Kajian Estetika Terapan Lukisan Kaca 4dl2l

KAJIAN ESTETIKA TERAPAN PADA KARYA SENI RUPA LUKISAN KACA CIREBON

Gambar no. 1 Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila (Sumber : http://studiocirebon.blogspot.com, 2010)

Arjuna Minturaga, itulah judul lukisan yang dibuat oleh Rastika pelukis kaca tradisional asal Cirebon. Lukisan ini menceritakan sang Arjuna sedang bertapa di gua Minturaga yang ada di kawasan gunung Indrakila. Karya lukisan bisa dianalisa dengan menggunakan pendekatan Erwin Panofsky's, yaitu dikaji secara pra-ikonografis, ikonografis dan ikonologis. A. Pra-Ikonografis Di bawah ini adalah analisis secara pra-ikonografis, yang akan diulas menurut aspek-aspek formalistiknya:

1.

Titik Aspek titik banyak terlihat di tubuh wayang Arjuna, sebenarnya titik-titik itu yang akhirnya membentuk garis kemudian bentuk.

2.

Garis Garis yang terlihat pada lukisan yaitu lebih banyak garis melengkung, yang membentuk ornamen mega mendung dan tanaman. Garis lurus juga ada pada lukisan, yaitu pada bentuk wayang.

3.

Bidang Bidangnya vertikal, dan lebih mengesankan berdimensi terlihat dari gradasinya, kemudian terlihat dari ornamen depan atau layer satu, kemudian ada wayangnya pada layer ke dua, dan layer pada ke tiga ada kedalaman gua.

4.

Bentuk Lukisan ini memiliki unsur kedalaman terlihat dari adanya latar depan berupa ornamen, latar tengah berupa gambar wayang arjuna serta latar belakang berupa gua.

5.

Warna Warna yang terlihat adalah ramai, tidak monokromatis.

Kemudian berikut ini adalah analisis lukisan menurut prinsip desain: 1.

Skala Ukuran lukisan kaca ini adalah 53 x 70 cm.

2.

Proporsi Proporsinya seimbang, proporsional, kemudian perbandingan antara vertikal dan horizontalnya terlihat enak.

3.

Harmoni Harmoni dalam kesatuan kurang terlihat karena warna yang dipakai tidak monokromatis. Harmoni dalam kontras terlihat dari sosok wayang.

4.

Keseimbangan Keseimbangan yang terlihat adalah a-simetris.

5.

Irama Irama pada lukisan ini terlihat di sebelah kanan yaitu pada ornamen mega mendungnya, sebelah kiri pada ornamen berupa tanaman, kemudian pada punggung wayangnya yang berupa segitiganya.

Gambar no. 2 Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila (Sumber : http://studiocirebon.blogspot.com, 2010)

6.

Penekanan Penekanannya terlihat pada gambar wayangnya yang terletak di tengah.

7.

Pola dan ornament Pola dan ornamennya terlihat dari susunan mega mendung, aneka sulur-sulur tanaman, ukiran-ukiran pada wayang.

Gambar no. 3 Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila (Sumber : http://studiocirebon.blogspot.com, 2010)

Gambar no. 4 Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila (Sumber : http://studiocirebon.blogspot.com, 2010) 8.

Pengulangan Pengulangan terlihat dari ornamen mega mendung dan tanaman.

B. Ikonografis

Lukisan kaca yang berdimensi 53x70 cm ini menceritakan ‘Arjuna Bertapa’, kisah ini dipetik dari cerita Arjunawiwaha. Diceritakan Arjuna bertapa di gunung Indrakila dalam mempersiapkan diri menghadapi peang besar di Kurusetra (perang saudara antara Pandawa melawan Kurawa). Pada pertapaan Arjuna, berbagai godaan atau cobaan yang dikirim oleh Dewa Siwa, semisal 7 orang bidadari yang datang untuk meluluhkan niat Arjuna agar urung melakukan tapa. Namun dengan keteguhannya dalam melakukan yoga, serta kemampuannya memusatkan pikiran dan menekan semua inderanya, Arjuna akhirnya mampu mengatasi godaan tersebut. Raja raksasa Niwatakawaca yang mendengar tentang pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila, kemudian mengirimkan seorang raksasa bernama Muka untuk membunuh Arjuna. Muka pun merubah bentuknya menjadi seekor babi hutan dan merusak hutan serta semak. Ulah babi hutan ini telah membuat Arjuna terkejut. Ia serta merta bangkit dari pertapaannya serta membidikkan anak panahnya kea rah si babi hutan. Bersamaan dengan itu seorang pemburu dari suku Kirata yang sebenarnya adalah jelmaan dewa Siwa, juga berbuat hal serupa. Kedua anak panah yang berasal

dari busur Arjuna dan pemburu Kirata, melesat bersamaan dan membunuh si babi hutan jelmaan Muka. Kedua ksatria berebut mengakui bahwa anak panahnyalah yang membunuh si babi hutan. Tak urung, pertarungan pun terjadi dan disudahi dengan kemenangan Arjuna. Sang pemburu yang sudah merasa kalah kemudian berubah wujud kembali menjadi Bhatara Siwa. Selanjutnya, Arjuna memperoleh hadiah dari Bathara Siwa sebuah anak panah yang bernama Pasupati yang kelak akan digunakan untuk mengalahkan si raja raksasa Niwatakawaca.1 Menganalisa lukisan ini bisa dilihat dari berbagai dimensi, diantaranya dimensi historis, dimensi teologis, dimensi spiritualitas, dimensi filsafat, dimensi etika, dimensi antropologi budaya, dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dimensi politis, dimensi ekonomis, dimensi teknis, dimensi biologis, dimensi ekologis, dimensi komunikasi, dimensi sastra, dan lain-lain. Namun karena keterbatasan sumber dan referensi maka saya hanya membahas beberapa dimensi saja. Berbicara mengenai lukisan kaca berarti berbicara mengenai wayang. Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah wayang kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai pertunjukan drama. Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah 'hyang', itulah intinya. Dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun 'merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala petaka. Di tahun (898 - 910) M, lakon wayang 1

Eddy Hadi Waluyo, “Lukisan Kaca di Indonesia Kontinuitas dan Perubahannya” (Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Budaya pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005), 636; periksa juga S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang (Jakarta: Djambatan, 1988), 194. Dijelaskan bahwa cerita tersebut dianggap sebagai sindiranatau kenang-kenangan yang mengisahkan perkawinan Prabu Airlangga dengan Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadatunggadewi, putri Prabu Dharmawangsa. Kitab tersebut disebut juga kitab Wanaparwa dan merupakan bagian ketiga dari cerita Mahabharata yang ditulis oleh Empu Kanwa dalam bahasa Jawa Kuna berbentuk tembang pada masa pemerintahan Prabu Airlangga (1019-1042).

sudah menjadi wayang purwa. Namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung: “sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara” “Menggelar wayang untuk para hyang. Menceritakan tentang Bima sang kumara” Di jaman Mataram Hindu ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi). Pada masa raja Darmawangsa, 996 - 1042 M, Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna. Lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa Raja Erlangga. Sampai di jaman kerajaan kediri dan raja Jayabaya, mpu sedah mulai menyusun serat Bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, mpu Panuluh lalu menyusun serat Hariwangsa dan kemudian serat Gatutkacasraya. Menurut serat Centhini, sang Jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali). Di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa. Kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat 'naik'-nya pamor tokoh 'dewa' yang kini 'ditempatkan' berada di atas 'hyang'. Abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa 'sekularisasi' wayang tahap satu yaitu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua. Kini pengaruh budaya Islam yang mulai meresap. Kemudian pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan Demak ( 1500 - 1550 M ) yang ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran Islam. Maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong royong. Wayang beber karya Prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan. Sebagai catatan, di wilayah kerajaan Demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut Hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara. Lalu gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, dan digapit dengan penguat tanduk kerbau. Sunan Bonang menyusun struktur dramatika-nya. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera serta menambahkan beberapa skenario cerita. Raden Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak

wayang, dan gunungan. Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang. Pada masa Sultan Trenggana, bentuk wayang semakin dipermanis lagi. Mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan yang tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis. Susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah. Dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, Sunan Bonang menyusun wayang damarwulan. Zaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru. Wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi. Bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong, rambut para satria mulai ditata, memakai praba, dan mulai ditambahkan celana dan kain. Di jaman ini pula lah Sunan Kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu. Sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog. Dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keraton.2

Dimensi historis Berbicara mengenai lukisan berarti berbicara mengenai seni. Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Aristoteles mengemukakan bahwa, seni adalah kemampuan sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu. Menurut Ki Hajar Dewantara seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya.3 Seni rupa terbagi menjadi dua bagian yaitu seni murni dan seni terapan. Seni lukis masuk ke dalam kategori seni murni. Seni lukis adalah salah satu jenis seni murni berwujud dua dimensi, pada umumnya dibuat di atas kain kanvas berpigura dengan bahan cat minyak, cat akrilik atau bahan lainnya.4

2

Andika Giri, “Sejarah Wayang”, http://www.idoub.com, 2010. Sri Hermawati Dwi Arini dkk, Seni Budaya, Jilid 1 (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009), 10. 4 Sri Hermawati Dwi Arini dkk, Seni Budaya, Jilid 2 (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009), 253. 3

Seni lukis kaca masuk ke bagian seni lukis murni, hanya saja mediumnya sedikit berbeda dengan yang lainnya. Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pula Jawa. Pada jamannya pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan berupa Lukisan Kaca Wayang.5 Lukisan kaca mungkin ditemukan di Belanda pd abad ke-14 dan pertama kali disebut oleh Cenino d’Andrea Cennini dalam bukunya, Il Libro dell’Arte, pada awal abad ke 15. Bentuk seni itu kemudian menyebar ke seluruh Eropa dan Iran pada abad ke-18 ditemukan di Cina. Pada masa yang sama para pedagang Belanda juga memperkenalkan lukisan kaca ke Jepang. Pada abad ke-19, lukisan kaca dikapalkan dari Belanda ke Jepang melalui Batavia (Jakarta) sehingga kemudian dikenal oleh orang Indonesia. Mads Lange, seorang pedagang Denmark yang tinggal di Bali pada abad ke-19 dan menikahi seorang wanita Cina, dilukis dengan gaya lukisan kaca oleh seniman Cina pada tahun 1846. Lukisan ini sekarang berada di Museum Antropologi Copenhagen. Para pelukis kaca biasanya memiliki pembantu orang Indonesia. Pembantu itu kemudian menjadi seniman yang mandiri. Sejak penggunaannya pada pertengahan pertama abad ke-19, lukisan kaca tumbuh subur di Jawa, terutama di istana Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Demak, dan Madura. Lukisan kaca juga berkembang di wilayah yang kuat Islamnya, dengan adegan-adegan dari Qur’an dan kaligrafi sangat umum. Di Sumatra, lukisan kaca ditemukan di wilayah Bengkulu, Palembang, Medan dan Aceh. Bahwa lukisan kaca pada awalnya berkembang di lingkungan istana tidaklah mengherankan, karena kaca-pada masa itu- merupakan barang mahal dan hanya dapat dibeli oleh orang kaya. Bentuk lukisan ini kemudian menjadi disenangi masyarakat umum setelah harga kaca menjadi lebih murah dan hasil akhirnya menjadi terjangkau. Keterkenalan seni ini terletak pada kesegaran warna yang dihasilkan dan daya tahan kacanya.6

5

6

Halimi, “Sejarah Singkat Lukisan Kaca Cirebon”, http://www.idoub.com, 2010.

Martowikrido, Wahyono. “Lukisan Kaca” dalam Edi Sedyawati et al. ed. Indonesian Heritage: Seni Rupa( Singapore: Archipelago Press, 1998), 42.

Awal keberadaan lukisan kaca Cirebon dapat ditelusuri sejak para imigran Cina mulai bermukim di wilayah Cirebon. Untuk keperluan persembahyangan, mereka itu mendatangkan dari Cina, meja-meja pemujaan dengan kelengkapannya, seperti lukisan dewa-dewa yang dibuat di atas kaca dan juga patung-patung. Selain lukisan dewa-dewa, sebagai pelengkap meja pemujaan dibuat juga ungkapan-ungkapan ajaran Konghucu yang dituliskan di atas lembaran kaca. Sekelompok Hoa Kiauw (pendatang) menginginkan suatu kehidupan yang tidak berbeda dengan keadaan di negeri asalnya, yaitu yang menyangkut tata cara mereka berperilaku sehari-hari, berbahasa, berpakaian, dan juga dalam hal melaksanakan peribadatan. Oleh karenanya, keberadaan meja pemujaan dengan segenap perlengkapannya menyebabkan mereka kemudian mendatangkan saja dari Cina para tukang mebel pembuat altar, pematung, dan juga para pelukis kaca. Para kriyawan Cina yang pada mulanya hanya membuat untuk komunitas Cina di Cirebon, ternyata mendapat pasaran yang luas hingga mencapai pelosok-pelosok Nusantara.7 Tema-tema lukisan kaca Cirebon dapat dibagi menjadi kelompok lukisan kaligrafi dan non kaligrafi. Ikhwal-ikhwal non-kaligrafi yang diangkat adalah tema-tema legendaris, masjid, burak, pemandangan, ataupun pewayangan seperti Bathara Narada, tokoh-tokoh Pandawa, dan Panakawan, seperti Petruk, Gareng, Togog, Semar dan lain-lain.8

Dimensi antropologi budaya Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, seni lukis kaca Cirebon yang semula dikerjakan oleh para seniman dan artisan sebagai kegiatan sambilan, kini karena adanya tuntutan ekonomi yang meningkat maka seni lukis kaca sudah pula ditekuni secara lebih tuntas, baik dari segi teknis maupun dari segi bentuknya.9 Kesenian masyarakat Cirebon pada mulanya merupakan perwujudan persembahan masyarakat pada kehidupan keagamaan dan kepercayaan. Pola-pola abstarak seperti bentuk swastika atau wajik, demikian pula bentuk-bentuk naturalistik, seperti ragam hias pohon hayat, merupakan lambang-lambang kehidupan spiritualitas dari masa pra Islam. Ragam hias awan (mega 7

Eddy Hadi Waluyo, Lukisan Kaca Cirebon: Dari Masa Awal Hingga Masa Kini (Bandung: P4ST UPI, 2006), 81-82. 8 Eddy Hadi Waluyo, im. 9 Eddy Hadi Waluyo, im.

mendhung) dan batu karang (wadhasan), berasal dari paham Taoisme yang dibawa oleh para pendatang Cina. Pengaruh Hindu sangat terlihat pada kesenian Cirebon yang bersifat mistis seperti lambang keratin Cirebon berupa harimau putih, peninggalan Kerajaan Hindu Sunda.10

Dimensi Spiritualitas Pada dasarnya tokoh-tokoh dalam pewayangan itu adalah perlambangan tipologi karakter manusia. Isi cerita tidak lain adalah petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar; yaitu ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa; untuk memacu cipta, rasa, dan karsa manusia agar tergugah untuk memperindah bebrayan agung serta mahayu hayuning bawana.11 Lukisan kaca Cirebon, selain berfungsi sebagai hiasan atau sarana dakwah, berfungsi pula sebagai sarana mistis dan magis yang dipercaya dapat membawa ketengan jiwa. Ada pula lukisan kaca yang berfungsi sebagai ‘azimat’ penolakbala atau penangkal pencurian. Terdapat pula lukisan kaca yang dikeramatkan sedemikian rupa sehingga tidak boleh dipotret. Hal ini disebabkan si pemilik lukisan khawatir akan sirna daya magisnya apabila dipotret. Bahkan, ada pula lukisan yang oleh pemiliknya diyakini mengandung suatu roh tadi menjadi marah. Untuk menghindari kemungkinan tadi ia melarang orang untuk memotretnya.12 Dimensi Teknis Metode dan bahan yang digunakan dalam lukisan kaca tidak dimungkinan untuk dibersikan di vernish ulang, dan lukisan kaca tersebut sangat sulit untuk dibuat ulang, bila terjadi kesalahan. Jelaslah bahwa kedua gambar tersebut tidak bisa dipisahkan. Lukisan kaca dikerjakan dari sisi belakang bidang kaca, dan dikerjakan dalam keadaan terbalik.13

Dasar-dasar Teknik Melukis Kaca Cirebonan14 10

Eddy Hadi Waluyo, im. Eddy Hadi Waluyo, Lukisan Kaca Cirebon: Dari Masa Awal Hingga Masa Kini (Bandung: P4ST UPI, 2006), 82. 12 Eddy Hadi Waluyo, 79. 13 Joseph Fisher, The Folk Art of Java. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994), 37. 14 Halimi, “Dasar-Dasar Teknik Melukis Kaca Cirebonan”, http://www.idoub.com, 2010. 11

Lukisan kaca Cirebonan atau yang kita kenal lukisan kaca Cirebon merupakan salah satu cabang seni lukis dengan menggunakan media kaca, dimana teknik melukisnya adalah terbalik atau melukis dibagian belakang dan menikmati hasilnya dari bagian depan. Hal ini menjadikan lukisan kaca Cirebon sangat spesifik dalam penggarapannya, karena dengan melukis dibagian belakang sangat membutuhkan ketelitian, keterampilan dan kesabaran. Kalau tidak demikian maka bisa jadi hasilnya tidak keruan alias tidak sesuai dengan harapan, karena : 1. Dengan ketelitian pelukis kaca harus mampu untuk menghindari kesalahan dalam pengecatan, apalagi dalam lukisan kaca Cirebon dikenal dengan penggunaan gradasi warna atau pewarnaan yang menganut gelap ke terang dan terang ke gelap. Ketelitian dalam menggoreskan kuas agar tidak menabrak kontur (garis gambar), ketelitian dalam mencampur atau mengoplos warna dan ketelitian dalam menentukan ragam hias. 2.

Dengan

keterampilan

pelukis

kaca

dituntut

untuk

bisa

berkreasi

dalam

menciptakan desain dengan kekayaan ragam hias. Tanpa keterampilan yang dimiliki, mustahil akan menciptakan karya yang indah dan enak dipandang. Tanpa keterampilan yang dikuasai, tidaklah mudah menciptakan kreasi-kreasi baru yang mampu melahirkan daya pesona. 3. Dengan kesabaran pelukis kaca harus mampu menahan emosional berkarya tanpa rencana, karena kesabaran itu justru akan memacu dalam mengekploitir imajinasi menjadi ide dan kreatifitas yang maksimal. Dalam hal melukis di atas kaca dengan media yang licin, maka kesabaran kita dimulai sejak awal menggoreskan pena atau rapido yang sangat menentukan kelenturan garis yang dibuat. Selanjutnya kesabaran terus dituntut ketika memulai pengisian cat dengan gradasi warna, satu sama lain harus mempunyai jeda waktu untuk menghindari percampuran warna yang tidak diinginkan. Dengan memiliki 3 (tiga) hal tersebut diatas, barulah kita bisa mencoba dasar- dasar teknik melukis kaca Cirebonan yang kami urutkan secara sederhana sehingga mudah untuk dipraktekan, sebagai berikut : 1. Membuat desain gambar. Membuat desain gambar tidaklah semudah yang kita perkirakan, karena gambar-gambar gaya Cirebon memiliki ragam hias yang spesifik. Untuk itulah sebaiknya mencari contoh gambar

yang baku, seperti motif wayang misalnya. Motif wayang yang kita pilih pindahkan ke kertas gambar lain yang ukurannya sudah ditentukan. Kemudian buatlah ragam hias dengan mengkombinasikan mega mendung atau wadasan sebagai hiasan depan maupun latar bagian belakang. Ketika jadi maka wayang akan dikelilingi ragam hias khas Cirebonan yang menarik dan siap diisi cat dengan gradasi warna yang dipilih. 2. Memindahkan gambar ke media kaca. Memindahkan gambar ke media kaca dengan meletakan kertas desain dibalik kaca dan memindahkannya dibagian muka dengan pena atau rapido warna hitam. Kontur (garis gambar) yang dibuat haruslah lentur tanpa terputus-putus, agar nati ketika diiisi cat maka kontur itu sebagai pembatas yang mampu menahan lelehan cat basah. Gaya klasik pada lukisan kaca Cirebon garis gambar bisa bermacam warna karena menggunakan pena dengan cat langsung. Berbeda dengan gaya modern yang menggunakan rapido dalam pembuatan kontur (garis gambar) hanya berwarna hitam. 3. Mengisi cat pada bidang gambar. Mengisi cat pada bidang gambar yang telah berisi kontur-kontur, maka warna pertama yang dipoleskan diatasnya (dengan catatan bahwa kita telah menentukan warna gelap ke terang atau sebaliknya). Hati-hati agar tidak menabrak batas garis (tidak meleber keluar garis), polesan haruslah halus dan konstan (dengan tekanan kwas yang sama). Jika warna pertama selesai, biarkan beberapa menit untuk mengeringkan cat. Kemudian lakukan kembali pengecatan dengan warna kedua dan seterusnya hingga selesai. Harus diingat gradasi warna khas Cirebonan akan tampil indah jika tidak saling bercampur, artinya garis warna tegas, sama tebal dan sesuai urutan warna. 4. Mewarnai Ragam Hias. Mewarnai ragam hias biasanya setelah selesai mewarnai objek utama, hal ini agar dapat memberikan nuasa warna yang mempunyai image 3 dimensi. Teknik seperti ini penekanannya pada pemilihan warna yang lebih tua dan tegas untuk ragam hias bagian depan objek. Sementara ragam hias bagian belakang objek, lebih ditekankan pada warna-warna bias, yang memberikan kesan jauh sehingga image 3 dimensi dapat terpenuhi. Ornamen mega mendung harus diletakan dibagian atas, yang dimaksudkan untuk memberikan kesan langit dan awan. Dan ornamen wadasan diletakan dibagian bawah atau dasar yang memberikan kesan tanah

atau bebatuan. Singkatnya objek wayang akan dikelilingi ragam hias bagian bawah, atas, depan, belakang, kiri dan kanan, sesuai dengan aturan teknik melukis kaca Cirebonan umumnya. 5. Membuat latar bagian belakang gambar (Background). Latar bagian belakang (Background) diperuntukan untuk mengisi kekosongan bagian belakang untuk mendapatkan gambar yang terkesan penuh, Biasanya menggunakan 2 (dua) cara, pertama dilakukan pada media kaca yang sama dan kedua dilakukan pada media tripleks penutup. Cara yang kedua itulah yang memberikan kesan 3 dimensi, karena ada jarak diantara kaca dan tripleks penutup. Umumnnya gambar yang dibuat sebagai background berupa polesan semprotan phyloc beragam warna dan tipis atau menggunakan bantuan tali rafia yang diususun berjejer dan disemprot phyloc warna. 6. Memasang bingkai. Memasang bingkai pada umumnya sama dengan pemasangan bingkai pada lukisan lainnya. Bingkai akan dipasang ketika lukisan kaca yang dibuat sudah cukup kering. Pemberian penutup tripleks yang berisi gambar background harus diberikan jarak beberapa milimeter dari kaca berisi gambar utama. Bingkai bagian belakang yang telah tertutup harus diberi lakban agar rapih dan jangan lupa gantungan plus talinya di pasangkan.

C. Ikonologis Berdasarkan analisis yang saya peroleh lukisan kaca merupakan sebuah hasil seni yang terlahir dari alkulturasi berbagai budaya. Budaya yang muncul pada lukisan kaca bisa kita lihat pada ornamen mega mendung dan wadhasan yang berasal dari Cina. Kemunculannya yang diawal hanya dianggap sebagai kegiatan sampingan kini merambah menjadi sebuah komoditas ekonomi, dan ini merupakan perkembangan yang luar biasa. Perkembagnan ini makin terlihat dengan hasil dari lukisan kaca itu sendiri, yang makin indah dan estetis.

Setiap tarikan titik, garis, bentuk dan warna merupakan ungkapan jiwa dari sang pelukis. Tidak mudah dalam membuat lukisan ini, diperlukan ketelitian, keuletan, kesabaran serta hal yang terpenting adalah kecintaan. Tanpa kecintaan tidaklah mudah menjalaninya, tanpa kecintaan segala yang dilakukan akan terasa berat dan sulit. Tema-tema yang diusung dalam lukisan kaca sangat beragam, yaitu berupa kisah-kisah pewayangan, religi, bahkan sekarang sudah merambah ke arah yang lebih modern. Tema pewayangan banyak mengangkat mengenai Bathara Narada, tokoh-tokoh Pandawa, dan Panakawan. Sedangkan tema-tema religi banyak mengangkat mengenai kaligrafi Islam yang dimasukkan ke bagian dari tokoh pewayangan, seperti contohnya pada lukisan Semar yang di dalam tubuhnya bertuliskan dua kalimat syahadat “Asyhadu allailahaillallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah”. Lukisan kaca merupakan karya seni yang berfungsi sebagai hiasan baik itu kalangan atas maupun bawah, juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai sarana dakwah serta sebagai sarana mistik dan magis. Sebagai hiasan karena ia banyak bermain dengan lekukan-lekukan garis, bentuk dan warna, sebagai sarana dakwah karena ia melukiskan mengenai nilai-nilai teologis dari agama Islam, yang tak jarang disatukan dengan tokoh-tokoh pewayangan, seperti disebutkan diatas. Sedangkan sebagai sarana mistis dan magis, terlihat dari lukisan yang dipercayai sebagai jimat penolak bala. Perkembangan lukisan kaca begitu terasa di Indonesia khususnya Cirebon. Ia menjadi sebuah karya yang unik serta merupakan ciri khas Indonesia, dengan gaya dan tema-tema yang diangkat. Sebuah kekayaaan yang luar biasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Fisher, Joseph. The Folk Art of Java. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 1994. Haryanto, S. Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan, 1988. Martowikrido, Wahyono. “Lukisan Kaca” dalam Edi Sedyawati et al. ed. Indonesian Heritage: Seni Rupa. Singapore: Archipelago Press, 1998.

Murtioso, Bambang dan Sugeng Nugroho. “Javanese Wayang Purwa” dalam Edi Sedyawati et al. ed. Indonesian Heritage: Performing Arts. Singapore: Archipelago Press, 1998. Soedarsono, R,M. Metodologi Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999. Waluyo, Eddy Hadi. Lukisan Kaca Cirebon: Dari Masa Awal Hingga Kini. Bandung: P4ST UPI, 2006. .”Lukisan Kaca di Indonesia: Kontinuitas dan Perubahannya.” Disertasi S3 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Seni Rupa, Jurusan Ilmu-ilmu Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2005. Arini, Sri Hernawati Dwi, dkk. Seni Budaya. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009. Halimi, “Sejarah Singkat Lukisan Kaca Cirebon”, http://www.idoub.com, 2010.