BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ilmu perkembangan
pengetahuan yang
luar
dalam biasa.
bidang
rekayasa
Perkembangannya
genetika
mengalami
diharapkan
mampu
memberikan solusi atas berbagai permasalahan baik dari segi sandang, pangan, dan papan yang secara konvensional tidak mampu memberikan konstribusi yang maksimal. Adanya produk hasil rekayasa tanaman memiliki tujuan untuk mengatasi kelaparan, defisiensi nutrisi, peningkatan produktivitas tanaman, ketahanan terhadap cekaman lingkungan yang ekstrem, dan lain-lain (Amin et al., 2011a). Perkembangan dari rekayasa genetika tersebut diikuti dengan berbagai macam isu permasalahan seperti sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, politik, agama, etika dan legalitas suatu produk rekayasa genetika. Permasalahan-permasalahan tersebut terangkum dalam sebuah kajian yang dinamakan bioetika (Pottage, 2007; Evans & Michael, 2008). Permasalahan bioetika rekayasa genetika selalu dikaitkan oleh berbagai macam kekhawatiran tentang produk hasil rekayasa genetika. Kekhawatiran tersebut mendorong munculnya berbagai macam kontroversial di kalangan masyarakat. Dari hal inilah muncul berbagai macam pro dan kontra mengenai produk rekayasa genetika. Adanya berbagai polemik tersebut mendasari terbentuknya berbagai macam peraturan atau protokol yang mengatur berbagai macam aktivitas di bidang rekayasa genetika (Dano, 2007). Rekayasa genetika memegang peranan penting dalam merubah susunan genetika makhluk hidup sesuai dengan keperluan manusia di masa ini Biologi sintetik adalah bidang penelitian yang kontroversial saat ini. Tujuan bidang ini adalah tidak hanya merancang organisme hidup di laboratorium berdasarkan keinginan penelitinya, tetapi juga mengembangkannya. Synthetic biology adalah aplikasi sistem biologi secara in vitro yang banyak memunculkan aplikasi biologi molekular untuk kesejahteraan manusia, mulai dari bidang
kesehatan
sampai
ke
lingkungan
hidup.
Aplikasi
ini
berfokus
pada
pengkonstruksian perangkat dasar berupa potongan-potongan DNA (part) fungsional. Part-part tersebut saling dihubungkan untuk membangun suatu sirkuit genetik utuh secara praktis dan murah. Konstruksi kehidupan dalam sel ini dapat dirakit dari sebuah katalog part yang telah distandarisasi dan dikenal dengan Biobrick part. Para ilmuwan genetik menganggap bahwa alam adalah satu set produk fungsional untuk mengubah dan meningkatkan daya guna organisme. Sementara para ahli biologi sintetik menganggap bahwa semua makhluk hidup hanyalah peti roda genetik yang dapat kita eksplorasi keluar sel dimana sangat berpotensi dalam menciptakan mesin-mesin baru yang kita inginkan. Part yang menyandikan kode baru akan diimplantasikan ke dalam suatu sel dimana part-part tersebut sebagian besar berasal dari beberapa organisme berbeda. Output dari konstruksi akan menghasilkan sistem biologis sel dan menghasilkan sifat-sifat tertentu yang tidak ada di alam menjadi sesuatu yang ada di alam. Penerapan rekayasa genetika juga telah memasuki perangkat terpenting bagi makhluk hidup yakni gen sehingga tumbuhan atau hewan yang dihasilkan dari rekayasa genetika ini diharapkan memiliki sifat-sifat yang unggul, yang berbeda dari tanaman atau hewan aslinya. Disusul dengan perkembangan bioteknologi sehingga pemuliaan tanaman merupakan salah satu sektor paling menjanjikan dalam industri pertanian. Namun, seperti teknologi baru lainnya, keberadaan tanaman hasil rekayasa genetika mulai menuai kontroversi di masyarakat dunia. Ada pihak yang mendukung dihasilkannya tanaman hasil rekayasa genetik, tetapi ada beberapa pihak yang dengan jelas penggunaan tanaman transgenik ini pada manusia. Hal ini menimbulkan polemik bagi masyarakat dunia terhadap keberadaan makanan hasil tanaman transgenik yang sudah tersebar luas di berbagai pasar. Selain tumbuhan, rekayasa genetika terhadap hewan dan manusia juga menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pihak menganggap kehidupan suatu makhluk tidak dapat dicampur tangangi oleh manusia karena hanya Tuhan yang berhak mengutak-atik gen. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai
rekayasa
genetika serta
hubungannya
dengan
etika. Pembahasan ini merupakan peninjauan ulang terhadap berbagai jurnal dan artikel terkait rekayasa genetika dan hubungannya terhadap bioetika 1.2 Permasalahan 1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan biologi sintetik? 1.2.2 Apa efek positif dan negatif dari aplikasi biologi sintetik? 1.2.3 Apa saja contoh- contoh kasus dari biologi sintetik yang ada di masyarakat? 1.3 Tujuan 1.3.1 Mengetahui apakah itu biologi sintetik 1.3.2 Mengetahui efek positif dan negatif dari aplikasi biologi sintetik 1.3.3 Mengetahui contoh- contoh kasus dari biologi sintetik yang ada di masyarakat
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Rekayasa Genetika Rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen sehingga mampu menghasilkan produk. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai usaha manusia dalam ilmu biologi dengan cara memanipulasi (rekayasa) sel, atau gen yang terdapat pada suatu organisme tertentu dengan tujuan menghasilkan organisme jenis baru yang identik secara genetika (Zamroni, 2012). Teknologi
Rekayasa
Genetika
merupakan
inti
dari
bioteknologi
didefinisikan sebagai teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke dalam sel atau organel; atau fusi sel di luar keluarga taksonomi yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional. Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja. Misalnya, gen dari sel pankreas manusia yang kemudian diklon dan dimasukkan ke dalam sel E. Coli yang bertujuan untuk mendapatkan insulin. 2.2
Sejarah Genetika Sejarah perkembangan genetika sebagai ilmu pengetahuan dimulai
menjelang akhir abad ke-19 ketika seorang biarawan Austria bernama Gregor Johann Mendel berhasil melakukan analisis yang cermat dengan interpretasi yang tepat atas hasil-hasil percobaan persilangannya pada tanaman kacang ercis (Pisum sativum). Sebenarnya, Mendel bukanlah orang pertama yang melakukan percobaan-percobaan persilangan (Anonim. 2008). Akan tetapi, berbeda dengan para pendahulunya yang melihat setiap individu dengan keseluruhan sifatnya yang kompleks, Mendel mengamati pola pewarisan sifat demi sifat sehingga menjadi
lebih mudah untuk diikuti. Deduksinya mengenai pola pewarisan sifat ini kemudian menjadi landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan, dan Mendel pun diakui sebagai Bapak Genetika. Karya Mendel tentang pola pewarisan sifat tersebut dipublikasikan pada tahun 1866 di Proceedings of the Brunn Society for Natural History. Namun, selama lebih dari 30 tahun tidak pernah ada peneliti lain yang memperhatikannya. Baru pada tahun 1900 tiga orang ahli botani secara terpisah, yakni Hugo de Vries di Belanda, Carl Correns di Jerman, dan Eric von Tschermak-Seysenegg di Austria, melihat bukti kebenaran prinsip-prinsip Mendel pada penelitian mereka masing-masing. Semenjak saat itu hingga lebih kurang pertengahan abad ke-20 berbagai percobaan persilangan atas dasar prinsip-prinsip Mendel sangat mendominasi penelitian di bidang genetika. Hal ini menandai berlangsungnya suatu era yang dinamakan genetika klasik. Selanjutnya, pada awal abad ke-20 ketika biokimia mulai berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan baru, para ahli genetika tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang hakekat materi genetik, khususnya mengenai sifat biokimianya. Pada tahun 1920-an, dan kemudian tahun 1940-an, terungkap bahwa senyawa kimia materi genetik adalah asam deoksiribonukleat (DNA). Dengan ditemukannya model struktur molekul DNA pada tahun 1953 oleh J.D. Watson dan F.H.C. Crick dimulailah era genetika yang baru, yaitu genetika molekuler. Perkembangan penelitian genetika molekuler terjadi demikian pesatnya. Jika ilmu pengetahuan pada umumnya mengalami perkembangan dua kali lipat dalam satu dasawarsa, maka waktu yang dibutuhkan untuk itu (doubling time) pada genetika molekuler hanyalah dua tahun. Bahkan, perkembangan yang lebih revolusioner dapat disaksikan semenjak tahun 1970-an, yaitu pada saat dikenalnya teknologi manipulasi molekul DNA atau teknologi DNA rekombinan atau dengan istilah yang lebih populer disebut sebagai rekayasa genetika. Salah satu penelitian yang memberikan kontribusi terbesar bagi rekayasa genetika adalah penelitian terhadap transfer (pemindahan) DNA bakteri dari suatu sel ke sel yang lain melalui lingkaran DNA kecil yang disebut plasmid. Bakteri eukariota uniseluler ternyata sering melakukan pertukaran materi genetik ini untuk
memelihara memelihara ciri-cirinya. Dalam rekayasa genetika inilah, plasmid berfungsi sebagai kendaraan pemindah atau vektor. Agar materi genetik yang dipindahkan sesuai dengan keinginan kita, maka kita harus memotong materi genetik tersebut. Secara alami, sel memiliki enzimenzim pemotong yang sering disebut dengan enzim restriksi. Enzim ini dapat mengenali dan memotong tempat-tempat tertentu di sepanjang molekul DNA. Untuk menyambung kembali potongan-potongan DNA ini digunakan enzim ligase. Sampai sekarang ini telah ditemukan lebih dari 200 enzim restriksi. Hal ini tentu saja mempermudah pekerjaan para ahli rekayasa genetika untuk memotong dan menyambung kembali DNA. Genetika pada saat ini telah berkembang pesat. Sejak sruktur DNA diketahui dan kode genetika dipecahkan, serta proses transkripsi dan tranlasi dapat dijabarkan dalam kurun waktu antara tahun 1952-1953, telah terbuka pintu untuk perkembangan penting di bidang genetika. Penemuan di atas diikuti periode antiklimaks ketika beberapa ahli biologi molekuler antara tahun 1971-1973 berhasil melakukan rekayasa genetika, separti pemotongan gen (DNA) yang terkontrol dan rekombinasi DNA yang inti prosesnya adalah kloning atau pengklonaan DNA. Dengan rekayasa genetika dapat disatukan bahan genetik dari satu organisme dengan organisme lain dan dapat dihasilkan makhluk hidup baru. 2.3 Biologi Sintetik Biologi sintetik adalah bidang penelitian yang kontroversial saat ini. Tujuan bidang ini adalah tidak hanya merancang organisme hidup di laboratorium berdasarkan keinginan penelitinya, tetapi juga mengembangkannya.Dalam bidang ini terdapat perpaduan antara biologi molekuler, kimia dan genetika, teknologi biologi, ilmu-ilmu teknik dan informatika. Dasarnya: memandang biologi lewat mata insinyur, dan menganalisa mahluk hidup serta proses hidup sebagai satuan fungsional dari sistem-sistem bio. Pakar biologi sintetik berusaha mencari tahu, terdiri dari “bahan baku” manakah sistem biologi. Mereka berusaha membuat sendiri bahan baku itu atau menggantinya dengan komponen baru. Di tahap akhir mereka juga berusaha untuk menciptakan sendiri sistem biologis. Tujuan
besarnya, menciptakan sel-sel, bakteri-bakteri, dan di masa depan, mungkin juga mahluk hidup yang kompleks, yang tidak dapat ditemukan di alam, dan menunjukkan ciri yang diinginkan bidang biologi sintetik ini. Visi-visi mengenai penggunaan organisme sintetik mencakup penciptaan bahan baku, sampai terapi kanker yang bebas kimia, juga proses biologis untuk menghasilkan energi, dan rencana-rencana pengembangan ekosistem yang terdiri dari bakteri buatan. Belum dapat dijamin bahwa tujuan seperti itu akan menjadi realita. Saat ini biologi sintetik terutama masih mengkonsentrasikan diri pada penelitian dasar. Tetapi para pakar berharap, serupa dengan perkembangan dalam teknik komputer, informatika dan teknologi komunikasi, kemampuan biologi sintetik akan kian berkembang. Di Jerman, istilah “Biologi Sintetik” sudah muncul di akhir tahun 1970-an, yaitu berkaitan dengan penemuan enzim-enzim tertentu yang memungkinkan pemisahan molekul DNA dan secara terarah membentuk kombinasi baru. Tetapi pencetusan bidang penelitian baru ini terutama tercapai dengan adanya kemajuan pesat di bidang sekuensi asam nukleat. Terutama karena biaya untuk penelitian terus menurun. Yang kedua, karena semakin jelas, bahwa sekuensi asam nukleat memang memberikan data genetika dalam jumlah sangat besar, tetapi tidak memberikan banyak sumbangan. Yaitu dalam memecahkan teka-teki seperti, bagaimana mengubah informasi tentang gen menjadi “hidup”, dan proses serta korelasi mana di dalam sel yang berperan dan apa perannya. Sebaliknya, mengerti sistem-sistem hidup dalam kompleksitasnya, dan menciptakan dasar agar mereka dapat dimanipulasi dan diprogram, itulah yang dilakukan Profesor Sven Panke, salah seorang peneliti biologi sintetik yang terkenal. Bersama dengan timnya yang beranggotakan 20 orang yang bekerja dalam laboratorium proses biologi di Institut Teknologi Konfederasi Zürich, antara lain ia mengadakan eksperimen dengan apa yang disebut “sistem bio ortogonal”. Para peneliti berusaha untuk memisahkan bagian-bagian sistem di sel dan mengubahnya, tanpa mempengaruhi kaitan fungsional seluler lainnya. Akhirnya akan dicapai pengkombinasian bebas bahan baku biologis yang tidak saling terkait.
Contoh kaitan fungsi seperti itu adalah, pengubahan dari glukosa menjadi molekul-molekul lainnya, di mana ketika terjadi serangkaian proses di dalam sel dicegah, sehingga seluruh glukosa dapat diubah. Sekarang Panke dan kolegakoleganya akan mengisolasikan proses perubahan dari proses-proses lainnya, sehingga pengubahan glukosa lebih sempurna dan efektif lagi. Proyek-proyek lainnya mengurus pengembangan organisme mikro baru bagi sintese bahan kimia bernilai tinggi untuk penggunaan di bidang industri. Hasil paling populer dan sukses dari insitut yang dipimpin Sven Panke sejauh ini adalah mahluk sintetis yang disebut “e-lemming”, sebuah bakteri yang gerakannya dapat diatur dari jauh dengan cahaya.
Gambar 2.1 mekanisme biologi sintetis Perkembangan pesat bidang sains dan teknologi memperlihatkan kemajuan para saintis dalam memperkenalkan bidang-bidang baru. 10 tahun yang lalu, para saintis telah memperkenalkan bidang genetik baru yang mampu melampaui antara dua alam yang berbeda. Kini, satu bidang baru telah muncul yang dikenali sebagai biologi sintetik. Kemunculan biologi sintetik juga dilihat sebagai salah satu bentuk baru dalam bidang epistemologi (Morange 2009). Biologi sintetik dapat digunakan untuk membina semula bahan genetik organisme hidup supaya dapat berfungsi dengan lebih efisien (McDaniel & Weiss 2005, Caruso 2008) dan berpotensi untuk dibentuk dan dipasang sebahagian atau keseluruhan bentuk hidupan yang baru secara sintetik (Caruso 2008). Tambahan pula, biologi sintetik
adalah salah satu seni genetik bagi sistem biologi baru yang tidak ada di alam sebelumnya (Chopra & Kamma 2006). Namun, biologi sintetik berbeda dari genetik yang hanya menggunakan kaedah potong dan sisipkan gen yang ada di antara spesis yang sama atau spesis yang berbeda. Biologi sintetik menyalin semula kode genetik organisme hidup dan membinanya secara sintetik dalam makmal untuk mencipta sistem hidupan yang baru dari semula dan kemudian menghasilkan satu sistem biologi yang mempunyai fungsi baru. (Chopra & Kamma 2006). Gabungan ilmu bioteknologi dengan sains akan melahirkan biologi sintetik. Biologi sintetik adalah persimpangan antara biologi, kimia dan fisik, dan terdapat juga pertindihan silang antara bidang penyelidikan lain dan pembangunan teknologi. Ciri penting biologi sintetik adalah penggabungan biologi dengan teknik peruntutan DNA (IDEA League Summerschool 2007; Caruso 2008). Genom sintetik merujuk kepada set teknologi yang dilihat berpotensi untuk membina gen tertentu (atau keseluruhan genom) daripada jujukan pendek DNA sintetik yang dikenali sebagai oligonukleotida yang dihasikan secara kimia dan mempunyai kira-kira 50 hingga 100 pasang basa panjangnya (Tucker & Zilinskas 2006). Selain itu, dengan membina semula sistem biologi melalui kaedah biologi sintetik ini membolehkan kita memahami biologi dengan lebih mendalam (Chopra & Kamma 2006). Disamping itu, sistem hidupan tahap rendah juga boleh dibangunkan dengan menggunakan pendekatan biologi sintetik ini yang mana boleh digunakan untuk aplikasi khusus seperti dalam bidang perobatan. Jay Keasling, profesor kejuruteraan kimia di Universiti
California, Berkeley, menggunakan teknik
biologi sintetik untuk membuat prekursor bagi artemisinin yaitu sejenis produk asli yang efektif dalam merawat penyakit malaria. Pada tahun-tahun sebelum ini, kemampaun ini diekstrak secara kimia dari tumbuhan sweet wormwood yang lazimnya terdapat di China dan Vietnam (Tucker & Zilinzkas 2006). Selain itu, Chopra dan Kamma (2006) turut melaporkan bahawa biologi sintetik boleh digunakan untuk mencipta hidupan alternatif. Melalui kaedah ini, molekul sintetik yang mempunyai fungsi yang sama
dengan molekul-molekul asli dalam sistem hidupan seperti DNA, RNA dan protein. Walaupun begitu, kebanyakan biologi sintetik masih dalam peringkat percobaan prinsip penyelidikan yang melibatkan gimik seperti mikrob yang boleh berkelip dalam ritma yang terkoordinasi atau pun bakteria yang sensitif cahaya yang mampu menangkap imej fotografik (Chopra & Kamma 2006). Selain bermanfaat bagi para penyelidik untuk lebih memahami bagaimana sistem hidupan yang begitu kompleks, golongan yang cenderung untuk memihak kepada bidang baru ini berpendapat bahawa biologi sintetik ini akan mendatangkan banyak manfaat terutamanya dalam bidang perobatan,penghasilan tenaga dan juga pemulihan alam sekitar (Caruso 2008). Namun, terdapat juga risiko akan penyalahgunaan biologi sintetik yaitu kepada peningkatan bioterrorism melalui penciptaan senjata biologi dalam bentuk patogen yang virulen (Tucker & Zilinzkas 2006; Caruso 2008). Selain itu, kemungkinan berlakunya ‛bioerror yaitu implikasi dari pelepasan organisme ini secara tidak sengaja ke dalam alam sekitar (Caruso 2008). Aspek etika berkaitan dengan biologi sintetik dibedakan menjadi dua kategori yaitu intrinsik dan ekstrinsik (Comstock 2000). Bantahan dari segi ektrinsik merujuk kepada kebimbangan mengenai kemungkinan risiko biologi sintetik kepada kesehatan manusia, alam sekitar dan lain-lain. Sementara aspek intrinsik merujuk kepada bantahan berkaitan proses biologi sintetik itu sendiri seperti tanggapan bahawa proses biologi sintetik dianggap tidak asli, mengubah alam semula jadi dan menjadi Tuhan (play God) (BABAS 1999). Selama hampir 15 tahun Ham Smith, Clyde Hutchinson, dan sejumlah ilmuwan lain yang tergabung dalam J. Craig Venter Institute (JCVI) mensintesis jutaan pasangan basa kromosom bakteri Mycoplasma mycoides, kini mereka berhasil menciptakan organisme hidup dengan genom yang sepenuhnya sintetis pertama di dunia. Penemuan para ilmuwan tersebut merupakan bukti bahwa genom yang didesain di komputer dan dirangkai di laboratorium dapat berfungsi dalam sebuah sel donor, bahkan dapat memperbanyak diri menjadi organisme hidup
normal. Ini merupakan pencapaian satu langkah penting dalam sebuah upaya menciptakan kehidupan artifisial. Mereka telah menghasilkan sel hidup pertama yang menggunakan DNA buatan manusia sebagai mesin penggeraknya. Meski penelitian semacam itu dikhawatirkan dapat memicu munculnya riset semacam Frankenstein, yang berusaha menghidupkan kembali orang mati, penemuan ini juga membangkitkan harapan. Teknologi transplantasi genom tersebut dapat digunakan untuk memperoleh sumber bahan bakar baru, cara yang lebih baik untuk ihkan air yang tercemar sehingga produksi vaksin lebih cepat.
Gambar 2 sel sintetis yang pertama kali dibuat http://biologimediacentre.com Apakah penemuan ini benar-benar merupakan bentuk kehidupan artifisial? Para penemunya, ilmuwan dari JCVI di Maryland, Amerika Serikat, menyebutnya sel sintetis pertama di dunia. Sel itu sesungguhnya hanyalah penciptaan ulang dari kehidupan yang telah ada, mengubah sejenis bakteri sederhana menjadi bakteri lain. Namun J. Craig Venter, pionir pemetaan genom, mengatakan proyek timnya tersebut memuluskan jalan menuju tujuan yang jauh lebih sulit: merancang organisme yang dapat bekerja dengan cara yang berbeda dari bakteri alami untuk berbagai macam kebutuhan. Saat ini dia tengah bekerja sama dengan Exxon Mobil untuk mengubah alga menjadi bahan bakar.
Gambar 3 . Sel hidup sintesis yang dibuat http://biologimediacentre.com Genom DNA sintetis itu lalu ditranskripsikan ke dalam mRNA, yang akan menerjemahkannya menjadi protein baru. Dalam proses tersebut, genom M. capricolum akan dihancurkan oleh enzim pembatas M. mycoides atau hilang pada masa replikasi sel. Setelah dua hari, sel M. mycoides hidup, yang mengandung DNA sintetis, dapat terlihat pada cawan petri yang berisi media pertumbuhan bakteri. Riset itu menunjukkan bahwa DNA sintetis dapat mengambil alih dan mengendalikan sebuah sel hidup. Namun proses transformasi itu tak semudah mengubah perangkat lunak sebuah komputer. Pada tahap awal, tim Venter harus mensintesis genom M. mycoides secara kimiawi, dengan 1,1 juta "huruf" DNA yang besarnya dua kali lipat dari genom kuman yang mereka buat sebelumnya. Genom itu ditanamkan ke dalam sebuah sel hidup dari spesies Mycoplasma lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan dekat. Pada awalnya tak ada yang terjadi. Tim tersebut melacak penyebab kegagalan itu, menciptakan sebuah versi genetik dari program komputer untuk mengecek ejaan fragmen DNA yang mereka rangkai bersama. Mereka menemukan adanya kesalahan cetak dalam kode genetik yang membuat DNA sintetis itu tak aktif. Akibat kekeliruan itu, mereka harus menunda proyek selama tiga bulan untuk memperbaikinya. Peristiwa itu menunjukkan bagaimana pentingnya keakuratan dalam proyek tersebut, satu huruf dari 1 juta. Begitu kesalahan diperbaiki, transplantasi pun berjalan mulus. Sel penerima diaktifkan oleh DNA sintetis dan sitoplasma aslinya, tapi genom barulah yang mendorong sel itu untuk memproduksi protein yang normalnya hanya bisa ditemukan dalam M. mycoides. Tim Venter menandai DNA sintetis itu untuk bisa
membedakannya, dan mengeceknya ketika sel modifikasi itu memperbanyak diri untuk memastikan bahwa sel baru ini benar-benar mirip dan bertindak layaknya M. mycoides normal. Kini Venter telah mengajukan hak paten untuk sel sintetisnya tersebut. Para ilmuwan biologi sintetik boleh bertepuk tangan, tapi Presiden Barack Obama langsung menunjuk komisi presidensial untuk studi isu bioetika yang dibentuknya tahun lalu agar langsung mempelajari temuan tersebut. Komisi itu akan mempertimbangkan potensi medis, lingkungan, keamanan dan manfaat lain risert tersebut, begitu pula adanya potensi risiko kesehatan, keamanan, atau risiko lainnya. Obama juga meminta komisi tersebut membuat rekomendasi tentang langkah yang harus diambil pemerintah. Untuk menjamin bahwa Amerika memperoleh manfaat dari bidang ilmu yang tengah berkembang ini sambil mengidentifikasi batasan etika yang diperlukan dan meminimalisasi risiko yang teridentifikasi. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah bisa memindahkan satu gen, bahkan sebagian besar DNA dari satu spesies ke spesies lain. Di institut yang terletak di Rockville, Maryland, dan San Diego, tim Venter melangkah lebih jauh. Beberapa tahun lalu, mereka menanamkan seluruh genom atau kode genetik sejenis bakteri ke bakteri lain dan mengawasi bagaimana genom itu mengambil alih mikroba tersebut, mengubah kuman kambing menjadi kuman yang menginfeksi sapi. Para
ilmuwan
menggunakan
bakteri
Mycoplasma
mycoides,
penyebab penyakit radang paru-paru pada sapi, dan Mycoplasma capricolum, yang bertanggung jawab atas penyakit serupa pada kambing. Dengan menggunakan genom M. mycoides, sintetis yang diisolasi dari sel ragi dan ditransplantasikan ke dalam sel M. capricolum, yang gen enzim pembatasnya telah dibuang.
Gambar 4. koloni M. mycoides http://biologimediacentre.com Genom DNA sintetis itu lalu ditranskripsikan ke dalam mRNA, yang akan menerjemahkannya menjadi protein baru. Dalam proses tersebut, genom M. capricolum akan dihancurkan oleh enzim pembatas M. mycoides atau hilang pada masa replikasi sel. Setelah dua hari, sel M. mycoides hidup, yang mengandung DNA sintetis, dapat terlihat pada cawan petri yang berisi media pertumbuhan bakteri. Riset itu menunjukkan bahwa DNA sintetis dapat mengambil alih dan mengendalikan sebuah sel hidup. Namun proses transformasi itu tak semudah mengubah perangkat lunak sebuah komputer. Pada tahap awal, tim Venter harus mensintesis genom M. mycoides secara kimiawi, dengan 1,1 juta "huruf" DNA yang besarnya dua kali lipat dari genom kuman yang mereka buat sebelumnya. Genom itu ditanamkan ke dalam sebuah sel hidup dari spesies Mycoplasma lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan dekat. Pada awalnya tak ada yang terjadi. Tim tersebut melacak penyebab kegagalan itu, menciptakan sebuah versi genetik dari program komputer untuk mengecek ejaan fragmen DNA yang mereka rangkai bersama. Mereka menemukan adanya kesalahan cetak dalam kode genetik yang membuat DNA sintetis itu tak aktif. Akibat kekeliruan itu, mereka harus menunda proyek selama tiga bulan untuk memperbaikinya. Peristiwa itu menunjukkan bagaimana pentingnya keakuratan dalam proyek tersebut, satu huruf dari 1 juta. Begitu kesalahan diperbaiki, transplantasi pun berjalan mulus. Sel penerima diaktifkan
oleh DNA sintetis dan sitoplasma aslinya, tapi genom barulah yang mendorong sel itu untuk memproduksi protein yang normalnya hanya bisa ditemukan dalam kuman M. mycoides. Tim Venter menandai DNA sintetis itu untuk bisa membedakannya, dan mengeceknya ketika sel modifikasi itu memperbanyak diri untuk memastikan bahwa sel baru ini benar-benar mirip dan bertindak layaknya M. mycoides normal. Kini Venter telah mengajukan hak paten untuk sel sintetisnya tersebut. 2.4 Pandangan Bioetika terhadap biologi sintetik Komisi Presiden untuk Studi Masalah bioetika hari ini merilis laporanpertama yang mengulas luas dari bidang biologi sintetik muncul dari penerbit 18 rekomendasi termasuk panggilan untuk pengawasan federal terkoordinasi ilmuwan yang bekerja di kedua institusi besar dan pengaturan yang lebih kecil., terdiri dari 13 ilmuwan, ahli etika, dan ahli kebijakan publik, mengatakan bahwa sangat kebaruan dari ilmu, yang melibatkan desain dan konstruksi laboratorium buatan bagian biologis, memberikan regulator, ahli etika dan waktu lainnya untuk mengidentifikasi masalah sejak awal dan solusi yang dapat memanfaatkan teknologi untuk kebaikan publik. Beberapa ahli mengeksplorasi potensi manfaat biologi sintetik, termasuk pengembangan vaksin dan obat baru dan produksi biofuel yang suatu hari nanti bisa mengurangi kebutuhan untuk bahan bakar fosil. Diskusi membahas resiko yang ditimbulkan oleh teknologi, termasuk pelepasan organisme sengaja dibuat menjadi laboratorium alam dan dampak negatif seperti rilis pada ekosistem. Untuk mengurangi ancaman mungkin, beberapa ilmuwan dan ahli etika pemantauan disarankan hati-hati dan meninjau penelitian. Penerapan bioteknologi rekayasa genetika dibidang medis, selain berdasarkan pada norma-norma hukum nasional sebagaimana diuraikan diatas, bangsa Indonesia secara normatif juga mendasarkan pada instrumen HAM internasional. Seperti dalam Declaration of Helsinki (DoH 2000), menetapkan bahwa: 1. Penelitian harus mendapatkan persetujuan komite pengawas etik.
2. Penelitian dengan subjek uji manusia harus dalam kerangka ilmiah untuk memberikan manfaat ilmiah (Scientific Merit) 3. Populasi dimana penelitian akan dilakukan harus menerima keuntungan dari penelitian yang akan dilaksanakan (nilai sosial). 4. Terlebih dahulu mendapatkan ijin secara sukarela dari subjek uji (informed consent). 5. Penelitian dilakukan jika resikonya benar-benar telah diketahui, dan sebaiknya penelitian tidak dilanjutkan. Komisi menyimpulkan bahwa sementara tantangan teknis biologi sintetik tetap menakutkan, lapangan cenderung menjadi lebih terdesentralisasi sebagai alat yang relevan menjadi semakin tersedia dan terjangkau. Perubahan yang dapat menimbulkan
tantangan
baru
sehubungan
dengan
pengawasan
Komisi
merekomendasikan langkah-langkah berikut untuk meminimalkan risiko dan untuk mendorong inovasi: Kantor Eksekutif Presiden, mungkin melalui Kantor Kebijakan Sains dan Teknologi, harus berkoordinasi agen-agen federal yang mengawasi daerah yang terkait dengan biologi sintetis, termasuk pengawasan, lisensi produk dan pendanaan. Kegiatan penilaian resiko di seluruh pemerintah perlu dikoordinasikan dan melepaskan bidang diperbolehkan hanya setelah penilaian risiko yang masuk akal. Kantor Eksekutif Presiden harus tetap aktif terlibat dengan melakukannya sendiri kelompok untuk berkomunikasi dan mendiskusikan keselamatan yang berlaku dan masalah keamanan. Menyadari bahwa koordinasi internasional adalah penting untuk keselamatan dan keamanan, Departemen Luar Negeri dengan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia dan Departemen Keamanan Dalam Negeri, harus berkolaborasi dengan pemerintah di seluruh dunia, serta organisasi internasional
terkemuka,
seperti
Organisasi
Kesehatan
Dunia
untuk
mempromosikan dialog yang sedang berlangsung tentang teknologi baru seperti biologi sintetis. National Institutes of Health, Departemen Energi dan lembaga federal lainnya harus mengevaluasi proposal penelitian melalui peer-review dalam rangka untuk memastikan bahwa penelitian ilmiah yang paling menjanjikan adalah
dilakukan atas nama publik. Kelas pendidikan pada dilema etika yang diajukan oleh biologi sintetis harus menjadi bagian dari pelatihan wajib bagi para peneliti muda, insinyur, dan lain-lain yang bekerja dalam bidang ini muncul. Forum harus dibentuk untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum terhadap bidang ini, termasuk penciptaan biologi setara dengan FactCheck.org, di mana grup pribadi akan melacak pernyataan tentang ilmu pengetahuan dan menawarkan pandangan yang independen tentang kebenaran klaim tersebut. Bagi dimensi penerimaan etika, masyarakat umum telah ditanya pendapat mereka samada bidang biologi sintetik perlu digalakkan dari segi pembangunan dan pengkomersilanya disamping diberi bantuan keuangan lebih banyak bagi tujuan tadi.
Masyarakat umum masih ragu-ragu untuk untuk menerima aspek etika
biologi sintetik. Skor min keseluruhan bagi dimensi penerimaan etika adalah 3.83 (Jadual 3) yang berada pada tahap lebih rendah daripada titik pertengahan (min skor 4.0). Ini berkemungkinan disebabkan bidang biologi sintetik masih di peringkat permulaan. pada masa kini perkembangan sains dan teknologi di Indonesia belum terlalu signifikan di indonesia masih membahas pangan. Penerimaan etika yang rendah oleh masyarakat umum juga boleh dikaitkan dengan kebiasaan mereka terhadap produk biologi sintetik yang juga rendah. Penyebaran informasi yang belum begitu meluas tentang biologi sintetik mungkin menyebabkan masyarakat umum sukar untuk mengenal pasti produk, menilai baik buruk dan seterusnya mengetahui kesan memakan hasil biologi sintetik. Ketidak pastian akan implikasi produk biologi sintetik ini justeru mengakibatkan masyarakat umum belum begitu yakin untuk membangunkan produk biologi sintetik dan pengkomersilannya. 2.5 Dampak Negatif Rekayasa Biologi Sintetik Beberapa negara melarang penggunaan biologi sintetik karena mereka takut teknologi ini jatuh ke tangan yang salah. Selain itu ada alasan mengapa biologi sintetik menimbulkan kontroversi. Banyak orang secara naluriah menolak penelitian tentang proses kehidupan yang mendasar atau manipulasi komponen dasar hidup. Keduanya adalah bidang utama biologi sintetik.
Prof. Jörg Hacker: Biologi sintetik memang bidang penelitian baru, yang berdasar pada pemikiran, bahwa genom dapat dibuat oleh manusia di laboratorium. Jadi teorinya, hidup dapat diubah dengan menggunakan genom sintetik ini. Bidang penelitian itu saat inipun sudah memberikan pengetahuan penting, baik dalam penelitian dasar maupun bagi penelitian terapan. Tapi tentu saja, seperti dalam teknologi baru lainnya, orang juga harus mempertimbangkan risiko. 1. Melanggar semua peraturan evolusi dan merupakan jalan pintas menuju evolusi 2. Rekombinasi DNA dari berbagai spesies berbeda yang tidak akan pernah bertukar di alam 3. Memasukan gen dan produk gen baru ke dalam rantai makanan kita tidak dapat dikendalikan secara terduga 4. Gen buatan tidak stabil dan resikonya tidak bisa dianalisis 5. Dapat menyebabkan ekspresi gen yang idak sesuai dan memicu kanker 2.4
Dampak Positif Bidang ini dapat digunakan untuk memproduksi berbagai produk baru
yang bermanfaat. Dampaknya tentu penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Salah satu contohnya adalah penanganan penyakit malaria yang telah membunuh 655.000 orang di dunia pada 2010. Synthetic biology akan berperan penting mengatasinya. Yang terjadi saat ini, obat antimalaria bergantung pada bahan yang mengandung artemisin. Zat kimia tersebut diperoleh dari tanaman bernama Sweet wormwood (Artemisia annua) yang banyak tumbuh di Asia dan Afrika. Sayangnya, kini produksi artemisin terhambat karena habitat tanaman tersebut kian berkurang dan tidak stabil. Akhirnya
biayanya
pun
jadi
mahal.
Namun synthetic
biology mampu
menghasilkan pasokan artemisin secara berkelanjutan dengan biaya yang lebih murah. Produk tersebut akan tersedia mulai tahun ini dan didistribusikan ke negara-negara berkembang dengan harga murah. Produsen dan distributor hanya boleh mengambil keuntungan dari produk tersebut dari negara-negara maju, bukan negara berkembang.
Kornea Biosintetik Atasi Kerusakan Mata ESQ-NEWS.com Selasa, 31 Agustus 2010 10:15:21 WIB May Griffith dari Institut Penelitian Rumah Sakit Ottawa, Kanada, dan dokter bedah mata Per Fagerholm dari Universitas Linkoping, Swedia, berhasil menemukan kornea biosintetik. Kornea buatan yang berfungsi memperbaiki jaringan mata yang rusak ini dapat digunakan oleh orang-orang yang penglihatannya berkurang. Hal tersebut dilaporkan oleh Jurnal Ilmu Pengetahuan Medis di Swedia. Studi tentang kornea mata yang dilakukan oleh Swedia telah diuji coba pada 10 pasien menunjukkan hasil positif. Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Per Fagerholm, dari Universitas Linköping, Swedia, dokter yang bertanggungjawab mengoperasi mata pasien-pasien itu. “Kami sangat bersemangat setelah melihat hasilnya. Kornea biosintetik cukup menjanjikan,” ujarnya. "Materi dan modifikasi lebih lanjut dari operasi ini memang masih dalam proses, dan beberapa penelitian lain sedang dikembangkan untuk pemanfaatan kornea biosintetik ini,” tambahnya lagi. Dr. Fagerholm bekerjasama dengan Dr. May Griffith dari Institut Riset Rumah Sakit, Universitas Ottawa menghasilkan kornea biosisntetik pertama dalam transplantasi kornea mata manusia. "Studi ini sangat penting, karena dapat menghasilkan kornea secara massal. Kornea mata ini dapat berintegrasi dengan mata manusia dan merangsang regenerasi pada mata,” ujar Dr. Griffith. "Dengan penelitian lebih lanjut, pendekatan ini dapat menyelamatkan jutaan manusia yang sedang menunggu donor kornea mata,” ujarnya lagi. Kornea adalah lapisan tipis pada mata yang berisi kolagen dan sel-sel. Kornea berfungsi sebagai jendela pada mata. Lapisan ini mirip lensa transparan yang memungkinkan cahaya masuk ke dalam mata dan membuat mata fokus saat melihat obyek. Penyakit yang mengganggu kornea dapat menyebabkan kebutaan.
Dr. Griffith dan rekannya, mulai mengembangkan kornea mata biosintetik ini di Ottawa 10 tahun yang lalu. Dengan menggunakan kolagen dari tubuh manusia yang dihasilkan dari laboratoriumnya dan kemudian membentuknya menjadi kornea. Mereka berinisiatif melakukan uji coba kepada 10 pasien asal Swedia penderita katarak. Setiap pasien mengalami operasi pemindahan jaringan kornea yang diganti dengan kornea biosintetik. Para pasien itu diobservasi secara intensif selama 2 tahun. Para peneliti menemukan bahwa kornea biosintetik yang ditanam pada mata pasien-pasien itu berintegrasi membentuk sel dan jaringan saraf pada mata. Kornea ini berkembang baik dan membentuk jaringan yang sehat. Pasien-pasien tersebut tidak mengalami penolakan jangka panjang dari kekebalan tubuhnya. Biasanya pasien yang menerima jaringan donor, akan mengalami penolakan dari tubuh akibat reaksi kekebalan tubuh. Yang menakjubkan lagi, kornea biosintetik ini juga sangat sensitif terhadap sentuhan dan mulai menghasilkan air mata normal sehingga membuat mata tetap lembab. Dari 10 pasien, 6 pasien mengalami peningkatan penglihatan setelah mengalami transplantasi kornea.
BAB III KESIMPULAN Bidang biologi sintetik masih baru di dunia. Ia dilihat sebagai salah satu alternatif kepada bidang genetik yang menimbulkan banyak isu etika terutamanya apabila melibatkan pemindahan gen daripada spesis yang berlainan. Hasil kajian menunjukkan bahawa masyarakat umum masih belum biasa (unfamiliar) dengan biologi sintetik menyebabkan mereka tidak yakin dengan faedahnya kepada masyarakat dan bimbang mengenai aspek resiko intrinsik dan ektrinsiknya dan masih ragu-ragu untuk menyokong biologi sintetik. Saintis dengan kerjasama pihak media perlu mendedahkan masyarakat kepada maklumat yang lebih banyak dan betul mengenai biologi sintetik. Badan pengawalan perlu meyakinkan masyarakat mengenai keselamatan produk biologi sintetik sementara pakar-pakar agama perlu menganalisa kebolehterimaan kaedah biologi sinteik ini dari sudut agama.
DAFTAR PUSTAKA BABAS. 1999. Ethical aspects of Agricultural Biotechnology. Report of the EFB Task Group on Public Perceptions of Biotechnology. Cambridge Biomedical Consultants, The Hague. Caruso, D. 2008. Synthetic Biology An Overview and Recommendations for Anticipating and Addressing Emerging Risks. Science Progress. November 2008. Chopra, P. & Kamma, A. 2006. Engineering life through synthetic biology. In Silico. Biology. 6 : 401-41 Comstock, G. 2000. Ethics and genetically modified crops. A brief for the Royal Commission on Genetic Modification of New Zealand., 8 October 2000. Gaskell, G., Alum, N., Baouer, M., Durant, J., Allansdottir, A., Bonfadelli, H., Boy, D., Cheveigne, D. S., Fjaestad, B., Gutteling, J.M., Hampel, J., Jelsoe, E., Jesuino, J. G., Kohring, M., Krongerger, N., Midden, C., Nielsen, T. H., Przestalski, A., Rusanen, T., Sakellaris, G., Torgersen, H., Twardowski, T. & Wagner, W. 2000. Biotechnology and the Europian public. Nature Biotechnology (18): 935-938 IDEA League Summerschool. 2007. Synthetics: the ethics of Synthetic Biology Latifah, A. 2007. Public attitude towards modern biotechnology in Malaysia: A study in the Klang Valley region. Thesis submitted in fulfillment for the degree of doctor of philosophy. Pusat Pengajian Siswazah. Universiti Kebangsaan Malaysia Kirk, S. F. L., Greenwood, D., Cade, J. E. & Pearman, A. D. 2002. Public perception of a range of potential food risks in the United Kingdom. Appetite 38, 189-197 Macer, D. R.
J. 2000. Bioethics: perceptions of biotechnology and policy
implications. International Journal of Biotechnology 3: 116-133 McDaniel, R & Weiss, R. 2005. Advances in synthetic biology: on the path from prototypes to applications. Current Opinion in Biotechnology 16: 476-483.
Morage, M. 2009. A Critical Perspective on Synthetic Biology. International Journal for Philospohy of Chemistry 15: 21-30 Rohrmann, B. 1999. Risk perception research: review and documentation. 1999. Research
Center
Juelich:
RC
Studies
#68.
http://www.kfajuelinch.de/mut/hefte/heft_69.pdf (3.6.2009) Tucker, J. B. & Zilinskas, R. A. 2006. The promise and perils of synthetic biology. A journal of Technology & Society :25-45