KERACUNAN KIUM (Cd)
Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Toksikologi
CHITTA PUTRI NOVIANI 109096000007
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 M/1433 H
I.
Pendahuluan Pesatnya laju pembangunan, terutama di bidang industri, transportasi dan
ditambah dangan kegiatan manusia di bidang intensifikasi pertanian maupun perikanan telah menimbulkan dampak nyata berupa meningkatnya jumlah buangan/limbah yang selanjutnya akan menyebabkan pencemaran air, tanah, dan udara. Selain itu juga dangan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini memungkinkan manusia memanfaatkan berbagai jenis bahan kimia termasuk logam berat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Limbah yang dihasilkan dari pabrik memberikan dampak negative terhadap lingkungannya baik secara langsung, maupun secara tidak langsung. Salah satu efek yang paling membahayakan adalah limbah logam berat, seperti Kium (Cd). Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil (Sofyan Yatim, dkk., 1979). Melalui berbagai perantara, seperti udara, makanan, maupun air yang terkontaminasi oleh logam berat, logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus, dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Jepang yang dikenal dangan penyakit itai-itai (ouch-ouch). Penyakit itai-itai terjadi akibat keracunan kium. Peristiwa ini terjadi di Fuchu, dimana terdapat pertambangan Pb, Zn, Cd yang airnya menuju ke hulu sungai yang kemudian mengalir kedaerah persawahan penduduk.
Karena
beras
yang
dimakan
telah
mengandung
kium,
mengakibatkan penduduk di daerah sekitar itu menderita penyakit rematik dan mialgia (nyeri otot) yang disebut dangan penyakit itai-itai. II.
Kium (Cd) Kium adalah suatu logam putih, mudah dibentuk, lunak dangan warna
kebiruan. Logam kium mempunyai berat atom 112.41; titik cair 321 ºC dan massa jenis 8.65 gr/ml (Hutagalung, 1991). Keberadaan kium di alam
berhubungan erat dangan hadirnya logam Pb dan Zn. Dalam industri pertambangan Pb dan Zn, proses pemurniannya akan selalu memperoleh hasil samping kium yang terbuang dalam lingkungan (Palar, 2004). Kium digunakan sebagai pigmen dalam pembuatan keramik, penyepuhan listrik, pembuatan aloi dan baterai alkali (Lu, 1995). Kium (Cd) adalah salah satu logam yang dikelompokkan dalam jenis logam berat non-esensial. Logam ini jumlahnya relatif kecil, tetapi dapat meningkat jumlahnya dalam lingkungan karena proses pembuangan sampah industri maupun penggunaan minyak sebagai bahan bakar (PACYNA, 1987). Di samping itu daerah pertambangan seperti pertambangan seng (Zn), timbal (Pb) maupun tembaga (Cu) selalu mengandung kium sebagai bahan sampingan. Baik kium maupun seng mempunyai daya gabung yang tinggi terhadap sulfur (S), sehingga sumber cium dan song yang paling utama adalah mineral sulfida, dimana kandungan kium dalam mineral tersebut dapat mencapai 5% (WINTER, 1982). Kium banyak digunakan untuk pelapisan logam, yang mutunya lebih baik daripada pelapis seng, walaupun harganya lebih mahal. Proses tersebut biasanya dilakukan dangan cara elektrolisis, pencelupan atau penyemprotan. Dari proses tersebut kemungkinan akan terbuang kium ke dalam alam lingkungan dan terbawa melalui air, serta udara, sehingga menyebar luas ke daerah pertanian dan permukiman, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan tanaman, hewan maupun manusia melalui rantai pakan (Darmono, 1999).
III.
Keracunan Kium (Cd) Kandungan kium dalam kerak bumi jumlahnya relatif kecil (sekitar
0,15-0,2 g/g), mencerminkan kondisi kadar kium dalam tanah di suatu lokasi (WEAST, 1981). Di sisi lain, kandungan kium dalam tanah dapat meningkat karena suatu proses alamiah seperti peristiwa bencana alam (gunung meletus) dan oleh ulah manusia yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan maupun
proses pemupukan yang berlebihan (WILLIAM dan DAVID, 1977). Kium banyak digunakan untuk pelapisan logam, yang mutunya lebih baik daripada pelapis seng, walaupun harganya lebih mahal. Proses tersebut biasanya dilakukan dangan cara elektrolisis, pencelupan atau penyemprotan. Dari proses tersebut kemungkinan akan terbuang kium ke dalam alam lingkungan dan terbawa melalui air, serta udara, sehingga menyebar luas ke daerah pertanian dan permukiman, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan tanaman, hewan maupun manusia melalui rantai pakan. Keracunan akut kium dapat disebabkan karena pemasukannya baik melalui pernafasan maupun melalui oral. Efek keracunan yang umum adalah iritasi saluran pernafasan bagian atas, mual, muntah, salivasi, mencret dan kejang pada perut. Keracunan akut yang disebabkan oleh Cd, sering terjadi pada pekerja di industri-industri yang berkaitan dengan logam. Peristiwa keracunan akut ini dapat terjadi karena para pekerja tersebut terkena paparan uap logam Cd atau CdO. Gejala-gejala keracunan akut yang disebabkan oleh logam Cd dapat berupa timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada. Akan tetapi gejala keracunan itu tidak langsung muncul begitu si penderita terpapar oleh uap logam Cd ataupun CdO. Gejala keracunan akut ini muncul setelah 4-10 jam sejak si penderita terpapar oleh uap logam Cd. Akibat dari keracunan logam Cd ini, dapat menimbulkan penyakit paru-paru yang akut. Penyakit paru-paru akut ini dapat terjadi bila penderita terpapar oleh uap Cd dalam waktu 24 jam. Selain itu, keracunan akut yang disebabkan oleh uap Cd atau CdO dapat menimbulkan kematian bila konsentrasi yang mengakibatkan keracunan tersebut berkisar dari 2500 sampai 2900 mg/m3. Kium lebih bersifat toksis bila terhirup melalui pernafasan. Keracunan kronis timbul bila konsentrasi kium dalam ginjal mencapai 200 μg per gram terjadi kerusakan ginjal.
Keracunan kronis terjadi bila memakan atau inhalasi dosis kecil Cd dalam waktu yang lama. Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronik. Kium pada keadaan ini menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu gejala proteinuria, glikosuria, dan aminoasidiuria diserta dengan penurunan laju filtrasi glumerolus ginjal. Keracunan Cd kronik ini dilaporkan didaerah Toyama, sepanjang sungai Jinzu di Jepang, yang menyebabkan penyakit Itai-iatai pada penduduk wanita umur 40 tahun keatas.
Gambar 1. Seorang wanita penderita itai-itai disease
Gambar 2. Ginjal yang mengalami nekrotik, nephrosis dan gagal ginjal penderita itai-itai disease
Gambar 3. Gambaran histopatologik yang menunjukkan degenerasi tubulus dan glomerolus. Kasus keracunan Cd kronis juga menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan hipertensi. Hal tersebut terjadi karena tingginya afinitas jaringan ginjal terhadap kium. Gejala hipertensi ini tidak selalu dijumpai pada kasus keracunan Cd krosik. Kium dapat menyebabkan osteomalasea karena terjadinya gangguan daya keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal. Toksisitas kium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Keberadaan zinc dan timbal dapat meningkatkan toksisitas kium. Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, kadar kium sebaiknya sekitar 0.0002 mg/l (Moore, 1991 dalam Effendi, 2000). Departemen Kesehatan RI menetapkan batas aman kium dalam makanan (ikan) sebesar 1.0 ppm. Menurut badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400500 μg per orang atau 7 μg per kg berat badan (Barchan dkk., 1998 dalam Suhendrayatna, 2001). IV.
Metabolisme dalam Tubuh Kium masuk kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Untuk mengukur asupan kium kedalam tubuh manusia perlu dilakukan pengukuran kadar Cd dalam makanan yang dimakan atau kandungan Cd dalam feses. Kium adalah logam berat yang termasuk dalam golongan II B dalam periodik sistem. Logam ini akan mudah bereaksi dengan ligan-ligan yang
mengandung unsur-unsur O,S dan N. Di dalam tubuh logam-logam ini bersifat toksik, karena bereaksi dengan ligan-ligan yang penting untuk fungsi normal tubuh. Didalam sel hidup terdapat berbagai ligan, seperti: OH, - COO-, -OPO3H-, -C=O,-SH, -S-S-, -NH2 dan NH yang dpat membentuk ikatan kompleks dengan logam. Sekitar 5% dari diet kium, diabsorpsi dalam tubuh. Sebagian besar Cd masuk melalui saluran pencernaan, tetapi keluar lagi melalui feses sekitar 3-4 minggu kemudian dan sebagian kecil dikeluarkan melalui urin. Kium dalam tubuh terakumulasi dalam ginjal dan hati terutama terikat sebgai metalothionein. Metalotionein mengandung asam amino sistein, dimana Cd terikat dengan gugus sulfhidril (-SH) dalam enzim karboksil sisteinil, histidil, hidroksil dan fosfatil dari protein dan purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim. Kium metalothionien.
juga Di
dapat
ginjal,
terakumulasi kompleks
dengan
jalan
terikat
kium-metalothionien
pada
melewati
glomerulus dan diserap oleh tubulus proxima. Di dalam sel ginjal, cium dilepas dari protein metalothionien dan dapat terakumulasi sampai pada tingkat toksik. Penyerapan kium ditemukan di ginjal kira-kira ½ - S! dari beban tubuh dan konsentrasi tertinggi ditemukan di bagian kortex. Efek toksik kium ginjal dapat berupa degenerasi sel-sel tubulus ginjal. Hasil otopsi di USA menunjukkan bahwa absorpsi kium dalam tubuh masyarakat umum secara rata-rata 30 mg, yang didistribusikan dalam ginjal 33%, hati 14%, paru-paru 2% dan pankreas 0,3%, sisanya diekskresikan melalui saluran pencernaan. Kium lebih beracun bila terhisap melalui saluran pernafasan daripada saluran pencernaan. Kasus keracunan akut kium kebanyakan dari menghisap debu dan asap kium, terutama kium oksida (CdO). Dalam beberapa jam
setelah menghisap, korban akan mengeluh gangguan saluran nafas, nausea, muntah, kepala pusing dan sakit pinggang.
Kematian disebabkan karena
terjadinya edema paru-paru. Apabila pasien tetap bertahan, akan terjadi emfisema atau gangguan paru-paru yang jelas terlihat. Deteksi dini terutama pada sistem pernapasan dan ginjal. Perlu dilakukan analisis kemih untuk mendeteksi kemungkinan proteinuria dan glikosuria, foto sinar-X serta uji fungsi paru. V.
Analisa Kium Sampel yang digunakan adalah yang diduga mengandung logam berat
Kium. Dari beberapa jurnal sampel yang digunakan adalah ikan, baik ikan air tawar atau ikan air laut. Analisa dilakukan dengan metode spektrometri nyala serapan atom (AAS). Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometrik Serapan Atom (AAS) yang didasarkan pada hukum Lambert-Beer, yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Oleh karena yang mengabsorpsi sinar adalah atom, maka ion atau senyawa logam berat harus diubah menjadi bentuk atom. Perubahan bentuk ion menjadi bentuk atom harus dilakukan dengan suhu tinggi (2000ºC) melalui pembakaran (Akbar, 2002). Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya digunakan formula : Konsentrasi sebenarnya = Konsentrasi AAS (g/ml) x Volume Penetapan (ml) Berat Kering (g) Pertama pengambilan sampel, sampel diambil dari nelayan, dilakukan secara cuplikan, untuk masing-masing sampel sebanyak 2 kg. Kemudian sampel dicuci, lalu di kuliti dan diambil isi bagian dalamnya. Kemudian isi bagian dalam sampel tersebut dicuci dengan aquadest lalu masukkan dalam blender, digiling sampai halus. Masukkan masing- masing sampel yang telah halus kedalam beaker glass yang telah diberi nomor kode, dan sampel siap untuk ditimbang dan dianalisa dengan AAS.
VI.
Kesimpulan Logam kium, relatif kecil jumlahnya dalam lingkungan, tetapi
pengaruhnya terhadap kehidupan sangat buruk, yang dapat menyebabkan keracunan akut dan kronik. Cium dapat beraksi dengan ligan-ligan dalam tubuh yang akan memperhambat atau mengganggu kerja enzim atau bahkan dapat dilepaskan oleh ligan sehingga terakumulasi dalam tubuh. Analisa cium dalam makanan digunakan dengan metode spektrometri AAS.
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Zul. 2005. Analisis Kadar Logam Kium (Ca 2+) dari Kerang yang Diperoleh dari Daerah Belawan secara Spektrometri Serapan Atom. Jurnal Sains Kimia. Vol 9, No.2, 2005: 73-76. Bangun, Julius Marinus. 2005. KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN KIUM (Cd) DALAM AIR, SEDIMEN DAN ORGAN TUBUH IKAN SOKANG (Triacanthus nieuhofi) DI PERAIRAN ANCOL, TELUK JAKARTA. Skripsi. IPB. DARMONO. 1999. KIUM (CD) DALAM LINGKUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS TERNAK. WARTAZOA VoL 8 No.1 Th. 1999. Effendi H. 2000. Telaahan Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hutagalung HP. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. UI-Presss, Jakarta. PACYNA, J. M. 1987. Atmospheric emissions of arsenic, cium, lead and mercury from high temperature processes in power generation and industry. In: Lead, Mercury, Cium and Arsenic in The Environment. HUTCHINSON and MEEMA (Ed) . John Willy & Sons, 69- 87. Palar H. 2004. Pencemaran & toksikologi logam berat. Rineka Cipta. Jakarta. Suhendrayatna. 2001. Bioremoval Logam Berat dengan Menggunakan Microorganisme: Suatu Kajian Kepustakaan. Institute for Science and Technology Studies. Japan. Supriyanto C., Samin., Zainul kamal., 2007. Analisis Cemaran Logam Berat Pb, Cu, dan Cd pada Ikan Air Tawar dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan Atom. Seminar Nasional III. Yogyakarta. ISSN 1978-0176. SOFYAN YATIM, dkk.,1979, ”Distribusi Logam Berat Dalam Air Laut Teluk Jakarta”, Majalah BATAN XII 3. WEAST, C. 1981 . Handbook of Chemistry and Physics. 61 st Ed. Cleveland Ohio Chemical Rubber Co.
WILLIAM, C. H. and D. J. DAVID. J977. Some effects of the distribution of cium and phosphat in the root zone of cium content of plants . Aust. J. Soil. Res. 15 :59-68. WINTER, H. 1982 . The hazards of cium in man and animals. J. App. Toxicol. 2(2) :61-67.