REFERAT
Komplikasi Posisi Pasien Intraoperatif
OLEH : Fedhi Khairi Asadi H1A 009 050
PEMBIMBING :
dr.Ni Made Ayu Suria, SpAn
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB 2015
BAB I PENDAHULUAN Selama operasi, selain pemantauan mengenai tanda vital tidak kalah pentingnya untuk pemantauan posisi pasien, karena posisi pasien selama operasi kerap menghasilkan perubahan fisiologis yang tidak diinginkan, seperti gangguan venous return ke jantung atau desaturasi oksigen akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Posisi yang tepat membutuhkan kooperasi baik dari dokter anesthesia, dokter bedah, maupun perawat untuk memastikan keamanan dan kenyaman pasien selama dilakukan proses operasi. Selama operasi, pasien harus diposisikan dalam keadaan yang dapat ditoleransi saat mereka sadar nantinya. Ahli bedah berharap untuk melakukan eksposur yang optimal untuk prosedur yang mereka lakukan dan pasien tetap berada di posisi yang sama untuk waktu yang lama, sehingga pencegahan komplikasi yang berhubungan dengan posisi tersebut tidak terjadi, kalaupun terjadi, tentunya harus dapat ditangani.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berbagai macam manipulasi posisi dapat dilakukan selama tindakan operasi, bergantung dari jenis dan tindakan operasi. Beberapa macam posisi tersebut antara lain : 1. POSISI SUPINE Posisi supine adalah posisi pasien terbaring terlentang dengan kedua tangan dan kaki lurus dalam posisi horizontal a. Variasi Posisi Supine1 1. Pada posisi supine tradisional, pasien berbaring terlentang dan kepala disokong dengan bantal. Lengan diletakkan disamping tubuh atau diregangkan pada papan lengan.Tumpuan berat badan berada pada oksiput, pundak dan scapula, sacrum, betis, dan tumit. Pada posisi ini lordosis lumbal yang normal dapat hilang, yang bisa mengakibatkan nyeri punggung post operasi. Insidens terjadinya keluhan nyeri post op ini dihubungkan dengan lamanya operasi.
Gambar 1. Posisi supine tradisional 2. Pada posisi supine dengan kontur / Lawn Chair, panggul dan lutut sedikit fleksi mirip dalam posisi anatomi alami sendi yang diasumsikan sama dengan posisi istirahat pada kursi malas. Posisi ini termasuk pada posisi yang lebih alami, khususnya pada prosedur operasi yang lama, karena sendi ekstremitas bawah tidak terlalu terekstensi, tidak sama halnya dengan posisi supine tradisional.
Dengan bantal dibawah bahu, kepala dinaikkan diatas posisi atrium, sehingga dapat mengurangi tekanan vena serebri.Posisi tubuh seperti ini lebih baik dibanding posisi supine tradisional untuk pasien orang tua dan anak-anak yang lebih besar. Posisi supine kontur ini harus selalu diawasi supaya venous return dari ekstremitas bawah tidak mengalami obstruksi. Keuntungan dari posisi ini terletak pada kenyamanan baik pasien sadar maupun tersedasi karena berat badan lebih terdistribusikan, dan mengurangi tegangan pada panggul dan sendi lutut.
Gambar 2. Posisi supine dengan kontur 3. Posisi supinefrogleg (kaki kodok) dilakukan dengan fleksi yang bersamaan dari panggul dan lutut, dimana panggul berotasi keluar, menjadikan tumit berada pada posisi midline. Posisi paha selanjutnya dirotasi eksterna dari panggul. Bantalan diletakkan dibawah lutut, pada bagian lateral paha dan bagian kaki yang rendah.Posisi tubuh seperti ini dapat digunakan pada prosedur operasi di medial paha, genitalia, dan perineum.
Gambar 3.Posisi Supinefrogleg
4. Posisi supine dengan kaki tergantung (the Supine-Hanging leg position) dipakai pada operasi yang melibatkan sendi lutut. Pada posisi ini pasien ditempatkan pada ujung meja operasi, sehingga lutut tergantung di ujung meja.
Gambar 4. Posisi supine dengan kaki tergantung b. Pengaruh Fisiologis Pada Posisi Supine Efek hidrostatik yang normal akibat gravitasi pada venous return tidak berpengaruh pada posisi supine. Sebagai hasilnya, perubahan postur tubuh dari posisi berdiri ke posisi supine awalnya menyebabkan peningkatan venous return dengan kenaikan perfusi paru secara bertahap serta peningkatan cardiac output dan tekanan arteri. Perubahan ini tidak menetap karena terdapat mekanisme kompensasi (melalui baroreseptor arterial pada dinding aorta dan arteri karotis) yang ditandai dengan menurunnya heart rate, stroke volume, resistensi perifer, tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure), dan kontraktilitas miokard.2 c. Komplikasi Posisi Supine 1,2,3 1. Beberapa permukaan kulit beresiko terjadinya trauma dari tekanan langsung. Penurunan aliran darah kulit dapat menimbulkan bulla dan nekrosis kulit. 2. Pada bayi kecil dan anak-anak, kepala mereka beresiko selama anestesi yang lama dengan posisi supine. Sebagian besar area oksipital merupakan tumpuan penuh dari berat kepala, yang berpotensi menimbulkan iskemik akibat tekanan dan kerontokan rambut. Alopesia (kebotakan sirkular) dapat terjadi
dalam beberapa hari atau minggu setelah operasi. Bahkan tumpuan yang adekuat tidak dapat mencegah terjadinya trauma selama prosedur operasi yang lama. Pengangkatan kepala dan pijatan kulit kepala ringan atau menolehkan kepala dalam interval waktu yang teratur dapat mencegah masalah tersebut diatas. 3. Pleksus brachialis mempunyai resiko terjadinya iskemik akibat tekanan dan trauma akibat regangan. Bentuk yang paling sering dari trauma pleksus brachialis pada anestesi umum disebabkan oleh peregangan saraf-saraf yang berlebihan. Lengan pasien sering mengalami abduksi dan dirotasikan keluar untuk memudahkan akses monitoring dan intravena. Dengan posisi lengan yang terabduksi konstan, fleksi leher ke daerah kontralateral menyebabkan pleksus brachialis tertekanan oleh caput humerus sebagai titik pivot dari regangan sehingga neuropraksia dapat terjadi. Modifikasi dari posisi supine dengan lengan yang berada dibawah kepala dapat menimbulkan trauma akibat regangan dari pleksus brachialis bila dilakukan abduksi berlebihan atau jika dilakukan pada fleksi anterior lengan, dan khususnya jika dikombinasikan dengan rotasi leher kontralateral. Seorang ahli anestesi harus mewaspadai adanya
pergerakan
berlebihan
selama
prosedur
pembedahan
untuk
meminimalkan resiko neuropathy perioperatif. Pada pasien dewasa, trauma pleksus brachialis menduduki tempat kedua sebagai tempat yang mengalami trauma pada anestesi berdasarkan data dari Pencegahan yang dianjurkan adalah dengan menghindari trauma pleksus 4. Trauma nervus ulnaris termasuk sepertiga dari jumlah keseluruhan trauma saraf yang berhubungan dengan anestesi dan merupakan neuropathy yang paling umum berkaitan dengan anestesi. Trauma karena traksi terjadi akibat ekstensi dan pergeseran leher kearah lateral, yang menyebabkan peningkatan traksi pada bagian kontralateral pleksus brachialis, atau juga pada saat lengan mengalami abduksi lebih dari 90o disertai pergeseran ke arah posterior, yang meningkatkan tekanan terhadap nervus ulnaris ipsilateral. Pada siku, n.
ulnaris secara superficial berada di belakang epikondilus medial dari humerus (condylar groove) dan pada lokasi ini secara langsung, kompresi lama dapat mencetuskan iskemik saraf dan terjadinya neurapraksia.Posisi lengan dan dorsal pergelangan tangan serta posisi ekstensi dapat mengamankan letak kateter arterial.Trauma n. ulnaris menyebabkan ketidakmampuan tangan untuk bergerak sehingga otot-otot kecil tangan mengalami paralysis.Vigilance dapat menjaga agar siku dan lengan berada pada posisi yang sesuai selama prosedur operasi. Sayangnya, terapi disabilitas dari lesi mempunyai hasil yang beragam. 5. Pada pasien dengan posisi supine, trauma n. sciatic jarang terjadi; akan tetapi trauma saraf ini dapat terjadi akibat peregangan langsung atau kompresi sekunder dari strangulasi suplai darah ke saraf. Komplikasi ini dapat menyebabkan sindrom compartment.Posisi panggul yang melampaui ujung meja operasi, atau penempatan beanbags untuk menaikkan dan menstabilisasi posisi kaki selama arthroscopy dapat menimbulkan trauma kompresi n. sciatic. N. peroneal yang merupakan cabang dari n. sciatic, dapat rusak akibat penekanan langsung disekitar columna fibula. Nervus ini adalah saraf yang paling sering terkena trauma. Semua otot dibawah lutut terparalisis dan pasien akan mengalami footdrop. Ditandai juga dengan hilangnya sensasi di bawah lutut, kecuali pada area yang disuplai dari bagian medial n. saphenus. 6. Hiperekstensi lutut dapat menyebabkan peregangan ligament dan nyeri dari kapsul sendi posterior. Sindrom compartment dari ekstremitas bagian bawah merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi pada pasien-pasien dengan posisi supine. Komplikasi ini dapat terjadi, pada saat betis berada pada posisi hard cushion untuk mempertahankan fleksi lutut selama prosedur operasi.
Gambar 5. Daerah yang beresiko terhadap tauma yang berhubungan dengan regangan pada posisi supine : A, kulit kepala pada occipital. B, condylar groove. C, kulit pada sakrum.D, daerah pada tendoachiles dan kaki. 2. Posisi Head-Up / Reverse Trendelenburg Posisi head up/ reverse trendelenburg adalah posisi terlentang dengan kepala berada pada level yang lebih tinggi, sering digunakan untuk memfasilitasi pembedahan perut bagian atas dengan menggeser isi perut.1,4 a. Fisiologi Head-Up / Posisi Reverse Trendelenburg Perubahan pada mekanisme sistem respirasi relatif kecil pada subjek sehat yang sadar disebabkan adanya kemampuan adaptasi terhadap perubahan mekanik dinding dada secara total. Perubahan posisi dari supine ke head-up 30o menghasilkan penurunan yang tidak bermakna pada dinding dada dan elastisitas paru dan memperbaiki komplians tetapi menyebabkan peningkatan FRC hingga mendekati 20%. Pada orang dewasa sehat yang dianestesi, head-up menyebabkan pengurangan CO yang signifikan dan MAP hingga 40% dibandingkan dengan posisi supine. Denyut jantungdan resistensi vaskuler perifer mengalami sedikit peningkatan karena tekanan pengisian berkurang secara signifikan. Echocardiografi menunjukkan preload yang diukur dengan enddiastolic ventrikel kiri, juga menurun, mengalami perubahan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh tekanan pengisian. Secara respektif, hal ini berhubungan dengan penurunan volume darah intratorakal dan pulmonal, sekitar 14 dan 17%.Penurunan ini mungkin disebabkan adanya perpindahan volume darah melalui kompartemen ekstratorakal, terutama ke ekstremitas bawah. Walaupun posisi reverse Trendelenburg meningkatkan FRC dan komplians paru, namun oksigenasi tidak terlalu meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penurunan cardiac output, yang terjadi pada head-up.
Gambar 6. Posisi Head-Up / Posisi Reverse Trendelenburg b. Komplikasi Head-Up / Posisi Reverse Trendelenburg5,6 Komplikasi yang berhubungan dengan posisi prone dengan kepala yang dielevasi atau posisi supine dengan kepala yang dielevasi hampir sama dengan posisi prone dan supine tradisional. Disamping komplikasi yang mungkin muncul sebagai hasil dari perubahan fisiologis akibat reposisi, pada posisi prone dengan kepala yang dielevasi ditakutkan terjadinya komplikasi opthalmika berupa kompresi pada mata. Penempatan penyanggah yang tepat pada bagian bawah bokong harus digunakan untuk mencegah pasien meluncur jatuh dari meja yang diekstensikan. Penyanggah seharusnya diposisikan antara caput femoralis dan krista iliaka untuk menghindari kompresi pada persilangan pembuluh darah dari persendian panggul dan dapat menyebabkan nekrosis iskemik caput femoralis. Jika kepala dielevasi di atas posisi jantung dapat timbul resiko terjadinya emboli udara, walaupun secara signifikan kurang bila dibandingkan dengan posisi duduk klasik. Monitoring yang baik seharusnya dilakukan. 3. POSISI TRENDELENBURG Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o sekitar tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis disebabkan isi abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Posisi ini sering digunakan untuk meningkatkan venous return selama hipotensi, untuk memaksimalkan eksposur selama operasi abdominal dan laparoskopi, dan selama pemasangan central line untuk
mencegah emboli. 1,6
Gambar 7. Posisi Trendelenburg a. Fisiologi Posisi Trendelenburg Walter Cannon menegaskan manfaat dari posisi Trendelenburg pada penanganan syok pada awal tahun 1900-an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa setiap posisi headdown meningkatkan venous return dan memperbaiki aliran darah serebral. Memposisikan pasien dewasa pada posisi Trendelenburg ringan 150 hanya menghasilkan 1,8% perubahan total volume sentral, perubahan yang kecil seperti ini tidak memiliki efek klinis yang penting. Beberapa penelitian setelahnya juga mempertanyakan validitas dari posisi ini pada penanganan syok dimana pasien yang hipotensi nengalami perubahan hemodinamik yang bertambah buruk dan peningkatan mortalitas ketika mereka diposisikan pada posisi Trendelenburg. Pada sukarelawan dan pasien yang sehat normotensi, posisi head-down tiltmenghasilkan peningkatan tekanan pengisian jantung, tidak terdapat perubahan atau sedikit peningkatan pada cardiac output, dan tidak terdapat perubahan yang signifikan pada tekanan arteri karena baroreseptor aorta dan karotis memicu vasodilatasi sistemik dan sedikit penurunan pada denyut nadi. Peningkatan cardiac output , jika ditemukan, terjadi akibat dari peningkatan stroke volume dari peningkatan awal venous return, tetapi efek ini hanya berlangsung sementara dan akan menghilang dalam waktu sepuluh menit. Cardiac output dapat meningkat atau lebih sering menurun jika pasien hipotensi diposisikan head down. Adanya sedikit peningkatan pada tekanan darah tidak berhubungan dengan peningkatan pada aliran darah atau oksigenasi jaringan.
Posisi Trendelenburg ringan sering digunakan pada insersi infus vena sentral, dikarenakan vena jugularis kurang kolaps akibat peningkatan tekanan intaravaskuler. Efek posisi Trendelenburg yang paling nyata pada sistem respirasi adalah adanya interfensi mekanik pada gerakan dada dan pembatasan ekspansi paru. Dengan kepala dan dada yang berada pada tingkat yang lebih rendah dari abdomen, maka berat organ viscera abdomen akan menggangu pergerakan diafragma dan mengurangi volume paru. Posisi head-down 10o menyebabkan penurunan tidal volume sebesar 3%, dimana posisi Trendelenburg 20o atau 30o menyebabkan pengurangan sebesar 12%. Adanya peningkatan yang berarti pada dead space fisiologis dapat dilihat pada pasien yang diposisikan Trendelenburg 20o.Gradient end tidal darah CO2 arteri mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan posisi supine. Perubahan pada gas intapulmonar dan distribusi darah pulmonal mungkin berhubungan dengan dead space fisiologis dan perbedaan gradien CO2. Perfusi serebral dapat dipengaruhi karena tekanan vena serebral mengalami peningkatan akibat efek gravitasi.Perpindahan cairan serebrospinalis dari kanalis spinalis ke kranial dapat mempredisposisi untuk terjadinya peningkatan tekanan intrakranial pada pasien. Pasien sehat yang diposisikan Trendelenburg 30o tidak mengalami perubahan yang berarti atau hanya sedikit penurunan pada aliran darah arteri serebral media yang mengakibatkan penurunan tekanan perfusi serebral ( P ). Penurunan P mungkin merupakan hasil dari penurunan CO dan MAP dan peningkatan tekanan vena sentralis.Selama tekanan darah dipertahankan, autoregulasi serebral terpelihara dan oksigenasi serebral terjamin. Peningkatan tekanan vena jugularis interna yang terjadi pada posisi head-down bersifat sementara, yang berlangsung kurang dari 10 menit. Walaupun penurunan yang tidak berarti pada perfusi serebral dan pengisian vena serebral yang sementara tidak memberikan efek samping pada sisrkulasi serebral pada pasien dengan autoregulasi serebral yang normal, sedangkan pada pasien dengan penyakit intrakranial dapat mengalami hipertensi intrakranial.
b. Komplikasi Posisi Head-Down1,6 1. Regurgutasi atau muntah, dan aspirasi isi lambung, merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada anestesi. Secara umum dapat diterima bahwa sfingter bawah esofagus merupakan mekanisme proteksi utama dalam pencegahan regurgitasi. Kecenderungan untuk mengalami regurgitasi dilawan oleh barier tekanan antara esofagus bagian bawah dan tekanan lambung. Efek head-down 15o dan 30o pada pasien sehat yang berada di bawah pengaruh anestesi umum menunjukkan peningkatan tekanan lambung dan esofagus bagian bawah sehingga barier tekanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Penggunaan posisi Trendelenburg tidak menpredisposisi untuk terjadi regurgitasi gastroesofageal.
Meskipun
demikian,
pasien
dengan
riwayar
refluks
gastroesofageal memiliki resiko tinggi untuk regurgitasi ketika diposisikan Trendelenburg. 2. Peningkatan tekanan vena serebral dan tekanan intraokular dan intrakranial dapat dipresipitasi oleh posisi Trendelenburg.
4. POSISI LATERAL DEKUBITUS Posisi lateral dekubitus ada dasarnya tidak stabil dan penyanggah harus tersedia untuk mempertahankan postur pasien pada posisi ini. Stabilitas pasien dapat dipertahankan dengan menggunakan penyanggah, sabuk, atau
plester perekat.
Tergantung pada kondisi klinisnya, direkomendasikan untuk menggunakan dua penyanggah; penyanggah yang berada di atas diletakkan di bagian kaudal aksila, digunakan untuk menghindari penekanan pada pleksus brakhialis, dan penyanggah yang berada di bagian bawah diletakkan di bawah panggul, di bawah krista iliaka. Penyanggah harus diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak menghambat pergerakan dada pada saat inspirasi dan abdomen dapat bergerak dengan bebas, sehingga meminimasi penekanan pada sistem respirasi.Pertahankan kepala dan leher pada posisi netral dengan bantal, dan penyanggah juga penting untuk menghindari trauma akibat regangan pada pleksus brakhialis.Lengan bagian bawah biasanya diletakkan diantara
bantal sehingga menyanggah kepala.Sebuah penyanggah aksila diletakkan di bagian kaudal aksila untuk meminimalkan penekanan pada aksila yang bersangkutan. Penempatan penyanggah aksila secara tepat penting untuk menghindari kompresi pada aksila bagian bawah dan dengan demikian meminimalkan resiko trauma pleksus brakhialis akibat kompresi nervus di antara kaput humerus dan kosta. Terdapat kemungkinan kompresi langsung pleksus brakhialis oleh penyanggah aksila ketika diletakkan di aksila; oleh sebab itu sebaiknya dipastikan bahwa penyanggah ditempatkan dibawah dada bagian atas. Ketika posisi lateral dekubitus telah dilakukan, meja operasi difleksikan setingkat atau ke arah cephal dari krista iliaka untuk menstabilkan posisi ginjal.1,4 Posisi ini sering digunakan untuk prosedur operasi yang membutuhkan akses langsung ke rongga thoraks, struktur retroperitoneal, pinggang dan bahu. Modifikasi posisi lateral dekubitus yang sering digunakan adalah posisi lateral kiri atau posisi semiprone. Serupa dengan posisi Sims. Dapat digunakan pada prosedur ginekologik dan sering digunakan sebagai posisi pemulihan setelah anestesi. Kaki bagian atas pada posisi semiprone difleksikan pada lutut dan panggul sementara kaki bagian bawah tetap diekstensikan. Badan dapat beputar mengikuti gravitasi. Lengan bagian bawah diletakkan dibawah bantal utuk menyanggah kepala untuk memfasilitasi pernapasan dengan meluruskan jalan napas.1,4
Gambar 8. Posisi lateral dekubitus a. Fisiologi Posisi lateral Dekubitus1,6 Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Venous return dapat berkurang karena kinking
vena kava inferior. Dekatnya vena kava inferior ke bagian kanan memudahkan penekanan oleh ginjal. Hal ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang lebih besar daripada posisi lateral kiri. Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru. Pada subjek sehat yang sadar, kapasitas vital pada posisi lateral menurun hingga 10% jika dibandingkan dengan posisi duduk. Penurunan ini disebabkan
terbatasnya
pergerakan
dinding
dada
dan
gangguan
pergerakan
hemidiafragma ipsilateral. Tidal volume dapat berkurang hingga 14%. Pada orang dewasa yang sadar, penurunan FRC yang hampir sebesar 16% dapat dilihat ketika subjek berubah posisi dari posisi duduk ke posisi lateral. b. Komplikasi Posisi Lateral Dekubitus 1. Harus diperhatikan bahwa telinga bagian bawah ditempatkan dengan baik untuk menghindari penekanan yang lama dan menimbulkan nekrosis. 2. Mata bagian bawah beresiko mengalami penekanan dan trombosis arteri retina bila diposisikan berlawanan dengan penempatan kepala yang tepat. Penyanggah yang tepat dan lembut dan perhatian yang lebih diperlukan untuk mencegah trauma pada mata, telinga dan nervus fascialis bagian bawah. 3. Kulit yang berada pada daerah penonjolan tulang pada ekstremitas bawah, khususnya kaki yang terletak di bawah, beresiko mengalami nekrosis akibat penekanan selama penggunaan posisi dalam waktu lama. Sanggahan yang adekuat sebaiknya diberikan di bawah pasien dan di antara kaki. 4. Kepala dan leher sebaiknya dielevasikan pada posisi netral secara adekuat untuk menghindari tekanan dan regangan otot yang dapat menyebabkan nyeri leher postoperative. 5. Trauma peregangan dapat mengakibatkan kerusakan mayoritas pada pleksus brakhialis, kompresi merupakan penyebab utama dari trauma saraf pada posisi lateral. Hal ini dapat terjadi ketika bahu bagian bawah serta lengan bersandar pada dada dan menekan aksila pada posisi lateral tanpa putaran aksila.
Peregangan yang berlebih dapat menyebabkan trauma pleksus brakhialis lengan atas pada saat fleksi lateral leher yang berlebihan. Keadaan ini sering terjadi akibat dari ketidakstabilan posisi dari manipulasi operasi selama pembedahan. 6. Nervus thoracicus longus dapat mengalami trauma pada saat kepala dan leher pasien fleksi ke arah lateral dari bahu bagian atas. 7. Nervus peroneal communis merupakan salah satu dari nervus yang paling sering mengalami trauma pada pasien dengan posisi lateral. Kompresi dari saraf di ujung fibula muncul pada saat pasien diposisikan dengan bantalan yang tidak adekuat di antara sisi kaki dan meja operasi. 8. Nervus sciatik inferior dapat terkompresi di antara meja operasi dan ramus ischiopubik serta nervus sciatik superior dapat terkompresi oleh penyanggah yang ditempatkan di panggul.
5. POSISI PRONE Posisi prone atau ventral decubitus digunakan terutama untuk akses operasi ke fossa posterior dari tengkorak kepala, tulang belakang, bokong, dan area perirectal, dan ekstremitas bawah. Posisi paling umum adalah pasien dengan kepala tertelungkup dimana : •
Ditempatkan penyanggah di antara bahu dan pada krista iliaka, supaya pergerakan abdomen dan ekspansi dada bebas. Hal ini untuk mengurangi kompresi abdomen dan memperbaiki fungsi pernapasan dan stabilitas kardiovaskuler.
•
Bantalan busa atau jelly donut dapat digunakan untuk memproteksi mata dan telinga.
•
Pasien-pasien pediatrik, kain operasi yang digulung dengan kuat sehingga membentuk bantalan yang berbentuk silinder bebas kerutan untuk menyanggah tungkai, pembebasan abdomen dari permukaan meja operasi serta menstabilisasi pasien. Gulungan kain dapat ditempatkan di atas panggul dan kaki bagian bawah pada anak kecil yang ditempatkan pada
posisi prone agar tidak mengganggu pergerakan torakoabdominal dan meminimalkan penekanan pada pergelangan kaki. 4
Gambar 9. Posisi prone pada anak
Pada pasien-pasien yang lebih besar atau prosedur pembedahan khusus, Wilson, Relton-Hall dan Andrew menggunakan prosedur kerangka. Kerangka Relton-Hall merupakan kerangka dengan empat sadel untuk memudahkan kontrol derajat lordosis lumbal dengan variasi posisi sadel.4
Gambar 10. Posisi kerangka a. Evaluasi Preanestesi Jika posisi prone dibutuhkan, maka1,4 •
Riwayat trauma leher, artritis cervical, atau riwayat operasi vertebra cervical sebelumnya harus dicatat serta perkiraan pergerakan dari kepala dan leher harus dinilai.
•
Stabilitas dari vertebra servikalis harus dinilai dan semua kekurangan harus dicatat pada penilaian preoperasi. Adanya anomali cervical rib harus dikesampingkan, sebab hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya
trauma pleksus brakhialis pada saat lengan terabduksi selama pembedahan. •
Adanya obesitas harus dicatat sebab ukuran dada dapat mempengaruhi landasan pengangkatan, mencegah terjadinya kompresi serta menjaga kestabilan posisi.
•
Semua pergerakan ekstremitas harus diperiksa.siku, lengan, dan kaki harus bisa difleksikan serta lengan harus dapat terangkat sampai atas kepala tanpa menyebabkan cedera apapun.
b. Fisiologi Posisi Prone •Dalam keadaan normal yang sadar, pergerakan diafragma meningkatkan tekanan intraabdominal namun menurunkan tekanan intratorakal. Gradiasi tekanan ini memfasilitasi aliran darah balik vena melalui jantung. Pembatasan dari pergerakan diafragma atau pun tekanan ventilasi positif yang intermiten mempersulit aliran balik vena sehingga konsekuensinya mempengaruhi cardiac output. •Aliran balik vena yang berkurang ini dapat menyebabkan kompresi vena kava inferior dan vena femoralis akibat penempatan sokongan yang tidak tepat maupun akibat dari pengaruh gravitasi. Pada saat vena-vena ini terkompresi atau ekspansi abdominal terbatas, aliran darah dari bagian distal tubuh akan menuju pleksus vena perivertebra ( vena-vena Batson ). Vena-vena ini tidak mempunyai katup sehingga terjadilah sistem tekanan yang sangat rendah. Akibatnya terjadinya pengisian pada pleksus vena vertebra selama operasi spinal, sehingga dapat meningkatkan kehilangan darah. •Posisi prone menyebabkan reduksi signifikan dari cardiac output ( 20% ) dan stroke volume dengan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Penurunan cardiac output dipercaya sebagai penyebab kedua terjadinya penurunan venous return. •Kompresi antara ruang interkostal dengan pergerakan diafragma dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital dan tidal volume pada saat pasien diposisikan prone. Jika dibandingkan dengan posisi duduk, FRC posisi prone
berkurang sekitar 10%. Peningkatan resistensi airway paru dan komplians paru berkurang pada pasien sadar ketika posisi mereka diubah dari duduk menjadi prone. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa posisi prone memperbaiki oksigenasi arterial. Perbaikan oksigenasi ini terjadi baik pada pasien anak maupun dewasa dengan penyakit respirasi akut begitu juga halnya pada pasien-pasien posisi prone dengan anestesi umum. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini termasuk diantaranya peningkatan volume paru dan perbaikan ventilasi perfusi. c. Komplikasi Posisi Prone1,4,6 •Jalan napas sebaiknya diamankan sebelum merubah posisi. Resiko yang harus dihadapi ketika posisi pasien diubah dari posisi supine ke prone adalah terjadinya ekstubasi yang tidak diinginkan. •Mayoritas kontak kulit pada lutut, krista iliaka, dan pergelangan tangan dapat beresiko mengalami nekrosis jika pasien berada pada posisi ini dalam jangka waktu yang lama. Sebuah bantal atau penyanggah yang lembut dapat diletakkan dibawah area ini. •Pada pasien perempuan, perhatian khusus diberikan pada payudara, dan khususnya pada puting susu untuk mencegah kerusakan dan nyeri akibat kompresi post operatif. •Mata sebaiknya diplester dengan erat diberi saline atau salep mata untuk mencegah abrasi kornea. Abrasi kornea dapat timbul segera setelah pulih dari anestesi dengan nyeri yang hebat pada mata. Iskemia retina yang dapat menuju pada kebutaan dapat terjadi. •Berat kepala sebaiknya disanggah oleh dahi dan arkus zigomatikus, dimana mata dan hidung pasien sebaiknya diposisikan tidak jauh dari konka. Kepala sebaiknya berada pada posisi netral untuk menghindari rotasi pada leher. Tumpuan berat yang langsung pada wajah atau dahi dapat menyebabkan leher menjadi hiperekstensi dan menyebabkan nyeri myofascial pada masa post operatif.
•Makroglossia adalah komplikasi yang jarang dan pernah ditemukan setelah operasi fossa posterior dengan posisi prone. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kongesti vaskuler akibat fleksi leher yang ekstrim.
6. POSISI LITOTOMI Posisi litotomi klasik sering digunakan selama operasi ginekologi, rektal, dan urologi. Beberapa tipe posisi litotomi telah digunakan dan perbedaan utamanya terletak pada derajat elevasi kaki, abduksi paha, dan penggunaan head down tilt. Pada pasien pediatrik, variasi penggunaan biasanya dibatasi oleh tipe penyanggah kaki yang tersedia. Bagian kaki pada meja operasi biasanya dipindahkan dan penyanggah kaki difiksasi pada kedua sisi meja.4 Pada saat pasien dipindahkan hingga ke ujung meja untuk posisi litotomi setelah induksi anestesi, sebaiknya disediakan sirkuit pernapasan dan kabel monitoring dengan panjang yang adekuat. Panggul pasien sebaiknya diposisikan dekat dengan penyanggah kaki dan kaki yang diabduksi, lutut difleksikan dan dielevasi pada derajat yang sesuai dengan prosedur operasi. Lengan pasien sebaiknya difleksi pada dada, atau lebih sering pada pasien yang lebih besar, disanggah dengan papan lengan lateral pada sisi meja operasi. Sebuah penyanggah yang berupa gulungan kain dapat digunakan untuk menghindari paparan pada perineum. Ketersediaan penyanggah kaki yang tepat biasanya menentukan bagaimana kaki diangkat nantinya. Kaki harus diistirahatkan pada posisi netral tanpa regangan atau tekanan pada persendian manapun. Setiap penyanggah dihubungkan oleh sebuah besi tipis yang dilekatkan disisi meja operasi. Kaki dapat diangkat pada daerah pergelangan atau disanggah pada fossa popliteal atau pada betis. Penyanggah biasanya diposisikan sesuai dengan tinggi, berat badan, dan usia pasien, dan perkiraan panjang lutut ke pergelangan kaki dan panjang kaki. Penggunaan penyanggah kaki dapat menyebabkan kompresi pada betis, merupakan predisposisi untuk berkembangnya sindrom compartment, khususnya dalam jangka waktu yang lama.4
Gambar 11. Posisi litotomi a. Fisiologi Posisi Litotomi1 Elevasi kaki meningkatkan venous return ke jantung dan mengaktivasi baroreseptor untuk mengakomodasi perpindahan volume melalui vasodilatasi. Terdapat peningkatan yuang bersifat sementara pada tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan aliran darah arteri serebral. Mekanisme kompensasi kardiovaskuler yang normal cenderung mengembalikan hemodinamik hingga ke level normal secara cepat pada pasien sehat. Posisi litotomi diketahui dapat menurunkan aliran darah pada ekstremitas bawah. Terdapat penurunan yang signifikan pada perfusi kaki dari 103 mmHg ke 21 mmHg setelah 25 menit berada pada posisi litotomi. Hal ini juga dihubungkan dengan pengurangan saturasi oksigen pada otot gastrocnemius media dari 68% ke 58%. Sebagai tambahan, hati-hati penggunaan posisi ini pada pasien dengan penyakit aliran darah pembuluh darah perifer, karena dapat memprovokasi iskemia pada ekstremitas bawah dan predisposisi untuk terjadinya trombosis vena ekstremitas bawah. Posisi litotomi membatasi pergerakan respirasi akibat kompresi pada viscera abdominal.Hal ini mengurangi kapasitas normal dari pasien yang sadar sekitar 18% sebagai hasil dari pembatasan gerakan abdomen.FRC dan tidal volume biasanya berpengaruh minimal pada pasien yang sadar. Meskipun begitu, dianjurkan bahwa pengangkatan kaki nampaknya memiliki pengaruh yang kecil pada elastisitas dan resistensi respirasi. Selama respirasi spontan pada pasien yang teranestesi yang
diposisikan litotomi, nampak pengurangan 3% pada tidal volume. b. Komplikasi Posisi Litotomi1,6 •
Walaupun beberapa komplikasi telah dilaporkan, termasuk rasa terbakar pada jari, low back pain pada pasien post operasi, rhabdomiolisis, dan peningkatan kreatinin kinase akibat kompresi otot betis dan iskemia, tidak ada satupun yang ditemukan pada anakanak.
•
Sindrom compartment, sangat jarang tetapi merupakan komplikasi yang mengancam jiwa, terjadi setelah prosedur yang cukup lama pada kelompok usia pediatrik. Fasciotomi diperlukan untuk pemulihan sindrom compartment,
•
Untuk prosedur yang cukup lama, penggunaan penyangga kaki yang ditempatkan pada fossa poplitea atau betis sebaiknya dihindari.
•
Hipotensi sistemik sebaiknya dihindari dan resiko pemberian zat-zat vasokonstriktor yang menurunkan aliran darah perifer sebaiknya harus diperhatikan.
•
Neuropati perifer dapat terjadi terutama pada pasien yang kurus dengan BMI lebih dari 20, diabetes mellitus dan penyakit vaskular perifer serta perokok.
•
Neuropati sciatik dapat terjadi pada pasien dengan operasi yang menggunakan posisi litotomi. cedera nervus sciatik dapat terjadi melakui prosedur yang singkat. Mekanisme perkembangan dari neuropraksia termasuk perubahan iskemik sindrom compartment atau kompresi langsung pada saraf. Nervus sciatik dapat terkena kekuatan regangan yang eksesif. Nervus peroneus communis dan cabang distalnya adalah nervus motorik utama yang pada ekstremitas bawah paling sering terkena. Nervus peroneus communis dapat terkompresi oleh bagian atas penyangga besi kaki ketika melewati kaput fibula pada saat kaki ditempatkan pada sanggahan besi. Hal ini dapat ditambah dari tekanan yang diberikan asisten bedah yang bersandar pada lutut pasien. Nervus saphenus dapat terkompresi karena nervus ini berada pada bagian superfisial dekat dari malleolus media pada saat kaki diletakkan.
•
Neuropati femoral dilaporkan dan diduga merupakan hasil dari abduksi yang berlebihan dari paha dengan rotasi eksternal pada panggul sehingga menyebabkan iskemik pada nervus femoralis karena terlipat pada ligamentum inguinal.
BAB III PENUTUP
Posisi pasien selama operasi dapat mempengaruhi berbagai macam fungsi fisiologis, seperti fungsi pernafasan, kardiovaskuler dan fungsi tubuh lainnya. Hingga saat ini dikenal berbagai macam posisi pasien intraoperasi, diantaranya adalah posisi supine, trendelenburg, reverse trendelenburg, prone dan litotomi. Pemilihan macam posisi dipertimbangkan dari segi tindakan operasi dan hal-hal lain yang mempengaruhi. Apabila salah dalam melakukan pemilihan posisi atau karena tindakan memposisikan pasien secara tidak tepat maka akan terjadi komplikasi posisi pasien, baik selama intraoperasi, bahkan hingga pascaoperasi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Bonnaig, Nicolas, et all. 2014. Proper Patient Positioning and Complication Prevention in Orthopaedic Surgery. JBJS Volume 96A Number 13. 2. B, Pump et all. 2002. Effects of supine, prone, and lateral positions on cardiovascular and renal variables in humans. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12069943 3. MA, Olympio et all. 2000. Emergence from anesthesia in the prone versus supine position in patients undergoing lumbar surgery. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11020746 4. Association of Surgical Technologist. 2011. AST Standards of Practice for Surgical
Positioning.
Available
at
:
http://www.ast.org/edFiles/Main_Site/Content/About_Us/Standard %20Surgical%20Positioning.pdf 5. Gerken, Sarah. 2015. Preventing Positioning Injuries: An Anesthesiologist’s Perspectives.
Available
at
:
http://www.aaos.org/news/aaosnow/jan13/managing7.asp 6. JW Knight, David. Ravi Mahajan. 2004. Patient Positioning in Anasthesia. Available at : http://ceac.oxfordjournals.org/content/4/5/160.full.pdf+html