USULAN PENELITIAN KADAR LAKTAT DALAM PEMANTAUAN OUTCOME PASIEN KRITIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH
Oleh: dr. Ni Made Ary Wisma Dewi, S.Ked
DALAM RANGKA USULAN PENELITIAN PENERIMAAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS UNIVERSITAS UDAYANA OKTOBER-NOVEMBER 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat yang diberikan, sehingga penulisan usulan penelitian yang berjudul “KADAR LAKTAT DALAM PEMANTAUAN OUTCOME PASIEN KRITIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH”, dapat selesai tepat pada waktunya. Penulisan usulan penelitian ini disusun dalam rangka mengikuti penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Udayana 2016/2017. Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis banyak memperoleh bimbingan, petunjuk-petunjuk, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan tulisan usulan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi proses pembelajaran pada Program Pendidikan Dokter Spesialis nanti.
Denpasar, Januari 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman Judul......................................................................................................... i Kata Pengantar........................................................................................................ ii Daftar Isi................................................................................................................ iii BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5 1.4.Manfaat Penelitian.............................................................................................5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 6 2.1 Laktat.................................................................................................................6 2.1.1 Metabolisme Laktat...............................................................................6 2.1.2 Hiperlaktasemia.....................................................................................8 2.1.3 Laktat pada Pasien Kritis.................................................................... 10 2.2 Outcome Pasien Kritis..................................................................................... 10 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN................ 13 3.1 Kerangka Berpikir........................................................................................... 13 3.2 Konsep Penelitian............................................................................................14 3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................................14 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 15 4.1 Rancangan Penelitian.......................................................................................15 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................... 15 4.3 Populasi, Sampel, dan Jumlah Sampel........................................................... 15 4.3.1 Populasi Penelitian............................................................................15 4.3.2 Sampel Penelitian .............................................................................16 4.3.3 Jumlah Sampel................................................................................. 16 4.3.4 Cara Pengambilan Sampel................................................................16 4.4 Variabel Penelitian ..........................................................................................17 4.4.1 Identifikasi Variabel......................................................................... 17 4.4.2 Definisi Operasional Variabel...........................................................17 4.5 Instrumen Penelitian .......................................................................................17 iii
4.6 Prosedur Penelitian......................................................................................... 17 4.7 Alur Prosedur Penelitian..................................................................................18 4.8 Analisis Statistik ..............................................................................................18 4.8.1 Analisis Statistik Univariat.............................................................. 18 4.8.2 Analisis Statistik Bivariat.................................................................19 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................20
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan terhadap pasien kritis baik yang dirawat di ruang rawat inap
ataupun intensif (ICU) sering kali melibatkan kegagalan berbagai macam organ yang erat kaitannya dengan penyakit yang mendasari ataupun komplikasi yang ditimbulkan daripada penyakit utama pasien. Komplikasi tersering pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU adalah sepsis dimana merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien kritis (Guntur HA., 2001). Hal ini pun ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya di bagian PICU/NICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta Indonesia bahwa kejadian sepsis terjadi sebesar 33,5% serta dengan angka mortalitas sebesar 50,2% (Pudjiastuti, 2008). Sepsis berdampak pada tingginya morbiditas maupun mortalitas karena keadaan sepsis dapat memicu terjadinya hipoksia pada jaringan sehingga menyebabkan terjadi perubahan metabolisme dalam sel. Perubahan metabolisme sel yang diakibatkan keadaan hipoksia tersebut menyebabkan terjadinya metabolisme anerobik berujung pada produksi zat sisa yakni berupa asam laktat. Asam laktat adalah hasil normal dari metabolisme sel secara anaerob dan dilepaskan dalam peredaran darah serta kemudian akan dimetabolisme oleh hati. Asam
laktat
tersebut
dihasilkan
dalam
jumlah
besar
ketika
terdapat
ketidakcukupan oksigen untuk aktivitas dalam sel (Vernon C dan LeTourneau JL., 2010). Secara biokimiawi asam laktat merupakan metabolit penting energi utama dalam 2 proses penghasil ATP yang memberikan tenaga: glikolisis dan fosforilasi oksidatif (OxPhos) (Brooks GA., 2002). Glikolisis dan OxPhos terus menerus memetabolisme glukosa ketika keadaan stabil dimana asam piruvat merupakan molekul yang menghubungkan 2 reaksi ini. Pada ketiadaan oksigen dalam hal ini hipoksia akan memicu terjadinya produksi asam piruvat secara berlebihan dimana kemudian akan terakumulasi dan diubah menjadi asam laktat sehingga dapat diproses kembali oleh mekanisme glikolisis untuk menghasilkan ATP secara segera (Brooks GA., 2002). Akan tetapi dengan keberadaan oksigen pada fase pemulihan maka asam laktat yang telah terbentuk kemudian akan diubah kembali 1
menjadi asam piruvat yang dikatalisir oleh enzim lactate dehydrogenase (LDH). (Brooks GA., 2002). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hipoksia jaringan dengan produksi asam laktat yang dikarenakan adanya penurunan komponen penghantar oksigen sistemik (seperti tingkat hemoglobin, saturasi oksigen, dan curah jantung) hingga ekstraksi oksigen tidak dapat bertahan lama menyediakan oksigen terhadap sel untuk memenuhi kebutuhannya (Zhang H dan Vincent JL., 1993). Alhasil keadaan hipoksia yang dihasilkan oleh berbagai macam kondisi medis secara langsung berkontribusi pada tingginya produksi asam laktat dalam darah yang terutama dihasilkan pada otot rangka, otak, maupun sel darah merah. Disamping itu pada pasien yang menderita suatu penyakit yang berat maka paru-paru maupun sel darah putih serta organ limpa juga memiliki andil dalam peningkatan produksi asam laktat tersebut (Fall PJ dan Szerlip HM., 2005). Produksi asam laktat harian diketahui berkisar 1.300 mmol/hari dan konsentrasi asam laktat arteri merupakan refleksi dari pembersihan maupun produksi bersih dimana secara umum berkisar 2 mmol/L. Apabila terdapat permasalahan pada metabolisme ataupun pembersihan asam laktat yang terjadi terutama pada hati dan ginjal maka peningkatan asam laktat dalam darah tersebut akan memicu terjadinya asidosis laktat dalam darah (Okorie N dan Dellinger RP., 2011). Berdasarkan mekanisme terjadinya asidosis laktat maka dikenal 2 jenis asidosis laktat yakni tipe A maupun tipe B. Asidosis laktat tipe A terjadi akibat ketidaksesuaian penghantaran/konsumsi oksigen yang tidak cukup serta kehadiran glikolisis anaerob. Sedangkan asidosis laktat tipe B menjelaskan tentang keadaan hiperlaktemia dengan ketiadaan glikolisis anaerob (Fall PJ dan Szerlip HM., 2005). Pada pasien-pasien yang berada dalam keadaan kritis atau terminal diketahui bahwa asidosis laktat tipe A merupakan kejadian yang tersering sebagai penyebab peningkatan asam laktat (Lee SW dkk., 2008). Oleh karena itulah keberadaan asidosis laktat akibat peningkatan asam laktat (hiperlaktatemia) pada pasien-pasien kritis merupakan variabel yang kerap dipergunakan untuk mengetahui resiko kematian atau mortalitas pasien dirawat di Rumah Sakit (Lee SW dkk., 2008). 2
Pada pasien kritis terutama yang dirawat dalam perawatan intensif upaya untuk memperkirakan mortalitas pasien adalah penting. Hal ini dikarenakan informasi terkait kemungkinan kematian sangatlah bermanfaat dalam penentuan tindakan lanjut baik dalam hal pengobatan maupun pemeriksaan penunjang lainnya sesuai klinis pasien. Oleh karena itulah telah dilakukan beberapa upaya dalam melakukan penilaian kemungkinan kematian (mortality probability) melalui beberapa sistem penilaian (Scoring system) yang ada. Adapun beberapa sistem penilaian yang telah baku dipergunakan sejauh ini berupa Simplified Acute Physiology Score (SAPS), Sequential Organ Failure Assesment (SOFA), Mortality Probability Model (MPM), maupun Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) (Knaus WA dkk., 1991; Vasilevskis EE dkk., 2009). Berdasarkan beberapa contoh tersebut tersebut penilaian kemungkinan mortalitas menggunakan APACHE II telah lama dipergunakan. Model APACHE pertama kali dipublikasikan tahun 1985 berdasarkan data dari Amerika Serikat, kemudian dikalibrasi sebanyak 2 kali di Inggris sehingga menjadi APACHE II (Rowan KM dkk., 1993; Harrison DA dkk., 2006). Model ini menggunakan 12 parameter fisiologi yang diperiksa dalam 24 jam pertama. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang diukur meliputi: A-aDO2 atau PaO2, pH arteri, serum natrium, kalium, kreatinin, hematocrit dan lainnya. Hasil penilaian berdasarkan parameter klinis dan laboratorium tersebut memiliki nilai dari 0-71 (Harrison DA dkk., 2006). Akan tetapi parameter yang dipergunakannya tersebut dalam penerapannya tidak selalu tersedia pada ruang terapi intensif (ICU) di Indonesia. Disamping itu banyaknya berbagai parameter laboratorium yang diperiksa tentu akan meningkatkan pembiayaan terhadap pasien kritis yang dirawat di ruang ICU. Oleh karena itulah diperlukan parameter pemeriksaan lain yang umum serta dapat diperiksa secara sederhana sehingga dapat menggantikan sistem penilaian tersebut. Dewasa ini terdapat beberapa parameter laboratorium independen yang telah diteliti untuk mendapatkan gambaran prediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang ICU. Beberapa parameter yang dimaksud meliputi defisit basa, pH, anion gap, strong ion difference (SID), maupun asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat dalam darah pada pasien kritis telah lama dihubungkan dengan 3
prediksi kematian dimana telah mulai diteliti sejak 40 tahun yang lalu oleh Cady LD dkk (Cady LD dkk., 1973). Sedangkan penelitian saat ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan independen pada pasien trauma maupun sepsis yang menunjukkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah terhadap kegagalan organ hingga kematian (Regnier MA dkk., 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka kematian meningkat secara linier pada konsentrasi asam laktat di atas 1 mmol/L dimana secara independen menunjukkan kegagalan organ hingga syok (Regnier MA dkk., 2012). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Husain FA dkk (2003) dimana kadar asam laktat pada pasien dengan asidosis metabolik > 2,2 mmol/L pasca24 jam dirawat di ruang ICU memiliki persentase mortalitas hingga 58%. Disamping itu hubungan peningkatan asam laktat terhadap prediksi mortalitas juga berlaku pada pasien anak. Penelitian yang dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung tahun 2008 terhadap 45 anak yang berusia rata-rata 4 tahun menunjukkan bahwa dengan kadar asam laktat rata-rata 3,45 mmol/L memiliki kecenderungan disfungsi sekitar 3 organ berdaasarkan penilaian PELOD (r=0,54; p=0,001) (Dharma AB dkk., 2008). Sistem penilaian terhadap kemungkinan mortalitas yang saat ini telah menjadi acuan terhadap pasien kritis kerap kali mempergunakan beberapa parameter yang tidak selalu tersedia pada rumah sakit. Disamping itu tingginya biaya perawatan pasien di ruang rawat intensif menyebabkan beberapa parameter klinis maupun laboratorium tersebut menjadi bukanlah prioritas utama dalam penanganan pasien. Oleh karena itulah berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti ingin mengetahui korelasi kadar asam laktat yang relatif terjangkau sebagai salah satu parameter independen pada pasien kritis yang dirawat di ICU RSUP Sanglah untuk memprediksi mortalitas. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan sebuah permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat korelasi antara kadar asam laktat pada pasien kritis yang dirawat di ruang terapi intensif (RTI) RSUP Sanglah? 4
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan usulan penelitian ini yakni: 1. Mengetahui korelasi antara kadar asam laktat pada pasien kritis yang dirawat di ruang terapi intensif (RTI) RSUP Sanglah Referensi:
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian diatas maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini meliputi: 1. Manfaat praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan ilmiah mengenai korelasi kadar laktat pada pasien kritis di ruang terapi intensif (RTI) RSUP Sanglah. 2. Manfaat akademik Hasil penelitian ini diharapkan nilai kadar laktat darah dapat dipergunakan sebagai penanda mortalitas untuk kasus-kasus pasien kritis yang dirawat di RTI terutama untuk RS di daerah yang tidak memiliki fasilitas memadai.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laktat Laktat merupakan produk normal sisa metabolisme sel secara anaerob. Laktat yang telah dilepaskan ke dalam darah, kemudian akan dibawa ke hati untuk dimetabolisme. Pada individu yang sehat, siklus produksi dan eliminasi laktat tersebut akan terjadi secara berkesinambungan sehingga kadar laktat di dalam darah dapat dipertahankan normal. Kadar laktat serum yang normal pada individu sehat adalah ± 0,5 mmol/L. Ketika proses produksi dan eliminasi mengalami gangguan keseimbangan, dimana produksi melebihi eliminasi atau ketika kapasitas eliminasi mengalami penurunan, maka akan terjadi peningkatan kadar laktat serum (hiperlaktasemia) (Clinical Excellence Commission, 2014; Malmir dkk., 2014). 2.1.1
Metabolisme Laktat
Laktat merupakan suatu metabolit krusial yang dihasilkan melalui dua proses utama pembentukan energi (Adenosine Triphosphate [ATP]), yaitu glikolisis dan fosforilasi oksidatif. Glikolisis merupakan proses yang mengubah glukosa menjadi dua molekul piruvat dan dengan bersamaan menghasilkan turunannya berupa dua ATP. Di lain pihak, fosforilasi oksidatif merupakan proses pemecahan glukosa yang lebih kompleks namun menghasilkan jumlah ATP yang lebih banyak. Dalam fosforilasi oksidatif, 1 molekul glukosa dapat menghasilkan sebanyak 36 ATP (Bakker dkk., 2013). Pada kondisi individu yang stabil, glukosa secara terus-menerus dimetabolisme menjadi ATP melalui proses glikolisis dan fosforilasi oksidatif. Kedua proses tersebut dihubungkan oleh suatu molekul, yang disebut piruvat. Oleh karena laju glikolisis dapat meningkat 2-3 kali lebih cepat dibandingkan dengan fosforilasi oksidatif, maka glikolisis dapat menyediakan ATP dalam waktu yang lebih singkat. Hal ini berperan penting khususnya ketika tubuh memerlukan ATP dalam jumlah banyak, seperti kondisi stres seluler. Peningkatan laju glikolisis tersebut akan diikuti dengan kelebihan pembentukan piruvat. Piruvat yang 6
menumpuk kemudian dialihkan menjadi laktat dengan tujuan agar proses glikolisis dapat dilanjutkan. Dalam konteks tersebut, laktat berfungsi penting sebagai penyangga kritis sehingga proses glikolisis dapat terus terjadi. Selanjutnya, pada tahap pemulihan dari kondisi stres, laktat akan diubah kembali menjadi piruvat. Proses dua arah dalam metabolisme laktat tersebut dikatalisis oleh enzim seperti Lactate Dehidrogenase (LDH) (Bakker dkk., 2013). Gambar berikut menjelaskan mengenai metabolisme laktat.
Gambar 1. Laktat pada Tingkat Sel (Bakker dkk., 2013) Dalam beberapa dekade, telah dibuktikan mengenai area-area “antarjemput” laktat seperti astrosit, neuron, otot skeletal, kulit, saluran cerna dan area yang paling banyak yaitu, hati, ginjal dan otot jantung. Selain itu, terkait siklus laktat di dalam tubuh juga dikenal mengenai siklus Cori. Siklus Cori ini mencakup proses glukoneogenesis di hepar atau renal untuk mengubah laktat menjadi glukosa. Glukosa yang terbentuk akan kembali masuk ke dalam darah dan disimpan di otot dalam bentuk glikogen (Lubis, 2006; Vernon, 2010).
7
Gambar 2. Siklus Cori 2.1.2
Hiperlaktasemia
Peningkatan kadar laktat serum (hiperlaktasemia) merupakan suatu kondisi yang terjadi setiap kali produksi laktat melebihi utilitas dan klirens-nya. Apabila peningkatan kadar laktat tersebut dihubungkan dengan penurunan pH maka dapat terjadi asidosis laktat. Definisi asidosis laktat adalah suatu kondisi kadar laktat mencapai ≥5 mmol/L dan pH arteri <7,35 sedangkan diagnosis hiperlaktasemia adalah jika kadar laktat > 2 mmol/L. Peningkatan kadar laktat serum dilaporkan berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pasien kritis yang dirawat di RTI. Suatu studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan kadar laktat serum mencapai 2,5-4,0 mmol/L memiliki tingkat kematian sebanyak 7%, sedangkan pasien dengan kadar laktat lebih dari 4,0 mmol/L memiliki tingkat kematian 27% (Clinical Excellence Commission, 2014). Pada kondisi hipoksia jaringan, proses metabolisme glukosa akan menghasilkan laktat, ATP dan air. Pembentukan ion H + dihasilkan dari proses hidrolisis ATP menjadi ADP. Jika kehadiran oksigen mencukupi dan mampu menyediakan proses fosforilasi oksidatif yang memadai daripada glikolisis, maka 8
ion H+ tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dengan laktat dalam proses fosforilasi oksidatif di mitokondria. Dengan demikian risiko terjadinya asidosis lebih rendah (Zilva, 1978). Asidosis laktat dapat digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B (Fuller dan Dellinger, 2012). Kedua tipe tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Asidosis Laktat Tipe A Kondisi ini menggambarkan
ketidakadekuatan
suplai
oksigen
atau
ketidaksesuaian konsumsi oksigen dan adanya glikolisis anaerob. Asidosis laktat tipe A umumnya terjadi pada pasien sakit kritis dengan gangguan 2.
hemodinamik yang jelas. Asidosis Laktat Tipe B Kondisi ini merupakan hiperlaktasemia tanpa glikolisis anaerob yang dapat terjadi karena perubahan klirens sekunder, malignansi atau efek obat-obatan tertentu. Beberapa pengobatan yang berkaitan dengan hiperlaktasemia, meliputi nucleoside reverse transcryptase inhibitors, epinefrin, metformin, metanol, sianida dan glikol etilen. Selain itu, kondisi pro inflamasi pada sepsis juga dapat menyebabkan stres hiperlaktasemia tanpa hipoksia jaringan.
Kedua tipe asidosis laktat tersebut dapat mungkin ditemukan secara bersamasama pada sejumlah pasien. Penegakan diagnosis asidosis laktat secara klinis tidak spesifik. Hal ini karena tidak adanya tanda dan gejala yang khas. Dalam menegakan diagnosis sangat penting untuk mengetahui hasil analisis gas darah dan kadar laktat serum. Selain itu, riwayat penyakit pasien juga dapat digunakan untuk menggambarkan etiologi yang mendasari asidosis laktat (Van der Beek, 2001). Berbagai penelitian eksperimental telah membuktikan adanya hubungan antara hipoksia jaringan dengan pembentukan turunan berupa laktat melalui mekanisme reduksi komponen suplai oksigen sistemik, seperti level hemoglobin, saturasi oksigen dan curah jantung. Kondisi tersebut terjadi sampai ekstraksi oksigen tidak mampu untuk mempertahankan ketersediaan oksigen sesuai kebutuhan sel. Pada tingkat kritis suplai oksigen, penggunaan oksigen di sel akan terbatas sesuai dengan kemampuan suplainya dan di saat tersebut akan diikuti dengan peningkatan kadar laktat yang signifikan (Bakker, dkk., 2013). Hal 9
tersebut didukung oleh studi Ronco dkk. (1993) yang menunjukkan bahwa pada pasien kritis, fenomena peningkatan kadar laktat dimulai ketika terjadi penurunan suplai oksigen hingga terjadinya kegagalan sirkulasi. Selain itu, Friedman dkk. (1998) juga menemukan bahwa peningkatan laktat terjadi pada fase awal resusitasi untuk pasien dengan sakit kritis. Temuan ini mengindikasikan pentingnya resusitasi dalam manajemen hiperlaktasemia. 2.1.3
Laktat pada Pasien Kritis
Laktat telah banyak dipelajari sebagai marker terkait keparahan penyakit pada pasien-pasien kritis di RTI (Marik, Bellomo dan Demla, 2013). Berbagai literatur menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar laktat serum maka semakin tinggi risiko kematian pada pasien, peningkatan laktat walaupun sedikit dapat mengindikasikan risiko untuk outcome yang lebih buruk. Kondisi tersebut dilaporkan konsisten pada beberapa populasi seperti pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis, serangan jantung dan trauma. Bahkan, pada kondisi sepsis berat, sedikit peningkatan kadar laktat (2-3,9 mmol/L) seringkali dikaitkan dengan risiko kematian, syok secara independen dan kegagalan organ multipel. Oleh karena itu, pada kondisi-kondisi pasien kritis perlu dilakukan pemantauan kadar laktat serum dan hal tersebut dapat digunakan sebagai acuan protokol terapi dan tujuan resusitasi (Fuller dan Dellinger, 2012). Pada pasien dengan sakit kritis, kadar laktat serum berperan penting sebagai parameter keadekuatan resusitasi. Literatur yang ada menyebutkan bahwa pada fase awal resusitasi kadar laktat serum tampak lebih efektif dalam memprediksikan
outcome
dibandingkan
dengan
penggunakan
indikator
hemodinamik seperti suplai dan konsumsi oksigen. Di lain pihak, terkait dengan pengambilan sampel darah untuk pengukuran laktat serum, tampaknya baik melalui arteri, vena maupun kapiler tidak memiliki perbedaan hasil yang bermakna (Fuller dan Dellinger, 2012). 2.2 Outcome Pasien Kritis Outcome merupakan luaran penting yang mencerminkan keadekuatan perawatan pasien kritis di RTI. Outcome pasien dapat ditinjau dari morbiditas dan 10
mortalitasnya. Banyak sistem penilaian yang dikembangkan untuk memprediksi probabilitas mortalitas di RTI dengan maksud untuk menemukan parameter akurat yang dapat digunakan sebagai prediktor outcome klinis perawatan pasien di RTI. Salah satu bentuk sistem skoring yang digunakan adalah Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE) II. APACHE II ini melibatan beberapa pengukuran laboratorium klinis dan setiap variabel pengukuran tersebut memiliki perannya masing-masing. APACHE II merupakan salah satu metode pengukuran keparahan penyakit yang telah diterima dengan baik. Prediksi risiko kematian menurut nilai APACHE II adalah berdasarkan pertimbangkan berbagai data klinis. Data klinis tersebut mencakup parameter fisiologis akut dan informasi klinis lainnya. Nilai akumulai dari skor fisiologis akut, usia dan kesehatan kronis akan membentuk skor akhir APACHE II. Pada poin fisiologis akut terdapat 13 variabel dengan variasi skor masing-masing variabel adalah 0 sampai 4, sedangkan pada poin usia dan kesehatan kronis memiliki masing-masing variasi skor yaitu, 0 sampai 6 dan 0 sampai 5. Hasil gabungan dari ketiga poin tersebut digunakan sebagai skor akhir untuk memprediksikan probabilitas kematian di RTI (Chhangani, dkk., 2015). Sistem skoring APACHE II merupakan pengembangan dari skoring APACHE yang diajukan Knauss, dkk. pada tahun 1985. Berikut ini merupakan pembagian poin dalam sistem skoring APACHE II, yaitu: 1.
Skor Fisiologis Akut Skor ini meliputi tingkat kesadaran yang ditentukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), temperatur rektal, tekanan nadi/ Mean Arterial Pressure (MAP), frekuensi denyut jantung, frekuensi pernafasan, kadar hematokrit, jumlah leukosit, kadar natrium serum, kadar kalium serum, kadar kreatinin serum, kadar keasaman atau pH darah atau tekanan parsial (PaCO2),
2.
dan tekanan parsial oksigen (PaO2) darah. Skor Usia Skor ini meliputi usia ≤ 44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun dan
3.
≥ 75 tahun. Skor Kesehatan Kronis Skor penyakit kronis atau kondisi premorbid ditentukan berdasarkan riwayat
penyakit yang menyangkut kelainan organ hepar (sirosis, perdarahan traktus gastrointestinal bagian atas akibat hipertensi portal, ensefalopati sampai 11
koma), kardiovaskular (dekompensasi kordis derajat IV), pulmo (hipertensi pulmonal, hipoksia kronis), ginjal (hemodialisis/peritoneal dialisis kronis), gangguan imunologi (sedang dalam terapi imunosupresi, kemoterapi, radiasi, steroid jangka panjang atau dosis tinggi, menderita penyakit yang menekan pertahanan terhadap infeksi, mislanya leukemia, limfoma, atau AIDS) dalam waktu 8 bulan sebelum sakit atau dirawat.
BAB III 12
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Suatu aspek penting dalam perawatan pasien kritis di RTI adalah memprediksikan outcome pasien. Outcome pasien kritis umumnya dapat ditinjau kejadian morbiditas dan mortalitasnya. Dalam memperkirakan mortalitas pasien kritis di RTI terdapat berbagai sistem skoring yang dapat digunakan, salah satunya APACHE II. Sistem skoring APACHE II memiliki beberapa nilai parameter klinis dan laboratorium. Terkait dengan hal tersebut, terdapat banyak variabel yang perlu diukur dalam menentukan outcome pasien kritis. Tentunya, satu pengukuran tidak mungkin menggantikan peran pengukuran yang lain. Namun, kehadiran peningkatan kadar laktat serum diduga memiliki implikasi penting dalam menentukan outcome (mortalitas) pasien. Peningkatan kadar laktat serum (hiperlaktasemia) merupakan kondisi umum yang terjadi pada pasien kritis di RTI. Hiperlaktasemia dapat terjadi karena peningkatan produksi laktat (mekanisme anaerob), gangguan eliminasi dan utilisasi laktat. Khusus pada pasien kritis, peningkatan glikolisis menjadi penyebab utama hiperlaktasemia. Kondisi hiperlaktasemia ini dapat digunakan sebagai parameter yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas di RTI. Dalam perkembangannya, kadar laktat serum dapat dipakai sebagai tujuan terapi pada pasien kritis di RTI. Pemantauan kadar laktat serum berperan sebagai acuan penting pada awal resusitasi. Penggunaan kadar laktat ini mulai dipertimbangkan setelah Mean Arterial Pressure (MAP) tidak cukup adekuat untuk digunakan sebagai tujuan terapi pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Oleh karena itu, dalam perawatan pasien kritis di RTI, pengukuran kadar laktat serial menjadi penting dalam menggambarkan kondisi pasien, karena tidak hanya mencerminkan interaksi dalam produksi dan eliminasi laktat tetapi juga mekanisme lain (selain hipoksia sel) yang berperan terhadap hiperlaktasemia. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin mengetahui apakah terdapat korelasi antara peningkatan kadar laktat serum dengan outcome pasien yang dirawat di RTI RSUP Sanglah. 3.2 Konsep Penelitian 13
Pasien Kritis
Perubahan seperti
metabolisme
peningkatan
proses
glikolisis
Peningkatan
Perubahan fungsi organ, hipoperfusi,
peningkatan
morbiditas dan mortalitas
kadar
laktat
serum (hiperlaktasemia)
Outcome pasien
Skor APACHE II
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu terdapat korelasi antara peningkatan kadar laktat serum terhadap outcome pasien yang dirawat di RTI RSUP Sanglah.
BAB IV 14
METODELOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan observasional (cross sectional) dengan jenis studi deskriptif korelasi untuk mengetahui hubungan antara peningkatan kadar laktat serum terhadap outcome pasien yang dirawat di RTI RSUP Sanglah. Adapun kerangka operasionalnya adalah sebagai berikut: RTI RSUP Sanglah
Kriteria Inklusi dan Eksklusi Peningkatan kadar laktat serum Outcome pasien
Analisis Data: Korelasi Gambar 4. Rancangan Penelitian 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Terapi Intensif (RTI) Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar dengan mengumpulkan data pasien yang masuk RTI selama periode Maret sampai April 2017. 4.3 Populasi, Sampel, dan Jumlah Sampel 4.3.1
Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah pasien-pasien yang masuk ke RTI RSUP
Sanglah Denpasar, selama periode Maret sampai April 2017. 4.3.2
Sampel Penelitian 15
Sampel penelitian ini adalah semua pasien yang masuk RTI RSUP Sanglah, yang memenuhi kriteria eligibilitas sebagai berikut: a.
b.
Kriteria Inklusi 1) Semua pasien dewasa usia 18-65 tahun yang masuk ke RTI RSUP Sanglah. 2) Pasien yang bersedia mengikuti penelitian. Kriteria Eksklusi 1) Pasien luka bakar, pasien pasca bedah jantung, dan pasien dengan perawatan koroner. 2) Pasien yang menggunakan preparat isoniazid dan metformin. 3) Pasien yang memerlukan ventilator mekanik 4) Pasien dengan penyakit ginjal kronik 5) Pasien dengan penyakit hati kronik 6) Pasien dengan penyakit paru obstruksi menahun 7) Pasien dengan pansitopenia
4.3.3
Jumlah Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan besar
sampel untuk uji korelasi (Sastroasmoro, 2011), sebagagai berikut: n= Keterangan: n
= jumlah sampel
Zα
= kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% hipotesis satu arah, sehingga Zα = 1,98
Zβ
= kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, sehingga Zβ = 1,28
r
= koefisien korelasi sebesar 0,4
Berdasarkan perhitungan besar sampel tersebut, maka besar sampel minimal adalah 62 orang. 4.3.4
Cara Pengambilan Sampel Cara
pengambilan
sampel
penelitian
dilakukan
dengan
metode
consecutive sampling. Consecutive sampling adalah cara pengambilan sampel berdasarkan kriteria waktu tertentu. Setiap pasien yang masuk ke RTI RSUP Sanglah, telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama periode bulan Maret 16
sampai September 2017 akan ditetapkan sebagai sampel penelitian hingga jumlah sampel minimal terpenuhi. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1
Identifikasi Variabel Variabel penelitian: peningkatan kadar laktat serum dan outcome pasien.
4.4.2 1.
Defisinisi Operasional Variabel
Peningkatan kadar laktat serum: selisih peningkatan kadar laktat vena sentral yang diambil pada saat awal pasien masuk ke RTI dalam 24 jam pertama dan
2.
48 jam berikutnya, pengukuran dengan menggunakan lactate analyzer egde. Outcome pasien: prediktor mortalitas pasien yang diukur dengan menggunakan sistem skoring APACHE II yang terdiri dari beberapa komponen, seperti riwayat insufisiensi organ kronis, frekuensi pernapasan, denyut nadi, riwayat Acute Kidney Injuri, nilai hematokrit, WBC, kalium,
3.
natrium, hematokrit, kreatinin dan PaO2. Usia: usia pada saat masuk rumah sakit yang diketahui dari dokumen resmi
4.
seperti KTP atau SIM dan dinyatakan dalam tahun. Jenis Kelamin: jenis kelamin biologis sejak lahir yang dikonfirmasi melalui dokumen resmi seperti KTP atau SIM.
4.5 Instrumen Penelitian 1.
Instrumen handheld lactate analyzer the EDGE®Lactate. Alat ini digunakan
2. 3.
untuk mengukur kadar laktat serum secara kuantitatif dalam mmol/L. Sampel darah arteri-vena baik sentral maupun perifer. Formulir: protokol penelitian, alur penelitian dan isian penelitian.
4.6 Prosedur Penelitian 1.
Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data pasien yang masuk ke RTI
2.
RSUP Sanglah selama periode waktu bulan Maret sampai April 2017. Data kadar laktat serum perifer diambil saat awal pasien dirawat di RTI
3.
RSUP Sanglah (24 jam pertama masuk RTI) 17di Kadar laktat serum akan diukur kembali pada 48 jam lama masa perawatan RTI RSUP Sanglah dan ditentukan nilai peningkatan kadar laktat serumnya.
4.
Pada 48 jam lama masa perawatan di RTI RSUP Sanglah, juga akan
5.
dilakukan pengukuran outcome pasien. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menguji korelasi antara peningkatan kadar laktat serum dengan outcome pasien yang dirawat di RTI RSUP Sanglah.
4.7.1 Prosedur Penelitian
Populasi Semua pasien yang masuk ke RTI RSUP Sanglah Inklusi
Eksklusi Eligible Subject / Sampel
Peningkatan kadar laktat serum, outcome pasien
Analisis Data: Uji Korelasi
Penyajian Data Gambar 5. Prosedur Penelitian 4.8 Analisis Statistik 4.8.1 Analisis Statistik Univariat Analisis
univariat
digunakan
untuk
mendeskripsikan
karakteristik
responden sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 1. Analisis Univariat Variabel Usia
Skala Data Numerik (interval)
18
Analisis Univariat Dianalisis dengan menggunakan mean, standar deviasi dan nilai maksimum-minimun
Jenis kelamin
Kategorik (nominal)
Peningkatan Kadar laktat serum
Numerik (rasio)
Outcome pasien: Numerik (rasio) SKOR APACHE II
Dianalisis dengan menggunakan frekuensi, persentase dan proporsi Dianalisis dengan menggunakan mean, standar deviasi dan nilai maksimum-minimun Dianalisis dengan menggunakan mean, standar deviasi dan nilai maksimum-minimun
4.8.2 Analisis Statistik Bivariat Pada analisis bivariat, sebelum dilakukan uji bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji kolmogorov smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal, jika nilai p > α (α = 0,05). Untuk menilai korelasi antara peningkatan laktat serum dengan outcome pasien, karena data berupa skala numerik dan jika terdistribusi normal maka analisa yang digunakan adalah Pearson Product Moment sedangkan jika tidak berdistribusi normal dapat menggunakan korelasi Rank Spearman. Pada analisis korelasi ini dilihat nilai r yang menunjukkan besar dan arah korelasinya. Analisis statistik ini akan menggunakan bantuan program komputer.
DAFTAR PUSTAKA
19
Bakker, dkk. 2013. Clinical use of lactate monitoring in critically ill patients. Annals of Intensive Care; 3(12). Available at: http://www.annalsofintensivecare.com/content/3/1/12
Brooks GA. 2002. Lactate shuttles in nature. Biochem Soc Trans, 30(2):258–264. Cady LD, Jr., Weil MH, Afifi AA, Michaels SF, Liu VY, Shubin H. et al. 1973. Quantitation of severity of critical illness with special reference to blood lactate. Crit Care Med. 1(2): 75–80. Chhangani, N.P., Amandeep, M., Choudhary, S., Gupta, V., Goyal, V. 2015. Role of acute physiology and chronic health evaluation II scoring system in determining the severity and prognosis of critically ill patients in pediatric intensive care unit. Indian J Crit Care Med; 19(8): 462–465. doi: 10.4103/0972-5229.162463 Clinical Excellence Commission. 2014. Lactate information sheet for clinicians. Available at: http://www.cec.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0007/259387/lactat e-information-sheet-for-clinicians.pdf. Dharma AB, Rosalina I, Sekarwana N. 2008. Hubungan Kadar Laktat Plasma dengan Derajat Disfungsi Organ Berdasarkan Skor PELOD pada Anak Sakit Kritis. Sari Peiatri. 10(4): 280-4. Fall PJ, Szerlip HM. 2005. Lactic acidosis: from sour milk to septic shock. J Intensive Care Med. 20 (5):255–271. Friedman, G., De Backer, D., Shahla, M., Vincent, J.L. 1998. Oxygen supply dependency can characterize septic shock. Intensive Care Med; 24(2):118– 123. Fuller dan Dellinger. 2012. Lactate as a hemodynamic marker in the critically ill. Curr Opin Crit Care; 18(3): 267–272. Available at: doi:10.1097/MCC.0b013e3283532b8a Guntur HA, 2001. Perbedaan respon imun yang berperan pada sepsis dan syok septik: Suatu penedekatan imunopatobiologik sepsis dan septik pada immunocompromise dan non immunocompromise. Desertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga: 46-48. Harrison DA, Brady AR, Parry GJ, Carpenter JR, Rowan K. 2006. Recalibration of risk prediction models in a large multicenter cohort of issions to adult, general critical care units in the United Kingdom. Crit Care Med 34:1378–88. Husain FA, Martin JM, Mullenix SP., Steele RS, Elliot CD. 2003. Serum lactate and base deficit as predictors of mortality and morbidity. American Journal of Surgery; 185 (5). Knaus WA, Wagner DP, Draper EA, Zimmerman JE, Bergner M, Bastos PG, Sirio CA, Murphy DJ, Lotring T, Damiano A, et al. 1991. "The APACHE III prognostic system. Risk prediction of hospital mortality for critically ill hospitalized adults". Chest. 100 (6): 1619–36 Lee SW, Hong YS, Park DW, Choi SH, Moon SW, Park JS, Kim JY, Baek KJ. 2008. Lactic acidosis not hyperlactatemia as a predictor of in hospital 20 mortality in septic emergency patients. Emerg Med J; 25(10):659–665 Lubis., 2006. Asidosis Laktat.Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39. No 1 Malmir, J., Bolvardi, E., & Aghae, M. A. 2014. Serum lactate is a useful predictor of death in severe sepsis and septic shock. Reviews in Clinical Medicine; Vol 1 (No 3).
Marik, P.E., Bellomo, R., Demla, V. 2013. Lactate clearance as a target of therapy in sepsis: A flawed paradigm. OA Critical Care; 1(1) Okorie N, Dellinger RP. 2011. Lactate: Biomarker and potential therapeutic target. Crit Care Clin. 27:299–326. Pudjiastuti. 2008. Imunoglobulin Intravena pada Anak dan Bayi dengan Sepsis. Kumpulan Makalah. National Symposium: The 2nd Indonesian Sepsis Forum. Surakarta, March 7th-9th. p:100 Regnier MA, Raux M, Le MY, Asencio Y, Gaillard J, Devilliers C, et al. 2012. Prognostic significance of blood lactate and lactate clearance in trauma patients. Anesthesiol. 117(6):1276–88. Ronco, J.J., Fenwick, J.C., Tweeddale, M.G., Wiggs, B.R., Phang, P.T., Cooper, D.J., Cunningham, K.F., Russell, J.A., Walley, K.R. 1993. Identification of the critical oxygen delivery for anaerobic metabolism in critically ill septic and nonseptic humans. JAMA; 270(14):1724–1730. Rowan KM, Kerr JH, Major E, Mherson K, Short A, Vessey MP. 1993. Intensive Care Society’s APACHE II study in Britain and Ireland-II: Outcome comparisons of intensive care units after adjustment for case mix by the American APACHE II method. BMJ. 307:977–81. Van der Beek, A., Meinders, A.E. 2001. Lactic Acidosis : Pathophysiology, diagnosis and treatment Review. The Netherlands journal of medicine; 58: 128-136. Vasilevskis EE, Kuzniewicz MW, Cason BA, Lane RK, Dean ML, Clay T, Rennie DJ, Vittinghoff E, Dudley RA. 2009. Mortality Probability Model III and Simplified Acute Physiology Score II. Chest. Jul; 136(1): 89–101 Vernon C, LeTourneau JL. 2010. Lactic acidosis: recognition, Kinetics and Associated Prognosis. Critical Care Clin 26:255-283 Vernon, C., LeTourneau, J. L. 2010. Lactic acidosis: Recognation, Kinetics, and Associated Prognosis. Critical care Clinics 26 h. 255-283. Zhang H, Vincent JL. 1993. Oxygen extraction is altered by endotoxin during tamponade-induced stagnant hypoxia in the dog. Circ Shock J1 - CS, 40(3):168–176. Zilva. 1978. The origin of the acidosis in hyperlactataemia. Ann Clin Biochem; 15(1):40–43.
21