BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit chrons (chrons disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis). Penyakit Chrons adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit chrons ini umumnya mengenai bagian akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis. Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya secara jelas (Ardizzone, 2003). Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006). Insiden penyakit crohn semakin meningkat selama 10 tahun terakhir, sedangkan insidens kolitis ulserativa stabil. Proporsi penderita IBD yang ditangani karena penyakit crohn secara bertahap naik. Laporan insidens penyakir crohn adalah sekitar 3-4/100.000 dan prevalensinya 30-100/100.000. prevalensi penyakit crohn pada orang kulit putih dan orang kulit hitam adalah 3-10 kali prevalensi pada orang keturunan Spanyol dan Asia yang hidup di Amerika Serikat. Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit chrons dan kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak usia untuk penyakit chrons dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit chrons 1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1. Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan
1
kesejahteraan masyarakat di usia lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis ulseratif, mampu melakukan tindakan asuhan keperawatannya dan mampu menginformasikan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif. 1.2 Tujuan 1) Mengetahui dan memahami definisi Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 2) Mengetahui dan memahami etiologi Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 3) Mengetahui dan memahami manifestasi klinis Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 4) Mengetahui dan memahami patofisiologi Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 5) Mengetahui dan memahami penatalaksanaan Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 6) Mengetahui dan memahami WOC dari Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 7) Mengetahui dan memahami komplikasi dari Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 8) Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan Penyakit Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif. 1.3 Manfaat Dengan disusunnya makalah ini, mahasiswa akan mampu membuat Asuhan Keperawatan kepada pasien dengan Penyakit Peradangan intestinal meliputi: Enteritis Regional (Penyakit Chrons) dan Kolitis ulseratif.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Usus 2.1.1 Usus Halus Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari pylorus sampai katub ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki. Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm tetapi semakin ke bawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm. Bentuk dan susunannya berlipat-lipat melingkar. Makanan dapat masuk karena adanya gerakan yang memberikan permukaan yang lebih luas. Banyaknya jonjot-jonjot pada tempat absorpsi memperluas permukaannya. Usus halus adalah tempat utama untuk pencernaan dan tempat utama untuk penyerapan nutrien. Diantaranya adalah karbohidrat, protein, lipid, cairan dan elektrolit. Fungsi utamanya adalah mengabsorpsi produkproduk pencernaan. Walaupun ukurannya relatif pendek, area permukaannya sangat diperluas karena mukosanya berlipat-lipat dengan vili yang hanya terlihat secara mikroskopik. Usus halus terletak dalam rongga abdomen dan dikelilingi oleh usus besar.
Gambar 2.1.1 Usus Halus Struktur usus halus terdiri dari bagian-bagian berikut ini: a. Duodenum: bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum merupakan tempat bermuaranya saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan papilla vateri. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar
3
brunner untuk memproduksi getah intestinum. Panjang duodenum sekitar 25 cm dimulai dari pilorus sampai jejunum. Di dalam usus dua belas jari,dihasilkan enzim: 1. Enterokinase yaitu untuk mengaktifkan tripsinogen yang dihasilkan pankreas; 2. Erepsin atau dipeptidase untuk mengubah dipeptida atau pepton menjadi asam amino; 3. Laktase yang mengubah laktosa menjadi glukosa; 4. Maltase berfungsi mengubah maltosa menjadi glukosa; 5. Disakarase mengubah disakarida menjadi monosakarida; 6. Peptidase mengubah polipeptida menjadi asam amino; 7. Lipase mengubah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak; 8. Sukrase mengubah sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa. b. Jejunum: Panjangnya 2 – 3 meter dan berkelok-kelok, terletak di sebelah kiri atas intestinum minor. Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara lapisan peritoneum. Penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal, dan banyak mengandung pembuluh darah. c. Ileum: ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, panjangnya ±4 – 5m. Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah kanan bawah berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang orifisium ileosekalis yang diperkuat sfingter dan katub valvula ceicalis (valvula bauchini) yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon agar tidak masuk lagi ke dalam ileum. 2.1.2
Usus Besar
Kolon orang dewasa memiliki panjang 1,5 – 1,8 m. Berbagai segmennya (sekum; colon asendens, transversum, descendens, dan sigmoideum) berperan dalam penyerapan air dan elektrolit, sekresi mukus, dan pembentukan, pengeluaran, dan penyimpanan zat yang tidak di serap (tinja). Kolon juga merupakan rumah bagi flora mikroba usus. Permukaan kolon terdiri atas epitel kolumnar tanpa vilus dan hanya sedikit lipatan kecuali di rektum distal. Epitel memiliki mikrovilus yang pendek dan iregular. Terdapat banyak kelenjar yang mengandung sel goblet, sel endokrin, dan sel absorptif. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar yaitu : a. Tunica serosa, lapisan paling luar yang mempunyai mesocolon pada colon transversum dan sigmoideum
4
b. Tunica muscularis, terdiri dari startum circulare di dalam. Stratum longitudinale diperkuat pada tiga tempat membentuk taenia coli c. Tunica submukosa mengandung pembuluh darah plexus submucosus meissner dan folliculi lymphatici solitari. d. Tunica mukosa berbeda dengan mukosa dari usus kecil, karena tidak mempunyai vili intestinales, sesuai dengan letak penyempitan atara haustra di mucosa terdapat lipatan plica semilunaris. Berbeda dengan plica circularis pada usus kecil yang dibentuk oleh lapisan mukosa dan submukosa saja, plica semilunaris juga ikut dibentuk oleh stratum circulare tunica muscularis. Berbeda dengan usus kecil, pada colon tidak ada folliculi lympatici aggregatii. Glandula intestinales dari colon lebih panjang dari pada yang terdapat pada usus kecil . terdapat banyak sel goblet pada mukosa colon. Struktur appendix vermivoris hampir sama dengan struktur colon kecuali tidak adanya taenia coli, appendix epiploica, dan yang sangat menyolok adalah banyaknya folliculi lymphatici pada mukosanya.
Gambar 2.1.2 Usus Besar Bagian-bagian usus besar adalah : a. Seikum Di bawah seikum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehinggadisebut juga umbai cacing yang panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi peritonium mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup. b. Kolon Ascendens Panjangnya kurang lebih 15 cm dan terbentang dari cecum sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada
5
flexura coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum. Colon ascendens terletak pada regio lateralis kanan. c. Kolon Tranversum Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus. Panjang antara 40 – 50 cm. Keatas colon transversum berhubungan dengan hepar, vesica felle, gaster dan lien. Ke depan terdapat hubungan dengan omentum majus dan dinding depan abdomen. Ke belakang dengan pars descendens duodeni, caput pankreas, kelokan usus kecil dan ren kiri, serta kebawah juga dengan kelokan usus kecil. Mesocolon transversum di belakang melekat pada dinding belakang abdomen di depan pancreas. Mesocolon ini melekat pada pinggir atas colon tranversum, sedang lapisan posterior dari omentummajus melekat pada pinggir bawah kolon transversum. d. Kolon Descendens Panjangnya kurang lebih 25 cm, berjalan ventrikel ke bawah dari flexura coli sinistra pada regio hypochondriaca kiri sampai pada fossa iliaca kiri untuk beralih menjadi colon sigmoidenum sehingga terletak pada regio hypochondriaca kiri, lateralis kiri dan inguinalis kiri. e. Kolon Sigmoideum Disebut juga colon pelvinum, panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior “pelvic brim” sampai peralihan menjadi rectum di depan vertebrata S-3. Tempat peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga taenia coli, dan terletak 15 cm di atas anus. Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon sigmoideum pada dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile). Penyerapan cairan dan elektrolit telah banyak diteliti dan merupakan fungsi utama kolon. Epitel kolon mampu menyerap hingga 5L air per hari. Selain itu, epitel kolon juga dapat menyerap natrium dengan melawan gradien konsentrasi yang cukup besar. Aldosteron merupakan suatu hormon yang terlibat dalam proses homeostasis cairan dan elektrolit, meningkatkan hantaran natrium kolon sebagai respons terhadap deplesi volume sehingga berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Produk sekretorik utama kolon adalah musin, suatu konjugat glikoprotein kompleks yang berfungsi melumasi dan mungkin melindungi kolon. 2.2 Enteritis Regional 2.2.1 Definisi Penyakit Chrons adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling 6
umum ditemukan pada usus halus (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek “melompat-lompat”, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula, dan penebalan dinding usus. Walaupun banyak persamaan antara kolitis ulserativa dan penyakit Chrons, ada juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan klinis dan distribusi penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran pencernaan pada penyakit Chrons adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009). Inflamasi pada penyakit Chrons timbul sebagai lesi granulomatosa berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus yang terkena. Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal. Pada inflamasi kronis, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat gizi akan terganggu. Jika penyakit terlokalisasi terutama di kolon, keseimbangan air dan elektrolit dapat terganggu. Saluran atau fistula abnormal kadang-kadang terbentuk antara bagian saluran cerna dan antara saluran GI dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini dapat menyebabkan malabsorbsi dan infeksi. Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus enteritis regional melibatkan usus halus, khususnya ileum terminal. Presentasi karakteristik enteristik regional adalah sakit perut dan diare, yang mungkin menjadi rumit oleh fistula usus, obstruksi, atau keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang sulit diprediksi dan mempunyai tingkat remisi jangka panjang (Aufses, 2001). Pada tahun 1932, Chrons, Ginzberg, dan Oppenheimer mendeskripsikan penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan memengaruhi saluran gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian didokumentasikan bahwa enteritis regional bisa melibatkan bagian mana pun darisalurangastrointestinal (Thoreson, 2007).
7
Gambar Chrons dengan segmen (tanda
Penyakit pada ileum penyempitan yang iregular panah)
Perbandingan penyakit inflamasi usus antara kolitis ulseratif dengan penyakit chrons adalah sebagai berikut : Karakteristik Klitif Ulseratif Penyakit Chrons Perdarahan usus Umum, ringan sampai berat Tidak umum, ringan sampai Sering berat berat Diare Jarang Ringan sampai berat Nyeri abdomen Ringan sampai sedang Ringan sampai berat Anoreksia Ringan sampai sedang Umum Penurunan berat badan Biasanya ringan Mungkin berat Retardasi pertumbuhan Jarang Mungkin berat Lesi anal dan perianal Jarang Umum Fistula dan striktur Umum 2.2.2
Etiologi Etiologi Penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu : a. Kelainan fungsi sistem pertahanan tubuh. Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada enteritis regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip yang kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan memiliki kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). b. Infeksi. Kemungkinan infeksi seperti Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria mempunyai keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa radang dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber infeksi (Van Heel, 2001) 8
c. Lingkungan Pengaruh lingkungan seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada enteritis regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko rendah untuk pengenbangan enteritis regional dan berbanding terbalik dengan terjadinya risiko kolitis ulseratif (Thoreson, 2007). d. Makanan. Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang dtemukan pada jamur dan tuberkulosis paru. Terdapat beberapa persamaan yang menrik antara enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu uveitis, artritis dan lesilesi kulit yang identik. 2.2.3
Manifestasi Klinis Di antara anak-anak penderita penyakit Chrons, gejala permulaan paling sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi dapat juga melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita ileitis terminal saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis granulomatosa). Penyakit Chrons jarang dijumpai pada umur 1 tahun pertama. Seperti pada kolitis ulserativa, penyakit Chrons cenderung mempunyai distribusi umur bimodal dengan puncak pertama mulai pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011). Penyakit Chrons dapat muncul dalam beberapa bentuk; manifestasinya cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat, derajat radangnya, dan adanya komplikasi seperti striktura atau fistula. Anak dengan ileokolitis khas menderita nyeri abdomen dengan kram dan diare, kadang-kadang dengan darah. Ileitis dapat muncul dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja. Kolitis Chrons dapat disertai dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan mendadak ingin buang kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung lebih sering terjadi pada penyakit Chrons daripada pada kolitis ulserativa. Demam, malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan dengan keterlambatan pematangan tulang dan keterlambatan perkembangan seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2 tahun sebelumnya dan setidaktidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada penyakit Chrons daripada pada kolitis ulserativa. Anak dapat datang dengan gagal tumbuh sebagai satusatunya manifestasi penyakit Chrons. Retardasi pertumbuhan disertai dengan penurunan massa badan tetapi tidak disertai pengurangan lemak
9
badan; kehilangan protein melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh meningkat. Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai = tags, fistula, abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin disertai dengan muntah berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus halus parsial, biasanya akibat penyempitan lumen usus karena radang atau striktura, dapat menyebabkan gejala-gejala nyeri abdomen dengan kram (terutama waktu makan), borborigmi, dan kembung abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai apabila anak merasakan gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak degukan (gurgling) isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter akibat perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada penyakit Chrons. Manifestasi klinis penyakit Crohn atau Enteritis Regional menurut Diane, 2000 sebagai berikut: 1. Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda nyeri abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan defekasi. 2. Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini. 3. Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. 4. Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang mengalami inflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk abses intraabdominal dan anal. 5. Terjadi demam dan leukositosis. 6. Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi. 2.2.4
Patofisiologi Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang selsel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk ke dalam mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam bentuk abses yang dalam, menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan atrofi dari usus besar. Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk penumpukan vili di usus kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan sering terlihat (Thoreson, 2007). Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat menjadi mendalam, borok serpiginous terletak
10
melintang dan longitudinal di atas mukosa yang meradang. Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah sehat (Thoreson, 2007). Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh dinding) membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait. Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering reversibel setelah mendapat agen antiinflamasi. Pada proses lanjut, halangan menjadi kronis akibat jaringan parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang menembus serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan malabsorbsi. Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atau enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya . Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen menetap dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi pada 90% pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma memengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen yang terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membran usus dan di tempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa kekurangan gizi. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air besar dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut lemak, dan batu ginjal. Malabsorpsi lemak, dengan penangkap kalsium, dapat mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan menyebabkan pembentukan batu ginjal (Chen, 2007). 2.2.5 Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium
11
a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan malabsorpsi vitamin B12 atau folat. b. Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, dan hipoprothrombinemia mungkin mencerminkan malabsorpsi. c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau pengobatan steroid. d. Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas penyakit. Laju endap darah/eritrosit sedimentation rate (ESR) dianggap lebih bermanfaat dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada kolitis ileitis. 2) Pemeriksaan radiografik a. Studi kontras barium Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006). b. Computed tomography scan CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal (Mackalski, 2006). c. Magnetic resonance imaging Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis enteritis regional (Chen, 2007). 3) Pemeriksaan Ultrasonography Ultrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk komplikasi. 4) Pemeriksaan Kolonoskopi
12
Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon. Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi bedah untuk mengevaluasi anatomosis dan memprediksi kemungkinan kambuh klinis, serta respons terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski, 2006). 5) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ER) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ER) sangat membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat terapeutik pada pasien dengan striktur kolangitis sklerosa. 2.2.6 Penatalaksanaan 1) Penurunan respons diare : a. Pemberian antidiare Dua macam antidiare yang paling sering diresepkan adalah difeknosilat (dengan atropin), analog lemah dari meperidin dan loperamid, yang secara kimia berhubungan dengan haloperidol. Difenoksin adalah metabolit aktif difenoksilat. Mekanisme kerjanya pada usus mirip dengan opioid, yaitu bekerja dengan menghambat pembebasan asetilkolin melalui reseptor prasinaptik dalam sistem saraf enterik.loperamid dalam dosis 4mg 4 kali sehari dapat menghasilkan perbaikan klinikyang mendasar, terutama jika dikombinasikan dengan diet yang mengandung serat. b. Pemberian diet rendah lemak c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg), dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125 mg) d. Antiinflamasi 2) Terapi medikamentosa Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik yang parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam kondisi mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-60 mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah resmi tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu). Berikan juga Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta Fe, asam folat, dan vitamin B 12. Pada pasien yang kambuh setelah pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid tidak diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi serius, seperti nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak, diabetes, dan hipertensi. 13
3) Terapi imunosupresi Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya risiko supresi sumsum tulang. 4) Terapi bedah Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis regional untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi medis gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi fistula enterovesicular, enterocutaneous, cologastric, dan fistula coloduodenal. Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus. Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun tindakan ini tidak bertujuan kuratif. 5) Diet Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi. Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen kalsium mungkin diperlukan. Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200 kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal. Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut : a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak preoperatif). b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek. 2.2.7
WOC WOC Enteritis Regional terlampir pada lampiran 1.
2.2.8
Komplikasi
14
1) 2)
3) 4) 5) 6) 7)
Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif). Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh. Perforasi usus dan pembentukan abses. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya). Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada kolitis ulseratif). Hemoragi. Abses hati dan penyakit hati.
2.2.9
Prognosis Penyakit crohn adalah penyakit kronis yang disertai dengan morbiditas tinggi tetapi mortalitas rendah. Gejela-gejalanya cenderung kumat walaupun selalu menggunakan obat dan sering tanpa ada penjelasan yang jelas. Satu perkecualian bahwa gejala-gejala obstruksi parsial kecil dapat terjadi setelah makan makanan yang beresidu tinggi dan ada striktur usus halus. Penurunan berat badan dan gagal tumbuh biasanya dapat diperbaiki dengan pengobatan dan perhatian terhadap kebutuhan nutrisi. Lebih dari 15% individu dengan retardasi pertumbuhan dini akibat penyakit crohn mengalami penurunan permanen pertumbuhan linier. Beberapa menifestasi ekstraintestinum, dengan sendirinya, mungkin merupakan penyebab utama morbiditas, yang meliputi kolangitis sklerosans, hepatitis kronis aktif, pioderma gangrenosum dan spondilitis ankilosans. Walaupun resiko menjadi kanker kolon pada orang-orang dengan kolitis crohn lama mungkin lebih rendah daripada pada penderita kolitis ulsereativa, resiko ini lebih besar daripada resiko pada populasi umum. Walaupun ada beberapa komplikasi pada penyakit ini,kebanyakan anak dengan menderita penyakit crohn masih hidup aktif dan biasa dengan sebentar-sebentar mengalami kekambuhan gejala.
2.2.10 Asuhan Keperawatan Umum a. Pengkajian Subjektif 1) Riwayat kesehatan diambil untuk mengidentifikasi awitan, durasi, dan karakteristik nyeri abdomen; diare, tenesmus, mual, anoreksia, penurunan BB. 2) Riwayat keluarga tentang penyakit usus inflamasi 3) Pola diet : jumlah Alkohol, kafein, dan nikotin yang dipakai setiap hari atau setiap minggu. 4) Pola eliminasi : karakter, frekuensi, dan adanya darah, pus, lemak, atau mukus. 5) Alergi : intoleransi usus atau laktose.
15
6) Kaji gangguan pola tidur bila diare atau nyeri terjadi pada malam hari. b. Pengkajian Objektif 1) Auskultasi abdomen terhadap bising usus dan karakteristiknya. 2) Palpasi abdomen terhadap distensi, nyeri tekan, atau nyeri. 3) Inspeksi kulit terhadap adanya saluran fistula atau gejala dehidrasi. 4) Feses di inspeksi terhadap adanya darah dan mucus. c. Analisa Data Data Etiologi DS : Klien mengatakan Gangguan nyeri abdomen diare gastrointestinal sejak 2 hari yang lalu, kadang disertai darah, mual, dan muntah. Mual, muntah, diare, anoreksia DO : Skala nyeri 7, (+) nyeri tekuk dan nyeri tekan pada abdomen. Kram abdomen TD 130/90 mmHg, Suhu 37,5oC Nyeri DS : Klien terlihat Gangguan lemas dan lesu. Klien gastrointestinal menyatakan diare sejak 2 hari yang lalu, kadang disertai perdarahan, Mual, muntah, diare, serta mual dan muntah anoreksia DO : Bising usus meningkat 27x/menit, turgor kulit >3detik, Suhu 37,5oC, TD 130/90 mmHg
DS : Klien terlihat lemas dan lesu. Klien menyatakan nafsu makan menurun sejak 2 hari terakhir karena nyeri dan proses
Masalah Keperawatan Nyeri
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Gangguan transportasi makanan
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Gangguan gastrointestinal
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Mual, muntah, diare, anoreksia
16
penyakit DO : skala nyeri 7, adanya neri tekan dan nyeri tekuk, BB < 2 Kg dari sebelum sakit
Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output cairan berlebih
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan DS : Klien nampak cemas, lemas dan lesu.
Respon penyakit gastrointestinal
Kecemasan
DO : Intervensi kedepan mengenai penyakit
Respons psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan Kecemasan
d. Diagnosa Keperawatan yang mungkin 1) Nyeri berhubungan dengan iritasi nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan 2) Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran cairan dari diare dan muntah yang berlebihan 3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal 4) Resiko infeksi b.d adanya luka pasca bedah 5) Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit dan rencana pembedahan e. Perencanaan dan Intervensi Keperawatan Dx.Keperawatan
Tujuan dan
Intervensi
Rasional
17
KreteriaHasil 1 Nyeri b.d iritasi Setelah dilakukan nitestinal, kram tindakankeperawatan abdomen dan selama 3x24 jam respon masalah pembedahan keperawatan nyeri dapat teratasi dengankreteria hasil sebagai berikut : a. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang b. Ekspresi wajah pasien tenang dan rileks c. Dapat mengidentifikas i kegiatan yang dapat menambah atau mengurangi nyeri d. Pasien tidak gelisah e. .Skala nyeri turun 0 – 4
1. Monitoring skala 1. Perawat mengkaji nyeri (0 – 4) tingkat nyeri dan dan (P,Q,R,S,T) kenyamanan pasien setelah penggunaan obat – obatan dan menghindari zat pengiritasi pendekatan dengan 2. Jelaskan dan menggunakan bantu pasien 2. Relaksasi dan dengan tindakan nonfarmakologi lainnya pereda nyeri telah menunjukkan nonfarmakologi keefektifan dalam seperti distraksi, mengurangi nyeri terapi musik, dan hipnoterapi. 3. Istirahatkan pasien 3. Istirahat secara fisiologis dapat menurunkan kebutuhan 4. Ajarkan teknik oksigen distraksi 4. Distraksi dapat menurunkan stim ulus 5. Manajemen internal pemberian diet 5. Dengan menghindari dan menghindari makan dan minuman agen iritan yang dapat mengiritasi mukosa lambung mukosa lambung dapat menurunkan intensitas 6. Kolaborasi nyeri dengan dokter 6. Antasid untuk untuk pemberian mempertahankan Ph antasida sesuai lambung pada tingkat dosis normal (4,5)
18
2. Resiko ketidakseimbangan cairan b.d pengeluaran cairan dari muntah yang berlebihan
Setelah dilakukan 1. tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah cairan dan elektrolit 2. dapat teratasi dengankreteria hasil sebagai berikut : a. membran 3. mukosa lembab, turgor kulit normal 4. b. TTV dalam batas normal c. Output >600ml/hari d. Laboratorium : nilai elektrolit normal
5.
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan nutrisi : kurang keperawatan selama dari kebutuhan 3x24 jam, masalah tubuh b.d keperawatan ketidakadekuatan ketidakseimbangan intake nutrisi nutrisi dapat teratasi sekunder akibat dengan kreteria nyeri, hasilsebagai ketidaknyamana berikut : lambung dan a. Pasien dapat intestinal mempertahankan asupan status nutrisi yang adekuat
Monitor TTV
1. Mengetahui keadaan umum pasien, hipotensi datap terjadi pada kondisi hipovolemia Monitor status cairan 2. Jumlah dan tipe cairan (membran pengganti ditentukan mukosa, turgor dari keadaan status kulit dan output cairan. urin) Kaji sumber 3. Penurunan volume kehilangan cairan cairan mengakibatkan menurunnya Manajemen 4. Produksi urin. Monitor pemberian cairan dilakukan dengan ketat pada produksi urin Kehilangan caairan dan muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium per oral yang juga akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit Kolaborasi untuk 5. Intake dan output pemberian cairan setiap hari diuresis dipantau untuk mendeteksi tanda – tanda awal terjadinya dehidrasi 1. Kaji status nutrisi 1. Menetapkan derajad pasien, turgor masalah untuk kulit, berat badan menetapkan pilihan dan penurunan intervensi yang tepat berat badan 2. Fasilitasi pasien 2. Memperhitungkankein memperoleh diit ginan individu agar biasa yang dapat memperbaiki dikonsumsi nutrisi pasien setiap hari 3. Pantau dan
intake 3. Berguna output, mengukur
dalam keefektifan
19
b. Pernyataan motivasi yang kuat untuk meningkatk an kebutuhan nutrisinya
5. Ansietas b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan kecemasan dapat teratasi dengankreteria hasil sebagai berikut : a. Pasien mampu mgnungkapkan perasaan kepada perawat b. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan atau ketakutan c. Pasien dapat rileks dan tidur
anjurkan untuk nutrisi dan dukungan timbang berat cairan. badan secara periodik 4. Lakukan dan 4. Menurunkan rasa tidak ajarkan enak karena sisa perawatan mulut makanan dan bau obat sebelum dan yang dapat merangsang sesudah makan pusat muntah 5. Kolaborasi 5. Merencanakan deit dengan ahli gizi dengan kandungan untuk pemberian nutrisi yang adekuat diit yang untuk memenuhi seimbang pengingkatan kebutuhan energi dan kalori 6. Kolaborasi 6. Meningkatkan rasa dengan dokter nyaman pada untuk pemberian gastrointestinal dan anti muntah meningkatkan sesuai dosis keinginan intake nutrisi dan cairan per oral 1. Monitor respon 1. Digunakan untuk fisik, seperti mengevaluasi derajad kelelahan, atau tingkat kesadaran, perubahan tanda khusunya jika vital dan gerakan melakukan komunikasi yang berulang – verbal ulang 2. Anjurkan pasien 2. Memberikan dan keluarga kesempatan untuk mengungkapkan berkosentrasi kejadian dan dari rasa takut, dan mengekspresikan mengurangi cemas rasa takutnya yang berlebihan 3. Catat reaksi 3. Respon dari kecemasan pasien atau anggota keluarga keluarga. Berikan terhadap apa yang kesempatan terjadi dapat utnuk disampaikan kepada
20
dengan nyaman
mengungkapkan perawat perasaannya 4. Ajarkan aktivitas pengalihan 4. Sejumlah aktivitas atau perhatian sesuai ketrampilan dapat kemampuan menurunkan tingkat individu seperti kebosanan yang dapat menulis, menjadi stumulus menonton tv, dll kecemasan 4. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan 1. Monitoring TTV 1. Suhu dapat ikut naik adanya luka pasca tindakan jika pasien terjadi bedah keperawatan selama inflamasi dan infeksi 3x24 jam, masalah 2. Periksa kembali 2. Menidentifikasi keperawatan resti jenis pembedahan kemajuan atau infeksi dapat teratasi yang telah penyimpangan dari dengan kreteria hasil dilakukan tujuan yang sebagai berikut : diharapkan. a. Tanpa adanya 3. Lakukan 3. Perawatan luka infeksi dan perawatan luka sebaiknya tidak setiap tanda – tanda pada hari ke dua hari untuk menurunkan kemerahan pasca bedah kontak dengan luka setelah jahitan yang dalam kondisi dilepas steril b. TTV terutama 4. Bersihkan luka 4. Pembersihan suhu dalam pada saat setiap debridemen dapat batas normal perawatan luka mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luar 5. Tutup luka dengan 5. Penutupan secara kassa steril menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau udara 6. Berikan 6. Pemberian pendidikan pendidikan kesehatan diharapkan kesehatan kepada bisa lenih memberikan keluarga pasien pemenuhan informasi dan pasien cara bagi keluarga. perawatan luka yang benar dan steril
21
7. Kolaborasi dengan 7. Tindakan kolaborasi dokter untuk dilakukan dengan pemberian anti tujuan untuk lebih infeksi sesuai optimal dalam dosis pengobatan f. Evaluasi Hasil Yang Diharapkan 1) Melaporkan penurunan dalam frekuensi feses diare 2) Skala nyeri berkurang menjadi 2-3 3) Klien mampu mempertahankan keseimbangan volume cairan 4) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 5) Klien mendapatkan nutrisi optimal-mentoleransi pemberian makan sedikit dan sering tanpa diare 6) Menghindari episode keletihan 7) Kecemasan klien berkurang 8) Menghadapi diagnosa dengan baik 9) Mempertahankan integritas kulit 10) Memporoleh pemahaman tentang proses penyakit 2.2.11 Asuhan Keperawatan dengan Kasus 1) Kasus Sdr. D (18 tahun) mengalami diare sejak 2 hari yang lalu, kadang diare disertai dengan perdarahan. Dia mengeluh nyeri pada bagian abdomen. Klien tampak cemas, lemah, letih dan mengaku nafsu makannya menurun sejak 2 hari yang lalu. Suhu badan meningkat hingga 37.5oC, berat badan menurun 2 Kg dari sebelum sakit. Klien mengatakan pernah mengalami hal yang sama sekitar 8 bulan yang lalu. TD 130/90 mmHg, diagnosa medis pertama enteritis regional. 2) Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 1) Identitas Klien a) Nama : Sdr. D b) Usia : 18 tahun c) Gender : Laki-laki d) Alamat : Surabaya e) MRS : 23 Oktober 2015 f) Diagnosa : Enteritis Regional (Crohn Disease) 2) Riwayat Kesehatan a) Keluhan utama Sering merasa nyeri abdomen dan diare. b) Riwayat Penyakit Sekarang Sdr. D mengalami nyeri abdomen dan sering mengalami diare sejak 2 hari yang lalu. Klien menyatakan suhu tubuh
22
meningkat hingga 37.5oC, sering berasa mual dan ingin muntah, akhir-akhir ini menjadi tidak enak makan sehingga membuat tubuh menjadi lemah dan lesu. c) Riwayat Penyakit Dahulu d) Riwayat Penyakit Keluarga 3) Pengkajian Psikososial Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan. 4) Pemeriksaan Fisik b) Keadaan umum : terlihat lemah dan kesakitan, berat badan menurun 2 Kg dari sebelum sakit. c) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare, suhu badan pasien naik hingga 37.5oC, TD 130/90 mmHg d) Head to toe 1. Integumen : Kilit kering dan turgor tidak baik karena kekurangan nutrisi 2. Abdomen Inspeksi : pasien mengalami nyeri tekan, kram andomen, perut kembung, inspeksi dari daerah perinatal dapat mengungkapkan fistula, abses dan jaringan parut. Auskultasi : terdapat peningkatan bising usus 27 x/menit karena pasien mengalami diare Perkusi : nyeri tekuk dan tympani karena adanya flatulen Palpasi : nyeri tekan abdomen, peningkatan suhu tubuh atau didapatkan adanya masaa pada abdomen. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi b. Analisa Data Data Etiologi DS : Klien mengatakan Gangguan nyeri abdomen, diare gastrointestinal sejak 2 hari yang lalu, kadang disertai darah, mual, dan muntah. Mual, muntah, diare, anoreksia DO : Skala nyeri 7, (+) nyeri tekuk dan nyeri tekan pada abdomen. Kram abdomen TD 130/90 mmHg, Suhu 37,5oC
Masalah Keperawatan Nyeri
23
DS : Klien terlihat lemas dan lesu. Klien menyatakan diare sejak 2 hari yang lalu, kadang disertai perdarahan, serta mual dan muntah DO : Bising usus meningkat 27x/menit, turgor kulit >3detik, TD 130/90 mmHg, Suhu 37,5oC
DS : Klien terlihat lemas dan lesu. Klien menyatakan nafsu makan menurun sejak 2 hari terakhir karena nyeri dan proses penyakit DO : skala nyeri 7, adanya neri tekan dan nyeri tekuk, BB < 2 Kg dari sebelum sakit.
Nyeri Gangguan gastrointestinal
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Mual, muntah, diare, anoreksia
Gangguan transportasi makanan
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Gangguan gastrointestinal
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Mual, muntah, diare, anoreksia
Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output cairan berlebih
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan DS : Klien nampak cemas, lemas dan lesu.
Respon penyakit gastrointestinal
Kecemasan
DO : Intervensi kedepan mengenai penyakit
Respons psikologis Misinterpretasi
24
perawatan dan penatalaksanaan pengobatan Kecemasan c. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri berhubungan dengan iritasi nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan 2) Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran cairan dari diare dan muntah yang berlebihan 3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal 4) Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit dan rencana pembedahan d. Intervensi Keperawatan Dx.Keperawata Tujuan dan n KreteriaHasil 1 Nyeri b.d iritasi Setelah dilakukan nitestinal, kram tindakankeperawatan abdomen dan selama 3x24 jam respon masalah keperawatan pembedahan nyeri dapat teratasi dengankreteria hasil sebagai berikut : a. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang b. Ekspresi wajah pasien tenang dan rileks c. Dapat mengidentifikasi kegiatan yang dapat menambah atau mengurangi nyeri d. Pasien tidak gelisah
Intervensi
Rasional
1. Monitoring skala 1. Perawat mengkaji nyeri (0 – 4) tingkat nyeri dan dan (P,Q,R,S,T) kenyamanan pasien setelah penggunaan obat – obatan dan menghindari zat pengiritasi pendekatan dengan menggunakan 2. Jelaskan dan bantu 2. Relaksasi dan pasien dengan nonfarmakologi lainnya tindakan pereda telah menunjukkan nyeri keefektifan dalam nonfarmakologi mengurangi nyeri seperti distraksi, terapi musik, dan hipnoterapi. 3. Istirahatkan pasien 3. Istirahat secara fisiologis dapat menurunkan kebutuhan oksigen 4. Ajarkan teknik 4. Distraksi dapat
25
e. .Skala nyeri turun 0 – 4
distraksi 5. Manajemen 5. pemberian diet dan menghindari agen iritan mukosa lambung
6. Kolaborasi dengan 6. dokter untuk pemberian antasida sesuai dosis 2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. ketidakseimban tindakan keperawatan gan cairan b.d selama 3x24 jam, pengeluaran masalah cairan dan cairan dari elektrolit dapat 2. Monitor status cairan 2. muntah yang teratasi (membran mukosa, berlebihan dengankreteria turgor kulit dan hasil sebagai berikut : output urin) a.membran mukosa 3. Kaji sumber kehilangan lembab, turgor cairan 3. kulit normal b. TTV dalam 4. Manajemen pemberian batas normal cairan 4. c.Output >600ml/hari d. Laboratorium : nilai elektrolit normal
menurunkan stim ulus internal Dengan menghindari makan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung dapat menurunkan intensitas nyeri Antasid untuk mempertahankan Ph lambung pada tingkat normal (4,5) Mengetahui keadaan umum pasien, hipotensi datap terjadi pada kondisi hipovolemia Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan.
Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya Produksi urin. Monitor dilakukan dengan ketat pada produksi urin Kehilangan caairan dan muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium per oral yang juga akan meningkatkan risiko 5. Kolaborasi untuk gangguan elektrolit pemberian diuresis 5. Intake dan output cairan setiap hari dipantau untuk mendeteksi tanda – tanda awal terjadinya dehidrasi 3. Ketidakseimban Setelah dilakukan 1. Kaji status nutrisi 1. Menetapkan derajad gan nutrisi : keperawatan selama pasien, turgor kulit, masalah untuk
26
kurang dari 3x24 jam, masalah kebutuhan keperawatan tubuh b.d ketidakseimbangan ketidakadekuata nutrisi dapat teratasi n intake nutrisi dengan kreteria sekunder akibat hasilsebagai berikut : nyeri, a. Pasien dapat ketidaknyamana mempertahankan lambung dan asupan status intestinal nutrisi yang adekuat b. Pernyataan motivasi yang kuat untuk meningkatk an kebutuhan nutrisinya
5. Ansietas b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan kecemasan dapat teratasi dengankreteria hasil sebagai berikut : a. Pasien mampu mgnungkapkan perasaan kepada
berat badan dan menetapkan pilihan penurunan berat intervensi yang tepat badan 2. Fasilitasi pasien 2. Memperhitungkankein memperoleh diit ginan individu agar biasa yang dapat memperbaiki dikonsumsi pasien nutrisi setiap hari 3. Pantau intake dan 3. Berguna dalam output, anjurkan mengukur keefektifan untuk timbang nutrisi dan dukungan berat badan secara cairan. periodik 4. Lakukan dan 4. Menurunkan rasa tidak ajarkan perawatan enak karena sisa mulut sebelum dan makanan dan bau obat sesudah makan yang dapat merangsang pusat muntah 5. Kolaborasi dengan 5. Merencanakan deit ahli gizi untuk dengan kandungan pemberian diit nutrisi yang adekuat yang seimbang untuk memenuhi pengingkatan kebutuhan energi dan kalori 6. Kolaborasi dengan 6. Meningkatkan rasa dokter untuk nyaman pada pemberian anti gastrointestinal dan muntah sesuai meningkatkan dosis keinginan intake nutrisi dan cairan per oral 1. Monitor respon 1. Digunakan untuk fisik, seperti mengevaluasi derajad kelelahan, atau tingkat kesadaran, perubahan tanda khusunya jika vital dan gerakan melakukan komunikasi yang berulang – verbal ulang 2. Anjurkan pasien 2. Memberikan dan keluarga kesempatan untuk mengungkapkan berkosentrasi kejadian dan dari rasa takut, dan
27
perawat mengekspresikan mengurangi cemas b. Pasien dapat rasa takutnya yang berlebihan mencatat penurunan 3. Catat reaksi pasien 3. Respon dari kecemasan kecemasan atau atau keluarga. anggota keluarga ketakutan Berikan kesempatan terhadap apa yang c. Pasien dapat rileks utnuk terjadi dapat dan tidur dengan mengungkapkan disampaikan kepada nyaman perasaannya perawat 4. Ajarkan aktivitas 4. Sejumlah aktivitas atau pengalihan ketrampilan dapat perhatian sesuai menurunkan tingkat kemampuan kebosanan yang dapat individu seperti menjadi stumulus menulis, menonton kecemasan tv, dll 2.3 Kolitis Ulserativ 2.3.1 Definisi Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, kronis, atau akut. Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronis pada kolon. (Yasmin Asih dkk, 1998) Kolitis ulseratif merupakan penyakit radang kolon nonspesifik yang umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksasorbasi yang berganti-ganti. Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus “pipa timah” akibat penyempitan usus itu sendiri. Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit (Greenberg, 1988; Wong, 1996; Behrman & Nelson, 1996). Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis (Yasmin Asih dkk, 1998). Kolitis ulseratif adalah suatu kondisi yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi pada lapisan kolon dan rektum. Inflamasi adalah reaksi tubuh
28
terhadap cedera atau iritasi dan juga dapat menyebabkan kemerahan, bengkak dan nyeri. Luka kecil terbuka, atau borok, tersebar pada permukaan lapisan kolon dan rektum bisa membunuh sel-sel yang melapisi sehingga menimbulkan perdarahan dan nanah. Ketika lapisan terjadi peradangan akan memproduksi ekstra mukus, merangsang usus besar untuk mempercepat pengosongan sehingga mengakibatkan diare. Peradangan biasanya dimulai di rektum dan usus besar bagian bawah, tetapi dapat mempengaruhi seluruh bagian usus besar. Kolitis ulseratif adalah salah satu dari dua penyakit utama Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan dideskripsikan sebagai kondisi kronis.
Klasifikasi Kolitis Ulseratif dapat dibedakan menjadi : 1) Proctitis Merupakan inflamasi yang terbatas pada rektum. Pada penderita proctitis cenderung ditemukan gejala utama lebih ringan yaitu perdarahan merah terang yang bisa bercampur dengan lendir. Penderita mungkin mengalami diare, atau memiliki tinja yang normal dan bahkan mungkin mendapatkan sembelit. Jika pada peradangan parah, akan terasa nyeri rektum dan perasaan mendesak untuk buru-buru ke toilet, tetapi yang keluar hanya angin. Selain itu, kulit di sekitar anus juga bisa mengalami iritasi. 2) Proctosigmoiditis 29
Jenis kolitis ulseratif yang mempengaruhi rektum dan kolon sigmoid. Seperti proctitis, gejala yang ditemukan yaitu perdarahan dan rasa urgensi. 3) Kolitis Distal (Left-side Colitis) Pada kolitis distal terjadi peradangan dimulai di rektum dan terus ke sisi kiri usus besar, kolon sigmoid, kolon desendens sampai dengan lentur lienalis. Gejala termasuk diare dengan darah dan lendir, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan dan sakit parah di sisi kiri perut. Frekuensi diare cenderung lebih sedikit yaitu kurang dari 6 kali sehari. 4) Extensive dan Pancolitis (Total Colitis) Pankolitis merupakan inflamasi dari proksimal ke lentur lienalis, biasanya sampai dengan usus buntu. Ketika kolitis ulseratif mempengaruhi sebagian besar kolon, akan menyebabkan frekuensi diare yang sangat sering dengan darah dan lendir. Jika peradangan parah penderita bisa mengalami diare 20 kali sehari, dan bisa mengarah pada dehidrasi. Gejala lain yang dijumpai seperti sakit perut (parah), kram, demam, dan penurunan berat badan. Sangat jarang ketika peradangan parah, gas dapat terjebak dalam usus besar menyebabkan bengkak, dikenal sebagai megakolon toksik. Megakolon toksik menyebabkan demam tinggi, rasa sakit dan nyeri di perut.
Gambar Klasifikasi Kolitis Ulseratif Klasifikasi berdasarkan penyebab (Nizam Usman, 260 hal. 370: 1) Kolitis infeksi misalnya shigelosis, kolitis tuberkolusa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus atau bakteri atau parasit lain. 2) Kolitis non-infeksi misalnya kolitis ulseratif, penyakit Chron’s, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (sample colitis). Klasifikasi berdasarkan tipe klinis: 1) Kolitis ulseratif akut fulminan ditandai oleh awitan mendadak disertai diare berdarah, nausea, muntah-muntah yang hebat, demam prognosis jelek dan sering terjadi komplikasi mengakolon toksik.
30
2) Kolitis ulseratif kronik intermitten (rekuren): Timbulnya cenderung pelanlean selama berbulan-bulan sampai bertahun- tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan berlangsung 1 – 3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada demam diare mungkin ringan, perdarahan ringan dan intermiten biasanya hanya colon bagian distal yang terserang. 3) Kolitis ulseratif kronik kontinyu: Demam dan gejala-gejala sistemik dapat timbul pada bentuk yang lebih berat dan serangan berlangsung 3 atau 4 bulan pada keadaan ini penderita diare terus-menerus colon yang terserang cenderung lebih luas. 2.3.2 Etiologi Diduga ada predisposisi genetik karena insidensi yang meningkat pada anggota keluarga tingkat pertama, prevalensi yang lebih tingi pada penelitian kembar monozigot vs dizigot dan pada penelitian pendatang. Prevalensi meningkat (10%) pada keluarga dihubungkan dengan fenotipe HLA-B27. Beberapa etiologi: 1) Hipersensitifitas terhadap faktor lingkungan dan makanan 2) Interaksi imun tubuh dan bakteri yang tidak berhasil (awal terbentuknya ulkus) 3) Stress pada peningkatan asam lambung. 4) Polyps rektokolon 5) Intususepsi ileokolon 6) Inflamasi : Lymphoplasmacytic, eoshinophilic, granulopmatous, histiocytic 7) Neoplasia : Lymphosarcoma, Adenocarcinoma 8) Sindrom iritasi usus besar (Irritable Bowel Syndrome) 2.3.3 Manifestasi Klinis Gejala klinis kolitis ulseratif dapat diamati dari berbagai gangguan yang diakibatkan dari penyakit tersebut. Gejala utama adalah diare dan ditemukan darah yang berwarna merah terang pada feses dengan frekuensi sering (antara 4 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah, akibat adanya iritasi rektum yang meradang. Gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan. Proktitis ditandai dengan gejala tenesmu, urgensi dan feses lembek bercampur darah serta lendir. Hal sebaliknya terjadi pada kolitis sisi kiri atau pankolitis, pada kondisi tersebut dapat ditemukan diare berdarah dan sakit perut secara bermakna. Sebagian besar pasien akan datang dengan riwayat gejala selama beberapa minggu, dan maka dari itu kegagalan pertumbuhan jauh lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan penyakit 31
Crohn. Tingkat keterlibatan mukosa kolon dan tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan manifestasi klinis dari kolitis ulseratif. Tanda dan gejala kolitis ulseratif : Kolon Perdarahan rektum Diare Tenesmus Inkontinensia fekal Kram perut bagian bawah Nyeri pada saat defekasi nyeri hilang setelah defekasi Iritasi peritoneum
Sistemik Kelelahan Demam Anoreksia Ketidakseimbangan elektrolit Penurunan berat badan (kehilangan berat badan 5-10 kg dalam 2 bulan) Takikardia Anemia Peningkatan LED Leukositosis Flatulensi Retardasi pertumbuhan
Tingkatan gangguan pada kolon berhubungan dengan manifestasi klinik dari kolitis ulseratif. Ringan (mild) Sedang-berat Fulminan (moderate/severe) Buang air besar 4 Buang air besar ≥ 5 Perdarahan lebih jelas kali per hari kali per hari tiap hari Adanya darah Adanya darah dalam Demam lebih dari 38º dalam feses setiap feses setiap hari C Dengan atau tanpa Takikardi hari Hemoglobin ≤ 8 gr/dl Tidak ada gejala gangguan sistemik Serum albumin ≤ 3,0 sistemik gr/dl
32
2.3.4 Patofisiologi Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala umum berupa demam, bias ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat badannya berkurang.Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang dari lapisan mukosa kolon dan rectum. Penyakit ini 33
umumnya mengenai orang kaukasia, termasuk keturunan Yahudi. Puncak insidens adalah pada usia 30-50 tahun. Kolitis ulseratif adalah penyakit serius, disertai dengan komplikasi sistemik dan angka mortalitas yang tinggi. Akhirnya 10%-15% pasien mengalami karsinoma kolon. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superfisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan epitelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek dan menebal akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak Makroskopik: Hanya mukosa yang terlibat dengan ulserasi superfisial, eksudasi dan pseudopoliposis. Histologis: Abses kriptus, polip yang meradang dan jaringan granulasi yang kaya vaskularisasi. Displasia epitel pada penyakit lama.
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang Kolitis ulseratif bisa sulit untuk didiagnosis karena gejala yang mirip dengan gangguan usus lainnya dan penyakit Crohn. Perbedaan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif bahwa pada penyakit Crohn menyebabkan peradangan lebih dalam di dinding usus dan dapat terjadi di bagian lain dari sistem pencernaan, termasuk usus halus, mulut, kerongkongan. Pasien yang diduga kolitis ulseratif dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan riwayat medis pada angkah pertama dalam mendiagnosis, selanjutnya diikuti oleh satu atau lebih tes dan prosedur.
34
1) Riwayat medis Perjalanan tanda dan gejala, onset usia, keparahan gejala, kemungkinan pemicu flare up yang diperoleh. Riwayat keluarga dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota keluarga yang pernah mengalami kolitis ulseratif. 2) Pemeriksaan fisik Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik pasien. Kesehatan umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan nyeri abdomen. 3) Tes darah Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Tes darah rutin membantu untuk mendeteksi anemia yang dapat menjadi indikasi adanya perdarahan di kolon atau rektum, atau untuk mengetahui jumlah sel darah putih yang tinggi (tanda peradangan di suatu tempat di tubuh). Ada dua tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan peradangan, merupakan tes non spesifik namun dan dapat memberikan hasil positif jika ada infeksi dalam tubuh. 4) Antibody markers and in-depth blood tests Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh sebagai bagian dari proses peradangan. Pengujian meliputi Perinuklear Anti-neutrofil Antibodies (pANCA) dan AntiSaccharomyces Cerevisiae Antibodi (ASCA). Antibodi ini disebut biomarker. Banyak pasien dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA dalam darah mereka sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk memiliki ASCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi mungkin positif pada pasien tanpa penyakit kolitis ulseratif. 5) Tes tinja Petugas medis akan memberikan pasien wadah untuk menampung dan menyimpan tinja. Sampel dikirim ke laboratorium untuk analisis. Sampel juga memungkinkan petugas medis untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi pada kolon atau rektum yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit. 6) Sinar X barium enema Suatu larutan Barium diberikan kepada pasien untuk diminum sebelum sinar X abdomen dilakukan. Senyawa radio-opak akan muncul di sinarX, garis-garis besar dinding usus dapat terlihat dengan jelas. Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan
35
iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus. Hal ini dapat membantu dalam diagnosis. 7) Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa kolitis ulseratif. Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan luasnya peradangan usus. Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan seluruh usus besar, sementara sigmoidoskopi fleksibel digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih rendah. Ini melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan kamera pada ujungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang menyakitkan dan dilakukan dengan sedasi . Biasanya diperlukan waktu sekitar 15 menit sampai setengah jam untuk menyelesaikan. Gambar-gambar dari dinding usus ditransmisikan ke komputer, dokter bisa melihat bagian dalam dinding usus. Sigmoidoscope ini hanya mampu melihat rektum dan bagian bawah usus besar sementara kolonoskopi meliputi seluruh usus sampai persimpangan ileocecal. Tes ini melayani tujuan lain mengesampingkan kondisi usus lain dengan gejala serupa termasuk kanker usus. 8) EGD (Esophagogastroduodenoscopy) yang menggunakan prinsip yang sama untuk memeriksa lapisan kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam mengesampingkan penyakit Crohn karena kondisi ini dapat mempengaruhi saluran pencernaan bagian atas juga. Kapsul enteroscopy menggunakan kapsul kecil dengan sensor dan kamera yang diambil sebagai pil dan yang mentransmisikan gambar dari dalam usus. 9) ER (Endoscopic retrograde cholangiopancreatography) adalah tes lain yang meneliti saluran empedu di hati dan saluran pankreas. Hal ini membantu untuk menyingkirkan primary sclerosing cholangitis (PSC) yang terlihat pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif. 10) CT scan CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi komplikasi kolitis ulseratif termasuk abses, fistula, dan penyumbatan usus. Ini juga dapat membantu mendiagnosa kanker usus. Temuan-temuan kolitis ulseratif dapat diperoleh dari pemeriksaan endoskopi atau radiologi kolon, pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi lebih sensitif untuk penyakit ringan dan memberikan peluang untuk sekaligus melakukan biopsy. Evaluasi ultrasonografi ketebalan usus merupakan pemeriksaan yang dapat diandalkan, merupakan modalitas pencitraan non invasif untuk diagnostik dan follow-up klinis pasien IBD. Penggunaan kombinasi kalprotectin feses, ASCA/PANCA, dan pengukuran ultrasonografi
36
dinding adalah strategi pengambilan keputusan klinis yang berguna. Jika hasil tes positif, pasien kemudian akan menjalani evalusai lengkap. Derajat kolitis ulseratif berdasarkan pemeriksaan endoskopi. a. Tahap 0: kapal mukosa sedikit tertekuk, pucat b. Tahap 1: eritema, sedikit granularitas c. Tahap 2: individu ulserasi, tidak ada kapal terlihat, perdarahan spontan d. Tahap 3: ulserasi lebih besar, perdarahan spontan, edema mukosa Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari haustras; pada tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra. Lebih dalam borok dapat merusak mukosa, yang menyebabkan pengembangan ulserasi khas. Evaluasi dengan kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas dan beratnya persentasi kolitis ulseratif. Prosedur pemeriksaan sigmoidoskopi dapat membantu untuk menemukan adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan kolon, saat disentuh dapat juga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema pada stadium dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus yang berisi barium berbulu.
Gambar jenis Sigmoidoscopy 2.3.6 Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan spesifik untuk Kolitis ulseratif, tujuan terapi adalah mengatasi peradangan, mempertahankan status gizi penderita, meringankan gejala dan mencegah infeksi. 1) Terapi obat Pengobatan untuk kolitis ulseratif tergantung pada beratnya penyakit. Masing-masing individu memiliki pengalaman kolitis ulseratif yang berbeda, sehingga pengobatan disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat adalah untuk mendorong dan mempertahankan 37
remisi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa jenis obat-obatan yang tersedia. a. Aminosalicylates Kelas obat yang mengandung Asam 5-aminosalicyclic (5-ASA), membantu mengontrol peradangan. Sulfasalazine adalah kombinasi dari sulfapyridine dan 5-ASA. Komponen sulfapyridine membawa antiinflamasi 5-ASA ke usus. Namun, sulfapyridine dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen yang lain dari 5-ASA seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa yang berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orangorang yang tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara oral, melalui enema, atau supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon. Kebanyakan pasien kolitis ulseratif tingkat mild atau moderate diberikan kelompok obat ini. Kelas obat ini juga digunakan dalam kasus kekambuhan. b. Kortikosteroid Kelas obat seperti prednisone, methylprednisone dan hidrokortisone juga mengurangi peradangan. Kelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif yang memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5-ASA. Kortikosteroid juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral , intravena, melalui enema, atau dalam supositoria tergantung pada lokasi peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping seperti kenaikan berat badan, jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati, kehilangan massa tulang dan resiko infeksi. Kelas obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk penggunaan jangka pendek. c. Immunomodulators Kelas obat seperti azathioprine dan 6-mercapto-purine (6-MP) mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Obat ini digunakan untuk pasien yang tidak merespon 5ASAs atau kortikosteroid atau ketergantungan pada kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secara oral, namun bereaksi secara lambat sehingga bisa memakan waktu hingga 6 bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang memakai obat ini harus dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis, berkurangnya jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. Siklosporin A dapat digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe kolitis ulseratif pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena.
38
Obat lainnya bisa diberikan untuk menimbulkan efek rileks pasien atau untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau infeksi. Beberapa orang memiliki remisi (periode ketika gejala hilang) selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Namun, sebagian sesar gejala pasien kembali. 2) Pembedahan Gejala kolitis ulseratif yang cukup parah mengakibatkan seseorang harus dirawat di rumah sakit. Misalnya, seseorang mengalami perdarahan berat atau diare berat sehingga dehidrasi. Dalam kasus tersebut harus ditangani untuk menghentikan diare dan kehilangan darah, cairan, dan garam mineral. Pasien mungkin perlu diet khusus, makan melalui pembuluh darah, obat-obatan, atau pembedahan. Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk dilakukan pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif, penyakit parah, pecahnya kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan merekomendasikan pemotongan kolon jika penatalaksanaan medis gagal atau jika efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam kesehatan pasien. Pembedahan untuk mengangkat kolon dan rektum, dikenal sebagai proctocolektomy, diantaranya sebagai berikut: a. Ileostomy Ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel di ileum. Feses dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma. Stroma terletak di bagian abdomen dekstra bawah. b. Ileoanal Anastomosis Pull-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan usus normal karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli bedah mengangkat kolon dan rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar rektum. Ahli bedah kemudian menempelkan ileum ke dalam rektum dan anus, menciptakan sebuah kantong. Feses atau kotoran disimpan dalam kantong dan melewati melalui anus dengan cara biasa. Frekuensi buang air besar mungkin lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan kantong (pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. 2.3.7 WOC WOC Kolitis Ulserativ terlampir pada lampiran 2. 2.3.8 Komplikasi Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis,
39
megakolon toksik (terutama pada kolitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan resiko terjadinya kanker karena Inflammatory Bowel Disease lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006). Kolitis ulseratif dapat menyebabkan masalah di luar usus. Beberapa penderita mendapatkan kondisi lain, terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan kulit. Kolitis ulseratif juga dapat mempengaruhi tulang, mulut, ginjal, hati, dan sirkulasi darah.
2.3.9 Prognosis Kolitis ulseratif merupakan masalah kronis yang membutuhkan pemantauan konstan kecuali dilakukan pembedahan, yang drastis tapi kuratif. Kolitis ulseratif biasanya ditemukan pada kelompok usia 20-40 tahun, namun bisa terjadi di semua usia. Usia diatas 65 tahun mortalitasnya lebih tinggi. Saat datang, 30% pasien memiliki penyakit terbatas pada rektum, dan 20% memiliki penyakit meluas. 2.3.10 Asuhan Keperawatan Umum 1) Pengkajian a. Biodata: Nama, usia, agama, alamat, MRS, diagnosa medis b. Anamnesa i. Keluhan utama: pada keluhan utama akan nampak semua apa yang dirasakan pasien pada saat itu seperti lemah karena kehilangan banyak cairan. ii. Riwayat kesehatan sekarang: riwayat kesehatan sekarang seperti diare. iii. Riwayat kesehatan masa lalu: riwayat kesehatan masa lalu akan memberikan informasi kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita. iv. Riwayat penyakit keluarga: c. Pemeriksaan Fisik
40
i. Mata: Pemeriksaan apakah terdapat iritis, konjungtivis, dan skleritis ii. Pemeriksaan tinja: Melihat adanya infeksi bakteri atau parasit iii. Muskuloskeletal: Turgor kulit buruk, lemah, pemeriksaan terhadap adanya artritis seronegatif iv. Pemeriksaan darah: melihat tanda-tanda peradangan aktif dan anemia v. Hepar: Pemeriksaan apakah terdapat hepatitis kronis aktif atau sirosis bilier primer dan batu empedu vi. Ekstremitas bawah: Periksa adanya piodema gangrenosum dan eritema nodusum vii. TTV: HR 120; RR 30 ; TD 100/60 d. Analisa data i. Data Subjektif: Mual, muntah, demam, penurunan berat badan, diare mengandung lendir, melena, dan pus. ii. Data Objektif: Anoreksia, Malaise umum, peristaltik meningkat, ketidakstabilan emosional. (Agus & Sri, 2009) 2) Diagnosa Keperawatan 1) Penurunan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif yang ditandai dengan kehilangan berat tubuh tiba-tiba. (00027) 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan penyerapan nutrisi ditandai dengan diare. (00002) 3) Intervensi Keperawatan 1. Penurunan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif yang ditandai dengan kehilangan berat tubuh tiba-tiba. (00027) NOC NIC Rasional Setelah dilakukan Fluid Balance, 1. Membantu intervensi keperawatan Deficient pemulihan 1. Berikan obat selama 2x24 jam klien sesuai preskripsi 2. Membantu diharapkan dokter klien dalam keseimbangan cairan 2. Awasi masukan pedoman normal dengan kriteria dan keluaran penggantian hasil (0601): cairan 2. Turgor kulit cairan 3. Masukkan cairan 3. Mengurangi normal melalui intravena 3. Adanya kestabilan risiko 4. Ukur berat badan berat badan kehilangan pasien setiap hari 4. Hematokrit cairan 5. Pantau normal 38-47 4. Mengetahui managemen ml/dl perkembang elektrolit klien 5. Tekanan darah an terapi 6. Catat TTV setiap 4 41
pada rentang normal 120/80 mmHg
jam
5. Memprediksi adanya masalah pompa jantung 6. Melihat kondisi terbaru klien saat terapi.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan penyerapan nutrisi ditandai dengan diare. (00002) NOC NIC Rasional Setelah dilakukan Nutrition 1. Mengurangi intervensi Management pengeluaran 1. Lakukan keperawatan selama cairan tubuh manajemen diare 2. Mengetahui 2x24 jam diharapkan 2. Ukur berat badan perkembangan status nutrisi klien klien setiap 8 masukan nutrisi sesuai dengan kriteria jam 3. Mengetahui hasil (1004): 3. Monitor keseimbangan 1. Masukan nutrisi masukan cairan cairan yang mencukupi klien dibutuhkan kebutuhan tubuh 4. Pantau 4. Mempercepat 2. Masukan cairan efektivitas dan penyembuhan maksimal efek samping 3. Berat badan stabil klien 4. Peningkatan dari antidiare, energi antibiotik, dan terapi steroid 3. Evaluasi 1) Klien menunjukkan TTV yang stabil 2) Klien menunjukkan turgor kulit normal 3) Klien menunjukkan intake dan output cairan yang seimbang 4) Klien menunjukkan penurunan frekuensi defekasi 5) Klien mengatakan bahwa konsistensi feses telah kembali normal. 2.3.11 Asuhan Keperawatan dengan Kasus 1) Kasus Ny. M (40th) sudah menikah bekerja paruh waktu sebagai kasir di pusat perbelanjaan, MRS dengan diagnosa medis pertama: kolitis ulseratif. Klien mengeluh diare dan lemas. Feses coklat, berair,
42
berdarah. Klien muntah 2x sehari dan BAB 10-20x per hari. TTV: HR 120; RR 30; TD 100/60.
2) Asuhan Keperawatan
43
a. Pengkajian 1) Identitas Nama : Ny. M Usia : 40 th Agama : Islam Pekerjaan : Kasir Status : Menikah Alamat : Surabaya MRS : 5 Oktober 2015 Diagnosa medis: Kolitis Ulseratif 2) Anamnesa Keluhan utama : Klien lemah karena banyak kehilangan cairan. Riwayat kesehatan sekarang : Diare. Kolitis ulseratif. Riwayat masa lalu : Riwayat keluarga : 3) Pemeriksaan fisik a. Bising usus: 40x/menit b. TTV: HR 120; RR 30; TD 100/60 c. Pemeriksaan feses: Berdarah, warna berubah & encer d. Turgor kulit buruk e. Muskuloskeletal: Lemas
44
b. Analisa Data No. 1.
2.
Data
Etiologi
DS: Klien mengatakan diare dan lemas. DO: peningkatan bunyi usus/ peristaltik, defikasi sering dan berair, perubahan warna feses. HR 112; RR 30; TD 100/66. DS: Klien mengatakan lemas. Terdapat darah pada feses dan muntah 2x sehari. BAB 10x15x sehari.
Infeksi kuman
DO: Respon cepat ketika dibangunkan. HR 120; RR 30; TD 100/60. Bising usus 40x/menit Turgor kulit buruk
Diare
Masalah Keperawatan
Penurunan volume cairan
Penurunan volume cairan Infeksi kuman BAB berair dan sering muntah
Ketidakseimbanagn kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Ketidakseimbanagn kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
c. Diagnosa Keperawatan 1) Penurunan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif yang ditandai dengan kehilangan berat tubuh tiba-tiba. (00027) 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan penyerapan nutrisi ditandai dengan diare. (00002) d. Intervensi 1. Penurunan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif yang ditandai dengan kehilangan berat tubuh tiba-tiba. (00027) NOC NIC Rasional Setelah diberikan 1. Observasi dan catat 1. Membantu asuhan keperawatan frekuensi defekasi, membedakan selama 2 x 24 jam karakteristik, penyakit individu diharapkan volume karakteristik, jumlah, dan mengkaji cairan pasien terkontol dan faktor pencetus. beratnya episode. 2. Observasi kulit kering 2. Menunjukan dengan outcome: berlebihan dan kehilangan cairan 1. Tanda vital stabil, membran mukosa, berlebihan/ dehidrasi. keseimbangan penurunan turgor masukan dan
45
keluaran dengan kulit, pengisisan urine normal kapier lambat. 3. identifikasi makanan 3. Menghindarkan iritan dalam konsentrasi dan meningkatkan dan cairan yang jumlah. istirahat usus. 2. Mempertahankan mencetus diare. 4. Memberikan istirahat 4. Mulai lagi pemasukan volume cairan kolon dengan cairan per oral secara adekuat menghilangkan atau bertahap. dibuktikan oleh menurunkan rangsang membran mukosa makanan/ cairan. lembab, turgor 5. Berikan kesempatan 5. Adanya penyakit kulit baik, dan untuk menyatakan dengan penyebab tak pengisian kapiler frustasi sehubungan diketahui sulit untuk baik. dengan proses sembuh dan yang penyakit. memerlukan intervensi bedah dapat menimbulkan reaksi stress yang dapat memperburuk situasi 6. Observasi demam, 6. Tanda bahwa toksik takikardia, letargi, megakolon atau leukositosis, perforasi dan penurunan protein peritonitis akan terjadi/ serum, ansietas, dan telah terjadi kelesuan. memerlukan intervensi medik segera. 7. Memberikan obat 7. Membantu sesuai indikasi kesembuhan pasien.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan penyerapan nutrisi ditandai dengan diare. (00002)
46
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan status nutrisi pasien terkontol dengan kriteria hasil: 1. penurunan frekuensi defekasi, konsistensi kembali normal 2. Energi meningkat, aktivitas kembali normal
1. Awasi masukan dan keluaran, karakter, dan jumlah feses; perkirakan kehilangan yang tak terlihat.
2. Ukur berat badan tiap hari. 3. Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring; hindari kerja
4. Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk adanya darah samar.
5. Catat kelemahan otot umum atau disritmia jantung.
6. Berikan cairan parenteral, tranfusi darah sesuai indikasi.
7. Awasi hasil laboratorium.
8. Berikan obat sesuai indikasi.
1. Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan control penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan. 2. Indikator cairan dan status nutrisi. 3. Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan kehilangan cairan usus. 4. Diet tidak adekuat dan penurunan absorpsi dapat menimbulkan defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi, potensial resiko perdarahan. 5. Kehilangan usus berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit. 6. Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan untuk memperbaiki kehilangan/anemia. 7. Menentukan kebutuhan pergantian dan keefektifan terapi. 8. Membantu kesembuhan pasien.
47
e. Evaluasi 1) Klien menunjukkan TTV yang stabil 2) Klien menunjukkan turgor kulit normal 3) Klien menunjukkan intake dan output cairan yang seimbang 4) Klien menunjukkan penurunan frekuensi defekasi 5) Klien mengatakan bahwa konsistensi feses telah kembali normal.
48
BAB 3 KESIMPULAN Penyakit inflamasi usus termasuk penyakit Chrons dan kolitis ulseratif. Keduanya ini merupakan kondisi penyakit otoimun dengan penyebab yang tidak diketahui, disertai aktivasi sitokin pro-inflamatori yang menyebabkan jaringan parut dan inflamasi jaringan. Kedua gangguan ini sangat dipengaruhi genetik dan diperparah dengan stres. Membedakan kolitis ulseratif dengan penyakit Chrons mungkin sulit dilakukan; pada 10% kasus tidak dibuat diagnosis diferensial. Etiologi kedua penyakit ini tidak diketahui meskipun penelitian sekarang memusatkan perhatiannya pada penyebab genetik, imunologi, diet, dan infeksi. Colitis ulseratif merupakan suatu penyakit menahun di usus besar mengalani peradangan dan luka,yang menyebabkan diare berdarah,kram perut dan demam.colitis ulseratif bisa dimulai pada umur berapapun,tapi biasanya dimulai antara umur 15-30 tahun. Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun factor keturunan dan respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus,diduga berperan dalam terjadinya colitis ulseratif. Kebanyakan gejala Colitis ulseratif pada awalnya adalah berupa buang air besar yang lebih sering. Gejala yang paling umum dari kolitis ulseratif adalah sakit perut dan diare berdarah. Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi kronis di usus yang ditandai dengan peradangan di semua saluran gastrointestinal. Kelainan ini terutama mengenai lapisan sub mukosa dan usus halus dan usus besar. Penyakit Corhn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik yang melibatkan bagian seluruh saluran pencernaan yang mana saja mulai dari mulut sampai anus.
49
DAFTAR PUSTAKA Baughman, Diane C & JoAnn. C Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC Berhman, Kliegman, & Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II Ed. 15. Jakarta : EGC Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta:EGC Daavey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 108. Grace, Pierce A & Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 111 Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga Priyanto, Agus, & Sri Lestari. 2009. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 93-95 Rubenstein, David, David Wayne, & John Bradley. 2003. Kedokteran Klinis Edisi 6. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal: 257 dan 260
50
Lampiran 1 WOC Enteritis Regional (Crohn’s Disease)
Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OA
Respon peningkatan progresifitas enteritis regional
Malabsorpsi
Enteritis regional
Jaringan parut dan pembentukan granumola
ukan fistula enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atauPenyempitan enterokutaneous lumen intestinal Respons psikologis Gangguan Penurunan gastrointestinal absorpsi nutrisi dan asam folat
Kecemasan Gangguan transportasi makanan Mual, muntah, kembung, diare, anoreksia Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit Intervensi bedah total kolektomi dan ileostomi Kram abdomen
Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output cairan berlebih Frekuensi BAB meningkat Nyeri Preoperatif
Pascaoperatif
Kekuatan jaringan pascabedah
Port de Ketidakseimbangan entree pascabedah nutrisi kurang dari kebutuhan Ketidakseimbangan Diare cairan dan elektro ons psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan Perdarahan
Risiko infeksi
Kekurangan volume cairan
51 jalan napas Kecemasan Pemenuhan Informasi Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan Penurunan kemampuan batuk efektif
Lampiran 2 WOC Kolitis Ulserativ
Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OA
Respon peningkatan progresifitas enteritis regional
Malabsorpsi
Enteritis regional
Jaringan parut dan pembentukan granumola
ukan fistula enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atauPenyempitan enterokutaneous lumen intestinal Respons psikologis Gangguan Penurunan gastrointestinal absorpsi nutrisi dan asam folat
Kecemasan Gangguan transportasi makanan Mual, muntah, kembung, diare, anoreksia Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit Intervensi bedah total kolektomi dan ileostomi Kram abdomen
Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output cairan berlebih Frekuensi BAB meningkat Nyeri Preoperatif
Pascaoperatif
Kekuatan jaringan pascabedah
Port de Ketidakseimbangan entree pascabedah nutrisi kurang dari kebutuhan Ketidakseimbangan Diare cairan dan elektro ons psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan Perdarahan
Risiko infeksi
Kekurangan volume cairan
Kecemasan Pemenuhan Informasi Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan 52 jalan napas Penurunan kemampuan batuk efektif