AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN-PEREMPUAN ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) DALAM KUMPULAN CERPEN AKU KARTINI BERNYAWA SEMBILAN Oleh : Lailatul Munawaroh Abstrak Memasuki era milenium ketiga ini karya sastra yang dihasilkan para perempuan penulis menyerbu kehidupan sastra Indonesia. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila daripada lelaki. Ada juga yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, dan santun, tetapi sesungguhnya memberontak. Akan tetapi, belum banyak kisah penderita HIV yang dituangkan dalam karya sastra, khususnya cerpen ataupun novel. Hal tersebut dikarenakan selama ini AIDS dianggap sebuah aib yang harus ditutupi dan dijauhi. Perlakuan bagi penderita HIV/AIDS di berbagai rumah sakit pun terkadang masih memprihatinkan. Kenyataan tersebut membuat mental penderita HIV/AIDS makin tertekan. Namun, beberapa tahun yang lalu telah terbit sebuah buku yang ditulis oleh perempuanperempuan penderita HIV/AIDS. Buku tersebut berjudul Aku Kartini Bernyawa Sembilan. Kehadiran buku tersebut tentu saja sangat berarti bagi penderita HIV/AIDS dan bagi kita semua. Buku tersebut dapat dijadikan sebagai terobosan untuk menuangkan kreatifitas. Selain itu, buku tersebut juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berbagi pengalaman sekaligus menjadi terapi batin bagi para ODHA. Setidaknya apa yang dirasakan oleh ODHA dapat kita rasakan sehingga dapat menyebarkan kesadaran bahwa HIV/ AIDS adalah isu dunia yang sangat serius untuk ditangani. Kata kunci: aktualisasi diri, perempuan dengan HIV/AIDS, cerita pendek Abstract Entering the millennium era, there are three literary works that are written by the women writers attacked the life of Indonesian literature. Each is with her world. There are those who are smart, the radical, free, in fact madder than man . There are also sociable, melancholic, poetic, communicative, and well-mannered writers , but actually rebelling. However, there has not been any story related with the sufferer of the HIV yet presented in the literary work, especially the short story or the novel. The reason of this is that the AIDS is considered a disgrace that must be covered and avoided. The treatment for the HIV/AIDS sufferer in various hospitals sometimes consider still worrying. This reality makes bounced the HIV/AIDS sufferer increasingly pressed. However, several years ago was published a book written by the women HIV/this AIDS sufferers. The book is entitled “ Aku Kartini Bernyawa Sembilan”. The presence of this book is meant for the HIV/AIDS sufferers and for all readers. This book can be made the breakthrough to present creativity. Moreover, this book can also used as means of sharing the experience and becoming therapy for the HIV/ AIDS sufferers. At least, what happened to those to the sufferers can be used as information which can be taken into action with the serious solution. Key word: self actualization, woman with HIV/AIDS, short stories
1. Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil dari proses kreatif sang pengarang. Pengarang dengan sadar mencipta suatu kegiatan yang menjadi bagian hidupnya meskipun masyarakat tidak merasa memilikinya. Pengarang tidak memedulikan apakah nantinya masyarakat merasa memiliki hasil karyanya atau tidak. Sastra sebagai buku, tidak sekadar sebagai gagasan atau pandangan kita mengenai bagaimana dan seperti apa sastra itu seharusnya. Escarpit (2005) berkata, “…memandang pengarang semata-mata sebagai pembuat kata-kata, tidak memiliki makna sastra. Ia hanya memiliki makna itu, yakni didefinisikan sebagai pengarang setelah seorang pengamat yang ada di pihak publik mampu melihatnya seperti itu. Seseorang menjadi pengarang hanya dalam hubungan dengan seseorang atau menurut pandangan seseorang lain…”. Pandangan Escarpit tersebut menyiratkan adanya sederet kegiatan dan lembaga yang berada antara benak orang yang menulis dan pikiran orang yang membaca tulisannya. Demikian pula dengan terciptanya buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan yang tidak terbit secara tiba-tiba begitu saja, tanpa perjuangan dan tanpa tujuan. Perwakilan UNAIDS (Badan PBB untuk Program Penanggulangan AIDS) di Indonesia, Krittayawan Tina Boonto, mengatakan bahwa buku tersebut merupakan bagian dari kampanye untuk perempuan dan penanggulangan HIV/AIDS. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh akibat terinfeksi virus Human Immuno Deficiency Virus (HIV). Di Indonesia ratusan ribu orang kini hidup dengan HIV dan lebih dari setengahnya ialah perempuan. Perempuan penderita HIV/AIDS umumnya mengalami tekanan yang jauh lebih berat jika dibandingkan dengan penderita laki-laki. Mereka sering dianggap sebagai “perempuan nakal” yang menjadi “penyebar virus”. Padahal, data statistik menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan tertular HIV/AIDS akibat hubungan intim dengan suaminya yang sudah lebih dulu mengidap HIV. Meskipun demikian, sebagian besar dari mereka tidak meninggalkan suaminya. Mereka menganggap kenyataan tersebut merupakan takdir dari Tuhan yang harus mereka terima. Namun, tidak sedikit dari mereka yang tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena selain tidak adanya biaya untuk berobat juga karena tidak siap menerima stigma masyarakat. HIV secara perlahan memang akan membunuh badan, tetapi stigma dan penghakiman masyarakat akan membunuh jiwa jauh sebelum badan menyerah pada masanya. Memasuki era milenium ketiga ini karya sastra yang dihasilkan para perempuan penulis menyerbu kehidupan sastra Indonesia. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila daripada lelaki. Ada juga yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, dan santun, tetapi sesungguhnya memberontak. Akan tetapi, belum banyak kisah penderita HIV yang dituangkan dalam karya sastra, khususnya cerpen ataupun novel. Hal tersebut dikarenakan selama ini AIDS dianggap sebuah aib yang harus ditutupi dan dijauhi. Perlakuan bagi penderita HIV/AIDS di berbagai rumah sakit pun terkadang masih memprihatinkan. Kenyataan tersebut membuat mental penderita HIV/AIDS makin tertekan. Namun, beberapa tahun yang lalu telah terbit sebuah buku yang ditulis oleh perempuanperempuan penderita HIV/AIDS. Buku tersebut berjudul Aku Kartini Bernyawa Sembilan. Kehadiran buku tersebut tentu saja sangat berarti bagi penderita HIV/AIDS dan bagi kita
semua. Buku tersebut dapat dijadikan sebagai terobosan untuk menuangkan kreatifitas. Selain itu, buku tersebut juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berbagi pengalaman sekaligus menjadi terapi batin bagi para ODHA. Setidaknya apa yang dirasakan oleh ODHA dapat kita rasakan sehingga dapat menyebarkan kesadaran bahwa HIV/ AIDS adalah isu dunia yang sangat serius untuk ditangani. Tulisan berikut bukan hanya sekadar untuk mengingatkan bukunya tetapi mencoba untuk memahami siapa para penulisnya, latar belakang mereka menulis cerita dan mengapa kumpulan cerita ini diterbitkan. Selain itu, tulisan ini mencoba menjelaskan makna dan pengaruhnya secara pribadi dalam hidup pembacanya. 2. Latar Belakang Penulisan Cerita Aku Kartini Bernyawa Sembilan merupakan judul buku yang berisi kumpulan cerpen karya perempuan-perempuan ODHA yang lolos seleksi dari seluruh tulisan yang ditulis oleh ODHA di Indonesia. Buku tersebut terbentuk dari hasil pelatihan menulis kreatif yang dimentori oleh enam perempuan penulis terkenal, yaitu Cok Sawitri, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Nukila Amal, Ayu Utami, dan Dewi Lestari di berbagai kota, seperti Batam, Manado, Jayapura, Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar. Banyak sekali pelatihan menulis kreatif, tetapi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dianggap sebagai suatu pencapaian keberhasilan kegiatan apabila hasil karyanya tertulis dan “bermuatan”. Dengan demikian, publik mengetahui karya tersebut dibuat oleh ODHA yang ditempatkan sebagai sang kreator yang sekaligus sebagai penyandang stigma. Selain itu, dengan karya tersebut diharapkan dapat mencairkan stigma masyarakat mengenai penyandang HIV/AIDS. Pelatihan menulis kreatif tersebut dijadikan sebagai solusi bagi para ODHA untuk mengaktualisasikan diri. Selain itu, kegiatan tersebut mendorong mereka dalam proses kreatif yang wajar untuk menguatkan identitas kultural sehingga tidak terjebak ke arah proses yang menghasilkan karya slogan semata. Proses kreatif yang ditawarkan ialah proses yang menempatkan individu sebagai seseorang yang normal dan wajar dalam proses ekspresinya. Persoalannya ialah apakah karya-karya tersebut akan membantu aktualisasi diri mereka untuk melawan stigma? Semua itu hanya penulis dalam buku tersebut yang mengetahui. Harapan terakhir, minimal karya-karya mereka bermanfaat bagi kita dan bagi generasi mendatang. 3. Penerbitan Ide pembuatan buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan terlontar dalam pertemuan penulis yang diadakanUbud Writers & Readers Festival di Bali. Setelah menulis proposal lanjutan, akhirnya diperoleh juga sponsor yang berkenan membantu untuk melanjutkan ide tersebut yang dimulai tahun 2006. Selain itu, keenam perempuan penulis (Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, Cok Sawitri, Nukila Amal dan Oka Rusmini) juga menyatakan bersedia membantu dan menerima animo untuk berpartisipasi dari puluhan perempuan yang hidup dengan HIV dari berbagai pelosok di Indonesia. Akhirnya, terpilih 35 perempuan yang karya tulisnya akan disempurnakan kembali melalui pelatihan bersama enam penulis tersebut. Nukila Amal menjalankan workshop menulis di Menado, Ayu Utami di Batam,
Djenar Maesa Ayu di Jogya (yang kemudian diganti di Jakarta karena terjadi gempa di Jogya), Dewi Lestari di Bandung, Cok Sawitri di Papua, dan Oka Rusmini di Bali. Mereka menjalankan enam pelatihan simultan dalam waktu enam bulan di tahun 2006. Mereka bekerja keras untuk dapat menolong teman-teman perempuan peserta pelatihan untuk mencurahkan cerita mereka dalam bentuk tulisan yang tidak saja membawa makna pribadi, tetapi juga merupakan hasil karya kreatif yang layak diterbitkan. Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan berhasil diterbitkan setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut disebabkan adanya kendala dalam penerbitannya. Kendala pertama, Elis dan Meirinda (anggota tim UNAIDS), yang menangani masalah penerbitan jatuh sakit. Elis sakit tipus karena kelelahan dan kondisi kesehatan Meirinda juga memburuk sehingga tidak dapat bekerja selama tiga bulan. Hal tersebut menyebabkan buku yang seharusnya di luncurkan akhir tahun 2005 menjadi terlambar dan terbit pada tahun berikutnya. Kendala kedua ialah dalam prosesnya, keduanya harus “bertengkar” dengan banyak orang mengenai konsep dan tujuan pembuatan buku tersebut. Keduanya juga terjebak dalam persoalan istrasi yang berbelit-belit dan berkepanjangan. Selain harus mendampingi peserta pelatihan di enam kota, keduanya juga harus berjuang mengais-ngais tambahan sponsor serta bernegosiasi dengan banyak penerbit, selainGramedia, untuk mencari opsi lain. Kendala yang paling besar ialah faktor ketidakbiasaan peserta pelatihan dalam membuat karya. Meskipun banyak kendala, semua proses tersebut berhasil dilewati karena besarnya semangat, kesabaran, dan perjuangan dari para peserta dan penyelenggara. Akhirnya, mereka dapat menarik napas lega karena sebelas karya dari delapan perempuan ODHA dinyatakan layak terbit oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan di Jakarta. Berita tersebut mereka terima tepat pada saat mereka mengakhiri masa kontrak di kantor yang lama dan pindah ke kantor yang baru. Namun sayangnya, ketika belum sempat melihat bukunya diterbitkan, salah seorang dari penulis berpulang. Menurut Humas Gramedia, buku tersebut dicetak sebanyak 3000 eksemplar dan sudah dapat gabung di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia. Buku tersebut diluncurkan di Jakarta pada hari Rabu, tanggal 29 Agustus 2006. Para penulis mengharapkan pihak UNAIDS meneruskan program pelatihan tersebut agar para penderita HIV/AIDS yang lain dapat menulis buku untuk edisi yang akan datang. 4. Makna dan Pengaruh Cerita 4.1 Makna Cerita Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan memuat sebelas cerpen pilihan, yakni cerpen “Mandul” karya Siti Rokhimiatun, “Karamnya Kapal Miosnan” karya Theresia Rao, “Seorang Ahli Membuat Perahu” karya Lenny, “Aku Kartini Bernyawa Sembilan” karya Rezerdia Adriana Kartini, “Kandas” karya Kartini, “Tujuh” karya Joan, “Istri” karya Luh Putu Ikha Widari, Abel Tak Pernah Tahu karya Tary, dan Sari menulis tiga cerpen dengan judul “Perempuanku, Jangan Biarkan Aku Menangis”, dan “Tulisan Hati”. Buku tersebut juga dilengkapi dengan tujuh artikel karya tujuh perempuan penulis terkenal, yaitu Dewi Lestari menulis artikel “Mengenang Sendok dan Sedotan”, Ayu Utami menulis “Seabad Lagi…”, Jenar Maesa Ayu menulis “Terapi yang Membebaskan”, Cok Sawitri menulis
“Biarkan Mereka Menulis Apa Saja”, Oka Rusmini menulis “Untuk Kemanusiaan Itu Sendiri”, Nukila Amal menulis “Lima Hari Bersama Lima Dunia”, dan Meirinda menulis “Kisah Saya, Mereka, dan Mereka”. Cerita yang ada dalam buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan sarat dengan makna dan sebagian besar berisi curahan isi hati para penulisnya, seperti yang terlihat dalam cerpen yang berjudul “Mandul”. Cerpen tersebut menceritakan kebesaran hati seorang perempuan yang tertular HIV dari suaminya yang pecandu heroin dengan jarum suntik. Perempuan tersebut bernama Ayu. Ayu merupakan perempuan yang tegar dan kuat. Ia rela mengubur keinginannya untuk memiliki keturunan dari rahimnya. Ia rela membiarkan orang lain menganggapnya mandul daripada harus menularkan virus HIV ke dalam darah anak kandungnya. Sebuah kisah yang memperlihatkan makna sebuah kebesaran hati, kepasrahan jiwa, dan kesetiaan pada pasangan. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan pernyataan tersebut. Jika orang-orang itu tahu. Ia sebenarnya takut janinnya tertular virus HIV. Ia tidak mandul. Tapi ia tidak berani hamil. Lebih baik baginya dicap mandul, daripada menularkan virus HIV ke dalam darah anak kandungnya. Ia tidak menyesal dengan semua yang telah terjadi. Bagi Ayu, semua yang terjadi dalam hidup adalah misteri Ilahi. Manusia tak dapat menebak apa yang akan terjadi, apalagi memaksa segala sesuatu harus terjadi seperti yang diharapkan. Begitu juga dengan Ayu. Ia tidak dapat menolak apa yang Tuhan sudah berikan. Ia sadar bahwa ia tidak bisa membuat manusia kecil karena anak adalah titipan. Ia tidak dapat memaksa Tuhan menaruh janin dalam rahimnya, karena sebenarnya, ia tidak menginginkannya. (Siti Rokhimiatun, 2007: 6) Makna ketulusan cinta, kebesaran hati, kepasrahan jiwa, dan kesetiaan pada pasangan juga dapat kita temukan dalam cerpen “Aku Kartini Bernyawa Sembilan” karya Rezerdia Adriana Kartini, perempuan yang lahir di Jakarta pada tanggal 21 April 1980. Kisah yang dituangkan dalam cerpen tersebut merupakan pengalaman pribadi penulisnya. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan pernyataan Rezerdia dalam ANTARA News, Jakarta. Pada kesempatan tersebut dia berkata, “Aku mengetahui bahwa aku positif HIV pada bulan Januari 2006. Aku tidak menangis dan juga tidak tertawa dengan kenyataan ini. Buat apa menangis, kenyataannya aku telah terlahir sebagai “orang baru””. Dari pernyataan tersebut sangat terbaca bahwa Rezerdia Adriana Kartini merupakan penderita HIV/AIDS yang tegar. Ia merupakan perempuan yang sangat tegar karena menyadari bahwa AIDS bukanlah satusatunya ujian yang berat dalam hidupnya. Perempuan yang sebelumnya bernama Raden Ajeng Kartini tersebut pernah terancam mati sebanyak sembilan kali. Ia pernah terancam mati karena jatuh dari lantai tiga, ditabrak motor, dan jatuh dari bus. Selain itu, ia pernah hampir mati karena berbagai penyakit, seperti demam tinggi, demam berdarah, herpes, dan mengidap HIV/AIDS. Ia tertular HIV dari suaminya, seorang pengguna narkoba dengan jarum suntik (injecting drugs ). Meskipun demikian, ia tidak pernah membenci suaminya. Ia ikhlas menerima semua cobaan dari Tuhan. Ujian terberat yang dirasakannya ialah ketika akhirnya suaminya meninggal pada tanggal 28 November 2006. Sebelum dan sesudah suaminya meninggal, Rezerdia merupakan perempuan yang aktif berorganisasi. Ia pernah bekerja sebagai koordinator KDS Permata (Kelompok Dukungan Sebaya Perempuan
Tegar). KDS Permata merupakan satu-satunya badan yang dijadikan tempat berkumpulnya perempuan HIV/AIDS yang ada di Medan. Kisah hidup tersebut dituangkan Rezerdia dalam cerpen yang berjudul “Aku Kartini Bernyawa Sembilan”. Pendampingku berusaha menenangkan aku dengan caranya. Tetapi aku malah bingung, kenapa malah mereka yang kaget dan bersedih. Untuk menenangkan mereka aku berkata, “ini bukan yang pertama kali aku diuji dalam kematian”. Mereka bingung kenapa aku tidak menangis di pundak mereka. Untuk apa menangis, kita lihat saja nanti. Dengan status positifku, aku semakin terinformasi untuk melakukan yang lebih berarti dalam hidup tiap hari… tiap hari… tiap hari… Aku belajar untuk menghargai hidupku, anugerah yang diberikan tiap hari, aku bisa merasakan cinta lebih lagi … lebih lagi. (R.A. Kartini, 2007: 37) Kisah berbeda ditulis oleh Kartini dalam cerpen yang berjudul “Kandas”. Hanya satu fakta yang membuat cerpen tersebut berbeda dengan kedua cerpen sebelumnya, yaitu Kartini terinfeksi HIV karena pecandu narkoba dan pemakai jarum suntik. Bahkan, ia dan suaminya pernah menjadi bandar narkoba. Semua itu bermula dari minimnya pengetahuan tentang HIV dan penularannya. Ketika dinyatakan mengidap HIV, ia hanya bisa pasrah, tetapi tidak putus asa. Ia masih memiliki semangat hidup yang tinggi demi anak dan orang yang dicintainya. Bahkan, ia masih berkeinginan untuk membina hubungan dengan lelaki lagi. Ada satu makna positif yang patut kita ambil dari kisah hidup Kartini yaitu kebesaran hati dan prinsip hidupnya. Ia merasa HIV mampu mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Ia juga berprinsip untuk tidak menularkan penyakitnya pada orang lain. Kartini, perempuan yang dilahirkan di Kabupaten Banyuwangi ini menuangkan pengalaman pribadinya dalam cerpen yang berjudul “Kandas”. Ia menulis semua kisah hidupnya mulai dari lahir, besar, sekolah, menikah, mempunyai anak, cerai, pecandu narkoba, masuk bui, melakukan poliandri, mengidap penyakit TBC, dan mengidap HIV. Meskipun HIV belum ada obatnya, ia tetap memiliki semangat hidup untuk anak dan orang-orang yang dicintainya. Oleh karena itu, ia selalu rutin mengikuti pertemuan di berbagai yayasan dan rutin menjalani terapi ARV (obat yang mampu membunuh virus HIV) untuk seumur hidup. Ia menceritakan kisah tersebut dengan bahasa yang lugas dan jujur, tanpa ada yang ditutuptutupi. Kejujuran tersebut menyebabkan pembaca merasa terhanyut dan terbawa dalam kisahnya. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan kebesaran hati Kartini dalam cerpen “Kandas”. Aku merasa HIV yang mampu mengubah hidupku jadi lebih baik, setidaknya aku aku tidak jadi pengecut. Karena aku punya prinsip untuk tidak menularkannya pada orang lain. Sampai saat ini aku selalu rutin mengikuti pertemuan di berbagai yayasan antara lain BALI PLUS dan YAKEBA. Dan aku salah satu anggota Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dari “TUNJUNG PUTIH”. Mungkin dari sini aku bisa tunjukkan kepada masyarakat, bahwa “HIV/AIDS” bukan stempel mati. (R.A. Kartini, 2007 :52-53) Joan sangat gigih mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya untuk berbagi dan bersuara supaya orang-orang yang akan ditinggalkannya memiliki kenangan indah bersama
dirinya. Tulisannya yang berjudul “Tujuh” merupakan puncak dari perseteruan yang selama dua tahun menahan perih karena terinfeksi HIV. Joan merasa telah siap berkisah. Dia siap menuliskan kisah hidupnya dalam lembaran cerita yang berjudul “Tujuh”. Hal tersebut dilakukannya untuk menyingkirkan rasa sedih dalam hatinya. Hanya kekuatan cinta yang mampu menegakkan kerapuhan hati Joan dalam menghadapi ganasnya HIV. Dari kisah yang ada dalam cerpen “Tujuh”, kita dapat mengambil makna kekuatan cinta senjati. Dengan kekuatan cinta, hati Joan yang dulu rapuh menjadi tegar kembali dalam menghadapi kenyataan pahit yang harus dideritanya seumur hidup. Kuingat saat kau memandangku sebelah mata. Aku ingin kau mengalihkan pandanganmu dariku. Aku sempat malu menatap dunia. Apakah karena tiga atau empat huruf ini, mudah menghapus ingatanmu tentangku? Aku berani menghakimimu dan tuhan-tuhanmu. (Joan, 2007: 56-57) Hingga saatnya nanti. Bila mata ini tak lagi terbuka. Bila mulut ini tak lagi menganga. Hanya tinggal senyum di bibir kelu. Mataku pun akhirnya kan dapat terpejam. Seribu terima kasih akan terlayangkan. Indahnya persahabatan dengan sebaya-sebayaku. Sabar dan penuh cintanya kekasihku. Dorongan dan doa sederhana keluarga. Lucunya si kecilku dan semua yang telah mau mengerti, memberi semangat, mencintai dan mengucap syukur atas diriku. Takkan habis kata untuk semua ini. (Joan, 2007: 59) Stigma masyarakat bagi penderita AIDS tidak dapat dihindari. Hal itu sangat wajar karena pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS masih sangat minim. Selain itu, faktor belum diketemukannya obat anti retroviral yang lebih ramah pada pasien akan lebih menistakan para penderita. Semakin banyaklah masyarakat yang berangggapan bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan dan harus dihindari bagaimanapun caranya. Bahkan, perlakuan terhadap penderita AIDS di beberapa rumah sakit pun masih sangat memprihatinkan. AIDS secara perlahan memang akan membunuh badan, tetapi stigma dan penghakiman masyarakat akan membunuh jiwa jauh sebelum badan menyerah pada masanya. Demikian juga dengan keadaan yang dialami oleh suami Putu, sebutan untuk Luh Putu Ikha Widari. Suami Putu menerima perlakuan yang tidak adil ketika meninggal dunia akibat AIDS. Pertanyaaku terjawab. Malam harinya, seorang kepala kampung di mana suamiku dimakamkan meminta kuburan suamiku diangkat kembali dan dikremasi. Dengan satu syarat, asap dari api yang membakar tubuh suamiku harus ditutup. Alasannya, agar virus yang ada dalam tubuh suamiku tidak menular kemana-mana. (Luh Putu Ikha Widari, 2007:66) Berbagai ujian menghampiri hidup Putu. Ibu Putu mengalami vertigo setelah melahirkan adiknya yang terakhir. Selain itu, Putu juga harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa dirinya juga terinveksi HIV dari suaminya. Semua ujian tersebut dapat ia jalani dengan optimis dan pikiran yang positif. Ia banyak belajar dari orang-orang kurang beruntung yang ada di sekitarnya. Ia banyak belajar juga dari teman-temannya yang sama-sama berjuang melawan ganasnya virus AIDS. Di saat terpuruk pun, ia masih memanjatkan rasa syukur
karena anaknya terbebas dari virus yang membunuh suami dan menggerogoti tubuhnya. Hal itu pulalah yang membuatnya bangkit untuk terus bersemangat menjalani hidup. Melihat ibu, membuatku selalu berkaca pada hidupku yang tidak beres. Suami mati kena HIV. aku pun sekarang menjelma seorang perempuan positif HIV. aku banyak belajar dari teman-teman sebayaku. Teman-teman yang berjuang sama untuk melawan ganasnya virus HIV yang menyerang sel darah putih kami.(Luh Putu Ikha Widari, 2007: 81) Pendosa, pelacur, dan pemakai narkoba merupakan umpatan yang sering dituduhkan kepada perempuan penderita HIV. Kebanyakan dari penderita hanya bisa diam menerima umpatan tersebut sambil berusaha tegar untuk meneruskan hidup demi anak, demi pasangan, dan demi keluarga. Tidak banyak masyarakat yang tahu dan peduli bahwa kebanyakan dari perempuan-perempuan ODHA merupakan ibu rumah tangga yang baik dan setia. Tanpa disadari, mereka terinfeksi dari pasangan mereka yang terlebih dahulu terinfeksi HIV. Hal tersebut sesuai pengalaman yang dialami oleh Tary yang dituangkan dalam cerpennya yang berjudul “Abel Tidak Pernah Tahu”. Melalui tokoh Abel, Tary menceritakan suka duka kehidupannya setelah terinfeksi HIV. Ia terinfeksi HIV dari suaminya. Meskipun demikian, ia tidak ingin membenci suaminya. Ia merupakan salah satu perempuan ODHA yang sangat bijak. Ia memberanikan diri untuk menjadi fasilitator di berbagai seminar yang memberikan ulasan tentang HIV. Ia berani bersuara demi perempuan-perempuan yang akan menyandang status janda, demi para ibu yang tidak ingin kehilangan anak-anaknya, dan demi perempuan-perempuan di dunia ini. Abel tersenyum karena ada juga orang yang tertarik soal penutup kepalanya. Dengan nada seperti mengadu ia berkata lirih, “Bu, sehelai kain kerudung di atas kepala saya ini bukan saya pakai karena saya kena HIV. Jilbab ini saya pakai sejak SMP. Jadi Ibu bisa lihat, bahwa kerudung ini pun tidak melindungi saya dari virus itu. Virus itu bisa menyerang siapa pun, mengincar siapa pun, di mana pun, kapan pun, termasuk saya.” (Tary, 2007:89) Sari menulis tiga cerpen yang berjudul “Perempuanku”, “Jangan Biarkan Aku Menangis”, dan “Tulisan Hati”. Dalam cerpen tersebut Sari menceritakan tokoh Lara sebagai sosok yang sangat dikagumi dan dicintainya. Sari kagum dengan keberanian Lara menuangkan gagasan-gagasannya dalam memerangi peredaran pasar gelap narkoba dan upayanya merevisi UU narkotika/psikotropika yang sudah tidak relevan dan hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu. Selain itu, Lara juga dianggap sebagai sosok yang mampu memberi semangat karena selalu menghadirkan keceriaan dalam hidup Sari. Kekaguman tersebut tertuang dalam cerpen yang berjudul “Perempuanku”. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan pernyataan tersebut. Lara adalah keceriaan. Suaranya membuatku jatuh cinta padanya karena aku manusia yang amat membutuhkan keceriaan, atau tepatnya aku haus akan itu. Di tengah-tengah hidupku yang sarat keseriusan dan kerisauan, dia telah menghadirkan berjuta-juta tawa padaku. (Sari, 2007:99) Cerpen “Jangan Biarkan Aku Menangis” menceritakan ketidaksiapan Sari menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV. Sari tidak siap ditinggalkan orang-orang
terdekatnya hanya karena HIV. Ia takut ditinggalkan keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan terlebih lagi kekasihnya. Ia hanya bisa mengadu pada Tuhan. Ia menyembunyikan kenyataan pahit tersebut hingga diakhir cerita. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Tuhan, hanya kamu yang bisa kuajak bicara jujur. Aku tidak pernah menyalahkanMu atau kehidupan, aku hanya mempertanyakan mengapa luka ini datang pada saat hidupku tidak lagi untuk diriku sendiri? Apa yang akan aku pertanggungjawabkan pada mereka yang mengasihiku ketika aku harus pergi? (Sari, 2007:105) Cerpen ketiga Sari yaitu cerpen yang berjudul “Tulisan Hati”. Sari menceritakan tokoh “Aku” dengan begitu indah. Dalam cerpen tersebut “Aku” ialah ayunan besi yang menjadi saksi penyesalan perempuan yang telah melibatkan kekasihnya mengenal dunia gelap narkoba. Penyesalan itu bertambah ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Dengan kenyataan tersebut ia tidak dapat mewujudkan impiannya bersama kekasihnya. Ia tidak sanggup melihat kekasihnya menderita karena dirinya. Cerita tersebut berlatar di kota Bandung pada tanggal 10 Mei 2006. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan pernyataan tersebut. Aku menyesali ketika aku merusak hidupku dengan racun dunia yang kutusukkan dalam aliran darahku, hanya untuk menciptakan khayalan semu yang dengan bangganya kusebut sebagai jalan pencarian jati diri. Aku menyesal katika kutahu pencarian jati diriku mempertemukan aku dengan virus ini. Dan aku lebih menyesal lagi ketika aku harus melibatkanmu di dalamnya. (Sari, 2007:111) Sebagian besar tema yang diangkat dalam buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan mengenai HIV/AIDS. Dari sebelas cerpen yang ada hanya dua cerpen yang mengambil tema di luar tema tersebut. Kedua cerpen tersebut yaitu “Karamnya Kapal Miosnam” karya Theresia Rao dan “Seorang Ahli Membuat Perahu” karya Lenny. Theresia Rao menceritakan tenggelamnya kapal Miosnam yang terjadi di Irian Jaya pada tahun 1982. Meskipun tidak membahas masalah HIV/AIDS, isi cerpen tersebut sangat bermanfaat. Hal tersebut disebabkan isi ceritanya menunjukkan tradisi yang menyertai kehidupan masyarakat Papua sehingga dapat dijadikan sebagai “jendela” atau “kunci” untuk memahami mengapa HIV/AIDS mudah menyebar di Papua.
4.2 Pengaruh Cerita Perempuan-perempuan ODHA penulis dalam kumpulan cerpen Aku Kartini Bernyawa Sembilan memilih untuk berbagi perasaan melalui tulisannya. Langkah tersebut sekaligus menjadi cara untuk menyebarkan kesadaran bahwa HIV/AIDS merupakan isu dunia yang sangat serius untuk ditangani. Banyak sudah yang dilakukan Pemerintah untuk mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka menunjukkan betapa bahayanya HIV/AIDS, tetapi sepertinya langkah tersebut kurang mengena dan menyentuh masyarakat.
Mungkin dengan membaca buku tersebut pembaca akan lebih menyadari bahaya HIV/AIDS karena karya tersebut langsung ditulis sendiri oleh orang yang terinfeksi HIV. Kisah ODHA di buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan terkadang ibarat melodrama. Apakah kita percaya ada laki-laki yang mau menerima perempuan apa adanya, perempuan yang mengidap HIV? Atau adakah orang yang sudi berbagi sedotan dan sendok dengan para ODHA? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selama ini dianggap sebuah pertanyaan yang „bodoh‟ karena jawabannya pastilah sebagian besar tidak ada yang mau. Akan tetapi, hal itu berbeda dengan kenyataan yang ada dalam buku tersebut. Pada kenyataannya banyak orang yang menjauh, semua teman menolak berbagi makanan dan minuman, bahkan enggan sekadar bersalaman, sedangkan Dewi Lestari malah mau berbagi sedotan dan sendok dengan para ODHA. Hal-hal sepele semacam itulah yang justru membuat ODHA terkesan karena orang tua mereka pun belum tentu mau melakukan itu. Dewi merasa senang karena perbuatan kecilnya telah menjadikan ODHA merasa dihargai, sebagai teman, dan telah dibangkitkan rasa percaya diri mereka. Orang sering berpikir ingin melakukan hal-hal yang besar untuk orang lain supaya tampak “megah” dan selalu diingat. Padahal, perbuatan dan perhatian kecil pun sudah membuat para ODHA terkesan dan bahagia. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengetahuan yang cukup soal virus HIV/AIDS. Hal itu diharapkan agar kita tidak terpengaruh dengan stigma yang terlanjur menyebar di masyarakat. Selain itu, kita belajar melihat kenyataan dengan jujur dan apa adanya sehingga pikiran untuk menghakimi mereka makin jauh dari dalam diri kita. Pada umumnya orang beranggapan bahwa pengidap HIV merupakan manusia yang hanya menunggu hari kematiannya saja. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masih banyak ODHA yang dapat bertahan hidup dan beraktivitas sebagaimana layaknya orang sehat lainnya. Wajah ceria dan kondisi fisik yang tampak sehat terlihat pada Luh Putu Ikha Widari. “Coba lihat saya, tidak berbeda dengan orang lain. Saya tetap cantik, sehat, tidak sakit-sakitan seperti yang digambarkan di media massa selama ini,” kata Putu pada acara peluncuran buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan. Banyak stigma sosial yang dibebankan kepada ODHA, tetapi mereka tidak tampak terdeteksi seperti orang yang sakit. Dalam keseharian mereka ceria, bahkan makannya pun banyak. Hal itu menunjukkan bahwa virus HIV itu hanya menyerang ketika daya tahan tubuh ODHA menurun. Selain menambah pengetahuan kita mengenai AIDS, kisah-kisah yang ada dalam buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan juga sangat bermanfaat bagi kita. Karya-karya mereka sungguh bermanfaat karena dari kisah-kisah mereka kita dapat mengetahui tradisi-tradisi yang menyertai kehidupan keseharian masyarakat Jawa, Bali, Papua, dan yang lainnya. Karya mereka juga dapat dijadikan sebagai „kunci‟ ataupun „jendela‟ untuk memahami mengapa HIV/AIDS sangat mudah menyebar ke seluruh pelosok negeri ini. Selain itu, kisah-kisah tersebut juga dapat menjadi kisi-kisi untuk menganalisis dan memahami gaya hidup masyarakat Indonesia sehingga dapat diketahui bagaimana cara menolong mereka yang terkena dampak stigma HIV/AIDS.
Manfaat yang lain, ketika karya-karya itu ditulis tidak dengan bahasa slogan, yaitu dengan proses kreatif yang bebas, akan banyak pihak yang merasa terwakili, terkenang, dan teridentifikasi. Ketika mengetahui bahwa para penulis tersebut merupakan ODHA, pembaca akan memosisikan para penulis tersebut sebagai penulis kreatif, tidak tengah dalam proses berjarak pengalaman dan rasa akibat HIV/AIDS yang hanya dapat dimengerti oleh yang terjangkit saja. Bukan suatu hal yang mustahil juga apabila nantinya kisah ODHA tersebut akan menjadi catatan kecil dari sebuah zaman. Zaman yang sangat primitif karena masih menganggap AIDS sebagai hukuman dari Tuhan dan ada sekelompok orang yang berjuang untuk hidup dengan virus itu. Sekelompok orang tersebut berjuang untuk menyuarakan bahwa AIDS bukanlah kutukan. Apabila nantinya obat AIDS ditemukan dan penyakit ini tidak dianggap nista, seperti kusta, penyakit yang di masa lalu menjadi alasan untuk membuang para penderitanya dari masyarakat. Kini keadaan itu nyaris tidak terlihat lagi. Kita hanya dapat membayangkan saat kita di perpustakaan dan membaca buku ini dan pasti kita akan berkata bahwa dunia ini pernah begitu primitif.
5. Simpulan Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan sangat berarti bagi penderita HIV/AIDS dan bagi kita semua. Selain dapat dijadikan sebagai terobosan untuk menuangkan kreativitas, buku tersebut juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berbagi pengalaman sekaligus menjadi terapi batin bagi para ODHA. Apa yang dirasakan oleh ODHA dapat kita rasakan sehingga kita dapat menyebarkan kesadaran bahwa HIV/AIDS merupakan isu dunia yang sangat serius untuk ditangani. Buku tersebut terdiri atas sebelas cerpen dari sembilan perempuan ODHA penulis yang diseleksi dari seluruh provinsi di Indonesia. Enam sastrawan perempuan (Djenar, Dee, Ayu Utami, Cok Sawitri, Nukila Amal, dan Oka Rusmini) bekerja sama dengan UNAIDS, kemudian mementori ODHA yang terseleksi tersebut untuk belajar menulis. Buku kumpulan cerpen tersebut merupakan hasil pelatihan itu. Dari kisah-kisah mereka, kita dapat mengetahui bagaimana melihat dunia dari perspektif mereka, juga bermanfaat dalam memberikan makna lebih pada kehidupan dan menjadikan setiap detik kehadiran di dunia berguna, untuk apa pun dan untuk siapa pun juga. Buku ini akan menambah masukan yang menarik untuk dunia pembaca. Kita tidak hanya menemukan sekumpulan kisah yang menarik, tetapi sebuah kejujuran dan ketulusan dari ODHA. Sebuah kejujuran bahwa mereka butuh untuk didengar, butuh tempat berbagi, dan butuh dihargai. Sebuah kisah bahwa perempuan-perempuan ODHA ingin bersuara dan berjuang hidup sebagaimana orang lain hidup dengan penyakit lain, seperti kanker, hepatitis, dan diabetes. Mereka juga harus berjuang hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih berjiwa patriakis yang penuh dengan penghakiman moral. Jika mengingat semua cerita mereka, sepertinya begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan untuk terus memberdayakan perempuan supaya tidak berada dalam posisi tawar-menawar yang lemah dalam masyarakat kita yang sangat yang patriakis.
Daftar Pustaka : Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Anggota IKAPI) Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Primariantari et al. 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantantis: Seri Siasat Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI) Tanpa Nama. 2007. Aku Kartini Bernyawa Sembilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama