MINGGU, 19 JANUARI 2014
Dua Cerita Pendek Cerpen Etgar Keret
Apa yang Kita Miliki di Dalam Saku?
Mystique LELAKI yang tahu apa yang akan kukatakan duduk di sampingku di dalam pesawat, seulas senyum dungu menyilangi wajahnya. Ini hal yang menyebalkan tentangnya, fakta bahwa ia tidak cerdas atau bahkan sensitif, meskipun begitu ia tahu kalimat tersebut dan memutuskan untuk mengatakannya, seluruh kalimat yang aku ingin mengatakannya, tiga detik sebelumku. ‘’Apakah kamu menjual Guerlain Mystique?’’ Ia bertanya kepada pramugari semenit sebelum aku bisa melakukannya, dan si pramugari memberinya seulas senyum sempurna dan memberitahu hanya tersisa satu botol saja. ‘’Istriku tergila-gila dengan parfum ini. Seperti kecanduan baginya. Jika aku pulang dari satu perjalanan dan tak mengambil satu botol Mystique dari toko bebas-pajak, ia bilang aku tak lagi mencintainya. Jika aku berani masuk rumah tanpa satu botol pun, aku dalam masalah.’’ Itu seharusnya menjadi katakataku, tetapi si lelaki yang tahu apa yang akan kukatakan mencurinya dariku. Ia tak melewatkan satu kata pun. Sesegera roda-roda pesawat menyentuh landasan, ia menyalakan telepon genggamnya, sedetik sebelum aku melakukan itu, dan menelepon istrinya. ‘’Aku baru mendarat,’’ ia memberitahu. ‘’Maaf. Aku tahu seharusnya kemarin. Mereka membatalkan penerbangannya. Kamu enggak percaya? Cek sendiri saja. Telepon Eric. Aku tahu kamu enggak percaya. Aku bisa memberimu nomor teleponnya sekarang juga.’’ Aku juga kenal seorang pegawai agen perjalanan bernama Eric. Yang juga mau berbohong untukku. Ketika pesawat mencapai gerbang ia masih menelepon, mengatakan semua jawaban yang juga akan kukatakan. Tanpa jejak emosi, seperti seekor kakaktua di sebuah dunia tempat waktu berjalan mundur, menirukan kata-kata yang hendak dikatakan dan bukannya yang telah dikatakan. Jawabannya
merupakan kemungkinan terbaik dalam keadaan seperti itu. Keadaannya tidaklah buruk, sama sekali tak buruk. Keadaanku juga tidak hebat-hebat amat. Istriku belum mengangkat teleponku, tetapi dengan mendengarkan si lelaki yang tahu apa yang akan kukatakan membuatku ingin menutup telepon. Dengan mendengarkannya aku bisa bilang bahwa lubang dimana aku berada sangatlah dalam sehingga jika aku mencoba mengeluarkan diriku, aku akan masuk ke kenyataan yang berbeda. Ia tak pernah memaafkanku, ia tak pernah memercayaiku. Tak pernah. Sejak sekarang, setiap perjalanan akan berarti neraka di atas bumi, dan
waktu di antara perjalanan-perjalanan itu bahkan bisa lebih buruk. Lelaki itu terus bicara dan bicara di telepon, mengatakan kalimat-kalimat yang kupikirkan dan belum kukatakan. Kalimat-kalimat itu seperti mengalir saja ke dirinya. Sekarang ia makin cerewet, nada suaranya meninggi, seperti orang tenggelam yang susah-payah mencoba terus mengambang. Orang-orang mulai meninggalkan pesawat. Ia berdiri, terus bicara, menenteng laptopnya dengan tangannya yang lain, dan berjalan ke pintu keluar. Aku melihatnya meninggalkan sesuatu, tas yang ia jejalkan di bagasi atas. Aku tahu ia melupakannya, dan aku tak menga-
Goen ’’Wayang Mbeling’’
Sang Pendobrak Fenomena Oleh Darminto M Sudarmo artunis Goen (Goenawan Pranyoto) pertama saya kenal pada kisaran 1982-an. Saat itu, petang hari, bersamaan dengan pameran kartun yang sedang diselenggarakan di Balai Wartawan, GOR Semarang. Yehana SR, pegiat kartun di Semarang yang memperkenalkan kami. Goen ditemani istrinya, Endang Hima. Pria kalem dan pemalu itu terlihat sangat segar, gagah dan klimis. Bahkan mereka berdua masih tampak seperti pasangan pengantin baru. Jauh waktu sebelum perkenalan itu saya telah melihat karya-karya kartun Goen yang dimuat di Minggu Ini (Suara Merdeka Edisi Minggu). Melihat karakter goresannya yang khas dan beda dari kartunis manapun, saya mencoba mencermati perkembangannya dari waktu ke waktu. Fakta yang kemudian saya dapati adalah sesuatu yang mengagetkan. Ternyata sangat banyak kartunis pemula, termasuk Jitet Koestana (pada awal belajarnya), yang terpengaruh (baca: terinspirasi) gaya goresan maupun sosok penokohan ala Goen. Seperti bom virus fenomena, pengaruh gaya kartun Goen nyaris menjadi pembangkit semangat bagi para kartunis muda yang belum menemukan stilisasi dan karakter dirinya. Ada yang mempertanyakan, bukankah gejala itu bisa jadi hanya euforia dan kelatahan belaka? Dalam proses studi, gejala demikian lazim saja terjadi. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena pada perkembangan berikutnya para kartunis muda itu toh akhirnya menemukan jalannya sendiri. Menemukan kearifannya sendiri. Plesetan Verbal Tahap-tahap berikutnya, saya melihat Goen makin mendapatkan tempat di hati penggemarnya ketika ia mulai menggarap ilustrasi ‘’Wayang Mbeling’’ di Minggu Ini maupun majalah MOP. Tak terkecuali cerita rakyat atau legenda yang disentuh secara nakal dan karikatural di majalah yang sama. Kekuatan
K
yang menonjol dari Goen bukan semata karena kekuatan teknis menggambarnya yang unik dan menggelitik, tetapi juga lelucon-lelucon verbalnya (teks) yang kaya plesetan dan konteks dengan nuansa budaya masyarakat Semarang pada zamannya. Ia, misalnya, acap ‘’mengeksploitasi’’kata-kata: canggih, akurat, greget secara berulang-ulang namun tetap tune in ketika itu diproyeksikan dengan konteks cerita dan ilustrasi yang ada. Plesetan ala Goen yang lain, misalnya dia menggambarkan seorang murid (dengan seragam kedodoran) yang sedang diceramahi gurunya dengan ucapan, ‘’Bengtul-bengtul Pak Gulu....’’ Di rubrik ‘’Wayang Mbeling’’Minggu Ini, dua tokoh personafikasi yang paling sering muncul adalah pria gendut botak berkumis tebal, berkaca mata hitam satu bak bajak laut (karikatur dirinya sendiri) dan pria dengan dagu terpiuh ekstrem, dada kerempeng, berkumis tipis bak Patih Sengkuni (karikatur Yehana SR). Kedua tokoh ini yang menjadi pengacau logika tokoh inti (lakon) yang termuat dalam cerita wayang mbeling edisi bersangkutan. Sesekali muncul tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, namun itu disesuaikan dengan relevansi cerita yang ada. Menggambar dengan Tangan Kiri Sesekali Goen juga mendapat tugas membuat ilustrasi cerpen di Minggu Ini. Ekspresinya bermacam-macam. Kadang ia menggambar secara realis, abstrak, surealis atau mix-media (salah satu cerpen saya pernah diberi ilustrasi foto saya yang difotokopi, lalu digabung dengan coretan-coretan tertentu). Saat lain, kalau perasaan jenuh sedang merasuki dirinya, ia lalu menggambar total ilustrasi dengan tangan kiri. Maka efek bentuk dan garis yang muncul dalam gambar itu sangat berbeda dari karakter Goen umumnya. Ia memberi inisial gambar itu dengan nama IAN (anak sulungnya yang saat itu masih kecil).
Goen bukan tipe kartunis penggambar cepat. Ia sangat intens dan mengalir sesuai suasana hati yang dirasakannya. Saat membuat skets misalnya, kadang ia merasa perlu berhenti sebentar. Merokok atau minum kopi. Atau jalan-jalan keluar rumah beberapa saat. Kalau di sekitarnya kebetulan ada kawan atau orang lain yang menemani, maka waktu jeda itu ia gunakan untuk ngobrol ala kadar atau guyon sejenak. Bahkan setelah gambar jadi pun, untuk finalisasi teksnya ia perlu membuat garis pensil terlebih dulu agar hurufhuruf atau kata yang tertuang di ilustrasi terlihat rapi dan nyeni. Untuk tebal tipisnya huruf, ia juga perlu melakukan tindasan tinta (spidol) berkali-kali. Karya-karya Goen terpenting dan puncak, baik ilustrasi Wayang Mbeling maupun komik kartunal lainnya, banyak terlahir ketika ia dan keluarga menghuni rumahnya di Tanah Mas, Semarang. Selain pagi hari rajin masuk kantor (PT Masscom Graphy, Suara Merdeka Group), malam harinya Goen nyaris tak pernah melewatkan waktu untuk membuat gambar. Maka ketika akhir tahun 2006 Goen dan kartunis Koesnan Hoesie berkesempatan singgah ke rumah saya di Meteseh, Tembalang, saya melihat artikulasi bicara Goen sudah agak samar dan cara berjalannya agak lain, salah satu kakinya diseret, saya mulai mencemaskan kesehatannya itu. Terlebih-lebih, mencemaskan karya-karya barunya yang mungkin tak maksimal lagi. Ternyata waktu kemudian mencatat, tahun-tahun sesudahnya Goen bahkan ditaklukkan oleh penyakit stroke yang menderanya, sehingga ia tidak dapat berkarya sama sekali hingga ajal menjemputnya pada 13 Januari 2014. Penghargaan Empu Kartun Sebenarnya peristiwa penting yang diselenggarakan oleh Semarang Art Festival 2010 pada Sabtu (23 Oktober 2010) malam dengan penganugerahan gelar Empu dan Panglima Kartun Indonesia telah memberikan indikasi positif bagi pemulihan semangat Goen. Ia mendapatkan penghargaan sebagai Empu Kartun bersama dengan tiga gelar Panglima Kartun yang diberikan
takan apa pun. Aku hanya diam saja. Perlahan pesawat mulai kosong, hingga yang tersisa hanyalah seorang perempuan religius gembrot dengan sejuta anak, dan aku. Aku berdiri dan membuka penutup bagasi atas, bagaikan itu merupakan hal paling alamiah untuk dilakukan. Kuambil tas toko bebas-pajak, seolah itu selalu milikku. Di dalamnya struk dan botol Guerlain Mystique. Istriku tergila-gila parfum ini. Seperti kecanduan baginya. Jika aku pulang dari satu perjalanan dan tak mengambil satu botol Mystique dari toko bebas-pajak, ia bilang aku tak lagi mencintainya. Jika aku berani masuk rumah tanpa satu botol pun, aku dalam masalah.
kepada GM Sudarta ‘’Oom Pasikom’’, Pramono R Pramoedjo ‘’Si Keong’’, dan Dwi Koendoro ‘’Panji Koming’’. Namun apa daya, rupanya takdir berkehendak lain. Goen boleh pergi meninggalkan kita semua, tetapi jejak ‘’emas’’yang ditinggalkannya tak akan pernah dapat dilupakan. Di Semarang dan sekitarnya, bahkan mungkin Jawa Tengah, kartun Goen telah menancapkan eksistensi khas yang tak tergantikan oleh kartunis lain. Bagi saya, ia justru sosok pendobrak fenoma dalam dunia perkartunan Indonesia yang membumi. Semangat lokalnya justru memperkuat jati diri kebangsaannya. Seluruh karyanya, nyaris tidak tergiur, tergoda oleh pengaruh dan kekenesan gaya kartun asing (barat). Pada 1996-an, kartunis Non-O S Purwono, saya, Kaki Numa (direktur Japan Foundation Asia Tenggara) dan Prof Shimizu (sejarawan kartun Jepang) duduk semeja di kantor Japan
SEBUAH pemantik api, obat batuk, selembar perangko, sebatang rokok yang agak gepeng, tusuk gigi, sapu tangan, bolpoin, dua koin lima shekel. Itu hanya sebagian dari yang kumiliki di dalam saku. Adakah keanehan dengan itu? Beberapa orang menyebut soal ini. Mereka berkata, ‘’Benda sialan apa yang kamu miliki di dalam saku?’’ Seringkali aku tak menjawabnya, aku hanya tersenyum, kadang aku bahkan memberi tawa pendek dan ramah. Seolah-olah seseorang mengatakan sejenis lelucon. Jika mereka mendesak dan bertanya lagi, aku mungkin memperlihatkan apa pun yang kumiliki, aku bahkan menerangkan kenapa aku membutuhkan semua barang itu selalu berada di saku. Tapi mereka tak melakukannya. Begitulah, seulas senyum, tawa pendek, kebisuan yang bikin canggung, dan kamu melanjutkan percakapan dengan subjek yang lain. Kenyataannya semua yang kumiliki di dalam saku dengan hati-hati kupilih sehingga aku selalu merasa siap sedia. Semuanya di sana sehingga aku bisa selalu dalam keadaan yang menguntungkan di saat yang menentukan. Sebenarnya, itu tidak tepat benar. Semuanya ada di sana sehingga aku tak perlu berada di dalam keadaan menguntungkan di saat yang menentukan. Sebab keuntungan macam apa yang bisa diberikan sebatang tusuk gigi kayu atau selembar perangko kepadamu? Tapi jika, sebagai contoh, seorang gadis cantik, sebenarnya, tidak perlu cantik, cukup menarik saja, seorang gadis dengan wajah biasa dengan senyum menggoda yang membuatmu berhenti bernapas, memintamu selembar perangko, atau bahkan tidak meminta, hanya berdiri di pinggir jalan di samping kotak pos merah di malam yang hujan dengan amplop tanpa perangko di tangannya dan bertanya-tanya apakah kamu tahu dimana ada kantor pos buka di waktu seperti itu, dan kemu-
Foundation Jakarta. Dalam rangka mencari kartunis potensial Semarang yang layak diberangkatkan ke Jepang, saya dimintai nama-nama yang sesuai untuk itu. Saya hanya memberikan tiga nama: Goenawan Pranyoto, Prie GS, dan Koesnan Hoesie. Satu per satu dicermati oleh Kaki Numa. Ternyata kriteria kartunis yang dapat diberangkatkan ke Jepang adalah kartunis yang tugas sehari-harinya menggambar political cartoon atau editorial cartoon di media bersangkutan. Saya agak berdebat beberapa saat dan meyakinkan Kaki Numa bahwa Goenawan Pranyoto memiliki kompetensi dan senioritas sangat memadai. Kaki Numa dapat memahami itu tetapi tampaknya ia tak dapat melanggar kriteria yang telah ada, sehingga di kemudian hari kartunis Semarang yang diberangkatkan awal adalah Prie GS (Harian Suara Merdeka) dan Koesnan Hoesie (Harian Sore Wawasan) pada tahun berikutnya.
dian sedikit batuk karena ia kedinginan, terutama juga putus asa, sebab jauh di dalam hatinya ia tahu tak ada kantor pos buka di wilayah tersebut, tentunya tidak di jam seperti itu, dan di waktu seperti itu, waktu yang menentukan, ia tak akan berkata, ‘’Benda sialan apa yang kamu miliki di dalam sakumu,’’ tetapi ia akan sangat berterima kasih untuk prangko tersebut, bahkan mungkin tak hanya berterima kasih, ia akan mengeluarkan senyum yang menggoda itu, senyum menggoda untuk selembar prangko, aku bersedia melakukan transaksi itu kapan pun, bahkan meskipun harga prangko melonjak dan harga senyum anjlok. Setelah tersenyum, ia akan berterima kasih dan batuk lagi, sebab udara dingin, terutama juga karena ia sedikit jengah. Dan aku akan menawarinya obat batuk. ‘’Apa lagi yang kamu miliki di dalam saku?’’ ia akan bertanya, dengan ramah, tanpa kata sialan dan tanpa ungkapan tak enak, dan aku akan menjawab dengan segera, Apa pun yang kamu perlukan, Cintaku. Apa pun yang kamu perlukan. Jadi sekarang kamu tahu. Itulah yang aku miliki di dalam saku. Satu kesempatan janganlah disia-siakan. Satu kesempatan kecil. Tidak besar, bahkan yang tidak memungkinkan. Aku tahu itu, aku tidak bodoh. Kesempatan mungil, katakanlah begitu, yang ketika hal membahagiakan muncul, aku bisa bilang ya untuk itu, dan bukan ‘’Maaf, aku tak punya rokok/tusuk gigi/koin untuk mesin soda.’’ Itulah yang kumiliki di salam saku, penuh dan berjejalan, satu kesempatan mungil untuk mengatakan ya dan bukannya tidak. (62) — Etgar Keret, lahir di Tel Aviv pada 1967, salah seorang penulis Israel terkemuka saat ini. Kedua cerpen di atas diambil dari kumpulan Suddenly, A Knock on the Door (2010), diterjemahkan Eka Kurniawan.
Kirimkan cerpen, sajak, esai budaya, dan biodata Anda ke
[email protected].
Lingkaran Sahabat Goen tampaknya tak hirau-hirau amat tentang peluang yang belum memihaknya itu. Ia tetap berkarya tanpa mengurangi kadar keasyikannya. Mengenang Goen kita tak dapat menafikan peran sahabat-sahabat dekatnya seperti Yehana SR, dr Bimo Bayuaji, Odios, Eddy Pokal (almarhum), Prie GS, Imbeng, Koesnan Hoesie, dan Handry TM. Dalam atmosfer para sahabat itulah kreativitas Goen terasah dan diasah. Atmosfer yang dipenuhi suasana kejenakaan dan bahkan cengengesan. Tak heran bila dalam masa sakitnya, Goen kadang terlihat sering tertawa sendiri mengenang masamasa penuh kegembiraan itu. Akhirnya, selamat jalan Mas Goen, semoga kau berbahagia di tempatmu yang baru! (62) — Darminto M Sudarmo, sahabat dan kawan bergaul Goenawan Pranyoto