
Bali Tempo Dulu
402
#KERAJINAN#WANITABALI# #BUDAYA#KESENIAN#ADAT#
SEJARAH, SENI DAN BUDAYA UKIRAN BALI Bali sudah didiami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka . Peninggalan kebudayaan ukiran bali itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang , terdiri dari arca -arca batu berbentuk manusia , binatang , menhir , dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa . Bukti-bukti peradapan pada masa 2500-1000 tahun sebelum Masehi itu tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestic, tetapi juga bagi para ahli yang acapkali dating melakukan penelitian ilmiah . Dalam terbuka , situs -situs megalit itu sebagian besar terdapat di Pulau Bali Keberadaan benda benda megalit itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos di kalangan masyarakat Bali. MAKNA UKIRAN BALI : Produk seni ukir khas Bali, mempunyai motif tersendiri yang khas. Berdasarkan penelitian, motif ukiran Bali merupakan peninggalan jaman kerajaan dahulu kala, yang sudah memperoleh mengalami kemajuan di bidang seni.
Bali Tempo Dulu
403
Motif ukiran Bali, dikenali dengan beberapa ciri khas, yang terbagi antara ciri umum dan khusus. Ciri-ciri umum: ukiran Bali mempunyai motif daun, bunga dan buah yang berbentuk cembung dan cekung. Hal ini dapat dikatakan bahwa motif Bali adalah motif campuran yang mempunyai perpaduan bentuk antara cekung dan cembung. Adapun ciri khusus ukiran Bali antara lain : (1) angkup pada motif Bali, seperti halnya pada motif lainnya, mempunyai bentuk yang berikal pada ujungnya. (2) bentuk sunggar ini tumbuh dari ujung ikal benangan pada daun pokok. (3) imbar pada motif Bali seperti yang terdapat pada motif Pejajaran dan motif Majapahit, dengan bentuk yang khas pula. Simbar berada di depan pangkal daun pokok mengikuti bentuk alurnya, sehingga dapat membentuk keserasian secara keseluruhan pada motif ini. (4) benangan pada motif ini bentuknya khusus atau khas. Benangannya berbentuk cembung dan miring sebagian. Benangan ini tumbuh melingkar sampai pada ujung ikal dan mempunyai pecahan garis yang menjalar pada daun pokok dan pecahan cawen yang terdapat pada ukiran daun patran, sehingga dapat menambah keserasian dan indahnya bentuk ukiran. Keunikan dan kekhasan ukiran Bali, beberapa tahun terakhir mampu memikat pembeli, baik dari lokal maupun asing sehingga masyarakat pun tidak sedikit yang terjun sebagai pengukir sebagai lahan mengais penghasilan. Tidak mengherankan jika kemudian beberapa sentra ukiran Bali dengan mudah dapat dijumpai. Sebut saja, Desa Mas – Ubud, Desa Tangep – Mengwi, Desa Peken Belayu, Marga – Tabanan dan sederet desa lainnya, yang kondang sebagai sentra ukiran khas Bali. Bahan baku pembuatan adalah menggunakan kayu jati, moja gaung dan cempaka. Namun karena tidak bisa mendapatkan kayu dari Bali, biasanya pelaku bisnis ukiran memesan bahan dari Kalimantan, Sumba atau Flores. Selain kayu, seni ukir Bali juga
Bali Tempo Dulu
404
mulai menggunakan bahan batu padas. Perkembangan seni ukir yang menggunakan bahan batu padas itu berawal dari pembangunan tempat suci, karena hampir semua tembok dan bangunan suci (pelinggih) dihiasi dengan ukiran batu padas. Kerajinan seni ukir dari bahan batu padas pada awalnya mengambil tema-tema tradisional, namun dalam beberapa tahun belakangan mulai bersentuhan dengan kebudayaan luar, namun tetap mencerminkan tradisi adat, budaya dan agama Hindu di Pulau Dewata. Menggeluti ukiran dengan bahan batu padas, dilakukan masyarakat di Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Mereka membuat patung, baik sebagai cendera mata maupun benda-benda yang disakralkan untuk kelengkapan pura. Bahan baku batu padas itu diambil dari sungai terdekat, karena hampir sebagian besar sungai-sungai yang bertebing terjal di Bali mengandung batu padas yang memberikan berkah untuk kehidupan dan kesejahteraan yang layak bagi masyarakat. Tebing yang terjal di tepi sungai itu mengandung batu padas dengan aneka warna, akan menjadi bahan bangunan maupun dekorasinya. Batu padas yang berwarna merah digali di tepi jurang di Desa Tajun, Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng. Batu padas merah hasil galian masyarakat Desa Tajun, sempat populer, karena pemasarannya merambah hingga luar Bali, yakni mencapai Solo, Surabaya dan Bandung. Sedang batu padas warna ungu, dikandung pada hampir semua tebing sungai di Bali. Masyarakat menggali batu padas itu dengan menggunakan alat-alat tradisional dan langsung membentuk sesuai ukuran yang diinginkan. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #KESENIAN#BUDAYA#CIRIKHASBALI# #SENIMANBALI#WARISAN#BALI#
Bali Tempo Dulu
405
Tradisi Unik Layang-Layang Bali Berbicara mengenai Layang-layang Bali berarti kita berbicara tentang tradisi serta hasil budaya bali yang sangat komplek, Mulai dari daya imajinasi untuk melahirkan ide hingga timbulnya bentuk disebut sebagai Layang-layang. Bermain Layang-layang atau dengan istilah Bali disebut dengan Melayangan bermula dari sebuah permainan masyarakat yang sangat sederhana, Tradisi Melayangan telah terjadi secara turun temurun yang diwariskan oleh masyarakat Bali. Layang-layang dan juga tradisi Melayangan sangat erat kaitannya dengan cerita rare angon, Dipercaya bahwa Dewa Siwa dalam manivestasinya sebagai Rare angon merupakan Dewa Layang-layang.Pada musim layangan atau setelah panen di sawah Rare angon turun ke Bumi diiringi dngen tiupan seruling bertanda untuk memanggil sang angin. Rare Angon berarti anak gembala, setelah musim panen para petani terutama anak gembala mempunyai waktu senggang yang mereka gunakan untuk senang-senang. Sambil menjaga ternaknya salah satu permainan yang sering mereka lakukan adalah bermain Layang-layang. Bagi Masyarakat Bali layang-layang mempunyai nilai kesungguhan yang menonjol dan bukan sebagai benda
Bali Tempo Dulu
406
kosong tanpa nilai, Masyarakat Bali percaya bahwa Layang-layang mempunyai badan, Tulang dan Roh. Salah satu ivent yang diadakan rutin setiap tahun dan sangat antusias diikiuti oleh masyarakat Bali adalah Pestival Layang-layang. festival Layang-layang bali pertama kali dilakukan pada tahun 1979 bertempat di Subak Tanjung Bungkak Denpasar. Setelah hampir seperempat Abad festival Layang-layang masih mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Layang-layang masyarakat Bali sangat dikagumi diluar Negeri Selain karena bentuknya yang khas,layang-layang Bali juga dikenal dengan proses ritual yang menyertainya. sampai saat ini, Masyarakat Bali mengenal dua jenis layang-layang yaitu Layang-layang Tradisional dan Layang-layang Kreasi baru. Selain layang-layang tradisional dan kreasi masyarakat juga mengenal Layang-layang aduan.Layang-layang Tradisional merupakan layang-layang yang sudah mentradisi di Masyarakat Bali. Untuk sebuah layang-layang yang akan diikiutkan dalam sebuah festival, Dalam proses pembuatannya biasanya melibatkan sampia semua Masyarakat dalam sebuah Banjar. Bentuk layang-layang Tradisional telah dikenal sejak jaman dulu mulai dari bentuk yang paling sederhana sampai ahirnya berkembang seperti sekarang. Kerangka layang-layang yang terbuat dari bambu yang dihaluskan serta kain yang digunakan sebagai penutup sangat warna-warni, secara umum warna yang sering dijumpai adalah warna Hitam, Merah dan Putih. layang-layang Bebean, Pecukan dan janggan merupakan tiga jenis Layang-layang Tradisiolan Bali yang sudah sangat dikenal. Layang-layang Be-bean berasal dari kata Be yang berarti Ikan, layanglayang Be-bean mengambil bentuk seekor Ikan besar yang bersudut 10. hidup Ikan selalu tergantung pada air,sinar,tanah,Udara dan angkasa yang kesemuanya itu merupakan unsur Maha Butha.
Bali Tempo Dulu
407
Layang-layang Pecukan, nama Pecukan diambil karena layang-layang ini mempunyai 4 sudut dan bentuknya menekuk yang dalam bahasa Bali adalah Pecuk. Pecukan ini dapat dibandingkan dengan Ulu Chandra yaitu Windu, Merupakan Wijaksana simbol Hyang Widhi Wasa. Layang-layang janggan merupakan asosiasi dari Pecukan yang memilik i ekor panjang seperti Naga. Ekor yang panjang diasosiasikan sebagai Ananta Bhoga simbol dari Dewa kwmakmuran. Ketiga layang-layang tersebut setiap pementasannya selalu diberi Guangan yang akan mengeluarkan suara bila di terpa angin. Layang-layang Kreasi baru banyak mengambil bentu binatang dan inspirasi Bali berbentuk barong. Bagi masyarakat Bali bermain Layanglayang adalah sebuah keakraban dan menjalin kebersamaan. #BALITEMPOEDULOE#LAYANG-LAYANG# #TRADISI#BUDAYA#SENI#TRADISI#BALI#
Bali Tempo Dulu
408
ISTANA TAMAN SUKASADA UJUNG KARANGASEM,BALI INDONESIA Taman Ujung atau Taman Sukasada, adalah sebuatan taman di banjar Ujung, desa Tumbu, kecamatan Karangasem, Karangasem , Bali. Taman ini terletak sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Amlapura . Pada masa Hindia
Bali Tempo Dulu
409
Belanda tempat dikenal dengan nama Waterpaleis atau "istana air". "SEJARAH" Taman Ujung Karangasem dibangun oleh raja Karangasem I Gusti Bagus Jelantik, yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem. Pada awalnya luasnya hampir 400 hektare, tetapi sekarang hanya tinggal sekitar 10 hektare. Kebanyakan tanah tersebut sudah dibagikan kepada masyarakat pada masa land reform. Taman ini adalah milik pribadi keluarga Puri Karangasem. Namun pengunjung umum diperbolehkan mengunjunginya. Taman Ujung dibangun tahun 1909 atas prakarsa Anak Agung Anglurah. Arsiteknya adalah seorang Belanda bernama van Den Hentz dan seorang Cina bernama Loto Ang. Pembangunan ini juga melibatkan seorang undagi (arsitek adat Bali). Taman Ujung sebenarnya adalah pengembangan dari kolam Dirah yang telah dibangun tahun 1901. Pembangunan Taman Ujung selesai tahun 1921. Tahun 1937, Taman Ujung Karangasem diresmikan dengan sebuah prasasti marmer yang ditulisi naskah dalam aksara Latin dan Bali dan dua bahasa, Melayu dan Bali. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BUDAYA# #KERAJAANBALI#BALI#SENI#ARSIP# #WIKIPEDIA#BALILAWAS#
Bali Tempo Dulu
410
PENJUAL TUAK DIBALI TAHUN 1930AN Tuak adalah sejenis minuman beralkohol Nusantara yang merupakan hasil fermentasi dari nira, beras, atau bahan minuman/buah yang mengandung gula. Tuak adalah produk minuman yang mengandung alkohol. Bahan baku yang biasa dipakai adalah: beras atau cairan yang diambil dari tanaman seperti nira pohon enau atau nipah, atau legen dari pohon siwalan atau tal, atau sumber lain. Kadar alkohol tuak di pasaran berbeda-beda bergantung daerah pembuatnya. Tuak jenis arak yang dibuat di pulau Bali yang dikenal juga dengan nama brem bali, dikenal mengandung alkohol yang kadarnya cukup tinggi. Beberapa tempat di Pulau Madura dahulu dikenal sebagai sebagai penghasil tuak, namun orang Madura tidak mempunyai kebiasaan minum yang kuat. Saat ini dapat dikatakan sangat sedikit orang Madura yang minum tuak atau arak.[butuh rujukan] Masyarakat Tapanuli (Sumatera Utara), khususnya masyarakat Batak menganggap bahwa tuak berkhasiat menyehatkan badan karena mengandung efek menghangatkan tubuh.[butuh rujukan] Hal yang sama dijumpai pada masyarakat suku Toraja di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang
Bali Tempo Dulu
411
memiliki kebiasaan minum tuak. Selain untuk menghangatkan badan, tuak dari pohon enau di Toraja telah menjadi minuman pada ritual-ritual adat. Sehingga setiap pelaksanaan ritual adat sudah pasti tersedia tuak. #BALITEMPOEDULOE #SEJARAH # BUDAYABALI # #MINUMANKERAS#ALKOHOL#MINUMANTRADISIONAL# #MASYARAKATBALI#WIKIPEDIA #TROPENMUSEUM #
TARIAN LEGONG BALI Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh . Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. [1] Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari
Bali Tempo Dulu
412
Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap. [2] Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi , ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson , pangawak , pengecet, dan pakaad. Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi. [ butuh rujukan ] Beberapa tari legong Ayu Bulantrisna Djelantik menarikan Legong Garuda Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista). [ butuh rujukan ] Legong Lasem (Kraton) Legong ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem . Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan . Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan
Bali Tempo Dulu
413
burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha. Legong Jobog Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana , tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak ada hasilnya. Legong Legod Bawa Tari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa . Legong Kuntul Legong ini menceritakan beberapa ekor burung kuntul yang asyik bercengkerama. Legong Smaradahana Legong Sudarsana Mengambil cerita semacam Calonarang. Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #TROPENMUSEUM#ARSIP# #SENI#BUDAYA#BALI#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
414
PURA BESAKIH KARANGASEM , BALI INDONESIA 1935 - 2014 Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem , Bali, Indonesia . Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan
Bali Tempo Dulu
415
pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti , yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995. "Filosofi" Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis. Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsurunsur kebudayaan yang meliputi: 1. Sistem pengetahuan, 2. Peralatan hidup dan teknologi, 3. Organisasi sosial kemasyarakatan, 4. Mata pencaharian hidup, 5. Sistem bahasa, 6. Religi dan upacara, dan 7. Kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #HINDU#BUDAYA#PURA#BALI# #WIKIPEDIA#ARSIP#ADATBALI#
Bali Tempo Dulu
416
PERTUNJUKAN TARI JANGER DI BALI TAHUN 1930an Tari Janger adalah salah satu tari Bali yang terpopuler. Diciptakan pada tahun 1930an, Janger adalah tari pergaulan muda mudi Bali. Tari ini dibawakan oleh 10 penari yang berpasangan, yaitu kelompok putri ( janger) dan putra (kecak ).Mereka menari sambil menyanyikan Lagu Janger secara bersahutsahutan. Gerakan Janger sederhana namun ceria dan bersemangat. Musik yang menjadi latar belakang tari adalah Gamelan Batel atau Tetamburan dan gender wayang . Sejarah dan perkembangan Merupakan jenis tari kreasi yang lebih baru, Janger diadaptasikan dari aktivitas para petani yang menghibur diri karena lelah bekerja. Lirik lagunya diadaptasikan dari nyanyian Sanghyang, sebuah tarian ritual. Jika dikategorikan dalam Tari Bali, Janger termasuk Tari Balih-balihan, tarian yang memeriahkan upacara maupun untuk hiburan. Karena populernya, pada tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kegiatan berbagai partai politik, tak terkecuali PKI . Kelompok-kelompok tari Janger mendukung kampanye pemutusan hubungan RI dengan Malaysia pada tahun 1963. Presiden Soekarno memberi banyak perhatian kepada tari ini, salah satunya dengan membawa
Bali Tempo Dulu
417
penari-penari Janger pentas di Istana Tampaksiring. Setelah peristiwa G30S/PKI terjadi, banyak seniman janger yang dianggap berpihak kepada PKI dibunuh dan dikucilkan. Masa ini merupakan periode kejatuhan Tari Janger. Baru pada tahun 1970-an, popularitasnya kembali naik. Pada perkembangannya, kini Janger juga dapat dibawakan oleh orang dewasa. Terdapat kelompok-kelompok tari yang anggotanya wanita dewasa yang berperan sebagai janger maupun kecak. Janger juga dibawakan dalam bentuk drama tari yang disebut Janger Berkisah . Kisah-kisah yang dimainkan antara lain Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan sebagainya. Selama puluhan tahun, Janger telah diajarkan kepada para pemuda pemudi di Bali. Lama kelamaan, tari ini menjadi ajang kenalan pemuda antar desa satu dengan desa lain. Karena berkembang di masing-masing komunitas, muncul varian yang dibumbui dengan gaya tersendiri. Pemerintah daerah Bali ikut mempopulerkan Janger sebagai tari pembuka pada macammacam kegiatan dan acara, misalnya program Keluarga Berencana, pemilihan umum, kesehatan untuk lansia, sampai kampanye anti narkoba. Selain dari gerak tarian, lagu Janger kemungkinan lebih populer di luar Bali. Lagu Janger banyak dikenal karena sering dinyanyikan oleh tim Indonesia dalam kejuaraan paduan suara internasional. Varian Janger dari Tabanan. Pada Janger dari daerah ini, muncul Dag, tokoh berpakaian tentara Belanda yang tugasnya memberi abaaba kepada para penari. Janger dari Desa Metra, Bangli, dipentaskan dengan ritual kesurupan pada akhir pertunjukkannya. Janger jenis ini dinamakan Janger Maborbor , para penarinya yang kesurupan menari sambil menginjak bara api. Janger dari Desa Sibang, Badung , dinamakan juga Janger Gong karena diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar . Janger dari Desa Bulian, Buleleng , khusus dipentaskan oleh warga desa yang mengalami tunawicara. Terdapat sekaa (organisasi pemuda) yang khusus mementaskan Janger, antara lain Janger Kedaton (Denpasar ) dan Janger
Bali Tempo Dulu
418
Singapadu (Gianyar). Foto by collectie P.F. valois #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BUDAYA# #SENI#ARSIP#WIKIPEDIA#AJEGBALI#
MERIAM TEMBAK CEPAT PASUKAN EKSPEDISI MELITER BELANDA DI TEMPATKAN DI JALAN BESAR MENUJU DENPASAR UNTUK MENEMBAKI PURI( ISTANA) DENPASAR & PEMECUTAN 20/9/1906. PERANG Puputan Badung meletus pada 20 September 1906 silam di Denpasar. Peristiwa ini menyisakan catatan tersendiri bagi perjalanan panjang perjuangan rakyat Bali melawan penjajah. Perang Puputan Badung merupakan akumulasi puncak letupan dari sederetan peristiwa pergesekan antara pihak penjajah Belanda dengan rakyat Badung sebelumnya. Paparan rentetan peristiwa hari-hari menjelang perang Puputan Badung berikut ini diambil dari berbagai sumber. Pada 15 September 1906 terjadi pertempuran seru antara rakyat Bali melawan pasukan Belanda. Di kedua pihak jatuh korban. Laskar Badung di Renon memasang ranjau dari bambu untuk membendung dan menghambat serangan pasukan kavaleri Belanda yang menunggang kuda. Pertahanan di desa-desa yang mengelilingi 3 puri — Puri Kesiman, Puri Denpasar, dan Puri Pemecutan — diperkuat termasuk desa-desa di Renon, Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer, Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Rost Van Toningen bergerak meninggalkan benteng di Pabean Sanur pada 16 September 1906 pagi. Pasukan itu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju Tanjung Bungkak, yang
Bali Tempo Dulu
419
terdiri atas batalyon 18 dan 20, sedangkan batalyon 11 bergerak di sebelah kiri. Kedatangan batalyon 18 dan 20 di Desa Panjer disambut serangan gencar dari sekitar 2.000 anggota Laskar Badung. Oleh karena matahari hampir terbenam, dengan cepat pasukan Belanda meninggalkan medan pertempuran untuk kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang anggota laskar Kerajaan Badung dari Kesiman menyerang Pabean Sanur, namun tembakan yang dilepaskan angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur laskar kerajaan. Mengarah ke Puri Perang sehari pada 16 September di sekitar Panjer dan Sesetan itu sangat melelahkan pasukan Belanda, sehingga keesokan harinya pasukan Belanda lebih banyak tinggal di benteng untuk membahas taktik penyerangan terhadap kota dan ketiga puri Kerajaan Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang ditempatkan dekat benteng mulai ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam dari kapal perang. Tembakan-tembakan meriam itu diarahkan ke puri sekitar kota dan Puri Kesiman. Taktik untuk menyerang dan mengepung ibu kota dari sebelah utara atau dari belakang Puri Denpasar yang didahului dengan penyerangan ke Puri Kesiman, baru diputuskan pada 18 September 1906. Keputusan itu baru diambil dengan pasti setelah ada laporan dari mata-mata Belanda bahwa I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang ikut menyerang benteng Belanda di Sanur telah terbunuh. Pada 18 September 1906, sejak pagi hingga petang, meriam penembak yang terletak di sebelah kanan benteng mengarah ke kota. Puluhan kali tembakan meriam diarahkan ke Puri Pemecutan dan Denpasar, beberapa mengenai puri dan lebih banyak jatuh di luarnya. Sekitar 1.500 orang laskar yang tidak gentar menghadapi gertakan Belanda melalui tembakan meriam, kemudian memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman, di dekat kebun kelapa antara tepi sungai Ayung dan Desa Tangtu. Pembangkit Semangat Pada 19 September pagi, pasukan Belanda sudah siap menyerang Kesiman. Gerakan pasukan Belanda dimulai dari pantai menuju ke utara. Sementara itu laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu menyerang Rost Van Toningen pada batalyon 20 sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan Laskar
Bali Tempo Dulu
420
Badung dapat dihentikan oleh 2 peleton batalyon 11 yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman dengan kekuatan 3 batalyon yaitu batalyon 11 mengambil posisi sayap kanan, batalyon 20 di tengah dan batalyon 18 di posisi sayap kiri di sebelah timur sungai Ayung. Pada pukul 10.45 kedudukan laskar Kerajaan Badung sudah mendekati jarak 350 meter dari pasukan Belanda yang paling depan, sehingga asap mesiu yang mengepul sekitar kedudukan Laskar Badung menjadi sasaran tembak pasukan Belanda. Laskar Badung maju dengan maksud melawan dengan sangat berani dan heroik, tetapi tembakan gencar mengenai mereka dan roboh. Kelemahan pada pihak Laskar Badung terletak pada teknik persenjataan. Meskipun menggunakan meriam kecil dengan tembakan yang sangat lambat, namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang. Namun akhirnya, Puri Kesiman dapat diduduki oleh tiga batalyon pasukan Belanda pada pukul 15.30. Jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman mempermudah pasukan Belanda ke sebelah barat untuk menuduki Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Membakar Puri Pasukan Belanda lalu bergerak ke arah Barat meninggalkan Puri Kesiman menuju tepi barat Desa Sumerta pada 20 September 1906, pukul 07.00. Bersamaan dengan gerakan pasukan, tembakan meriam dari benteng Belanda di Sanur diarahkan ke Puri Denpasar dan Pemecutan, puluhan peluru meledak di dalam dan sekitar puri sehingga menimbulkan kerusakan. Laskar Badung di tepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar. Pada pukul 08.00 pasukan Belanda dibagi tiga bagian. Batalyon 18 berbaris ke sebelah kiri menuju Desa Kayumas, batalyon 11 ke sebelah kanan jalan (utara) menuju batas timur Denpasar. Ketika batalyon 18 berangkat ke selatan, sejumlah anggota Laskar Badung yang mempertahankan Kayumas menembak dengan meriam tetapi dibalas pasukan Belanda. Pada pukul 09.00, Raja I Gusti Ngurah Denpasar mendengar bahwa pasukan Belanda telah masuk ke Kota Denpasar. Di Puri Denpasar dimana telah berkumpul keluarga dan pengikut setia raja sekitar 250 orang, raja memerintahkan untuk membakar Puri Denpasar. Pada pukul 10.30, batalyon 11 pasukan Belanda telah menduduki perempatan pada jalan
Bali Tempo Dulu
421
Denpasar menuju Tangguntiti. Pada pukul 11.00, raja dan rombongannya keluar puri. Pria dan wanita semuanya membawa senjata keris dan tombak. Anak-anak juga demikian, ada pula bayi yang digendong. Rombongan ini bergerak ke sebelah utara melalui pintu gerbang puri dan keluar jalan besar, sampai di persimpangan jalan Jero Belaluan, Jalan Veteran Denpasar kini. Rombongan meneruskan perjalanan sampai jarak sekitar 300 meter dari batalyon 11. Peristiwa Mengerikan Rombongan tersebut diperintahkan berhenti oleh Belanda melalui penerjemah. Namun, meski berulang kali diperingatkan, rombongan tetap maju hingga semakin dekat, sampai jarak 100 meter, 80 sampai 70 langkah dari kedudukan pasukan Belanda. Pada jarak terakhir, raja dan rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh. Saat itulah tembakan salvo dilepaskan sehingga beberapa orang jatuh tersungkur termasuk raja I Gusti Nguah Gde Denpasar. Raja pun tewas. Pengikut yang masih hidup melanjutkan penyerbuannya dan tembakan gencar pasukan Belanda diteruskan. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang mengerikan bagi orang Belanda. Dengan cara melawan pantang menyerah, berperang sampai titik darah penghabiskan, raja dan rakyat Badung rela dan ikhlas membela kebenaran. Tewas membela kebenaran adalah sorga bagi mereka dan keyakinan ini tetap teguh mereka pegang sampai saat terakhir, sesuai dengan ajaran agama Hindu. ——————————————————————————————————————— ————————————— Puri Diserang, dari Denpasar ke Pemecutan PASCA-serbuan pertama, di mana tembakan salvo Belanda telah menewaskan raja I Gusti Ngurah Gde Denpasar, rombongan kedua dari puri kemudian muncul di jalan besar, dipimpin oleh saudara tiri raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang di tangan dan hampir keberatan. Pasukan Belanda pun dikepung. Saat itu, komandan pasukan dan juru bahasa pun memperingatkan agar rombongan puri itu berhenti, namun mereka tak hirau dan menyerang dengan ganas. Satu persatu mereka gugur kena peluru. Tumpukan mayat pun makin bertambah. Sementara di dekat perempatan jalan dari Denpasar menuju Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi serangan Laskar Badung. Mereka yang masih menduduki Jero Taensiat melakukan
Bali Tempo Dulu
422
serangan sporadis terhadap kedudukan pasukan Belanda. Oleh karena peperangan yang tidak seimbang antara pasukan militer profesional lengkap dengan persenjataan modern pada waktu itu terhadap laskar konvensional yang hanya memiliki jiwa dan semangat pantang menyerah dalam mempertahankan kedaulatan negeri dengan segala patriotisme dan heroismenya, maka setiap serangan pelawanan Laskar Badung dapat dijinakkan. Lanjutkan Penyerangan Pasukan Belanda pun bergerak ke selatan menuju dan menduduki Puri Denpasar pada pukul 13.00. Dari Puri Denpasar, mereka melanjutkan penyerangannya ke Puri Pemecutan pada pukul 15.00. Raja Badung dari Puri Pemecutan, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, memerintahkan untuk membakar puri sebelum melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Pada saat itu pula batalyon meninggalkan halaman depan Puri Denpasar dan sampai di Puri Suci. Di sekitar Puri Suci tidak terjadi perlawanan Laskar Badung sebab konsentrasi pertahanan Kerajaan Badung berada di sebelah kiri depan Puri Pemecutan. Tembakan gencar Belanda bertujuan membebaskan jalan di depannya dari serangan mendadak Laskar Badung. Laskar Badung yang bertahan di seberang sungai melepaskan tembakan ke arah batalyon 18 setelah jarak tembak 700 meter dan tepat mengenai sasaran sehingga dua orang dari pasukan Belanda menjadi korban. Hal ini dibalas dengan tembakan artileri meriam kaliber 3,7 mengakibatkan sejumlah personel Laskar Badung berguguran. Pasukan Belanda lantas bergerak maju mendekati Puri Pemecutan dan pada waktu itu serangan Laskar Badung dilakukan. Raja I Gusti Ngurah Pemecutan yang diusung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri, dan keluarganya di Puri Pemecutan. Semuanya bergerak menyongsong kehadiran pasukan Belanda. Kelompok laskar di sana-sini pun bermunculan menyerang dengan tombak dan senapan dari jarak yang agak jauh. Rombongan raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan posisi pasukan Belanda, raja dan pasukannya bergerak makin cepat dan langsung menerjang pasukan Belanda. Pada pertarungan sengit itulah raja dan pasukannya gugur satu per satu. Akhirnya pada pukul 18.00, perlawanan Laskar Badung di Pemecutan yang merupakan benteng
Bali Tempo Dulu
423
terakhir terhenti. Belanda berhasil menduduki Puri Pemecutan. Sumber foto : arsipnasionalRI #BALITEMPOEDULOE#ARSIPNASIONALRI# #WIKIPEDIA#SEJARAH#PERANG#PUPUTAN# #BADUNG#DENPASAR#
BEBERAPA WANITA BALI SEDANG MENUMBUK PADI DI TAHUN 1910 DENGAN ALAT TRADISIONAL BALI YANG DI SEBUT "LESUNG" Lesung adalah alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah ( sekam , Jawa merang ) dari beras secara mekanik. Lesung terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu berukuran kecil dengan panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5 meter dan kedalaman sekitar 40 cm. Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan alu , tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam. #BALITEMPOEDULOE#BUDAYABALI# #ARSIP#SEJARAH#TRADISIBALI# #AJEGBALI#WIKIPEDIA#BALI#
Bali Tempo Dulu
424
SEBUAH BANGUNAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA YANG BERKEDUDUKAN DI KABUPATEN BULELENG,BALI,INDONESIA Selama 350 tahun,di bawah penjajahan Belanda, tentu saja membuat negara ini banyak terkontaminasi oleh budaya-budaya yang dibawa oleh para penjajah bukan hanya dalam soal bahasa, seni, agama dan sebagainya tetapi juga berpengaruh besar terhadap gaya arsitektur , bahkan sampai saat ini masih banyak bangunan-bangunan tua yang masih berdiri tegak menjadi saksi bisu betapa besarnya pengaruh itu. karena di sini lah tonggak-tonggak kekuasaan terbesar negeri ini banyak berdiri. Sejarah arsitektur yang dibawa oleh kaum kolonial Belanda di Indonesia itu sendiri bisa dibagi ke dalam empat fase, 1. Abad 16 sampai tahun 1800-an Pada masa itu bangsa Indonesia masih disebut dengan Hindia Belanda di bawah kekuasaan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), selama periode itu bangunan-bangunan belanda masih belum berorientasi dengan bangunan tradisional Indonesia dan tidak mengadaptasikannya dengan situasi iklim, cuaca dan lingkungan di Indonesia. 2.Tahun 1800-an sampai tahun 1902 Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih
Bali Tempo Dulu
425
kekuasaan dari VOC, Indonesia diperintah untuk mendukung kekuatan ekonomi Belanda, oleh karena itu Belanda perlu memperkuat kedudukannya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan megah, maka pada saat itu banyak didirikan bangunan-bangunan bergaya neo-klasik yang sebenarnya bukan gaya arsitektur nasional belanda yang asli, karena lebih banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur klasik dari perancis atau lebih dikenal dengan sebutan The Empire Style, ciri-cirinya antara lain : denah simetris dengan satu atap dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya : terbuka, terdapat pilar bergaya yunani, terdapat gavel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. 3.Tahun 1902 sampai 1920 Pada saat itu kaum liberal belanda mendesak untuk menerapkan politik etis di tanah jajahan, dan pemukiman orang-orang belanda pun mulai tumbuh dengan cepat, dan muncul standar arsitektur yang berorientasi ke negri Belanda. 4.1920 sampai 1940-an Ketika masa-masa ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur baik nasional maupun internasional di belanda, yang kemudian mempengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia, dan arsitektur baru tersebut kadang diikuti langsung atau muncul dengan gaya campuran (ekletisisme). Pada masa itu juga muncul arsitektur-arsitektur belanda yang memandang perlu untuk memberikan ciri khas pada bangunanbangunan Hindia Belanda, dengan menggunakan arsitektur kebudayaan Indonesia sebagai sumber pengembangannya. Sampai saat ini di Indonesia masih banyak bangunan-bangunan bergaya belanda yang masih bisa kita temui, ada yang berupa bekas gedung pemerintahan, perkantoran atau sekedar rumah hunian biasa, dan betapa pun bangunan-bangunan tersebut didirikan pada masa-masa kelam negri ini tapi sudah sewajarnya kita sebagai rakyat yang menghargai sejarah, tetap memelihara dan menjaga bangunan-bangunan tersebut agar tetap terawat dan tetap seperti aslinya, akan lebih baik lagi bila kita bisa memanfaatkannya sebagai aset wisata untuk menarik wisatawan baik local maupun luar negeri.. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #ARSITEKTUR#WIKIPEDIA# #BALI#KOLONIAL#ARSIP#
Bali Tempo Dulu
426
PENABUH GENDER WAYANG ANTARA TAHUN 1931-1938 BALI,INDONESIA Gender Wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan ( Wayang Kulit dan Wayang Wong ) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada) . Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar)dan sepasang kantilan (nada agak kecil) . Keempat gender , masing-masing berbilah sepuluh (dua oktaf) yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul.Gender wayang ini juga dipakai untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong gigi) dan upacara Pitra Yadnya (ngaben). Untuk kedua upacaranya ini, dan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah (tanpa kelir), hanya sepasang gender yang dipergunakan.Untuk upacara ngaben 2 gender dipasang di kedua sisi bade (pengusung mayat) dan dimainkan sepanjang jalan menuju kuburan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Ramayana , wayang wong Ramayana maupun Mahabharata (Parwa) , 2 pasang gender ini dilengkapi dengan sepasang kendang kecil, sepasang cengceng kecil, sebuah kajar, klenang dan instrumen-instrumen lainnya, sehingga melahirkan sebuah barungan yang disebut gamelan Batel Gender Wayang.Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan fungsinya : Tabuh-tabuh yang dimaksud antara lain: Pategak(pembukaan)
Bali Tempo Dulu
427
yang merupakan tabuh instrumentaliaTabuh Pamungkah gending-gending untuk mengiringi dalang melakukan puja mantra persembahan, membuka kotak wayang (kropak) Tabuh Patangkilan gending untuk mengiringi adegan pertemuan/persidangan Tabuh angkat-angkatan gending untuk mengiringi adegan sibuk seperti keberangkatan laskar perang dan perjalanan Tabuh rebong gending untuk mengiringi adegan roman Tabuh tangis gending untuk mengiringi suasana sedih Tabuh batel gending untuk mengiringi adeganperang Tabuh panyudamalan gending khusus untuk mengiringi upacara pangruwatan (dalam Wayang Sapuh Leger) #BALITEMPOEDULOE#SENI#BUDAYA# #ARSIP#WIKIPEDIA#SEJARAH#BALI#
ARMADA RACUN GENG LEGENDARIS KOTA DENPASAR BALI,INDONESIA TAHUN 1970 pada era tahun 70an sejumlah anak muda di Denpasar membentuk sebuah kelompok atau organisasi yang diberi nama Armada Racun. Munculnya organisasi Armada racun ini bertujuan untuk menandingi kelompok Anak Kolong Sudirman atau sering di sebut AKOS atau sering juga di sebut anak sudirman yang berusaha menguasai atau mengendalikan pusat-pusat hiburan yang
Bali Tempo Dulu
428
ada di Denpasar dan Kuta. Untuk mendapatkan proteksi dari otoritas yang lebih tinggi Armada Racun kemudian bersekutu dengan Pemuda Pancasila. Menurut mantan anggota Armada Racun yang juga pernah menjadi ketua Forum Peduli Denpasar (FPD) Made Sutama (Minggik) kelompok ini adalah anak muda Denpasar dan anak-anak muda perantauan seluruh Bali yang baru mengalami masa bagaimana Bali menghadapi mordenisasi dengan pengaruh pengaruh dari barat seperti gaya berpakaian, gaya hidup dan pergaulan. Walaupun begitu, banyak kalangan menduga bahwa Armada Racun adalah kelompok preman, benarkah demikian? "Bukan kumpulan preman. Saya lahir di Bali hingga sebesar sekarang, belum pernah ada preman di Denpasar," tandas Minggik, yang mengaku masih menjalin persahabatan erat dengan teman-teman mantan anggota Armada Racun seperti Sudira dan Gobleg. Minggik mempertanyakan, apakah memang layak kelompok itu disebut preman? Sebab dia adalah pegawai negeri dan ketua koperasi. Bapak yang sangat memperhatikan anak-anaknya itu juga menyangkal jika Armada Racun dikatakan kumpulan anak-anak nakal. Sudira yang mendampingi Minggik saat wawancara mengilustrasikan, saat itu para anggota Armada Racun suka mengikuti mode zamannya. Lalu mengapa kelompok ini ditakuti banyak kalangan? Sudira menjelaskan bahwa beberapa anggota kelompok Armada Racun itu merupakan pensiunan angkatan bersenjata, misalnya anggota kopasgat yang pensiun muda. "Tugas kita mengamankan Bali. Saat itu mungkin saja datang orang luar yang merasa lebih hebat, tetapi dengan adanya Armada Racun, minimal akan menjadi semacam rem," tandas Sudira yang masih aktif menuli Konon katanya tokoh legendaris dari kelompok Armada Racun bernama Gobleg adalah orang pertama di Bali yang punya Motor Harley Davidson wah keren sekali tahun itu sudah punya Harley Davidson Saat itu para anggota Armada racun juga suka mengikuti mode pada zaman itu, tidak memiliki atribut khusus untuk menandai anggotanya, pakaian yang digunakan sedikit meniru grup band terkenal saat itu yaitu The Beatles seperti rambut gondrong dan
Bali Tempo Dulu
429
celana panjang cutbray. Kegiatan mereka antara lain adalah main musik, motor dan olah raga bela diri. Armada Racun sering nongkrong di Bioskop Wisnu jalan Gajah Mada Denpasar yang merupakan tempat hiburan terbaik saat itu. Kini Armada Racun tinggal kenangan namun keakraban sesama mantan anggotanya masih tetap terjalin. Tulisan ini di kutip dari Sejarahbali.com dan bali post. foto dari demonade.tumblr.com / www.balipost.co.id #BALITEMPOEDULOE#SEJARAHBALI# #WIKIPEDIA#DENPASARKOTA# #ORMAS#LEGENDARISBALI#
Gamelan Gong Kebyar Gamelan gong kebyar sebagai seni musik tradisional Bali dalam sejarahnya yang ditulis babad bali, gong kebyar diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915. Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan seni Gong Kebyar ini mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau
Bali Tempo Dulu
430
Kebyar Trompong. Perkembangan Gong Kebyar di Bali, seperti yang dikutip dalam catatan sukoco dalam blog http:// etno06.wordpress.com terdapat tiga Gamelan kebyar yang berkembang di Bali yaitu : 1. Gamelan kebyar yang bersumber dari Gong Gede, 2. Bersumber dari gamelan palegongan. 3. Murni buatan baru. Yang pertama memiliki embat yang sesuai dengan embat gamelan gong gede yaitu agak rendah seperti yang banyak terdapat di Bali Utara. kelompok kedua menggunakan embat sama dengan embat gamelan palegongan (sumbernya) yaitu agak tinggi seperti yang sebagian besar terdapat di Bali bagian selatan, Gamelan-gamelan kebyar yang murni buatan baru sebagian besar ber-embat sedang seperti yang terdapat di berbagai daerah di Bali dan diluar Bali. Kenyataan ini menunjukan bahwa belum ada standarisasi embat untuk Gamelan kebyar di Bali. Juga Dinamakan gong kebyar, menurut kutipan catatan blog ekadarmaputra dalam ISI Denpasar , Gong kebyar ditabuh untuk pertama kalinya menyebabkan terjadinya kekagetan yang luar biasa. Masyarakat menjadi tercengang dan ternak sapi yang sedang diikatkan di ladang dan di kandangnya terlepas dan lari tunggang langgang. Disebutkan juga dalam catatan blog tersebut, gong kebyar merupakan tabuhan bersama dan serentak yang diikuti oleh hampir semua tungguhan pada perangkatnya kecuali tungguhan suling, kajar, rebab, kempul, bebende kemong, kajar dan terompong. Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya bisa di depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada iringan tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang sangat dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu membangkitkan semangat. Struktur Gong Kebyar Gong Kebyar merupakan salah satu perangkat/ barungan gambelan Bali yang terdiri dari lima nada ( panca nada ) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrument terdiri sepuluh bilah. Gong Kebyar bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, karena hampir seluruh desa maupun banjar yang ada di Bali memiliki satu perangkat/ barungan Gong Kebyar. Oleh karenanya gong kebyar menjadi satu barungan gambelan tergolong baru jika
Bali Tempo Dulu
431
dibandingkan dengan jenis-jenis gambelan yang ada saat ini seperti misalnya, gambelan Gambang, Gong Gde, Slonding, Semara Pegulingan dan masih banyak yang lainnya. Barungan gong kebyar terdiri dari : Dua buah (tungguh) pengugal/giying Empat buah (tungguh) pemade/gansa Empat buah (tungguh) kantilan Dua buah (tungguh) jublag Dua buah (tungguh) Penyacah Dua buah (tungguh) jegoggan Satu buah (tungguh) reong/riyong Satu buah (tungguh) terompong Satu pasang gong lanang wadon Satu buah kempur Satu buah kemong gantung Satu buah bebende Satu buah kempli Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik Satu pasang kendang lanang wadon Satu buah kajar Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu gambelan gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar ini perbedaannya terletak pada : Tungguhan gangsa, Bali Utara bentuk bilah penjain dan dipacek sedangkan Bali Selatan menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung. Gambelan Bali Utara kedengarannya lebih besar dari suara gambelan Bali Selatan, meskipun dalam patutan yang sama. Dalam perkembangannya gong kebyar munculah istilah gaya Bali Utara dan gaya Bali Selatan, meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng. Sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan lain mengambil gaya Bali Selatan. Disamping itu penggunaan tungguhan gong kebyar di masingmasing daerah sebelumnya memang selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan maupun fungsinya. Fungsi Gong Kebyar Sebagaimana kita ketahui lewat literatur dan rekaman telah tampak bahwa Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi maksudnya
Bali Tempo Dulu
432
adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari kekebyaran. Namun sesuai dengan perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending yang lainnya. Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis tarian wali dan balih-balihan. Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Misalnya dalam gending gong kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender wayang dan gong luang. Juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, maka drama tersebut berganti nama menjadi drama gong .dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya. #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #BUDAYA#SENIKRAWITAN# #BALI#GONGKEBYAR#
Bali Tempo Dulu
433
NUSA LEMBONGAN KLUNGKUNG,BALI INDONESIA. Pulau Lembongan atau dalam bahasa Bali disebut Nusa Lembongan adalah sebuah pulau kecil terletak di 8°40.906′S 115°27.067′E / 8.681767°S 115.451117°E yang berdekatan dengan Nusa Ceningan dan 2 km di sebelah barat laut Nusa Penida terletak di Selat Badung sebelah tenggara Pulau Bali. Pulau yang memiliki panjang 4,6 km dan lebar 1-1,5 km ini berada kira-kira 11 km di sebelah tenggara Bali, Secara istratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Klungkung , Provinsi Bali, Indonesia . Mata pencaharian utama masyarakat Nusa Lembongan adalah sebagai petani rumput laut. Sebagian lagi bekerja di sektor pariwisata dan sektor penunjang pariwisata. Nusa Lembongan terbagi menjadi dua desa yakni Desa Lembongan dan Desa Jungubatu. Desa Lembongan membawahi 6 dusun dan 12 banjar adat, yang wilayahnya berada di dua pulau yakni sebagian besar Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Keenam dusun yang menyokong Desa Lembongan yaitu; Dusun Kawan, Kaja, Kelod, Kangin, Ceningan Kawan dan Ceningan Kangin (dua dusun terakhir terletak di Nusa Ceningan). Desa Lembongan banyak mempunyai tempat-tempat menarik untuk dikunjungi wisatawan seperti pantai berpasir putih yang sangat menarik, goa alam dan buatan yang unik, tebing laut yang menantang, rawa-rawa yang penuh misteri yang menarik minat pengunjung untuk datang dan banyak lagi yang menarik di Desa Lembongan. Pantai-pantai yang menarik dan terkenal di Desa Lembongan antara lain; Pantai Tanjung Sanghyang, Dream Beach, Selagimpak, Selambung, Sunset Beach,
Bali Tempo Dulu
434
Pemalikan, Lebaoh (pantai pusat rumput laut) dll . Tempat-tempat lain yang ramai dikunjungi wisatawan antara lain; Rumah Bawah Tanah (Underground House) Gala-gala, Goa Sarang Walet Batu Melawang, Art Shop Center Buanyaran, Rawa-rawa Pegadungan, Tempat Romantis Kolong Pandan Sunset Park dll. Transportasi dari dan ke Nusa Lembongan dan Desa Lembongan dengan Pulau Bali ditempuh melalui jalur laut yakni; dari dan ke Bali timur melalui jalur Pelabuhan Tri Buwana - Bias Munjul Ceningan kangin, dari dan ke Bali Barat melalui jalur Pelabuhan Sanur Denpasar Pelabuhan Tanjung Sanghyang Lembongan. Lama perjalanan dari sanur menuju Tanjung Sanghyang Lembongan sekitar 1 - 1,5 jam menggunakan jukung (jangolan) dan sekitar 30 menit kalo menggunakan speed boat. Transportasi dari dan ke Desa Lembongan ada yang pagi hari menggunakan jukung, siang dan sore menggunakan speed boat. #BALITEMPOEDULOE#BALILAWAS# #OBYEKWISATA#PULAUDEWATA# #WIKIPEDIA#SEJARAH#BUDAYA#
Bali Tempo Dulu
435
JALAN PA LEGIAN KUTA,BADUNG BALI,INDONESIA
Bali Tempo Dulu
436
Foto Tahun : 1975- 2014 Jalan pa terletak di daerah pariwisata legian kuta badung bali,jalan ini sangat sibuk di setiap harinya,dan terkadang sangat macet di sebabkan membludaknya Turis,kendaraan dan aktifitas di daerah ini yang tak pernah sepi,jauh berbeda tempat ini di sekitar tahun 1975 yg nampak sangat asri dan tenang jauh dari hiruk pikuk kesibukan tapi semua itu adalah sebuah peradapan zaman yang pasti terjadi,maka dari itu sudah sepantasnya kita menjaganya untuk bali yang lebih baik di masa depan dan untuk kepariwisataan bali yang lebih baik. #BALITEMPOEDULOE#WISATA#WIKIPEDIA# #PERADAPAN#DESAADATKUTA#BADUNG#
UPACARA NGABEN DI BALI TAHUN 1939 Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita mengatakan manusia
Bali Tempo Dulu
437
memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit). Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben. Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramairamai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda/Pinandita, kemudian “Lembu” dibakar
Bali Tempo Dulu
438
sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci. Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya. Artikel : imadewira #BALITEMPOEDULOE#NGABEN# #BUDAYA#SEJARAH#BALILAWAS# #WIKIPEDIA#SENI#BALIAGE#
Bali Tempo Dulu
439
AKTIVITAS NELAYAN DI BALI TAHUN 1941 Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar,maupun permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Di negaranegara berkembang, masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan. Nelayan di negara-negara maju biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi canggih. #BALITEMPOEDULOE #SEJARAH # BUDAYABALI # WIKIPEDIA # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATBUDAYA #
Bali Tempo Dulu
440
PURA BUKIT SARI SANGEH BADUNG,BALI INDONESIA BABAD BALI PURA BUKIT SARI SANGEH Pura Bukit Sari Sangeh Melindungi Hutan Kewajiban Semua Pihak Pemeliharaan hutan pala di Desa Sangeh itu tidak bisa melupakan jasa I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, dengan gelar Cokorda Sakti Blambangan. Putra angkat Raja Mengwi pertama ini menemukan reruntuhan pelinggih pemujaan di tengah hutan pala tersebut. Dari penemuan putra angkat beliau, Raja memerintahkan membangun kembali pelinggih tersebut dalam wujud lebih lengkap dan lebih besar. Pura itulah sekarang disebut Pura Bukit Sari. Kenapa disebut Pura Bukit Sari? Raja nampaknya sangat paham akan sikap hidup orang Bali yaitu setiap memulai sesuatu yang baik selalu diawali dengan melakukan pemujaan. Demikianlah Raja Mengwi pertama ini mengajak umat merehabilitasi tempat pemujaan di hutan pala itu sebagai langkah awal untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan hutan pala itu sebagai sumber alam yang mahapenting. Dalam Canakya Nitisastra XIII.21 dinyatakan bahwa di bumi ini ada tiga Ratna Permata yaitu air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan, dan kata-kata bijak. Air akan terpelihara apabila ada kawasan hutan yang terpelihara dan terlindungi dengan sebaikbaiknya. Dengan tersimpannya air melalui hutan yang lestari maka tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hutan dengan air dan tumbuh-tumbuhan itu akan menjadi sumber kehidupan umat manusia apabila dikelola dengan kata-kata bijak. Hal ini akan terwujud apabila pemimpin seperti raja atau pemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu bekerja secara terkoordinasi untuk membangun sinergi dalam menjaga tiga Ratna Permata Bumi tersebut.
Bali Tempo Dulu
441
Ternyata kebijaksanaan raja membangun kembali tempat pemujaan yang disebut Pura Bukit Sari di hutan pala Desa Sangeh itu menimbulkan dampak positif memajukan sikap hidup masyarakat memelihara dan mengembangkan hutan pala dengan sebaik-baiknya. Hutan pohon pala itu tidak saja berfungsi sebagai hutan dalam arti yang luas, sekarang hutan tersebut menjadi salah satu objek wisata alam yang memberikan banyak kesejahteraan pada berbagai pihak. Lestarinya hutan pohon pala ini karena kebijaksanaan Raja Mengwi bersama dengan masyarakat menyebabkan hutan pohon pala itu semakin eksis. Dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang hutan ini ditetapkan sebagai cagar alam yang mewajibkan semua pihak melindungi, memelihara dan mengembangkan gagasangagasan hidup yang baik dan benar melalui hutan pohon pala yang lestari itu. Karena adanya Pura Bukit Sari itulah hutan pohon pala itu menjadikan orang untuk menjauhi tindakan yang tidak senonoh pada hutan tersebut. Sikap masyarakat yang mensakralkan hutan pohon pala dengan keranya itu menjadi positif karena adanya Pura Bukit Sari di hutan tersebut. Hutan pohon pala tersebut kini telah menjadi objek wisata alam. Menjadi kewajiban kita sebagai generasi penerus menjaga hutan tersebut bersama dengan Pura Bukit Sarinya. Kita hendaknya sadar bahwa hutan dengan puranya itu wajib kita jaga lebih kuat dengan berbagai ketentuan karena dinamika pariwisata dewasa ini menimbulkan banyak godaan agar kita tidak lalai memegang prinsip hidup seimbang antara berbakti pada Tuhan, menyayangi alam dan mengabdi pada sesama. Dalam buku Pancawati, salah satu kitab sastra Weda, menyatakan ada tiga jenis hutan yang wajib dijaga keseimbangannya dan kelestariannya. Tiga jenis hutan itu adalah Maha Wana, Tapa Wana dan Sri Wana. Maha Wana itu adalah hutan lindung. Hutan ini harus benar-benar dijaga kuantitas dan kualitasnya. Kalau kuantitas dan kualitas Maha Wana ini terganggu, manusia akan mengalami krisis air, udara sehat dan berbagai sumber hidup alami yang lainnya. Hal ini harus disadari oleh semua pihak. Luas dan kualitas hutan lindung ini tidak boleh sama sekali diganggu. Tapa Wana adalah hutan hanya untuk tempat bertapa membangun kesucian diri. Di hutan ini hanya boleh ada tempat-tempat pemujaan yang dibangun sedemikian rupa untuk tidak menonjolkan bangunan pisiknya, sehingga tetap yang menonjol adalah hutannya yang rimbun, sejuk dan alami. Sri Wana adalah hutan produksi untuk mengembangkan tanaman pangan. Sri Wana ini hendaknya jangan dikembangkan dengan ambisi bisnis yang berlebihan mengejar untung sampai mengorbankan kelestarian alam itu sendiri. Pengembangan Sri Wana jangan sampai menimbulkan ketidakadilan ekonomi. Seperti mengembangkan perkebunan dengan caracara kapitalisme yang ambisius mencari profit tanpa memikirkan aspek benefitnya untuk kelestarian alam dan masyarakat. Kebutuhan pariwisata akan bahan pangan dapat saja dikembangkan lewat Sri Wana, tetapi eksistensinya jangan sampai merugikan alam dan menimbulkan ketidakadilan ekonomi rakyat. Dalam tradisi umat Hindu di Bali sudah dikenal adanya beberapa jenis hutan dan lahan yang wajib dijaga keseimbangan posisi dan proporsinya. Dalam tradisi Bali ada yang disebut alas angker yaitu hutan lindung, Ada yang disebut alas harum yaitu hutan untuk tempat pemujaan atau pertapaan yang dibangun dengan tetap menjaga aspek-aspek alaminya. Ada juga alas rasmini yaitu hutan sebagai jalur hijau untuk pemukiman, mungkin ini juga disebut hutan wisata. Ada areal yang disebut abian dan carik utuk mengembangkan tanaman pangan yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari.
Bali Tempo Dulu
442
Posisi dan komposisi luas dan kualitas pembagian hutan dan areal tersebut dijaga keseimbangannya dengan konsep Rta dan Dharma. Di samping itu daerah Bali yang sangat digandrungi oleh berbagai pihak harus dibatasi dengan berbagai cara yang benar agar Bali jangan sampai kelebihan muatan. Kalau Bali sampai kelebihan muatan bagaikan kapal yang akan karam ditelan gelombang bisnis dan politik yang mengabaikan etika moral. Berbagai perilaku harus dibatasi agar jangan dengan Rta dan Dharma. Artinya, membangun Bali jangan sampai melanggar Rta dan Dharma. Karena hal itu akan dapat menenggelamkan Bali bagaikan kapal yang terlalu sarat dengan muatan. Bali harus dibangun dengan mengikuti Rta dan Dharma ciptaan Hyang Widhi. * wiana http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/9/19/bd2.htm Pura Bukit Sari di Sangeh Avir vai nama devata rtena aste parivrta tasya rupena ime vrksah hrita haritasrajah. (Atharvaveda.X.44.1). Maksudnya: Terdapat warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan (klorofil) yaitu unsur yang menyelamatkan hidup yang ada pada hijau daun. Ia ditutupi oleh rta. Karena itu zat warna hijau tersebut yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat.
Hutan pohon pala di Desa Sangeh tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Pura Bukit Sari yang berada di tengah hutan pala tersebut. Keberadaan pohon pala ini memang sedikit unik. Karena di sekitar daerah tersebut tidak ada pohon seperti itu. Hutan pohon pala ini disebut Bukit Sari, padahal daerah di mana pohon pala itu tumbuh berupa dataran saja bukan bukit. Entah siapa yang memberikan nama pohon ini pohon pala. Mungkin tak ada yang pasti tahu betul. Dalam bahasa Sansekerta kata ”pala” artinya melindungi, sedangkan kata ”phala” artinya buah. Untuk menyebutkan nama pohon di Pura Bukit Sari Sangeh ini apa pala atau phala, penulis sendiri tidak jelas tahu asal-usulnya. Kalau digunakan kata pala, memang pohon besar dan tinggi-tinggi tersebut sebagai pohon pelindung. Akarnya dalam dan luas dapat meresap dan menyimpan air hujan. Pohonnya yang besar tinggi dan rindang dengan daunnya yang hijau itu juga dapat melindungi udara dari polusi. Karena dalam daun yang hijau itu terdapat unsur yang melindungi kehidupan di sekitarnya. Partikel-partikel kimia yang beterbangan di udara karena ulah manusia dapat disaring oleh hijauan dedaunan dari pohon-pohon di hutan pala tersebut. Banyak lagi sesungguhnya fungsi hutan kalau dilihat dari sudut kehidupan di bumi ini. Adanya Pura Bukit Sari di hutan pohon pala Desa Sangeh Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung ini diceritakan secara mitologis dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam.
Bali Tempo Dulu
443
Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, keadaan sudah siang dan telanjur ada yang mengetahui perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan pelinggih. Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Pura Besakih di lereng Gunung Agung itu tergolong Pura Purusa atau sebagai jiwa dari Pulau Bali. Di Gunung Agung-lah berbagai nilai suci ajaran Weda divisualkan dalam wujud bangunan suci. Berbagai gagasan hidup untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir batin di bumi ini divisualkan dalam wujud bangunan suci dan ritual sakral di Pura Besakih. Sedangkan pemujaan pada Ida Batara Melanting dalam tradisi Hindu di Bali sebagai Dewa Pasar. Menurut Prof Dr. I Made Titib, Ph.D., Batara Melanting itu tiada lain sebutan untuk Dewi Laksmi bagi umat Hindu di Bali. Dewi Laksmi adalah Dewi Kemakmuran dalam sistem pantheon Hindu. Pemujaan Ida Batara Gunung Agung dan Batari Melanting di Pura Bukit Sari di Desa Sangeh ini adalah bertujuan memuja Tuhan untuk mendapatkan tuntunan spiritual dalam mengembangkan hidup yang penuh dengan gagasan-gagasan kehidupan yang mulia serta untuk membangun kehidupan yang makmur secara ekonomi. Ini berarti pemujaan pada Tuhan di Pura Bukit Sari itu menanamkan gagasan keseimbangan hidup antara membangun gagasan hidup dengan nilai spiritual dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi. Memang pada kenyataannya kemakmuran ekonomi justru akan menjadi bumerang untuk mendorong pengumbaran hawa nafsu kalau tidak dikendalikan oleh gagasan-gagasan hidup di bidang spiritual. Kalau dua aspek kehidupan tersebut diwujudkan secara seimbang maka akan terbentuklah manusia dan masyarakat yang seimbang lahir batin. Kalau manusia dan masyarakat yang demikian itu menghuni bumi ini, maka bumi ini akan menjadi wadah kehidupan yang aman, damai dan sejahtra. Di Pura Bukit Sari ini terdapat tidak kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Pelinggih Pasari penyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Pasari sebagai Pelinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan pelinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Pelinggih Meru Tumpang Sembilan. Ada Pelinggih Pasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Ada empat Pasari lagi masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Pelinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu. Pemujaan Tuhan dalam berbagai fungsi ini umumnya mengarah pada pemujaan Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Ada Pelinggih Bale Paselang. Pelinggih ini umumnya digunakan untuk upacara Pedanaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di pelinggih ini dilukiskan secara ritual sakral hubungan bakti manusia kepada Tuhan dan anugerah Tuhan yang di Bali disebut sweca. Di Pelinggih Paselang inilah dilukiskan bahwa hanya manusia yang sungguh-sungguh bakti pada Tuhan akan mendapatkan sweca atau anugerah dari Tuhan berupa raksanam atau rasa aman dan damai serta dhanam artinya hidup sejahtera. Ini artinya pelinggih yang disebut Bale Paselang ini memotivasi umat Hindu agar jangan hanya memohon wara nugraha Hyang
Bali Tempo Dulu
444
Widhi tanpa melakukan bakti dan pelayanan pada sesama dan menyayangi isi alam ini. Dengan bakti yang benar manusia dapat membangun struktur diri agar menjadi wadah pengejawantahan kesucian Atman dalam wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bakti manusia dapat menghindarkan diri sebagai wadah pengumbaran hawa nafsu. * I Ketut Gobyah http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/9/19/bd1.htm FOTO TAHUN 1930 #BALITEMPOEDULOE # #WIKIPEDIA#SEJARAH# #BALILAWAS#OBYEKWISATA# #PULAUDEWATA #
PANTAI BALANGAN ULUATU,BADUNG BALI,INDONESIA EDISI : WISATA Pulau Bali tidak cuma punya Kuta, Seminyak, Nusa Dua atau Sanur saja. Salah satu pantai lain yang eksotis di Bali adalah Pantai Balangan di Uluwatu. Air lautnya sangat biru, serasa berenang di langit. Mau berkunjung kemana lagi, Pantai Kuta dengan sunsetnya yang eksotis? Tanah Lot dengan sunset warna jingganya? Atau Danau Bratan di Bedugul yang kabutnya bikin kita pakai baju lapis lima? Masih banyak yang seru di pulau ini, dan pastinya bikin kalian pengen datang lagi ke Bali. Buat kalian yang hobi dan suka dengan pantai, sudah pasti tidak asing lagi dengan
Bali Tempo Dulu
445
Pantai Balangan. Lokasinya di Pulau Bali bagian selatan. Gugusan pantai Pulau Bali bagian selatan memang tidak ada habisnya. Tiap waktu bermunculan pantai yang kadang asing, dan bahkan belum banyak orang mendatangi. Kalau biasanya hanya dengar Pantai Dreamland, Pantai Pandawa, Pantai Bluepoint dan banyak lagi, jangan lupa juga Pantai Balangan salah satunya. Lokasinya sendiri sekitar 30-40 menit dari arah Kuta. Kalau Anda tahu atau pernah ke GWK, tinggal naik lagi, lurus ke atas sampai ketemu perempatan. Kalau jalan ke kiri menuju Pantai Pandawa, Kalau lurus ke arah Dreamland atau ke Uluwatu, tapi kalau ke kanan nama jalannya Jalan Pantai Balangan I. Arah ini yang akan mengarah ke Pantai Balangan itu. Rutenya tidak susah, tinggal ikuti jalan saja sampai ujung dan ada petunjuknya juga. Kalau sudah sampai di gerbang parkir, maka kalian akan bayar Rp 2.000 per motor, atau Rp 5.000 per mobil. Tidak ada tiket masuk, atau mungkin sudah jadi satu dengan tiket parkir. Jangan langsung ke pantai, tapi coba intip dulu lewat bukitnya. Dijamin, di sini kalian bakal ambil banyak foto. Di sini juga kalian jadi tahu kalau pasir putihnya berpadu dengan air lautnya yang warna biru. Luar biasa! Jernih sekali, mirip sedikitlah dengan di Raja Ampat. Lanjut ke bawah menuju pantainya yang luar biasa, dijamin kalian tidak akan tahan buat berenang dan menyatu sama airnya. Serasa kalian berenang di langit, biru luar biasa. #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #OBYEKWISATA#BALILAWAS# #BALI#PULAUDEWATA#
Bali Tempo Dulu
446
PELABUHAN BULELENG TEMPAT BERSEJARAH DI UTARA BALI Artikel by Yudhi Singaraja, adalah sebuah kota tua yang terletak di ujung utara pulau dewata. Mungkin hanya sedikit orang yang masih ingat, bahwa kota ini sempat menjadi ibu kota Nusa Tenggara dan pusat pelayaran yang penting karena memiliki dermaga terbesar di pulau Bali. Dermaga tersebut dikenal dengan nama Pelabuhan Buleleng. Pelabuhan Buleleng berlokasi sekitar 2,5 Kilometer arah utara pusat kota Singaraja. Jika berangkat dari pusat kota Singaraja, maka dibutuhkan waktu kurang lebih 15 untuk mencapai pelabuhan ini. Sedangakan jika berangkat dari Bandara Ngurah Rai, maka perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar 150 menit saja. Untuk dapat memasuki pelabuhan Buleleng, anda tak perlu merogoh kantong terlalu dalam. Cukup dengan membayar retribusi parkir seharga Rp. 500 untuk sepeda motor, dan Rp. 1000 untuk kendaraan roda 4, maka anda dapat menikmati pelabuhan dengan panorama yang indah. Sejak pusat pemerintahan provinsi Bali dipndahkan ke Bali selatan tahun sekitar tahun 1950, kejayaan pelabuhan Buleleng berangsur menghilang. Pelabuhan yang dulu sempat menjadi tempat bongkar muat barang dan persinggahan kapal pesiar asing yang membawa wisatawan, kini tinggal sejarah. Bangunan-bangunan tua yang sempat menjadi saksi bisu kejayaan pelabuhan, dibiarkan kosong dan hanya meninggalkan kenangan tersendiri.
Bali Tempo Dulu
447
Pelabuhan Buleleng juga sempat menjadi saksi sejarah perlawanan masyarakat setempat melawan pemerintah Belanda. Masih ingatkah anda akan Insiden Hotel Yamato? Sebuah peristiwa bersejarah yang menunjukan keberanian Indonesia untuk merobek warna biru pada bendera belanda? Ternyata di pelabuhan Buleleng juga sempat terjadi peristiwa serupa. Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut, pada tahun 1987 pemerintah membangun tugu Yudha Mandala Tama. Sebuah tugu yang menjulang tinggi, berupa seorang pemuda kekar menunjuk kearah lautan sambil memegang bambu runcing dengan sang merah putih pada ujungnya. Kemudian sekitar tahun 2005, tempat ini mulai ditata dengan menambahkan beberapa taman berselimukan hijaunya rerumputan dan juga pengecatan ulang beberapa bangunan tua. Selain itu, kayu-kayu tua bekas dermaga telah diganti dengan restoran terapung. Selain menikmati panorama yang indah, berwisata di pelabuhan Buleleng dapat dinikmati dengan berbagai cara. Biasanya, pada hari minggu pagi masyarakat memanfaatkan pelabuhan untuk melakukan kegiatan olah raga ringan seperti senam, lari pagi atau sekedar menikmati segarnya udara pagi, ditemani hangatnya sinar mentari. Para mancing mania dapat menyalurkan hobinya pada beton yang menjorok ke tengah laut. Selain itu, juga tersedia tempat memancing di ujung restoran terapung. Selain memancing, panorama sunset di pelabuhan Buleleng tak kalah indahnya dengan di pantai-pantai lain. jika anda merasa lapar, di sekitar areal pelabuhan terdapat banyak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka makanan dengan harga mulai dari Rp. 5000 hingga Rp. 15.000. Untuk Anda yang menginginkan suasana sunset yang lebih eksklusif, Anda bisa mencoba beberapa menu andalan di restoran terapung, yang menyediakan berbagai jenis kuliner spesial dengan harga terjangkau. Di sebelah barat pelabuhan Buleleng, di dekat areal perkampungan bahari, Anda dapat menemukan sebuah pura segara dengan arsitektur khas Bali ditambah sedikit ornamen China. Pura ini biasanya akan dipenuhi umat hindu ketika upacara melasti diadakan dan juga ketika piodalan tiba. Di dekat pintu masuk sebelah timur, teradapat sebuah klenteng dengan aristektur bergaya oriental yang dikenal dengan nama Ling Gwan Kiong. Sampai sekarang, klenteng ini masih aktif digunakan untuk berdoa dan tempat upacara pernikahan. Walaupun klenteng ini merupakan tempat ibadah, jika anda ingin melihat isi klenteng, anda diperbolehkan untuk masuk. Bahkan, penjaga klenteng dengan senang hati akan menjadi pemandu. #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #KITLV LAIDEN # #PULAUDEWATA #BALI # WIKIPEDIA #SEJARAH # #BALILAWAS #
Bali Tempo Dulu
448
TIGA WANITA BALI SEDANG MANDI DI SUNGAI DI TAHUN 1910an Sungai adalah tempat untuk melakukan banyak aktifitas di jaman dahulu,selain tempat untuk mandi di sungai atau dalam bahasa bali di sebut "TUKAD"juga di gunakan untuk mencuci pakain,ihkan prabot,pengairan sawah,memandikan ternak,tempat bermain bagi anak2 di saat waktu senggang dll Dahulu sungai di bali begitu bersih dan jernih,tanpa adanya pencemaran libah seperti saat ini dan kini pun sudah banyak sungai yang warna airnya berubah warna karena banyaknya industri rumah tangga yg membuang limbahnya ke sungai. Tapi untuk di pedesaan di bali masih ada beberapa sungai yg masih terjaga kebersihan & ke asriannya, sekarang tergantung dari kita sendiri untuk menjaganya agar semua sungai di bali tetap terjaga kebersihan dan ke asriannya. Sumber foto : www.semarang.nl
Bali Tempo Dulu
449
WANITA BALI MEMBAWA GEBOGAN TAHUN 1945 Gebogan atau juga disebut Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan dan bunga .Umumnya gebogan dibawa ke pura untuk rangkaian upacara panca yadnya Arti kata gebogan itu sendiri dalam bahasa Bali sebenarnya berarti ''jumlah''. Kenapa sesajen istimewa ini juga dinamakan gebogan? Karena sesajen ini terdiri atas beragam buah aneka warna dan berbagai penganan yang diolah dari hasil bumi Pajengan atau Gebogan adalah sebuah bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan termasuk juga buah buahan dan bunga bungaan yang dikreasikan oleh umat Hindu Di Bali umumnya gebogan dibawa dan ditempatkan di Pura dalam rangkaian upacara .berbagai macam buah-buahan itu dibentuk sedemikian rupa dimana alat yang dipergunakan bernama Wanci,terbuat dari kayu berbentuk seperti piala namun datar dibagian atas dan bawahnya. Selain buah bagian atas gebogan juga dihias dengan Canang,jajan Bali dan terkadang di beri seekor ayam panggang.
Bali Tempo Dulu
450
Pajegan atau gebogan biasanya dibikin oleh masyarakat Hindu untuk dihaturkan jika mereka ke Pura atau dibikin untuk memeriahkan berbagai upacara adat yang ada di Bali. Biasanya gebogan diusung oleh para gadis/perempuan menuju ke pura setempat,sehingga menjadi pemandangan yang luar biasa indah.yaitu pawai gadis menggusung gebogan atau pajegan. Tinggi rendahnya Gebogan /Pajegan tergantung dari keiklasan dan kemampuan dari masingmasing individu membuat Gebogan, karena nilai dari sebuah Gebogan/Pajegan tidaklah diukur dari tinggi atau rendahnya akan tetapi dari keiklasan hati dalam menunjukkan rasa syukur. Dan selebihnya merupakan bentuk pengapresiasian seni. Jadi tidaklah dibenarkan kalau kita berlomba-lomba membuat Gebogan/Pajegan hanya untuk dipamerkan kepada orang lain apalagi sampai dipaksakan dengan mencari hutang dan akhirnya mengkambing hitamkan agama. Tapi ironisnya sebagian orang masih belum memahami tentang apa makna sebenarnya dari Gebogan atau persembahan itu sendiri. Bagi umat Hindu Bali, Gebogan merupakan simbol persembahan dan rasa syukur pada Tuhan/Hyang Widhi, karenanya tidak dapat dibuat sembarangan, tetapi diperbolehkan misalnya untuk perlombaan kesenian (tidak memakai sampian dan porosan) tanpa ada makna apapun dari sisi keagamaan.jadi gebogan tersebut di lombakan. Sedangkan dalam lomba membuat gebogan dari bunga atau dilombakan dengan kreteria komposisi gebogan, kerapian, kesegaran gebogan dan ketepatan waktu serta tinggi gebogan. Sumber foto : Tropen Museum #BaliTempoeDuloe #TropenMuseum #wikipedia #Balilawas # #Baliage #SEJARAH # SENI BUDAYABALI #ADATBUDAYA #
PERTUNJUKAN TARI BARONG GUNUNG KAWI GIANYAR,BALI INDONESIA 1927
Bali Tempo Dulu
451
Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan (dharma ) dan kebatilan ( adharma) . Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya. Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali, di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Gajah, Barong Asu (anjing), Barong Brutuk, serta Barongbarongan. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling sering menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket yang memiliki kostum dan tarian cukup lengkap. Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa, harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari ( juru saluk/ juru bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang memainkan kaki belakang dan ekor Barong. Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti, Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para pengikut Rangda. Keistimewaan Tari Barong terletak pada unsurunsur komedi dan unsur-unsur mitologis yang membentuk seni pertunjukan. Unsur-unsur komedi biasanya diselipkan di tengah-tengah pertunjukan untuk memancing tawa penonton. Pada babak pembukaan, misalnya, tokoh kera yang mendampingi Barong membuat gerakangerakan lucu atau menggigit telinga lawan mainnya untuk mengundang tawa penonton. Sementara itu, unsur mitologis terletak pada sumber cerita yang berasal dari tradisi pra-Hindu yang meyakini Barong sebagai hewan mitologis yang menjadi pelindung kebaikan. Unsur mitologis juga nampak dalam pembuatan kostum Barong yang bahan dasarnya diperoleh dari kayu di tempat-tempat yang dianggap angker,
Bali Tempo Dulu
452
misalnya kuburan. Unsur mitologis inilah yang membuat Barong disakralkan oleh masyarakat Bali. Selain itu, Tari Barong juga seringkali diselingi dengan Tari Keris (Keris Dance), di mana para penarinya menusukkan keris ke tubuh masing-masing layaknya pertunjukan debus. Tari Barong dapat disaksikan di beberapa tempat di Kabupaten Gianyar, Bali, di antaranya di Pura Dalem Ubud yang biasanya mulai dipentaskan pada jam 19.30 WITA, serta di beberapa sanggar seni di Desa Batubulan yang dipentaskan pada jam 09.30 WITA. Untuk menonton seni pertunjukan ini, wisatawan dapat menuju Desa Batubulan melalui Kota Denpasar, Ibu Kota Provinsi Bali. Dari Kota Denpasar, Batubulan berjarak sekitar 10 km atau membutuhkan waktu sekitar 15 menit menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum (taksi/mobil carteran). Sementara, jika wisatawan memulai perjalanan dari Pantai Kuta atau kawasan Nusa Dua, dibutuhkan waktu + 45 menit. Untuk menyaksikan pertunjukan Tari Barong, wisatawan domestik maupun mancanegara dikenakan biaya sebesar Rp 50.000 per orang. Dengan membayar tiket sejumlah itu, wisatawan juga akan memperoleh panduan cerita pementasan dalam bentuk cetak dengan berbagai pilihan bahasa, antara lain bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, Italia, Jepang, dan Mandarin. Selain menggunakan kendaraan pribadi, wisatawan juga dapat menyewa jasa travel untuk menonton tarian ini. Penyedia jasa travel umumnya telah memiliki jadwal tetap pertunjukan Tari Barong di Desa Batubulan. Namun, apabila ingin lebih leluasa dengan agenda wisata yang diinginkan, wisatawan dapat menyewa mobil carteran dengan biaya sewa yang dihitung per hari. Kecuali menyaksikan pertunjukan tari, salah satu agenda wisata yang bisa dilakukan di desa ini adalah berbelanja aneka cenderamata yang dijual oleh toko-toko suvenir maupun galeri seni yang ada di sepanjang jalan di Desa Batubulan. Bendabenda seni seperti patung maupun ukiran merupakan cenderamata khas dari desa ini. Apabila memerlukan akomodasi dan fasilitas seperti penginapan (losmen, hotel melati, maupun hotel berbintang), warung makan, serta tempat hiburan malam, maka wisatawan dapat menemukannya di kota terdekat, yaitu Kota Denpasar.
Bali Tempo Dulu
453
#BALITEMPOEDULOE#TROPENMUSEUM# #WIKIPEDIA#SEJARAH##BALILAWAS# #OBYEKWISATA# #PULAUDEWATA#
MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN Jineng atau lumbung padi, adalah satu bangunan tradisional Bali yang pada umumnya berfungsi sebagai lumbung tempat penyimpanan padi, palawija atau hasil panen lainnya. Bentuknya yang unik, belakangan jineng ini mulai populer dialihfungsikan sebagai tambahan ruang tidur atau untuk tempat bersantai bersama keluarga dan para sahabat atau kerabat lainnya. Jineng yang dimodifikasi dan ditempatkan di halaman rumah juga dapat menjadi element taman tropis bergaya Bali yang sangat menarik. rumah adat khas Bali dirasa belum lengkap apabila belum dibangun sebuah jineng. Meskipun kenyataannya fungsi jineng tidaklah lagi sebagai tempat menyimpan padi DI jaman sekarang ini, tapi masyarakat bali tetap perlu membangunnya agar lebih lengkap sebagai rumah adat Bali. "Sekarang untuk pelengkap saja, sebagai simbolis. Karena sudah tidak ada lagi yang bekerja di pertanian, jadi ya, bagian atasnya dikosongkan saja," Atap jineng tidaklah menggunakan alang-alang sebagaimana umumnya, tapi dibuat dari genting merah bata. "Sekarang agak sulit mencari alang-alang. dan tlah di ganti dngan genting saja," Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali Vaisyah krsivalah karyogopah sasya bhrtvratah, vartayukto grhopatahksetra palo tha Vaisyah. (Slokantara, 37) Maksudnya: Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan
Bali Tempo Dulu
454
menjadi pelindung ladang. BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda. Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja. Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu. Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran. Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran. Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar
Bali Tempo Dulu
455
yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan. Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu. Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura. Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusanya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya. Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk
Bali Tempo Dulu
456
dijadikan contoh oleh para petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya. Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing. Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa. Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan. Sumber kiss emoticon i ketut gobyah #BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA # WIKIPEDIA #
Bali Tempo Dulu
457
PASAR UBUD GIANYAR,BALI INDONESIA 1974 Masih menjual produk-produk yang serupa dengan pasar-pasar seni lainnya. Anda dapat membeli tas anyaman, baju-baju bertuliskan Bali, pakaian tradisional Bali, sampai patung dan lukisan. Coba juga aneka jajanan pasar yang dijual di pasar ini. Sebaiknya datang di pagi hari. Sebab,siang hari biasanya dipadati oleh rombongan turis. Ingatlah untuk menawar harga sebelum Anda membeli. Serta, jelajahi terlebih dahulu pasar sebelum Anda membeli. Pasar ini tergolong luas, sehingga Anda perlu masuk ke dalam untuk mendapatkan harga dan barang terbaik. Juga cobalah naik ke lantai-lantai atas. Kebanyakan turis hanya melihat-lihat dan membeli barang di bagian depan pasar. Pasar ini juga pernah menjadi lokasi shooting film Hollywood “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts. Lokasi pasar ini sangat strategis, persis di depan Puri Agung Saren Ubud. Tepatnya di persimpangan Jalan Monkey Forest. Pasar ini berada di pusat Ubud. Oleh karena itu, turis-
Bali Tempo Dulu
458
turis yang menginap dan berjalan-jalan di sekitar pasar pun menyempatkan diri mampir di pasar ini. Penulis: Ni Luh Made Pertiwi F Editor: Kistyarini @ kompas.com Sumber foto : balimediainfo.com #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PASARUBUD#GIANYAR#WIKIPEDIA#
PENGERAJIN KAIN TENUN ENDEK & SONGKET BALI INDONESIA 1920an Kain Tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata atau sekedar oleh-oleh khas Bali semata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas ke dunia fashion yang berbasiskan budaya. Seperti halnya masyarakat pengrajin kain tenun Bali yang terkenal yaitu di Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem sebagai salah satu pusat produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa Sidemen ini melakukan kegiatan rutinnya sebagai penenun. Hampir semua
Bali Tempo Dulu
459
orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua mereka secara turun temurun. Di kelilingi oleh kehijauan alam yang alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat para touris lokal dan mancanegara kerapkali melakukan pelesiran menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar. Di Sidemen sterdapat dua jenis utama kain tenun yang selama ini di pasarkan di Bali dan luar Bali. Kain tenun Ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, kremasi, dan upacara keagamaan serta dalam acara adat. Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan. Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian digintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain. Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat. Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana. Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain setelah jadi menjadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang
Bali Tempo Dulu
460
satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut. Beberapa kreasi baru telah diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket begitu juga dalah hal kreasi pewarnaan. ”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo. Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam. Mengikuti berbagai Pameran, tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti. Sumber : http://www.komangputra.com/mengenal-kain-tenun-bali.html Foto : OLDBALI #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #WARISAN#BUDAYA#BALI# #SEJARAH#SENI#OLDBALI#
PENJUAL SATE LILIT KHAS BALI TAHUN 1920an Sate Lilit Ikan merupakan salah satu masakan
Bali Tempo Dulu
461
alternatif pengembangan dari varian ikan, dengan bahan dasar ikan tuna, tenggiri atau kakap tanpa tulang, dengan ciri khas bentuknya unik seperti sate. Panganan ini merupakan salah satu andalan kuliner dari Bali. Berbeda dengan sate pada umumnya yang dagingnya ditusuk, Sate Lilit justru dibuat dengan cara di lilit. Sebelumnya, daging akan dicincang halus terlebih dahulu dan di ramu dengan bumbu Bali. Kemudian, di lilitkan di batang daun serai atau tangkai bambu. Rasanya di jamin empuk dan gurih! Terlebih pada sate lilit yang menggunakan batang daun serai, kamu akan mencium bau wangi yang sedap. Pada umumnya daging yang digunakan, antara lain daging ayam, babi, ataupun ikan tenggiri. Namun, sate lilit dengan daging ikan tenggiri lah yang menjadi primadona di Bali. Suber foto : OLDBALI #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #KULINERBALI#WISATA#BALI#
Bali Tempo Dulu
462
Anak Agung Gede Raka Payadnya Beliau merupakan pencipta Drama Gong sebagai hiburan kesenian masyarakat Bali. Dalam perjalanan dan biodatanya yang dikutip dari artikel Bali Post, Anak Agung Gede Raka Payadnya adalah berasal dari Abianbase Gianyar kelahiran 14 Agustus 1944 merupakan sosok seniman low profile yang akrab dengan peran "raja muda" di panggung pentas pada tahun 1970-an. Beliau dianugerahi penghargaan Dharma Kusuma 2004 oleh Pemda Propinsi Bali. Penghargaan ini diberikan atas sumbangsih dan perjuangannya pada kesenian terutama seni drama gong yang selama ini digelutinya dengan
Bali Tempo Dulu
463
kelompok Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase Gianyar, ayah empat anak dan sejumlah cucu ini sudah menorehkan sejarah dalam lintas panjang seni drama gong itu sendiri. *** Dalam kisahnya beliau tamat Kokar pada tahun 1965 dan sempat kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Seni Rupa Unud. Setelah mengikuti Mapram atau meplonco dulu, beliau pulang dan diminta oleh Sekaa Gong Wijaya Kusuma di banjarnya untuk membuat pentas sendratari. Waktu yang diberikan terlalu mendesak, sehingga harus selesai dan bisa pentas hari yang sudah ditentukan. Dengan memakai penari-penari Legong seperti penari Oleg , Tenun, Tani, Margapati atau lainnya, dalam waktu delapan hari sendratari itu harus sudah selesai. Melihat kondisi penari dan waktu yang diberikan terlalu mendesak, beliau merasa tidak akan bisa membuat sendratari. Untung saja sejak bersekolah di Kokar beliau punya pengetahuan menari, sehingga tidak terlalu sulit untuk membuatnya. Beliau kompromi bersama temanteman, kemudian muncul ide untuk membuat pertunjukan seperti drama klasik, tapi adegannya seperti sendratari. Perbedaannya, pemain tidak menari. Sebagai pemainnya, beliau banyak didukung oleh guru-guru, muda-mudi, dan tokoh masyarakat Abianase, Gianyar. Oleh karena pada zaman Gestapu sebelum tahun 1970-an dulu sedang ngetrend ada drama janger, maka atas kesepakatan kawan-kawan pertunjukan itu diberikan nama drama klasik."Cerita Jayaprana" Pada 24 Februari 1966 bertepatan dengan upacara wali di Pura Puseh Desa Abianbase, drama klasik itu dipentaskan. Beliau merasa bangga karena banyak sekali masyarakat yang menonton. Bahkan sebelum pentas, yaitu pada waktu latihan saja, banyak penontonnya. Mungkin saja pada zaman itu orang haus tontonan. Mungkin juga karena itu merupakan jenis pertunjukan baru. Pertama kali pentas mereka tidak menggunakan panggung, melainkan kalangan atau arena. Bahasa yang digunakan campuran antara bahasa Indonesia dengan Bali. Kalau bertemu dengan pemain tua digunakan bahasa Bali, sedangkan ketemu dengan pemain muda menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya pun logat Bali, bahkan logat Abianbase. Ketika mereka pentas di Banjar Babakan, Sukawati, banyak mantan guru-guru beliau
Bali Tempo Dulu
464
sengaja datang menonton. Sehabis pementasan, penonton - penonton tersebut ke belakang panggung menemui beliau dan salah satu di antara penonton tersebut adalah Bapak IGB Nyoman Pandji, yang kemudian menyarankan agar pertunjukan itu diberi nama "drama gong" karena menggunakan iringan gamelan gong kebyar . Maka, sejak itu, pertunjukan drama klasik mereka berganti nama jadi drama gong . Sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya. Beliau juga telah memiliki 111 koleksi judul drama gong, yang diantaranya Semara Nala", "Dukuh Seladri", "Mudita", dan "Cilinaya". Dan sejak 1968 drama gong mereka sudah menggunakan bahasa Bali. #BALITEMPOEDULOE#BUDAYAWAN# #SENIMANBALI#SEJARAH#DRAMA# #GONG#BALI#WIKIPEDIA#BUDAYA#
PENJUAL KOPI DI BALI 1939 Menikmati secangkir kopi di pagi hari Sebuah warung sederhana di bali juga menyediakan beraneka hasil kebun seperti buah,umbiumbian dll untuk menemani secangkir kopi di pagi hari.
Bali Tempo Dulu
465
SEJARAH KOPI DI BALI : A Coffee Cup Kenapa Kopi Bali Berbeda? Nggak jarang malah, orang asing lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Bukan hanya karena budayanya dan keindahan alamnya, Bali juga terkenal dengan kopinya. Tentunya kita bangga dengan Bali, tapi banyak nggak sih di antara kita yang tahu tentang sejarah kopi Bali ini? Berbeda dengan hampir semua daerah yang menghasilkan kopi di Indonesia, seperti Jawa dan Sumatra, perkebunan kopi di Bali bukan dipelopori oleh pemerintahan kolonial Belanda, tapi dari para pedagang dari Lombok yang membawa bibit kopi ke Bali di awal Abad 20. Jadi, dibandingkan dengan daerah lain, perkebunan kopi di Bali termasuk yang paling muda, memang. Kesuburan tanah vulkanis dan iklim di daerah Kintamani memang sangat ideal untuk pertumbuhan kopi di Bali yang berlangsung sangat cepat. Dan jenis kopi yang dibawa oleh para pedagang dari Lombok ke Bali pada masa itu adalah Robusta, yang tahan hama dan mempunyai kadar kafein yang tinggi. Daerah Kintamani yang terletak di utara Pulau Bali sampai saat ini masih merupakan penghasil kopi yang utama di Pulau Dewata ini, meskipun saat ini Arabika lebih banyak ditanam ketimbang Robusta. Mengapa? Karena Arabika rasanya tidak terlalu asam dan harganya lebih tinggi. Jelas, hal ini lebih menguntungkan bagi para petani dan pengusaha kopi di Bali. Kita boleh bangga, bahwa pada tahun 2008 Kopi Bali yang berasal dari Kintamani ini mendapat sertifikat Geographical Indication (GI) secara resmi, yang artinya kopi Bali sudah memenuhi kualitas internasional. Sertifikat ini juga biasa diberikan untuk wine dan keju. Keunikan dari perkebunan kopi di Bali adalah karena biasanya pengurus kopi di sana juga adalah para petani beras. Para petani di Bali biasa bekerja dengan memegang prinsip Tri Hita Karana, sebuah filosofi yang berpusat pada usaha untuk menjaga perdamaian dan ketenangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Perbedaan lainnya antara kopi Bali dengan kopikopi lain di Indonesia adalah cara memrosesnya. Kopi Bali diproses dengan cara tradisional Bali. Buah kopi dibuang sebelum bijinya mengering, dan proses ini disebut sebagai “proses basah”. Sementara, biasanya kopi di Indonesia melalui
Bali Tempo Dulu
466
“proses kering”, di mana seluruh buah kopi dikeringkan dulu. Itulah sebabnya, warna biji kopi Bali lebih terang dibanding kopi-kopi lainnya di Indonesia. Rasanya mirip seperti kopi-kopi di Pulau Jawa, Timor, dan Flores, dan agak sedikit mirip dengan kopi Toraja dan kopi Sumatra. Cara menyeduh kopi ini di Bali dulunya disajikan dengan cara menuangkan bubuk kopi dengan air panas, langsung di cangkirnya, dan meninggalkan ampas di dasarnya. Sayangnya, banyak yang nggak suka dengan kopi yang semacam ini. Kedai kopi modern pun semakin menjamur di Bali, dan bukan hanya di Ubud. Di Bali, ternyata juga ada tur yang bisa mengatur para turis untuk berkunjung ke perkebunan kopi. Atau, kamu bisa menyewa mobil untuk berjalan-jalan ke Kintamani dan mampir ke kebun kopi, kalau kamu berlibur lagi ke sana lain kali. Daripada ke pantai terus, bosan juga kan? Sumber, "kopi keliling". Foto : balimediainfo / TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#KOPIBALI# #PERKEBUNAN#ARABIKA#WIKIPEDIA# #HASILALAMBALI#BALI#BUDAYA#
SUASANA KOTA GIANYAR BALI, INDONESIA DI TAHUN 1930an Kabupaten Gianyar adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali,Indonesia.Daerah ini merupakan pusat budaya ukiran di Bali. Gianyar berbatasan dengan Kota Denpasar di barat daya,Kabupaten Badung di
Bali Tempo Dulu
467
barat, Kabupaten Bangli di timur dan Kabupaten Klungkung di tenggara. Sejarah Kota Gianyar : Ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar No.9 tahun 2004 tanggal 2 April 2004 tentang Hari jadi Kota Gianyar. Sejarah dua seperempat abad lebih,tempatnya 236 tahun yang lalu, 19 April 1771,ketika Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam per raturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali.Sesungguhnya berfungsinya sebuah keraton,yaitu Puri Agung Gianyar yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis Sakti memberikan syarat kepada kita bahwa proses menjadi dan ada itu bisa ditarik ke belakang (masa sebelumnya)atau ditarik ke depan (masa sesudahnya). Masa kerajaan Berdasarkan bukti-bukti arkeologis di wilayah Gianyar sekarang dapat diinterprestasikan bahwa munculnya komunikasi di Gianyar sejak 2000 tahun yang lalu karena diketemukannya situs perkakas (artefak) berupa batu, logam perunggu berupa nekara (Bulan Pejeng ), relief-relief yang menggambarkan kehidupan candi-candi atau goagoa di tebing-tebing sungai (tukad) Pakerisan.Setelah bukti-bukti tertulis ditemukan berupa prasasti diatas batu atau logam terindetifikasi situs pusat-pusat kerajaan dari dinasti Warmadewa di Keraton Singamandawa, Bedahulu.Setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) dapat menguasai Pulau Bali maka di bekas pusat markas laskarnya didirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oleh Lima Raja Bali, yaitu: 1. Raja Adipati Ida Dalem Krena Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti Kresna Kepakisan, kemudian Keraton Samprangan mampu bertahan selama lebih kurang tiga abad. 2. Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460) 3. Ida Dalem Waturenggong (1460-1550) 4. Ida Dalem Sagening (1580-1625) 5. Ida Dalem Dimade (1625-1651). Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600an)penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal DinastiManggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843).Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti rajaraja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud. Pada periode yang sama, yaitu periode Gelgel muncul pula penguasa-penguasa daerah lainnya, yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan. Masa kolonialisme Dinamika pergumulan antara elit tradisional dari generasi ke generasi telah berproses pada momentum tertentu, salah seorang diantaranya sebagai pembangunan kota keraton atau kota kerajaan pusat pemerintahan kerajaan yang disebut Gianyar . Pembangunan Kota kerajaan yang berdaulat dan memiliki otonomi penuh adalah Ida dewa Manggis Sakti, generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning. Sejak berdirinya Puri Agung Gianyar 19 April 1771 sekaligus ibu kota Pusat Pemerintah Kerajaan Gianyar adalah tonggak sejarah. Sejak itu dan selama periode sesudahnya Kerajaan Gianyar yang berdaulat, ikut mengisi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Bali yang terdiri atas sembilan kerajaan di Klungkung,Karangasem, Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan,Badung, Tabanan dan Gianyar. Namun sampai akhir abat ke-19, setelah runtuhnya Payangan dan Mengwi di satu pihak dan munculnya
Bali Tempo Dulu
468
Jembrana dilain pihak maka Negara): Klungkung,Karangasem, Bangli dan Gianyar (ENI, 1917).Masa awal kemerdekaan Ketika Belanda telah menguasai seluruh Pulau Bali, Kedelapan bekas kerajaan tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Guberneurmen namun sebagai bagian wilayah Hindia Belanda yang dikepalai oleh seorang raja (Selfbestuurder)di daerah Swaprajanya masing-masing. Selama masa revolusi, ketika daerah Bali termasuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) otonomi daerah kerjaan (Swapraja) ke dalam sebuah lembaga yang disebut Oka, Raja Gianyar diangkat sebagai Ketua Dewan Raja-raja menggantikan tahun 1947.Selain itu pada periode NTT dua tokoh lainnya yaitu Tjokorde Gde Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud) menjadi Presiden NIT dan Ida A.A. Gde Agung (Puri Agung Gianyar) menjadi Perdana Menteri NIT, Ketika Republik Indonesia Serikat(RIS) kembali ke Negara Kesatuan (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, maka daerah-daerah diseluruh Indonesia dengan dikeluarkan Undang-undang N0. I tahun 1957, yang pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang No. 69 tahun 1958 yang mengubah daerah Swatantra Tingkat II (Daswati II). Nama Daswati II berlaku secara seragam untuk seluruh Indonesia sampai tahun 1960. Setelah itu diganti dengan nama Derah Tingkat II (Dati II). Namun Bupati Kepala Derah Tingkat II untuk pertama kalinya dimilai pada tahun 1960. Bupati pertama di DATI II Gianyar adalah Tjokorda Ngurah (1960-1963). Bupati berikutnya adalah Drh. Tjokorda Anom Pudak (1963-1964) dan Bupati I Made Sayoga, BA (1964-1965). Ketika dilaksanakannya UndangUndang No. 18 tahun 1965, maka DATI II diubah dengan nama Kabupaten DATI II. Kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1974 yang menggantikan nama Kabupaten.Kepala daerahnya tetap disebut Bupati. Masa sekarang,Sejak tahun 1950 sampai sekarang yang hampir lima dasawarsa lebih telah tercatat sembilan orang Kepala Pemerintahan/Bupati Gianyar , yaitu: 1. A.A. Gde Raka (1950-1960) 2. Tjokorda Ngurah (1960-1963) 3. Drh. Tjokorda Dalem Pudak (1963-1964) 4. I Made Sayonga (1964-1965) 5. Bupati I Made Kembar Kerepun (1965-1969) 6. Bupati A.A. Gde Putra, SH (1969-1983) 7. Bupati Tjokorda Raka Dherana, SH (1983-1993) 8. Bupati Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH (1993-2003) 9. Bupati A.A.G. Agung Bharata, SH (2003-2008) 10. Bupati Ir.Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati,MSi (2008-2013) 11. Bupati A.A.G. Agung Bharata, SH (2013-2018) Dari sisi otonomi jelas nampak bahwa proses perkembangan yang terjadi di Kota Gianyar . Otonomi dan berdaulat penuh melekat pada Pemerintah kerjaan sejak 19 April 1771 kemudian berproses sampai otonomi Daerah di Tingkat II Kabupaten yang diberlakukan sampai sekarang.Berbagai gaya kepemimpinan dan seni memerintah dalam sistem otonomi telah terparti di atas lembaran Sejarah Kota Gianyar . Proses dinamika otonomi cukup lama sejak 19 April 1771 sampai 19 April 2005 saat ini, sejak kota keraton dibangun menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang otonomi sampai sebuah kota kabupaten, nama Gianyar diabadikan. Sampai saat ini telah berusia 243 tahun, para pemimpin wilayah kotanya, dari raja (kerajaan) sampai Bupati (Kabupaten), memiliki
Bali Tempo Dulu
469
ciri dan gaya serta seni memerintah sendiri-sendiri di bumi seniman.Seniman yang senantiasa membumi di Gianyar dan bahkan mendunia. Sumber : http://bappeda.gianyarkab.go.id/index.php/baca-artikel/4/Sejarah-KabupatenGianyar-–-Bali Foto : TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#GIANYAR# #KOTA#BALI#TROPENMUSEUM#BALI# #LAWAS#WIKIPEDIA#KABGIANYAR#
TRADISI MEGIBUNG KARANGASEM,BALI INDONESIA Megibung adalah tradisi makan bersama dalam suatu wadah. Tradisi ini berasal dari daerah Karangasem. Namun pada dewasa ini, tradisi megibung dapat dijumpai di hampir semua daerah di Bali. dalam sejarahnya megibung sendiri dikenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika pada saat itu, Karangasem dalam ekspedisinya menaklukkan Raja-raja yang ada di tanah Lombok. Ketika istirahat dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung.Bahkan, raja sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya Dalam kebudayaan megibung ini memiliki sebuah konsep kesetaraan, tidak memandang ras dan golongan sebagai sebuah perbedaan. Konsep kesetaraan bukanlah hal yang baru, bahkan digunakan sebagai sebuah ideology oleh sekelompok anak muda yang biasa kita kenal dengan sebutan anak punk. Anak punk sendiri memilki motto Equality (persamaan hak) dan anarki sebagai sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri. Artinya konsep tersebut merupakan sebuah pandangan yang menginginkan kesetaraan tanpa adanya aturan baku untuk membeda-dakan
Bali Tempo Dulu
470
golongan.Dengan demikian konteks kesetaraan disini adalah suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan keragaman yang ada pada manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dan satu tingkatan Hierarki. termasuk perlakuan yang sama dalam bidang apapun tanpa membedakan jenis kelamin, keturunan, kekayaan, suku bangsa, dan lainnya. Serta lebih mengacu pada bagaimana perbedaan yang ada harus hidup serasi dan selaras, tanpa harus meninggalkan identitas perbedaan yang ada pada masingmasing individu tersebut. Sumber : http://kerthaaksara.org/opini/2015/04/14/megibung-dalam-pandangan-konsepkesetaraan.html Karangasem 1960 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #TRADISI#BALI#BUDAYABALI#
Bali Tempo Dulu
471
JALAN RAYA SEMPIDI TAHUN : 1910 - 2016 BADUNG,BALI INDONESIA Sempidi adalah kelurahan di kecamatan Mengwi, Badung , Bali, Indonesia. Sempidi adalah lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Badung, dan sampai saat ini masih berlangsung
Bali Tempo Dulu
472
pembangunannya. Desa adat Sempidi terdiri atas 13 banjar adat yang termasuk kawasan Sempidi-Kwanji. Nama-nama banjar tersebut yaitu Banjar Kangin, Banjar Tengah, Banjar Gede, Banjar Sebita, Banjar Sengguan, Banjar Grogak, Banjar Ubung, Banjar Tegehe, Banjar Batanasem,Banjar Pande, Umegunung, Kwanji Kaja, serta Kwanji Kelod. Sempidi merupakan salah satu tempat penghasil layangan tradisional Bali. Pada saat musim layangan yang terjadi antara bulan MeiAgustus, sepanjang jalan raya Sempidi banyak penjual layangan yang mayoritas menjual layangan tradisional Bali.Obyek wisata yang terletak di Sempidi yaitu Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pusat kegiatan adat bagi krama desa adat Sempidi. Dalam Pura Kahyangan Tiga, yang oleh masyarakat Sempidi biasa disebut pura desa,dihiasi oleh banyak ornamen-ornamen klasik yang mencerminkan kemegahan. Sempidi adalah lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung sekarang. Gagasan awal mendirikan Puspem Badung dilatarbelakangi proses pemekaran Kabupaten Badung menjadi dua wilayah, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar (sekarang Kota Denpasar). Sejak terjadinya kerusuhan yang mengecewakan masyarakat Bali pada pemilihan umum dan menghanguskan kompleks gedung pusat pemerintahan di Lumintang pada 21 Oktober 1999. Tragedi tersebut menimbulkan kerugian yang amat besar bagi pemerintah dan masyarakat Badung. Dalam perkembangannya Kabupaten Badung memerlukan tempat yang lebih kondusif untuk menjalankan pemerintahannya. Berbagai faktor sepertinya telah dipikirkan dan fakta sekarang kembali ke Mengwi. Karena Sempidi berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Mengwi, dengan demikian pusat pemerintahan Kota Madya Denpasar tetap di Denpasar dan Kabupaten Badung kembali ke Mengwi. Kini Mengwi menjadi pusatnya Badung yang baru. Proses pembangunan puspem juga dibarengi dengan proses penetapan nama ibu kota Kabupaten Badung. Langkah tersebut diawali dengan penyerapan aspirasi masyarakat, kemudian Pansus Nama Kota Kabupaten Badung melakukan semiloka 25 November 2008 di Ruang Sidang DPRD Badung dan menghasilkan kesepakatan bersama bahwa Ibu Kota Kabupaten Badung adalah Mangupura. Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sempidi,_Mengwi,_Badung Foto : wikimedia , TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#WIKIMEDIA# #SEJARAH#BALI#BADUNG# #BUDAYA#ARSIPBALI#BALILAWAS#
Bali Tempo Dulu
473
PENYANYI ASAL PHILIPINA INI PERNAH MENGGUNCANG INDONESIA KHUSUSNYA BALI DI ERA TAHUN 90an LEWAT LAGU YANG BERJUDUL "DENPASAR MOON" MEMBUAT MASYARAKAT KHUSUSNYA BALI SANGAT MENYUKAI LAGU INI YANG SANGAT POPULER ITU. Judul Album : Alone Against The World Penyanyi : Maribeth Tahun Produksi : 1993 Prod : Tetsuo Mori & Ikkai Toshima Produksi : Sony Music Entertainment Japan Ini memang bukan album produksi Indonesia, bukan penyanyi asal Indonesia, lagunya juga tidak ada yang berbahasa Indonesia, tapi sudah 'seperti' lagu Indonesia. MARIBETH PASCUA adalah pemenang pertama VOICE OF ASIA tahun 1991 (mengalahkan IRMA JUNE) yang berasal dari Philipina. Salahsatu hadiah dari perlombaan itu adalah rekaman album di SONY MUSIC Jepang, dan album ini adalah hadiah itu. Album ini biasa-biasa saja penjualannya di Jepang ataupun di Philipina, tapi luarbiasa meledak ketika dirilis di Indonesia, gara-gara lagu
Bali Tempo Dulu
474
DENPASAR MOON yang memang musiknya berbau dangdut. Lagu ini sangat familiar selain karena iramanya yang ngedangdut itu, juga setting lagu yang bercerita tentang Bali, syuting videoklip di Bali, dan tambah nyantol karena lagu ini juga jadi jingle iklan TV Sony. Uniknya, lagu ini sebenarnya bukan lagu yang dibuat khusus untuk Maribeth, tetapi lagu daur ulang dari pencipta dan penyanyi asal Inggris SABAH HABBAS MUSTAPHA. Sukses lagu ini membuat lagu ini dirilis lagi oleh penyanyi-penyanyi Indonesia dalam berbagai versi, antara lain versi dangdut oleh MERRY ANDANI. Album ini juga membawa nama Maribeth menjadi penyanyi terkenal di Indonesia dan sempat lama tinggal dan berkarir disini, dan ironisnya, di Philipina namanya tidak seterkenal seperti di Indonesia.Hits lain dari album ini adalah EASY (recycle hits lagu COMMODORES) dan SAIL AWAY. Track List 1. DENPASAR MOON Sabah Habas Mustapha 2. EASY Lionel Richie 3. ALONE AGAINST THE WORLD Mark Fisher 4. EVERYTHING YOU ARE Mark Fisher 5. TOMORROW'S A BRAND NEW DAY David Yorath & Kitaroh Nakamura 6. BEWITCHED Kehoe, McDermot, Jones 7. NOT EVERYBODY WANTS TO SING David Yorath & Sanshiro Fujimoto 8. THE LOVE I KNOW Mark Fisher & Ichiroh Hada 9. HE LOVES YOU Bob Wilson 10. SAIL AWAY (FUNAYARE) Rinken Teruya & Aceilux DENPASAR MOON Denpasar moon Shining on an empty street I return to the place we used to meet Denpasar moon Shine your light and let me see That my love is still waiting there for me I saw you standing there Through the rain I saw you turn and smile Were you waiving to me Through the rain I ran across the street But you were gone There was no one You have vanished with my dream (You were gone flying homeward) #BALITEMPOEDULOE#LAGU# #TEMBANGLAWAS#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
475
SUASANA SALAH SATU JALAN DI KOTA SINGARAJA DI TAHUN 1930an BULELENG,BALI INDONESIA Kabupaten Buleleng adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali, Indonesia. Ibu kotanya ialah Singaraja. Buleleng berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Jembrana di sebelah barat, Kabupaten Karangasem di sebelah timur dan Kabupaten Bangli, Tabanan serta Badung di sebelah selatan. Panjang ruas pantai Kabupaten Buleleng sekitar 144 km, 19 km-nya melewati Kecamatan Tejakula. Selain sebagai penghasil pertanian terbesar di Bali (terkenal dengan produksi salak bali dan jeruk keprok Tejakula), Kabupaten Buleleng juga memiliki obyek pariwisata yang cukup banyak seperti pantai Lovina, pura Pulaki,Air Sanih dan tentunya kota Singaraja sendiri.Kabupaten Buleleng dibagi kepada 9 kecamatan dan 148 desa dan kelurahan. Kecamatankecamatannya adalah : 1. Gerokgak 2. Seririt 3. Busung Biu 4. Banjar 5. Buleleng 6. Sukasada 7. Sawan 8. Kubutambahan 9. Tejakula Sedangkan Kota Singaraja terdiri atas Kecamatan yang mungkin bergabung ke dalam kota ini meliputi : Singaraja Barat Singaraja Pusat Singaraja Timur Sebelum seperti saat ini,
Bali Tempo Dulu
476
Kabupaten Buleleng dan Kota Singaraja mempunyai cerita dongeng asal - usul yang menjadi warisan kepada anak cucu orang Buleleng, ceritanya seperti ini : Dahulu kala di Pulau Dewata - Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Sagening . Sang Raja memiliki banyak istri, dan istri ter akhirnya bernama Ni Luh Pasek . Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji, dan masih ke turunan Kyai Pasek Gobleng . Suatu waktu, pada saat Ni Luh Pasek mengandung, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol . Tak berapa lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan . I Gede Pasekan mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka masyarakat maupun masyarakat biasa. Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata padanya, “Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.” “Mengapa ayah?” “Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.” Sebelum berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur . Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pengawal yang dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang disebut Batu Menyan , mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal secara bergantian. Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat I Gede Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat me lihat pemandangan lepas ke lautan dan daratan yang terbentang di hadapannya. Ketika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Ketika me lihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan. “I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah kekuasaanmu.” Keesokan harinya rombongan itu me lanjutkan perjalanan. Meski sulit dan pe nuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu Desa Panji, tempat kelahiran ibunya. Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai Panimbangan. Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya. Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede Pasekan. “Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian muatan itu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.” “Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,” jawab I Gede Pasekan. I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya, perahu yang kandas itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, orang Bugis itu memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar . Sejak saat itu I Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti Kekuasaan I Gede Pasekan mulai me luas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu berkembang hingga ke utara. Daerah itu banyak ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu. Wilayah itu pun diberi nama Buleleng. Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja. Nama ini menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah perkasa laksana singa. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama
Bali Tempo Dulu
477
Singaraja artinya tempat persinggahan raja. Pada saat sang Raja masih di Sukasada, se ring singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja . Naahhh teman-teman, sekarang sudah tahu khan asal muasal Kabupaten Buleleng dan Kota Singaraja, perlu teman-teman tahu, pada saat bumi nusantara dijajah oleh pemerintahan kolonial Belanda (VOC) kota Singaraja adalah ibukota Bali tetapi pada saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, berdasarkan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958, Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah daerah Kabupaten Badung,selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi Provinsi Bali. Salah satu kebangaan orang Bali terutama orang Singaraja, bahwa Ibunda sang proklamator, putra sang fajar Ir. SOEKARNO adalah Putri Bangsawan Bali - Singaraja bernama Ida Ayu Nyoman Rai,atau Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Berasal dari kota singaraja. Sumber : http://agathanicole.blogspot.co.id/2013/09/legenda-bali-asal-usulkabupaten.html?m=1 FOTO :TROPENMUSEUM #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#BUDAYA#SINGARAJA# #TROPENMUSEUM#KOTA#
Bali Tempo Dulu
478
FOTO DESA TENGANAN DARI ATAS BUKIT TAHUN 1935 KARANGASEM,BALI INDONESIA Tenganan adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis , Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Tenganan bisa dicapai dari tempat pariwisata Candi Dasa dan letak kira-kira 10 kilometer dari sana. Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga , selain Trunyan dan Sembiran . Yang dimaksud dengan Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan. Sejarah : Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata berasal dari kata "tengah" atau
Bali Tempo Dulu
479
"ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin). Sejarah lain mengatakan bahwa masyarakat.Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang dulu disebut sebagai Bedahulu. Menurut cerita rakyat, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah satu kudanya dan orang-orang mencarinya ke Timur. Kuda tersebut ternyata ditemukan tewas oleh Ki Patih Tunjung Biru,orang kepercayaan sang raja. Atas loyalitasnya, Ki Patih tunjung Biru mendapatkan wewenang untuk mengatur daerah yang memiliki aroma dari bangkai ( carrion) kuda tersebut. Ki Patih mendapatkan daerah yang cukup luas karena dia memotong bangkai kuda tersebut dan menyebarkannya sejauh yang dia bisa lakukan. Itulah asal mula dari daerah Desa Tenganan. Mata Pencaharian Penenun kain di Desa Tangenan. Umumnya, penduduk desa Tenganan bekerja sebagai petani padi , namun ada pula yang membuat aneka kerajinan. Beberapa kerajinan khas dari Tenganan adalah anyaman bambu,ukiran , dan lukisan di atas daun lontar yang telah dibakar. Di desa ini pengunjung bisa menyaksikan bangunan-bangunan desa dan pengrajin-pengrajin muda yang menggambar lontar-lontar. Sejak dulu, masyarakat Desa Tenganan juga telah dikenal atas keahliannya dalam menenun kain gringsing. Cara pengerjaan kain gringsing ini disebut dengan teknik dobel ikat. Teknik tersebut merupakan satu-satunya di Indonesia dan kain gringsing yang dihasilkan terkenal istimewa hingga ke mancanegara.Penduduk Tenganan masih menggunakan sistem barter dalam kehidupan sehari-harinya. Adat Istiadat Perang pandan atau duri, salah satu acara adat Tenganan.Perang pandan. Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842.Rumah adat.Tenganan dibangun dari campuran batu merah,batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabar-sabatan biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan.Walaupun akan menimbulkan luka, mereka memiliki obat antiseptik dari bahan umbi- umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat.Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang. Masyarakat Tenganan mengajarkan dan
Bali Tempo Dulu
480
memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan),Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya) Suber : WIKIPEDIA / https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tenganan,_Manggis,_Karangasem Foto : TROPENMUSEUM #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #KARANGASEM#BALI#WIKIPEDIA# BUDAYA#SENI#BALILAWAS#
Bali Tempo Dulu
481
KERTA GOSA KLUNGKUNG,BALI INDONESIA 1 AGUSTUS 1953 Kerta Gosa adalah salah satu obyek wisata andalan kabupaten Klungkung, Bali. Dibangun pada tahun 1686 oleh Dewa Agung Jambe, Taman Gili Kerta Gosa memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki obyek wisata lainnya. Kerta Gosa adalah sebuah bangunan terbuka (bale) yang secara resmi merupakan bagian dari kompleks Puri Semarapura. Terletak di jantung kota Semarapura Ibukota
Bali Tempo Dulu
482
Kabupaten Klungkung, di sebelah pasar utama, Kerta Gosa telah direnovasi dan dilestarikan oleh pemerintah. Di dalam tembok dengan ukiran Bali tradisional, terdapat dua bangunan tinggi berdiri yaitu, disebut Bale Kerta Gosa dan Bale Kambang (Taman Gili). Bale Kerta Gosa merupakan sebuah bangunan tinggi di sudut kanan setelah pintu masuk, serta Bale Kambang yang lebih besar terletak di tengah dan dikelilingi oleh kolam. Selain arsitektur bangunan yang indah, keunikan Kerta Gosa terletak di langit-langit bale yang ditutupi dengan lukisan tradisional bergaya Kamasan. Kamasan adalah sebuah desa di kecamatan Klungkung yang terkenal dengan ciri khas lukisan wayangnya. Lukisan Kamasan biasanya mengambil epik seperti Ramayana atau Mahabharata sebagai tema lukisan. Lukisan Kamasan biasanya ditemukan di Pura-Pura sebagai hiasan yang memiliki banyak arti. Sebelumnya lukisan di langit-langit Kerta Gosa dibuat pada kain, namun pada tahun 1930 dipugar dan dicat pada eternit. Lukisan-lukisan di langit-langit Kerta Gosa menawarkan pelajaran rohani yang berharga. Jika seseorang melihat hal ini secara rinci, pada setiap bagian langit-langit menceritakan cerita yang berbeda, terdapat satu bagian yang bercerita tentang karma dan reinkarnasi, dan bagian lain menggambarkan setiap fase kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Lukisan dibagi menjadi enam tingkatan, yang mewakili akhirat, serta yang paling atas yaitu nirwana. Bale Kambang adalah sebuah bangunan indah di tengah kolam. Lukisan Kamasan di langitlangit menggambarkan kisah dari epik Sutasoma. Kedua sisi dari jembatan menuju bale dijaga oleh patung-patung yang mewakili karakter dari epik dengan latar belakang kolam teratai. Tema dalam lukisan menunjukkan bahwa bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat bagi keluarga kerajaan untuk mengadakan upacara agama untuk ritual Manusa Yadnya seperti pernikahan dan upacara potong gigi. Kerta Gosa ternyata juga pernah difungsikan sebagai balai sidang pengadilan yaitu selama berlangsungnya birokrasi kolonial Belanda di Klungkung (1908-1942) dan sejak diangkatnya pejabat pribumi menjadi kepala
Bali Tempo Dulu
483
daerah kerajaan di Klungkung (Ida I Dewa Agung Negara Klungkung) pada tahun 1929. Bahkan, bekas perlengkapan pengadilan berupa kursi dan meja kayu yang memakai ukiran dan cat prade masih ada. Bendabenda itu merupakan bukti-bukti peninggalan lembaga pengadilan adat tradisional seperti yang pernah berlaku di Klungkung dalam periode kolonial (1908-1942) dan periode pendudukan Jepang (1043-1945). Pada tahun 1930, pernah dilakukan restorasi terhadap lukisan wayang yang terdapat di Kerta Gosa dan Bale Kambang oleh para seniman lukis dari Kamasan dan restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960. Sumber : http://www.klungkungkab.go.id/index.php/baca-pariwisata/84/Kerta-Gosa #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #OBYEKWISATA#KLUNGKUNG# #BUDAYA#SENI#WIKIPEDIA#
Bali Tempo Dulu
484
PURA PUSEH LAN DESA PEKRAMAN DENPASAR DI JALAN GAJAH MADA TAHUN : 1920 - 2016 Bali yang terkenal dimata dunia dengan banyak sebutan salah satunya yaitu Pulau Seribu Pura. Karena di Bali memang banyak terdapat pura. Seperti halnya Pura Khayangan Tiga yang terdapat disetiap desa adat.
Bali Tempo Dulu
485
Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci yang terdiri dari: Pura Desa, tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta. Pura Puseh, tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara. Pura Dalem, tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta. Sejarah Pura Khayangan Tiga : Sejarah mengenai Pura Khayangan Tiga yang ada disetiap Desa Adat, masih belum pasti karena sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan. Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa adanya Pura Khayangan Tiga berawal ketika pada masa sebelum pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang yang mana pada saat itu banyak aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Dari pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan yaitu diharuskan agar dalam lingkungan masyarakat Desa dibangun Kahyangan Tiga, yang berfungsi sebagai
Bali Tempo Dulu
486
tempat suci untuk memuja Tri Murthi yaitu: Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan manifestasi Hyang Widhi Wasa .Dan berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu Kuturan tersebut, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil lebur dan menyatu (manunggal). Tentang Khayangan Tiga Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dari Tri Hita Karana , penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut: Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup. Kahyangan Tiga bisa dalam wujud tiga buah Pura, tetapi bisa juga dalam dua buah Pura saja, di mana Pura Desa dan Puseh menyatu, biasanya disebut Pura PusehDesa Bale Agung. Pura Dalem menyendiri karena letaknya di teben dekat Sema atau Tunon (Kuburan). Sumber : http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-pura-khayangan-tiga-di-bali Foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PURAKHAYANGANTIGA# #BALI#DENPASAR#DESAPEKRAMAN#
Bali Tempo Dulu
487
TRADISI NGABEN MASSAL DI BALI Bali sebagai pulau seribu Pura memiliki banyak budaya keagamaan. Ngaben merupakan salah satu prosesi Ritual keagamaan bagi umat hindu. Ngaben massal adalah Ngaben yang dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang di masing-masing desa. Setiap desa Pakraman mempunyai aturan tersendiri untuk suatu upacara ritual. misalnya; Upacara Ngaben bisa dilakukan setiap 3 tahun sekali seperti yang ada di Desa Pakraman Kedisan, bahkan ada juga setiap 5 tahun sekali di Desa Pakraman lainnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya yang lebih murah pada Umumnya. Pada saat acara ngaben massal kuburan akan digali lagi atau di bongkar untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut dan Sisa tulang atau yang lain, nantinya akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar. Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian dibuang ke laut. Sebelum Ngaben ada rentetannya yang namanya Upacara Pengaskaran yaitu upacara penyucian atma petra menjadi pitara. Ketika kematian terjadi, badan kasar terpisah dengan atma, tapi masih diikuti oleh suksma sarira (alam pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Upacara pengaskaran adalah untuk mengembalikan unsur Panca Maha Buta secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus ditingkatkan, dari Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata
Bali Tempo Dulu
488
beya yang artinya bekal,sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka Sumber : http://tuagus.com/index.php/2015/09/24/tradisi-ngaben-massal-di-bali/ Foto : TropenMuseum 1930 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #NGABEN#WIKIPEDIA#BALI# #BUDAYABALI#TRADISI#
Umat hindu menaiki perahu untuk menyebrang ke pulau serangan melakukan persembahyangan di pura sakenan apakah teman-teman sudah pernah mendengar nama pulau serangan dan asal usulnya ? ini adalah suatu pulau kecil di bali yang letaknya berada 5 km sebelah selatan dari kota denpasar,bali. pulau ini memiliki panjang 2,9 km dan hanya memiliki lebar 1 km, tergolong sangat kecil bukan ? pulau serangan ini sendiri memang secara istratif termasuk wilayah denpasar. dalam tata bahasa, kata serangan berasal dari kata sira dan angen. jaman dahulu kala, banyak sekali pelaut bugis yang memang suka bersinggah di serangan untuk beristirahat dan mencari minum. saat mereka minum dan beristirahat di pulau ini maka mereka terkena pengaruh dari sira angen merasa kangen atau sayang dengan pulau ini. sehingga lambat laun banyak sekali pelaut bugis yang tinggal dan menetap di pulau ini. sampai saat ini juga masih banyak dapat anda temui warga yang memang keturunan pelaut bugis di serangan.pura sakenan dan pulau serangan memang dua hal yang tidak terpisahkan. pura yang terletak di serangan ini konon sudah ada sejak abad ke 12. dari beberapa sumber lontar usana bali, pura ini dibangun oleh mpu kuturan (mpu rajakretha). dalam sejarahnya, pura ini juga merupakan tempat suci yang awalnya dibangun dengan latar belakang wujud syukur para kelompok orang yang merasa sira angen dengan keindahan alam yang terdapat di pulau ini. saat dahulu kala, masyarakat bali juga sering melakukan persembahyangan di pura sakenan dengan menggunakan jukung (perahu kecil). namun lambat laun tradisi itu kini mulai menghilang. Dalam perkembangannya kini, pulau serangan sudah mulai mengalami perkembangan, baik itu dalam hal pariwisata dan akses jalan. kini kita bisa dengan mudah menuju pulau serangan tanpa harus menggunkana jukung
Bali Tempo Dulu
489
karena sudah ada akses jembatan yang mengubungi pulau ini. untuk teman-teman yang suka menyelam juga bisa memilih serangan sebagai salah satu tempat alternatif yang menarik. Sumber : http://blog.kutaraya.com/asal-usul-pulau-serangan-dan-pura-sakenan/ #BALITEMPOEDULOE#SEJARAHBALI# #WIKIMEDIA#DENPASARKOTA#PURA#
FOTO SALAH SATU JALAN DI UBUD , GIANYAR BALI, INDONESIA 1980 Desa Ubud, daerah seni yang sangat sering disebut sebagai desa bertaraf internasional. Semua orang yang telah mengenal tempat wisata Ubud Bali pasti mengatakan, Ubud memang pantas untuk menyandang predikat desa internasional. Sebagian besar dipinggir jalan di kawasan ubud terdapat restaurant, hotel, galeri dan toko-toko yang menjual kerajinan lokal. Tempat wisata di Ubud Bali sangat terkenal, baik di Indonesia maupun ke mancanegara, kecamatan yang memiliki lokasi yang terletak di antara persawahan dan kawasan hutan diapit oleh jurangjurang dengan sungai, yang membuat lokasi ini, menggambarkan alam yang sangat indah. Selain karena kondisi alam, Ubud juga terkenal karena seni dan budaya Bali dan sangat berkembang dari tahun ketahun. Sebagian masyarakat Ubud, kehidupan sehari-hari mereka tidak lepas dari unsur seni dan budaya. Juga sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai seniman. Baik seniman lukis, seniman kerajinan tangan ataupun seniman tari. Jika anda mencari galeri-galeri seni, maka anda harus datang ke Ubud, karena di sini
Bali Tempo Dulu
490
terdapat banyak galeri-galeri tentang seni, serta pementasan seni musik dan seni tari, yang dipentaskan setiap malam bergiliran di segala penjuru. Selain itu di objek wisata Ubud juga terdapat hotel-hotel berbintang, untuk para wisatawan menginap. Selain hotel berbintang, di objek wisata Ubud juga banyak terdapat penginapan dengan harga yang murah. Mungkin anda sering mendengar tentang pasar seni Sukawati, di Ubud juga terdapat pasar seni dan lebih dikenal dengan nama pasar seni Ubud. Ubud Art Market / pasar seni Ubud, juga menjual kerajinan lokal dengan harga murah seperti di pasar Sukawati . Sumber : http://www.rentalmobilbali.net/wisata-ubud-bali/ Foto : wendy shortland #BALITEMPOEDULOE#UBUD#WIKIPEDIA# #PARIWISATA#SEJARAH#ARSIP#BUDAYA#
Bali Tempo Dulu
491
SUASANA SEKITAR PURI KESIMAN DENPASAR SEPTEMBER 1906 TERLIHAT TENTARA BELANDA BERJAGA DI SEKITAR PURI SETELAH BERHASIL MENDUDUKI PURI,DAN TERLIHAT JUGA 2 PEJUANG BADUNG YANG GUGUR DALAM PERTEMPURAN. DEMI MEMBELA TANAH BALI. ITU LAH YANG DI SEBUT "Puput" atau "selesai"
Bali Tempo Dulu
492
Ekspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Kekuatan armadanya berjumlah 16 buah kapal, yaitu 9 buah kapal perang, dan 7 buah kapal pengangkut. Kapal-kapal perang tersebut di antaranya ”De Hortog Hendrik, Koningin Wilhelmena, Der Nederlander”, dilengkapi dengan meriam berbagai kaliber. Seluruh personil yang ikut dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 orang yang terdiri atas 2312 orang personil militer dan 741 orang sipil termasuk wartawan perang. Utusan dikirim pada sore harinya untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Badung dan Tabanan agar menyerah dalam tempo 2 x 24 jam. Ultimatum ditolak tegas, sehingga pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Pabean Sanur diduduki dan dijadikan benteng pertahanan mereka untuk melakukan serangan ke arah Kesiman sebagai benteng terdepan Raja Badung. Laskar Badung yang sudah siap perang memperkuat bentengnya masing-masing di depan Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan. Dengan gagah berani mereka berani menjaga puri meskipun dihujani tembakan meriam dari Kapal ”De Hortog Hendrik”. Keesokan harinya Laskar Badung menduduki beberap desa yaitu Taman Intaran, Buruan, dan Sindu. Di Sindu terjadi kontak senjata antara Laskar Badung dan Batalyon 11 Pasukan Belanda. Namun Laskar Badung yang datang dari Kelandis dan Bengkel bergerak menuju Kepisah dan mencapai Tanjung Bungkak, menyusul 500 laskar dari Kesiman di bawah pimpinan I Gusti Gde Ngurah Kesiman bergerak ke selatan. Sebagian dari mereka bersenjatakan tombak, keris, pedang, dan senapan telah menduduki sebagian besar wilayah Sanur. Mengetahui kehadiran laskar Badung yang terutama terlihat jelas dari Laskar Tombak, maka pasukan Belanda melepaskan tembakan salvo dari benteng pertahanan mereka yang berjarak hanya 100 meter. Terjadilah pertempuran hebat, satu melawan satu di seluruh Desa Sanur pada tanggal 15 September
Bali Tempo Dulu
493
1906. Di kedua pihak jatuh korban. Pasukan Belanda banyak yang mengalami luka-luka, sedangkan dari Laskar Badung tercatat 33 orang tewas dan 12 orang luka akibat tembakan meriam. Laskar Badung di Renon memasang ranjau dari bambu untuk membendung dan menghambat serangan pasukan kavaleri Belanda yang menggunakan kuda. Pertahanan di desa-desa yang mengelilingi 3 puri, yaitu Puri Kesiman, Puri Denpasar, dan Puri Pemecutan diperkuat termasuk desa-desa di Renon, Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer, Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Rost Van Toningen bergerak meninggalkan benteng di Pabean Sanur pada tanggal 16 September 1906, jam 07.00. Pasukan itu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju Tanjung Bungkak, yang terdiri atas batalyon 18 dan 20, sedangkan batalyon 11 bergerak di sebelah kiri. Kedatangan batalyon 18 dan 20 di Desa Panjer disambut oleh serangan gencar dari sekitar 2000 orang anggota Laskar Badung. Karena matahari hampir terbenam, dengan cepat pasukan Belanda meninggalkan medan pertempuran untuk kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang anggota laskar Kerajaan Badung dari Kesiman menyerang Pabean Sanur namun tembakan yang dilepaskan angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur laskar kerajaan. Perang sehari pada tanggal 16 September di sekitar Panjer dan Sesetan sangat melelahkan pasukan Belanda, sehingga keesokan harinya pada tanggal 17 September 1906 pasukan Belanda lebih banyak tinggal di benteng untuk membahas taktik penyerangan terhadap kota dan ketiga puri Kerajaan Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang ditempatkan dekat benteng mulai ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam dari kapal perang. Tembakan-tembakan meriam itu diarahkan ke Puri sekitar kota dan Puri kesiman. Taktik untuk menyerang dan mengepung ibu kota dari sebelah utara atau dari belakang Puri Denpasar yang didahului
Bali Tempo Dulu
494
dengan penyerangan ke Puri Kesiman, baru diputuskan pada tanggal 18 September 1906. Keputusan itu baru diambil dengan pasti setelah ada laporan dari mata-mata Belanda bahwa I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang ikut menyerang benteng Belanda di Sanur telah terbunuh. Pada Tanggal 18 September 1906, sejak jam 08.00 sampai dengan jam 18.00, meriam penembak yang teletak disebelah kanan benteng ditembak kearah kota. Sebanyak 216 tembakan meriam diarahkan ke Puri Pemecutan dan Denpasar, beberapa mengenai Puri dan lebih banyak jatuh diluarnya. Sebanyak 1.500 orang laskar yang tidak gentar menghadapi gertakan Belanda melalui tembakan meriam, kemudian memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman, di dekat kebun kelapa antara Tepi sungai Ayung dan Desa Tangtu. Pada tanggal 19 September, jam 07.45, Pasukan Belanda sudah siap menyerang Kesiman. Gerakan Pasukan Belanda dimulai dari Pantai menuju keutara. Sementara itu laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu menyerang Rost Van Toningen pada batalyon 20 sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan laskar Badung dapat dihentikan oleh 2 peleton batalyon 11 yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman dengan kekuatan 3 batalyon yaitu batalyon 11 mengambil posisi sayap kanan, batalyon 20 ditengah dan batalyon 18 diposisi sayap kiri disebelah timur sungai Ayung. Pada jam 10.45 kedudukan laskar kerajaan Badung sudah mendekati jarak 350 meter dari pasukan Belanda yang paling depan, sehingga asap mesiu yang mengepul sekitar kedudukan laskar Badung menjadi sasaran tembak pasukan Belanda. Laskar Badung maju dengan magsud melawan dengan sangat berani dan heroic, tetapi tembakan gencar mengenai mereka dan roboh. Kelemahan pada pihak laskar Badung terletak pada teknik persenjataan. Meskipun menggunakan meriam kecil (lila) dengan tembakan yang sangat lambat namun
Bali Tempo Dulu
495
ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang. Semangat heroic yang rela berkorban, berperang sampai titik darah penghabisan dan pantang menyerah adalah kewajiban leluhur setiap laskar Badung di Kepisah maka Puri Kesiman dapat diduduki oleh tiga batalyon pasukan Belanda pada jam 15.30. Jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman mempermudah pasukan Belanda kesebelah barat untuk menuduki Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Sumber : ARSIPNASIONALRI #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #WIKIPEDIA#ARSIPNASIONALRI# #BALI#PUPUTANBADUNG#
SUASANA PASAR TRADISIONAL DI BALI TAHUN 1930an
Bali Tempo Dulu
496
Pasar tradisional adalah pasar yang pelaksanaanya bersifat tradisional tempat bertemunya penjual pembeli, terjadinya kesepakatan harga dan terjadinya transaksi setelah melalui proses tawar-menawar harga. Biasanya pasar tradisional umumnya menyediakan berbagai macam bahan pokok keperluan rumah tangga, dan pasar ini biasanya berlokasi di tempat yang terbuka. Bangunan di pasar ini berbentuk toko dan los. Toko semi permanen umumnya digunakan untuk berjualan aneka kue, pakaian, dan barang atau perabotan lainnya. Adapun los-nya yang digunakan untuk berjualan buah-buahan, sayuran, ikan, daging dan sebagainya. Penerangan di pasar tradisional secukupnya, dan tidak ber-AC. Kebersihan juga kadang kurang terjaga, seperti sampah banyak berserakan dan bertumpukan sehingga sering menimbulkan bau. Akibatnya jika turun hujan, akan becek dan kotor. Tapi semakin kesni kebersihan di pasar tradisional mulai di tingkatkan, bahkan sekarang ada pasar tradisional yang rapih dan bersih sehingga nyaman untuk dikunjungi. Sumber : http://pasartradisional.balidenpasartrading.com/index.php?r=pasar Foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PASAR#TRADISIONAL#BALI# #BUDAYA#SENI#BALIAGE#
Bali Tempo Dulu
497
PANTAI SANUR DENPASAR SELATAN Pantai Sanur merupakan salah satu pantai yang terdapat di Pulau Bali yang menarik dan wajib dikunjungi. Terkenal dari panorama alamnya yang indah sejak jaman dahulu. Di dalam sebuah sejarah Bali kuno, Pantai Sanur sudah dikenal dengan keindahannya, hal ini sudah tercantum dalam sebuah Prasasti Raja Kasari Warmadewa. Dan sekarang Prasasti tersebut terdapat di daerah Blanjong tepatnya di bagian selatan Pantai Sanur. Dan pada masa Kolonial Belanda, Pantai Sanur ini dikenal sebagai lokasi pendaratan untuk para bala tentara Belanda ketika akan menyerang Kerajaan Badung. Perang yang terjadi pada tahun 1906 yang dikenal dengan Puputan Badung yaitu semangat perang sampai mati. Pantai Sanur pertama kali dikenal di dunia internasional oleh seorang pelukis yang berasal dari Belgia bernama A. J. Le Mayeur yang datang ke Bali pada tahun 1932. Dia melihat daya tarik yang dimiliki oleh Pantai Sanur yang begitu indah dan menawan. Maka Le Mayeur memutuskan untuk tinggal dan menetap disana, dengan mendirikan sanggar lukis dan akhirnya dia menikah dengan salah satu gadis Bali seorang penari legong terkenal yang bernama Ni Nyoman Pollok yang juga merupakan salah satu model lukisannya. Dan melalui lukisan Le Mayeur akhirnya Pantai Sanur mulai dikenal di dunia. Dan
Bali Tempo Dulu
498
sanggar lukis yang dibangun sebelumnya kini dijadikan Museum Le Mayeur yang masih berlokasi di dalam area wisata Pantai Sanur dan dapat dikunjungi oleh publik. Sunrise di Pantai Sanur Di Pantai Sanur ini Anda dapat menyaksikan keindahan panorama matahari terbit atau yang biasa disebut sunrise. Bentuknya yang melengkung dengan luasnya hamparan pasir putih yang membentang gugusan pantai yang indah dan elok. Apalagi saat pagi tiba, sembari menikmati menikmati detik-detik terbitnya matahari yang memancarkan pesonanya. Anda juga disuguhkan dengan gugusan pulau Nusa Penida yang letaknya tepat di sebelah tenggara Pulau Bali. Tapi tidak kalah menarik dengan pemandangan yang tampak pada sore hari, surutnya air laut yang semakin memperjelas pandangan mata pada gugusan Pulau Serangan dan bukit batu karang yang bentuknya menjorok ke laut tepatnya di sebelah selatan Pantai Sanur. Jika gelombang tidak begitu besar Anda bisa melihat keindahan batu karang yang membentang dan tampak warna-warni. Pantai Sanur ini sendiri terletak di Desa Sanur, Kecamatan Denpasar, Provinsi Bali. Jarak Pantai Sanur sekitar kurang lebih 6 km dari pusat kota Denpasar dan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau dengan sepeda motor. Tapi untuk Anda yang tidak memiliki kendaraan pribadi disana sudah tersedia kendaraan umum yang ramai berlalu lalang antara Sanur dan Denpasar. Sanur ini merupakan salah satu kawasan pengembangan wisata di Bali untuk yang pertama kalinya, yang ditandai dengan adanya hotel berbintang dan berbagai macam restoran, oleh Karena itu bagi Anda yang akan berkunjung tidak perlu khawatir karena di kawasan Pantai Sanur terdapat banyak sekali fasilitas seperti Penginapan, warung makan bahkan kios souvenir yang menjajakan barang kesenian serta oleh-oleh khas Pantai Sanur. Sumber : http://indonesiaexplorer.net/sejarah-wisata-pantai-sanur.html balitempoeduloe #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PANTAI#SANUR#WIKIPEDIA# #WISATA#SANUR#DENPASAR#
Bali Tempo Dulu
499
PURA DALEM KEDEWATAN SANUR,DENPASAR SELATAN II DHARMOPADESA BRAHMANA WANGSA DI BADUNG Agama sesungguhnya adalah Bakti kepada Hyang Widhi, menegakkan kebenaran, jujur dan setia. Rta tentang ajaran Dharma, yang nantinya dipakai sebagai tolak ukur pada saat lahir kembali ke dunia. Diksa tentang penyucian. Tapa sebagai pengikat indrya, untuk berbuat kebaikan. Brahman tentang pemujaan. Yadnya seperti Panca Yadnya, semua itu dipakai pedoman dalam kehidupan ini, baik yang telah dilalui ataupun yang akan datang dan kita senantiasa harus menegakkan dharma, menciptakan kedamaian seperti leluhur-leluhur kita yang telah menyatu dengan Brahman (Atman Aikyam Brahman). Sembah sujud bakti hamba kehadapan Bhatara Sinuhun yang telah menyatu dengan Brahman, anugrah Bhatara selalu hamba syukuri, semoga hamba luput dari nestapa berikut seluruh keturunan hamba, karena hamba telah berani menuliskan perjalanan Bhatara, itu semua hamba lakukan karena rasa bhakti hamba kehadapan Bhatara.
Bali Tempo Dulu
500
Sebagaimana uraian Dwijendra Tattwa maupun Pamancangah, Piagem dan Prasasti-Prasasti, Bhatara Sakti, Ida Danghyang Nirartha datang ke Bali Pulina, pada jaman kerajaan Ida Dalem Waturenggong (1460-1550 M) tahun Isaka 1411 (1489 Masehi). Pada masa itu, Bhatara Sakti berkedudukkan sebagai Bhagawanta Dalem Bali, Beliau mempunyai sepuluh putra dan putri dari beberapa istri, diantaranya 2 orang putra Kemenuh beribu dari Daha, 2 orang Manuabha beribu dari Pasuruan, 3 orang Keniten beribu dari Blambangan, seorang Mas beribu dari Mas Bali, dan 2 orang lagi beribu dari Panawing. Kita bicarakan Putra Ida Bhatara yang dilahirkan oleh Ida Patni Keniten, yang tertua bernama Ida Ayu Swabhawa (Ida Rahi Istri), adiknya bernama Ida Made Wetan (terkenal dengan nama Ida Telaga Sakti Ender) dan yang terkecil bernama Ida Nyoman Wetan (Ida Bukcabe/Ida Nyoman Keniten). Ida Made Wetan (Ida Telaga Sakti Ender) bertempat tinggal di Katyagan-Siku Kamasan Klungkung, mempunyai 4 orang putra, yang tertua bernama Ida Pedanda Telaga Tawang, adiknya bernama Ida Pedanda Made Telaga, yang ketiga bernama Ida Pedanda Anom Bandesa dan yang terkecil bernama Ida Pedanda Penida. Setelah Dalem Waturenggong mangkat, Beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580 M) kemudian digantikan oleh Ida Dalem Sagening/Dalem Ile (1580-1580). Pada jaman pemerintahan Dalem Sagening, putra Ida Bhatara Sakti Ender meninggalkan KatyaganKamasan Klungkung, sedangkan Ida Pedanda Telaga Tawang tetap tinggal di Kamasan. Setelah menghaturkan Yadnya Catur Winasa dengan punggalan kepala kerbau berhias di tengah Sungai Unda, Ida Pedanda (Anom) Bandesa, Ida Pedanda Made Telaga dan Ida Pedanda Ketut Penida beserta saudara sepupu beliau Bhatara Ida Pedanda Empu (Putra dari Ida Wayahan Kidul/Mas), meninggalkan Kamasan menuju Padang Galak, Enjungin Biaung, yang merupakan daerah kekuasaan dari I Gusti Ngurah Agung Pinatih di Kertalangu Kesiman. Konon diceritakan, dihaturkannya Yadnya Catur Winasa karena pada waktu itu keadaan pemerintahan sangat kacau. Dalem Klungkung kurang memperhatikan pendeta. Sehingga beliau meninggalkan Desa Katyagan Kamasan (Gelgel) – Klungkung menuju ke Padang Galak (Pradesa Wirasana Tangtu Padang Galak). Di wilayah I Gusti Ngurah Gede Pinatih. Kembali diceritakan Ida Pedanda (Anom) Bandesa, Ida Pedanda Made Telaga dan Ida Pedanda Ketut Penida beserta saudara sepupu beliau Bhatara Ida Pedanda Empu di Wirasana Tangtu mereka diberikan tempat tinggal. Dari sini mereka berpisah, Ida Pedanda Ketut Penida mengungsi ke Tabanan dan menetap di Wanasara, selama Pedanda Penida di Wanasara beliau dianugrahi putra bernama Pedanda Tembau yang membuat kidung Brahmara Sangupati. Ida Pedanda Made Telaga pindah ke Denbukit, bertempat tinggal di Banjar Ponjok Buleleng, berputra Ida Pedanda Sabo. Sedangkan Pedanda Empu menuju desa Perean, bertempat tinggal di Balwangan-Baturiti, Tabanan. Tidak diceritakan berapa lama Ida Pedanda (Anom) Bandesa di Padang Galak, atas keluhuran I Gusti Ngurah Gede Pinatih beliau menghaturkan adiknya yang bernama Ni Gusti Ayu Putu Pacung untuk diperistri berikut braya / panjak sebanyak 40 keluarga gegilingan / pilihan. Dari perkawinan ini beliau mempunyai putra yang bernama Ida Pedanda Sakti Ngenjung. Sedangkan putra dari perkawinan beliau dengan Jero Abian dari Abian Kapas bernama Ida Wayahan Abian yang selanjutnya kesah ke Sibang dan Ida Made Abian kesah ke Tegal Badung. Diceritakan Jero Abian sangat cemburu (duhkita) dengan madunya. Kemudian Jero Abian matur sesangi yang isinya ‘yen mati madun tiange, tiang pacang maturan guling celeng saha baris abajo” (kalau meninggal madu saya, saya akan menghaturkan babi guling serta baris
Bali Tempo Dulu
501
abajo). Sehingga sampai sekarang ada tarian baris Gede (Tumbak) di Br. Belong Sanur. Ida Pedanda Sakti Ngenjung yang masih menetap di Wirasana Tangtu, mempunyai dua orang putra saksat surya chandra sira kalih bernama, Ida Pedanda Wayahan Bandesa dan Ida Pedanda Made Bandesa laksana Surya Chandra atau Surya Kalih – yaitu bagaikan Surya Kembar (lumra prabhanira). Pada suatu hari Tangtu tertimpa wabah penyakit, tiba-tiba Beliau memanggil makhluk halus (tonya) yang bersuara WAWUR DEG SIRRR dan ketika matahari tenggelam, makhluk halus itu bersuara, kemudian beliau menusuk makhluk halus itu dengan tombak dan makhluk tersebut tersungkur jatuh bagaikan rebahnya pohon Jaka (enau). Tombak pusaka tersebut dikenal dengan nama I WAWU RAWUH (I BARU WAWA). Selama Ida Pedanda (Anom) Bandesa di Padang Galak Wirasana Tangtu, rakyat aman tentram kertha raharja, beliau juga menjalankan konsep Tri Hita Karana melalui Nyatur Bandana Dharma Praja seperti yang dilakukan oleh kakek beliau (Danghyang Dwijendra). Selama Pedanda Anom Bandesa menetap di Wirasana Tangtu, beliau mendirikan Tri Kahyangan yaitu : Pura Dalem Kedewatan, Pura Puseh, Pura Kentel Gumi, Pura Padang Sakti, PelinggihPenghayatan Bhatara Batur, Pelinggih Gunung Agung, begitu pula dengan I Gusti Ngurah Agung Pinatih, beliau mendirikan Pura Bangun Sakti di sebelah timur Tangtu atas petunjuk Ida Pedanda Anom Bandesa. Tidak diceritakan berapa lama beliau tinggal di Wirasana, Padanggalak Tangtu kemudian pindah menuju Desa Gunung Klandis, Desa Sumerta, tetapi tidak lama beliau tinggal disana. Sebab Ki Bandesa Singgi, Intaran memohon supaya beliau tinggal di wilayahnya di Wirasana Singgi Desa Intaran. Dari tempat inilah Bhatara Sinuhun mencari tempat yang cocok untuk dibangun sebuah Graha, hingga pada suatu hari dari suatu tempat yang tegeh / tinggi, beliau melihat sinar seperti janur putih dan di tempat inilah akhirnya dibangun Graha Grhya Gede Sanur. Sanur berasal dari kata Sa yang artinya tunggal, sedangkan Nur artinya Sinar suci. Sejak saat itu pula, krama, panjak dan kawula yang masih setia mengikuti Beliau, mencari daerah untuk mendirikan tempat tinggal. Mereka tersebar sepanjang Wilayah BatanpohBelong (lintasan kangin-kauh), Pekandelan-Pemamoran (lintasan kaja-kelod) yang merupakan penyatuan pengider-ider jagad Pa Bhuwana (pa kuncup dan pa kembang) dengan tatanan pertahanan Jaga Satru di wilayah Bali Rajya Bandana yaitu manunggalnya Dharma Negara dan Dharma Agama yang merupakan kewajiban seorang Pedanda dengan Nyurya Sewana melihat dari keberadaan Pura Surya Batanpoh di Timur – Pura Surya Belong di Barat dan Kahyangan Rwa Bhineda / Kiwa-Tengen yaitu dengan keberadaan Pura Dalem Kedewatan serta seluruh Pura-Pura Prasanak di sebelah utara dan Pura Kembar di sebelah selatan), sedangkan para putra beliau mengambil tempat di tengahtengah yang merupakan bagian wilayah Catus Pataning Desa (pusat penyelenggaraan dharma agama dan dharma negara). Ida Bhatara Sinuhun (Surya Kalih) juga mendirikan Parhyangan, nuntun serta memindahkan pura-pura dari Padang Galak, seperti Pura Dalem Kedewatan (termasuk di dalamnya Pura Batur, Pura Gunung Agung dan Pura Desa – Puseh) di Tegehan Singgi, sedangkan Pura Kentel Gumi, Padang Sakti masih berada di Tangtu sehingga masih ada panjak / kawula tinggal di sana 10 keluarga, sampai sekarang tetap menjadi krama Desa Adat Sanur. Pembangunan Parhyangan di Sanur terus ditingkatkan, yang selanjutnya membangun Parhyangan di tepi siring wetan (timur) seperti Pura Dalem (seperti tersebut di atas), Pura Kembar yang merupakan pura pemersatu (bandana dharma) bagi para sentana – prati
Bali Tempo Dulu
502
sentanan bhatara seterusnya karena beliau berdua bagaikan amutering Negara Badung, yang melahirkan bhisama ‘adi made … panjak adine elingang, beli baang a dasa kuren dogen, nanging abot-ingane adi ngitungang’, dan seterusnya mendirikan Pura-Pura lain seperti Pura Kahyangan Ksetra, Pura Maospahit, Pura Tanggun Suwan. Sejak saat inilah Desa Sanur mempunyai Kahyangan Tiga sehingga diberi nama Desa Adat Sanur (Desa Pekraman Sanur) sekarang, sesuai dengan yang tersurat dan tersirat dalam Lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai berikut : … ngaran dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti, mwang ngewangun seraya karya, ngadegang raja purana, mwang nangun karya ngenteg linggih bhatara ring Bali, kapreteka antuk sira Empu Kuturan, ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, catur gila, mekadi ngewangun Sanggah Kemulan, ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh mwang Dalem … … adapun dewa di kahyangan pewangunan Empu Kuturan diciptakan atau dibangun oleh Empu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagad, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih bhatara-bhatari di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan agama, empat tatacara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan dan lima tattwa agama, seperti mengajar membuat Sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem … Diceritakan kembali pembangunan Pura-Pura lain seperti Pura Dalem Mangening Belatri sudah ada sejak jaman dahulu, begitu juga dengan keberadaan Pura Segara, sudah ada sebelum Bhatara Sinuhun sampai di Sanur. Diceritakan pada saat memindahkan bahan-bahan untuk mendirikan Palinggih Parhyangan Dalem Kedewatan dari Padang Galak menuju Sanur, seluruh kawula / braya melaksanakannya dengan senang hati, mereka mengadakan tari-tarian dan ikut menari-nari. Berdasarkan pawisik yang diterima, maka sejak saat itu setiap Piodalan di Pura Dalem Kedewatan Sanur selalu diadakan tarian Baris Tumbak yang bernama I Kebo Dengkol. Semasa hidupnya Ida Wayahan Bandesa dan Ida Pedanda Made Bandesa di Grhya Gede Sanur pemerintahan desa dipegang oleh Ida Pedanda Made Bandesa, sedangkan Ida Pedanda Wayahan Bandesa memusatkan pikiran untuk melaksanakan dharmaning agama. Ida Pedanda Made Bandesa berputra seorang bernama Ida Pedanda Gede Ngenjung, mengambil istri ke Puri Agung Pemecutan, putri dari Raja Sakti Pemecutan I. Dari perkawinan ini melahirkan seorang putri bernama Ida Pedanda Istri Agung Kaniya. Sedangkan istri beliau dari Grhya Pasekan, Tabanan berputra seorang bernama Ida Wayahan Pasekan. Selanjutnya Ida Pedanda Wayahan Pasekan mengambil istri dari Pemecutan Gelogor berputra Ida Pedanda Made Ngenjung, dan dari istri lainnya (Jero Abian) berputra seorang bernama Ida Pedanda Wayahan Meranggi. Selama pemerintahan Ida Pedanda Made Ngenjung sekitar tahun 1780 M. Beliau mengambil istri dari Puri Pamecutan Kaleran bernama I Gusti Ayu Agung Kaleran yang merupakan saudara tertua dari tiga bersaudara. Sedangkan yang kedua bernama I Gusti Ngurah Made yang ketiga bernama I Gusti Ngurah Rai. Diceritakan di Puri Satria berkuasa Ida Cokorda Sakti Jambe, putra dari Cokorda Jambe Merik yang merupakan putra pedanan dari Dalem Sukawati. Sedangkan adik dari Cokorda Sakti Jambe (Cokorda Made) berpuri di Jero Kuta. Sebutan Jero Gede Sanur ini dimulai dari kisah I Gusti Ngurah Rai dari Puri Pemecutan Kaleran, yang pada saat itu sering berada di Puri Satria dituduh berhubungan asmara dengan
Bali Tempo Dulu
503
salah satu dari para istri Cokorda Sakti Jambe, sehingga Cokorda Sakti Jambe menjatuhkan hukuman mati. Mengetahui dirinya akan di bunuh I Gusti Ngurah Rai melarikan diri ke Kerobokan. Namun terus dikejar, dan melarikan diri lagi ke Jimbaran. Diketahui berada di Jimbaran I Gusti Ngurah Rai dicari lagi ke Jimbaran, akhirnya melarikan diri menyeberangi Selat Lombok menuju daerah Lombok. Di Lombok I Gusti Ngurah Rai mengabdi kepada Raja Lombok. Beliau suka mebotoh / berjudi dan karena kesaktiannya beliau disayangi oleh Raja Lombok. Lama-kelamaan beliau bosan tinggal di Lombok, dan ingin kembali lagi ke Bali. Raja Lombok memberikan bhisama kepada I Gusti Ngurah Rai, bahwa bila ingin kembali ke Bali supaya menemui keluarganya yang berada di Karangasem. Bosan di Karangasem I Gusti Ngurah Rai melanjutkan ke arah barat menuju Gianyar. I Gusti Ngurah Rai terus berpindah-pindah oleh sebab beliau senang berjudi / memotoh. Diceritakan Raja Gianyar ingin menjadikan I Gusti Ngurah Rai abdinya untuk selamanya. Demikian pula I Gusti Ngurah Rai ingin kembali ke Puri Satria Badung. Akhirnya keluarlah bhisama Raja Gianyar, ‘Bila I Gusti Ngurah Rai dapat mengalahkan jangkrik milik raja, maka raja siap membantu I Gusti Ngurah Rai kembali ke Satria Badung. Dan sebaliknya bila jangkrik milik I Gusti Ngurah Rai kalah, harus siap mengabdi selama hayatnya di Gianyar’. Bhisama ini diterima oleh I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai kemudian menghadap kepada Ida Pedanda Made Ngenjung di Sanur guna memohon petunjuk dalam menghadapi Raja Gianyar. Sesampai di Sanur Ida Pedanda Made Ngenjung memberikan saran supaya I Gusti Ngurah Rai melakukan tapa semadi untuk memohon petunjuk kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Bila sudah saatnya tiba di pagi hari apa pun yang jatuh dari atas, I Gusti Ngurah Rai patut memungutnya dan langsung memasukkan kedalam kantong jangkrik / bungbung. Waktu dini hari menjelang pagi setelah melakukan surya sewana, maka jatuhlah bunga kamboja / jepun. I Gusti Ngurah Rai langsung memungut dan memasukkannya ke dalam bungbung, tiba-tiba berubahlah bunga jepun itu menjadi seekor jangkrik. Jangkrik itu tak lain adalah duwe Ida Bhatara di Sanur. Sedangkan jangkrik Raja Gianyar adalah duwe Ida Bhatara di Dalem Peed Nusa Penida. Tak lama diceritakan sampailah I Gusti Ngurah Rai di Gianyar, namun beliau kesiangan sampainya karena harus berjalan dari Sanur ke Gianyar. Raja Gianyar telah siap lebih dahulu menunggu kedatangan I Gusti Ngurah Rai dengan panjak dan para pengikutnya. Kemudian bersoraklah para penonton begitu melihat I Gusti Ngurah Rai telah datang. Tidak diceritakan serunya pertarungan jangkrik itu, akhirnya jangkrik milik Raja Gianyar kalah. Raja Gianyar menepati janjinya membantu I Gusti Ngurah Rai kembali ke Satria Badung. Kembali I Gusti Ngurah Rai menghadap Ida Pedanda Made Ngenjung untuk memohon petunjuk dalam usahanya membalas dendam kepada Cokorda Sakti Jambe di Puri Satria. Ida Pedanda Made Ngenjung menyarankan agar I Gusti Ngurah Rai menghadap I Gusti Ngurah Made di Puri Pemecutan Kaleran guna mencari tanggapan bila ia menyerang Satria. Raja Pemecutan berjanji akan membantu penyerangan itu. Setelah dicapai kata sepakat, I Gusti Ngurah Rai kembali ke Sanur menghadap Ida Pedanda Made Ngenjung melaporkan kesepakatan penyerangan ke Puri Satria. Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi membuka busana pandita dan siap membantu penyerangan dari arah timur. Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi beserta laskar I Gusti Ngurah Rai tiba di Desa Kesiman. Beliau dihadang oleh Mangku Dalem Kesiman yang bela pati kepada Raja Satria. Mangku Dalem Kesiman adalah seorang yang sangat sakti, beliau
Bali Tempo Dulu
504
adalah andalan / tabeng dada dari Cokorda Sakti Jambe di Puri Satria. I Gusti Ngurah Rai bersama laskar bantuan Raja Gianyar menyerang Pemangku Dalem Kesiman lewat Batubulan namun laskar bantuan Gianyar dapat dikalahkan oleh Mangku Dalem Kesiman. Pertempuran berlanjut antara Mangku Dalem Kesiman dengan Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi. Perut Mangku Dalem Kesiman dapat ditumbak oleh Ida Pedanda berdua. Merasa perutnya terluka, Mangku Dalem Kesiman mengeluarkan ususnya kemudian melilitkan ke lehernya dan siap menyerang kembali. Karena sangat parah keadaannya, maka Ida Pedanda Made Ngenjung berucap “adik mari tinggalkan Mangku Dalem Kesiman, janganlah dihadapi lagi karena akan membuang tenaga saja. Mangku Dalem Kesiman sudah tidak berdaya dan sebentar lagi akan mati”. Selanjutnya Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi meninggalkan tempat peperangan menuju Puri Satria Badung. Mangku Kesiman rebah dan menemui ajal sepeninggal Ida Pedanda. Diceritakan laskar Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi sampai di Puri Satria. Perang antara laskar I Ngusti Ngurah Made melawan laskar Cokorda Sakti Jambe yang dipimpin oleh patihnya masih berkecamuk. Laskar Sanur yang dipimpin oleh beliau berdua langsung turun ke medan perang membantu laskar I Gusti Ngurah Made. Dalam pertempuran sengit tersebut laskar Cokorda Sakti Jambe kalah, sisanya yang masih hidup melarikan diri. Setelah perang selesai I Gusti Ngurah Made, Pedanda Made Ngenjung, Pedanda Wayan Meranggi dan I Gusti Ngurah Rai yang berada di tempat itu, masuk ke istana. Semua pintu gerbang sudah tertutup dan dikunci dari dalam. Ida Pedanda Made Ngenjung memerintahkan dua laskarnya memanjat tembok untuk membuka pintu gerbang dari dalam. Tetapi baru menginjakkan kaki di dalam istana sudah dihadang oleh Raja Jambe yang duduk di sebuah batu ceper (lempeh) hitam dengan seekor anjing hitam yang sangat besar di sebelah kanannya. Dengan sangat terkejut beliau berkata keras kepada kedua orang tersebut, “Siapa engkau berdua, berani masuk kedalam keraton tanpa seijinku?”. Kedua laskar itu menjawab, “Kami laskar dari Sanur yang berani beradu jurit dengan paduka”. Cokorda Sakti Jambe sangat berang dan berkata lagi, “Aku tidak pernah ada masalah dengan Sanur, mengapa Sanur turut campur dalam perang ini. Kalau demikian kehendakmu terimalah kutukku ini….”. Sambil mencabut sarung kerisnya dan melemparkan kepada kedua laskar itu, kena tepat dibibirnya sampai bengor. Cokorda Sakti Jambe mengutuk dengan berkata jah tah smat, “Moga-moga sampai tujuh keturunanmu bengor”. Sampai sekarang keturunan itu menjadi bibirnya miring (bengor) dan diberi nama I Bengor. Begitu pintu gerbang terbuka Ida Pedanda Made Ngenjung, Ida Pedanda Wayahan Meranggi, I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Rai beserta beberapa orang laskar menyerbu ke istana bersama-sama menangkap Cokorda Sakti Jambe. Beliau diusung menemui Cokorda Made di Jero Kuta. I Gusti Ngurah Rai melampiaskan dendamnya dengan membunuh Cokorda Sakti Jambe dan menyerahkan jenasah beliau kepada Cokorda Made. Setelah peristiwa itu rombongan menuju ke selatan dan beristirahat di Puri Pemecutan Kaleran (Kaleran Kawan). Sambil beristirahat matur I Gusti Ngurah Made kepada Ida Pedanda Made Ngenjung dan Ida Pedanda Wayahan Meranggi. Apa yang harus kami perbuat sekarang setelah kita memenangkan perang, begitu pula Cokorda Sakti Jambe telah wafat. Berkatalah Ida Pedanda Made Ngenjung kepada I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Rai. “Hai Ngurah berdua karena sudah demikian keadaannya, saya minta agar Ngurah Made madeg menjadi Raja untuk menggantikan Cokorda Sakti Jambe dan bangunlah istana Kerajaan di sebelah timur Kali Badung dengan sebutan Kerajaan Denpasar, bergelar Cokorda Denpasar, sedangkan Ngurah Rai kembali ke Puri Pemecutan Kaleran”. Selesai Ida Pedanda Made Ngenjung menyampaikan bhisama kepada I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Rai, berangkatlah beliau dengan Ida Pedanda Wayahan Meranggi beserta laskar kembali ke Sanur. Tiba di desa Tanjung Bungkak beliau dihadang oleh I Gusti Ngurah Abian Timbul dari desa Intaran beserta laskar dengan senjata terhunus, siap bertempur. Berkatalah Ida Pedanda
Bali Tempo Dulu
505
Made Ngenjung kepada I Gusti Ngurah Abian Timbul. “Hai Bapa hendak pergi kemana dengan senjata terhunus ?”. “Ratu Pedanda berdua, kami mau pergi ke Puri Satria karena kami mendengar kabar bahwa Cokorda Sakti Jambe diserang oleh I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Rai dari Puri Pemecutan Kaleran”. Kemudian dijawab oleh Ida Pedanda, bahwa berita itu memang benar. Dimana kami dengan laskar telah ikut bersama-sama I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Rai dalam penyerangan itu. Sekarang Cokorda Sakti Jambe telah wafat. Oleh karena itu keadaannya, sebaiknya kita kembali ke Sanur bersama-sama. Yang selanjutnya ajakan tersebut disetujui oleh I Gusti Ngurah Abian Timbul serta kedua rombongan itu kembali ke Puri dan Grhya masing-masing. Pada tahun 1789, setelah mapan menjabat sebagai raja di Puri Denpasar, I Gusti Ngurah Made sebagai Cokorda Denpasar, turunlah bisama beliau bahwa : Ida Pedanda Made Ngenjung diberi kekuasaan Ngambeng di sebelah timur Bantas (Setra Bantas) garis lurus utara / selatan. Karena perubahan status fungsi beliau dari pendeta (pedanda) menjadi penguasa (Raja) maka berubahlah sebutan Grhya Gede menjadi Jero Gede Sanur dan sampai sekarang sebutan itu dipadukan menjadi Grhya Jero Gede Sanur. Sedangkan Pedanda Wayahan meranggi di berikan kedudukan menjadi penguasa di Desa Sumerta dan pindah membangun Grhya di sana (di Abian Kapas) dengan sebutan Grhya Meranggi, sampai sekarang. Diceritakan keturunan lurus Pedanda Made Ngenjung yang ada sekarang di Grhya / Jero Gede Sanur. Ida Pedanda Made Ngenjung berputra Ida Pedanda Ngenjung Putra – berputra Ida Pedanda Gede Ngenjung – berputra Ida Pedanda Ngurah (wafat di segara) – berputra Ida Bagus Ngurah (pernah menjabat Punggawa) – berputra Ida Bagus Anom Ngurah – berputra 3 orang : 1. Ida Bagus Oka Natha, 2. Ida Bagus Gede (almarhum), 3. Ida Bagus Tjethana Putra, bertiga inilah sekarang yang berada tinggal di Grhya / Jero Gede Sanur. Selanjutnya sentana-pratisentana tusning Bhatara Sinuhun, berikut keluarga besar beliau baik dari warih langsung berdasarkan pamancangah yang ada maupun dari keluarga pewarangan (kerabat) dan braya, warga-wargi, ada yang menetap di Sanur dan ada pula yang pindah ke desa-desa lain di seluruh Bali, diantaranya :
Grhya-Grhya yang berada di Sanur : Grhya Timbul Puseh, Grhya Kaleran, Grhya Manesa, Grhya Oka, Grhya Mecutan, Grhya Nagi, Grhya Jambe, Grhya Kanginan, Grhya Jumpung, Grhya Wanasari, Grhya Sari, Grhya Mawang, Grhya Intaran, Grhya Simpar, Grhya Bun, Grhya Bangun, Grhya Sibang, Grhya Gulingan, Grhya Glogor, Grhya Telaga, Grhya Timbul Anggarkasih, Grhya Bangli, Grhya Kaler, Grhya Gelgel, Grhya Perasi, Grhya Bangun Sindhu, Grhya Simpar Sindhu. Yang berada di kawasan Renon adalah Grhya Telaga Renon. Grhya-Grhya yang berada di kawasan Kesiman : Grhya Tegal Jinga ‘Bajing’ Kesiman, Grhya Tegal Jinga ‘Bajing’ Lebah, Grhya Meranggi Abian Kapas, Grhya Meranggi Lebah, Grhya Bangun Briyung, Grhya Timbul Kesiman, Grhya Gede Bindu, Grhya Tegeh Bindu, Grhya Tegeh Ngenjung, Grhya Ambengan Bindu, Grhya Natih, Grhya Panasan Bindu, Grhya Piadnya Bindu, Grhya Tegal Bindu, Grhya Pelaci Bindu, Grhya Tengah Bindu, Grhya Karang Bindu, Grhya Pacung Bindu, Grhya Abian Nangka. Grhya-Grhya yang berada di Denpasar :
Bali Tempo Dulu
506
Grhya Karang Kluwi Tampakgangsul, Grhya Wangaya Kelod, Grhya Keniten Taensiat, Grhya Timbul Belaluan Kaja dan Grhya Timbul Belaluan Kelod, Grhya Telaga Telabah, Grhya Telaga Tegal, Grhya Telaga Beji Tegal, Grhya Telaga Sari Tegal, Grhya Telaga Carik Tegal, Grhya Telaga Bangket Yangbatu, Grhya Telaga Sidakarya, Grhya Telaga Gemeh, Grhya Telaga Penyobekan, Grhya Braban, Grhya Pemedilan, Grhya Padangsumbu, Grhya Penyaitan, Grhya Tegal Linggah. Grhya-Grhya di kawasan Kuta : Grhya Telaga Dalem Kerobokan, Grhya Telaga Tawang Kerobokan, Grhya Tuban. Grhya-Grhya di daerah Petang dan Abiansemal : Grhya Telaga Carangsari, Grhya Wanasari Pangsan, Grhya Dalem Sibang, Grhya Bun Sibang, Grhya Angantaka, Grhya Sigaran. Grhya-Grhya di Gianyar : Grhya Gede Ketewel, Grhya Rangkan Ketewel, Grhya Bun Batuan, Grhya Pacung Batuan, Grhya Selat Celuk Sukawati, Grhya Tegal Suci Pejeng, Grhya Tegal Sumampan, Grhya Bajing Belahbatuh, Grhya Taman Serongga, Grhya Angkatan Serongga, Grhya Bun Serongga, Grhya Siangan, Grhya Kerurak, Grhya Senggwan Baler Puri, Grhya Sanur Pejeng, Grhya Panyembahan, Grhya Kabetan, Grhya Jukut Paku, Grhya Madawa, Grhya Yang Api. Grhya-Grhya di daerah Bangli: Grhya Sama, Grhya Kelempung, Grhya Sanur Br. Pande, Grhya Paninjoan. Grhya-Grhya di daerah Klungkung : Grhya Karang Satrya, Grhya Tembau Aan, Grhya Tegal Wangi, Grhya Bakas, Grhya Intaran Tihingan, Grhya Intaran Koripan, Grhya Intaran Getakan, Grhya Telaga Banjarangkan. Grhya-Grhya di Karangasem : Grhya Gede Duda Selat, Grhya Sanur Laya Omba Duda, Grhya Sanur Bebandem, Grhya Ngenjung Bongaya, Grhya Keniten Manggis. Grhya di Tabanan : Grhya Sanur Belayu. Grhya-Grhya di Jembrana : Grhya Sanur Yeh Embang, Grhya Putra Dalem Ekasari Malaya. Grhya di Lombok Barat : Grhya Pagesangan, Grhya Ngenjung, Grhya Suweta Kawan.
Para prati sentana yang masih setia seperti : Soroh Tangkas Sekeh / Tuban (turunan Pekak Kacong), Soroh Tangkas Bualu, Soroh Tangkas Tengkulung, Soroh Tangkas Tanjung Benoa, Turunan Gusti Tengkulung, (Geria), Soroh Pan Jati Kedonganan, Soroh Sawah/Pedungan, Soroh Ngenjung Penatih Kesiman, Soroh Pande Br. Panti Sanur, Wargi Seblanga Abiantimbul Badung, Soroh Ngenjung Renon, Soroh Kandel Renon, Wargi Mangku Puseh Renon, Wargi Pasek Renon, Soroh Abyan Br. Gulingan Sanur, Soroh Panti Br. Taman Sanur, Soroh Minggir Br. Kelandis, Wargi Bandesa Singgi / Langon,
Bali Tempo Dulu
507
Wargi Wirasana Tangkas Br. Wirasana, Soroh Jero Agung Br. Singgi, Turunan I Goplong Serangan, Turunan I Bakti Penatih Serangan, Turunan I Rabeng Serangan, Turunan I Roto Semawang, Turunan I Resek Mangku Br. Panti, Jro Gde Penestanan Ubud, Warga Mangku Gede Sanur Kesiman, Soroh Belong Abianangka Kesiman, Soroh Mamoran, Soroh Kalah Br. Singgi, Soroh Meranggi Br. Singgi, Soroh Tangkeban Langon, Soroh Selat Langon, Soroh Tameng Langon. Wargi Br. Batan Poh, Wargi Belong, Wargi Pekandelan, Wargi Pemamoran, Wargi Tangtu, Wargi Pejeng. Para Santanan Bhatara, braya warga-wargi yang bertempat tinggal di Sanur sudah melaksanakan upacara pada saat Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan Sanur, menurut banjar masing-masing seperti : Banjar Batanpoh, Banjar Pekandelan, Banjar Belong, Banjar Adat Tegal Asah, Banjar Adat Wirasana, Tempekan Banjar Adat Tangtu, Tempekan Banjar Adat Langon, Tempekan Br. Anggar Kasih dan Tempekan Br. Tegeh Selang. Dengan demikian, ada dua cikal bakal Brahmana Keniten (Wangsa Wetan) yang diturunkan oleh Bhatara Empu Dhangyang Dwijendra, seperti warih Sanur yang merupakan sentanan dari Ida Pedanda Sakti Telaga Ender dan warih Batulepang dari Sinuhun Ida Pedanda Telaga Tawang yang bertempat tinggal di Kamasan. Setelah memiliki Grhya, masing-masing diberikan tugas untuk bertanggung jawab pada masing-masing parhyangan dibantu oleh braya dan kulawarga, seperti yang diwarisi sampai sekarang yaitu : Pura Kentel Gumi menjadi tanggung jawab Grhya Jumpung, beserta panjak braya Banjar Tangtu. Pura Padang Sakti menjadi tanggung jawab Grhya Simpar beserta Banjar Tangtu. Pura Kembar menjadi tanggung jawab Grhya Tambau, oleh karena pindah ke Desa Aan Klungkung maka pura tersebut diambil alih oleh Grhya Wanasari, dan menjadi tanggung jawab bersama dengan Grhya Telaga Anggarkasih dan Pamaksan Pura Kembar. Pura Tanggun Swan menjadi tanggung jawab turunan Pekak Sabang. Pura Segara menjadi tanggung jawab Pamaksan Segara. Pura Dalem Mangening menjadi tanggung jawab Pamaksan Pura Belatri. Pura Dalem Kadewatan dan Pura Tanjung Sari Santrian menjadi tanggung jawab Grhya Jero Gede Sanur, juga dibantu oleh Pamaksan dan braya. Pura Puseh, Desa Bale Agung, Pura Dalem Kahyangan Ksetra, Pura Merajapatidan Pura Pamuwunan (Tunon), menjadi tanggung jawab Desa Adat (Pekraman) Sanur. Pura Baturmenjadi tanggung jawab Grhya Oka, Grhya Mecutan dan Pamaksan. Pura Rambut Siwi menjadi tanggung jawab Grhya Intaran. Pura Kembengan (Pengubengan) dan Pura Tegal Penangsaran menjadi tanggung jawab Grhya Jumpung, namun sekarang dibantu oleh Pewaris Mangku Kembengan. Palinggih yang didirikan oleh Bhatara yang merupakan kesahan dari Puri Ksatrya bernama Santrian, bertempat di sebuah tanjung yang dulunya merupakan tempat peristirahatan Bhatara Empu Bharadah (1007 M) dari Jawa, yang akan mengunjungi kakak beliau Ida Empu Danghyang Kuturan di Silayukti. Sebagai tanda tempat Ida Bhatara Empu Bharadah memuja Bhatara Tohlangkir di Puncak Gunung Agung, diberi nama Tanjung Sari. Walaupun Bhatara Leluhur tidak henti-henti melaksanakan Yadnya seperti Panca Yadnya, bakti kepada Sanghyang Widhi dan Bhatara Kawitan, berpedoman pada tattwa seperti Panca Sraddha, menciptakan Jagadhita, dan selalu membela kebenaran, tetapi tidak luput dari beberapa permasalahan yang datang dari kapal Sri Komala, sehingga Kerajaan Badung melaksanakan perang puputan, pada Wrespati Keliwon wara Ukir, tanggal masehi 20 September 1906 melawan Belanda. Setelah kalah, dan dijajah oleh Bangsa Belanda, keturunan Ida Bhatara Sinuhun Leluhur masih bersatu mempertahankan keberadaan Sanur. Hingga pada tahun 1917 M terjadi bencana gempa bumi yang merusak bangunan-bangunan besar.
Bali Tempo Dulu
508
Pada saat itu Bhatara Leluhur beserta kulawarga, santana, braya, wargi, sameton panyungsung sapakraman Desa Adat (Pekraman) Sanur kembali membangun palinggihpalinggih Parhyangan, selanjutnya membangun Kori Agung (1931 M), Bale Agung yang berpedoman pada Asta Bumi Asta Kosala-Kosali, hingga melaksanakan Karya Ngenteg Linggih di Pura Dalem dan Pura Puseh (1937 M). Demikianlah perjalanan Bhatara Sinuhun berikut tempat-tempat suci yang telah Beliau dirikan dan kita warisi sampai saat ini sebagai PARAMA DHARMA BHATARA IDA PEDANDA (ANOM) BANDESA dan Keturunannya, yang sangat perlu untuk diyakini, dihayati dan dilaksanakan sebagai sebuah persembahan kepada leluhur untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan antara Keluarga Besar (semeton), braya, warga-wargi dalam rangka menyelenggarakan Karya Agung Memungkah Dan Ngenteg Linggih di Pemerajan Agung Grhya Jero Gede Sanur (2003). Sumber : https://ibgwiyana.wordpress.com/2012/09/18/dharmopadesa-brahmanawangsadi-bhumi-badung/ #BaliTempoeDuloe #wikipedia # #Balilawas # sejarah # #sanur#puradalem# Denpasar kota# #agamahindu#
SUASANA PERKAMPUNGAN DI BALI TAHUN 1938 Suasana bali dahulu yang masih sederhana dan alami memang sangat indah dan jauh berbeda setelah perkembangan jaman yg begitu pesat.dari segala aspek dan bidang membuat wajah bali lebih moderen. Dari pola pikir masyarakat gaya hidup dll semakin hari semakin maju dan moderen.tapi tak lepas dari itu semua adat tradisi dan kebudayaan warisan leluhur harus tetap di jaga agar terciptanya kehidupan yang harmonis dan seimbang. Bali seiring waktu pasti akan berubah mengikuti perkembangan jaman.tapi harus di imbangi dengan pengetahuan yang cukup. Agar semua itu menjadi seimbang.mereka yg pernah hidup di masa lampau tlah memberikan banyak pembelajaran untuk kita semua sehingga kita bisa menikmati bali yang sekarang. Maka jagalah semua itu untuk
Bali Tempo Dulu
509
"AJEG BALI" Sumber : balitempoeduloe Foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#BALIAGE#SEJARAH# #BALI#BALILAWAS#WIKIPEDIA# #BUDAYABALI#PERADAPANBALI#
ANAK-ANAK MENUMPANG TRUK MELEWATI JALAN RAYA SEMPIDI BADUNG, BALI ,INDONESIA 1972 Sempidi adalah kelurahan di kecamatan Mengwi, Badung , Bali, Indonesia. Sempidi adalah lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Badung, dan sampai saat ini masih berlangsung pembangunannya. Desa adat Sempidi terdiri atas 13 banjar adat yang termasuk kawasan Sempidi-Kwanji. Nama-nama banjar tersebut yaitu Banjar Kangin, Banjar Tengah, Banjar Gede, Banjar Sebita, Banjar Sengguan, Banjar Grogak, Banjar Ubung, Banjar Tegehe, Banjar Batanasem, Banjar Pande, Umegunung, Kwanji Kaja, serta Kwanji Kelod. Sempidi merupakan salah satu tempat penghasil layangan tradisional Bali. Pada saat musim layangan yang terjadi antara bulan MeiAgustus, sepanjang jalan raya Sempidi banyak penjual layangan yang mayoritas menjual layangan tradisional Bali. Obyek wisata yang terletak di Sempidi yaitu
Bali Tempo Dulu
510
Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pusat kegiatan adat bagi krama desa adat Sempidi. Dalam Pura Kahyangan Tiga, yang oleh masyarakat Sempidi biasa disebut pura desa, dihiasi oleh banyak ornamen-ornamen klasik yang mencerminkan kemegahan. Sumber : wikipedia Foto : flickr / nick dewolf #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#BALI#TRANSPORTASI#
MUSEUM PURI LUKISAN UBUD,GIANYAR,BALI INDONESIA Museum Puri Lukisan Menampilkan Seni Tradisional Bali di Ubud Ubud dikenal secara internasional sebagai pusat seni dan budaya Bali. Ubud adalah juga rumah bagi museum swasta pertama di Bali untuk karya seni Bali, yaitu "Musuem Puri Lukisan". Museum ini didirikan pada tahun 1956 oleh Tjokorda Gde Agung Sukawati (seorang bangsawan Ubud yang hidup hingga tahun 1978)
Bali Tempo Dulu
511
untuk menampung dan menampilkan seni tradisional Bali oleh seniman Bali berbakat. Bangunan ini dirancang oleh pelukis Belanda Rudolf Bonnet, yang menjadi kurator pertama museum ini. Selama masa jabatannya, Bonnet juga memasukkan koleksi permanen lukisan terkenal, termasuk hasil karya seniman Bali ternama I Gusti Nyoman Lempad, dan ukiran kayu yang terus tumbuh hingga hari ini. Selain menyelenggarakan pameran yang terus fokus pada seni dan seniman lokal, museum ini juga mengadakan workshop untuk pengunjung yang ingin mempelajari dasar-dasar ukiran kayu, lukisan, membuat persembahan, lukisan Batik, tari Bali atau musik. Pada tahun lalu, Musuem ini menyelesaikan renovasinya dan sekarang memiliki sebuah gerbang batas, yang merupakan sebuah karya bagus arsitektur Bali. Sumber : http://www.viceroybali.com/id/news/bali-museum-puri-lukisan.php Foto : The Archives (Tahun 1958) #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #SENI#BUDAYA#LUKISAN# #KARYASENI#SENIGAMBARBALI#
PURA BESAKIH KARANGASEM BALI INDONESIA 1920an Sekilas tentang Pura Besakih Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek
Bali Tempo Dulu
512
(Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung ) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya . Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji) Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik ( Dewasa Ayu ) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera
Bali Tempo Dulu
513
melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya . Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan. Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk ) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktuwaktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih . Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya , sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantorkantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan . Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar
Bali Tempo Dulu
514
Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu. Sumber : http://www.babadbali.com/pura/plan/besakih.htm Foto : the archives #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PULAIBUPURA#BALI# #WIKIPEDIA#BUDAYABALI#
Bali Tempo Dulu
515
PURA MEDUWE KARANG KUBUTAMBAHAN,BULELENG BALI , INDONESIA Pura Meduwe Karang, sebuah pura dengan relief unik di Bali
Bali Tempo Dulu
516
Terletak di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan ± 12 km sebelah timur Kota Singaraja, kurang lebih 1 km dari pertigaan Singaraja, Kubutambahan dan Kintamani. Pura ini tempat memohon agar tanaman di tegalan bias berhasil dan baik. Gugusan tangga mengantarkan pengunjung ke suatu areal luar pura (Jabaan) yang luas yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, 34 jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan ceritera Ramayana. Lingkungan Pura Maduwe Karang adalah salah satu lingkungan Pura di Bali yang telah dikenal wisatawan mancanegara sebelum Perang Dunia Kedua. Di Jaman itu wisatawan mancanegara datang ke Bali melalui laut di Pelabuhan Buleleng. Di tempat ini sambil menunggu angkutan umum para wisatawan mempergunakan waktu untuk mengunjungi Lingkungan Pura Beji di Desa Sangsit, Lingkungan Pura Maduwe Karang di Desa Kubutambahan.Lingkungan Pura ini terdiri dari tiga tingkat yaitu Jaba Pura di luar lingkungan pura atau Jabaan, Jaba Tengah, dan Jeroan, bagian paling dalam adalah yang paling disucikan. Dua buah tangga batu menanjak menuju Jaba Pura, yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, tiga puluh empat jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan ceritera Ramayana. Patung yang berdiri di tengah-tengah memperlihatkan Kumbakarna yang sedang berkelahi dan dikeroyok oleh kera-kera laskar Sang Sugriwa. Yang unik, pada bagian dinding di sebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terdapat daun bunga tunjung. Daya tarik lain adalah pahatan Durga dalam manifestasinya sebagai Rangda, dalam posisi duduk dengan kedua lututnya terbuka lebar sehingga alat kelaminnya jelas kelihatan. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala seorang anak kecil yang berdiri di sebelah lututnya, kaki kanannya diletakkan di atas binatang bertanduk yang sedang berbaring. Pada bagian lain dari dinding lingkungan pura ini terdapat pahatan seorang penunggang kuda terbang dan pahatan Astimuka. Tokoh ini dilukiskan sama dengan Sang Hyang Gana (Ganesha), yakni dewa dengan muka gajah. Kungkungan Pura Maduwe Karang ini terletak di Desa Kubutambahan, 12 km sebelah Timur Singaraja. Yang unik, pada bagian bawah dinding disebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terbuat dari daun bunga teratai. Berdasarkan asal usul sejarah Pura Meduwe Karang, yang bersumber dari hasil studi dan penelitian sejarah Pura-Pura di Bali tahun 1981/1982 oleh pemerintah daerah Bali yang bekerjasama dengan Institut Hindhu Dharma (IHD) Denpasar, Pura Maduwe Karang, di bangun pada abad ke 19 Masehi, tepatnya pada tahun 1890 oleh para migrasi local, yang berasal dari Desa Bulian, sebuah Desa Bali Kuno, ke lokasi Desa Kubutambahan. Sesuai dengan istilah yang dipergunakan , disebut Pura Maduwe Karang berarti yang memilikim Karang (memiliki lahan, yang berupa tanah tegalan) di Desa Kubutambahan, permukiman Baru migrant asal desa Bulian. Sehingga dengan demikian , Pura Maduwe Karang berstatus dan berkedudukan sebagai Pura perlak (Pura subak abian) yang diempon , diemong, disungsung dan disiwi oleh karma Subak Kubutambahan yang asal-usulnya berasal dari imigran petani desa Bulian. Dengan kata lain Pura Maduwe Karang Sumber : http://wisata-bali.com/pura-meduwe-karang.html/ Foto : P.F.VALOIS (Tahun 1935 - 2014 ) #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Balilawas #KITLV LAIDEN # #PULAUDEWATA #BALI # P.F.VALOIS # #Baliage #SEJARAH#
Bali Tempo Dulu
517
SEORANG BULE BERWISATA KE PURA BESAKIH DI DAMPINGI 2 ORANG PEMANDU WISATA DI BESAKIH Daya tarik besakih yang luar biasa selain sebagai tempat suci umat hindu terbesar di bali pura ini juga menjadi obyek wisata andalan kabupaten karangasem,selain arsitektur nya yang unik pemandangan dan hawa dingin nya juga menjadikan obyek wisata bali timur ini populer sejak jaman hindia belanda,turis trus berdatangan dari dalam negri maupun luar negri yang membuat pariwisata bali melonjak dari tahun ke tahun, selain pura besakih juga masih banyak obyek wisata bali timur yang mempesona seperti pantai amed,taman ujung,candi dase dll. Suber : balitempoeduloe Foto : The Archives 1937 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PULAIBUPURA#BALI# #BUDAYA#PARIWISATA BALI#
Bali Tempo Dulu
518
SEJARAH PURI ANOM TABANAN,BALI INDONESIA Sejarah Puri Anom Tabanan, tidak terlepas dari ekspansi Kerajaan Majapahit ke Bali pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi dengan patihnya yang terkenal yaitu Maha Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada beserta pembesar-pembesar kerajaan Majapahit dan para Arya menyerang Bali yang pada saat itu dikuasai oleh seorang Raja yang bergelar Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten . Delapan orang Arya yang membantu Gajah Mada, setelah berhasil memenangkan perang langsung ditempatkan di masing-masing daerah sebagai seorang raja, yakni: 1. Arya Kenceng , berkuasa di Pucangan, Buahan ( Tabanan) dengan diberikan rakyat sebanyak 40.000 orang. Sehingga dapat dipastikan berdirinya Kerajaan Tabanan adalah pada tahun 1343 Masehi atau tahun Caka 1265. 2. Arya Kutawaringin berkuasa di Gelgel dan diberikan rakyat sebanyak 5.000 orang
Bali Tempo Dulu
519
3. Arya Sentong berkuasa di Perean dan diberikan rakyat sebanyak 10.000 orang 4. Arya Delancang berkuasa di Desa Kapal 5. Arya Kanuruhan berkuasa di Desa Tangkas 6. Arya Punta berkuasa di Desa Mambal 7. Arya Jerudeh berkuasa di Desa Temukti 8. Arya Tumenggung berkuasa di Desa Patemon 9. Arya Pamacekan berkuasa di Desa Bondalem 10. Arya Beleteng berkuasa di Desa Pacung Kerajaan Tabanan berdiri pada tahun 1343 Masehi, pada zaman penjajahan Belanda, raja Puri Singasana Tabanan ( Puri Agung Tabanan ) Ida I Gusti Ngurah Rai Perang, tewas puputan bersama putra mahkota di Badung sesaat setelah Perang Puputan Badung terjadi pada tahun 1906 karena tidak sudi untuk menyatakan tunduk kepada penjajah Belanda . Putri –putri dia yang tersisa kemudian pindah ke Puri Anom Tabanan pada tahun 1910, Sagung Ayu Oka Menikah dengan Kramer, clerk kontrolir Belanda, Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom di Puri Anom Saren Taman (Sekarang disebut Puri Anom Saren Kawuh) Puri Anom Tabanan didirikan pada masa pemerintahan Ida I Gusti Ngurah Ngurah Agung Tabanan, raja yang ke-19, yang berkuasa pada tahun 1810 – 1843. Ia memerintahkan putranya yang masih muda (Anom) untuk membangun istana baru tepat di sebelah utara puri kerajaan (di bekas lokasi Puri Mas, Puri Raja pemade I Gusti Ngurah Anom) sehingga itu mungkin yang menyebabkan istana itu kemudian disebut sebagai Puri Anom yang dapat diartikan sebagai Puri Muda atau juga Puri yang baru. Sejak saat itu sampai sekarang puri ini dipakai untuk tempat tinggal dan kegiatan keluarga Raja-Raja Tabanan. Pada bulan Agustus tahun 2003 Puri Anom Tabanan diresmikan oleh bupati selaku kepala pemerintah Daerah Tabanan sebagai salah satu warisan budaya dan sebagai aset Kota Tabanan yang sangat penting untuk dilestarikan. Dalam upaya itu puri dibuka untuk umum agar masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai peninggalan sejarah yang bernilai luhur. Arsitektur khas kerajaan di Bali dapat ditemui di Puri Anom Tabanan yang berlokasi di jantung Kota Tabanan dan berdiri di kawasan hampir seluas 2 hektare. Pusaka Peninggalan Kerajaan di
Bali Tempo Dulu
520
Puri Anom Bagian-bagian puri Wargi Alas Purwo di Bale Ukir Ancak Saji Areal Ancak Saji dan Gedong Ukir Bale Piasan Suci Agung Ornamen tembok Suci Ageng Bale Simpen Gong Ring Tandekan Terdapat beberapa bagian penting dari bangunan puri yang merupakan ciri khas dari struktur arsitektural sebuah Puri . Bencingah. Bencingah Puri merupakan Bagian terdepan dari Kompleks ini. Sebuah pohon beringin yang berumur ratusan tahun (diperkirakan ditanam pada saat pembangunanpuri ini) merupakan simbol pengayoman terhadap masyarakat. Pada zaman dahulu pasar berlokasi di depan Bencingah Puri Singasana. Karena melalui bencingah Raja akan dapat memantau perkembangan ekonomi rakyat. Di Bencingah terdapat sebuah bangunan yang disebut Bale Bengong, tempat Raja memantau kegiatan ekonomi rakyat. Suci Ageng. Adalah Tempat Persembahyangan Keluarga Puri, Terdapat 4 bangunan Suci di Puri Anom Tabanan ,yakni : Suci Ageng, Suci Saren Kangin, Suci Saren Tengah dan Suci Saren Kawuh Ancak Saji. Ditandai dengan dua pasang gerbang kembar yang bernama Candi Bentar . Sepasang candi bentar menghadap ke timur dan sepasang lagi menghadap ke Utara. Terdapat sebuah bangunan kuno berukir motif lama, merupakan tempat melapor untuk tamu yang akan menghadap ke Puri. Disebelah selatannya terdapat Suci Agung Puri, yang merupakan tempat persembahyangan keluarga besar puri. Bale Kembar. Kompleks bale-bale ini merupakan tempat upacara pitra yadnya yang paling utama, Upacara pitra yadnya ini bernama munggah Bale kembar. Upacara ini sekarang sangat sulit dilaksanakan karena memakan waktu minimal 6 bulan hingga mencapai 1 tahun. Tandekan. Adalah merupakan tempat penerimaan tamu, dan juga sebagai "guest house" atau tempat bermalam tamu-tamu kerajaan yang dihormati. Di kompleks Saren Tandekan terdapat beberapa bangunan:
Bali Tempo Dulu
521
Bale Mundar Manik, sebagai tempat layon untuk para mekel yang ikut ngiring Upacara Munggah Bale kembar Bale Gedong, Sebagai Tempat tidur/ saren untuk tamu tamu kerajaan Gedong simpen, Untuk tempat penyimpanan gong, wayang dan alat kesenian lainnya Bale Tajuk, Untuk Tempat pertemuan, atau menunggu pengiring pengiring Saren Agung Terdapat dua buah saren Agung dan tiga Suci Alit, sebagai tempat untuk upacara manusa yadnya. Di saren Agug terdapat berapa bangunan utama Bale Gede Bale Singa Sari Bale Sari Bale Tegeh (Loji) untuk tempat menyimpan senjata senjata dan lontar lontar puri dan Pura Pura yang disucikan Bale Tajuk Pakraman. Adalah tempat tinggal dan tempat aktivitas sehari-hari keluarga puri. Terdapat tiga pakraman di puri anom Tabanan, yakni pakraman saren kangin, pakraman saren tengah dan pakraman saren kauh. Pekandelan. Adalah tempat tinggal abdi dalem Puri yang dipercaya. Pada masa kerajaan Tabanan, yang tercatat mempunyai Pekandelan adalah, "Puri Singasana (Puri Gede ), Puri Kaleran dan Puri Anom (Denah Kerajaan Tabanan; Geertz, Negara Theater)" Sumber : wikipedia / https://id.m.wikipedia.org/wiki/Puri_Anom_Tabanan Foto : Bancingah /bagian depan puri tahun 1910 / Intagramonlineprofile.com #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #TABANAN#BALILAWAS#BUDAYA#
Bali Tempo Dulu
522
Sejarah berdirinya Inna Bali Beach Hotel Inna Grand Bali Beach adalah hotel bersejarah yang dibangun jaman Presiden RI pertama Ir. Soekarano menjadi salah satu hotel di Bali pertama yang tinggi bangunannya diperbolehkan melebihi tinggi pohon kelapa. Terdapat sekitar 566 unit kamar yang disediakan dan terbagi dalam tiga category yaitu 247 unit tower wing termasuk 1 unit presidential suite dan 24 executive suite, 208 unit kamar garden wing dan 111 kamar cottage. Semua kamar mempunyai panorama kearah pantai dan dilengkapi dengan fasilitas kamar yaitu penyejuk ruangan, pengontrol kelembaban, TV satelit, telepon, personal dial collect call, mini bar, fasilitas pembuat teh dan kopi, bathtub dan shower, hair dryer serta balkoni atau teras untuk bersantai. Ditempuh sekitar 20 menit dari bandara Ngurah Rai Inna Grand Bali Beach juga menawarkan beberapa fasilitas lainnya seperti Baruna Beach Seafood Restaurant yang berada di tepi pantai, Tirta Pizzeria yang berada di tepi kolam dan menyediakan pizza dan makanan ringan, Rajapala Bar yang menyajikan minuman dan hiburan dan buka sampai tengah malam serta Bali Kopi Shop yang tiap harinya menyediakan menu special dan makan dengan system buffet. Bagi anda pecinta olah raga golf Inna Grand Bali Beach juga menyediakan lapangan golf mini dengan 19 hole. Fasilitas lainnya yang terdapat di Inna Grand Bali Beach antara lain: Shuttle Service Airport Hotel Salon Bank and Money Changer Laundry Doctor on Call Safety Deposit Box Medical Clinic Inna Grand Bali Beach bisa menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk mengabiskan liburan ke bali anda dan anda tentu tidak mau melewati suasana di Inna Grand Bali Beach. Wujudkan liburan anda yang penuh kesan di Bali dengan memilih Inna Grand Bali Beach sebagai pilihan hotel di bali anda dan Silahkan anda tentukan pilihan kamar untuk Inna Grand Bali Beach
Bali Tempo Dulu
523
Sejarah berdirinya Inna Sindhu Beach : Pada awalnya hotel ini dimiliki oleh perusahaan Belanda yaitu : Konin Kolijke Peketvaar Maatsoha (KPM) yang dibangun pada saat Negara kita masih dijajah oleh Belanda. Setelah Negara kita merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka semua asset/harta milik orang Belanda yang tidak bergerak (tidak bisa dibawa ke negeri Belanda) ditinggal. Dan setelah terjalin hubungan diplomatic antara Pemerintah Indonesia dengan kerajaan Belanda, maka pada tanggal 22 Agustus 1956 dengan harga sebesar 9 juta rupiah, dan hotel ini diberi nama Sindhu Beach Hotel. Dan tanggal 22 Agustus 1956 merupakan tonggak berdirinya hotel ini. Semua hotel-hotel bekas milik Belanda yang ada di Bali, seperti : Sindhu Beach Hotel, Bali Hotel, Kuta Beach Hotel, dan di luar Bali antara lain : Hotel Simpang di Surabaya, Hotel Bath Tretes di Jawa Timur, Hotel Garuda di Yogyakarta, Hotel Darma Deli di Sumatra Utara, Hotel Parapat di Danau Toba, dan Hotel Muara di Padang termasuk yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sesuai dengan Ketetapan Menteri Kehakiman RI. Nomor : 5/ 97/ 3. Pada tahun 1974, hotel ini direnovasi dan ditambahkan kamarnya serta dilengkapi dengan fasilitas seperti restaurant, bar, dan swimming pool untuk memenuhi keinginan pelanggan mancanegara dan domestik, disamping itu kebetulan di Bali diadakan Workshop Pata Conference yang mengambil tempat di Bali Beach Hotel-Sanur. Dan selanjutnya pada tahun 1991 semua hotel-hotel tersebut di atas diberikan identitas yang sama sebagai hotel-hotel dibawah bendera Natour, yaitu dengan mempergunakan nama identitas perusahaan Natour. Pada tanggal 19 Maret 2001 Pemerintah melakukan penggabungan PT. Natour dengan PT. Hotel Indonesia International (PT. HII) yang juga merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dan mengelola hotel-hotel besar yang berbintang 5 dan 4 (antara lain The Grand Bali Beach, Hotel Putri Bali), menjadi perusaha baru dengan nama PT. Hotel Indonesia Natour (PT. HIN). Atau dalam bahasa inggrisnya disebut ( INNA Hotel Group ) dalam rangka meningkatkan kinerja
Bali Tempo Dulu
524
perusahaan dan sekaligus melakukan efisiensi di bidang pemasaran, operasional , keuangan , dan sumber daya manusia. Dan semua hotel-hotel ex PT. Natour & PT. HIN diberi trade mark (identitas) baru dengan nama INNA, dan jumlah hotel yang ada di Bali menjadi 5 unit antara lain : INNA Grand Bali Beach, INNA Putri Bali, INNA Kuta, INNA Bali, dan INNA Sindhu Beach Sumber : wikipedia / http://www.kasuribalitour.com/bali-hotel/hotel-sanur/inna-grandbali-beach.html / http://ikasumaya.blogspot.co.id/?m=1 Foto : www.delcampe.net / Tahun 1978 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #PARIWISATABALI#HOTEL# #SANUR#BALI#DENPASAR#
Bali Tempo Dulu
525
PERKEMBANGAN PARIWISATA DI BALI Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan
Bali Tempo Dulu
526
lapangan kerja, dan peningkatan kesejasteraan tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lainlain. Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap kerusakan dan keseimbangan lingkungan khususnya pembangunan pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Di Kawasan Seminyak-Kabupaten Badung, banyak lahan pertanian sawah telah dialihkan fungsinya untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa, bungalow, café, art shop dan lain-lain. Dengan pembangunan sarana-sarana tersebut maka secara otomatis sistem penyaluran atau distribusi air terhalangi oleh beton-beton yang melintang dengan kokoh di wilayah tersebut yang mengakibatkan air tidak bisa mengalir dengan baik ke seluruh areal persawahan. Terhambatnya saluran air di daerah tersebut juga telah mengakibatkan masalah baru “banjir” khususnya pada musim hujan. Air meluap ke permukaan saluran-saluran air yang kecil dan tidak lancar dan tumpah ke jalan. Sistem distribusi air yang dikenal sebagai “subak” dan sawah yang dulunya merupakan sumber penghasilan utama masyarakat setempat akan punah ditelan jaman dan derasnya laju pembangunan pariwisata. Melihat fakta ini, mungkinkah lingkungan, sawah dan subak bisa lestari? Dengan kerusakan ini pula, mungkinkah budaya luhur masyarakat Bali khususnya pertanian bisa Ajeg? Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata juga telah mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh tidak seimbangnya pembagian hasil pemanfaatan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Kasus pemasangan seng agar nampak berkilau di areal persawahan warga yang terjadi di CekingKabupaten Gianyar merupakan bukti nyata yang menggambarkan ketidakharmonisan hubungan antara petani dan industri pariwisata. Sawah warga yang elok dan indah dijadikan pemandangan bagi sejumlah restoran, café dan hotel, tetapi petani yang memiliki sawah yang indah tersebut tidak mendapatkan keuntungan sehubungan dengan pemanfaatan sawah dan aktivitas pertaniannya sebagai atraksi wisata.
Bali Tempo Dulu
527
Kekesalan petani pemilik sawah tersebut berujung pada pemasangan seng di sawahnya yang mengakibatkan wisatawan mengeluh karena tidak bisa melihat pemandangan yang indah sebagaimana yang dijanjikan. Contoh lain yang memiliki permasalahan yang hampir sama adalah di objek Desa Wisata Jatiluwih-Kabupaten Tabanan. Keindahan bentang alam persawahan di tempat ini bukan hanya diminati oleh wisatawan domestik dan manca negara, tetapi juga bagi para anggota tim panitia pemilihan warisan alam dan budaya international. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) dan merupakan satu-satunya objek wisata alam yang dinominasikan di Bali. Fakta yang terjadi di lapangan, warga desa setempat dan pemilik sawah tersebut belum mendapatkan hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Operator-operator tour yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung membawa pemandu wisata (tour guide), keperluan makanan dan minuman dan peralatan kegiatan wisata tersebut dari kantornya masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dan sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa sampah dan jejak kaki para wisatawan saja. Mungkin saja para operator tour yang menjual paket wisata ke objek Desa Wisata Jatiluwih tidak mengetahui bahwa kegiatan pertanian padi sawah yang mencakup pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan memerlukan biaya tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tersebut sama sekali tidak ditanggung oleh para operator tour. Semestinya, para operator tour yang menjual objek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar tetap melakukan aktifitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang dikeluarkan petani. Untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian, beberapa petani sudah mulai mengembangkan sayapnya ke sektor peternakan ayam. Di sekitar kawasan Desa Wisata Jatiluwih telah tampak dibangun beberapa kandang ayam yang mengurangi keindahan di objek wisata tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa di seluruh areal persawahan tersebut akan dibagun usaha peternakan ayam juga di masa yang akan datang
Bali Tempo Dulu
528
yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang disebabkan oleh bau kotoran ayam tersebut. World Tourism Organization (WTO) sebenarnya telah menggariskan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan pariwisata. Bagaimana mensinergikan pertanian dengan pariwisata? Pengembangan agrotourism merupakan model pengembangan yang tepat dan melengkapi model pengembagan pariwisata budaya yang dikembangkan sekarang ini di Bali. Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, baik pemanfaatan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata maupun pemanfaatan hasil-hasil pertanian seperti beras, sayur dan buah untuk keperluan industri pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata. Bagus Agrowisata di PlagaKabupaten Badung, merupakan salah satu contoh objek agrowisata yang memanfaatkan kegiatan pertanian organik sebagai daya tarik wisatanya. Wisatawan secara langsung bisa melihat beraneka ragam tanaman (sayuran dan buah) dan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal di tempat tersebut. Selain itu, wisatawan juga bisa memetik buah-buahan secara langsung di sekitar areal Bagus Agrowisata sambil melihat pemandangan perbukitan yang indah dan menakjubkan. Sedangkan hasil pertaniannya digunakan untuk kepentingan hotel dan restoran yang secara khusus menjual makanan organik yang merupakan makanan sehat dan menjadi trend bagi kalangan wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara. Tidak semua pengembangan agrowisata bisa berjalan dengan baik. Agrotourism di SibetanKabupaten Karangasem yang memanfaatkan kegiatan dan hasil pertanian salak-yang merupakan icon buah Bali sebagai objek dan daya tarik wisatanya tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengelolaan agrowisata di tempat ini.
Bali Tempo Dulu
529
Ketidakjelasan manajemen pengelolaan merupakan faktor utama. Objek agrowisata ini tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal yang dijadikan objek, operasional kegiatan tour, dan sumber daya manusia. Faktor lain adalah pemasaran. Objek Agrowisata Sibeten belum dipasarkan secara maksimal oleh manajeman pengelolanya sehingga belum banyak dikenal oleh para operator tour yang menjual paket-paket wisata di Bali. Pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem semestinya mempetakan kembali objek-objek wisata yang ada di wilayahnya dan selanjutnya mempromosikan melalui media masa, televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen dan pemasaran, kerjasama antar stakeholder pariwisata (pemerintah, LSM, masyarakat lokal, industri pariwisata, dan akademisi) belum berjalan dengan baik karena hanya travel agent yang menjual paket wisata ke daerah Timur Bali saja yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dukungan dari stakeholder pariwisata yang lainnya. Kesimpulannya, pertanian sangat memungkinkan untuk disenergikan dengan pariwisata yang diwujudkan dalam pengembangan agrowisata. Perlu adanya komitmen dari seluruh stakeholder pariwisata untuk bersama-sama menerapkan kosep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau di Bali sering disebut sebagai Ajeg Bali yaitu keberlanjutan sumber daya alam, sosial-budaya, dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Sumber : wikipedia / http://anasfurqon.blogspot.com/2011/09/perkembangan-pariwisatadi-bali.html?m=1 Foto : Desa kuta / Silverbacksurfers . com #BALITEMPOEDULOE#PARIWISATABALI# #SEJARAH#BALI#WIKIPEDIA#BUDAYA#
Bali Tempo Dulu
530
PIODALAN RING PURA DALEM SAKENAN PADA HARI RAYA KUNINGAN DI TAHUN 1980 Pura Sakenan adalah salah satu pura penting yang terletak di wilayah selatan Bali, berada di atas pantai di barat laut Pulau Serangan, yaitu sebuah pulau kecil yang berjarak sekitar 10 kilometer di selatan Denpasar . Pura ini masih memiliki hubungan dengan Buddha, yang melinggih Ida Bhatara Sakya Muni . Sebagaimana dengan pura-pura lain, setiap pengunjung yang hendak masuk ke tempat suci Pura Sakenan wajib mengenakan sarung dan sabuk kain khas Bali serta bagi yang wanita tidak sedang dalam masa menstruasi . Pulau Serangan tempat Pura Sakenan berada hanya berukuran 2,9 kilometer dengan lebar 1 kilometer. Nama Serangan berasal dari kata sira dan angen atau "kangen/ sayang". Pura Sakenan dibangun dengan latar belakang wujud syukur orang yang merasa sira angen dengan keindahan alam pulau ini. Etimologi Berdasarkan lontar DwijendraTattwa, nama Sakenan berasal dari kata sakya yang berarti "dapat langsung menyatukan pikiran". "Sakya" tersebut, dalam sejarah Siwa Buddha di Bali, berasal dari kata Sakyamuni, yaitu nama asli dari Sidharta Gautama . Lontar tersebut menguraikan bahwa pada bagian tepi barat laut Serangan, Danghyang Niratha tertegun melihat keindahan alam laut yang tenang dengan pantai yang asri. Oleh karena itu, ia membangun tempat pemujaan yang diberi nama "Pura Sakenan". Sejarah : Dalam lontar Usana Bali, Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur) untuk diterapkan di Bali seluruhnya. Pura Sakenan ini dibangun oleh Mpu Kuturan pada abad ke-10 Masehi (sekitar 1005 M). Mpu Kuturan tiba di Bali pada tahun 1001 M sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit , dalam rangka menata-ulang aspek sosial-religius masyarakat Bali. Prabhu Udayana dan Empu Kuturan merupakan penganut ajaran Buddha Mahayana Sakyamuni . Pada masa pemerintahan Sri Dalem Ktut Ngulasir dari kerajaan Gelgel, rakyat Serangan diperintahkan untuk membuat pemujaan Bhatara di tempat yang sebelumnya disucikan Empu Kuturan dan menamainya
Bali Tempo Dulu
531
"Parahyangan Dalem Sakenan". Nama Sakenan berasal dari kata Sakyamuni, yaitu ajaran Buddha yang dianut oleh Empu Kuturan. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1411 saka atau 1489 masehi), ia bersama Dang Hyang Nirartha disebutkan membangun pelinggih Sekar Kancing Gelung di Pura Sakenan. Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali untuk mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai di Pulau Serangan. Dalam Dwijendra Tattwa ditulis: Akhirnya, disana Danghyang Nirartha membangun pelinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Menurut masyarakat setempat, Pura Sakenan awalnya hanya berbentuk sebuah batu bersinar yang ditemukan oleh Danghyang Astapaka ketika melakukan perjalanan ke Bali pada tahun 1530 M, akhirnya ia membuat pura. Selanjutnya Pedanda Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Nirartha) melihat pura itu dan menyempurnakannya dengan melakukan upacara. Pura tersebut kemudian dinamakan pura Sakenan. I Wayan Leder, salah satu tokoh Desa Serangan, mengatakan bahwa sekitar tahun 1982, sebelum dilakukan reklamasi besarbesaran, masyarakat Serangan mengeluarkan tanah satu kepala keluarga satu jukung untuk melebarkan Pura Dalem Sakenan di sebelah barat. Di sebelah timur pura, saat air pasang, jalan menjadi terputus. Area tersebut kemudian direklamasi oleh masyarakat Serangan sehingga menjadi seperti sekarang.Proses pembebasan lahan dimulai semenjak tahun 1990 dan proses reklamasi akhirnya dimulai pada tahun 1996. Meskipun banyak diprotes, terutama dari kalangan nelayan perahu jukung yang menyewakan perahu untuk transportasi Bali-Serangan serta dari kalangan mahasiswa dan LSM, reklamasi tersebut kini memberikan manfaat besar bagi masyarakat Pulau Serangan, terutama di bidang pariwisata dan pendidikan, serta bagi peziarah yang tidak berani naik jukung atau terhambat karena harus mengantre jukung. Bahkan, nelayan jukung juga memperoleh pendapatan dari parkir kendaraan di Pura Sakenan. Pada tanggal 8 April 1999, Pura Sakenan diserahkan oleh Dispenda Badung kepada masyarakat Serangan. Masyarakat Serangan melaksanakan tanggung jawab tersebut sesuai konsep Tri Hita Karana : masyarakat Desa Adat Serangan melakukan gotong-royong mengadakan kebersihan di sekitar pura, menjadi panitia penyambut kedatangan panitia dari kabupaten, serta memiliki 27 orang pemangku. Arsitektur Bangunan Pura Sakenan berkonsep swamandala (terdiri atas pelinggih-pelinggih dan bangunan-bangunan) yang terbagi menjadi dua pelebah yaitu "Pura Dalem Sakenan" dan "Pura Pesamuan/Penataran Agung Sakenan". Bangunan yang besar pernah direnovasi kecuali dinding antik yang mengelilingi halamannya, sementara yang lebih kecil masih mempertahankan corak lamanya. Bangunan yang lama dibangun dari batu kapur dan karang yang diperoleh dari karang pantai di sekitarnya. Halaman Jumlah halaman di Pura Sakenan adalah tiga buah (trimandala )\, yaitu "utama mandala", "madya mandala", dan "nista mandala". Masing-masing halaman dibatasi oleh tembok keliling lengkap dengan kori agung yang puncaknya dihiasi pahatan kepala kala, apit lawang , dan bebetelan. Di dalam "utama mandala" terdapat sejumlah pelinggih seperti candi, bale tajuk, bale pesandekan, dan apit lawang. Pada halaman depan terdapat Candi Kurung (menghubungan"utama mandala" dengan "madya mandala") yang diapit oleh dua buah arca Ganesha. Di halaman ini juga terdapat pelinggih sebagai pemujaan Jro Dukuh Sakti ; Meru Tumpang Tiga sebagai stana Batara Batur , Intaran , dan Ida Batara Muter; Gedong Jati sebagai stana Ida Ratu Ayu ; serta Gedong (Tajuk) sebagai stana Batara Buitan dan Batara Muntur. Ada pula
Bali Tempo Dulu
532
bale gede atau bale paruman yang berfungsi sebagai tempat pesamuan para pemangku, tempat penyucian pratima Ida Batara, serta tempat para sulinggih dan para raja pada saat ada upacara pujawali. Madya mandala dikelilingi tembok penyengker lengkap dengan Candi Bentar di sebelah barat dan petetesan di utara serta timur. Nista mandala hanya berupa halaman kosong. Di halaman pura terdapat dua pohon besar yang diberi kain bercorak papan catur khas Bali yang dianggap sebagai rumah bagi para roh pelindung di halaman pura. Religi Pura Dalem Sakenan termasuk Samudra Kertih , tempat memuja ( stana) Sang Hyang Sandhijaya (Tatmajuja) atau Ida Hyang Dewa Biswarna (Baruna) yang berdiri di tepi laut selatan Desa Serangan. Ia merupakan penjaga Segara Pakretih (ketenangan lautan/ samudera) untuk keselamatan dunia,menghilangkan segala jenis rintangan di dunia,dan segala jenis penyakit, serta menyucikan segala jenis kala, bhuta, dan manusia. Pertanian dan pariwisata Berdasarkan Purana Pura Sakenan yang disusun oleh Tim Dinas Kebudayaan Bali, pada zaman dulu Pura Sakenan merupakan tempat krama subak untuk memohon agar sawah-ladang tidak terkena penyakit serta hama tanaman, memohon berkah, serta kesejahteraan hidup. Purana ini juga menyebutkan bahwa Hyang Sakenan menjaga walang sangit dan Hyang Masceti menjaga tikus agar tidak merusak sawah dan ladang petani. Kini mata pencaharian penduduk di sekitar wilayah Sakenan telah beralih ke sektor pariwisata, khususnya wisata bahari ( selancar). Pura Sakenan menjadi tempat pemujaan untuk memohon kesejahteraan hidup serta keselamatan pada obyek–obyek wisata yang berada di Sanur , Kuta , Nusa Dua, serta Denpasar . Perayaan ulang tahun pura Pujawali (perayaan agung) dan piodalan (ulang tahun) Pura Sakenan jatuh setiap hari Sabtu Kliwon Kuningan menurut kalender Pawukon Bali yang panjangnya adalah 210 hari. Perayaan berlangsung selama tiga hari dengan puncaknya di hari Minggu. Perayaan piodalan bertepatan dengan perayaan Kuningan (hari raya) , 10 hari setelah Galungan . Ratusan peziarah dari berbagai pura datang dengan berjalan kaki atau menggunakan perahu kayu menuju Pura Sakenan di Pulau Serangan. Biasanya perayaan tersebut juga diramaikan berbagai pentas seperti tari Barongan hingga tari Topeng.Kuningan sendiri merupakan salah satu hari raya yang dikhususkan untuk memuja Dewa Wisnu yaitu dewa pembawa kesejahteraan di dunia. Bagi umat Hindu di Bali, Kuningan merupakan satu waktu dimana para leluhur kembali ke langit setelah beberapa saat berada di bumi. Sebelum reklamasi daratan yang dilakukan pada tahun 1990an, para peziarah membawa benda pusaka kuno serta benda-benda suci lainnya dengan berjalan kaki melintasi hutan bakau menuju Pulau Serangan . Jika air laut sedang tinggi, mereka menggunakan perahu bercadik tradisional untuk melintas. Kini,daratan pulau mudah dicapai melalui jembatan sepanjang 110 meter. Setelah tiba di Pulau Serangan, para peziarah singgah di Pura Susunan Wadon, berlokasi sekitar setengah kilometer di sebelah timur Pura Sakenan. Selanjutnya ziarah berlanjut ke Pura Susunan Agung, barulah Pura Dalem Sakenan yang dekat dengan pantai paling barat dari Pulau Serangan.Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa , Pradhana , dan Susunan Agung sebagai "Lingga", "Yoni", dan "tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana" (penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup). Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon. Juga terjadi hal yang sama pada saat kehadiran Dang Hyang
Bali Tempo Dulu
533
Nirartha sehingga, sebagai penghormatan kepadanya, dibuatlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha. Sumber : wikipedia / https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pura_Sakenan Foto : www.delcampe.net #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #PURA#WIKIPEDIA#BUDAYA#HINDU#
PENDARATAN PESAWAT NAZI DI BALI JANUARI 1938 SENIMAN swiss terkenal, Theo Meier, mengambil foto pesawat berlogo Nazi, swastika, dengan beberapa gadis Bali antara tanggal 7-15 Januari 1938. Foto tersebut dimuat dalam buku Theo Meier: A Swiss Artist Under the Tropics karya Didier Hamel. Bagaimana konteks sejarah di balik foto itu dan mengapa pesawat itu melakukan terbang jarak jauh? Menurut Mark Winkel dalam Bali Expat , 20 Juni-3 Juli 2012, setelah membandingkan bentuk pesawat (terutama bentuk kanopi kokpit dan sirip ekor pesawat yang tidak biasa) dengan semua pesawat yang dikenal dalam Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman), yang sebelum tahun 1939 adalah pesawat sipil dan pasca-1939 menjadi pesawat militer, tetapi memiliki tanda sama, termasuk swastika pada kemudi ekor; jelas bahwa pesawat itu bukan pesawat tempur karena terlalu kecil dan tidak ada senjata di atasnya. “Jadi saya kira mungkin ini pesawat pengintaian atau pelatihan,“ kata Winkel. Pesawat ini adalah prototipe kedua dari Arado 79. Dibuat oleh dua orang pelatih olahragaterbang pada 1937, yang menerbangkannya dari Jerman ke Sydney, Australia melalui Hindia Belanda. “Foto itu mungkin diambil antara tangggal 7-15 Januari 1938 dan perempuan dalam foto itu kemungkinan sekarang berusia sekitar 75-80 tahun,” tulis Winkel. Jerman dan negara-negara maju lainnya menggunakan kemajuan teknologi (beberapa dari mereka didorong oleh Perang Dunia I) tahun 1920 untuk menunjukkan kemampuan dan
Bali Tempo Dulu
534
kehebatan mereka. Menariknya, penerbangan adalah industri sangat kompetitif; negaranegara seperti Italia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat berusaha untuk memamerkan keunggulan pesawat mereka. Jadi, pada 1930- an tampaknya banyak kompetisi penerbangan untuk mengukur rekor ketinggian dan kejauhan. Orang Jerman juga bangga akan kemampuan teknik industrinya dan beberapa lusin desainer penerbangan mencoba membuat pesawat terbaiknya. Tentu saja, pekerjaan itu disamarkan untuk “olahraga” seperti yang telah disarankan oleh banyak klub “olahraga-terbang”, tetapi sebenarnya Nazi mendorong untuk mengembangkannya menjadi perangkat keras militer. Perusahaan Arado telah memiliki keberhasilan dengan pesawat ringan. Minat orang untuk terbang dan pasar telah mendorong perusahaan untuk membangun pesawat pelatihan untuk menghasilkan lebih banyak pilot dan pesawat olahraga. Membangun pesawat militer akan datang kemudian; bagaimanapun juga, Perjanjian Versailles mencegah Jerman mengembangkan angkatan udara militer, tetapi tidak ada masalah dengan pesawat sipil. Atas saran seseorang, perusahaan Arado membuat pesawat generasi berikutnya yang bisa mencatat rekor jarak jauh (sebelumnya, pesawat Arado telah diatur ketinggian dan catatan lainnya). Arado 79 adalah pesawat itu. Ada nomor registrasi di badan pesawat. “Meneliti sistem penomoran yang digunakan,” tulis Winkel, “saya menemukan bahwa semua pesawat Jerman beregistrasi ‘D’ (untuk Deutschland atau Jerman) diikuti dengan kode empat huruf.” Kode pesawat tersebut D-EHCR terdaftar sebagai prototipe kedua Arado 79, di mana total produksinya berjumlah 49 pesawat sejak dimulai pada 1938. Prototipe pertama (Arado 79A V1 dengan kode D-EKCX) juga menarik karena berpartisipasi dalam berbagai acara olahraga terbang jarak jauh, dan menang. Kesuksesan itu mendorong produsen untuk mencoba rute Brandenberg-Sydney-Berlin dengan maksud untuk menunjukkan bahwa perusahaan Arado sebagai produsen atau setidaknya desainer pesawat. Dengan mesin tunggal dan dua tempat duduk, Arado 79A memiliki jangkauan terbang sekitar 1000 km. Untuk mengungkinkan D-EHCR mencatatkan rekor perjalanan Berlin-Sydney dilengkapi dengan tangki bahan bakar eksternal. Rute tersebut umumnya melewati Axis atau negara netral, termasuk Thailand.“Pesawat tersebut tampaknya telah diterbangkan ke Medan, Batavia dan Surabaya sebelum mendarat di Bali dan mungkin bahwa foto itu diambil di Buleleng,” tulis Winkel.Setelah mencapai Sydney, pilot kembali melalui Sulawesi, Kalimantan, Balikpapan sebelum kembali ke Surabaya dan kemudian kembali ke Bangkok. Nahas, sang pilot Pulkowski tewas pada 10 Februari 1938 ketika melakukan demonstrasi pesawatnya di India. Sumber : wikipedia / http://historia.id/modern/pesawat-berlambang-nazi-di-bali Foto : Thebalitimeline.com / Theo meier #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #WIKIPEDIA#ARSIPSEJARAHBALI#
Bali Tempo Dulu
535
SEJARAH PERANG DI SELAT BALI KOLONEL MARKADI & I GUSTI NGURAH RAI ADALAH 2 PEJUANG PERANG GARIS DEPAN DALAM PERTEMPURAN DI SELAT BALI 1946 Nama Kapten (Laut) Markadi Pudji Rahardjo, mungkin tak se-populer Komodor Yos Sudarso, Laksamana R.E. Martadinata atau Mayor John Lie di kalangan awam terkait para pahlawan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia – sekarang TNI AL).
Bali Tempo Dulu
536
Untuk diketahui, Pasukan-M ALRI bisa dibilang merupakan bantuan yang sangat berarti dan bahkan jadi tulang punggung perlawanan Overste (Letnan Kolonel) I Gusti Ngurah Rai terhadap Belanda di Bali. Ini cerita perang kemerdekaan. Tidak sembarang perang. Perang ini meletus di Selat Bali pada awal Maret 1946. Sejarah mencatat inilah perang laut pertama di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang itu dipimpin Kapten Markadi, komandan Pasukan M BKR Laut. Sandi perangnya Operasi Lintas Laut Jawa-Bali 1946. Sejarah mencatat, I Gusti Ngurah Rai, pimpinan TKR Sunda Kecil (Bali) bersama beberapa orang pemuda Bali menyeberang ke Jawa setelah mereka gagal menyerang tangsi Jepang pada 13 Desember 1945. Di Jawa, mereka berkoordinasi dengan sejumlah dedengkot Republik Indonesia, termasuk jumpa Bung Karno. Setelah menceritakan situasi di Bali paska Proklamasi 17 Agustus 1945, maka dikirimlah sejumlah pasukan beserta senjata dari Jawa ke Bali. Pasukan pertama berangkat dari Banyuwangi pada 3 April 1946, dipimpin oleh Waroka. Sehari berikutnya satu kompi pasukan dibawah pimpinan Kapten Markadi menyeberang dari Banyuwangi ke Bali. Pasukan ini menumpangi tiga perahu. Di tengah laut, pasukan Markadi dihadang motorboat NICA. Perang meletus dari jarak dekat. Satu perahu kawanan Markadi berhasil menghindari pertempuran dan mendarat mulus di Bali. Satu perahu lagi karam.Bagaimana dengan perahu yang ditumpangi Markadi? Dikisahkan, saat itu hujan turun. Gelombang pasang. Musuh kadang terlihat kadang hilang tertutup gelombang. Dalam sebuah kesempatan, perahu rombongan Markadi naik diangkat gelombang. Di waktu bersamaan motorboat NICA berada di bawah. Alam berpihak. Segera Markadi melempari motorboat NICA itu dengan granat tangan. Sehingga tenggelamlah pasukan NICA itu. Dan, perahu yang ditumpangi Markadi cs akhirnya berhasil mendarat di Bali. Sesampai di Bali, Pasukan M yang dipimpin Markadi bergerilya bersama pasukan I Gusti Ngurah Rai. Markadi berkawan dengan Ngurah Rai. Mereka sama-sama gerilya di Bali. Namun Rai lebih dulu berpulang. Dia gugur dalam Puputan Margarana. Seperti yang sudah dipaparkan pada artikel sebelumnya, latar belakang singkat hadirnya Pasukan-M di Bali, adalah atas inisiatif Markas Besar TRI (Tentara Republik Indonesia – sekarang TNI), terkait permintaan bantuan Ngurah Rai dalam menghadapi pendaratan besarbesaran sekutu dan Belanda di Bali, awal Maret 1936. Di sinilah peran besar Kapten Markadi yang mengomandoi Pasukan-M. Merespons perintah Jenderal Oerip Soemohardjo, Kapten Markadi menyiapkan kematangan empat satuan Pasukan- M, yang terdiri dari tiga seksi tempur dan satu seksi intelijen.Usai merasa siap untuk melakoni operasi gabungan amfibi pertama pasukan Indonesia, pada awal April 1946, mereka pun berangkat untuk berusaha menyeberang dari Banyuwangi,sekaligus menerobos blokade kapal-kapal patroli Belanda.
Bali Tempo Dulu
537
Di sini juga terletak besarnya arti slogan TNI saat ini, “Baik-baik dengan rakyat…bersama rakyat, TNI kuat” . Pasalnya berkat sumbangan beberapa perahu nelayan setempat, mereka bisa menyeberang Selat Bali. Tapi perjalanan mereka bukan tanpa hambatan.Sebagaimana dikutip buku Pasukan-M, Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang, rombongan penyeberangan Kapten Markadi dihadang dua kapal patroli Belanda berjenis LCM (Landing Craft Mechanized). Wapun begitu alam tengah berpihak pada Kapten Markadi. Saat itu tengah turun hujan dan membuat keadaan laut bergelombang. Ketika posisi perahu mereka sedikit terangkat gelombang dan LCM Belanda di bawah, Kapten Markadi memerintahkan anak-anak buahnya serentak melemparkan granat. Hancurlah LCM Belanda itu, kendati dua nyawa sipil yang ikut rombongan Kapten Markadi hilang pada insiden tersebut. Pun begitu, akhirnya Kapten Markadi mampu mendarat di Pantai Jembrana, Bali. Insiden bentrokan itu memang hanya terjadi sekira 15 menit. Tapi kejadian itu tercatat dalam sejarah TNI AL saat ini, sebagai pertempuran pertama yang dimenangkan ALRI sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Mendaratnya Kapten Markadi juga jadi operasi amfibi gabungan tentara laut dan darat pertama. Mendaratnya mereka juga sangat disambut hangat warga lokal hingga akhirnya menggabungkan diri dalam Kesatuan 'Ciung Wanara' pimpinan Ngurah Rai, bergerilya kepedalaman, sekaligus para prajurit Pasukan-M mulai mendapati sebutan ALRI 'gunung'. Kapten Markadi juga menyambung persahabatan yang dekat dengan Ngurah Rai, sampai akhir hayat sang Panglima Tertinggi Teritorium Sunda Kecil (sekarang Bali),gugur pada 'Puputan Margarana', 20 November 1946.Kapten Markadi sendiri sanggup melanjutkan perlawanan di Bali, hingga Belanda angkat kaki pada Desember 1949 yang hampir berbarengan di berbagai wilayah Indonesia. Markadi lahir pada tanggal 9 April 1927 dengan nama lengkap Markadi Pudji Rahardjo. Akibat Restrukturisasi dan Rasionalisasi (RERA) TNI 1948, Markadi yang semula pentolan Angkatan Laut, mau tak mau jadi Angkatan Darat. Dia wafat 21 Januari 2008 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan. Sumber : http://www.sorotnews.com/berita/ view...l#.U_RKwaPVBkg http://m.okezone.com/read/2015/04/13/337/1133001/melawan-lupa-peran-kaptenmarkadi-pasukan-m-di-bali #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #ARSIPSEJARAHBALI#PERANG#BALI#
Bali Tempo Dulu
538
NI POLLOK SEDANG MENARI DI PESISIR PANTAI SANUR MENGHIBUR PARA TURIS PADA TAHUN ,1948 Ni Pollok adalah penari dan model dari Banjar Kelandis Denpasar Timur - Bali: mencatatkan diri sebagai perempuan dengan lakon-lakon kontroversial dan getir. Hidup dijalani dengan penerimaan takdir dan gugatangugatan kecil dalam pertaruhan cinta dan seni. Biografi Ni Pollok dikisahkan dengan apik oleh Yati Maryati Wihardja dalam buku berjudul Ni Pollok Model dari Desa Kelandis (Gramedia, 1976). Buku ini mungkin sudah raib dari rak-rak toko buku atau perpustakaan. Biografi perempuan ditulis oleh perempuan ini memang tipis tapi impresif! Ni Pollok menjadi pusat cerita. Pembaca mengenangkan pertaruhan perempuan di Bali. Yati Maryati Wihardja menulis biografi Ni Pollok merujuk kekaguman sejak kecil saat melihat foto seorang perempuan dengan dada telanjang di sebuah majalah. Perempuan dalam foto itu adalah Ni Pollok. Yati Maryati Wihardja pun mengangankan suatu hari bisa menemui Ni Pollok: “Aku ingin mengenalnya! Seraut wajah dan sebuah nama, lama hidup di hati gadis kecil yang mulai sering memimpikan Pulau Dewata.” Buku biografi menjadi dokumentasi untuk mengekalkan diri dalam hitungan waktu dan membuka jalan untuk “hidup kembali” secara imajinatif. Kehadiran buku biografi jadi tanda bahwa manusia mungkin untuk menghuni di bumi meski sudah mati. Kata-kata mengabadikan. Ni Pollok lahir 3 Maret 1917 di rumah bambu beratapkan alang-alang dan berlantaikan tanah di Kelandis. Bocah ini lahir sebagai sudra. Takdir dijalani dengan fragmen-fragmen optimisme dan pesismisme. Ni Pollok jadi penari LegongKeraton di usia remaja. Peran sebagai penari membuat harga diri tidak menjadi rendah. Wajah cantik dan tarian jadi mekanisme pengenalan dan penghormatan orang terhadap Ni Pollok. Ni Pollok menuturkan: “Tahun 1932 adalah tahun yang mulai membuka kehidupanku. Kalaulah sebuah jalan, jalan itu mulai terentang untuk kususuri. Kalaulah sebuah hari, fajar
Bali Tempo Dulu
539
mulai terbit untuk kunikmati. Kalaulah sekuntum kembang, kelopaknya mulai terbuka. Kalaulah seekor burung, sayapnya mulai mengepak.” Seorang pelukis dari Belgia bernama Adrien Jean Le Mayeur de Merpres datang ke Bali. Ni Pollok memberi sebutan Tuan Le Mayeur. Pelukis ini meminta Ni Pollok untuk jadi model lukisan. Takdir sudah menggiring hidup Ni Pollok menemui peristiwa-peristiwa menakjubkan. Tuan Le Mayeur mengajari Ni Pollok membaca dan menulis. Ni Pollok juga dilatih bicara dengan bahasa-bahasa asing. Humanisme telah menjalar melalui sosok pelukis Belgia: membuka peta hidup pada seorang perempuan Bali dengan perangkat bahasa dan laku hidup beraroma kosmopolitanisme. Aku membaca babak-babak kehidupan Ni Pollok dengan keharuan lelaki. Aku pernah berkeinginan memiliki percakapan-percakapan akrab dengan perempuan Bali. Aku ingin mengenali tubuh-jiwa perempuan di pulau elok. Ni Pollok beranjak dewasa. Penampilan diri: bertelanjang dada saat ada di rumah dan menjalani peristiwa-peristiwa keseharian. Payudara menjadi faktor penting kegandrungan Tuan Le Mayeur pada Ni Pollok. Tuan Le Mayeur mengajari Ni Pollok untuk tahu dan bisa mengenakan BH sebagai perangkat pakaian orang modern saat itu. Tuan Le Mayeur membelikan BH dengan merek-merek: mereprentasikan tingkat ekonomi dan kesanggupan mengonstruksi gaya hidup bereferensi Eropa. 1935: Tuan Le Mayeur dan Ni Pollok menikah dengan selisih umur tiga puluh tujuh tahun. Ni Pollok berganti sebutan sebagai Madame Le Mayeur. Pernikahan jadi takdir mengandung kontradiksi. Pertaruhan hidup untuk seni atau cinta jadi sumber untuk menggapai bahagia dan menanggung derita. Ni Pollok mengalami hidup menggemaskan dan mengenaskan. Ni Pollok sadar bahwa pernikahan adalah fragmen hidup: merasai suka dan duka. Tuan Le Mayeur selalu mengatakan kredo: “hidup untuk seni.” Kredo ini jadi hantaman mematikan bagi keinginan Ni Pollok untuk memiliki keturunan. Ni Pollok merasa mendapati dilema: mencintai suami atau memaklumkan diri untuk menimang anak. Seni dan cinta jadi kontradiksi. Merepotkan! Ni Pollok mengalah. Tuan Le Mayeur mengatakan: “Hidup manusia jadi berharga bukan hanya karena ia mempunyai anak, Pollok …. Manusia berharga karena ia berguna untuk sesamanya … ” Inikah humanisme? Aku pernah berhenti di halaman kepedihan ini tanpa bisa berteriak. Aku ingin memberi sangkalan. Sangkalan dengan seribu kata! Membaca biografi Ni Pollok seperti membaca bab-bab hidup menegangkan. Bocah perempuan sudra menjelma menjadi perempuan terhormat di kalangan seniman dan pejabat. Ni Pollok sanggup membaca dunia dan hidup dengan pengajaran dari Le Mayeur. Ketenaran itu mengandung tragedi. Sumber : wikipedia / https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/ni-pollok/ Foto : The Archives #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #BUDAYA#TRADISI#SENIGERAK# #SENIMANBALI#KARYASENIBALI#
Bali Tempo Dulu
540
TANJUNG BENOA BALI DARI ATAS PESAWAT AMFIBI DI TAHUN 1946 Saat anda mendengar nama pantai Tanjung Benoa, sebagian besar yang pernah liburan di Bali, pasti akan mengenal pantai ini. Di halaman ini, penulis akan lebih memfokuskan tentang sejarah Tanjung Benoa Bali. Bagi anda yang belum pernah mendengar, apalagi berkunjung, maka ada baiknya anda membaca artikel ini, jika anda berencana untuk melakukan liburan ke pulau dewata. Selain pantai ini, pulau Bali juga memiliki pantai lain yang mungkin dapat anda kunjungi, seperti pantai Sanur dan pantai Kuta. Tanjung Benoa adalah sebuah kelurahan yang berada di sebelah tenggara pulau Bali. Termasuk dalam kecamatan
Bali Tempo Dulu
541
Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pantai Tanjung Benoa Bali, sangat terkenal dengan aktivitas rekreasi air atau wisata bahari dan sering disebut dengan nama, Tanjung Benoa watersport. Jenis wisata bahari yang tersedia di pantai Tanjung Benoa dapat anda lihat disini, watersport Tanjung Benoa. Tempat wisata Tanjung Benoa, sangat berdekatan dengan salah satu tempat wisata di Bali yang sering digunakan sebagai tempat konfrensi, yaitu Nusa Dua. Tanjung Benoa merupakan tempat wisata di Bali yang terkenal akan pantainya. Tempat ini juga merupakan surganya wahana air seperti banana boat, scuba diving , parasailing, rolling donut, seawalker, flying fish, snorkeling dll. Selain itu, terdapat pelayaran menuju Pulau Penyu tempat hidup dan penangkaran seekor kura-kura , ular , jalak bali , dan sebagainya. Sehingga tidak salah kalau Tanjung Benoa dikenal sebagai pusat wisata bahari di Bali. Aktifitas wahana air sangat tergantung dari kondisi pasang surut air laut yang dikenal istilah pasang purnama dan pasang tilem. Jika kena pengaruh bulan mati (tilem), atraksi wisata laut baru bisa dilangsungkan di atas pukul 11.00 hingga sore. Sebaliknya, kalau terkena pengaruh pasang purnama (bulan penuh), wisatawan bisa memulai aktivitas wisata tirta sejak pagi hari, sekitar pukul 09.00 hingga sore hari biasanya sampai jam 4 sore. Bibir pantai Tanjung Benoa memiliki laut yang aman, nyaman dan indah. Karang lautnya masih lestari, sehingga ombak akan pecah di luar, sebelum menyentuh bibir pantai. Karena itu, di pantai Tanjung Benoa dikenal istilah ''laut dangkal'' dan ''laut dalam''. Pesisir pantai Tanjung Benoa mencakup tujuh lingkungan/banjar, enam di antaranya masuk wilayah Kelurahan Tanjung Benoa (Banjar Kerta Pascima, Anyar, Tengah, Purwa Santi, Panca Bhineka, dan Banjar Tengkulung), sedangkan Banjar Terora masuk wilayah Kelurahan Benoa. Luas keseluruhannya 400,39 hektar, 226,64 hektar di antaranya adalah luar wilayah Banjar Terora. Dengan demikian luas wilayah Tanjung Benoa hanya 173,75 hektar. Tanjung benoa adalah kampung nelayan menjadi kawasan wisata mewah, pusat wisata bahari, dikenal dengan water sport Tanjung Benoa. Pusat Wisata Bahari Di Bali Sebelum berkembang menjadi kawasan wisata di Bali, tempat terdapatnya hotel-hotel mewah dan restoran. Tanjung Benoa merupakan perkampungan nelayan. Sebagian besar penduduk di Tanjung Benoa, berprofessi sebagai nelayan sebelum berkembangnya pariwisata di daerah ini. Perkembangan daerah ini sangat signifikan dari awalnya kampung nelayan, menjadi kawasan wisata tempat dari hotel – hotel mewah, spa, tempat shoping untuk oleh-oleh
Bali Tempo Dulu
542
khas Bali dan restoran berstandard international. Kawasan wisata ini, memang sangat cocok untuk aktivitas wisata bahari. Karena memiliki air laut yang tenang dan panorama bawah laut yang tidak kalah dengan pantai-pantai di Bali yang lain. Sebagian besar peminat wisata bahari adalah wisatawan yang berlibur bersama keluarga.Tanjung Benoa Kawasan Wisata dan Letak Geografis Kawasan wisata Tanjung Benoa, memiliki letak geografis yang unik. Diapit oleh dua laut dan kedua sisi dari pantai memiliki pasir putih. Sejarah Tanjung Benoa : Sekitar tahun 1546, pantai Tanjung Benoa adalah sebuah pelabuhan kecil. Yang di gunakan oleh pedagang dari Cina, untuk berlabuh dan menjual barang dagangan mereka seperti keramik. Selain menjual, pedagang Cina juga membeli barang dagangan penduduk asli Bali. Pertukaran barang dagangan di pelabuhan inilah, yang membuat beberapa dari pedagang Cina menetap di Tanjung Benoa. Dengan menepatnya penduduk Cina di Tanjung Benoa, membuat sebuah keunikan di tempat wisata ini, yaitu terdapatnya klenteng atau Vihara yang lumayan besar. Nama vihara yang ada di Tanjung Benoa adalah Vihara Caow Eng Bio. Selain vihara, anda juga dapat melihat candi Hindhu seperti Pura Dalem Tengkulung Benoa Tanjung dan Pura Segara. Sebelum berkembang menjadi tempat pariwisata di Bali. Daerah ini adalah kampung nelayan, yang sebagian besar penduduk lokal untuk mencari mata pencaharian dengan menjadi nelayan. Semenjak tahun 1980, kawasan terdekat
Bali Tempo Dulu
543
dari Tanjung Benoa yaitu Nusa Dua, di bangun kawasan wisata mewah yang bernama BTDC. Di kawasan BTDC Nusa Dua, berdiri hotel-hotel mewah yang hampir sebagian besar hotel bintang lima. Dengan perkembangan signifikan dari BTDC Nusa Dua, berhimbas terhadap daerah Tanjung Benoa. Tentunya dengan kelebihan pantai pasir putih, air laut yang tenang, pohon palem dan kelapa di daerah sekitar pantai. Membuat pantai Tanjung Benoa tidak ketinggalan dari Nusa Dua dalam perkembangan pariwisata di pulau Bali. Pemerintah daerah pulau Bali, telah menetapkan kawasan Tanjung Benoa menjadi pusat dari wisata bahari di Bali. Pemerintah daerah Bali juga membuat tempat penangkaran Penyu hijau, yang termasuk kategori satwa langka dan dilindungi. Tempat penangkaran ini, lebih dikenal dengan nama pulau Penyu.di pulau serangan. Sumber : wikipedia / http://www.water-sport-bali.com/sejarah-tanjung-benoa/ Foto : KITLV colection #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BUDAYA# #BALISELARAN#PELABUHAN#WISATABALI#
Bali Tempo Dulu
544
PATUNG PAHLAWAN KAPTEN JAPA DI BUNDARAN RENON DENPASAR,BALI INDONESIA PAHLAWAN MUDA KOTA DENPASAR GUGUR DI USIA 21 TAHUN DALAM SERANGAN UMUM KOTA DENPASAR 11 APRIL 1946. Masyarakat Denpasar memperingati Serangan Umum Kota Denpasar setiap tanggal 11 April yang dipusatkan di Lapangan Puputan Badung. Peristiwa heroik 70 tahun lalu itu bagi kalangan pejuang memiliki nilai historis kepahlawanan. Mereka para pejuang dengan semangat nasionalisme membara berusaha mempertahankan wilayah Kota Denpasar dari penguasaan penjajah. Bukan saja karena mereka langsung terlibat pertempuran melawan pasukan NICA, tapi nilai-nilai perjuangan yang dimiliki oleh masing-masing pejuang masih melekat dalam hati. Tidak sedikit diantaranya berkorban harta benda, lebih dari itu jiwa pun menjadi taruhannya.Salah satu pejuang Kota Denpasar yang tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa Serangan Umum Kota Denpasar yang berkecamuk pada 11 April 1946, sosok pejuang Ida Bagus Japa. Perjalanan kepemimpinan Ida Bagus Japa atau yang lebih sering disebut Kapten Japa selama memimpin pasukan masih melekat dihati sanubari para rekan seperjuangannya. Salah satu rekan seperjuangan Kapten Japa yang masih hidup Ida Bagus Raca bercerita tentang sosok Kapten Japa ditemui di kediamannya. Selama perjalanan perjuangan Kapten Japa yang saat ini patungnya dapat dilihat dibundaran Renon ini menurut Ida Bagus Raca beliau sosok pejuang yang luar biasa. Selain itu Wakil Ketua Markas
Bali Tempo Dulu
545
Daerah LVRI Bali ini mengenang sosok Kapten Japa bukan saja sebagai pejuang yang berani, tapi tegas dan memiliki rasa humor yang cukup tinggi pula. Kapten Japa menurut IB. Raca pejuang yang betul-betul memiliki semangat tinggi, tegas dalam memberikan komando terhadap pasukannya. IB Raca ingat sekali saat tentara NICA kira-kira jam dua pagi pada (11/4) 70 tahun lalu, dimana satu jam lebih awal menggempur pejuang Denpasar, di bawah pimpinan Kapten Japa di tangsi Kayumas, beliau dengan semangat membara memerintahkan pasukan untuk melawan gempuran NICA saat itu. “Nah saat pertempuran itulah Kapten Japa gugur terkena timah panas tentara NICA,” kenang IB Raca sembari teriang Kapten Japa merintih kesakitan sebelum akhirnya Kapten Japa menghembuskan nafat terakhir di tangsi Kayumas. Ditanya kesempatan untuk menolong Kapten Japa, IB Raca yang saat itu berada beberapa meter sebelah pemimpinnya itu mengaku tidak bisa berbuat banyak karena berondongan peluru dari tentara NICA terus dilesatkan. Menurut IB. Raca salah satu rekan seperjuangannya, Ida Bagus Banjar yang juga kebetulan ada disebelahnya hanya sempat mengambil senjata yang dibawa Kapten Japa. Beberapa jam setelah bertemu dengan pejuang lainnya, diutuskanlah Wayan Cenat dan Made Kada untuk menyampaikan berita duka ke Geriya Kedaton. Sehari sebelum pertempuran Serangan Umum Kota Denpasar, Kapten Japa masih memiliki keyakinan kita pejuang Denpasar akan menang. Tapi kenyataan berkata lain, beliau sosok pemimpin yang tegas, pemberani dan memiliki rasa homor yang tinggi diusia yang baru menginjak 21 tahun disaat istrinya hamil besar waktu itu meninggal terkena timah panas pasukan NICA. Setiap memperingati Serangan Umum Kota Denpasar, bagi IB. Raca dan teman seperjuangan yang masih hidup selalu ingat sosok Kapten Japa yang tegas, pemberani dan selalu sempat-sempatnya membuat rekan seperjuangan terhibur dengan lelucon yang diperlihatkan Kapten Japa. Sumber : www.denpasarkota.go.id Foto : wikimapedi 1990 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #ARSIPSEJAEAHBALI#PERJUANGAN# #DENPASARKOTA#PAHLAWANBALI#
Bali Tempo Dulu
546
BEBERAPA ORANG SEDANG BERTEDUH DIBAWAH POHON BAYAN / BERINGIN DI SEBUAH DESA DI BALI. Pohon Banyan / Beringin bagi Hindu Di Pulau Bali sendiri ada banyak masyarakat Hindu dan pohon Banyan memiliki arti tersendiri bagi mereka. Pohon Banyak melambangkan tradisi keagamaan Hindu. Akar pohon Banyan sebagai simbol Weda, Upanisad dan juga kitab lain. Sementara itu, batang pohon Banyak melambangkan kesatuan dengan Tuhan. Pohon Banyan di Bali, pohon ini sering sekali diitemukan.Selain pohon ini memang memberikan suasana teduh di siang hari manakala terik matahari memuncak, pohon banyan juga sebagai simbol kekuatan. Tahukah Anda bahwa pada jaman kerajaan Bali, pohon banyan digunakan sebagai tempat menunggu dan berteduh sebelum diijinkan untuk bertemu dengan raja. Dalam upacara keagamaan Hindu, pohon ini juga digunakan dalam upacara “memukur”, yakni 42 hari setelah acara ngaben. Tata caranya adalah dengan membakar tumpukan kayu bakar maka jiwa orang mati dibebaskan dari raga dan kemudian tinggal sementara di antara daun dan cabang pohon banyan / beringin.Semakin Mengenal Pohon Banyan Ciri-ciri pohon banyan antara lain adalah dahannya rindang, memiliki akar gantung yang banyak dan juga membentuk batang-batang baru yang kemudian membesar. Bisa dibilang pohon banyan atau beringin sebagai rajanya pohon karena terlihat sangat ‘perkasa’. Memiliki nama Latin “Ficus bengalensis”, pohon banyan pada umumnya tumbuh dengan batang tunggal yang tumbuh membesar. Kemudian, akar-akar gantungnya mengembang guna bernapas dan
Bali Tempo Dulu
547
mencari makan di udara supaya tumbuh lebih cepat. Akar-akar gantung ini jarang bertumbuh sangat membesar sehingga ukurannya relatif lebih kecil ketimbang batang utamanya. Misalnya ada yang berukuran besar maka akar gantung tersebut pada umumnya berada tidak jauh dari batang utamanya. Maka dari itu, sering kita lihat pohon banyak mempunyai batang yang berukuran sangat besar, dahannya rimbun dipenuhi daun dan akar kecil-kecil dan banyak yang menggantung. Pohon banyak jika tumbuh maka bisa menaungi banyak makhluk hidup. Satu pohon saja bisa membentuk satu hutan tersendiri. Tahukah Anda bahwa pohon banyan juga harus berupaya sepenuhnya agar berkembang optimal. Hal inilah yang bisa kita pelajari dari akarnya yang tumbuh dari atas ke bawah, bukan sebaliknya seperti pohon-pohon pada umumnya. Dunia tidak hanya berjalan sebagaimana aturan umum yang ada. Namun, justru dengan begitu bisa menjadi perkasa dibandingkan dengan yang lainnya. jika berlibur ke Pulau Bali, Anda akan sangat sering melihat pohon beringin. Belum lagi kalau sedang ada upacara-upacara keagamaan umat Hindu pada khususnya. Pohon banyan akan lebih banyak lagi diekspos. Yang pasti, jangan langsung berprasangka negatif pada pohon yang perkasa ini. Justru Anda semakin banyak mendapati pelajaran hidup dari pohon yang berbeda dari pohon-pohon lain pada umumnya. Pentingnya pohon beringin bagi umat Hindu karena daunnya sering digunakan sebagai sarana upacara. Daun beringin secara filsafati bagi umat Hindu sebagai lambang kesucian, baik dalam upacara Dewa Yajna, Pitra Yajna, maupun pelaksanaan yajna yang lain. Keyakinan masyarakat Hindu tersebut bukanlah suatu hal yang tidak beralaskan tanpa landasan sastra yang jelas, lantas dituding sebagai penyembah berhala atau penyembah pepohonan. Secara mitologi, pohon beringin merupakan salah satu pohon yang telah mendapatkan penugrahan. Halini dikisahkan dalam Siwa Gama ketika perjalanan Bhagawan Salukat. Dalam rangkaian tirthayatra beliau mengantarkannya tiba di pesisir Negara Daha, beliau menemukan sebatang pohon waringin pandak (beringin). Pohon beringin itu bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat. “Yang mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang tumbuh di tempat sunyi, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan hewan,” kata pohon beringin dengan kerendahan hati kepada Bhagawan Salukat. Bhagawa Salukat yang sudah mengerti akan hakikat hidup , serta dengan kemurahan hati dianugrahilah pohon beringin tersebut. “ wahai engkau pohon beringin,kini wajib engkau menjadi pendamai ( membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,“ kata Bhagawan Salukat memberikan anugrah kepada pohon beringin. Selanjutnya pohon beringin disebut juga sebagai pohon Siwa-Durga. Dengan kemultifungsian dari pohon beringin bagi umat Hindu khususnya di Bali. Pohon beringin dikatakan pula sebagai pohon surgawi, karena pohon beringin ini sebagai tempat rekreasi atau anjangsana para pitara- pitari yang sudah diaben. Sesuai dengan konsep ajaran Siwa di Bali, pohon beringin dikatakan sebagai pohonnya para Dewa, khususnya Dewa Siwa. Tidak saja pitara-pitari saja yang menyenangi pohon beringin,mahluk lain juga menyukai pohon beringin karena memang memiliki kekuatan energy yang sangat besar. Secara fungsional dalam konsep Siwa di Bali, pohon beringin adalah tempat Dewa Siwa dan dewi Durga beranjang sana yang ditemani para widyadara-widyadari termasuk di dalamnya para pitara tersebut. Berkat anugrah Bhagawan Salukat serta adanya keyakinan masyarakat atas kekuatan-kekuatan gaib yang bersemayam pada pohon beringin, lebih-lebih yang tumbuh pada areal seperti pura atau kuburan, kini
Bali Tempo Dulu
548
membuat pohon beringin, dengan kekokohan akarnya serta rindangnya dedaunan diharapkan senantiasa selalu memberikan kesejukan dan kesejahteraan bagi umat. Sumber : wikipedia / http://www.sewavilladibali.com/officialblog/pohon-banyan/ Foto : Woodbury & page Tahun 1875 From " Ethnographic and Archaeological Album Indian Archipelago" Source : Ethnographic Museum, Amsterdam #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #POHONBAYAN#BERINGIN#HINDU# #WIKIPEDIA#ARSIPSEJARAHBALI#
SUASANA DI TAMPAK SIRING 23 NOVEMBER 1922 GIANYAR, BALI,INDONESIA Nama Tampak Siring berasal dari kata Tampak yang berarti telapak dan Siring berarti miring.
Bali Tempo Dulu
549
Usana Bali salah satu lontar yang menceritakan tentang sejarah Tampak Siring Bali. Telapak yang ada dalam nama tempat wisata ini, diceritakan sebagai telapak dari raja yang bernama Mayadenawa. Sejarah Tampak Siring Pura Tirta Empul Mayadenawa diceritakan seorang raja sakti, tapi memiliki sifat jahat dan beraggapan dirinya adalah seorang dewa. Karena bersifat jahat, maka Dewa Indra mengirim pasukan beliau, untuk menghancurkan Mayadenawa. Mayadenawa kalah perang melawan Dewa Indra dan Mayadenawa lari kehutan. Untuk menghilangkan jejak, Mayadenawa berjalan dengan memiringkan kakinya ke tengah hutan. Walaupun Mayadenawa berusaha menghilangkan jejak, tapi usahanya melarikan diri gagal. Sebelum berhasil ditangkap oleh pasukan dewa Indra, Mayadenawa menciptakan mata air beracun. Dengan mata air beracun, Mayadenawa berhasil membunuh sebagian dari pasukan dewa Indra, yang mengejar Mayadenawa. Untuk mengatasi mata air beracun dari Mayadenawa, Dewa Indra menciptakan mata air penawar racun. Mata air ini yang bernama Tirta Empul (air suci), oleh karena itu Pura yang memiliki mata air ini disebut dengan nama pura Tirta Empul. Hutan yang digunakan untuk Mayadenawa melarikan diri, dengan posisi kakinya dimiringkan inilah yang sekarang menjadi kawasan wisata Tampak Siring Dan pada akhirnya Mayadenawa menemui ajalnya dan di bunuh oleh dewa indra beserta pasukannya. Kemenangan Dewa indra membunuh Mayadenawa ini di peringati sebagai hari suci dalam agama hindu di bali yaitu kemenangan dharma melawan adharma - kemenangan yang baik melawan yang buruk, maka di peringatilah sebagai hari raya galungan dari cerita inilah awal mula dari hari raya galungan yang ada di bali. Sumber : wikipedia / http://www.rentalmobilbali.net/tampak-siring/ Foto by : Album Rio Maraden #BaliTempoeDuloe #wikipedia #Balilawas # #arsipsejarahbali#Budaya#bali#adattradisi#
Bali Tempo Dulu
550
KUNJUNGAN MICK JAGGER KEPURI AYAR KERAMBITAN TABANAN, BALI, INDONESIA Bintang rock The Rolling Stones, Mick Jagger melakukan ritual ‘pasupati’ keris miliknya di Puri Anyar Kerambitan Tabanan, Bali. Ritual ‘mempasupati’ keris ini dilakukan Mick Jagger di Puri Anyar Kerambitan Tabanan pada tahun 1997. Keris yang dipasupati merupakan keris pemberian konglomerat Indonesia Setiawan Djody. "Waktu itu Mick Jagger mempasupati keris pusaka di Merajan (pura) Alit, Puri Anyar Kerambitan. Keris dipasupati oleh seorang pedanda (pendeta Hindu),” jelas salah satu anggota keluarga Puri Anyar Kerambitan, Anak Agung Ngurah Agung Bagus Erawan. Keris yang sudah dipasupati itu, kata Agung, selanjutnya dibawa Mick Jagger kembali ke negaranya di Inggris. Upacara pasupati merupakan bagian dan upacara Dewa Yadnya. Dalam kepercayaan umat Hindu Bali, upacara ini bertujuan untuk menghidupkan serta memohon kekuatan magis terhadap benda-benda tertentu yang akan dikeramatkan. Menurut keyakinan Hindu khususnya di Bali, segala sesuatu yang diciptakan oleh Ida Hyang Widhi (Tuhan) mempunyai jiwa, termasuk yang diciptakan oleh manusia mempunyai jiwa atau kekuatan magis dengan cara memohon kehadapan Sang Pencipta menggunakan upacara Pasupati.
Bali Tempo Dulu
551
Biografi Mick Jagger. Nama Lengkapnya Sir Michael Phillip ‘Mick’ Jagger atau Ia dikenal sebagai penyanyi rock, aktor, penulis lagu, prod film dan pengusaha. Dia juga terkenal sebagai pentolan grup rock legendaris asal Inggris The Rolling Stones. Kebesaran Jagger dapat dikatakan dari nol, karena keteguhan dan ketekunan lagu-lagunya hit dan melegenda. Ia mengaku banyak belajar dari Tina Turner dan musisi besar lainnya. Hal ini pantas jika single debutnya diberi judul Memo from Turner (November 1970). Sementara dalam karir solonya Jagger berhasil merilis She’s the Boss (25 February 1985), Primitive Cool (14 September 1987), Wandering Spirit (8 February 1993) dan Goddess in the Doorway (19 November 2001). Sedangkan kariernya dalam film dibuktikan dengan membintangi puluhan film. Di antaranya PERFORMANCE (1968), NED KELLY (1970), WINGS OF ASH (1978), RUNNING OUT OF LUCK (1987), FREEJACK (1992), BENT (1997), THE MAN FROM ELYSIAN FIELDS (2001) dan MAYOR OF THE SUNSET STRIP (2003). Kalau membaca biografi Mick Jagger versi bahasa Inggris, Anda akan mendapati kalau vokalis The Rolling Stones ini setidaknya sempat berhubungan dengan empat orang wanita berbeda yang memberikannya tujuh orang keturunan. Tak heran jika Jerry Hall, salah satu wanita yang sempat dekat dengan Jagger menganggap rocker ini sebagai pemangsa seksual. Dalam sebuah buku yang mengungkap perjalanan hidup Mick Jagger, Jerry Hall sempat berujar kalau Mick Jagger adalah sexual predator. Kalau sebelumnya Mick sempat kecanduan obat-obatan terlarang, belakangan Mick rela meninggalkan obat demi seks. Itu juga alasan kenapa Jerry Hall memutuskan meninggalkan Mick Jagger. “Mick saat itu tidak sedang tur dan karena itu dia punya banyak waktu luang. Dia jadi sering pergi tanpa saya,” ujar Jerry Hall yang sempat memberikan empat anak buat Mick Jagger. Dalam berita yang sama Splash News juga menyebutkan kalau Mick Jagger tak pernah mengakui kalau ia punya hubungan dengan wanita lain meski saat itu pemberitaan di media sangat gencar. Jagger dan Angelina Jolie sempat jadi sepasang kekasih sekitar tahun 1997 lalu. Tidak ada orang yang tahu memang karena menurut sang penulis, informasi ini ia dapat dari sumber yang sangat dekat dengan Angelina Jolie. Dalam buku berjudul BRAD PITT AND ANGELINA JOLIE: THE TRUE STORY itu Jenny menyebutkan kalau hubungan Angelina Jolie dan Mick Jagger ini berawal ketika Angelina menjadi model dari video klip The Rolling Stones yang berjudul Anybody Seen My Baby? di tahun 1997 lalu. Bahkan menurut Jenny bukan sekali itu saja Angelina punya affair dengan vokalis The Rolling Stones ini. Tahun 2003 lalu keduanya sempat terlibat hubungan spesial lagi. Menurut Splash News, Jenny Paul memastikan bahwa sumber informasinya cukup bisa dipercaya karena di antara beberapa source yang ia pakai ada nama Texas Terri, punk rocker sahabat baik Angelina, dan juga mantan kekasih dari ibu Angelina Jolie yang tak disebutkan namanya. Tak cuma hubungan antara Angelina dan Mick Jagger saja yang diungkap Jenny Paul lewat biografi ini. Konon, sekitar tahun 2004, Angelina Jolie juga sempat mengencani Colin Farrell setelah keduanya bermain dalam film ALEXANDER. Benar atau tidak, belum ada tanggapan baik dari Angelina Jolie maupun Mick Jagger dan Colin Farrell. Johnny Depp pernah ingin menggandeng Mick Jagger untuk membintangi film PIRATES CARIBBEAN. Aktor nyentrik ini akan kembali memerankan kapten Jack Sparrow di film bajak laut ini untuk keempat kalinya. Sebelumnya prod film meng-casting salah satu personel The Rolling Stone, Keith Richards untuk memerankan ayah Sparrow di film ketiga. Dan sekarang mereka berharap bisa mengajak pentolan grup band ini, Jagger. Sebuah sumber seperti dikutip Daily Express mengatakan: “Johnny sekarang bekerja sama dengan Disney untuk lanjutannya. Dan dia memberikan banyak ide. Salah satu dari ide yang menyenangkan ini termasuk Mic bersama Keith sebagai bajak laut yang lebih tua. Dia pikir
Bali Tempo Dulu
552
mereka akan terlihat sempurna.” Depp pernah mengaku kalau dandanannya dan gayanya sebagai bajak laut Jack Sparrow terinspirasi dari penampilan rocker gaek, Keith Richards. Rocker ini akhirnya menerima peran sebagai ayah Jack dalam film blockbuster ini di seri ketiga. Sumber : sejarahbali / http://www.biografiku.com/2011/09/biografi-mick-jagger-vokalisrolling.html Foto :dickiesbali (1997) #BaliTempoeDuloe#wikipedia#arsipsejarahbali# #rock# rolling Stones#puri#anyar#Tabanan#
Konfrensi Denpasar di Bali Hotel Denpasar, 18 Desember 1946. Sejak lebih 60 tahun terakhir, ibu kota Pulau Bali ini sudah sering dan terus menerus dipilih sebagai tempat seminar, rapat, sidang, munas, kongres, dan sejenisnya, baik untuk tingkat nasional maupun internasional, baik yang diselenggarakan oleh partai politik maupun organisasi profesi. Konferensi penting pertama yang berlangsung di Denpasar adalah Konferensi Denpasar. Konferensi yang diprakarsai oleh Belanda ini dilaksanakan pada tanggal 7-24 Desember 1946. Bali Hotel di Jalan Veteran merupakan tempat konferensi ini dilaksanakan. Itulah satu-satunya fasilitas memadai dan bertaraf internasional pada saat itu. Bali Hotel dibangun oleh Belanda pada tahun 1928 sebagai hotel mewah pertama di Pulau Dewata. Konferensi
Bali Tempo Dulu
553
Denpasar adalah lanjutan dari Konferensi Malino dan Konferensi Pangkal Pinang. Karena adanya perbedaan pendapat dan konflik politik antara Kalimantan Barat dan Selatan untuk bekerja di bawah satu unit pemerintahan, maka peserta konferensi Denpasar hanya terdiri atas perwakilan daerah-daerah Indonesia timur, ditambah perwakilan golongan minoritas (Belanda, Cina dan Timur Asing lain), total seluruh peserta adalah 70 orang. Konferensi diawali dengan pertemuan tidak resmi sejak 7 Desember dipimpin oleh Komisaris Pemerintah untuk Kalimantan dan Timur Besar, Dr. W.Hoven. Pembukaan resmi dilakukan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada tanggal 18 Desember dan ditutup pada 24 Desember 1946. Dalam waktu yang sangat cepat, konferensi menghasilkan dokumen yang membahas pembentukan Komisi Mahkota (perantara dengan Kerajaan Belanda), dewan perwakilan rakyat sementara (DPRS), pembagian kekuasaan, keuangan dan pendirian daerah otonomi, kepala negara bagian, kabinet dan menteri Negara Indonesia Timur. Terpilih sebagai Kepala Negara Indonesia Timur pertama pada tanggal 24 Desember 1946 adalah Cokorda Gde Raka Sukawati. Beberapa peristiwa seputar konferensi ini adalah perang puputan oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai di desa Marga dan Pembantaian Westerling di Makassar. Sumber : wikipedia / sejarah bali Foto : TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #ARSIPSEJARAHBALI#DENPASAR#KOTA#
Bali Tempo Dulu
554
PATUNG PEDANDA MEMBAWA GENTA DI UTARA JALAN DIPONOGORO DENPASAR. PEREMPATAN JALAN DIPONOGORO-HASANUDIN Dari zaman dahulu masyarakat Bali telah
Bali Tempo Dulu
555
mewarisi karya arsitektur unik. Karya ini sarat dengan ornamen dan dihiasi patungpatung sesuai fungsi dan maknanya. Awalnya keberadaan patungpatung sebagai simbol tertentu diletakkan sebagai pendukung arsitektur pura dan puri. Pura sebagai simbol penguasa alam niskala (tak kasat mata). Puri sebagai simbol penguasa secara sekala (terlihat oleh mata). Peletakan patungnya pun disesuiakan dengan fungsi tertentu. Misalnya pada Pura Dalem dan Pura Prajapati yang lebih dominan penggunaan patungnya adalah patung dengan karakter seram dan menakutkan. Adapun pada jeroan pura cenderung menampilkan karakter patung lebih lembut, widyadara, widyadari atupun karakter dewa. Pada arsitektur puri pun tokoh-tokoh seram sebagai penjaga pintu masuk (Dwarapala) sangat sering dapat dijumpai. Adapula yang mengambil tokoh parekan dalam pewayangan seperti Merdah dan Tualen. Perletakan, fungsi dan makna patung terus mengalami perkembangan. Patung yang biasanya hanya ada di kawasan pura dan puri kini merambah ke tempat tinggal permukiman masyarakat. Contoh paling mudah dijumpai adalah penempatan patung pada kanan kiri pintu masuk (angkul- angkul), aling-aling, sampai pintu masuk merajan atau sanggah. Patung yang digunakan, misalnya patung Ghorakala, Nawa Sura, dan Nawa Sari. Ada pula yang menempatkan karakter Merdah Tualen atau tokoh manusia sedang menabuh gambelan, membawa senjata, sampai karakter lucu. Secara sekala, patung-patung tersebut dapat digunakan sebagai elemen estetis penata rumah. Selain itu dari segi niskala dapat digunakan sebagai sarana proteksi dari hal-hal negatif. Angkul-angkul, alingaling dan patung Dwarapala menjadi kesatuan fungsi proteksi secara sekala dan niskala. Gangguan : Sebagaian masyarakat ada yang
Bali Tempo Dulu
556
meletakkan patung Ganesha pada alingaling. Patung seperti Ganesha memberikan suatu filsafat lambang kebijaksanaan. Bhatara Gana sebutan lain beliau, juga ahli dalam tenung. Berdasarkan konsep tersebut kemudian diwujudkan pada aling-aling dengan harapan apabila ada gangguan negatif yang masuk, bisa dinetralisir. Patung Nawa Sura & Nawa Sari biasanya diletakkan pada pintu masuk merajan atau sanggah, tempat sembahyang di rumah. Nawa Sura digambarkan dengan sosok raksasa dengan senjata berupa kapak atau pedang. Adapun Nawasari bersenjatakan bunga. Sama halnya pada angkul-angkul (pintu gerbang di rumah). Kedua patung ini mengapit pintu masuk sebelum menuju area merajan atau sanggah. Sebelum berkembangnya penggunaan patung-patung oleh masyarakat umum, masyarakat biasanya menggunakan kelangsah (daun kelapa kering) atau kelabang mantri sebagai sarana proteksi dari kekuatan negatif. Ulat-ulatan dari daun kelapa tersebut diletakkan pada aling-aling. Selain patung, pagar batas menjadi hal penting dalam arsitektur Bali. Ada kaitan makna yang erat antara pintu keluar masuk, patung, pagar (tembok) pembatas pekarangan sebagai wujud proteksi (penjagaan secara fisik dan non fisik). Pada setiap sudut pagar pekarangan terdapat paduraksa yang mengikat pagar pekarangan agar tetap kokoh. Dari segi filosofis, setiap sudut paduraksa tersebut memiliki nama dan makna tersendiri. Pada sudut kaja-kangin disebut Sri Raksa yang berarti kemakmuran finansial. Pada sudut kelod-kangin disebut Aji Raksa berarti ilmu pengetahuan. Sedangkan pada paduraksa di sudut kelod kauh disebut Rudra Raksa yang bermakna kekuatan. Terakhir disebut Kala Raksa pada sisi kaja kauh yang berarti pengelolaan waktu. Makna tersebut dijelaskan oleh pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Udayana Bali, Ir. Wayan Meganada, M.Ars. Semua hal tersebut mempunyai nilai dan makna pada kehidupan sebuah rumah tangga. Jika ditinjau lebih dalam, sebenarnya
Bali Tempo Dulu
557
konsep hidup yang baik telah diwujudkan para leluhur masyarakat Bali melalui simbol-simbol yang secara fisik sangat sering kita jumpai. Apabila sebuah keluarga telah berada dalam tatanan tersebut, tentu dapat melahirkan keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga. Begitu juga halnya dengan keberadaan dan perletakan setiap patung di lingkungan rumah. Apabila bisa ditarik makna dan nilai filosfisnya dalam kehidupan tentu akan berdampak positif. Jika hanya dimaknai sebagai komponen pelengkap keindahan rumah tentu tidak salah pula. Tetapi alangkah baiknya jika setiap penataan yang kita lakukan diketahui nilai estetis dan filosofisnya sebagai sesuluh (cermin) dalam kehidupan. Sumber : wikipedia/ http://balebengong.net/kabar-anyar/2012/02/13/patung-untukmempercantik-arsitektur-bali.html Foto : TropenMuseum 1920-2016 #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #BALI#ARSIPSEJARAHBALI# #ARSITEKTURBALI#SENI#BUDAYA#
SEBUAH JINENG / LUMBUNG PADI YANG TERLETAK DI SEBELAH SELATAN BALE BANJAR GERENCENG DENPASAR Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali Vaisyah krsivalah karyogopah sasya bhrtvratah, vartayukto grhopatahksetra palo tha Vaisyah. (Slokantara, 37) Maksudnya:
Bali Tempo Dulu
558
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian,berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang. BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda. Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja. Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu. Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran. Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran. Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu. Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat
Bali Tempo Dulu
559
kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa- nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya. Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya. Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masingmasing.Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa. Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan. Sumber : i ketut gobyah http://www.balipost.com/ balipostcetak/2007/5/9/bd1.htm Foto : TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#BALI# #BUDAYA#BALI#ARSIPSEJARAHBALI#
Bali Tempo Dulu
560
SUASANA DESA BONA GIANYAR BALI INDONESIA 27 MEI 1912 Bona adalah desa yang berada di kecamatan Blahbatuh , Kabupaten Gianyar, Bali, Indonesia.Desa Bona terkenal akan kerajinan daun lontar dan tarian tradisional, seperti tari kecak, Sanghyang Dedari, dan Sanghyang Jaran. Dusun Bona adalah sebuah kawasan wisata yang terlatak di kecamatan Blahbatuh kabupaten Gianyar provinsi Bali. Menyebut desa Bona, mungkin akan teringat dengan tarian Kecak yang popular. Sebelum menjadi ikon dari berbagai tempat di daerah Ubud atau Uluwatu dan daerah lain, kecak tertua salah satunya berkembang di Bona. Desa Bona juga menjadi sentral dari kerajinan anyaman lontar yang terkenal. Daun tersebut bisa dibentuk untuk tas, topi ataupun sandal. Bentuk-bentuk yang diinginkan pelanggan ada bermacam-macam dan bisa juga mengorder sesuai keinginan berbagai anyaman lontar Kerajinan anyaman lontar ini sudah dimulai pengerjaanya di dusun Bona dari tahun 1950-an dan menjadi sumber mata pencaharian bagi para warganya. Para pengrajin anyaman lontar terpusat di berbagai pelosok desa dan pengepulnya membuka toko dipinggir jalan utama desa tersebut. Berbagai jenis kerajinan lontar yang dihasilkan yang biasa di kerjakan hingga 16 jam per harinya, seperti mulai wedding souvenir sampai kerajinan perlengkapan sembahyang yang awet seperti besek dan berbagai pilihan tas. Harga yang sangat terjangkau membuat para pemilik toko di Denpasar ataupun Kuta mencari barang dagangan di desa ini. Untuk bahan baku daun lontar biasanya para pengrajin mendatangkannya dari Karangasem
Bali Tempo Dulu
561
dan sebagian lagi dari pulau Jawa. Hal ini antara lain adalah karena lontar biasa tumbuh di lahan kering seperti Karangasem. Kerajinan lontar memakan waktu yang tidak sedikit dalam pembuatannya. Seperti misalnya kerajinan keranjang dari lontar saja bisa memakan waktu berminggu minggu.Bahan dasar daun lontar yang di masih baru sebelum di gunakan di iris sempit memanjang lalu diwarnai dengan cara di kubur di lahan sawah untuk mendapatkan warna karamel yang indah, sedangkan untuk warna yang gelap di peroleh dengan cara mewarnainya dengan bahan daun Jati. Sumber : http://www.kerajinan.id/409/tari-kecak-dan-anyaman-lontar-sebagai-ikon-dusunbona.html Foto : TropenMuseum colection #BALITEMPOEDULOE#GIANYAR#SEJARAH# #WIKIPEDIA#BALILAWAS#BUDAYA#BALI#
SEBUAH OGOH-OGOH DENGAN SANGAH CUCUK DI PINGIR SETRA DI BALI Sejarah : Ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang dimana pada saat itu ogoh-ogoh dipakai pada saat upacara pitra yadnya. Pendapat lain menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga
Bali Tempo Dulu
562
muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) cikal-bakal dari ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70’an. Berdasarkan keterangan munculnya Ogoh-ogoh itu di Denpasar awalnya hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang saja, Bapak Nyoman Belot yang berasal dari Denpasar membuat Ogoh-ogoh dengan tujuan sebagai permainan anak-anak dan tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan perayaan Hari Raya Nyepi. Namun, karena dinggap sesuai menjadi simbolisasi perayaan tawur, akhirnya ogoh-ogoh tersebut dipakai pada perayaan Nyepi. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan Ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah jenuhan mematung batu padas, batu atau kayu, namun disisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan. Terlepas dari kontroversi perbedaan mengenai sejarah munculnya ogoh-ogoh, event ini telah memberi warna baru untuk perayaan nyepi, membuka ajang kreatifitas dan sebagai alat pemersatu generasi muda. Merupakan kewajiban kita agar perayaan ogoh – ogoh berjalan sesuai dengan maknanya dan tujuan awalnya. 30 TAHUN CIKAL BAKAL BUDAYA OGOH – OGOH Sehari menjelang “Hari raya Nyepi” disebut hari “Pengerupukan” jatuhnya pada hari panglong 15 bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati) sasih kesanga. Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara butha yadnya penetralisir kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan seperti dengan melakukan pecaruan “ Tawur kesanga” (dalam sekala besarnya). Dalam rangkaian upacara tersebut, pada sandi kawon (sore menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara “Magegobog” atau di Jembrana biasanya disebut Mebuwu-buwu yaitu mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa api perakpak(daun kelapa kering),obor,bunyi-bunyian, menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai symbol nyomio (menetralisir) kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan. Setelah kegiatan magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan keluar pekarangan membawa prangkat tadi menuju jalan utama di Desa atau di Kota maningmasing, untuk kemudian bergabung dengan tetangga yang tadinya melakukan hal yang sama, saat tersebut tanpa di komando pada umumnya anak- anak muda melanjutkan acara magegobog tersebut dengan cara berjalan menyusuri jalan utama, akan terbentuk menyerupai pawai obor, hal tersebut dilakukan setiap hari pengerupukan petang hingga malam sehingga menjadi semacam hiburan/tontotan masakat.Pada tahun 1981 (sehari menjelang tahun caka 1903) penulis sempat menyaksikan acara kelanjuatan megegobog yang sangat menarik perhatian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda desa Batu Agung yang rata-rata suka melucu saat itu adalah : Di tengah tengah ramainya pawai obor dijalan raya Batu Agung menuju Kota Negara, kelompok pemuda tadi mengusung keranda (Pepaga/media pengusung jenazah ke kuburan) dengan menggunakan bangku panjang anak murid Sekolah Dasar diselimuti kain putih sedemikian rupa sehingga menyerupai keranda dengan jenazahnya yang seperti akan diantar menuju ke kuburan, diiringi oleh pemuda pemuda lucu melantunkan kidung pengantar orang mati, ada juga yang berpura pura menangisi kematian orang yang diantar kekuburan tersebut dan banyak lagi kelakuan kelakuan lucu pemuda tersebut. Hal tersebut
Bali Tempo Dulu
563
mendapat perhatian dan sangat menghibur masyarakat yang menyaksikan. Dengan menyaksikan peristiwa tersebut penulis yang berasal dari Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jemrana terinspirasi untuk membuat sesuatu yang bermakna dan ada keterkaitannya dengan upacara mebuwu-buwu/magegobog. Dari benak penulis tercetuslah ide untuk membuat semacam patung ringan yang menyerupai wujud Butha kala bermuka menyeramkan sebagi symbol keburukan yang akan disomio/dinetralisir setelah diarak keliling atau menyusuri jalan utama pada hari pengerupukan. Ide tersebut penulis coba realisasikan pada tahun 1982 (hari pengerupukan menjelang tahun caka 1904) pada pagi harinya penulis minta tolong kepada sdr Ketut Wirata, seorang seniman dari Desa Yehembang juga, untuk membuatkan sejenis Topeng/Tapel raksasa terbuat dari blongkak/kulit kelapa. Dibantu oleh pemuda pemuda lain yang sering ngumpul dirumah penulis saat itu, dipandu oleh sdr Ketut Wirata dibautlah patung ringan seperti yang diinginkan penulis, krangka badan, tangan dan kaki dibuat dari bambu, dibungkus dengan untaian somi/ merang padi (somi=somio) diselimuti dengan kain putih dan loreng sedemikian rupa sehingga terbentuk wujud yang menggambarkan butha kala. Mengingat realisasi ide tersebut dadakan maka untuk memudahkan mengarak/mengusung patung tersebut agar tidak menggunakan banyak personil penulis menggunakan cikar (grobak Pedati) yang biasanya oleh orang tua penulis digunakan sebagai alat pengangkut kopra. Patung tersebut kemudian dipasang/diikat diatas grobak, kemudian diarak kejalan utama dengan ditarik oleh 2 (dua) orang pada bagian depan grobak (dibagaian yang biasanya dipasang kerbau paga grobak tersebut) dan didorong oleh beberapa orang dibelakang gerobak, sambil mebunyikan kentongan/kul-kul serta bendabenda lain yang bisa mengeluarkan suara sebagai pengiring. Dan pada akhir acara patung tersebut dibawa ke sungai atau ke pantai untuk kemudian dibakar(disomia). Kejadian tersebut mendapat perhatian dan disambutan meriah oleh masyarakat serta tokoh-tokoh desa saat itu. Dan jalan utama desa yehembang adalah jalan raya GilimanukDenpasar, sehingga tidak menutup kemungkinan dari sekian banyak orang yang kebetulan lewat dan menyaksikan peristiwa tersebut juga terinspirasi untuk melakukan atau membuat acara yang lebih baik lagi di desanya masingmasing. Setahun setelah kejadian tersebut di tahun 1983 (ngerupuk menjelang tahun caka 1905) arak-arakan kelanjutan mebuwu-buwu sudah dibuat lebih istimewa oleh masyarakat,tampilan patungnya sudah bagus-bagus terbuat dari gabus, pengusungnya ada yang menggunakan pepaga ada yang masih menggunakan gerobak pekepungan dan adapula yang menngunakan mobil bak terbuka, diiringi dengan musik tape recorder (belum menggunakan gamelan/gong). Ketika itu patung yang dibuat baru hanya bentuk raksasa belum ada yang membuat bentuk-bentuk lucu seperti belakangan ini, karenan orang masih terinspirasi pada wujud butha kala yang menyeramkan saja. Saat itu masyarakat belum memberi nama “ogoh-ogoh”, penulis menyebutnya “butha kala”, ada pula yang menyebut “ondel-ondel”,” rangda-rangdaan” dan lain sebagainya. Ditahun tahun berikutnya hampir disetiap desa di Bali seperti sudah secara mentradisi pembuatan ogoh-ogoh hingga pada akhirnya dilombakan dan menjadi iven pariwisata yang sangat diminati oleh para wisatawan.
Bali Tempo Dulu
564
Pemberian nama ogoh-ogoh mungkin saja benar berawal dari ogah=goyang (ogah- ogah=ogoh-ogoh) seperti dituliskan oleh salah satu sumber, namun cikal bakal sampai adanya ogog-ogoh bukan “ Nak Mula Keto” akan tetapi : Ogoh-ogoh (pada awalnya disebut butha kala atau ondel-ondel,rangda-rangdaan dlsb) mulai ada atau pertama kali dibuat pada tahun 1982(sehari sebelum tahun baru caka 1904) di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana oleh : Nyoman Mahardika dibantu oleh Ketut Wirata dan kawan-kawan. Demikian cikal bakal adanya budaya ogoh-ogoh di Bali yang terkenal saat ini. Melalui tulisan ini penulis berharap kepada umat sedharma mohon jangan ditinggalkan komponen terpenting pada pembuatan ogoh-ogoh yakni ada bahan yang bersumber dari Somi (merang padi) sebagai symbol somio (nyomio=menetralisir=mengembalikan kepada sumbernya). Yehembang, 23 Maret 2012 (Caka 1934) Sumber : wikipedia / http://ogohogohbali.com/museum_bali.php?cat=8 & http://ogohogohh.blogspot.co.id/?m=1 Foto : Tropen Museum #BaliTempoeDuloe#TropenMuseum# #wikipedia#Balilawas# #arsipsejarahbali#Budaya#bali #adattradisi#Baliage#
Bali Tempo Dulu
565
Bali Tempo Dulu
566
OGOH-OGOH BR ANGGARKASIH SANUR DENPASAR SELATAN MARET 1985 - 2016 “Ogoh-ogoh” penamaan ogoh-ogoh diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa bali, artinya sesuatau yang di goyanggoyangkan,”ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin dese” salah satu lirik lagu wajib di hari pengerupukan satu hari sebelum perayaan nyepi.Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa bertujuan agar buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh yang nantinya ogoh-ogoh akan dilebur atau dibakar. Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama yaitu Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan bisa dirujuk untuk menelusuri asal-usul atau awal mula ogoh-ogoh.Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri, karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan banyak orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat menghidupkan kreatifitas pada pemuda bali. Sumber : wikipedia , http://colekpamor.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-ogoh-ogoh-dibali.html?m=1 Foto : colekpamor.blogspot.com & instagram pecinta ogoh-ogoh #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #ARSIPSEJARAHBALI#OGOH-OGOHBALI# #BUDAYA#SENI#TAWURAGUNG#HINDU#
Bali Tempo Dulu
567
UCAPAN SELAMAT HARI RAYA NYEPI OLEH GUBERNUR BALI KE 4 I GUSTI PUTU MERTHA Iklan selamat hari raya Nyepi dari pejabat Gubernur Bali dalam suasana revolusi, dimuat koran Suluh Indonesia edisi Bali (kini Bali Post), Maret 1966. File Darma Putra. PADA hari Nyepi tahun 1936, ada hal menarik yang terjadi di Bali. Tak jelas di daerah mana terjadi, tetapi begini kisahnya. Saat itu suasana Bali sunyi sepi. Masyarakat tinggal di dalam rumah. Di jalanan yang beraspal, hanya kelihatan petugas patroli, kini petugas itu disebut dengan pecalang. Kesunyian tiba-tiba pecah karena ada mobil yang mengangkut bulè lewat. Pecalang menghentikan mobil itu. Sang sopir tidak gentar, malah dengan percaya diri dia mengatakan bahwa mereka bekerja untuk KPM. KPM adalah Koninklijke Paketvaart Maatschappij, perusahan pelayaran Belanda yang mengoperasikan kapal dagang dan kapal wisata di jalur JawaBali-Sulawesi. Perusahaan ini juga pemilik dan pengelola Bali Hotel (Jalan Veteran Denpasar) yang dibangun 1928. Setelah mendengar bahwa kendaraan itu milik KPM, pecalang mundur ketakutan, mempersilakan kendaraan yang mengangkut bule itu lewat. Pecalang tidak bisa berkutik karena pada zaman kolonial, suka atau tidak, Bali adalah milik Belanda, ‘milik KPM’. Kuasa ada di tangan mereka, tradisi dan budaya dikalahkan. Kisah Nyepi di Bali tahun 1936 itu dikisahkan antropolog Dr. Margaret Mead. Dialah bulè yang menumpang kendaraan KPM waktu itu. Mead tiba di Bali pas hari Nyepi. Dia didampingi suaminya, Gregory Bateson, juga seorang antropolog. Hari pertama di Bali, Mead dan Bateson pergi ke Ubud, bertemu Walter Spies, pelukis dan direktur Museum Bali waktu itu. Di sana, Mead dan Bateson bertemu banyak sarjana Barat yang melakukan riset di Bali, antara lain Beryl de Zoete, partner Spies dalam menulis buku Dance
Bali Tempo Dulu
568
and Drama in Bali (1937). Mead dan Bateson melakukan penelitiannya di Bayung Gede, Bangli, dan tahun 1942 menerbitkan buku Balinese Character: A Photographic Analysis (Karakter orang Bali, Sebuah Analisis Fotografi). Revolusi Suasana perayaan Nyepi di Bali diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi. Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar, ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi katakata ‘revolusi’. Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di surta kabar ketika itu. Hal ini misalnya bisa dilihat dari iklan selamat Nyepi tahun 1966 dari Gubernur Bali. Iklan itu berisi harapan agar Ida Sang Hyang Perama Kawi melimpahkan harapan-Nya kepada kita sekalian dalam kita menenuaikan tugas dalam memenangkan revolusi kita yang mahabesar untuk mencapai keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur (lihat ilustrasi di atas). Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB (Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan ‘prihatin’. Kemudian ditulis: ‘Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi guna memenuhi Ampera’. Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Ucapan Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik. Nyepi Dalam Hening Temukan Kedamaian Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu untuk memperingati perayaan Tahun Baru Caka. Bagi masyarakat Bali Nyepi identik dengan hari dimana kita tidak keluar rumah seharian, Sehari setelah Ngerupuk dengan ogoh-ogoh buta kalanya, dimana malam harinya
Bali Tempo Dulu
569
sepi dan gelap gulita karena tidak boleh menyalakan lampu, hari yang memberi kesempatan untuk “mulat sarira” (introspeksi/kembali ke jati diri) dengan merenung atau meditasi, pelaksanaan C atur Brata Penyepian atau malah ada juga yang mengidentikan dengan hari bebas untuk meceki seharian? Tapi apakah sebenarnya Hari Nyepi itu, bagaimana sejarahnya perayaan Nyepi bisa seperti saat ini? Apa tujuan dan makna dari pelaksanaan Hari Raya Nyepi? Bagaimana cara pelaksanaannya? Itulah berbagai pertanyaan yang ada di pikiran saya, dan dengan bekal bertanya pada berbagai sumber baik dari buku dan internet akhirnya jadilah artikel ini. Semoga bermanfaat menambah pengetahuan kita tentang Hari Raya Nyepi & Tahun Caka. Sejarah Nyepi : Kondisi India sebelum Masehi, diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang memperebutkan kekuasaan sehingga penguasa (Raja) yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka. Diantara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 S), datang ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa. Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama . Sejak itu Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14
Bali Tempo Dulu
570
dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu Indonesia (Bali) dalam perayaan Tahun Baru Caka inilah yang menjadi pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini. Pengertian Nyepi : Nyepi berasal dari kata “sepi”, “sipeng” yang berarti sepi, hening, sunyi, senyap. Seperti namanya perayaan tahun baru caka bagi umat hindu di Indonesia ini dirayakan sangat berbeda dengan perayaan Tahun Baru lainnya, dimana perayaan umumnya identik dengan gemerlapnya pesta dan kemeriahan, dan euforia dan hura-hura tetapi umat Hindu dalam merayakan Nyepi malah dilaksanakan dengan Menyepi, “Sepi”, “Hening”,”Sunyi”,”Senyap”. Mungkin pertanyaan muncul dibenak kita, Mengapa perayaan Tahun Baru Caka tidak dilaksanakan dengan ramai dan pesra seperti perayan tahun baru pada umumnya? Menurut saya ini merupakan cermin kebijaksanaan dan kejeniusan lehuhur kita, dimana seperti pada perayaan Hari Raya Siwarari, leluhur kita selalu menekankan kita tentang konsep “mulat sarira”. Perayaan dalam hening dan sepi agar kita belajar (instrospeksi/kembali ke jatidiri) dengan merenung, meditasi, evaluasi diri dan bertanya tentang diri kita, siapa kita? Mengapa kita ada disini? Akan kemanakah kita nanti? Selama setahun ini apakah yang kesalahan kita yang perlu diperbaiki? Dan bukankah dalam sepi dan hening kedamaian dan kejernihan pikiran lebih mudah tercapai ? Pelaksanaan Nyepi di Bali (Indonesia) memang unik dan istimewa, konsep “mulat sarira” dengan “Catur Brata Penyepian” nya memang sangat relevan dengan kondisi dunia sekarang ini. Saat ini bumi kita sedang menghadapi berbagai masalah seperti global warming, alam yang rusak
Bali Tempo Dulu
571
karena polusi dan eksploitasi besarbesaran, krisis energi dan permasalahan lainnya yang disebabkan oleh kemerosotan moral. Perayaan Nyepi dengan Catur Brata Penyepiannya membuat Bali sebagai satu-satunya pulau di dunia yang mampu mengistirahatkan seisi pulau secara total sehari penuh dari berbagai aktivitas. Setahun sekali memberi kesempatan untuk kepada alam semesta untuk bebas menghirup segarnya udara tanpa asap dan polusi kendaraan dan mesin. Penghematan di saat krisis energi seperti saat ini terutama energi listrik karena pada hari ini Bali mampu mengurangi sebagian besar penggunaan listrik dengan mematikan lampu-lampu dan mesin, Nyepi sehari ini ternyata bisa melakukan penghematan penggunaan listrik hingga mencapai 8 Milyar. Dengan Nyepi kita diberi kesempatan memperoleh ketenangan dan kedamaian mendengarkan kicauan burung dan nyanyian alam yang sedang tersenyum sumringah karena bisa beristirahat sejenak pada hari ini setelah setahun bekerja keras memenuhi keinginan manusia yang tidak ada habisnya. Pelaksanaan Nyepi di Bali bisa seperti saat ini di dukung oleh Pemerintah dan Dunia Internasional dengan penutupan semua pintu masuk ke Bali mulai dari bandara dan pelabuhan-pelabuhan. Penghentian siaran radio dan TV di Bali selama 1 hari 24 jam untuk menghormati Umat Hindu yang merayakan, bahkan dunia internasional pun mengakui keluhuran dan keistimewaan pelaksanaan Nyepi di Bali dengan ramainya wacana merayakan untuk menyediakan waktu Nyepi sehari untuk dunia “World Silence Day”, ya walaupun saat ini baru berupa wacana saja . Rangkaian Pelaksanaan Nyepi Perayaan Nyepi terdiri dari beberapa rangkaian upacara yaitu : 1. Melasti b erasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/
Bali Tempo Dulu
572
memusnahkan, Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk ihkan segala kotoran badan dan pikiran (buana alit), dan juga alat upacara (buana agung) serta memohon air suci kehidupan (tirta amertha) bagi kesejahteraan manusia. Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca,pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Tuhan Ida Sang Hyang Widi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon permbersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II. 35.3 “Apam napatam paritasthur apah ” yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan. Selesai melasti Pretima,arca dan sesuhunan barong biasanya dilinggihkan di Bale Agung (Pura Desa) untuk memberkati umat dan pelaksanaan Tawur Kesanga. Melasti Mekiis Memohon Air Suci ke Laut Sebelum Melaksanakan Nyepi 2. Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pengerupukan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Sesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di catuspata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang
Bali Tempo Dulu
573
dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (butha somya). Filosofi tawur dilaksanakan di catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia). Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan , yaitu menyebarnyebar nasi tawur, mengoboriobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul bendabenda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Pada malam pengerupukan ini, di bali biasanya tiap desa dimeriahkan dengan adanya ogoh-ogoh yang diarak keliling desa disertai dengan berbagai suara mulai dari kulkul, petasan dan juga “keplugkeplugan” yaitu sebuah bom khas bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelagar seperti suara bom, yang dihasilkan dari proses gas dari karbit dan air yang dibakar mengeluarkan suara ledakan yang mengelegar. Ogoh-ogoh umumnya dengan rupa seram, mata melotot, susu menggelantung yang melambangkan buta kala dalam berbagai rupa, juga menunjukkan kreativitas dari orang Bali yang luar biasa yang terkenal akan seni dan budayanya 1. Nyepi jatuh pada Penanggal
Bali Tempo Dulu
574
Apisan Sasih Kedasa (tanggal 1 bulan ke 10 Tahun Caka). Umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam, dari matahari terbit (jam 6 pagi) sampai jam 6 pagi besoknya. Umat diharapkan bisa melaksanakan “Catur Brata Penyepian” yaitu : Amati Geni artinya tidak boleh berapi-api baik api secara fisik maupun api didalam diri (nafsu). Amati Karya artinya tidak boleh beraktivitas/bekerja. Amati Lelungan, dari kata lelunga yang artinya bepergian, artinya tidak boleh bepergian keluar rumah. Amati Lelanguan artinya tidak boleh bersenang-senang/ menyalakan TV/radio yang bersifat hiburan. Dengan adanya Catur Brata Penyepian ini, mengingatkan kita agar belajar pendalian diri dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian sehingga kita bisa fokus dan berkonsentrasi dengan baik untuk mulat sarira (kembali ke jati diri) melalui perenungan dan meditasi. Tetapi dalam kenyataannya di masyarakat, masih banyak umat pada saat Nyepi malah menyalahgunakannya untuk berjudi “ meceki” seharian. Selain Catur Brata Penyepian, bagi yang umat yang mampu akan sangat bagus jika pada Nyepi bisa melaksanakan tapa, brata, yoga, samadi misalnya dengan puasa selama 24 jam, dan juga monobrata yaitu tidak ngomong alias puasa berbicara sambil selalu memfokuskan pikiran kepada Tuhan Ida Sang Hyang Widi Wasa. 2. Ngembak Geni berasal dari kata ngembak yang berarti mengalir dan geni yang berarti api yang merupakan symbol dari Brahma (Dewa Pencipta)
Bali Tempo Dulu
575
maknanya pada hari ini tapa brata yang kita laksanakan selama 24 Jam (Nyepi) hari ini bisa diakhiri dan kembali bisa beraktivitas seperti biasa, memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta alias berkreativitas kembali sesuai swadharma/kewajiban masingmasing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiatan mengunjungi kerabat dan saudara untuk mesima krama , bertegur sapa sambil mengucapkan selamat hari raya dan bermaaf-maafan. Dharma Santi juga biasanya diselenggarakan setelah Nyepi yaitu dengan mengadakan dialog keagamaan sekaligus tempat untuk mesimakrama alias bersilaturahmi dengan sesama. Makna Nyepi Jika kita renungi secara mendalam perayaan Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang dilakukan umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis sehingga ketenangan dan kedamaian hidup bisa terwujud. Mulai dari Melasti/ mekiis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan Alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasiNya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar dan ciptaan Tuhan yang lain yaitu para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit. Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara diri sejati (Sang Atma) umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam diri manusia ada atman (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa). Dan Ngembak Geni dengan Dharma Shantinya merupakan dialog spiritual antara kita dengan
Bali Tempo Dulu
576
sesama. Sehingga melalui Perayaan Nyepi, dalam hening sepi kita kembai ke jati diri (mulat sarira) dan menjaga keseimbangan/ keharmonisan hubungan antara kita dengan Tuhan, Alam lingkungan (Butha) dan sesama sehingga Ketenangan dan Kedamaian hidup bisa terwujud. Hari Raya Nyepi merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Dimana pada hari ini umat hindu melakukan amati geni yaitu mengadakan Samadhi pembersihan diri lahir batin. Pembersihan atas segala dosa yang sudah diperbuat selama hidup di dunia dan memohon pada yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan untuk bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang. Hari Raya Nyepi jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang diyakini saat baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan dipercayai merupakan hari penyucian para dewa yang berada dipusat samudra yang akan datang kedunia dengan membawa air kehidupan (amarta) untuk kesejahteraan manusia dan umat hindu di dunia. Makna Hari Raya Nyepi Nyepi asal dari kata sepi (sunyi, senyap). yang merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan kalender Saka, kira kira dimulai sejak tahun 78 Masehi. Pada Hari Raya Nyepi ini, seluruh umat Hindu di Bali melakukan perenungan diri untuk kembali menjadi manusia manusia yang bersih , suci lahir batin. Oleh karena itu semua aktifitas di Bali ditiadakan, fasilitas umum hanya rumah sakit saja yang buka. Upacara sebelum hari Nyepi Ada beberapa upacara yang diadakan sebelum dan sesudah Hari Raya Nyepi , yaitu: Upacara Melasti : Selang waktu dua tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi, diadakan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis,
Bali Tempo Dulu
577
dihari ini, seluruh perlengkapan persembahyang yang ada di Pura di arak ke tempat tempat yang mengalirkan dan mengandung air seperti laut, danau dan sungai, karena laut, danau dan sungai adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa ihkan dan menyucikan dari segala kotoran yang ada di dalam diri manusia dan alam. Upacara Bhuta Yajna Sebelum hari Raya Nyepi diadakan upacara Bhuta Yajna yaitu upacara yang mempunyai makna pengusiran terhadap roh roh jahat dengan membuat hiasan atau patung yang berbentuk atau menggambarkan buta kala ( Raksasa Jahat ) dalam bahasa bali nya sebut ogoh ogoh, Upacara ini dilakukan di setiap rumah, Banjar, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Upacara ini dilakukan di depan pekarangan , perempatan jalan, alun-alun maupun lapangan,lalu ogoh ogoh yang menggambarakan buta kala ini yang diusung dan di arak secara beramai ramai oleh masyarakat dengan membawa obor di iringi tetabuhan dari kampung kekampung, upacara ini kira kira mulai di laksanakan dari petang hari jam enam sore sampai paling lambat jam dua belas malam, setelah upacara ini selesai ogoh ogoh tersebut di bakar, ini semua bermakna bahwa seluruh roh roh jahat yang ada sudah diusir dan dimusnahkan Saat hari raya Nyepi, seluruh umat Hindu yang ada di bali wajibkan melakukan catur brata penyepian. Ada empat catur brata yang menjadi larangan dan harus di jalankan : Amati Geni: Tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Amati Karya: Tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. Amati Lelungan: Tidak berpergian melainkan mawas diri,sejenak merenung diri tentang segala sesuatu yang kita lakukan saat kemarin , hari ini dan akan datang. Amati Lelanguan: Tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusat.
Bali Tempo Dulu
578
Pikiran terhadap Sang Hyang Widhi Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabata” saat fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya, selama (24) jam. Upacara setelah Nyepi Upacara Hari Ngembak Geni : berlangsung setelah Hari Raya Nyepi berakhirnya ( brata Nyepi ). Pada esok harinya dipergunakan melaksanakan Dharma Shanty, saling berkunjung dan maaf memaafkan sehingga umat hindu khususnya bisa memulai tahun baru Caka dengan hal hal baru yang fositif,baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat, sehingga terbinanya kerukunan dan perdamaian yang abadi Menurut tradisi, pada hari Nyepi ini semua orang tinggal dirumah untuk melakukan puasa, meditasi dan bersembahyang, serta menyimpulkan menilai kualitas pribadi diri sendiri. Di hari ini pula umat Hindu khususnya mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendekatan rohani yang telah dicapai, dan sudahkah lebih mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini. Seluruh kegiatan upacara upacara tersebut di atas masih terus dilaksanakan, diadakan dan dilestarikan secara turun menurun di seluruh kabupaten kota Bali hingga saat ini dan menjadi salah satu daya tarik adat budaya yang tidak ternilai harganya baik di mata wisatawan domestik maupun manca negara. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa makna Nyepi itu sendiri adalah manusia diajarkan untuk mawas diri, merenung sejenak dengan apa yang telah kita perbuat. Dimasa lalu, saat ini dan merencanakan yang lebih baik dimasa yang akan datang dengan tidak lupa selalu bersykur dengan apa yang telah diberikan oleh sang Pencipta Bagi anda yang sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas yang begitu padat ada baik nya anda meluangkan waktu sejenak keluar dari hiruk pikuk tersebut dan datang ke Bali sekedar introspeksi diri bahwa dalam
Bali Tempo Dulu
579
kehidupan ini mempunyai terkaitan antara satu dan lain nya dan tidak lupa menyaksikan keadaan di Bali saat hari raya Nyepi akan terasa bedanya. Sumber : wikipedia / http://balebengong.net/kabar-anyar/2012/03/22/nyepi-di-balitempo-doeloe.html & https://alfredoeblog.wordpress.com/2013/03/12/sejarah-maknadan-rangkaian-pelaksanaan-dari-hari-raya-nyepi/ Foto : dasarbali.wordpress.com #BALITEMPOEDULOE#WIKIPEDIA# #SEJARAH#BUDAYA#HINDU#BALI#
PURA TIRTA HARUM DESA TAMAN BALI BANGLI - BALI INDONESIA LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM : Tiga figure sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing Dhang Hyang Subali, Dhang Hyang Jaya Rembat dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah merupakan tokoh sejarah yang menjadi leluhur prati sentana Maha Gotra Tirta Harum. Dhang Hyang Subali dan Dhang Hyang Jaya Rembat dalam khasanah sejarah Bali adalah merupakan manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan yang menjabat sebagai Adipati di Bali yang diberikan otoritas memerintah Bali oleh Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk, sedangkan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah seorang tokoh penting dalam strata birokrasi pemerintahan di Majapahit dikenal dengan sebutan Sapto Prabhu.Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dikenal dalam khasanah sejarah dalam periode imperium Kerajaan Majapahit menduduki tahta kerajaan di Kedatuan Wengker, Daha dan Keling. Dhang Hyang Subali berdasarkan
Bali Tempo Dulu
580
sejarah tradisi lisan di Bali dan beberapa babad serta pariagem adalah orang tua dari Ni Dewi Njung Asti, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi ayah angkat dari Sang Angga Tirta dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta yang kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum. Mengikuti genelogi atau hubungan kekerabatan dari ketiga tokoh sejarah yang melegenda di Bali itu maka diketahui bahwa Dhang Hyang Subali adalah kakek dari Sang Angga Tirta, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi orang tua angkat dari Sang Angga Tirta setelah diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai dharma putra dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta. Fakta sejarah yang terungkap kemudian setelah diadakannya penelitian atas prasasti Tamblingan menurut efigraf I Gusti Made Suwarbhawa dari Balai Arkeologi Denpasar diketahui bahwa prasasti yang dikeluarkan oleh Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa antara lain : prasasti Her Abang II, prasasti Tamblingan, prasasti gobleg, prasasti Pura Batur C. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa didalam naskah Pararaton dikenal bernama Bhre Wengker wafat pada tahun saka gagana rupa anahut wulan 1310 saka atau 1388 Masehi, juga dikenal dengan nama Raden Kudamerta, ia juga dikenal dengan sebutan Bhre Parameswara, bergelar Paduka Bhatara Matahun Shri Bhatara Wijaya Rajasa nama wikrama Tungga Dewa, Bhatara Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana. Menurut hasil kajian dari Balai Arkeologi Denpasar itu yang mengungkapkan bahwa Paduka Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana itu analog dan cocok dengan sebutan atau paraban yang disuratkan pada babad Purana Batur yang secara tekstual menyebutkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu Bhuwana dan berputra Sang Angga Tirta. Dengan demikian mitos yang dituangkan dalam babad Purana Batur yang bersifat kultus dewaraja adalah nama lain daripada Shri Wijaya Rajasa yang tersurat dibeberapa prasasti yang dikeluarkan oleh beliau seperti prasasti Tamblingan, prasasti Tulukbiu dan prasasti lainnya.Hasil inventarisasi namanama yang merujuk pada figur sejarah Shri Wijaya Rajasa antara lain : Raden Kudamerta , Bhre Wengker, Bhre Parameswara, Paduka Bhatara Matahun , Shri Bhatara Wijaya Rajasa, nama Wikrama Tungga Dewa, Paduka Shri Maharaja Raja Parameswara Shri Wijaya Sakala Prajanandakarana, Dalem Keling, Bhatara Guru, Bhatara Shri Parameswara Sang Mokta ring Wisnubhuwana. Candi Wisnubhuwana berlokasi di Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur menurut para arkeolog diketahui disebut sebagai Candi Wisnu Bhuwana setelah ditemukannya prasasti Biluluk bertarih 1391 Masehi. Berangkat dari realitas sejarah sedemikian, maka ketiga tokoh legendaries sejarah itu adalah menjadi leluhur Maha Gotra Tirta Harum. Jika Dang Hyang Subali
Bali Tempo Dulu
581
dan Dang Hyang Jaya Rembat dating ke Bali pada tahun 1350 Masehi, bersama-sama dengan Sri Kresna Kepakisan dan dikukuhkan sebagai manggala Bhagawanta Dalem Samprangan, maka Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa justru dating ke Bali pada tahun 1380 Masehi. Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebaga “ nabe “ dari Dalem Ketut Ngelusir . Kemelut dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa seorang anggota Pahoem Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan menata pemerintahan di daerah taklukan Bali.Kalau dicermati tugas pokok Bhatara Sapto Prabhu yang dikenal dalam naskah Negarakertagama dengan sebutan Pahoem Narendra adalah : mengurus sual keuangan raja, menetapkan dan mempertimbangkan pergantian mahkota dan urusan kebijaksanaan kerajaan. Merujuk dari tugas pokok yang tertuang dalam Pahoem Narendra itu member petunjuk kepada kita bahwa kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali adalah tugas penting yang bersifat strategis. Jadi pada hakekatnya kehadiran dan kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali bukan semata-mata bertugas sebagai Dhang Guru Nabe dari Dalem Ketut Ngelusir tetapi bagaimana menata pemerintahan di daerah ini dan melaksanakan pergantian mahkota karena adanya krisis kepemimpinan di Bali. Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebaga “ nabe “ Dalem Ketut Ngelusir. Tapi interpretasi dari berbagai babad dan prasasti terungkap bahwa kehadiran Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berpesraman di Pura Dalem Tengaling Kbupaten Bangli adalah untuk menata pemerintahan di Bali dan untuk mengembalikan kredibilitas Kerajaan Majapahit di daerah Bali. Dengan asumsi demikian maka kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa seperti yang tersurat dalam 2 prasasti masing-masing Prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi dan Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi itu adalah orang kuat dan sangat berperanan penting yang diutus Raja Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota Bali. Gelar abhiseka yang tersurat dalam prasasti Her Abang II dan Prasasti Tamblingan III berupa lempengan tembaga saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biyu Kintamani yakni manuskrip kuna menyebut gelar : Paduka Sri Maharaja Raja Parameswara Sri Sakala Raja Nanda Karana.Gelar abhiseka ini member petunjuk pada sejarahwan bahwa gelar dan abhiseka seperti yang termaktub dalam dua prasasti penting itu adalah merupakan gelar tertinggi yang dimiliki raja yang berkuasa. Pemakaian gelar tesebut tidaklah sembarangan, hanya figure atau individu dengan kekuasaan tertinggi dan menentukan yang berhak menyandangnya. Dalam kronik-kronik Dynasti Ming disebutkan bahwa sejak tahun 1377 Masehi terdapat dua penguasa Jawa yang mengirimkan duta dan hadiah ke Kaesar Cina. Raja Kedaton Barat disebut sebagai Wu-Lao Po Yuan, Raja Kedaton Barat tersebut adalah ejaan Bahasa Cina dari Bhre Prabhu atau penguasa tertinggi kerajaan.
Bali Tempo Dulu
582
Identifikasinya jelas pada Raja Hayam Wuruk yang masih bertahta di Majapahit. Sedangkan yang bertahta di Kedaton Timur adalah disebut sebagai Wu-Yuan-Lao Wang Chieh. Raja Kedaton Timur tersebut adalah Bhre Wengker. Fakta sejarah ini memberi petunjuk bahwa Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja besar di Kedaton Timur meliputi Kerajaan Daha, Wengker, dan Keling. Berdasarkan data ikonografis yang ditemukan di lapangan maka daerah kekuasaan raja di Kedaton Timur secara geografis membentang di dua kabupaten di Jawa Timur masing-masing di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Madiun saat ini.Menurut naskah Pararation Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa nama kecilnya dikenal bernama Raden Kuda Amerta.Beliau adalah paman dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Di Kedatuan Majapahit beliau mempersunting putrid dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yakni bernama Raja Dewi Maharajasa atau dalam khasanah sejarah dikenal dengan nama Dyah Wiyah Sri Raja Dewi yang diangkat sebagai Bhre Daha.Ikatan perkawinan ini menjadikan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa memerintahkan kerajaan bersama-sama dengan permaisurinya. Dari hasil perkawinannya itu punya satu satunya putri tunggal bernama Paduka Sori. Dari realitas sejarah yang ditelusuri maka kita mengetahui bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Jawa hanya mempunyai seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsure wanita atau wadon . Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum. Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medrue putra lanang I Gede Putu, cahi putu manipuan cahi turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum. Di lokasi pancoran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas Harum, ini telah berdiri pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan,yang berhubungan dengan kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti. Mitos yang tertuang dalam Purana Batur tentang sosok dan figur Bhatara Wisnu Bhuwana itu secara historis dapat dicermati dengan interpretasi yang benar dan utuh bahwa predikat dan sebutan yang tertuang dalam Purana Batur itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa. Dengan konklusi itu semua maka secara historis di Bali Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa mempersunting Ni Dewi Njung Asti dengan abhiseka Sri Aji Ayu Murub Rikanang Wilwatikta secara genealogis atau hubungan kekerabatan dari hasil perkawinannya berputra putrid masing-masing putri bernama Dewa Ayu Mas Magelung, putrid kedua bernama Dewa Ayu Mas Gegelang, putri ketiga bernama Dewa Ayu Mas Murub dan putra terakhir bernama Sang Angga Tirtha. Dalam versi lain lontar Pura Dalem Siladri menyuratkan bahwa putra bungsu dari perkawinan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dengan Ni Dewi Njung Asti oleh Dang Hyang Subali dianugrahi gelar I
Bali Tempo Dulu
583
Dewa Gede Angga Tirta dan setelah dewasa diberi gelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus. Secara logika maka sangat wajar seorang kakek yakni Dang Hyang Subali berkenan member nama cucunya. Mencermati apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu maka secara historis tidak terbantah bahwa Ni Dewi Njung Asti adalah benar putri dari Dang Hyang Subali yang dikenal sebagai manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan. Dang Hyang Subali berstana di Tohlangkir membangun tempat beryoga di Pura Bukit Batur berlokasi 150 meter di sebelah timur Pura Tirta Harum dan disekitar pasraman tersebut diberi nama Brasika. Apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu cocock dan analog dengan sejarah lisan atau forklore yang secara tradisisonal turun temurun menceritakan bahwa Ni Deewi Njung Asti adalah putrid dari Dang Hyang Subali. Interpretasi yang mengaitkan Ni Dewi Njung Asti secara etimologis identik dengan Dewi Danu dan Bhatara Wisnu Bhuwana diidentikan dengan dewa penguasa air di darat adalah asumsi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip historiografi yang reflektif dan lojik. Bhatara Wisnu Bhuwana yang tersurat dalam Babad Purana Batur secara tersirat adalah berarti raja atau penguasa pelindung rakyat. Cara pandang rakawi yang menyuratkan dalam Babad Purana Batur yang berbau kultus dewa-raja sedemikian adalah wajar pada jamannya. Tetapi secara kritis peneliti sejarawan harus mampu memberi interpretasi yang benar terhadap apa yang tersurat dan apa yang tersirat. Perspektif baru penulisan sejarah membutuhkan metodologi sejarah yang komprehensif dan pendekatan yang multidimensional untuk ditemukannya fakta sejarah yang obyektif dan terukur validitasnya, hendaknya menggunakan metode analisis sejarah yang dikenal dalam terminology ilmiah disebut metode pendekatan struktural, agar dapat diketahui oleh sejarawan sttruktur kemasyarakatan, struktur birokrasi, struktur perwilayahan dalam bingkai waktu, peristiwa dan pelaku sejarah secara lojik dan kritis, sehingga para peneliti dan penulis sejarah tidak terperangkap pada anakronisme penafsiran yang salah kaprah. Putra bungsu yang bernama Sang Angga Tirtha inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum yang dikenal dalam khasanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali.Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra satu-satunya dari Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa menurunkan “ warih “ keturunan yang menjadi raja-raja di Kerajaan Tamanbali, Nyalian dan Bangli. Dari sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau garis keibuan mengali darah biru catur pandita atau kebrahmanaan. Dengan mengikuti realitas sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah figure kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti sebagai
Bali Tempo Dulu
584
wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putrid dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang berdarah biru keturunan catur pandita di Bali.Dari sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang deberikan oleh para peneliti sejarah bagi sosok atau figure sejarah yang berhasil mengembangkan dan membentuk kewangsaan atau klen tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah. Menurut antropolog Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus dijelaskan bahwa wangsa atau klen di Bali terbentuk pada kelompok keluarga patrilinial yang memiliki pemujaan leluhur atau nenek moyang menurut garis lakilaki. Jadi mereka yang tunggal kawitan . Kelompok keluarga patrilinial ini dalam format kecil di Bali disebut soroh dalam ssatu komonitas dadia, tapi nantinya setelah dalam kurun waktu tertentu karena kehendak jalannya sejarah maka soroh ini berkembang menjadi wangssa atau gotra. Hubungan kekerabatan yang merunut pada garis patrilinial di Bali sangat penting. Wamsakarta dalam sejarah nantinya menjadi simbul pemersatu dan penghubung jaringan kekerabatan yang semakin meluas dan melebar melampaui batas-batas territorial. Prinsip patrilinial dimaksudkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat di mana semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya,sedangkan semua kaum kerabat ibunya di luar batas kekerabatan itu.Dinobatkan Raja Bali Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati wakil Kerajaan Majapahit di Bali dalam rentang waktu yang lama ternyata telah membentuk wangsa tersendiri dalam system pelapisan masyarakat Bali. Lima belas orang Arya, beberapa orang Kesatrya, tiga orang Wesia, ratusan prajurit dank aula Jawa yang ikut dalam ekspedisi militer Gajah Mada itu dan kemudian menetap untuk menyertai Sang Adipati memerintah di Bali juga telah membentuk wangsanya sendiri-sendiri.Dalam rentang waktu yang panjang secara historis sosiologis terbentuk dan terbangun trah atau wangsa-wangsa seperti Wang Bang Kresna Kepakisan, Arya Tegeh Kori, Arya Pinatih, dan tidak terkecuali juga terbentuk dan terbangunnya klen atau trah Maha Gotra Tirta Harum. Kondisi sosiokultural dalam masyarakat Bali pada gilirannya nanti menumbulkan adanya dualisme dalam pelapisan masyarakat Bali Hindu atau Bali Jawa yang dikenal dengan sebutan Wong Majapahit dan Wong Bali Mula atau Wong Baali Aga. Dengan kata lain masyarakat Bali terbagi menjadi dua golongan yaitu Hindu Bali yang merujuk kepada orang Majapahit Jawa dan keturunannya, dan Bali Mula atau Bali Aga yang merujuk kepada orang Bali Asli yang dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Secara hirarki masyarakat Bali yang merunut garis lurus hubungan kekerabatan atau genealogi sedemikian ternyata sampai kini sangat dominan mewarnai strata kekerabatan dan sosiokultural di Bali. Paduka Bhatara Parameswara Sri Wijaya Rajasa dari realitas sejarah yang berhasil ditelusuri adalah wamsakarta bagi
Bali Tempo Dulu
585
semua keturunanya dari garis patrilinial di Bali yang merujuk pada kelompok keluarga yang tunggal kawitan dan terbukti secara historis menurunkan warih yang menjadi raja-raja di KerajaanTamanbali, Nyalian dan Bangli selama kurun waktu lebih dari lima abad yakni sejak madeg ratunya Sang Garbajata hasil perkawinan Sang Angga Tirta dengan Ni Luh Ayu Sadri dan menjadi Raja Tamanbali sejak tahun 1524 Masehi. Diangkatnya Sang Garbajata sebagai Manca dengan kedudukan di Tamanbali nantinya bergelar abhiseka I Dewa Tamanbali sebagai Raja Kerajaan Tamanbali pertama. Episode sejarah dengan diangkatnya Sang Garbajata sebagai Raja di Kerajaan Tamanbali pada tahun 1524 Masehi adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam khasanah sejarah Bali, sebab dengan menjadi rajanya keturunan trah atau klen Maha Gotra Tirta Harum dalam rentang waktu yang cukup lama dalam perjalanan sejarah maka nantinya keturunannya menyebar dan meluas melampaui batas-batas teritorial dan bermukim di seluruh persada Bali. Dengan ditemukannya wamsakarta nantinya dapat digunakan sebagai instrument untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sejarah terbentuknya system pelapisan sosial suatu masyarakat serta perubahannya. Komponen-komponen yang membentuk dan mengisi system itu tersusun berdasarkan asas keturunan yang kemudian disebut wangsa atau gotra. Dari penelitian arkeolog Dr. Agus Munandar terungkap pakta sejarah bahwa pengaruh Majapahit di Bali dimulai sejak masa ketika Bali bernaung dibawah panjipanji kebesaran Wilwatikta di pertengahan abad ke-14. Bersamaan itu pula system pemerintahan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk pejabat Majapahit. Pejabat Majapahit itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa selama lebih dari 9 tahun bermukim dan berkiprah di Bali setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit maka beliau bertugas mengawasi pemerintahan di Bali. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa memberi petunjuk dan pembelajaran bagi Dalem Ketut Semara Kepakisan yang umurnya masih relative muda untuk melaksanakan tata pemerintahan yang benar. Masuknya kekusaan raja-raja Majapahit di Bali membawa pengaruh dan dampak yang mendalam pada penduduk dan masyarakat Bali.Fakta sejarah yang terungkap kemudian betapa diakuinya peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa terungkap secara tekstual penghargaan dari Dalem Sri Semara Kepakisan pada periode masa akhir Majapahit setelah Shri Wijaya Rajasa tiada lagi dengan kata-kata sebagai berikut : “ Setelah tiba di pusat kota ( Wilwatikta ) baginda Dhalem Shri Semara Kepakisan termenung sedih melihat kota sepi dan sunyi, hal ini membuat kekecewaan dihati baginda, teringat dengan cinta kasih
Bali Tempo Dulu
586
Maharaja Shri Hayam Wuruk dan Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa. Pada bagian lain dari buku Sejarah Keluhuran Dhalem Suhunantara diungkapkan secara tertulis bahwa ada 3 ( tiga ) raja pada waktu paruman-agung di Wilwatikta memiliki tempat istimewa singghasana yaitu Maharaja Majapahit Shri Rajasa Negara yang disebut juga BRA Wijaya Pamungkas, Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa dan Raja Bali Shri Semara Kepakisan . Lebih jelas lagi betapa peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa ketika mangkat hari Anggara Kasih bulan Jiesta tahun saka 1310 atau 1388 Masehi maka titah dari sang raja Shri Nata Hayam Wuruk ketika itu yang dibacakan oleh putrinya bernama Dyah Kusuma Wardhani sebagai berikut : pertama Sang Prabhu menyampaikan duka mendalam disertai doa puja mantra semoga beliau bersatu dengan atma Hyang Widhi di alam kelanggengan. Kedua Sang Prabhu juga berkenan memberikan penghargaan tertinggi kepada beliau yang telah tiada sebagai salah satu pahlawan atau pengabdiannya terhadap Majapahit.Ketiga menyerahkan keputusan pemilihan tempat selayaknya atas abu jenasah yang akan diprabhukan dan dicandikan nanti kepada musyawarah keluarga istana. Abu jenasah Sang Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa akhirnya atas usul dan saran dari seluruh kerabat keluarga besar istana ditetapkan disimpan di Candi Wisnu Bhuwana desa Manyar Gresik.Pemberdayaan rakayat dan masyarakat lewat kegiatan alih teknologi pertanian, penataan system pemerintahan kerajaan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk arahan Dhang Guru Nabe sebagai pejabat tinggi Majapahit yang diberikan otoritas dan mission untuk menertibkan dan mengamankan daerah taklukan Bali. Mencermati kiprah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa lebih dari 9 tahun di Bali maka dapat diambil kesimpulan bahwa figure sejarah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dapat disebut sebagai tokoh Cultural-Hero pembaharu system sosio cultural masyarakat pada jamannya di Bali sejajar dengan peranan dan kiprah Rsi Markandya, Mpu Kuturan dan Dhang Hyang Nirartha di Bali. Sebagai pahlawan budaya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dalam kiprahnya di Bali diketahui merintis budaya pemberdayaan masyarakat mulai dari penataan system pemerintahan, system kemasyarakatan dan merubah serta menata sosiokultural masyarakat yang diadopsi dari system sosiokultural yang dianut di Kerajaan Majapahit. Ketiga figure sejarah di Bali itu masing-masing Dhang Hyang Subali berpesraman di Tohlangkir, Dhang Hyang Jaya Rembat berpesraman di Sila Parwata dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa berpesraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli sehingga di Bali beliau lebih dikenal dengan sebutan Dalem Keling. Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal leluhur
Bali Tempo Dulu
587
Maha Gotra Tirta Harum di Bali diketahui beristtri Ni Luh Ayu Sadri. Dari perkawinannya yang adhi luhung lahir putra-putra bernama Sang Anom, Sang Telabah, Sang Rurung dan Sang Anjingan. Sang Anom dalam blantika sejarah dikenal dengan sebutan Sang Garbhajata oleh Dalem Waturenggong diangkat sebagai Manca di Tamanbali dan bergelar I Dewa Tamanbali. Tonggak sejarah dinobatkannya Sang Garbhajata sebagai raja Tamanbali itu merupakan moment historis yang sangat penting sebagai babak baru lahirnya Kerajaan Tamanbali dalam blantika sejarah Bali yang jarang dituangkan secara tekstual baik oleh para rakawi yang menulis babad maupun penulis pamancangah. Di jaman dahulu sebutan atau predikat “ sang “ dipakai sebagai identitas diri, tetapi karena telah beralih jabatan dan fungsi sebagai raja, maka predikat itu berangsur-angsur ditinggalkan. Akan tetapi mereka-mereka yang dikenal sebagai keturunan dari Sang Telabah, Sang Rurung, dan Sang Anjingan menurut tradisi lisan atau sejarah lisan tetap memakai predikat “ presanghyang “. Jejak sejarah yang gelap tentang keturunan atau leluhur soroh sangbitu yang diketahui sampai saat ini ada yang menyebut diri sebagai soroh Sang Kengetan, Sang Kelingan, Sang Kembengan, Sang Bentuyung, Sang Keliki, Sang Bukit dan Sang Kaler.Mereka yang dikenal dengan sebutan soroh sang ini secara historis juga adalah tercatat dalam realita sejarah tentu menjadi satu leleuhur dalam keluarga besar Maha Gotra Tirta Harum. Sumber : wikipedia / mahagotratirtaharum.blogspot.co.id Foto : cakepane.blogspot.co.id #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH# #BALI#BUDAYA#BABADBALI# #BALILAWAS#ARSIPSEJARAHBALI#
Bali Tempo Dulu
588
Bali Tempo Dulu
589
"KMS"KARTU MENUJU SEHAT TAHUN 1974 Masih ada yang ingat waktu Kecil anda di timbang / di gantung Di posyandu atau bale banjar Dekat tempat tinggal anda...? Lalu setelah itu anda mendapat Imunisasi polio dan bubur kacang ijo Ingat kah anda? Hai Ibu, bagaimana kabar si Kecil hari ini? Sudah naikkah berat badannya? Bagaimana cara ibu memantau berat badan bayi? Bicara soal berat badan, ibu biasanya memantau dengan KMS (Kartu Menuju Sehat ). KMS diberikan saat si Kecil baru lahir. Sebenarnya, KMS ini telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1970-an. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, KMS pun mengalami 3 perubahan. KMS pertama dikembangkan pada tahun 1974 dengan menggunakan rujukan Harvard . Pada tahun 1990, KMS revisi dengan menggunakan rujukan WHO-NCHS . Pada tahun 2008, KMS direvisi berdasarkan standar antropometri WHO 2005. Saat ini, KMS yang terbaru telah diluncurkan oleh Depkes dengan tetap menggunakan standar WHO 2005. Perbedaan antara KMS lama dengan baru hanya terletak pada perbedaan KMS laki-laki yang berwarna biru dan KMS perempuan yang berwarna merah muda. KMS memiliki 5 bagian utama, yaitu: Kurva penimbangan dan pengukuran berat badan bayi (2 bagian) Catatan pemberian vitamin A dan pemberian imunisasi Informasi tentang ASI, penanganan diare, dan perkembangan anak sehat Identitas balita KMS mempunyai 3 fungsi utama, yaitu: Sebagai alat untuk memantau pertumbuhan anak. Pada KMS dicantumkan grafik pertumbuhan
Bali Tempo Dulu
590
normal anak yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seseorang anak tumbuh normal, atau mengalami gangguan pertumbuhan. Sebagai catatan pelayanan kesehatan anak. Di dalam KMS dicatat riwayat pelayanan kesehatan dasar anak terutama berat badan bayi, pemberian kapsul vitamin A , pemberian ASI pada bayi 0-6 bulan dan imunisasi. Sebagai alat edukasi. Didalam KMS dicantumkan pesan-pesan dasar perawatan untuk si Kecil seperti pemberian makanan anak, perawatan anak bila diare. KMS sangat berguna untuk mengetahui status pertumbuan anak. Dianjurkan, setiap orang tua membawa anakanya ke Posyandu setiap bulan untuk ditimbang. Hal ini mempermudah ibu untuk memantau berat badan bayi. Apabila terindikasi gangguan pertumbuhan berat badan bayi atau kelebihan gizi, orang tua dengan mudah untuk mengetahui. KMS digunakan untuk mencatat berat badan bayi dan pemberian kapsul vitamin A serta menilai hasil penimbangan. Bila berat badan bayi tidak naik satu kali, kader posyandu dapat memberikan penyuluhan tentang asuhan dan pemberian makanan untuk si Kecil. Nah, Ibu bisa memantau berat badan bayi dengan menggunakan KMS. Dengan rajin membawa si Kecil ke Posyandu, ibu akan lebih mudah untuk mengetahui pertumbuhan si Kecil. Jika si Kecil mengalami gangguan pada pertumbuhannya, ibu bisa segera membawanya ke pelayanan kesehatan. Sumber : wikipedia Foto : balita di timbang di sebuah banjar di denpasar utara 1994 , posyandu bali. #BALITEMPOEDULOE#KESEHATAN# #IBU&ANAK#SEJARAH#KMS#BALI#
Bali Tempo Dulu
591
PELUKIS INDONESIA AGUS DJAJA SEDANG MELUKIS DENGAN MODEL WANITA BALI DI PESISIR PANTAI SANUR BALI 1957 Pelukis, nama lengkapnya Agus Djaja Suminta. Lahir di Banten 1916 dan meninggal di Jakarta tahun 1994. Ayah Djaja, seorang keturunan keluarga bangsawan Banten, adalah seorang pegawai pemerintah, yang pernah menjadi kepala sebuah agen bank dan mampu menyediakan pendidikan yang baik bagi puteranya. Setelah mengikuti pendidikan seni di Jakarta dan Amsterdam,
Bali Tempo Dulu
592
Agus mulai mengajar menggambar serta mata pelajaran lain pada tahun 1934. Bekerja sama dengan Sudjojono membentuk PERSAGI pada tahun 1938-1942, dan duduk sebagai ketua pada kurun waktu itu, karena itu ia bisa dianggap sebagai pencetus seni lukis Indonesia modern. Selama pendudukan Jepang ia mengepalai Bagian Kesenian dari Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) serta kemudian bekerja di organisasi Putera. Pada waktu ini ia juga menjadi terkenal lewat banyak pameran yang di dalamnya karyakaryanya tampil dengan karyakarya Affandi, Hendra, Kartono, dan lain-lain. Selama revolusi ia adalah seorang kolonel dalam angkatan perang lndonesia. Pada tahun 1947 sebuah pameran lukisan oleh Agus Djaja serta adiknya yaitu Otto telah menarik banyak perhatian di Jakarta, keduanya bekerja bersama untuk pameran di Amsterdam. Mereka tinggal di Eropa selama seputar dua tahun, mengunjungi The Hague, Paris, dan Monaco, tempat pameran- pameran (mereka) diselenggarakan. Pada kedatangan mereka kembali ke Indonesia pada tahun 1950, kedua bersaudara ini membuka sebuah art shop serta galeri di Jakarta. Kemudian, pada sekitar 1955, Agus Djaja menetap dengan isterinya di Bali, dan di studionya di Pantai Kuta ia melukis terutama subjek-subjek Bali dalam gaya yang menarik yang lebih naturalistic serta komersial daripada yang didapatkan pada karyanya yang dahulu. Selain melakukan pameran di Indonesia, juga berpameran di Belanda dan Brazil. Tahun 1994 menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI
Bali Tempo Dulu
593
Sumber : wikipedia / http://googleweblight.com/?lite_url=http%3A%2F%2Fwww.jakarta.go.id%2Fweb%2Fency clopedia%2Fdetail%2F708%2FAgus-Djaja&ei=ZrxFGclu&lc=idID&s=1&m=350&host=www.google.co.id&ts=1457743279&sig=ALL1Aj699wG6KOHdoW77 budyaGldsd3ysw Foto : TropenMuseum #BALITEMPOEDULOE#SEJARAH#SENIMAN# #BUDAYA#SENIMAN#WANITABALI#BALI#
Bali Tempo Dulu
594
SUMBER https://www.facebook.com/media/set/?set=a.901447666545232.1073741832.100000400 212348&type=3
Bali Tempo Dulu
595