1. Apa yang di maksud post ictal paralysis ? Post ictal paralysis atau disebut juga Todd paralisis adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan periode singkat kelumpuhan setelah kejang. Kelumpuhan yang mungkin sebagian atau lengkap umumnya pada suaty sisi tubuh dan biasanya reda sepenuhnya dalam waktu 48 jam. Todds paralise pada mulanya dapat terancukan dengan stroke. Hemipharese menyertai kejang-kejang setempat, namun tanda kelemahan dan neurologis hilang secara sempurna dalam 24
jam dari konvulsi.
Meskipun penyebab todds paralisis belum diketahui secara pasti, hemiparese mungkin karena akibat dari penomena penghambat, mungkin terkait dengan disfungsi neurotransmiter. Sebenarnya dengan riwayat hipertensi yang diderita kita bisa curiga ada gangguan vaskuler membentuk epileptic area di otak yang mendasari terjadinya kejang pada pasien. Serangan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan pasien
mengalami epilepsi parsial. Keadaan yang lemas pada saat dirawat hari-hari pertama menunjukkan Todd’s Paralysis yang biasa terjadi pada pasien post convulsion. Terapi dengan antiepilepsi dan if untuk kelemahan seluruh tubuh yang dialami. Todd paralisis dapat memperngaaruhi kemampuan berbicara dan penglihatan. Penyebab paralisis todd tidak diketahui. Teori lain menyebutkan kelainan dari korteks motorik primer. Pemeriksaan dari seorang individu yang mengalani atau yang baru saja mengalami kondisi ini dapat membantu dokter mengidentifikasi asal kejang. Hal ini penting untuk membedakan kondisi dari suatu stroke yang membutuhkan perawatan berbeda. Post ictal paralisis adalah kelemahan pada anggota gerak yang disebabkan karena proses kejang sebelumnya, dimana proses kejang merupakan lesi iritatif yang berlebihan pada korteks, khususnya area motorik. Lesi iritatif ini dapat berupa sikatriks, infeksi, trauma, perlukaan, tumor dan gangguan sirkulasi darah. Pada kejadian post ictal paralisis terdapat 2 hipotesa sebagai penyebabnya, yaitu karena teori deplesi dimana pada korteks motorik telah terjadi prolong hiperpolarisasi pada saat kejang, dan hipotesa kedua adalah karena adanya inaktivasi sesaat pada serat motorik yang disebabkan karena aktivasi reseptor NMDA (N-Methil D-Aspartat) yaitu
reseptor
glutamat
yang
meningkat
neurotransmitter yang bersifat eksitasi.
pada
kejadian
kejang
sebagai
2. Klasifikasi udem serebri ? Vasogenic edema Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic edema ini disebabkan oleh faktor tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya tekanan darah dan aliran darah dan oleh faktor osmotik. Ketika protein dan makromolekul lain memasuki rongga ekstraseluler otak karena kerusakan sawar darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler juga meningkat. Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral can cerebellar karena perbedaan compliance antara substansia abla dan grisea. Edema vasogenic ini juga sering disebut “edema basah” karena pada beberapa kasus, potongan permukaan otak nampak cairan edema. Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap trauma, tumor, inflamasi fokal, stadium akhir dari iskemia cerebral, dll. Edema Sitotoksik Pada edema sitotoksik, terdapat peningkatan volume cairan intrasel, yang berhubungan dengan kegagalan dari mekanisme energi yang secara normal tetap mencegah air memasuki sel, mencakup fungsi yang inadekuat dari pompa natrium dan kalium pada membran sel glia. Neuron, glia dan sel endotelial pada substansia alba dan grisea menyerap air dan membengkak. Pembengkakan otak berhubungan dengan edema sitotoksik yang berarti terdapat volume yang besar dari sel otak yang mati, yang akan berakibat sangat buruk. Edema sitotoksik ini sering disistilahkan dengan edema kering. Edema sitotoksik ini terjadi bila otak mengalami kerusakan yang berhubungan dengan hipoksia, iskemia, abnormalitas metabolik (uremia, ketoasidosis metabolik), intoksikasi (dimetrofenol, triethyl itin, hexachlorophenol, isoniazid) dan pada sindroma Reye, hipoksemia berat. Edema Interstisial Edema interstisial adalah peningkatan volume cairan ekstrasel yang terjadi pada substansia alba periventrikuler karena transudasi cairan serebrospinal melalui dinding ventrikel ketika tekanan intraventrikuler meningkat. Contoh pada jenis udem ini adalah pada hidrocephalus obstruktif.
3. Cara membedakan hipertensi kronis dengan hipertensi yang disebabkan stroke ?
Cara yang sering dilakukan untuk membedakan hipertensi yang memeang kronis atau sejak dahulu pasien menderita hipertensi dengan yang reaktif adalah dengan
menggunakan rumus mean arterial pressure(MAV) yaitu
S+ 2 D . Dari hasil 3
tersebut kita dapat mengobservasi pada pemeriksaat tekanan darah selanjutnya, pada beberapa jurnal saat ini memakai jangka waktu 24 jam untuk mengecek ulang tekanan darah pada hipertensi reaktivasi, jika nilai MAV mengalami penurunan maka kemungkinan itu adalah hipertensi yang disebabkan oleh stroke salah satunya. Tetapi jika nilai MAV tetap konstan atau hanya sedikit perubahan, kemungkinan besar itu adalah hipertensi kronis. Biasa terjadi peningkatan darah pada hipertensi akibat stroke adalah pada stroke dalam jangka waktu akut yaitu < 12 jam, tetapi jurnal saat ini memakai waktu 24 jam untuk cek selanjutnya pada hipertensi reaktivasi. 4. Jelaskan tingkat penurunan cerebral blood flow dan apa yang terjadi dengan sel otak pada keadaan tersebut ? Bila perfusi ke cerebri terhambat atau berkurang, otak memiliki kemampuan terbatas untuk mengkompensasi. Pertama-tama mekanisme kompensasi akan terjadi dulu sampai maksimal sebelum terjadinya hipoperfusi sebagai akibat berkurangnya cerbral blood flow dan mengganggu metabolisme energi otak.
Tingkat kritikal pertama Terjadi bila aliran darah otak menurun hingga 70-80% (kurang dari 50 ml/100mg jaringan otak/menit). Menurut Hossmann pada keadaan ini respon pertama otak adalah terhambatnya sintesa protein karena adanya disagregasi ribosom
Tingkat kritikal kedua Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 50% (30 – 35 ml/100mg jaringan otak/menit). Akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob dan ppeningkatan konsentrasi laktat yang selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik
Tingkat kritikal ketiga Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 30% (hingga 20ml/100mg jaringan otak/menit). Pada keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi ATP sehingga defisit energi, serta adanya gangguan transport aktif ion,
instabilitas membran sel serta dilepaskannya neurotransmitter eksitatorik yang berlebihan. Pada saat aliran darah otak mencapai hanya 20% dari nilai normal (10-15 ml/100mg jaringan otak/menit) maka neuron-neuron otak akan mengalami hilangnya gradien ion dan selanjutnya terjadi depolarisasi anoksik dari membran. Jika jaringan otak mendapat aliran darah kurang dari 10 ml/100g jaringan otak.menit akan terjadi kerusakan otak yang ireversibek secara cepat dalam waktu 6-10 menit.
5. Bagaimana meningitis sebabkan hemiparese? MENINGITIS TB A. DEFINISI Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org). Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis. B. PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang. Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala.
Primernya Di Paru-Paru Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang. Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis: 3. Araknoiditis proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen. 2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin. 3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia. Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu: 1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier; 2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang difus; 3. Acute inflammatory caseous meningitis Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid 4. Meningitis proliferatif Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi. C. MANIFESTASI KLINIS Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga stadium: 1.
Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal) Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis Gejala:
demam (tidak terlalu tinggi) rasa lemah anorexia nyeri perut sakit kepala
tidur terganggu mual, muntah konstipasi apatis irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten.
Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk
diatas lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi. Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak " menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun. Gejala: Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama) Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
disorientasi bingung kejang
hemibalismus / hemikorea hemiparesis / quadriparesis penurunan kesadara
tremor
3.
Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII Tanda: - strabismus - diplopia ptosis - reaksi pupil lambat gangguan penglihatan kabur Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu Gangguan fungsi otak semakin jelas. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi. Gejala:
Nadi dan pernapasan irregular
demam tinggi (hiperpireksia) edema papil hiperglikemia kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma. otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus. pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. akhirnya, pasien dapat meninggal. Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat. 6. Macam-macam nyeri dan contohnya ? Nyeri (menurut The International Association for the Study of Pain / IASP) merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan N yeri
Klasifikasi Nyeri
Nyeri Nosiseptif
Nyeri Nosiseptif
Non-
Nyeri Somatik
Somatik Superfisial (Kulit) Somatik Dalam
Nyeri Viseral
Nyeri Neuropatik
Nyeri Psikogenik
Nyeri Nosiseptif: nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut A-δ dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal, kimiawi Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik sehingga kerusakan kulit menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat (yang terbatas dermatom) Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas.
Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi organ berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri visceral sering kali diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual, muntah) Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf, seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi. Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan nyeri neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik.
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
Nyeri Akut: nyeri yang mereda setelah penyembuhan
Nyeri Kronik: nyeri yang tetap berlanjut walaupun di beri pengobatan dan nyeri tidak memiliki makna biologic. Nyeri kronik merupakan suatu sindrom kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin untuk penanganan
Sifat
Awitan, Durasi
Awitan mendadak; durasi singkat, <6 bulan
Intensitas
Kausa
Spesifik, dapat di identifikasi secara biologis Hiperaktivitas autonom yang dapat diperkirakan: tekanan darah, nadi, napas meningkat; dilatasi pupil; pucat; perspirasi; mual dan/atau muntah Cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah, distress, tapi tetap optimis nyeri akan hilang
Respon fisiologik
Respon emosi/perilaku
Respon terhadap analgesik
Sedang-parah
Meredakan secara efektif
Nyeri Akut
Macam Nyeri yang lain
nyeri
Nyeri Kronik
Awitan bertahap; menetap, >6 bulan Sedang-parah Kausa mungkin jelas, mungkin tidak Aktivitas autonom normal
Depresi, lelah, imobilitas atau inaktivitas fisik; menarik diri dari lingkungan social; tidak ada harapan akan kesembuhan; memperkirakan nyeri akan berlangsung lama Sering kurang dapat meredakan nyeri
Nyeri Setempat: terjadi karena iritasi pada ujung saraf penghantar impuls nyeri. Biasanya terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Nyeri bertambah pada sikap tertentu atau karena gerakan. Pada penekanan nyeri dapat bertambah hebat atau diluar masa dapat ditimbulkan nyeri tekan Referred Pain (nyeri pindah): nyeri yang dirasakan ditempat lain bukan di tempat kerusakan jaringan penyebab nyeri. Misal pada infark miokard, nyeri dirasa di bahu kiri; pada kolesistitis, nyeri dirasa di bahu kanan Nyeri Radikular: serupa referred pain, tapi nyeri radikular berbatas tegas, terbatas pada dermatomnya, sifat nyeri lebih keras dan terasa pada permukaan tubuh. Nyeri timbul karena perangsangan pada radiks (baik tekanan, terjepit, sentuhan, regangan, tarikan) Nyeri akibat spasmus otot (pegal): terjadi ketika otot dalam keadaan tegang (akibat kerja berat), keadaan tegang mental juga berperan terjadinya ketegangan pada otot 7. Penyebab dari LBP ?
Penyebab Low Back Pain (LBP)
Beberapa faktor yang menyebabakan terjadinya LBP, antara lain:
Kelainan Tulang Punggung (Spine) Sejak Lahir
Keadaan ini lebih dikenal dengan istilah Hemi Vertebrae. Menurut Soeharso (1978) kelainan-kelainan kondisi tulang vertebra tersebut dapat berupa tulang vertebra hanya setengah bagian karena tidak lengkap pada saat lahir. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya low back pain yang disertai dengan skoliosis ringan. Selain itu ditandai pula adanya dua buah vertebra yang melekat menjadi satu, namun keadaan ini tidak menimbulkan nyeri. Terdapat lubang di tulang vertebra dibagian bawah karena tidak melekatnya lamina dan keadaan ini dikenal dengan Spina Bifida. Penyakit spina bifida dapat menyebabkan gejalagejala berat sepert club foot, rudimentair foof, kelayuan pada kaki, dan sebagainya. namun jika lubang tersebut kecil, tidak akan menimbulkan keluhan.
Beberapa jenis kelainan tulang punggung (spine) sejak lahir adalah: Penyakit Spondylisthesis
Pada spondylisthesis merupakan kelainan pembentukan
korpus vertebrae, dimana arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebrae (Bimariotejo, 2009). Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi, namun ketika berumur 35 tahun baru menimbulkan nyeri akibat kelinan-kelainan degeneratif. Nyeri pinggang ini berkurang atau hilang bila penderita duduk atau tidur dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan (Bimariotejo, 2009).
Soeharso (1978) menyebutkan gejala klinis dari penyakit
ini adalah:
1). Penderita memiliki rongga badan lebih pendek dari semestinya. Antara dada dan panggul terlihat pendek.
2). Pada punggung terdapat penonjolan processus spinosus vertebra yang menimbulkan skoliosis ringan.
3). Nyeri pada bagian punggung dan meluas hingga ke ekstremitas bawah.
4). Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya dislokasi, ukuran antara ujung spina dan garis depan corpus pada vertebra yang mengalami kelainan lebih panjang dari garis spina corpus vertebrae yang terletak diatasnya.
Penyakit Kissing Spine
Penyakit ini disebabkan karena dua tau lebih processus
spinosus bersentuhan. Keadan ini bisa menimbulkan gejala dan tidak. Gejala yang ditimbulkan adalah low back pain. Penyakit ini hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan X-ray dengan posisi lateral (Soeharso, 1978).
Sacralisasi Vertebrae Lumbal Ke V transversus
Penyakit
ini
disebabkan
karena
processus
dari vertebra lumbal ke V melekat atau menyentuh os sacrum
dan/atau os ileum (Soeharso, 1978).
Low Back Pain karena Trauma Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama LBP (Bimariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Gerakan bagian punggung belakang yang kurang baik dapat menyebabkan kekakuan dan spasme yang tiba-tiba pada otot punggung, mengakibatkan terjadinya trauma punggung sehingga menimbulkan nyeri. Kekakuan otot cenderung dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun pada kasus-kasus yang berat memerlukan pertolongan medis agar tidak mengakibatkan gangguan yang lebih lanjut (Idyan, 2008). Menurut Soeharso (1978), secara patologis anatomis, pada low back pain yang disebabkan karena trauma, dapat ditemukan beberapa keadaan, seperti:
Perubahan pada sendi Sacro-Iliaca
Gejala yang timbul akibat perubahan sendi sacro-
iliaca adalah rasa nyeri pada os sacrum akibat adanya penekanan. Nyeri dapat bertambah saat batuk dan saat posisi supine. Pada pemerikasaan, lassague symptom positif dan pergerakan kaki pada hip t terbatas.
Perubahan pada sendi Lumba Sacral
Trauma dapat menyebabkan perubahan antara vertebra
lumbal V dan sacrum, dan dapat menyebabkan robekan ligamen atau fascia. Keadaan ini dapat menimbulkan nyeri yang hebat di atas vertebra lumbal V atau sacral I dan dapat menyebabkan keterbatasan gerak.
Low Back Pain karena Perubahan Jaringan Kelompok penyakit ini disebabkan karena terdapat perubahan jaringan pada tempat yang mengalami sakit. Perubahan jaringan tersebut tidak hanya
pada
daerah
punggung
bagian
bawah,
tetapi terdapat
juga
disepanjang punggung dan anggota bagian tubuh lain (Soeharso, 1978). Beberapa jenis penyakit dengan keluhan LBP yang disebabakan oleh perubahan jaringan antara lain:
Osteoartritis (Spondylosis Deformans)
otot- ototnya
Dengan bertambahnya usia seseorang maka kelenturan
juga
menjadi
berkurang
sehingga
sangat
memudahkan
terjadinya kekakuan pada otot atau sendi. Selain itu juga terjadi penyempitan dari ruang antar tulang vetebra yang menyebabkan tulang belakang menjadi tidak fleksibel seperti saat usia muda. Hal ini dapat menyebabkan nyeri pada tulang belakang hingga ke pinggang (Idyan, 2008).
Penyakit Fibrositis
Penyakit ini juga dikenal dengan Reumatism Muskuler.
Penyakit ini ditandai dengan nyeri dan pegal di otot, khususnya di leher dan bahu. Rasa
nyeri memberat saat beraktivitas, sikap tidur yang buruk dan kelelahan (Dieppe, 1995 dalam Idyan, 2008). Penyakit Infeksi
Menurut Diepee (1995) dalam Idyan (2008), infeksi pada
sendi terbagi atas dua jenis, yaitu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri dan infeksi kronis, disebabkan oleh bakteri tuberkulosis. Infeksi kronis ditandai dengan pembengkakan sendi, nyeri berat dan akut, demam serta kelemahan.
Low Back Pain karena Pengaruh Gaya Berat Gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan dapat mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, coxa valgum dan sebagainya (Soeharso, 1987). Beberapa pekerjaan yang mengaharuskan berdiri dan duduk dalam waktu yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya LBP (Klooch, 2006 dalam Shocker, 2008). Kehamilan dan obesitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya LBP akibat pengaruh gaya berat. Hal ini disebabkan terjadinya penekanan pada tulang belakang akibat penumpukan lemak, kelainan postur tubuh dan kelemahan otot (Bimariotejo, 2009).